Anda di halaman 1dari 78

MAKALAH

TEKNOLOGI BATUBARA
PENGOLAHAN BATUBARA

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5
KELAS : VA
NAMA :

1. RAPDO SAHALANA SILABAN 20 644 001


2. ERMA WATI SOLINA 20 644 004
3. SEKAR AFIFAH NUR HALIMAH 20 644 010
4. RINDY MAULIDDINA 20 644 019
5. AMELIA RISKI 20 644 047

S-1 TERAPAN TEKNOLOI KIMIA INDUSTRI


POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA

ii
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena atas rahmat-Nya penulis dapat membuat dan menyelesaikan
penyusunan makalah dengan judul “Pengolahan Batubara”. Dalam
penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Maka dari itu penulis menyampaikan banyak
terimakasih kepada :

1. Bapak Mustafa, S.T., M.T selaku dosen pengampu mata kuliah


Teknologi Batubara Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri
Samarinda.
2. Teman-teman yang telah mendukung dan berpartisipasi dalam
penyusunan makalah ini sehingga dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu, saran dan kritik dari semua
pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Samarinda, 27 Desember 2022

iii
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................ ii
Kata Pengantar............................................................................................ iii
Daftar Isi..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB II STUDI PUSTAKA....................................................................... 4
A. Pengenalan Batubara................................................................... 4
2.1.1 Definisi Batubara............................................................... 5
2.1.2 Jenis-jenis Batubara........................................................... 6
2.1.3 Pebentukan Batubara.......................................................... 9
B. Pengolahan Batubara.................................................................. 12
2.2.1 Kominusi............................................................................ 12
2.2.2 Konsentrasi........................................................................ 15
2.2.3 Dewatering......................................................................... 22
C. Teknologi Pengolahan Batubara................................................. 24
2.3.1 Karbonisasi Batubara......................................................... 24
2.3.2 Gasifikasi Batubara............................................................ 30
2.3.3 Pencairan Batubara............................................................ 35
2.3.4 Briket Batubara.................................................................. 51
BAB III SOAL DAN JAWABAN............................................................ 68
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 72
SINOPSIS.................................................................................................. 74

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Batubara merupakan sumber energi yang sangat penting bagi dunia.


Saat ini batu bara merupakan sumber energi terbesar ketiga yang digunakan di
berbagai negara, setelah minyak bumi dan gas bumi (Faradiba, 2022). Banyak
pembangkit listrik menggunakan batu bara karena harganya yang murah
dibandingkan sumber lainnya. Salah satu penghasil batubara terbesar di dunia
adalah Indonesia.
Produksi batu bara Indonesia tercatat sebanyak 15,15 eksajoule pada
2021. Berdasarkan laporan British Petroleum (BP), jumlah tersebut meningkat
8,9% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 13,91 eksajoule.  
Produksi batu bara Indonesia pun setara dengan 9% dari totalnya secara
global. Hal itu menjadikan produksi batu bara dalam negeri menjadi yang
terbesar kedua di dunia. Produksi batubara di Indonesia menunjukkan
peningkatan selama 20 tahun terakhir. Laporan BP Global Company
menunjukkan, produksi batu bara Indonesia mencapai 562,5 juta ton pada
2020. Jumlah ini naik 7,3 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.

Korea Selatan 3.04


Indonesia 3.28
Rusia 3.41
Afrika Selatan 3.53
Jepang 4.8
USA 10.57
India 20.09
China 86.17

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Eksajoule

Gambar 1. 8 Negara Produsen Batubara Terbesar di Dunia

1
Namun, besarnya jumlah produksi batubara di tanah air tidak
sebanding dengan pamanfaatannya. Sekitar 70-80% dari total produksi
batubara Indonesia di ekspor dan sisanya dijual di pasar domestik.
Berdasarkan laporan British Petroleum (BP), konsumsi batu bara secara
global sebesar 160,1 eksajoule sepanjang 2021. Jumlah tersebut meningkat
5,97% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 151,07 eksajoule.
Indonesia menempati urutan ketujuh dengan konsumsi batu bara sebanyak
3,28 eksajoule.

Korea Selatan 3.04


Indonesia 3.28
Rusia 3.41
Afrika Selatan 3.53
Jepang 4.8
USA 10.57
India 20.09
China 86.17

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Eksajoule

Gambar 2. Konsumsi Batu Bara Dunia

Sektor pembangkit listrik adalah konsumen batubara terbesar di


Indonesia. Peningkatan konsumsi batubara sangat signifikan di sektor
pembangkit listrik, yaitu dari 56 juta ton pada 2006 dan diperkirakan menjadi
123,2 ton pada 2025. Sementara Indonesia sendiri memiliki sumberdaya
batubara sebesar 149,009 miliar ton dan cadangan sebesar 37,604 miliar ton
(Badan Geologi pada tahun 2018).

2
Dengan jumlah sumber daya batubara yang melimpah seharusnya
pemanfaatan batubara sebagai sumber energi domestik dapat dilakukan
dengan lebih maksimal untuk menyokong kebutuhan sumber energi domestik
bukan hanya sebagai pembangkit listrik. Mengingat batubara memiliki sifat 
tak terbarukan dan dihasilkan dari proses geologi selama puluhan bahkan
ratusan juta tahun, maka sangatlah disayangkan apabila pemanfaatannya tidak
memiliki nilai tambah. Selain itu, pembakaran batubara untuk keperluan
pembangkit listrik juga menghasilkan “limbah padat berbahaya dan beracun”.
Pengembangan dan penelitian harus dilakukan terkait dengan penggunaan
batubara dan pemanfaatan limbah batubara, antara lain gas metana batubara
(coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan
(gasified coal), atau briket dan karbon aktif.

Gambar 3. Peta persebaran batubara di Indonesia (Badan Geologi, 2014)

