Anda di halaman 1dari 16

MODUL KEPERAWATAN HIV-AIDS

(SKPA 405)

MODUL SESI – 3

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DAN REMAJA DENGAN HIV-AIDS

DISUSUN OLEH
YUSNAINI SIAGIAN, S.Kep, Ns, M.Kep

STIKES HANG TUAH TANJUNGPINANG


2020
SUBTOPIK 1 – ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DAN REMAJA
DENGAN HIV-AIDS

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan


Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mampu menjelaskan pengkajian anak dengan HIV-AIDS
2. Mampu menjelaskan diagnose keperawatan anak dengan HIV-AIDS
3. Mampu menjelaskan aspek psikologis anak dengan HIV-AIDS

B. Uraian dan Contoh


1. Sub topik ke-1: Pengkajian anak dengan HIV-AIDS
Uraian sub topik ke-1:
Anamnesis
1. Data subjektif, meliputi :
a. Demam dan diare berkepanjangan
b. Pengetahuan pasien/ keluarga tentang AIDS
c. Data nutrisi, intake makan, adanya penurunan berat badan
d. Keluhan pada sistem respirasi (takipnea, batuk, dispnea, hipoksia).
e. Ketidaknyamanan (kaji PQRST)
2. Riwayat penyakit sekarang :
a. BB dan TB yang tidak naik
b. Diare lebih dari 1 bulan.
c. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
d. Mulut dan faring dijumpai bercak – bercak putih
e. Limphodenophati yang menyeluruh
f. Infeksi berulang (OMP, pharingitis)
g. Batuk yang menetap (lebih dari 1 bulan)
h. Dermatitis yang menyeluruh
3. Riwayat penyakit dalam keluarga
a. Orang tua yang terinfeksi HIV
b. Penyalahgunaan zat
4. Riwayat kehamilan dan persalinan
a. Ibu selama kehamilan terinfeksi HIV, 50% dapat menularkan kepada anaknya.
b. Penularan dapat terjadi pada minggu 9 – 20.
c. Penularan pada proses persalinan apabila terjadi kontak darah ibu dan bayi.
d. Penularan setelah lahir dapat terjadi melalui ASI.
5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Dapat terjadi kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada anak
6. Riwayat imunisasi: imunisasi BCG tidak boleh diberikan karena pertimbangan bahwa
kuman hidup, polio diberikan dalam bentuk inactied pelivaccine (virus yang
mati).
7. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : dapat terjadi penurunan kesadaran hingga koma
Pengukuran tanda – tanda vital
a. Pengkajian sistem penginderaan:
Pada mata : cotton wool spot, sytomegalovirus retinus, toksoplasma choroiditis,
perivasculitis pada retina, infeksi tepi kelopak mata, secret berkerak, lesi retina.
Pada mulut: oral thrush akibat jamur, stomatitis gangrenesa, sarcoma kaposi.
Pada telinga: OMP, kehilangan pendengaran.
b. Sistem Respirasi: batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak nafas, tachipneu ,
hipoxia, nyeri dada, nafas pendek waktu istirahat gagal nafas.
c. Sistem pencernaan : BB menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan,
bercak putih, kekuningan pada mukosa oral, pharingitis, candidiasis esophagus,
candidiasis mulut, selaput lendir kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis
akibat diare kronik, pembesaran limpha.
d. Sistem Kardiovaskuler: nadi cepat, tekanan darah meningkat, CHF
e. Sistem integumen: variccla, herpes zooster, scabies
f. Sistem perkemihan: anuria, proteinuria
g. Sistem endokrin: pembesaran kelenjar parotis, limphadenopathi, pembesaran
kelenjar yang menyeluruh.
h. Sistem neuromuskuler: sakit kepala, penurunan kesadaran, sukar konsentrasi,
kejang – kejang ensephalopati, gangguan psikomotor, meningitis,
keterlambatan perkembangan, nyeri otot.
i. Sistem muskuloskeletal: nyeri otot, nyeri persendian, letih, ataksia.
j. Psikososial: orang tua merasa bersalah, merasa malu dan menarik diri dari
lingkungan.

