Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

TEKNOLOGI BATUBARA
PENGOLAHAN BATUBARA

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5
KELAS : VA
NAMA :

1. RAPDO SAHALANA SILABAN 20 644 001


2. ERMA WATI SOLINA 20 644 004
3. SEKAR AFIFAH NUR HALIMAH 20 644 010
4. RINDY MAULIDDINA 20 644 019
5. AMELIA RISKI 20 644 047

S-1 TERAPAN TEKNOLOI KIMIA INDUSTRI


POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

Batubara merupakan sumber energi yang sangat penting bagi dunia.


Saat ini batu bara merupakan sumber energi terbesar ketiga yang digunakan di
berbagai negara, setelah minyak bumi dan gas bumi (Faradiba, 2022). Banyak
pembangkit listrik menggunakan batu bara karena harganya yang murah
dibandingkan sumber lainnya. Salah satu penghasil batubara terbesar di dunia
adalah Indonesia.
Produksi batu bara Indonesia tercatat sebanyak 15,15 eksajoule pada
2021. Berdasarkan laporan British Petroleum (BP), jumlah tersebut meningkat
8,9% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 13,91 eksajoule.  
Produksi batu bara Indonesia pun setara dengan 9% dari totalnya secara
global. Hal itu menjadikan produksi batu bara dalam negeri menjadi yang
terbesar kedua di dunia. Produksi batubara di Indonesia menunjukkan
peningkatan selama 20 tahun terakhir. Laporan BP Global Company
menunjukkan, produksi batu bara Indonesia mencapai 562,5 juta ton pada
2020. Jumlah ini naik 7,3 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.

Korea Selatan 3.04


Indonesia 3.28
Rusia 3.41
Afrika Selatan 3.53
Jepang 4.8
USA 10.57
India 20.09
China 86.17

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Eksajoule

Gambar 1. 8 Negara Produsen Batubara Terbesar di Dunia


Namun, besarnya jumlah produksi batubara di tanah air tidak
sebanding dengan pamanfaatannya. Sekitar 70-80% dari total produksi
batubara Indonesia di ekspor dan sisanya dijual di pasar domestik.
Berdasarkan laporan British Petroleum (BP), konsumsi batu bara secara
global sebesar 160,1 eksajoule sepanjang 2021. Jumlah tersebut meningkat
5,97% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 151,07 eksajoule.
Indonesia menempati urutan ketujuh dengan konsumsi batu bara sebanyak
3,28 eksajoule.

Korea Selatan 3.04


Indonesia 3.28
Rusia 3.41
Afrika Selatan 3.53
Jepang 4.8
USA 10.57
India 20.09
China 86.17

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Eksajoule

Gambar 2. Konsumsi Batu Bara Dunia

Sektor pembangkit listrik adalah konsumen batubara terbesar di


Indonesia. Peningkatan konsumsi batubara sangat signifikan di sektor
pembangkit listrik, yaitu dari 56 juta ton pada 2006 dan diperkirakan menjadi
123,2 ton pada 2025. Sementara Indonesia sendiri memiliki sumberdaya
batubara sebesar 149,009 miliar ton dan cadangan sebesar 37,604 miliar ton
(Badan Geologi pada tahun 2018).
Dengan jumlah sumber daya batubara yang melimpah seharusnya
pemanfaatan batubara sebagai sumber energi domestik dapat dilakukan
dengan lebih maksimal untuk menyokong kebutuhan sumber energi domestik
bukan hanya sebagai pembangkit listrik. Mengingat batubara memiliki sifat 
tak terbarukan dan dihasilkan dari proses geologi selama puluhan bahkan
ratusan juta tahun, maka sangatlah disayangkan apabila pemanfaatannya tidak
memiliki nilai tambah. Selain itu, pembakaran batubara untuk keperluan
pembangkit listrik juga menghasilkan “limbah padat berbahaya dan beracun”.
Pengembangan dan penelitian harus dilakukan terkait dengan penggunaan
batubara dan pemanfaatan limbah batubara, antara lain gas metana batubara
(coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan
(gasified coal), atau briket dan karbon aktif.

Gambar 3. Peta persebaran batubara di Indonesia (Badan Geologi, 2014)


BAB II
STUDI PUSTAKA (60 lembar)

2.1 Pengenalan Batubara


2.2.1 Definisi Batubara
Secara umum batubara didefinisikan sebagai batuan organic berwarna
gelap yang terbentuk dari jasad tumbuh-tumbuhan. Kandungan utama
batubara adalah atom karbon, hidrogen, dan oksigen.
Sukandarrumidi 1995 mengatakan bahwa batubara merupakan bahan
bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari proses penggambutan dan
pembatubaraan di dalam suatu cekungan (daerah rawa) dalam jangka waktu
geologis yang meliputi aktivitas bio-geokimia terhadap akumulasi flora di
alam yang mengandung selulosa dan lignin. Proses pembatubaraan juga
dibantu oleh factor tekanan (berhubungan dengan kedalaman), dan suhu
(berhubungan dengan pengurangan kadar air dalam batubara).
Batubara dapat didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terbentuk
dari dekomposisi tumpukan tanaman selama kira-kira 300 juta tahun.
Dekomposisi tanaman ini terjadi karena proses biologi dengan mikroba
dimana banyak oksigen dalam selulosa diubah menjadi karbondioksida (CO2)
dan air (H2O). Perubahan yang terjadi dalam kandungan bahan tersebut
disebabkan oleh adanya tekanan, pemanasan yang kemudian membentuk
lapisan tebal sebagai akibat pengaruh panas bumi dalam jangka waktu
berjuta-juta tahun, sehingga lapisan tersebut akhirnya memadat dan mengeras
(Mutasim, 2010).
Menurut Irwandy 2014, batubara dikenal juga sebagai “emas” hitam.
Masyarakat mengenalnya sebagai batu hitam yang bisa terbakar. Hal itu tidak
salah karena tampilan dilapangan menunjukkan perbedaan kontras antara
batubara dan batuan sekitarnya. Batubara didefinisikan oleh beberapa ahli dan
memiliki banyak pengertian di berbagai buku atau referensi. Di komunitas
industri, definisi ini lebih spesifik lagi, yaitu batuan yang pada tingkat kualitas
tertentu memiliki nilai ekonomi.
Elliot (1981) yang merupakan geokimia batubara, berpendapat bahwa
batubara merupakan batuan sedimen yang secara kimia dan fisika adalah
heterogen yang mengandung unsur-unsur karbon, hydrogen, serta oksigen
sebagai komponen unsur utama dan belerang serta nitrogen sebagai unsur
tambahan. Zat lain, yaitu senyawa anorganik pembentuk ash (debu),
tersebarsebagai partikel zat mineral yang terpisah di seluruh senyawa
batubara. Secara ringkas, batubara bisa didefinisikan sebagai batuan karbonat
berbentuk padat, rapuh, berwarna cokelat tua sampai hitam, dapat terbakar,
yang terjadi akibat perubahan tumbuhan secara kimia dan fisik.
Menurut Miller 2005, batubara ditemukan dalam endapan yang disebut
lapisan yang berasal dari akumulasi vegetasi yang telah mengalami perubahan
fisik dan kimia. Perubahan-perubahan ini termasuk pembusukan vegetasi,
pengendapan dan penguburan oleh sedimentasi, pemadatan, dan transformasi
sisa-sisa tanaman menjadi batuan organik yang ditemukan saat ini. Batubara
memiliki karakteristik yang berbeda-beda di seluruh dunia dalam jenis bahan
tanaman yang disimpan (jenis batubara), dalam tingkat metamorfisme atau
batu bara (peringkat batu bara), dan dalam kisaran kotoran yang termasuk
(kadar batu bara).

Gambar 4. Batu Bara


2.2.2 Jenis-jenis Batubara
Berdasarkan kualitasnya, batubara memiliki kelas (grade) yang secara
umum diklasifikasikan menjadi empat kelas utama menurut standar ASTM
(Kirk-Othmer, 1979) atau lima kelas jika dimasukkan peat atau gambut
sebagai jenis batubara yang paling muda (Larsen, 1978). Dalam hal ini kelas
batubara disertai dengan kriteria berdasarkan analisis proximate dan nilai
kalornya, juga kriteria berdasarkan analisis ultimate dan kandungan sulfur
total serta densitasnya. Masing- masing jenis batubara tersebut secara
berurutan memiliki perbandingan C : O dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit
merupakan batubara yang paling bernilai tinggi, dan lignit, yang paling
bernilai rendah.
1. Gambut/ Peat
Golongan ini sebenarnya termasuk jenis batubara, tapi merupakan bahan
bakar. Hal ini disebabkan karena masih merupakan fase awal dari proses
pembentukan batubara. Endapan ini masih memperlihatkan sifat awal
dari bahan dasarnya (tumbuh-tumbuhan).

Gambar 4. Batubara Peat


2. Lignit
Lignit sering disebut juga brown-coal, golongan ini sudah
memperlihatkan proses selanjutnya berupa struktur kekar dan gejala
pelapisan. Apabila dikeringkan, maka gas dan airnya akan keluar.
Endapan ini bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan yang
bersifat sederhana, karena panas yang dikeluarkan sangat rendah
sehingga seringkali digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit
listrik.

Gambar 5. Batubara Lignit


3. Subbituminous/ Bitumen Menengah
Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna yang kehitam-
hitaman dan sudah mengandung lilin. Endapan ini dapat digunakan untuk
pemanfaatan pembakaran yang cukup dengan temperatur yang tidak
terlalu tinggi. Subbituminous umum digunakan sebagai pembangkit
listrik tenaga uap. Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku
yang penting dalam pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri
kimia sintetis.