3
BAB II
STUDI PUSTAKA

2.1 Pengenalan Batubara


2.1.1 Definisi Batubara
Secara umum batubara didefinisikan sebagai batuan organic
berwarna gelap yang terbentuk dari jasad tumbuh-tumbuhan.
Kandungan utama batubara adalah atom karbon, hidrogen, dan oksigen.
Sukandarrumidi 1995 mengatakan bahwa batubara merupakan
bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari proses
penggambutan dan pembatubaraan di dalam suatu cekungan (daerah
rawa) dalam jangka waktu geologis yang meliputi aktivitas bio-
geokimia terhadap akumulasi flora di alam yang mengandung selulosa
dan lignin. Proses pembatubaraan juga dibantu oleh factor tekanan
(berhubungan dengan kedalaman), dan suhu (berhubungan dengan
pengurangan kadar air dalam batubara).
Batubara dapat didefinisikan sebagai batuan sedimen yang
terbentuk dari dekomposisi tumpukan tanaman selama kira-kira 300
juta tahun. Dekomposisi tanaman ini terjadi karena proses biologi
dengan mikroba dimana banyak oksigen dalam selulosa diubah menjadi
karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Perubahan yang terjadi dalam
kandungan bahan tersebut disebabkan oleh adanya tekanan, pemanasan
yang kemudian membentuk lapisan tebal sebagai akibat pengaruh panas
bumi dalam jangka waktu berjuta-juta tahun, sehingga lapisan tersebut
akhirnya memadat dan mengeras (Mutasim, 2010).
Menurut Irwandy 2014, batubara dikenal juga sebagai “emas”
hitam. Masyarakat mengenalnya sebagai batu hitam yang bisa terbakar.
Hal itu tidak salah karena tampilan dilapangan menunjukkan perbedaan
4
kontras antara batubara dan batuan sekitarnya. Batubara didefinisikan
oleh beberapa ahli dan memiliki banyak pengertian di berbagai buku
atau referensi. Di komunitas industri, definisi ini lebih spesifik lagi,
yaitu batuan yang pada tingkat kualitas tertentu memiliki nilai ekonomi.
Elliot (1981) yang merupakan geokimia batubara, berpendapat
bahwa batubara merupakan batuan sedimen yang secara kimia dan
fisika adalah heterogen yang mengandung unsur-unsur karbon,
hydrogen, serta oksigen sebagai komponen unsur utama dan belerang
serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu senyawa
anorganik pembentuk ash (debu), tersebarsebagai partikel zat mineral
yang terpisah di seluruh senyawa batubara. Secara ringkas, batubara
bisa didefinisikan sebagai batuan karbonat berbentuk padat, rapuh,
berwarna cokelat tua sampai hitam, dapat terbakar, yang terjadi akibat
perubahan tumbuhan secara kimia dan fisik.
Menurut Miller 2005, batubara ditemukan dalam endapan yang
disebut lapisan yang berasal dari akumulasi vegetasi yang telah
mengalami perubahan fisik dan kimia. Perubahan-perubahan ini
termasuk pembusukan vegetasi, pengendapan dan penguburan oleh
sedimentasi, pemadatan, dan transformasi sisa-sisa tanaman menjadi
batuan organik yang ditemukan saat ini.

Gambar 4. Batu Bara


5
2.1.2 Jenis-jenis Batubara
Berdasarkan kualitasnya, batubara memiliki kelas (grade) yang
secara umum diklasifikasikan menjadi empat kelas utama menurut
standar ASTM (Kirk-Othmer, 1979) atau lima kelas jika dimasukkan
peat atau gambut sebagai jenis batubara yang paling muda (Larsen,
1978). Dalam hal ini kelas batubara disertai dengan kriteria berdasarkan
analisis proximate dan nilai kalornya, juga kriteria berdasarkan analisis
ultimate dan kandungan sulfur total serta densitasnya. Masing- masing
jenis batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O
dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling
bernilai tinggi, dan lignit, yang paling bernilai rendah.
1. Gambut/ Peat
Golongan ini sebenarnya termasuk jenis batubara, tapi merupakan
bahan bakar. Hal ini disebabkan karena masih merupakan fase awal
dari proses pembentukan batubara. Endapan ini masih
memperlihatkan sifat awal dari bahan dasarnya (tumbuh-tumbuhan).

Gambar 4. Batubara Peat


2. Lignit
Lignit sering disebut juga brown-coal, golongan ini sudah
memperlihatkan proses selanjutnya berupa struktur kekar dan gejala
pelapisan. Apabila dikeringkan, maka gas dan airnya akan keluar.
Endapan ini bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan

6
yang bersifat sederhana, karena panas yang dikeluarkan sangat
rendah sehingga seringkali digunakan sebagai bahan bakar untuk
pembangkit listrik.

Gambar 5. Batubara Lignit


3. Subbituminous/ Bitumen Menengah
Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna yang
kehitam-hitaman dan sudah mengandung lilin. Endapan ini dapat
digunakan untuk pemanfaatan pembakaran yang cukup dengan
temperatur yang tidak terlalu tinggi. Subbituminous umum
digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap. Subbituminous
juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan
hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis.

Gambar 6. Batubara Subbituminous

7
4. Bituminous
Bituminous merupakan mineral padat, berwarna hitam dan kadang
coklat tua, rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah
prismatik berlapis dan tidak mengeluarkan gas dan air bila
dikeringkan sering digunakan untuk kepentingan transportasi dan
industri serta untuk pembangkit listrik tenaga uap.

Gambar 7. Batubara Bituminous


5. Antrasit
Golongan ini berwarna hitam, keras, kilap tinggi, dan pecahannya
memperlihatkan pecahan chocoidal. Pada proses pembakaran
memperlihatkan warna biru dengan derajat pemanasan yang tinggi.
Digunakan untuk berbagai macam industri besar yang memerlukan
temperatur tinggi.

Gambar 8. Batubara Antrasit


Semakin tinggi kualitas batubara, maka kadar karbon akan
meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang.
Batubara bermutu rendah, seperti lignite dan sub-bituminous,
memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar
8
karbon yang rendah, sehingga energinya juga rendah. Semakin
tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak,
serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu,
kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya
akan meningkat, sehingga kandungan 18 energinya juga semakin
besar. Ada 3 macam klasifikasi yang dikenal untuk dapat
memperoleh beda variasi kelas / mutu dari batubara yaitu (Miller,
2005) :
2.1.3 Pembentukan Batubara
Menurut Sukandarrumidi 2018, batubara terbentuk dari sisa-sisa
tumbuhan yang sudah mati, dengan komposisi terdiri dari cellulose.
Proses pembentukan batubara, dikenal sebagai proses pembatubaraan
atau coalification. Faktor fisika dan kimia yang ada di alam akan
mengubah cellulose menjadi lignit, subbitumina, bitumina, atau
antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai
berikut:

5(C6H10O5)  C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O +6CO2 + CO

Gambar 9. Rumus Bangun Batubara


9
Keterangan
 Cellulosa (senyawa organik), merupakan senyawa pembentuk
batubara
 Unsur C pada lignit jumlahnya relative lebih sedikit dibandingkan
jumlah unsur C pada bitumina, semakin banyak unsur C pada lignit,
semakin baik kualitasnya
 Unsur H pada lignit jumlahnya relative banyak dibandingkan jumlah
unsur H pada bitumina semakin banyak unsur H pada lignit,
semakin rendah kualitasnya
 Senyawa gas metan (CH4) pada lignit jumlahnya relative lebih
sedikit dibandingkan dengan pada bitumina, semakin banyak CH4
lignit semakin baik kualitasnya
Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap, yaitu:
1. Tahap biokimia (penggambutan) adalah tahap ketika sisa-sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas
oksigen (anaeorobik) didaerah rawa dengan sistem penisiran
(drainage system) yang buruk dan selalu tergenang air beberapa inci
dari permukaan air rawa. Material tumbuhan yang busuk tersebut
melepaskan unsur H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O
dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobic
dan fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi gambut. (Stach,
1982, opcit. Susilawati 1992).
2. Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis
terhadap komponen organik dari gambut yang menimbulkan
peningkatan temperature dan tekanan sebagai gabungan proses
biokimia, kimia dan fisika yang terjadi karena pengaruh
pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun waktu
geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon akan meningkat,
10
sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang
sehingga menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat maturitas
material organiknya. (Susilawati 1992). Teori yang menerangkan
terjadinya batubara yaitu :
a. Teori In-situ
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari
hutan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang
terbentuk biasanya terjadi dihutan basah dan berawa, sehingga
pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh,
langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut dan sisa tumbuhan
tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna dan
akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen
organik.
b. Teori Drift
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari
hutan yang bukan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara
yang terbentuk biasanya terjadi di delta mempunyai ciri-ciri
lapisannya yaitu tipis, tidak menerus (splitting), banyak
lapisannya (multipleseam), banyak pengotor (kandungan abu
cenderung tinggi). Proses pembentukan batubara dapat dilihat
pada Gambar 6.