2. Sub topik ke-2: Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


Uraian sub topik ke-2:
Diagnosa keperawatan :
1: Risiko keterlambatan perkembangan
Defenisi: rentan mengalami keterlambatan 25% atau lebih pada satu atau lebih area
sosial atau perilaku regulasi – diri, atau keterampilan kognitif, bahasa, motorik kasar
dan halus, yang dapat mengganggu kesehatan.
Faktor resiko:
Individual
Kegagalan untuk tumbuh
Penyakit kronis
Keterlibatan dengan sistem perawatan
Program pengobatan
NOC:
Perkembangan anak usia 1 bulan
Perkembangan anak usia 2 bulan
Perkembangan anak usia 4 bulan
Perkembangan anak usia 6 bulan
Perkembangan anak usia 12 bulan
Perkembangan anak usia 2 tahun
Perkembangan anak usia 3 tahun
Perkembangan anak usia 4 tahun
Perkembangan anak usia 5 tahun
Perkembangan anak usia usia anak pertengahan
Perkembangan anak usia remaja
NIC:
Bimbingan antisipatif
Manajemen perilaku
Modifikasi perilaku: keterampilan sosial
Dukungan pengasuhan
Peningkatan perkembangan bayi
Peningkatan perkembangan anak
Peningkatan perkembangan remaja
Pengajaran nutrisi (sesuai usia)
Pengajaran stimulasi (sesuai usia)
Diagnosa keperawatan
2: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan
Defenisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
Batasan karakteristik:
Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang normal berat badan ideal
Ketidakmampuan memakan makanan
Kurang minat pada makanan
Membran mukosa pucat
Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat’sariawan rongga mulut
Tonus otot menurun
Nyeri abdomen
Kram abdomen
NOC:
Status nutrisi bayi
Status nutrisi
Status nutrisi: asupan nutrisi
NIC:
Manajemen diare
Penahapan diet
Manajemen gangguan makan
Manajemen cairan
Manajemen nutrisi
Bantuan peningkatan berat badan