Gambar 6. Batubara Subbituminous


4. Bituminous
Bituminous merupakan mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat
tua, rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah prismatik
berlapis dan tidak mengeluarkan gas dan air bila dikeringkan sering
digunakan untuk kepentingan transportasi dan industri serta untuk
pembangkit listrik tenaga uap.

Gambar 7. Batubara Bituminous


5. Antrasit
Golongan ini berwarna hitam, keras, kilap tinggi, dan pecahannya
memperlihatkan pecahan chocoidal. Pada proses pembakaran
memperlihatkan warna biru dengan derajat pemanasan yang tinggi.
Digunakan untuk berbagai macam industri besar yang memerlukan
temperatur tinggi.

Gambar 8. Batubara Antrasit


Semakin tinggi kualitas batubara, maka kadar karbon akan meningkat,
sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Batubara bermutu rendah,
seperti lignite dan sub-bituminous, memiliki tingkat kelembaban (moisture)
yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga energinya juga rendah.
Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak,
serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun
akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga
kandungan 18 energinya juga semakin besar. Ada 3 macam klasifikasi yang
dikenal untuk dapat memperoleh beda variasi kelas / mutu dari batubara yaitu
(Miller, 2005) :
2.2.3 Pembentukan Batubara
Menurut Sukandarrumidi 2018, batubara terbentuk dari sisa-sisa
tumbuhan yang sudah mati, dengan komposisi terdiri dari cellulose. Proses
pembentukan batubara, dikenal sebagai proses pembatubaraan atau
coalification. Faktor fisika dan kimia yang ada di alam akan mengubah
cellulose menjadi lignit, subbitumina, bitumina, atau antrasit. Reaksi
pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai berikut:

5(C6H10O5)  C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O +6CO2 + CO

Gambar 9. Rumus Bangun Batubara


Keterangan
 Cellulosa (senyawa organik), merupakan senyawa pembentuk batubara
 Unsur C pada lignit jumlahnya relative lebih sedikit dibandingkan jumlah
unsur C pada bitumina, semakin banyak unsur C pada lignit, semakin baik
kualitasnya
 Unsur H pada lignit jumlahnya relative banyak dibandingkan jumlah unsur
H pada bitumina semakin banyak unsur H pada lignit, semakin rendah
kualitasnya
 Senyawa gas metan (CH4) pada lignit jumlahnya relative lebih sedikit
dibandingkan dengan pada bitumina, semakin banyak CH4 lignit semakin
baik kualitasnya
Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap, yaitu:
1. Tahap biokimia (penggambutan) adalah tahap ketika sisa-sisa tumbuhan
yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaeorobik)
didaerah rawa dengan sistem penisiran (drainage system) yang buruk dan
selalu tergenang air beberapa inci dari permukaan air rawa. Material
tumbuhan yang busuk tersebut melepaskan unsur H, N, O, dan C dalam
bentuk senyawa CO2, H2O dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya
oleh bakteri anaerobic dan fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi
gambut. (Stach, 1982, opcit. Susilawati 1992).
2. Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis
terhadap komponen organik dari gambut yang menimbulkan peningkatan
temperature dan tekanan sebagai gabungan proses biokimia, kimia dan
fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan sedimen yang
menutupinya dalam kurun waktu geologi. Pada tahap tersebut, persentase
karbon akan meningkat, sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan
berkurang sehingga menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat
maturitas material organiknya. (Susilawati 1992). Teori yang menerangkan
terjadinya batubara yaitu :
a. Teori In-situ
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya
terjadi dihutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan
tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa
tersebut dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan
secara sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang
membentuk sedimen organik.
b. Teori Drift
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
yang bukan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang
terbentuk biasanya terjadi di delta mempunyai ciri-ciri lapisannya
yaitu tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya
(multipleseam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi).
Proses pembentukan batubara dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 10. Proses Pembentukan Batubara Menjadi Jenis-jenis Batubara