11
Gambar 10. Proses Pembentukan Batubara Menjadi Jenis-jenis Batubara
2.2 Pengolahan Batubara
Tahapan-tahapan utama pengolahan bahan galian batubara dapat
ilihat pada diagram alir pada Gambar 11. Kegiatan pengolahan batubara
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Preparasi
2. Konsentrasi (peningkatan kadar)
3. Dewatering (pemisahan padatan dan cairan)
2.2.1 Preparasi
Prreparasi atau pengecilan ukuran merupakan tahap awal dalam
pengolahan bahan galian. Tujuan dilakukannya kominusi yaitu :
a. Membebaskan / meliberasi mineral berharga dari material
pengotornya.
b. Menghasilkan ukuran dan bentuk material/mineral yang sesuai
dengan untuk proses selanjutnya.
c. Memperluas permukaan partikel agar dapat mempercepat kontak
dengan zat lain, misalnya reagen pada proses flotasi.
Preparasi ada 2 (dua) macam yaitu :
a. Peremukan / pemecahan (crushing)
b. Penggerusan / penghalusan (grinding)
Proses pada kominusi terdiri dari beberapa tahap yaitu :
- Tahap pertama / primer (primary stage)
12
- Tahap kedua / sekunder (secondary stage)
- Tahap ketiga / tersier (tertiary stage)
- Kadang-kadang ada tahap keempat / kuarter (quaternary stage),
sesuai dengan kebutuhan proses material.
2.2.1.1 Peremukan/Pemecahan (Crushing)
Peremukan adalah proses reduksi ukuran bahan galian / bijih
(boulder dengan ukuran > 30 cm) yang berasal langsung dari tambang
(ROM = run of mine) menjadi ukuran yang lebih kecil bahkan bisa
sampai ukuran 2,5 cm. Peralatan yang digunakan pada kegiatan
peremukan antara lain :
a. Jaw crusher
b. Gyratory crusher
c. Cone crusher
d. Roll crusher
e. Impact crusher
f. Rotary breaker
g. Hammer mill
2.2.1.2 Penggerusan/Penghalusan (Grinding)
Penggerusan adalah proses pengecilan ukuran butiran mineral
dari yang berukuran 2,5 cm menjadi ukuran yang lebih halus.
Berdasarkan media yang digunakan, penggerusan bahan galian dibagi
4 yaitu :
a. Ball mill dengan media penggerus berupa bola-bola baja atau
keramik.
b. Rod mill dengan media penggerus berupa batang-batang baja.
c. Semi autogenous mill (SAG) bila media penggerusnya berupa
bola-bola baja dan bahan galian nya sendiri.
d. Autogenous mill bila media penggerusnya adalah bahan galiannya
sendiri.
13
2.2.1.3 Pemisahan Berdasarkan Ukuran (Sizing)
Setelah bahan galian atau bijih diremuk dan digerus, akan
dihasilkan bermacammacam ukuran material. Material tersebut harus
dipisahkan berdasarkan ukuran partikel agar sesuai dengan ukuran
yang dibutuhkan pada proses pengolahan yang berikutnya.
Pengayakan/Penyaringan (Screening/Sieving)
Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan
material secara mekanik berdasarkan perbedaan ukurannya.
Pengayakan (screening) umumnya dipakai dalam skala industri,
sedangkan penyaringan (sieving) dipakai untuk skala laboratorium.
Produk dari proses pengayakan/penyaringan ada 2 (dua), yaitu :
- Oversize : ukuran material lebih besar daripada ukuran lubang-
lubang ayakan.
- Undersize : Ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-
lubang ayakan.
Saringan (sieve) yang sering dipakai di laboratorium adalah :
a. Hand sieve
b. Vibrating sieve series / Tyler vibrating sive
c. Sieve shaker / rotap
d. Wet and dry sieving
Sedangkan ayakan (screen) yang berskala industri antara lain :
a. Stationary grizzly
b. Roll grizzly
c. Sieve bend
d. Revolving screen
e. Vibrating screen (single deck, double deck, triple deck, etc.)
f. Shaking screen
g. Rotary shifter
2.2.1.4 Klasifikasi
14
Klasifikasi adalah proses pemisahan partikel berdasarkan
kecepatan pengendapannya dalam suatu media (udara atau air).
Klasifikasi dilakukan dalam suatu alat yang disebut classifier.
Produk hasil proses klasifikasi ada 2 (dua) yaitu :
- Produk yang berukuran kecil/halus (slimes) mengalir di bagian
atas disebut overflow.
- Produk yang berukuran lebih besar/kasar (sand) mengendap di
bagian bawah (dasar) disebut underflow.
Proses pemisahan dalam classifier dapat terjadi dalam tiga cara
(concept) yaitu :
a. Partition concept
b. Tapping concept
c. Rein concept
Hal ini dapat berlangsung apabila sejumlah partikel dengan
bermacam-macam ukuran jatuh bebas di dalam suatu media atau
fluida (udara atau air), maka setiap partikel akan menerima gaya berat
dan gaya gesek dari media. Pada saat kecepatan gerak partikel
menjadi rendah (tenang/laminer), ukuran partikel yang besar-besar
mengendapmlebih dahulu, kemudian diikuti oleh ukuran-ukuran yang
lebih kecil, sedang yang terhalus (antara lain slimes) akan tidak
sempat mengendap.
Peralatan yang umum dipakai dalam proses klasifikasi adalah :
a. Scrubber
b. Log washer
c. Sloping tank classifier (rake, spiral & drag)
d. Hydraulic bowl classifier
e. Hydraulic clindrical tank classifier
f. Hydraulic cone classifier
g. Counter current classifier
15
h. Pocket classifier
i. Hydrocyclone
j. Air separator
k. Solid bowl centrifuge
l. Elutriator
2.2.2 Konsentrasi
Bahan galian yang mutu atau kadarnya rendah (marginal)
agar dapat diolah lebih lanjut atau diekstrak logamnya, maka kadar
bahan galian itu harus ditingkatkan. Peningkatan kadar bahan galian
dikenal dengan proses konsentrasi. Sifat-sifat fisik mineral yang dapat
dimanfaatkan dalam proses konsentrasi yaitu :
- berat jenis, pemisahan mineral berdsarkan perbedaan berat jenis
mineral.
- sifat kondutivitas, pemisahan mineral berdasarkan sifat kelistrikan.
- sifat kemagnetan, pemisahan mineral berdasarkan sifat magnetic.
- Perbedaan sifat permukaan partikel, pemisahan secara proses
flotasi.
Proses peningkatan kadar itu ada bermacam-macam antara lain :
a. Pemilahan (Hand Sorting)
Bila ukuran material cukup besar, maka pemisahan
mineral berharga dari pengotornya dapat dilakukan secara manual
dengan tangan.
b. Konsentrasi Gravitasi (Gravity Concentration)
Pemisahan mineral berdasarkan perbedaan berat jenis
didalam suatu media fluida. Memanfaatkan perbedaan kecepatan
pengendapan mineral-mineral didalam fuida karena perbedaan
berat jenis dari setiap mineral.
Ada 3 (tiga) cara pemisahan mineral secara gravitasi bila dilihat
dari segi gerakann fluidanya, yaitu :
16
- Fluida tenang, contoh dense medium separation (DMS) atau
heavy medium separation (HMS).
- Aliran fluida horisontal, contoh sluice box, shaking table dan
spiral
concentration.
- Aliran fluida vertikal, contoh jengkek (jig).
Bila jumlah partikel (mineral) di dalam fluida relatif sedikit, maka
akan terjadi pengendapan bebas (free settling). Bila jumlah
partikelnya banyak, maka gerakannya akan terhambat sehingga
terbentuk stratifikasi yang terdiri dari 3 (tiga) tahap sebagai berikut
:
a. Hindered settling classification ; klasifikasi pengendapannya
terhalang
b. Differential acceleration pada awal pengendapan : artinya partikel
yang berat mengendap lebih dahulu.
c. Consolidation trickling pada akhir pengendapan : partikel-partikel
kecil berusaha mengatur diri di antara partikel-partikel besar sesuai
dengan berat jenisnya.
Produk dari proses konsentrasi gravitasi ada 3 (tiga), yaitu :
- Konsentrat (concentrate), kumpulan mineral berharga dengan
kadar tinggi/ memenuhi syarat untuk proses selanjutnya.
- Amang (middling) yaitu konsentrat yang kadarnya belum
memenuhi syarat.
- Ampas (tailing) yaitu mineral-mineral pengotor belum dapat
dimanfaatkan karena faktor teknologi dan ekonomi saat ini.
Peralatan konsentrasi gravitasi yang banyak dipakai adalah :
a. Jengkek (jig)
b. Meja goyang (shaking table).
c. Konsentrator spiral (Humprey spiral concentrator).
17
d. Palong / sakan (sluice box).
e. Air Table (Meja Angin)
c. Konsentrasi dengan Media Berat (Dense/Heavy Medium
Separation)
Merupakan proses konsentrasi yang bertujuan untuk
memisahkan mineralmineral berharga dari pengotornya dengan
menggunakan medium pemisah yang berat jenisnya lebih besar dari
air (berat jenisnya > 1). Biasanya berat jenis mineral berharga lebih
besar dibandingkan berat jenis pengotornya. Produk dari proses
konsentrasi ini adalah :
- Endapan (sink) yang terdiri dari mineral-mineral berharga yang
berat.
- Apungan (float) yang terdiri dari mineral-mineral pengotor yang
ringan.
Media pemisah yang pernah dipakai antara lain :
- Air + magnetit halus dengan kerapatan 1,25 - 2,20 ton/m3.
- Air + ferrosilikon dengan kerapatan 2,90 - 3,40 ton/m3.
- Air + magnetit + ferrosilikon dengan kerapatan 2,20 - 2,90.
- Larutan berat seperti : tetra bromo ethana (b.j. = 2,96), bromoform
(b.j. = 2,85) methylene jodida (b.j. = 3,32).
Tetapi larutan berat ini harganya mahal, oleh sebab itu hanya dipakai
untuk percobaanpercobaan di laboratorium. Peralatan yang biasa
dipakai adalah gravity dense/heavy medium separators yang
berdasarkan bentuknya ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Drum separator karena bentuknya silindris.
b. Cone separator karena bentuknya seperti corongan.
d. Pemisahan berdasarkan sifat Kelistrikan (Electrostatic
Separation)