3. Sub topik ke-3: Aspek psikologis anak dengan HIV-AIDS


Uraian sub topik ke-3:
Anak dan remaja dengan HIV mengalami distres psikologis yang
berat. Kendala dalam pengobatan serta pengaruh HIV secara emosional,
sosial, dan kultural memberikan kontribusi terhadap beban psikologis pada
anak. Dukungan psikologis untuk anak dengan HIV sangat penting sebagai
bagian dari pelayanan yang holistik. Pendekatan terintegrasi dan
komprehensif dari semua elemen pendukung sangat bermanfaat bagi anak dan
keluarga dengan hasil peningkatan kualitas hidup anak. Dukungan
psikososial, tindakan medis, nutrisi, dan paliatif sangat dibutuhkan oleh anak
dengan HIV/AIDS (UNICEF, 2006).
Aspek psikologis anak dengan HIV-AIDS :
1. Stigma
Faktor utama yang membedakan HIV/AIDS dari penyakit kronis
atau penyakit kronis lainnya adalah stigma. Anak dengan HIV dan
keluarga mereka hidup dalam “konspirasi keheningan” dan rasa malu
yang terkait dengan AIDS. Apa yang dialami anak dijaga sebagai rahasia.
Salah satu konsekuensi dari rahasia yang disembunyikan ini adalah
keluarga menjadi menarik diri, terisolasi secara sosial, dan terputus secara
emosional dari dukungan lingkungan. Hal tersebut membatasi akses anak
untuk mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya (Vranda,
2013).
Disclosure HIV pada anak membuat orang tua khawatir terhadap
respons keluarga yang menyalahkan orang tua dan munculnya stigma baik
dari keluarga maupun teman. Di dalam komunitas sosial, banyak orang
tua yang lebih menyembunyikan diagnosis anak mereka dari keluarga,
teman, dan masyarakat secara keseluruhan (Vranda, 2013).
Menurut hasil penelitian oleh Arun et al., 14% anak menyadari
status HIV mereka, sementara 86% tidak menyadari. Sebagian besar
pengasuh merasa pertengahan remaja sebagai usia yang tepat untuk
disclosure status infeksi HIV dan orang tua adalah orang yang tepat untuk
mengungkapkan status infeksi HIV anaknya (Vranda, 2013).
2. HIV/AIDS sebagai Penyakit Kronis
Di beberapa negara, HIV/AIDS masih dilihat hanya sebagai
penyakit mematikan, penyakit yang tidak dapat dipulihkan. Namun,
dengan terapi antiretroviral yang terus berkembang, HIV semakin dikenal
sebagai penyakit kronis, bukan lagi sebagai penyakit terminal. Transisi
pandangan ini membutuhkan penyesuaian psikologis, terutama pada
populasi anak dan remaja (Close, 2007). Anak dengan penyakit kronis,
khususnya anak dengan infeksi HIV dapat mengalami beberapa hambatan
dalam kehidupannya sebagai berikut (Close, 2007) :
1. Batasan fungsi yang tidak sesuai dengan perkembangan;
2. Ketergantungan pada obat-obatan;
3. Perlu lebih banyak perawatan medis daripada anak normal seusianya;
4. Batasan karena adanya infeksi lain yang menyebabkan hendaya berat.
Selain hambatan secara fisik, anak dengan HIV dan pengasuhnya juga
mengalami beberapa hambatan psikologis karena kronisitas penyakit HIV.
Hambatan psikososial tersebut terjadi pada beberapa fase dalam hidupnya, yaitu
pada saat didiagnosis pertama kali, pada saat memberitahukan kondisi HIV ke
anak, hambatan secara finansial dan emosional karena penyakit kronis, persiapan
dan penerimaan terhadap kematian anak (Close, 2007).
Berkaitan dengan penyakit kronis, kepatuhan terhadap pengobatan
merupakan hal yang sangat penting. Anak harus meminum obat dengan tingkat
kepatuhan lebih dari 95%. Tugas ini bisa sulit untuk pasien dewasa dan semakin
sulit untuk pasien anak atau remaja. Ketidakpatuhan ini dapat menghasilkan
luaran kesehatan yang buruk bagi anak (Close, 2007).
Hidup dengan penyakit kronis dapat menyebabkan stres psikologis.
Orang dengan HIV berpotensi dua kali lebih mungkin didiagnosis dengan
gangguan depresi mayor. Anak dengan HIV mengalami penurunan fungsi