2.2 Pengolahan Batubara
Tahapan-tahapan utama pengolahan bahan galian batubara dapat
ilihat pada diagram alir pada Gambar 11. Kegiatan pengolahan batubara
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Preparasi
2. Konsentrasi (peningkatan kadar)
3. Dewatering (pemisahan padatan dan cairan)
2.2.1 Kominusi
Kominusi atau pengecilan ukuran merupakan tahap awal dalam
pengolahan bahan galian. Tujuan dilakukannya kominusi yaitu :
a. Membebaskan / meliberasi mineral berharga dari material pengotornya.
b. Menghasilkan ukuran dan bentuk material/mineral yang sesuai dengan
untuk proses selanjutnya.
c. Memperluas permukaan partikel agar dapat mempercepat kontak dengan
zat lain, misalnya reagen pada proses flotasi.
Kominusi ada 2 (dua) macam yaitu :
a. Peremukan / pemecahan (crushing)
b. Penggerusan / penghalusan (grinding)
Proses pada kominusi terdiri dari beberapa tahap yaitu :
- Tahap pertama / primer (primary stage)
- Tahap kedua / sekunder (secondary stage)
- Tahap ketiga / tersier (tertiary stage)
- Kadang-kadang ada tahap keempat / kuarter (quaternary stage),
sesuai dengan kebutuhan proses material.
2.2.1.1 Peremukan/Pemecahan (Crushing)
Peremukan adalah proses reduksi ukuran bahan galian / bijih (boulder
dengan ukuran > 30 cm) yang berasal langsung dari tambang (ROM = run of
mine) menjadi ukuran yang lebih kecil bahkan bisa sampai ukuran 2,5 cm.
Peralatan yang digunakan pada kegiatan peremukan antara lain :
a. Jaw crusher
b. Gyratory crusher
c. Cone crusher
d. Roll crusher
e. Impact crusher
f. Rotary breaker
g. Hammer mill
2.2.1.2 Penggerusan/Penghalusan (Grinding)
Penggerusan adalah proses pengecilan ukuran butiran mineral dari
yang berukuran 2,5 cm menjadi ukuran yang lebih halus.
Berdasarkan media yang digunakan, penggerusan bahan galian dibagi 4
yaitu :
a. Ball mill dengan media penggerus berupa bola-bola baja atau keramik.
b. Rod mill dengan media penggerus berupa batang-batang baja.
c. Semi autogenous mill (SAG) bila media penggerusnya berupa bola-bola
baja dan bahan galian nya sendiri.
d. Autogenous mill bila media penggerusnya adalah bahan galiannya sendiri.
2.2.1.3 Pemisahan Berdasarkan Ukuran (Sizing)
Setelah bahan galian atau bijih diremuk dan digerus, akan dihasilkan
bermacammacam ukuran material. Material tersebut harus dipisahkan
berdasarkan ukuran partikel agar sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan pada
proses pengolahan yang berikutnya.
Pengayakan/Penyaringan (Screening/Sieving)
Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan material
secara mekanik berdasarkan perbedaan ukurannya. Pengayakan (screening)
umumnya dipakai dalam skala industri, sedangkan penyaringan (sieving)
dipakai untuk skala laboratorium.
Produk dari proses pengayakan/penyaringan ada 2 (dua), yaitu :
- Oversize : ukuran material lebih besar daripada ukuran lubang-lubang
ayakan.
- Undersize : Ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-lubang
ayakan.
Saringan (sieve) yang sering dipakai di laboratorium adalah :
a. Hand sieve
b. Vibrating sieve series / Tyler vibrating sive
c. Sieve shaker / rotap
d. Wet and dry sieving
Sedangkan ayakan (screen) yang berskala industri antara lain :
a. Stationary grizzly
b. Roll grizzly
c. Sieve bend
d. Revolving screen
e. Vibrating screen (single deck, double deck, triple deck, etc.)
f. Shaking screen
g. Rotary shifter
2.2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi adalah proses pemisahan partikel berdasarkan kecepatan
pengendapannya dalam suatu media (udara atau air). Klasifikasi dilakukan
dalam suatu alat yang disebut classifier.
Produk hasil proses klasifikasi ada 2 (dua) yaitu :
- Produk yang berukuran kecil/halus (slimes) mengalir di bagian atas
disebut overflow.
- Produk yang berukuran lebih besar/kasar (sand) mengendap di bagian
bawah (dasar) disebut underflow.
Proses pemisahan dalam classifier dapat terjadi dalam tiga cara (concept)
yaitu :
a. Partition concept
b. Tapping concept
c. Rein concept
Hal ini dapat berlangsung apabila sejumlah partikel dengan
bermacam-macam ukuran jatuh bebas di dalam suatu media atau fluida (udara
atau air), maka setiap partikel akan menerima gaya berat dan gaya gesek dari
media. Pada saat kecepatan gerak partikel menjadi rendah (tenang/laminer),
ukuran partikel yang besar-besar mengendapmlebih dahulu, kemudian diikuti
oleh ukuran-ukuran yang lebih kecil, sedang yang terhalus (antara lain slimes)
akan tidak sempat mengendap.
Peralatan yang umum dipakai dalam proses klasifikasi adalah :
a. Scrubber
b. Log washer
c. Sloping tank classifier (rake, spiral & drag)
d. Hydraulic bowl classifier
e. Hydraulic clindrical tank classifier
f. Hydraulic cone classifier
g. Counter current classifier
h. Pocket classifier
i. Hydrocyclone
j. Air separator
k. Solid bowl centrifuge
l. Elutriator
2.2.2 Konsentrasi
Bahan galian yang mutu atau kadarnya rendah (marginal) agar dapat
diolah lebih lanjut atau diekstrak logamnya, maka kadar bahan galian itu
harus ditingkatkan. Peningkatan kadar bahan galian dikenal dengan proses
konsentrasi. Sifat-sifat fisik mineral yang dapat dimanfaatkan dalam proses
konsentrasi yaitu :
- berat jenis, pemisahan mineral berdsarkan perbedaan berat jenis mineral.
- sifat kondutivitas, pemisahan mineral berdasarkan sifat kelistrikan.
- sifat kemagnetan, pemisahan mineral berdasarkan sifat magnetic.
- Perbedaan sifat permukaan partikel, pemisahan secara proses flotasi.
Proses peningkatan kadar itu ada bermacam-macam antara lain :
a. Pemilahan (Hand Sorting)
Bila ukuran material cukup besar, maka pemisahan mineral berharga dari
pengotornya dapat dilakukan secara manual dengan tangan.
b. Konsentrasi Gravitasi (Gravity Concentration)
Pemisahan mineral berdasarkan perbedaan berat jenis didalam suatu media
fluida. Memanfaatkan perbedaan kecepatan pengendapan mineral-mineral
didalam fuida karena perbedaan berat jenis dari setiap mineral.
Ada 3 (tiga) cara pemisahan mineral secara gravitasi bila dilihat dari segi
gerakann fluidanya, yaitu :
- Fluida tenang, contoh dense medium separation (DMS) atau heavy
medium separation (HMS).
- Aliran fluida horisontal, contoh sluice box, shaking table dan spiral
concentration.
- Aliran fluida vertikal, contoh jengkek (jig).
Bila jumlah partikel (mineral) di dalam fluida relatif sedikit, maka akan
terjadi pengendapan bebas (free settling). Bila jumlah partikelnya banyak,
maka gerakannya akan terhambat sehingga terbentuk stratifikasi yang
terdiri dari 3 (tiga) tahap sebagai berikut :
a. Hindered settling classification ; klasifikasi pengendapannya terhalang
b. Differential acceleration pada awal pengendapan : artinya partikel
yang berat mengendap lebih dahulu.
c. Consolidation trickling pada akhir pengendapan : partikel-partikel
kecil berusaha mengatur diri di antara partikel-partikel besar sesuai
dengan berat jenisnya.
Produk dari proses konsentrasi gravitasi ada 3 (tiga), yaitu :
- Konsentrat (concentrate), kumpulan mineral berharga dengan kadar
tinggi/ memenuhi syarat untuk proses selanjutnya.
- Amang (middling) yaitu konsentrat yang kadarnya belum memenuhi
syarat.
- Ampas (tailing) yaitu mineral-mineral pengotor belum dapat
dimanfaatkan karena faktor teknologi dan ekonomi saat ini.
Peralatan konsentrasi gravitasi yang banyak dipakai adalah :
a. Jengkek (jig)
b. Meja goyang (shaking table).
c. Konsentrator spiral (Humprey spiral concentrator).
d. Palong / sakan (sluice box).
e. Air Table (Meja Angin)
c. Konsentrasi dengan Media Berat (Dense/Heavy Medium Separation)
Merupakan proses konsentrasi yang bertujuan untuk memisahkan
mineralmineral berharga dari pengotornya dengan menggunakan medium
pemisah yang berat jenisnya lebih besar dari air (berat jenisnya > 1).
Biasanya berat jenis mineral berharga lebih besar dibandingkan berat jenis
pengotornya. Produk dari proses konsentrasi ini adalah :
- Endapan (sink) yang terdiri dari mineral-mineral berharga yang berat.
- Apungan (float) yang terdiri dari mineral-mineral pengotor yang
ringan.
Media pemisah yang pernah dipakai antara lain :
- Air + magnetit halus dengan kerapatan 1,25 - 2,20 ton/m3.
- Air + ferrosilikon dengan kerapatan 2,90 - 3,40 ton/m3.
- Air + magnetit + ferrosilikon dengan kerapatan 2,20 - 2,90.
- Larutan berat seperti : tetra bromo ethana (b.j. = 2,96), bromoform (b.j.
= 2,85) methylene jodida (b.j. = 3,32).
Tetapi larutan berat ini harganya mahal, oleh sebab itu hanya dipakai
untuk percobaanpercobaan di laboratorium. Peralatan yang biasa dipakai
adalah gravity dense/heavy medium separators yang berdasarkan
bentuknya ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Drum separator karena bentuknya silindris.
b. Cone separator karena bentuknya seperti corongan.
d. Pemisahan berdasarkan sifat Kelistrikan (Electrostatic Separation)
Merupakan proses konsentrasi dengan memanfaatkan perbedaan sifat
kelistrikan mineral. Mineral yang dihasilkan dari proses konsentrasi ini
terbagi menjadi mineral yang bersifat konduktor (mudah menghantarkan
arus listrik) dan nonkonduktor. Peralatan yang digunakan untuk pemisahan
berdasarkan sifat kelistrikan adalah :
a. Electrodynamic separator (high tension separator).
b. Electrostatic separator yang terdiri dari :
- plate electrostatic separator
- screen electrostatic separator
Kendala yang dihadapi pada proses konsentrasi ini adalah :
- Mineral harus dipanaskan terlebih dahulu (temperatur yang dibutuhkan
yaitu antara 700C -1200C) agar sifat kelistrikannya keluar. Bila
temperatur tidak tercapai maka akan kesulitan diproses secara
Electrostatic Separator.
- Ukuran material yang diproses yaitu 75 – 250 microns atau 60 – 200
dan sebaiknya dilakukan sizing untuk memperoleh hasil yang
maksimal.
- Proses konsentrasi dilakukan dengan jumlah umpan yang tidak terlalu
besar.
- Mineral yang diproses harus kering, maka timbul masalah debu pada
saat proses.
e. Pemisahan berdasarkan sifat Kemagnetan (Magnetic Separation)
Proses konsentrasi dengan memanfaatkan sifat kemagnetan (magnetic
susceptibility) yang dimiliki atau terkandung pada tiap mineral. (Lampiran
B) Sifat kemagnetan bahan galian ada 3 (tiga) macam yaitu :
- Ferromagnetic, yaitu bahan galian (mineral) yang sangat kuat untuk
ditarik oleh medan magnet.
Contoh : magnetit (Fe3O4).
- Paramagnetic, yaitu bahan galian yang dapat tertarik oleh medan
magnet. Contoh : hematit (Fe2 O3), ilmenit (Se Ti O3), xenotime
(YPO4) dan pyrhite (FeS2).
- Diamagnetic, yaitu bahan galian yang tak tertarik oleh medan magnet.
Contoh : kwarsa (SiO2), Cassiterite (SNO2) dan mineral feldspar [(Na,
K, Al) Si3 O8] .
Proses Magnetic Separation mineral yang dilakukan menghasilkan produk
yaitu :
- Mineral-mineral non-magnetik sebagai konsentrat, karena
mengandung mineral cassiterite sebagai mineral utama timah, zircon,
pyrite, anatase dan lain-lain.
- Mineral-mineral magnetik sebagai ampas (tailing), tetapi masih
mengandung mineral ikutan timah yang terdiri dari ilmenite, monazite,
xenotime, siderite, magnetite dan lain-lain.
Peralatan yang dipakai disebut magnetic separator yang terdiri dari :
a. Induced roll dry magnetic separator.
b. Wet drum low intensity magnetic separator yang arah aliran dapat :
- concurrent
- countercurrent
- counter rotation
c. berdasarkan letak magnetnya :
- Suspended magnets
- Suspended magnets with continuous removal
- Cobbing drum
f. Konsentrasi Secara Flotasi (Flotation Concentration)
Merupakan proses konsentrasi berdasarkan sifat “senang terhadap udara”
atau “takut terhadap air” (hydrophobic). Pada umumnya mineral-mineral
oksida dan sulfide akan tenggelam bila dicelupkan ke dalam air, karena
permukaan mineral-mineral itu bersifat “suka akan air” (hydrophilic) tetapi
beberapa mineral sulfida seperti Calcophyrite (CuFeS2), Galena (Pb S),
dan Stalerit (ZnS) mudah diubah sifat permukaannya dari suka air menjadi
suka udara dengan menambahkan reagen yang terdiri dari senyawa
hidrokarbon. Sejumlah reagen kimia yang sering digunakan dalam proses
flotasi adalah :
a. Pembuih (frother) yang berfungsi sebagai pengstabil gelembung-
gelembung udara. Contoh : methyl isobuthyl carbinol (MIBC), minyak
pinus, dan terpentin.
b. Kolektor / pengumpul (collector) yang bisa mengubah sifat permukaan
mineral yang semula suka air menjadi suka udara. Contoh : xanthate,
thiocarbonilid, asam oleik, dll.
c. Penekan / pencegah (depresant) yang berguna untuk mencegah agar
mineral pengotor tidak ikut menempel pada udara dan ikut terapung.
Contoh : ZnSO4 untuk menekan Zn S.
d. Pengatur keasaman (pH regulator) yang berfungsi untuk mengatur
tingkat keasaman proses flotasi. Contoh : HCl, HNO3, Ca (OH)3,
NH4OH, dll.
Produk flotasi yang dihasilkan pada pengolahan mineral di PT Timah ada
3 (tiga) macam yaitu :
- Ampas (tailing), berupa mineral-mineral yang ikut terapung (mineral-
mineral apungan) dengan gelembung-gelembung udara, seperti
calcophyrite, phyrite dan marcasite.
- Amang (middling), berupa mineral - mineral apungan yang masih
mengandung banyak mineral-mineral pengotor.
- Konsentrat, berupa mineral tenggelam yang terdiri dari mineral
cassiterite dan mineral ikutan timah lainnya.
Peralatan yang biasa dipakai adalah :
a. Mechanical flotation, terdiri dari berbagai variasi antara lain :
- Agitair cell
- Denver cell
- Krupp cell
- Outokumpu cell
- Wemco-Fagregren cell
b. Pneumatic flotation, terdiri dari variasi :
- Column cell
- Cyclo cell
- Davcra cell
- Flotaire cell
2.2.3 Dewatering
Bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang ada pada konsentrat
yang diperoleh dari proses basah, misalnya proses konsentrasi gravitasi dan
flotasi. Kegiatan proses dewatering terdiri dari 3 (tiga) yaitu :
2.2.3.1 Cara Pengentalan / Pemekatan (Thickening)
Konsentrat yang berupa lumpur dimasukkan ke dalam bejana bulat.
Bagian yang pekat mengendap ke bawah disebut underflow, sedangkan
bagian yang encer atau airnya mengalir di bagian atas disebut overflow.
Kedua produk itu dikeluarkan secara terus menerus (continuous).
Peralatan yang biasa dipakai adalah :
a. Rake thickener.
b. Deep cone thickener.
c. Free flow thickener.
2.2.3.2 Cara Penapisan (Filtration)
Dengan cara pengentalan kadar airnya yang masih cukup tinggi, maka
bagian yang pekat dari pengentalan dimasukkan ke penapis yang disertai
dengan pengisapan, sehingga jumlah air yang terisap akan banyak. Dengan
demikian akan dapat dipisahkan padatan dari airnya.
Peralatan yang dipakai adalah :
a. Vacuum (suction) filters yang terdiri dari :
- intermitten, misalnya Moore leaf filter.
- Continuous ada beberapa tipe, yaitu :
* bentuk silindris / tromol (drum type), contoh : Oliver filter, Dorrco filter.
* bentuk cakram (disk type) berputar, contoh : American filter.
* bentuk lembaran berputar (revolving leaf type), contoh : Oliver filter.
* bentuk meja (desk type), contoh : Caldecott sand table filter.
b. Pressure filter, misalnya :
- Merrill plate and frame filter
- Kelly pressure filter
- Burt revolving filter
2.2.3.3 Pengeringan (Drying)
Proses membuang seluruh kandungan air dari padatan yang berasal
dari konsentrat dengan cara penguapan (evaporization/evaporation).
Peralatan atau cara yang dipakai ada bermacam-macam, yaitu :
a. Hearth type drying/air dried/air baked, yaitu pengeringan yang dilakukan
di atas lantai oleh sinar matahari dan harus sering diaduk (dibolak-balik).
b. Shaft drier, ada dua macam, yaitu :
- tower drier, material (mineral) yang basah dijatuhkan di dalam saluran
silindris vertikal yang dialiri udara panas (80o C - 100oC).
- rotary drier, material yang basah dialirkan ke dalam silinder panjang
yang diputar pada posisi agak miring dan dialiri udara panas yang
berlawanan arah.
c. Film type drier (atmospheric drum drier), silinder baja yang di dalamnya
dialiri uap air (steam). Methode ini jarang dipakai.
d. Spray drier, material halus yang basah dan disemburkan ke dalam ruangan
panas, material yang kering akan terkumpul di bagian bawah ruangan.
Methode ini juga jarang dipakai.