18
Merupakan proses konsentrasi dengan memanfaatkan
perbedaan sifat kelistrikan mineral. Mineral yang dihasilkan dari
proses konsentrasi ini terbagi menjadi mineral yang bersifat
konduktor (mudah menghantarkan arus listrik) dan nonkonduktor.
Peralatan yang digunakan untuk pemisahan berdasarkan sifat
kelistrikan adalah :
a. Electrodynamic separator (high tension separator).
b. Electrostatic separator yang terdiri dari :
- plate electrostatic separator
- screen electrostatic separator
Kendala yang dihadapi pada proses konsentrasi ini adalah :
- Mineral harus dipanaskan terlebih dahulu (temperatur yang
dibutuhkan yaitu antara 700C -1200C) agar sifat kelistrikannya
keluar. Bila temperatur tidak tercapai maka akan kesulitan diproses
secara Electrostatic Separator.
- Ukuran material yang diproses yaitu 75 – 250 microns atau 60 –
200 dan sebaiknya dilakukan sizing untuk memperoleh hasil yang
maksimal.
- Proses konsentrasi dilakukan dengan jumlah umpan yang tidak
terlalu besar.
- Mineral yang diproses harus kering, maka timbul masalah debu
pada saat proses.
e. Pemisahan berdasarkan sifat Kemagnetan (Magnetic Separation)
Proses konsentrasi dengan memanfaatkan sifat kemagnetan
(magnetic susceptibility) yang dimiliki atau terkandung pada tiap
mineral. (Lampiran B) Sifat kemagnetan bahan galian ada 3 (tiga)
macam yaitu :

19
- Ferromagnetic, yaitu bahan galian (mineral) yang sangat kuat
untuk ditarik oleh medan magnet.
Contoh : magnetit (Fe3O4).
- Paramagnetic, yaitu bahan galian yang dapat tertarik oleh medan
magnet. Contoh : hematit (Fe2 O3), ilmenit (Se Ti O3), xenotime
(YPO4) dan pyrhite (FeS2).
- Diamagnetic, yaitu bahan galian yang tak tertarik oleh medan
magnet. Contoh : kwarsa (SiO2), Cassiterite (SNO2) dan mineral
feldspar [(Na, K, Al) Si3 O8] .
Proses Magnetic Separation mineral yang dilakukan menghasilkan
produk
yaitu :
- Mineral-mineral non-magnetik sebagai konsentrat, karena
mengandung mineral cassiterite sebagai mineral utama timah,
zircon, pyrite, anatase dan lain-lain.
- Mineral-mineral magnetik sebagai ampas (tailing), tetapi masih
mengandung mineral ikutan timah yang terdiri dari ilmenite,
monazite, xenotime, siderite, magnetite dan lain-lain.
Peralatan yang dipakai disebut magnetic separator yang terdiri dari :
a. Induced roll dry magnetic separator.
b. Wet drum low intensity magnetic separator yang arah aliran
dapat :
- concurrent
- countercurrent
- counter rotation
c. berdasarkan letak magnetnya :
- Suspended magnets
- Suspended magnets with continuous removal
- Cobbing drum
20
f. Konsentrasi Secara Flotasi (Flotation Concentration)
Merupakan proses konsentrasi berdasarkan sifat “senang
terhadap udara” atau “takut terhadap air” (hydrophobic). Pada
umumnya mineral-mineral oksida dan sulfide akan tenggelam bila
dicelupkan ke dalam air, karena permukaan mineral-mineral itu
bersifat “suka akan air” (hydrophilic) tetapi beberapa mineral sulfida
seperti Calcophyrite (CuFeS2), Galena (Pb S), dan Stalerit (ZnS)
mudah diubah sifat permukaannya dari suka air menjadi suka udara
dengan menambahkan reagen yang terdiri dari senyawa hidrokarbon.
Sejumlah reagen kimia yang sering digunakan dalam proses flotasi
adalah :
a. Pembuih (frother) yang berfungsi sebagai pengstabil gelembung-
gelembung udara. Contoh : methyl isobuthyl carbinol (MIBC),
minyak pinus, dan terpentin.
b. Kolektor / pengumpul (collector) yang bisa mengubah sifat
permukaan mineral yang semula suka air menjadi suka udara.
Contoh : xanthate, thiocarbonilid, asam oleik, dll.
c. Penekan / pencegah (depresant) yang berguna untuk mencegah
agar mineral pengotor tidak ikut menempel pada udara dan ikut
terapung. Contoh : ZnSO4 untuk menekan Zn S.
d. Pengatur keasaman (pH regulator) yang berfungsi untuk mengatur
tingkat keasaman proses flotasi. Contoh : HCl, HNO3, Ca (OH)3,
NH4OH, dll.
Produk flotasi yang dihasilkan pada pengolahan mineral di PT Timah
ada 3 (tiga) macam yaitu :
- Ampas (tailing), berupa mineral-mineral yang ikut terapung
(mineral-mineral apungan) dengan gelembung-gelembung udara,
seperti calcophyrite, phyrite dan marcasite.