sosial dibandingkan anak seusianya. Saat kondisi HIV yang dialami anak
semakin memburuk, fungsi fisik dan sosial anak juga semakin berkurang.
Hal lain yang memperburuk kondisi HIV anak adalah kelelahan yang
dialami oleh pasien. Pasien merasa depresi dan terisolasi, frustrasi dengan
rejimen pengobatan yang harus 95% patuh. Tenaga kesehatan dapat
membantu mengurangi kelelahan pasien dalam penyakit kronis dengan
menyusun sasaran yang realistis, yaitu (Close, 2007):
1. Mengurangi kesalahan dan kritik dalam kepatuhan pengobatan;
2. Meraih kemajuan, bukan kesempurnaan; dan
3. Mengenali perasaan negatif untuk didiskusikan dengan pasien
Anak-anak dengan penyakit kronis seperti HIV/AIDS menghadapi
tantangan yang membuat hidup mereka lebih sulit. Dengan dukungan
yang tepat dari penyedia layanan kesehatan dan komunitas mereka, maka
tantangan hidup anak dengan HIV/AIDS akan lebih mudah diatasi (Close,
2007).
3. Beban Psikologis sebelum Tes HIV
Saat melakukan tes HIV, pertimbangan rumit yang diperhitungkan
oleh orang tua pengasuh atau anak-anak sebagai pasien sangat berat.
Ketika memutuskan untuk melakukan tes HIV, hasil tes tersebut
mempunyai implikasi untuk ibu dan anak. Baik orang tua atau anak
mengalami ketakutan distigmatisasi dan didiskriminasi jika hasil anak
tersebut HIV-positif. Pada remaja yang akan menjalani tes HIV, mungkin
ada kekhawatiran tentang tes HIV-positif dan menghadapi masyarakat
yang menganggap remaja tersebut melakukan aktivitas seksual di bawah
umur. Sebelum pengobatan anti-retroviral (ARV) tersedia secara luas,
melakukan tes HIV tidak selalu untuk kepentingan terbaik anak karena
status HIV positif anak akan mengakibatkan diskriminasi karena
ketakutan akan menimbulkan risiko menular bagi anak-anak lain (Grant,
2012).
Dalam konteks saat ini, di mana terapi ARV dapat diakses secara
luas, diagnosis HIV sejak dini sangat disarankan karena mempunyai
manfaat yang lebih besar bagi pasien. Namun, faktor sosial sering masih
menjadi penghalang untuk dilakukan tes HIV. Keterlambatan dalam tes
HIV dapat menyebabkan keterlambatan penanganan pada anak-anak.
Menunda tes HIV dapat memberikan implikasi serius untuk kesehatan
anak-anak yang mungkin berisiko atau yang sudah terinfeksi HIV. Oleh
karena itu, penting untuk mempromosikan tes HIV pada anak yang
berisiko sambal tindakan setelahnya (Grant, 2012).
Selain itu tes HIV juga perlu dipromosikan kepada orang tua karena
hasil tes HIV pada anak mereka merupakan dasar bagi tenaga medis atau
pekerja sosial mengambil sikap dan tindakan untuk meningkatkan
kesejahteraan fisik dan emosional anak mereka. Tes HIV pada anak juga
diperlukan untuk melindungi petugas kesehatan atau orang lain yang
kontak dengan cairan tubuh anak yang mungkin menularkan HIV (Grant,
2012).
a. Beban Psikologis Pengasuhan Anak dengan HIV
Mengasuh anak yang normal memberikan beban stres yang
menantang bagi orang tua, apalagi mengasuh anak dengan HIV yang
akan menjalani perpisahan dan bahkan kematian. Dalam mengasuh
anak dengan HIV, semua pihak di sekitar pasien dapat terlibat, tidak
hanya orang tua saja. Gaya pengasuhan berkontribusi terhadap hasil,
perkembangan, dan reaksi anak. Orang tua yang mengasuh anak
dengan HIV mengalami beban psikologis yang berat. Orang tua anak
dengan HIV mengalami tekanan dan membutuhkan layanan
psikologis. Dalam kondisi keterbatasan ekonomi, stres, dan
ketegangan pada orang tua anak yang terinfeksi HIV semakin besar.
Pada orang tua yang juga terkena HIV, anak harus menyesuaikan diri
dengan tekanan emosional ibu, dukungan sosial ibu untuk anak yang
kurang serta kualitas hubungan orang tuaanak (Sherr, 2005).
b. Anak HIV tanpa pengasuh
Beberapa anak dengan infeksi HIV hidup tanpa pengasuh karena