2.3 Teknologi Pengolahan Batubara


2.3.1 Karbonisasi
Karbonisasi merupakan proses pemanasan dengan residu yang
kaya akan karbon (arang atau kokas) yang dihasilkan oleh dekomposisi
termal, dengan pembuangan secara simultan zat-zat terbang secara
distilasi destruktif. Selama reaksi karbonisasi, tanpa penambahan zat-
zat kimia, tiga tahapan berupa pelembutan (softening), pembengkakan
(swelling), dan pengerasan (stiffening), dapat menentukan sifat-sifat
produk akhir (Cook dan Wilson, 1969; Cook, 1982; Stach dkk., 1982;
Suàrez-Ruiz dan Crelling, 2008; Daulay dkk., 2010a; Miller, 2011).
Proses pembuatan arang aktif dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah proses karbonisasi bahan baku dalam kiln drum
untuk menghasilkan arang. Tahap kedua adalah proses aktivasi arang
menggunakan retort dan steam boiler untuk menghilangkan
hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga meningkatkan
porositas arang. Pada kedua proses tersebut terjadi tahap-tahap sebagai
berikut:
a. Dehidrasi yaitu proses penghilangan air, yaitu dengan pemanasan
sampai temperatur 170°C.
b. Karbonisasi yaitu proses penguraian selulosa organik menjadi unsur
karbon, serta mengeluarkan senyawa-senyawa non karbon.
Pembakaran bahan baku menggunakan udara terbatas dengan
temperatur antara 300 sampai 900o C. Proses ini menyebabkan
terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur
bahan membentuk metanol, uap asam asetat, tar, dan hidrokarbon.
Material padat yang tertinggal setelah proses karbonisasi adalah
karbon dalam bentuk arang dengan permukaan spesifik yang sempit.
c. Aktivasi yaitu proses pembentukan dan penyusunan karbon
sehingga pori- pori menjadi lebih besar. Arang yang dihasilkan
melalui proses karbonisasi bahan baku, sebahagian besar pori-
porinya masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan komponen lain,
seperti abu, air, nitrogen, dan sulfur, sehingga keaktifannya atau
daya serapnya rendah. Untuk meningkatkan daya serap arang, maka
bahan tersebut dapat diubah menjadi arang aktif melalui proses
aktivasi. Pada prinsipnya arang aktif dapat dibuat dengan dua cara,
yaitu cara kimia dan cara fisika. Mutu arang aktif yang dihasilkan
sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif,
suhu dan cara pengaktifannya.
a. Aktivasi cara kimia
Aktivasi cara kimia pada prinsipnya adalah perendaman
arang dengan senyawa kimia sebelum dipanaskan. Pada proses
pengaktifan secara kimia, arang direndam dalam larutan
pengaktifasi selama 24 jam, lalu ditiriskan dan dipanaskan pada
suhu 600- 900 °C selama 1 - 2 jam. Pada suhu tinggi bahan
pengaktif akan masuk di antara selasela lapisan heksagonal dan
selanjutnya membuka permukaan yang tertutup. Bahan kimia
yang dapat digunakan yaitu H 3PO4, NH4Cl, AlCl3, HNO3, KOH,
NaOH, KMnO4, SO3, H2SO4 dan K2S (Kienle, 1986).
Pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering
mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan.
Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa berupa oksida yang
tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu,
dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan dengan HCl
untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel
pada permukaan arang aktif dan kandungan abu yang terdapat
dalam arang aktif.

b. Aktivasi cara fisika


Aktivasi arang secara fisika menggunakan oksidator
lemah, misalnya uap air, gas CO2, N2, O2 dan gas pengoksidasi
lainnya. Oleh karena itu, pada proses ini tidak terjadi oksidasi
terhadap atom-atom karbon penyusun arang, akan tetapi
oksidator tersebut hanya mengoksidasi komponen yang
menutupi permukaan pori arang. Prinsip aktivasi ini dimulai
dengan mengaliri gas-gas ringan, seperti uap air, CO 2, atau
udara ke dalam retort yang berisi arang dan dipanaskan pada
suhu 800-1000 °C. Pada suhu di bawah 800 °C, proses aktivasi
dengan uap air atau gas CO2 berlangsung sangat lambat,
sedangkan pada suhu di atas 1000 °C, akan menyebabkan
kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang (Manocha, 2003).