21
- Amang (middling), berupa mineral - mineral apungan yang masih
mengandung banyak mineral-mineral pengotor.
- Konsentrat, berupa mineral tenggelam yang terdiri dari mineral
cassiterite dan mineral ikutan timah lainnya.
Peralatan yang biasa dipakai adalah :
a. Mechanical flotation, terdiri dari berbagai variasi antara lain :
- Agitair cell
- Denver cell
- Krupp cell
- Outokumpu cell
- Wemco-Fagregren cell
b. Pneumatic flotation, terdiri dari variasi :
- Column cell
- Cyclo cell
- Davcra cell
- Flotaire cell
2.2.3 Dewatering
Bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang ada pada
konsentrat yang diperoleh dari proses basah, misalnya proses
konsentrasi gravitasi dan flotasi. Kegiatan proses dewatering terdiri dari
3 (tiga) yaitu :
2.2.3.1 Cara Pengentalan / Pemekatan (Thickening)
Konsentrat yang berupa lumpur dimasukkan ke dalam bejana
bulat. Bagian yang pekat mengendap ke bawah disebut underflow,
sedangkan bagian yang encer atau airnya mengalir di bagian atas
disebut overflow. Kedua produk itu dikeluarkan secara terus menerus
(continuous).
Peralatan yang biasa dipakai adalah :
a. Rake thickener.
22
b. Deep cone thickener.
c. Free flow thickener.
2.2.3.2 Cara Penapisan (Filtration)
Dengan cara pengentalan kadar airnya yang masih cukup
tinggi, maka bagian yang pekat dari pengentalan dimasukkan ke
penapis yang disertai dengan pengisapan, sehingga jumlah air yang
terisap akan banyak. Dengan demikian akan dapat dipisahkan padatan
dari airnya.
Peralatan yang dipakai adalah :
a. Vacuum (suction) filters yang terdiri dari :
- intermitten, misalnya Moore leaf filter.
- Continuous ada beberapa tipe, yaitu :
* bentuk silindris / tromol (drum type), contoh : Oliver filter,
Dorrco filter.
* bentuk cakram (disk type) berputar, contoh : American filter.
* bentuk lembaran berputar (revolving leaf type), contoh : Oliver
filter.
* bentuk meja (desk type), contoh : Caldecott sand table filter.
b. Pressure filter, misalnya :
- Merrill plate and frame filter
- Kelly pressure filter
- Burt revolving filter
2.2.3.3 Pengeringan (Drying)
Proses membuang seluruh kandungan air dari padatan yang
berasal dari konsentrat dengan cara penguapan
(evaporization/evaporation).
Peralatan atau cara yang dipakai ada bermacam-macam, yaitu :