orang tua meninggal sebelumnya. Anak yatim ini terpaksa menjadi
kepala rumah tangga dan mengurus saudaranya. Anak dengan infeksi
HIV yang tanpa pengasuh seringkali menggelandang di jalanan dan
rawan dengan masalah pelecehan seksual, kekerasan dan kegagalan
dalam terapi HIV (Human Rights Watch, 2008).
Rumah sakit tidak siap untuk menangani anak jalanan dengan
HIV dan menunda memberikan terapi ARV karena kekhawatiran
tingkat kepatuhan yang rendah. Mereka merasa terbuang, sendiri dan
sering mengalami depresi (Human Rights Watch, 2008).
Situasi anak jalanan juga sangat sulit karena mereka dianggap
sebagai penjahat. Polisi kerap bertindak kasar. Anak jalanan dengan
HIV juga sering menjadi korban pelecehan seksual yang dapat
menularkan transmisi HIV ke orang lain (Human Rights Watch,
2008).
ASPEK PSIKOLOGIS MELAKUKAN DISCLOSURE ANAK
DENGAN HIV
1. Disclosure pada Anak
Sebagian besar orang tua pengasuh (91,7%) belum
mengungkapkan status HIV anak kepada mereka dan sangat sedikit
pengasuh (8,3%) yang telah mendiskusikan sifat penyakit HIV dengan
anak. Orang tua pengasuh yang telah mengungkapkan status HIV
anak, mereka memulai proses disclosure tersebut sejak usia 3-5 tahun.
Beberapa pengasuh memikirkan tentang bagaimana dan kapan harus
mengungkapkan status HIV anaknya. Orang tua pengasuh juga
khawatir bagaimana mengelola isu-isu sensitif dan emosional yang
akan muncul setelah anak mengetahui status HIVnya (Rochat, 2008).
2. Disclosure kepada Saudara Kandung
Kekhawatiran orang tua pengasuh juga terjadi saat akan
mengungkapkan status HIV anak pada saudara kandung. Orang tua
khawatir anak mereka akan mengalami diskriminasi oleh saudaranya.
Banyak orang tua pengasuh yang tidak tahu waktu dan cara yang tepat
untuk mengungkapkan status HIV anak pada saudaranya dan bahasa atau
cerita apa yang bisa digunakan untuk memberi tahu kepada anak.
Beberapa orang tua pengasuh memiliki rasa bersalah karena telah
menularkan HIV kepada anaknya (Rochat, 2008). Data dari wawancara
pengasuh menunjukkan bahwa dalam konteks keluarga, dampak dari
memiliki saudara kandung yang tidak terinfeksi dan/atau tidak diobati
membutuhkan pertimbangan yang cermat. Pengasuh mengalami banyak
tantangan. Pengasuh melaporkan bahwa seringkali saudara yang tidak
terinfeksi merasa dikucilkan dan tidak mengerti mengapa mereka tidak
menerima perawatan juga (Rochat, 2008).
3. Disclosure kepada Keluarga
Sebagian besar pengasuh melaporkan telah mengungkapkan status
HIV anak kepada keluarga dekat mereka (95,8%), yaitu keluarga dengan
siapa mereka tinggal saat itu. Dalam kasus di mana tidak ada
pengungkapan keluarga, alasan yang disebutkan untuk pengungkapan
terbatas termasuk pengasuh yang takut bahwa anggota keluarga akan
melemparkan mereka atau anak mereka keluar di jalan atau
memperlakukan anak secara berbeda (Rochat, 2008).
4. Disclosure kepada Komunitas
Sangat sedikit pengasuh (18,8%) yang disclose status HIV anak
kepada komunitas yang lebih luas. Mereka yang mengungkapkannya
cenderung mengungkapkan terutama kepada tetangga, teman dekat,
kelompok ibadah, dan kelompok pendukung. Secara umum, pengasuh
sangat prihatin tentang stigma dan diskriminasi meskipun memiliki akses
ke pendidikan dan pengobatan. Untuk itu, sejauh ini, mereka memilih
untuk tidak mengungkapkan karena menghindari stigma dan diskriminasi
dan menegaskan keyakinan mereka bahwa non-disclosure akan
mengurangi risiko stigma (Rochat, 2008).
Beberapa pengasuh melaporkan setelah disclosure kepada anggota
komunitas, mereka tidak mengalami diskriminasi di masyarakat. Bagi
keluarga yang tidak melakukan disclosure kepada masyarakat, keluarga
tersebut mungkin tidak menerima dukungan masyarakat yang bisa tersedia
bagi mereka (Rochat, 2008).