Produk-produk karbonisasi terbagi atas arang dan kokas


berdasarkan pada struktur-struktur fisik, terutama struktur molekul.
Arang yang terbentuk oleh batu bara asalnya (khususnya batu bara
peringkat rendah) memperlihatkan tidak adanya viskositas selama
karbonisasi. Walaupun demikian, apabila batu bara melunak, melebur,
dan mengeras kembali selama dekomposisi, hal ini akan mengakibatkan
struktur vesikuler kokas terbentuk (Daulay dkk., 2010a).
Gas, amonia, ter, dan minyak ringan dihasilkan sebagai zat
terbang yang bervariasi dengan peringkat batu bara, jenis batu bara,
kandungan mineral dan kondisi karbonisasi seperti temperatur, tingkat
pemanasan dan sebagainya. Reaksi karbonisasi batu bara umumnya
terkait dengan reaksi-reaksi temperatur rendah (500–700°C),
temperatur menengah (700–900°C) dan temperatur tinggi (900–
1.050°C), seperti dilaporkan oleh Jasienko (1978), Elliot (1981), Stach
dkk. (1982), Suàrez-Ruiz dan Crelling (2008), Daulay dkk. (2010a) dan
Miller (2011).
Karbonisasi temperatur rendah dikembangkan terutama sebagai
proses untuk menyiapkan produk bahan bakar padat tanpa asap
(devolatilisasi) bagi konsumsi domestik dan boiler industri. Elliot
(1981) dan Tsai (1982) menyatakan bahwa struktur pori-pori yang
sangat kecil dari batu bara asal tetap bertahan secara substantif di dalam
arang sampai pirolisis dilakukan antara 650°C dan 700°C. Dengan
demikian, arang yang dihasilkan pada karbonisasi temperatur rendah
secara substantif bersifat reaktif seperti batu bara asalnya. Dengan
pemanasan yang dilanjutkan hingga 700°C, arang temperatur rendah
kehilangan reaktivitasnya melalui devolatilisasi dan mengalami
penurunan dalam porositasnya. Karbonisasi temperatur tinggi
dilakukan untuk memproduksi kokas. Kokas ini dipanaskan selama
beberapa jam dalam oven, tanpa udara, pada temperatur sekitar 1.000°C
untuk membuang komponen-komponen zat terbang dengan cara
distilasi destruktif berupa bentuk dekomposisi pirolitik (Daulay dkk.,
2010a). Kokas metalurgis dipakai terutama dalam tungku ledak
pembuatan besi (Daulay dkk., 2010a) sebagai.
1) sumber energi
2) agen pereduksi kimia, khususnya setelah pembakaran parsial ke
CO, dan
3) pemberi permeabilitas di dalam tungku dan mendukung beban
tungku.
Karbonisasi batu bara melibatkan interaksi sifat-sifat kimia dan
fisika batu bara. Faktor-faktor penting yang mengontrol kecocokan batu
bara untuk pembuatan kokas terkait dengan sifat-sifat tersebut yang
berdampak pada karakteristik kekuatan kokas.
Kekuatan kokas bisa dikaji dengan pengujian empiris dan yang
umumnya digunakan berupa pengujian ukuran kecenderungan kokas
yang pecah sepanjang retakan-retakan utama dan kemampuan kokas
menahan goresan (Daulay dkk., 2010a). Prediksi stabilitas kokas secara
luas dikaitkan dengan peringkat batu bara (reflektansi vitrinit, nilai
kalori, karbon tertambat, dan parameter peringkat lainnya) dan jenis
batu bara (komposisi maseral dan litotipe).
Peringkat batu bara sangat berpengaruh terhadap temperatur
fluiditas minimum dan maksimum serta resolidifikasi. Sifat-sifat ini
terkait langsung dengan dekomposisi termal batu bara. Dengan
demikian, hal ini ditentukan oleh lebih komposisi maseral daripada
struktur kimia batu bara. Fluiditas efektif batu bara sangat terkait
dengan kandungan vitrinit. Liptinit keadaannya sangat cair tetapi
bersifat mudah menyuling cairan. Inertinit memiliki sifat fluiditas
rendah.
Batu bara yang secara normal digunakan dalam proses
karbonisasi temperatur rendah adalah batu bara peringkat rendah,
berkisar dari lignit hingga batu bara bituminus zat terbang tinggi
dengan reflektansi vitrinit < 1,0 % (Berkowitz, 1979). Batu bara
peringkat rendah saat dipirolisis pada temperatur 600°C ke 700°C
menghasilkan arang-arang keropos atau semikokas tanpa asap dan
reaktif seperti batu bara asalnya. Sekalipun demikian, batu bara
peringkat rendah dapat dibuat briket dan dikarbonisasi pada temperatur
900°C hingga 1.000°C untuk menghasilkan kokas. Arang yang
dihasilkan juga bergantung pada jenis batu bara. Arang yang berasal
dari inertinit sedikit lebih keropos daripada arang yang berasal dari
vitrinit tetapi perbedaan ini berkurang seiring dengan peningkatan
peringkatnya.
Batu bara yang digunakan dalam proses karbonisasi temperatur
tinggi adalah batu bara peringkat tinggi, berkisar dari bituminus zat
terbang menengah hingga bituminus zat terbang tinggi dengan nilai
reflektansi dari 1,00% sampai 1,40% (Berkowitz, 1979). Batu bara
berperingkat lebih rendah dan lebih tinggi bisa dicampur untuk
meminimalkan biaya dan memaksimalkan kualitas.
Berkaitan dengan proses karbonisasi, maseral-maseral batu bara
terbagi menjadi maseral reaktif (binder) dan lembam (filler),
bergantung pada sifat-sifat selama karbonisasi. Maseral reaktif melunak
pada proses pemanasan, menjadi plastis, berperan sebagai pengikat
yang menghasilkan beragam residu kokas dan produk-produk
sampingan. Hal ini bergantung pada peringkat batu bara dan tipe khas
maseral. Maseral reaktif tersebut adalah vitrinit, liptinit, dan beberapa
semifusinit (Daulay dkk., 2010a).
Maseral lembam mengalami degasifikasi tetapi hampir tetap
stabil secara struktural selama karbonisasi. Maseral lembam ini
mencakup semua maseral inertinit, kecuali untuk semifusinit reaktif
(Daulay dkk., 2010a).
Metode sederhana yang memperlihatkan hubungan antara
kekuatan kokas, peringkat batu bara, dan jenis batu bara dilakukan oleh
Cook dan Edwards (1971). Mereka memperlihatkan konturkontur
kekuatan kokas dalam plot orthogonal dengan kandungan reflektansi
vitrinit dan kandungan vitrinit sebagai sumbu-sumbunya. Namun
sangat disayangkan bahwa kisaran peringkat batu bara yang dilakukan
dalam penelitian ini sangat terbatas.
Metode lain yang dilakukan oleh Schapiro dan Gray (1964)
menggunakan kisaran batu bara yang besar tetapi sangat sedikit
variasinya. Metode ini sangat luas pemakaiannya tetapi mendapatkan
kritikan keras dari Brown dkk. (1964).
Batu bara kokas terbagi atas:
a. batu bara kokas peringkat rendah, meliputi batu bara dengan
peringkat <bituminous A zat terbang tinggi;
b. batu bara kokas peringkat menengah, meliputi bituminous zat A
terbang tinggi ke bituminous zat terbang menengah; dan
c. batu bara kokas peringkat tinggi, meliputi bituminous zat terbang
menengah dan bituminous zat terbang rendah.
2.3.2 Gasifikasi Batubara
Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) adalah sistem
tenaga termal generasi mendatang dengan efisiensi pembangkit listrik
yang ditingkatkan secara signifikan dan kinerja lingkungan karena
kombinasi dengan gasifikasi batu bara dan sistem Gas Turbine
Combined Cycle (GTCC). Sistem IGCC tipe besar dapat meningkatkan
efisiensi pembangkit listrik sekitar 15% dan mengurangi CO2
dibandingkan dengan sistem tenaga panas berbahan bakar batu bara
konvensional (Harkin et al., 2011).
Gambar 2. Skema alir proses IGCC (Harkin et al., 2011)

Ada dua jenis teknologi IGCC yang sedang dikembangkan


yaitu Air-Blown IGCC dan Oxygenblown IGCC.
1) Air Blown IGCC
Sistem Air blown IGCC (ABI) menggunakan udara untuk proses
gasifikasi batubara. Pertama batubara diolah menjadi gas batubara
di gasifier, dimana udara digunakan sebagai agen gasifikasi. Gas
batubara menjalani proses desulfurisasi dan dedusting di unit
pembersihan gas untuk memenuhi standar bahan bakar gas turbin
dan gas buang. Gas bersih disuplai ke fasilitas siklus gabungan
turbin gas (GTCC) (Gräbner et al., 2010).
Gambar 3. Skema Air Blown IGCC (ABI) (Gräbner et al., 2010)

Gas Turbine Combined Cycle (GTCC) membakar gas bersih


sebagai bahan bakar untuk memutar gas turbin untuk pembangkit
listrik. Panas dari gas buang dimanfaatkan lagi di Heat Recovery
Steam Generator (HRSG) dengan menukar panas dengan air dan
uap yang dihasilkan menggerakkan turbin uap untuk pembangkit
listrik tambahan. Ditempatkan ke hilir dari gasifier, penukar panas
mendinginkan gas batubara panas. Pada saat yang sama uap
dihasilkan. Gasifier digabungkan ke dalam HRSG dan digunakan
untuk pembangkit listrik dengan turbin uap. Modifikasi semakin
meningkatkan efisiensi pembangkit listrik. ABI menyebabkan
reaksi antara batubara yang disuplai dengan agen gasifikasi untuk
menghasilkan gas mudah terbakar bersuhu tinggi yang utamanya
terdiri dari karbon monoksida (CO) dan hidrogen (H2) (Gambar
4). Gasifier memiliki struktur dua ruang dua tingkat, yang terdiri
dari ruang bakar di tingkat bawah (pertama) dan reduktor di
tingkat atas (kedua). Mengamankan jumlah kalori dari gas batu
bara gasifikasi diperlukan untuk pengoperasian turbin gas, gasifier
melelehkan abu dan membuangnya dengan lancar. Oleh karena itu,
gasifier memainkan dua peran berbeda pada saat bersamaan
(Harkin et al., 2011).

Gambar 4. Mekanisme dari Air Blown IGCC (ABI) (Gräbner et al., 2010)

2) Oxygen Blown IGCC (OBI)


Oxygen blown IGCC (OBI) didasarkan pada single-chamber, two-
stage, swirl-flow entrainedbed yang dilengkapi dengan pembakar
di tingkat atas dan bawah dari tungku silinder (Tanno & Makino,
2018). Rasio oksigen / batubara yang sesuai dapat dialokasikan ke
tahap atas dan bawah untuk menyesuaikan tahap yang lebih rendah
dengan suhu yang diperlukan untuk abu leleh dan tahap atas
dengan kondisi untuk reaksi gasifikasi yang efisien sesuai dengan
jenis batubara yang digunakan. Selain itu, swirl flow dapat
dihasilkan dalam gasifier untuk memungkinkan waktu tinggal
partikel batubara dan menekan dispersi arang.
Gambar 5. Konfigurasi Oxygen blown IGCC (OBI) (Tanno & Makino,
2018)
Langkah-langkah pada (OBI):
1) Rasio oksigen / batubara pada tahap atas dan bawah
dioptimalkan, dan cara penyediaan gas segel diperbaiki pada
saluran keluar gasifier (tenggorokan) untuk melindungi
tenggorokan dari endapan abu (terak).
2) Pipa berpendingin air pada dinding gasifier dipersempit untuk
meningkatkan pendinginan, dan material tahan panas
disuntikkan dengan fusi ke bagian lokal bersuhu tinggi, untuk
melindungi dinding gasifier.
3) Aliran gas bersuhu tinggi (aliran sirkulasi sendiri) dalam
tungku dan nosel penggerak aliran-turun terak digunakan
untuk mengisolasi dan memanaskan lubang keran abu cair
(terak), untuk menyebabkan terak mengalir turun secara stabil.
Langkah-langkah ini memecahkan masalah yang terkait dengan
(OBI) (Gambar 6) (Harkin et al., 2011).