23
a. Hearth type drying/air dried/air baked, yaitu pengeringan yang
dilakukan di atas lantai oleh sinar matahari dan harus sering
diaduk (dibolak-balik).
b. Shaft drier, ada dua macam, yaitu :
- tower drier, material (mineral) yang basah dijatuhkan di dalam
saluran silindris vertikal yang dialiri udara panas (80o C -
100oC).
- rotary drier, material yang basah dialirkan ke dalam silinder
panjang yang diputar pada posisi agak miring dan dialiri udara
panas yang berlawanan arah.
c. Film type drier (atmospheric drum drier), silinder baja yang di
dalamnya dialiri uap air (steam). Methode ini jarang dipakai.
d. Spray drier, material halus yang basah dan disemburkan ke dalam
ruangan panas, material yang kering akan terkumpul di bagian
bawah ruangan. Methode ini juga jarang dipakai.
2.3 Teknologi Pengolahan Batubara
2.3.1 Karbonisasi Batubara
Karbonisasi merupakan proses pemanasan dengan residu yang
kaya akan karbon (arang atau kokas) yang dihasilkan oleh dekomposisi
termal, dengan pembuangan secara simultan zat-zat terbang secara
distilasi destruktif. Selama reaksi karbonisasi, tanpa penambahan zat-
zat kimia, tiga tahapan berupa pelembutan (softening), pembengkakan
(swelling), dan pengerasan (stiffening), dapat menentukan sifat-sifat
produk akhir (Cook dan Wilson, 1969; Cook, 1982; Stach dkk., 1982;
Suàrez-Ruiz dan Crelling, 2008; Daulay dkk., 2010a; Miller, 2011).
Proses pembuatan arang aktif dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah proses karbonisasi bahan baku dalam kiln drum
untuk menghasilkan arang. Tahap kedua adalah proses aktivasi arang
menggunakan retort dan steam boiler untuk menghilangkan
24
hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga meningkatkan
porositas arang. Pada kedua proses tersebut terjadi tahap-tahap sebagai
berikut:
a. Dehidrasi yaitu proses penghilangan air, yaitu dengan pemanasan
sampai temperatur 170°C.
b. Karbonisasi yaitu proses penguraian selulosa organik menjadi unsur
karbon, serta mengeluarkan senyawa-senyawa non karbon.
Pembakaran bahan baku menggunakan udara terbatas dengan
temperatur antara 300 sampai 900o C. Proses ini menyebabkan
terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur
bahan membentuk metanol, uap asam asetat, tar, dan hidrokarbon.
Material padat yang tertinggal setelah proses karbonisasi adalah
karbon dalam bentuk arang dengan permukaan spesifik yang sempit.
c. Aktivasi yaitu proses pembentukan dan penyusunan karbon
sehingga pori- pori menjadi lebih besar. Arang yang dihasilkan
melalui proses karbonisasi bahan baku, sebahagian besar pori-
porinya masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan komponen lain,
seperti abu, air, nitrogen, dan sulfur, sehingga keaktifannya atau
daya serapnya rendah. Untuk meningkatkan daya serap arang, maka
bahan tersebut dapat diubah menjadi arang aktif melalui proses
aktivasi. Pada prinsipnya arang aktif dapat dibuat dengan dua cara,
yaitu cara kimia dan cara fisika. Mutu arang aktif yang dihasilkan
sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif,
suhu dan cara pengaktifannya.
a. Aktivasi cara kimia
Aktivasi cara kimia pada prinsipnya adalah perendaman
arang dengan senyawa kimia sebelum dipanaskan. Pada proses
pengaktifan secara kimia, arang direndam dalam larutan
pengaktifasi selama 24 jam, lalu ditiriskan dan dipanaskan pada
25
suhu 600- 900 °C selama 1 - 2 jam. Pada suhu tinggi bahan
pengaktif akan masuk di antara selasela lapisan heksagonal dan
selanjutnya membuka permukaan yang tertutup. Bahan kimia
yang dapat digunakan yaitu H 3PO4, NH4Cl, AlCl3, HNO3, KOH,
NaOH, KMnO4, SO3, H2SO4 dan K2S (Kienle, 1986).
Pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering
mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan.
Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa berupa oksida yang
tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu,
dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan dengan HCl
untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel
pada permukaan arang aktif dan kandungan abu yang terdapat
dalam arang aktif.
b. Aktivasi cara fisika
Aktivasi arang secara fisika menggunakan oksidator
lemah, misalnya uap air, gas CO2, N2, O2 dan gas pengoksidasi
lainnya. Oleh karena itu, pada proses ini tidak terjadi oksidasi
terhadap atom-atom karbon penyusun arang, akan tetapi
oksidator tersebut hanya mengoksidasi komponen yang
menutupi permukaan pori arang. Prinsip aktivasi ini dimulai
dengan mengaliri gas-gas ringan, seperti uap air, CO 2, atau
udara ke dalam retort yang berisi arang dan dipanaskan pada
suhu 800-1000 °C. Pada suhu di bawah 800 °C, proses aktivasi
dengan uap air atau gas CO2 berlangsung sangat lambat,
sedangkan pada suhu di atas 1000 °C, akan menyebabkan
kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang (Manocha, 2003).
Produk-produk karbonisasi terbagi atas arang dan kokas
berdasarkan pada struktur-struktur fisik, terutama struktur molekul.
Arang yang terbentuk oleh batu bara asalnya (khususnya batu bara
26
peringkat rendah) memperlihatkan tidak adanya viskositas selama
karbonisasi. Walaupun demikian, apabila batu bara melunak, melebur,
dan mengeras kembali selama dekomposisi, hal ini akan mengakibatkan
struktur vesikuler kokas terbentuk (Daulay dkk., 2010a).
Gas, amonia, ter, dan minyak ringan dihasilkan sebagai zat
terbang yang bervariasi dengan peringkat batu bara, jenis batu bara,
kandungan mineral dan kondisi karbonisasi seperti temperatur, tingkat
pemanasan dan sebagainya. Reaksi karbonisasi batu bara umumnya
terkait dengan reaksi-reaksi temperatur rendah (500–700°C),
temperatur menengah (700–900°C) dan temperatur tinggi (900–
1.050°C), seperti dilaporkan oleh Jasienko (1978), Elliot (1981), Stach
dkk. (1982), Suàrez-Ruiz dan Crelling (2008), Daulay dkk. (2010a) dan
Miller (2011).
Karbonisasi temperatur rendah dikembangkan terutama sebagai
proses untuk menyiapkan produk bahan bakar padat tanpa asap
(devolatilisasi) bagi konsumsi domestik dan boiler industri. Elliot
(1981) dan Tsai (1982) menyatakan bahwa struktur pori-pori yang
sangat kecil dari batu bara asal tetap bertahan secara substantif di dalam
arang sampai pirolisis dilakukan antara 650°C dan 700°C. Dengan
demikian, arang yang dihasilkan pada karbonisasi temperatur rendah
secara substantif bersifat reaktif seperti batu bara asalnya. Dengan
pemanasan yang dilanjutkan hingga 700°C, arang temperatur rendah
kehilangan reaktivitasnya melalui devolatilisasi dan mengalami
penurunan dalam porositasnya. Karbonisasi temperatur tinggi
dilakukan untuk memproduksi kokas. Kokas ini dipanaskan selama
beberapa jam dalam oven, tanpa udara, pada temperatur sekitar 1.000°C
untuk membuang komponen-komponen zat terbang dengan cara
distilasi destruktif berupa bentuk dekomposisi pirolitik (Daulay dkk.,

27
2010a). Kokas metalurgis dipakai terutama dalam tungku ledak
pembuatan besi (Daulay dkk., 2010a) sebagai.
1) sumber energi
2) agen pereduksi kimia, khususnya setelah pembakaran parsial ke
CO, dan
3) pemberi permeabilitas di dalam tungku dan mendukung beban
tungku.
Karbonisasi batu bara melibatkan interaksi sifat-sifat kimia dan
fisika batu bara. Faktor-faktor penting yang mengontrol kecocokan batu
bara untuk pembuatan kokas terkait dengan sifat-sifat tersebut yang
berdampak pada karakteristik kekuatan kokas.
Kekuatan kokas bisa dikaji dengan pengujian empiris dan yang
umumnya digunakan berupa pengujian ukuran kecenderungan kokas
yang pecah sepanjang retakan-retakan utama dan kemampuan kokas
menahan goresan (Daulay dkk., 2010a). Prediksi stabilitas kokas secara
luas dikaitkan dengan peringkat batu bara (reflektansi vitrinit, nilai
kalori, karbon tertambat, dan parameter peringkat lainnya) dan jenis
batu bara (komposisi maseral dan litotipe).
Peringkat batu bara sangat berpengaruh terhadap temperatur
fluiditas minimum dan maksimum serta resolidifikasi. Sifat-sifat ini
terkait langsung dengan dekomposisi termal batu bara. Dengan
demikian, hal ini ditentukan oleh lebih komposisi maseral daripada
struktur kimia batu bara. Fluiditas efektif batu bara sangat terkait
dengan kandungan vitrinit. Liptinit keadaannya sangat cair tetapi
bersifat mudah menyuling cairan. Inertinit memiliki sifat fluiditas
rendah.
Batu bara yang secara normal digunakan dalam proses
karbonisasi temperatur rendah adalah batu bara peringkat rendah,
berkisar dari lignit hingga batu bara bituminus zat terbang tinggi
28
dengan reflektansi vitrinit < 1,0 % (Berkowitz, 1979). Batu bara
peringkat rendah saat dipirolisis pada temperatur 600°C ke 700°C
menghasilkan arang-arang keropos atau semikokas tanpa asap dan
reaktif seperti batu bara asalnya. Sekalipun demikian, batu bara
peringkat rendah dapat dibuat briket dan dikarbonisasi pada temperatur
900°C hingga 1.000°C untuk menghasilkan kokas. Arang yang
dihasilkan juga bergantung pada jenis batu bara. Arang yang berasal
dari inertinit sedikit lebih keropos daripada arang yang berasal dari
vitrinit tetapi perbedaan ini berkurang seiring dengan peningkatan
peringkatnya.
Batu bara yang digunakan dalam proses karbonisasi temperatur
tinggi adalah batu bara peringkat tinggi, berkisar dari bituminus zat
terbang menengah hingga bituminus zat terbang tinggi dengan nilai
reflektansi dari 1,00% sampai 1,40% (Berkowitz, 1979). Batu bara
berperingkat lebih rendah dan lebih tinggi bisa dicampur untuk
meminimalkan biaya dan memaksimalkan kualitas.
Berkaitan dengan proses karbonisasi, maseral-maseral batu bara
terbagi menjadi maseral reaktif (binder) dan lembam (filler),
bergantung pada sifat-sifat selama karbonisasi. Maseral reaktif melunak
pada proses pemanasan, menjadi plastis, berperan sebagai pengikat
yang menghasilkan beragam residu kokas dan produk-produk
sampingan. Hal ini bergantung pada peringkat batu bara dan tipe khas
maseral. Maseral reaktif tersebut adalah vitrinit, liptinit, dan beberapa
semifusinit (Daulay dkk., 2010a).
Maseral lembam mengalami degasifikasi tetapi hampir tetap
stabil secara struktural selama karbonisasi. Maseral lembam ini
mencakup semua maseral inertinit, kecuali untuk semifusinit reaktif
(Daulay dkk., 2010a).