STRATEGI DALAM TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) PADA ANAK


Anak dengan HIV yang menjalani terapi antiretroviral memiliki
beberapa pengalaman secara psikologis terkait dengan efek samping dan
keharusan kepatuhan 95% dalam pengobatan. Berikut ini adalah pengalaman
psikologis pasien HIV anak yang menjalani terapi antriretroviral (Rochat,
2008).
1. “Obat ARV adalah Mukjizat”
Sebagian besar orang tua pengasuh anak dengan HIV mengatakan
bahwa anak yang menjalani terapi antiretroviral merasakan efek yang
sangat baik daripada sebelum menjalani terapi ARV. Orang tua sangat
memandang positif terapi ARV ini dan mendukung untuk kepatuhan
terhadap pengobatan. Hal ini membantu mengurangi beban secara fisik
dan psikologis. Baik anak dan orang tua mendapatkan efek positif setelah
menjalani terapi ARV. Ketakutan dan mitos penyakit HIV yang
mematikan dapat dikikis dengan adanya terapi ARV ini. Kualitas hidup
anak dengan HIV juga meningkat setelah menjalani terapi ARV.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dengan HIV diharapkan dapat
berjalan seperti anak seusianya (Rochat, 2008).
2. “Efek samping ARV tidak terlalu sulit untuk diatasi” Sebagian besar orang
tua pengasuh (58%) menyatakan anak dapat menyesuaikan diri dengan
terapi ARV dengan mudah tanpa efek samping yang berarti. Hanya 29,2%
orang tua pengasuh yang melaporkan efek samping ringan dan 4,2% orang
tua melaporkan efek samping yang berat (Rochat, 2008).
Apabila didapatkan efek samping, tenaga medis harus mulai masuk
dan menyiapkan penerimaan terhadap efek samping. Pendekatan
psikologis dari psikolog atau psikiater untuk mendorong anak kembali
mau menerima pengobatan harus dilakukan agar anak mau memulai
kembali terapi ARV. Orang tua pengasuh melaporkan bahwa mereka
memiliki sedikit kesulitan untuk mendorong anak-anak untuk minum obat
dan memastikan kembali kepatuhan. Kelompok dengan usia anak yang
lebih kecil membutuhkan tiga orang pengasuh untuk mendukung dan
membantu anak untuk terapi dengan obat-obatan ARV (Rochat, 2008).
3. “Menjalani Pengobatan Satu-satunya Jalan untuk Hidup”
Menurut beberapa observasi terhadap pasien, orang tua
pengasuh dan anak dengan HIV memahami dengan baik manfaat dari
pengobatan sehingga sedikit sekali laporan tentang anak yang
menghindari atau menolak pengobatan. Obat dianggap sebagai
kenyataan yang harus dilakukan dan menjadi bagian rutinitas dari
kehidupan sehari-hari (Rochat, 2008).
Dalam mengusahakan pemberian dan kepatuhan obat ARV,
pengasuh menggunakan beberapa strategi agar anak dapat menerima
dan patuh. Orang tua meyakinkan bahwa obat yang diminum dapat
memberikan kenyamanan dan kesehatan bagi pasien. Anak juga
mengerti bahwa obat yang diberikan memberikan perbaikan bagi
kesehatannya dari pengalaman klinis yang dialami anak. Orang tua
dapat memakai strategi dengan menceritakan perbandingan anak saat
tidak meminum obat dan saat meminum obat dengan rutin.
Selanjutnya anak diajak untuk berpikir bersama manfaat apa yang
sudah didapat setelah meminum obat. Dengan strategi seperti ini,
diharapkan anak dengan kesadarannya sendiri, mau meminum obat
tanpa ada paksaan dari orang tua (Rochat, 2008).