Gambar 6. Fitur Oxygen blown IGCC (OBI) (Tanno & Makino, 2018)
2.3.3 Gasifikasi batubara
2.3.4 Briket batubara

3. Pencairan Batubara (Coal Liquefaction)


Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah proses mengubah
wujud  batubara dari padat menjadi cair. Proses pencairan batubara dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu metode langsung dan metode tidak
langsung. Pada  proses tidak langsung batubara difragmentasi menjadi CO,
CO2, H2, dan CH4 yang kemudian direkombinasikan menghasilkan
produk cair, prosesnya melalui gasifikasi dan kondensasi. Pada proses
langsung batubara cair diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut
organik lalu dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan
tinggi. Proses pencairan batubara secara langsung dapat dilakukan melalui
pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
Pada proses pencairan batubara secara langsung, katalis sangat
berperan dalam reaksi hidrogenasi pelarut donor hidrogen. Molekul
hidrogen kurang reaktif dibandingkan dengan pelarut donor hidrogen
dalam proses stabilisasi radikal hasil fragmentasi batubara. Sifat kekurang-
aktifan dari molekul hidrogen menyebabkan  pelarut donor hidrogen
terlibat langsung dalam proses hidrogenasi fragmen-fragmen batubara
tersebut. Hidrogen yang dikeluarkan dari donor hidrogen mengakibatkan
pelarut tersebut menjadi tidak aktif. Pengaktifan kembali dapat dilakukan
dengan reaksi hidrogenasi. Molekul hidrogen dengan bantuan katalis dapat
merehidrogenasi pelarut donor hidrogen pada proses pencairan batubara.
Pencairan batubara prinsipnya melalui dekomposisi termal batubara
(biasanya 400-500°C batubara sudah/mulai mengeluarkan liquid ) kadang
disebut karbonisasi atau destructive distillation, tapi istilah ini tidak tepat
karena proses karbonisasi tidak ditujukan untuk menghasilkan liquid
sebagai produk utama (C organik = C coke/char/carbon+liquid+gas).
Proses secara kimiawi pada  prinsipnya struktur kimia batubara dipecah
menjadi kecil, ikatan-ikatan organik dipecah menjadi lebih kecil dan rasio
atom H/C ditingkatkan agar menjadi liquid,
Ada empat cara pada proses pencairan batubara:
a. Pyrolisis: batubara dipanaskan (melebihi 400°C, tekanan bisa
bervariasi) tanpa oksigen (disebut juga karbonisasi seperti di
atas), menghasilkan char +liquid +gas. Bisa juga dengan
kondisi kaya hidrogen (hidrokarbonisasi). Proses ini
sederhana tapi tidak efektif karena dominan menghasilkan
char  daripada liquid.
b. Solvent extraction : batubara dicampur solvent  untuk
menghasilkan liquid  dengan adanya transfer hidrogen dari
solvent ke batubara atau dari gas hidrogen ke batubara
(temperatur sampai dengan 500°C, tekanan bisa  bervariasi
sampai dengan 5000 psi). Solvent   bisa berupa batubara cair
hasil proses sebelumnya atau produk petroleum (bitumen dan
heavy oil ).
c. Catalytic Liquefaction: penggunaan katalis untuk menambah
hidrogen ke batubara. Katalis bisa berupa iron oxide, zinc
chloride, tin chloride, dan lain lain, tapi harus tetap ada suplai
hidrogen.
d. Indirect liquefaction: meliputi 2 tahap konversi, (1) batubara
direaksikan dengan uap air dan oksigen untuk menghasilkan
gas terutama CO dan H2, (2) kemudian gas ini dimurnikan
(membersihkan S, N, dan lain-lain), hasilnya direaksikan
dengan katalis untuk dikonversi menjadi cair (kadang disebut
proses Fischer-Tropsch). Bisa juga dikonversi untuk
menghasilkan methanol, kemudian methanol dikonversi
menjadi liquid.

3.1. Reaksi dalam Proses Pencairan Batubara


a. Reaksi Substitusi
Reaksi ini terjadi dimana sebuah atom pada molekul
digantikan oleh atau atom-atom lain. Termasuk didalam
substitusi radikal bebas yaitu pemutusan ikatan karbon-
hidrogen pada alkana seperti :
methane CH4, ethane CH3CH3, dan propane CH3CH2CH3
Ikatan baru nantinya membentuk sesuatu yang lain. Termasuk
juga pada alkil seperti metil dan etil.
metil CH3 dan etil CH3CH2
Sebagai contoh, asam etanoik berupa CH3COOH dan
mengandung sebuah metil. Ikatan karbon-hidrogen sama
seperti metan yang bisa diputuskan dan digantikan oleh atom
yang lain.
Berikut ini contoh sederhana seubstitusi yaitu antra metan dan
klorin dengan adanya sinar ultraviolet (atau sinar matahari).
CH4 + Cl2 CH3Cl + HCl
b. Reaksi radikal bebas
Radikal bebas merupakan atom atau grup atom yang
memiliki sebuah elektron tidak berpasangan/bebas. Reaksi
substitusi radikal bebas merupakan reaksi yang berhubungan
dengan radikal bebas. Radikal bebas dibentuk jika ikatan
terbelah menjadi dua yang sama sehingga setiap atom
mendapat satu dari dua elektron yang dipakai untuk
berikatan. Disebut juga sebagai pembelahan homolitik.
Untuk menunjukkan sesuatu (atom atau grup atom)
merupakan radikal  bebas, dituliskan dengan simbol titik
untuk menunjukkan elektron yang titik  berpasangan. Sebagai
contoh :
Radikal Klorin Cl*
Radikal Metil CH3*
3.2. Themal Cracking pada Alkana
a. Karakteristik Alkana
Alkana merupakan molekul yang sangat tidak reaktif.
Umumnya reaksi memerlukan input energi untuk
menginisiasi reaksi contohnya pada pemutusan ikatan pada
temperatur tinggi. Kurang reaktifnya senyawa ini disebabkan
2 faktor:
a) Kekuatan ikatan
Ikatan C-C dan C-H yang kuat sehingga tidak mudah
memutus ikatan.
b) Sifat ikatan
 C dan H memiliki keelekronegatifan yang sama
sehingga tak ada ikatan polar yang mudah
memberikan atom karbon positif yang mudah
diserang pasangan elektron donor yang bersifat
elektrofilik.
 Seluruh ikatan C-C dan C-H merupakan ikatan
kovalen tunggal dan tidak ada daerah yang
memiliki densitas elektron yang tinggi dan dapat
menyerang pasangan elektron donor yang bersifat
elektrofilik.

3.3. Thermal Cracking Radikal Bebas pada Alkana


Contoh : CH3CH2CH3CH4, CH2 = CH2, CH3CH3, CH2 = CHCH3, H2

 Persamaan ini tidak dimaksudkan untuk disetarakan tetapi hanya


menunjukkan variasi produk.
 Ketika hidrokarbon alkana dipanaskan pada temperatur tinggi
maka senyawa tersebut akan terdekomposisi secara termal atau
terputus menjadi beberapa alakan dengan jumlah atom C yang
lebih sedikit atau alkena jumlah atom C yang sama atau lebih
sedikit.

 Jika temperatur cukup tinggi, energi kinetik dari partikel


kekurangan untuk menyebabkan fisi ikatan pada saat tumbukan
dan ini menyebabkan reaksi rantai radikal bebas.
 Langkah (1) adalah langkah inisiasi   dimana ikatan C-C pada
suatu molekul alkana dipecah menjadi dua radikal bebas alkil
dengan fisi ikatan homolitik. Ini artinya pasangan elektron pada
ikatan C-C dipecah antara dua radikal yang terbentuk.
 Ikatan terlemah yang pertama kali akan terputus dalam langkah
inisiasi, ikatan C-C (entalpi ikatan 348 kJ/mol) akan cenderung
pertama kali terputus. Sedangkan ikatan C-H lebih kuat (entalpi
ikatan 412 kJ/mol).
 Titik merah menunjukkan elektron yang tidak berpasangan pada
radikal  bebas.
 Radikal bebas adalah jenis yang kereaktifannya tinggi dengan
elektron yang tidak berpasangan dan cenderung membentuk
ikatan baru dengan cepat, dalam hal ini dengan cara
menghilangkan hidrogen dari molekul dengan langkah (2) sampai
(6) atau berpasangan dengan radikal lainnya contohnya langkah
(7) dan (8).
 Langkah (2) sampai (6) adalah langkah  propagasi   rantai, karena
sama halnya dengan hasil, radikal bebas juga terus dihasilkan
untuk melanjutkan reaksi rantai dan menyebabkan, dalam hal ini
bermacammacam produk lain.
 Langkah (7) dan (8) adalah dua kemungkinan langkah terminasi  
rantai yang menghilangkan kereaktifan alkil radikal bebas yang
tinggi. Elektron yang tidak berpasangan dari dua radikal akan
berpasangan sehingga membentuk ikatan baru.
 Juga dapat melakukan terminasi dengan bentuk alkena dan alkana
secara simultan.
Contoh: 2CH3CH2 CH2 = CH2 + CH3CH3
Atau kombinasi isomer untuk membentuk methylpropana
(CH3)2CHCH3 seperti butan yang diharapkan.