29
Metode sederhana yang memperlihatkan hubungan antara
kekuatan kokas, peringkat batu bara, dan jenis batu bara dilakukan oleh
Cook dan Edwards (1971). Mereka memperlihatkan konturkontur
kekuatan kokas dalam plot orthogonal dengan kandungan reflektansi
vitrinit dan kandungan vitrinit sebagai sumbu-sumbunya. Namun
sangat disayangkan bahwa kisaran peringkat batu bara yang dilakukan
dalam penelitian ini sangat terbatas.
Metode lain yang dilakukan oleh Schapiro dan Gray (1964)
menggunakan kisaran batu bara yang besar tetapi sangat sedikit
variasinya. Metode ini sangat luas pemakaiannya tetapi mendapatkan
kritikan keras dari Brown dkk. (1964).
Batu bara kokas terbagi atas:
a. batu bara kokas peringkat rendah, meliputi batu bara dengan
peringkat <bituminous A zat terbang tinggi;
b. batu bara kokas peringkat menengah, meliputi bituminous zat A
terbang tinggi ke bituminous zat terbang menengah; dan
c. batu bara kokas peringkat tinggi, meliputi bituminous zat terbang
menengah dan bituminous zat terbang rendah.
2.3.2 Gasifikasi Batubara
Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) adalah sistem
tenaga termal generasi mendatang dengan efisiensi pembangkit listrik
yang ditingkatkan secara signifikan dan kinerja lingkungan karena
kombinasi dengan gasifikasi batu bara dan sistem Gas Turbine
Combined Cycle (GTCC). Sistem IGCC tipe besar dapat meningkatkan
efisiensi pembangkit listrik sekitar 15% dan mengurangi CO2
dibandingkan dengan sistem tenaga panas berbahan bakar batu bara
konvensional (Harkin et al., 2011).

30
Gambar 11. Skema alir proses IGCC (Harkin et al., 2011)

Ada dua jenis teknologi IGCC yang sedang dikembangkan


yaitu Air-Blown IGCC dan Oxygenblown IGCC.
1) Air Blown IGCC
Sistem Air blown IGCC (ABI) menggunakan udara untuk proses
gasifikasi batubara. Pertama batubara diolah menjadi gas batubara
di gasifier, dimana udara digunakan sebagai agen gasifikasi. Gas
batubara menjalani proses desulfurisasi dan dedusting di unit
pembersihan gas untuk memenuhi standar bahan bakar gas turbin
dan gas buang. Gas bersih disuplai ke fasilitas siklus gabungan
turbin gas (GTCC) (Gräbner et al., 2010).

31
Gambar 12. Skema Air Blown IGCC (ABI) (Gräbner et al., 2010)

Gas Turbine Combined Cycle (GTCC) membakar gas bersih


sebagai bahan bakar untuk memutar gas turbin untuk pembangkit
listrik. Panas dari gas buang dimanfaatkan lagi di Heat Recovery
Steam Generator (HRSG) dengan menukar panas dengan air dan
uap yang dihasilkan menggerakkan turbin uap untuk pembangkit
listrik tambahan. Ditempatkan ke hilir dari gasifier, penukar panas
mendinginkan gas batubara panas. Pada saat yang sama uap
dihasilkan. Gasifier digabungkan ke dalam HRSG dan digunakan
untuk pembangkit listrik dengan turbin uap. Modifikasi semakin
meningkatkan efisiensi pembangkit listrik. ABI menyebabkan
reaksi antara batubara yang disuplai dengan agen gasifikasi untuk
menghasilkan gas mudah terbakar bersuhu tinggi yang utamanya
terdiri dari karbon monoksida (CO) dan hidrogen (H2) (Gambar
4). Gasifier memiliki struktur dua ruang dua tingkat, yang terdiri
dari ruang bakar di tingkat bawah (pertama) dan reduktor di
tingkat atas (kedua). Mengamankan jumlah kalori dari gas batu
bara gasifikasi diperlukan untuk pengoperasian turbin gas, gasifier
melelehkan abu dan membuangnya dengan lancar. Oleh karena itu,
32
gasifier memainkan dua peran berbeda pada saat bersamaan
(Harkin et al., 2011).

Gambar 13. Mekanisme dari Air Blown IGCC (ABI) (Gräbner et al.,
2010)

2) Oxygen Blown IGCC (OBI)


Oxygen blown IGCC (OBI) didasarkan pada single-chamber, two-
stage, swirl-flow entrainedbed yang dilengkapi dengan pembakar
di tingkat atas dan bawah dari tungku silinder (Tanno & Makino,
2018). Rasio oksigen / batubara yang sesuai dapat dialokasikan ke
tahap atas dan bawah untuk menyesuaikan tahap yang lebih rendah
dengan suhu yang diperlukan untuk abu leleh dan tahap atas
dengan kondisi untuk reaksi gasifikasi yang efisien sesuai dengan
jenis batubara yang digunakan. Selain itu, swirl flow dapat

33
dihasilkan dalam gasifier untuk memungkinkan waktu tinggal
partikel batubara dan menekan dispersi arang.

Gambar 14. Konfigurasi Oxygen blown IGCC (OBI) (Tanno & Makino,
2018)

Langkah-langkah pada (OBI):


1) Rasio oksigen / batubara pada tahap atas dan bawah
dioptimalkan, dan cara penyediaan gas segel diperbaiki pada
saluran keluar gasifier (tenggorokan) untuk melindungi
tenggorokan dari endapan abu (terak).
2) Pipa berpendingin air pada dinding gasifier dipersempit untuk
meningkatkan pendinginan, dan material tahan panas
disuntikkan dengan fusi ke bagian lokal bersuhu tinggi, untuk
melindungi dinding gasifier.

34
3) Aliran gas bersuhu tinggi (aliran sirkulasi sendiri) dalam
tungku dan nosel penggerak aliran-turun terak digunakan
untuk mengisolasi dan memanaskan lubang keran abu cair
(terak), untuk menyebabkan terak mengalir turun secara stabil.
Langkah-langkah ini memecahkan masalah yang terkait dengan
(OBI) (Gambar 6) (Harkin et al., 2011).