DUKUNGAN PSIKOLOGIS
Dukungan psikologis sangat penting bagi proses pengobatan
dan keberhasilan terapi pada anak. Dukungan psikologis juga
diberikan agar anak mengerti dan dapat mengendalikan kondisinya.
Selain itu, anak dapat mengontrol dirinya dan tidak merasa didominasi
oleh tuntutan lingkungannya. Hal ini merupakan salah satu kunci
dalam mencapai kesejahteraan secara psikologis. Dukungan psikologis
kepada anak HIV dapat diberikan berupa bagaimana memberikan
pengertian dan mengkomunikasikan tentang kondisi HIV yang
dialami, bagaimana usaha anak supaya tetap dalam kondisi fisik yang
baik, juga memberikan informasi dan membantu dalam memutuskan
tindakan medis yang akan dilakukan. Intervensi psikologis juga
menilai kesiapan anak dalam kembali berinteraksi dan berpartisipasi
dalam masyarakat secara mandiri. Intervensi psikologis akan
meningkat hasil yang optimal baik untuk anak dengan HIV maupun
keluarganya (Melvin, 2014).
Bentuk dukungan psikologis untuk anak dengan infeksi HIV.
a. Mendengarkan. Orang tua pengasuh harus mendengarkan dengan
baik apa yang disampaikan anak baik secara langsung dengan
mengeluh atau melalui cerita yang dia sampaikan, melalui puisi,
dan hasil menggambar. Anak menceritakan pengalaman dan apa
yang dia rasakan. Mendengarkan mereka adalah salah satu cara
yang paling efektif mengidentifi kasi kebutuhannya untuk
kehidupan yang lebih baik.
b. Memastikan hak-hak anak terpenuhi. Hal yang penting tentang hak
anak tersebut adalah hak atas perlindungan terhadap eksploitasi dan
diskriminasi yang sangat penting untuk kesejahteraan dan
pertumbuhan seorang anak. Selain itu, dukungan psikososial adalah
aspek penting hak anak dan harus disertakan dalam program
holistik penanganan anak dengan HIV. Anak juga berhak untuk
dilibatkan dalam mengambil keputusan terkait dengan kondisi
mereka.
c. Ciptakan lingkungan yang baik untuk anak. Anak-anak mempunyai
dunianya sendiri. Lingkungan yang tidak mendukung disebabkan
karena stigma tentang HIV di masyarakat. Mengubah stigmatisasi
HIV/AIDS dapat dilakukan melalui penyuluhan dan diskusi kepada
masyarakat. Selain itu, edukasi kepada lingkungan terdekat seperti
di sekolah dan keluarga akan meningkatkan pemahaman tentang
HIV sehingga merek akan merespons secara positif. Dengan begitu,
baik lingkungan sekolah dan masyarakat akan memberikan empati,
cinta, dan bimbingan kepada anak dengan HIV.
d. Membiarkan anak-anak menjadi anak-anak. Hal ini dapat dilakukan
dengan membiarkan anak bermain dan belajar yang bersifat
petualangan. Cara ini dapat memberikan kesempatan bagi anak-
anak untuk memperkuat fi sik dan membuat bahagia. Selain itu,
mendengarkan anak dan memberikan anak kesempatan untuk
berbicara tentang perasaan dan pengalaman mereka kepada anak
lain memungkinkan mereka menyadari bahwa mereka tidak sendiri
dan membantu membangun kepercayaan diri.
e. Memberikan pendidikan dan konseling tentang HIV pada anakanak
baik secara individual, keluarga, dan kelompok. Pendidikan
HIV/AIDS sebagai bagian dari konseling bisa menjadi cara yang
efektif dalam pencegahan. Konseling mempersiapkan anak untuk
menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Konseling juga
memungkinkan anak-anak mengekspresikan perasaan mereka (Fox,
2001).

E. Referensi

Bulechek G.M., Howard K.b., Joanne M.D., Cheryl M.W.2013. Nursing


Intervention Classification (NIC). penerjemah Intansari Nurjannah dan
Roxsana Devi Tumanggor Edisi Keenam.Singapore:Elsevier.

Close KL. 2007. Psychosocial Aspects of HIV/AIDS: Children and Adolescents


dalam HIV Curriculum for the Health Professional. Texas: Baylor
College of Medicine. Fox S. 2001. Investing in Our Future Psychosocial
Support for Children Aff ected by HIV/AIDS. South Africa: UNAIDS.

Herman T.H and Komitsuru. S. 2014. Nanda Internasional Nursing


Diagnosis,. Definition and Clasification 2015-2017. EGC: Jakarta.

Kemenkes RI (2014). Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak.


http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-Penerapan-
Terapi-HIV-pada-Anak.pdf dibuka tanggal 20 Oktober 2016.

Mutumba M. 2014. Psychological Distress and Adherence to Anti-retro Viral


Treatment among HIV-infected Adolescents in Uganda. Michigan:
University of Michigan.

Moorhead S., Marion J., Meridean L.M., Elisabeth S.2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) penerjemah Intansari Nurjannah dan Roxsana
Devi Tumanggor Edisi Kelima.Singapore:Elsevier.

Riyawan,EY.(2013) Asuhan Keperawatan Anak dengn Kasus HIV IDS.


http://www.riyawan.com/2013/05/asuhan-keperawatan-anak-dengan-
kasus.html Di buka tanggal 10 Oktober 2016.

Rochat T, Mitchell C, and Richter L. 2008. Psychological, Social and


Development Needs of Babies and Young Children and Their Caregivers
Living with HIV and AIDS. South Africa: Department of Health.

Anda mungkin juga menyukai