3.4. Mekanisme Hipotetis Proses Pencairan Batubara


a. Tingkat destabilisasi
Tahapan ini merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum
tahapan pemutusan ikatan secara termal. Tahapan ini
dimaksudkan untuk mengganggu kestabilan ikatan senyawa
kompleks batubara sehingga akan melemahkan energi ikatannya.
Proses destabilisasi ini dilakukan dengan menggunakan medan
elektromagnet dan elektrolisis secara simultan. Medan elektrolisis
akan menyebabkan terjadinya gangguan dan splitting pada level
energi bilangan kuantum magnetik atom yang berikatan
sedangkan elektrolisis akan mengacak gaya Van der Waalsnya.
Dengan memanfaatkan senyawa-senyawa minor pada batubara
maka akan membantu untuk melemahkan gaya van der waals
molekul- molekul batubara sehingga molekul ini merenggang
jaraknya. Selanjutnya pelarut akan masuk ke dalam pori-pori
molekul sehingga akan terjadi pembengkakan (swelling) molekul-
molekul batubara ini.

b. Depolymerisation
Bagian ini lebih dikenal dengan proses perengkahan panas
(thermal cracking). Batubara yang telah mengalami proses
pembengkakan (swelling) dengan bantuan panas dari luar akan
membantu memutuskan ikatan antar molekul-molekul batubara.
Tahapan thermal craking didahului oleh ikatan inisiasi dengan
pemutusan secara homolitik menjadi radikal-radikal bebas.
Pemutusan ikatan menjadi radikal bebas ini terjadi pada ikatan
yang terlemah yaitu ikatan tunggal C-C dan C-O. Dengan
pemutusan ikatan C-C ini maka akan terbentuk senyawa
hidrokarbon baru dengan berat molekul yang lebih kecil dari
senyawa kompleks batubara yang besar. Setelah terjadi inisiasi
maka akan dilanjutkan dengan tahap propagasi ikatan membentuk
beberaga jenis rantai hidrokarbon yang beragam. Tahapan ini
akan diakhiri dengan mekanisme terminasi radikal bebas melalui
proses stabilisasi.

c. Tahapan stabilisasi
Tahap ini bertujuan untuk menstabilkan radikal bebas yang
terbentuk selama thermal cracking terjadi. Bagian ini dikenal
dengan proses ekstraksi pelarut (solvent extraction). Molekul-
molekul batubara dengan berat molekul yang kecil dan dalam
keadaan tak stabil akan distabilkan kembali dengan bantuan.
pelarut donor hidrogen. Pelarut ini akan memberikan molekul
hidrogennya pada molekul batubara yang tak jenuh agar batubara
menjadi jenuh kembali. Selain memberikan donor hidrogen
jugaberkontribusi membentuk radikal lain yang akan berikatan
dengan radikal hasil proses thermal cracking sehingga dapat
saling menstabilkan. Tahap ini juga diharapkan dalam keadaan
yang turbulensi agar proses ekstraksi batubara oleh pelarut lebih
cepat dan homogen.

Beberapa faktor penting yang mempengaruhi hasil konversi


produk dan konsumsi hidrogen pada proses pencairan batubara,
antara lain:
a) Pengaruh peringkat batubara
Peringkat batubara mempengaruhi konversi produk yang
dihasilkan. Syaker dan Kelvin mempelajari pengaruh
karateristik batubara terhadap minyak yang dihasilkan
setelah proses pencairan, mereka menyatakan bahwa
semakin tinggi peringkat batubara, makin sedikit minyak
yang dihasilkan,
b) Pengaruh rasio batubara/pelarut Rasio batubara/pelarut
(coal-solvent ratio) yang digunakan mempunyai peranan
yang penting dalam menaikan konversi produk yang
dihasilkan. Pelarut yang digunakan biasanya mengandung
hidroaromatik, seperti: tetralin, dekalin, dihidroantresen,
dihidrofenantren dan lain lain. Pelarut yang dipilih
biasanya mempunyai temperatur superkritis pirolisis
batubara.
sebagai contoh: tetralin mempunyai temperatur kritis
448°C, sehingga proses pencairan biasanya dilakukan
sekitar temperatur 450°C. Jones dan Rotterdorf (1980)
menyatakan bahwa dengan rasio berat batubara/pelarut: 4
dan ternyata menunjukan hasil konversi produk yang
hampir sama. Menurut Ghazali dan Nasir (1994), dengan
rasio batubara/pelarut: 2/3 dan 1/3 diperlukan konsumsi
hidrogen berturut-turut: 2,4% dan 2,5%, konsumsi
hidrogen tinggi ini menunjukkan kemampuan pelarut
berfungsi dengan baik.
c) Pengaruh kondisi operasi
Kondisi operasi proses pencairan batubara yang utama
disini adalah:
 Pengaruh temperatur operasi
Temperatur operasi pencairan batubara biasanya
terjadi antara 375°C- 450°C. Batubara bituminus
bila dipanaskan pada temperatur 325°C- 350°C
akan lunak dan bersifat plastis. keadaan ini
disebut "plastic state", dan pada kondisi ini
kecepatan reaksi berjalan sangat lambat, bahkan
belum terjadi reaksi. Laju pemanasan yang cepat
untuk mencapai temperatur operasi optimum
akan melindungi bagian reaktif batubara terhadap
polimerisasi.
 Pengaruh waktu operasi
Waktu operasi proses pencairan batubara sekitar
20 menit sampai 2 jam, namun ada peneliti yang
menyatakan bahwa terjadi peningkatan konversi
batubara menjadi produk minyak dengan
kenaikan waktu operasi sampai 200 menit.
Pemanasan partikel batubara secara cepat dalam
media gas hidrogen dapat meningkatkan waktu
kontak sehingga kurang dari 15 menit (short
contact time liquefaction), dengan konversi
produk yang tetap tinggi.

3.5. Pelarut dalam Proses Likuifaksi Batubara


Proses likuifaksi batubara dijalankan pada suhu 315-470°C, melalui
dua cara yaitu dengan menggunakan proses pelarutan (solvasi) dan tanpa
menggunakan pelarut. Cara pertama batubara dilarutkan dalam pelarut
tertentu yang mempunyai sifat donor-H ataupun tidak, kemudian hidrogen
bertekanan. diinjeksikan ke dalamnya. Pada cara kedua dilakukan
hidrogenisasi secara langsung tanpa menggunakan pelarut.
Minyak tanah atau kerosin merupakan cairan hidrokarbon yang tak
berwarna dan mudah terbakar dan memiliki titik didih antara 200 °C dan
300 °C. Minyak tanah atau disebut juga parafin. Minyak tanah banyak
digunakan untuk lampu minyak dan kompor, sekarang banyak digunakan
sebagai bahan bakar mesin jet (Avtur, Jet-A, Jet-B, JP-4 atau JP-8).
Kerosin dikenal sebagai RP-1 digunakan sebagai bahan bakar roket. Pada
proses pembakarannya menggunakan oksigen cair. Kerosin didestilasi
langsung dari minyak mentah dan memerlukan pengendalian khusus
dalam sebuah unit Merox atau hydrotreater untuk mengurangi kadar
belerang dan perkaratan. Kerosin dapat juga diproduksi oleh
hydrockraker, yang digunakan untuk meningkatkan bagian dari minyak
mentah yang cocok untuk bahan bakar minyak.
- Densitas : 0.750-0,845 kg/1, zat cair
- Titik Lebur : - 60°C to -26°C
- Titik Didih : ~150 to 300° C
- Viskositas : 8,0-8,8 mm2/s (-20° C)
- Titik Nyala : 28 to 60°C

3.6. Katalis dalam Proses Likuifaksi Batubara


Peranan katalis dalam pencairan batubara adalah untuk membantu
memasukkan atom hidrogen yang berasal dari disosiasi molekul hidrogen
ke dalam batubara atau campuran batubara pelarut sehingga menaikkan
ketersediaan hidrogen aktif. Berdasarkan fasanya katalis dibedakan
menjadi dua yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis
homogen merupakan katalis yang mempunyai fasa sama dengan fasa
reaksi sehingga daya yang dihasilkan lebih kuat daripada katalis
heterogen. Kelemahan katalis homogen adalah sulit dipisahkan dari
sistem reaksinya. Katalis heterogen adalah katalis yang mempunyai fasa
berbeda dengan fasa reaksinya, sehingga katalis heterogen kurang reaktif,
tetapi katalis ini lebih mudah dipisahkan dengan sistem reaksinya serta
relatif stabil dalam perlakuan panas (Zhao, et al., 2006; Syukri, et al.,
2007). Kriteria pemilihan katalis antara lain adalah kereaktifannya tinggi,
harganya murah dan mudah diproduksi. Beberapa katalis yang termasuk
kriteria tersebut adalah Fe2O3, ZnCl2, dan SnCl2.
Katalisator digunakan untuk menurunkan energi aktivasi zat-zat
pereaksi, sehingga pada suhu yang tetap reaksi berlangsung lebih cepat.
Makin banyak katalisator yang digunakan, konversi akan bertambah,
tetapi pada suatu saat penambahan katalisator tidak akan menambah basil
cair yang berarti. Selain itu penggunaan katalisator dalam proses
liquifaksi batubara dapat mereduksi kandungan sulfur dalam produk
(Masduki, dkk., 2001).
Di antara berbagai halida logam, seng klorida adalah salah satunya.
Seng klorida akan cair pada kondisi reaksi dan pada gilirannya berfungsi
untuk mengatasi beberapa masalah dalam katalisis heterogen. Keuntungan
tambahan dari menggunakan seng klorida termasuk minim penggunaan
hidrogen dan kemungkinan katalis diresikel melebihi 99%. Mengingat
keunggulan ini olch berbagai kelompok riset seng klorida telah
diterapkan. Peneliti juga telah mengembangkan proses percontohan
memanfaatkan seng klorida sebagai katalis utama (Ghandi, 2013).
Adapun spesifikasi dari zink klorida (ZnCl2) adalah sebagai berikut:
- Berat Molekul : 136,3 gr/mol
- Titik didih : 732°C
- Titik Lebur : 290°C 4.
- Tekanan Uap pada 428°C : 1 mmHg
- Densitas : 2,91 gr/mL
- Kelarutan pada 25°C : 423 gr/100 gr Air
- pH :4
- berupa kristal putih dan tidak berbau

3.7. Elemen Pemanas

Elemen pemanas adalah elemen yang menghasilkan panas yang


bersumber dari material yang mempunyai resistansi yang tinggi terhadap
listrik yang kemudian diberi arus listrik. Ada banyak macam dari elemen
pemanas ini tergantung dari kebutuhan. Namun pada dasarnya dapat di
kategorpkan sebagai berikut :
a. Elemen Pemanas Bentuk Awal Yaitu elemen pemamas dimana
material beresistansi tinggi tersebut kemudian dilapisi oleh
material isolator listrik. Isolator tersebut bisa dari keramik, silikon
dan sebagainya.
b. Elemen Pemanas Bentuk Lanjutan Merupakan elemen pemanas
yang bentuknya mengalami pengembangan. Untuk menambah
efisiensi, ketahanan ataupun meningkatkan fungsi dari pemanas
tersebut dilakukan penambahan lapisan logam, pipa ataupun
lembaran plat pada badan elemen pemanas. Logam yang
digunakan yaitu kuningan, tembaga, bronze, stainless steel dan
steel (besi).

3.8. Ceramic Heater


Ceramic Heater ataupun pemanas keramik adalah item kompleks
yang menghasilkan panas dengan melewatkan listrik melalui material
beresistansi tinggi yang tertanam dalam piringan keramik. Dengan
sepenuhnya ditanam dalam keramik maka panas langsung ditransfer ke
lapisan keramik tersebut. Hal ini juga bermanfaat untuk kawat pemanas
sehingga terlindungi dan dapat memperpanjang umur elemen. Penemu
dari pemanas keramik tersebut di atas adalah perusahaan Elstein-Werk
dari Jerman. Untuk model dasar radiator keramik sebagai bola dengan
sekrup-topi, paten untuk Elstein diterbitkan pada 24 Maret 1949. Item ini
dikenal juga di seluruh dunia dengan nama “Elsteinheater".
Biasanya dimanfaatkan untuk memanaskan benda yang
permukaannya padat diantaranya untuk memanaskan : plastik, makanan,
ruangan, metal, cat, dan lain-lain. Aplikasi lainnya juga digunakan
sebagai drying untuk material plastik foil dan sheet hasil cetakan printer,
furniture kayu, material kaca, dan lain-lain.
1. Silica dan Quartz Heater
Silica (Silikon Oksida) bisa berbentuk gelas, semen atau keramik.
Pemanas silica biasanya adalah elemen (material beresistansi
tinggi) yang dibuat kompleks. kemudian dilapisi oleh silica.
Sehingga panasnya memancar karena bahan silica yang bening.
Penjelasan untuk Quartz pun serupa dengan silica.
Silica/Quartz heater juga disebut dengan Infrared Heater/Pemanas
Infrared. Ini disebakan karena pancaran panas yang dihasilkan
merupakan radiasi cahaya infrared. Radiasi bias terjadi antara
780nm sampai 1mm tergantung dari panas yang dihasilkan.

2. Bank Channel Heater


Channel Heater ataupun Saluran Elemen Pemanas adalah jenis
pemanas yang telah dirancang untuk memberikan pemanasan
modular pada unit yang diinginkan. Didesain dengan kuat
sehingga cocok untuk dipakai pada tegangan rendah sekalipun.
Dengan sifatnya yang portable maka cocok untuk digunakan
dalam tungku sementara.
Aplikasi dari jenis pemanas ini biasa ditemukan pada industry-
industri seperti piringan panas, cetakkan (mold & dies) ataupun
pada permukaan dimana panas dibutuhkan.
3. Black Body Ceramik Heater
Sama halnya seperti pemanas keramik, namun pada jenis ini
mempunyai efisiensi maksimum yaitu dengan mengubah setiap
energi daya menjadi energi radiasi. Konveksi kerugian yang
maksimal, suhu dapat dikendalikan dengan proses yang
dikategorikan dalam "thermocouple built-in". Panjang gelombang
dapat disesuaikan dengan karakteristik penyerapan dari bahan
yang dipanaskan. Kehilangan panas dan perubahan proses juga
dapat dikurangi.
Badan Black Body Ceramik Heater dengan lubang lubang 5/16"
(8mm) di seluruh permukaan praktis untuk aplikasi pemanasan
berseri-seri dengan kebutuhan pendinginan. Sepanjang 8-7/8″  x
12-1/8″  (225mm x 308mm) kombinasi radiasi/sumber panas
konvektif diperlukan udara yang ditiupkan melalui permukaan
sehingga memberikan transfer konveksi panas.

3.9. Analisis Minyak Hasil Pencairan Batubara


Untuk menganalisis produk minyak hasil pencairan batubara,
parameter yang dituju terbagi menjadi dua kategori yaitu parameter sifat
fisik dan parameter sifat kimia.
a. Parameter Sifat Fisik Parameter sifat fisik produk minyak hasil
pencairan batubara meliputi: densitas, viskositas, titik nyala, titik
asap, titik bakar dan titik tuang.
b. Parameter Sifat Kimia Parameter sifat kimia produk minyak hasil
pencairan batubara meliputi: komposisi minyak, nilai kalor, rasio
H/C.

Penelitian Terdahulu
Harli Talla dan Hendra Wijaya (2012) melakukan penelitian
variabel temperatur terhadap hasil konversi pencairan batubara
dengan batubara yang  berasal dari Papua Barat dan Kalimantan
Selatan. Hasil dari penelitian tersebut yaitu pada temperatur
400oC –  425oC, konversi batubara Sorong sangat tinggi dan
mencapai 89,94 %, karena batubara ini memiliki kandungan hidrogen
(H/C) yang tinggi sehingga bersifat sangat reaktif dalam proses
pencairan. Suhu ini cocok untuk pencairan batubara peringkat rendah
(lignit). Sedangkan Suhu 425ºC - 450ºC, puncak konversi batubara
Eco-coal   sebesar 87,28 %, karena semakin tinggi peringkat batubara
semakin rendah pula kandungan hidrogennya (H/C) dan strukturnya
semakin kompak. Sehingga suhu 425ºC - 450ºC akan lebih tepat
untuk pencairan batubara peringkat tinggi.
Sedangkan pada penelitian terbarunya, Harli Talla (2017)
melakukan  penelitian pengaruh kadar air terhadap proses pencairan
dan produk minyak  batubara dengan menggunakan tiga jenis
batubara yang berbeda. Batubara yang digunakan yaitu batubara
peringkat lignit dari Papua, batubara sub-bituminus dari Kutai dan
batubara bituminus berperingkat tinggi dari Kalimatan. Hasil dari 21
penelitian tersebut yaitu batubara Papua (lignit) yang memiliki kadar
air tertinggi menghasilkan konversi dan perolehan minyak yang lebih
banyak dikarenakan tingkat solubiliti yang lebih baik serta didukung
dengan kandungan hidrogen yang tinggi dan didominasi oleh struktur
hidrokarbon alifatik ikatan oksigen dibanding dengan batubara
subbituminus dan bituminus yang berkadar air rendah, tingkat
kelarutan dan kandungan hidrogen rendah serta struktur hidrokarbon
cenderung lebih aromatik dan kompak
BAB III
SOAL DAN JAWABAN (2 lembar)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN (1 lembar)
DAFPUS
https://dataindonesia.id/bursa-keuangan/detail/daftar-negara-konsumen-
batu-bara-terbesar-indonesia-nomor-7
https://dataindonesia.id/bursa-keuangan/detail/produksi-batu-bara-
indonesia-terbesar-kedua-di-dunia-pada-2021
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/12/produksi-batu-
bara-indonesia-naik-73-kali-lipat-dalam-20-tahun
https://ugrg.ft.ugm.ac.id/artikel/batubara-sebagai-sumber-energi-asal-
jenis-dan-kegunaannya/ (23/12/22 16:06)
https://eprints.upnyk.ac.id/21706/1/BUKU%20BATUBARA%20BAB
%201%20DAN%202.pdf (23/12/22 16:46)
http://penerbit.lipi.go.id/data/naskah1445912403.pdf (23/12/22 17:25)
https://www.researchgate.net/publication/
339237855_BATUBARA_JILID_1 (23/12/22 17:29)
https://bangazul.com/pedoman-teknis-pengolahan-batubara-2/ (23/12/22
17:43)
file:///C:/Users/Lenovo/Downloads/13570-36532-1-PB.pdf
https://balithutmakassar.org/wp-content/uploads/
2014/11/01_PEMBUATAN-KEGUNAAN-ARANG-AKTIF_Info-Teknis-
Eboni.pdf (23/12/22 21:13)
SINOPSIS

Anda mungkin juga menyukai