Gambar 15. Fitur Oxygen blown IGCC (OBI) (Tanno & Makino, 2018)
2.3.3 Pencairan Batubara
Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah proses
mengubah wujud  batubara dari padat menjadi cair. Proses pencairan
batubara dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode langsung
dan metode tidak langsung. Pada  proses tidak langsung batubara
difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 yang kemudian
direkombinasikan menghasilkan produk cair, prosesnya melalui
gasifikasi dan kondensasi. Pada proses langsung batubara cair
diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut organik lalu
35
dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi.
Proses pencairan batubara secara langsung dapat dilakukan melalui
pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
Pada proses pencairan batubara secara langsung, katalis sangat
berperan dalam reaksi hidrogenasi pelarut donor hidrogen. Molekul
hidrogen kurang reaktif dibandingkan dengan pelarut donor hidrogen
dalam proses stabilisasi radikal hasil fragmentasi batubara. Sifat
kekurang-aktifan dari molekul hidrogen menyebabkan  pelarut donor
hidrogen terlibat langsung dalam proses hidrogenasi fragmen-fragmen
batubara tersebut. Hidrogen yang dikeluarkan dari donor hidrogen
mengakibatkan pelarut tersebut menjadi tidak aktif. Pengaktifan
kembali dapat dilakukan dengan reaksi hidrogenasi. Molekul hidrogen
dengan bantuan katalis dapat merehidrogenasi pelarut donor hidrogen
pada proses pencairan batubara.
Pencairan batubara prinsipnya melalui dekomposisi termal
batubara (biasanya 400-500°C batubara sudah/mulai mengeluarkan
liquid ) kadang disebut karbonisasi atau destructive distillation, tapi
istilah ini tidak tepat karena proses karbonisasi tidak ditujukan untuk
menghasilkan liquid sebagai produk utama (C organik = C
coke/char/carbon+liquid+gas). Proses secara kimiawi pada  prinsipnya
struktur kimia batubara dipecah menjadi kecil, ikatan-ikatan organik
dipecah menjadi lebih kecil dan rasio atom H/C ditingkatkan agar
menjadi liquid,

Ada empat cara pada proses pencairan batubara:

a. Pyrolisis: batubara dipanaskan (melebihi 400°C, tekanan bisa


bervariasi) tanpa oksigen (disebut juga karbonisasi seperti di atas),
menghasilkan char +liquid +gas. Bisa juga dengan kondisi kaya

36
hidrogen (hidrokarbonisasi). Proses ini sederhana tapi tidak efektif
karena dominan menghasilkan char  daripada liquid.
b. Solvent extraction : batubara dicampur solvent  untuk menghasilkan
liquid  dengan adanya transfer hidrogen dari  solvent ke batubara
atau dari gas hidrogen ke batubara (temperatur sampai dengan
500°C, tekanan bisa  bervariasi sampai dengan 5000 psi). Solvent  
bisa berupa batubara cair hasil proses sebelumnya atau
produk petroleum (bitumen dan heavy oil ).
c. Catalytic Liquefaction: penggunaan katalis untuk menambah
hidrogen ke batubara. Katalis bisa berupa iron oxide, zinc chloride,
tin chloride, dan lain lain, tapi harus tetap ada suplai hidrogen.
d. Indirect liquefaction: meliputi 2 tahap konversi, (1) batubara
direaksikan dengan uap air dan oksigen untuk menghasilkan gas
terutama CO dan H2, (2) kemudian gas ini dimurnikan
(membersihkan S, N, dan lain-lain), hasilnya direaksikan dengan
katalis untuk dikonversi menjadi cair (kadang disebut proses
Fischer-Tropsch). Bisa juga dikonversi untuk menghasilkan
methanol, kemudian methanol dikonversi menjadi liquid.

2.3.3.1 Reaksi dalam Proses Pencairan Batubara


a. Reaksi Substitusi
Reaksi ini terjadi dimana sebuah atom pada molekul
digantikan oleh atau atom-atom lain. Termasuk didalam substitusi
radikal bebas yaitu pemutusan ikatan karbon-hidrogen pada alkana
seperti : methane CH4, ethane CH3CH3, dan propane
CH3CH2CH3. Ikatan baru nantinya membentuk sesuatu yang lain.
Termasuk juga pada alkil seperti metil dan etil. Sebagai contoh,
37
asam etanoik berupa CH3COOH dan mengandung sebuah metil.
Ikatan karbon-hidrogen sama seperti metan yang bisa diputuskan
dan digantikan oleh atom yang lain. Berikut ini contoh sederhana
seubstitusi yaitu antra metan dan klorin dengan adanya sinar
ultraviolet (atau sinar matahari).

CH4 + Cl2 CH3Cl + HCl

b. Reaksi radikal bebas


Radikal bebas merupakan atom atau grup atom yang
memiliki sebuah elektron tidak berpasangan/bebas. Reaksi
substitusi radikal bebas merupakan reaksi yang berhubungan
dengan radikal bebas. Radikal bebas dibentuk jika ikatan terbelah
menjadi dua yang sama sehingga setiap atom mendapat satu dari
dua elektron yang dipakai untuk berikatan. Disebut juga sebagai
pembelahan homolitik.
Untuk menunjukkan sesuatu (atom atau grup atom)
merupakan radikal  bebas, dituliskan dengan simbol titik untuk
menunjukkan elektron yang titik  berpasangan. Sebagai contoh :

Radikal Klorin Cl*


Radikal Metil CH3*

2.3.3.2 Themal Cracking pada Alkana


a. Karakteristik Alkana
Alkana merupakan molekul yang sangat tidak reaktif.
Umumnya reaksi memerlukan input energi untuk menginisiasi
reaksi contohnya pada pemutusan ikatan pada temperatur tinggi.
Kurang reaktifnya senyawa ini disebabkan 2 faktor:

- Kekuatan ikatan

38
Ikatan C-C dan C-H yang kuat sehingga tidak mudah memutus
ikatan.
- Sifat ikatan
 C dan H memiliki keelekronegatifan yang sama sehingga
tak ada ikatan polar yang mudah memberikan atom karbon
positif yang mudah diserang pasangan elektron donor yang
bersifat elektrofilik.
 Seluruh ikatan C-C dan C-H merupakan ikatan kovalen
tunggal dan tidak ada daerah yang memiliki densitas
elektron yang tinggi dan dapat menyerang pasangan
elektron donor yang bersifat elektrofilik.

2.3.3.3 Thermal Cracking Radikal Bebas pada Alkana


Contoh : CH3CH2CH3CH4, CH2 = CH2, CH3CH3, CH2 = CHCH3, H2
 Persamaan ini tidak dimaksudkan untuk disetarakan tetapi hanya
menunjukkan variasi produk.
 Ketika hidrokarbon alkana dipanaskan pada temperatur tinggi
maka senyawa tersebut akan terdekomposisi secara termal atau
terputus menjadi beberapa alakan dengan jumlah atom C yang
lebih sedikit atau alkena jumlah atom C yang sama atau lebih
sedikit.

39
 Jika temperatur cukup tinggi, energi kinetik dari partikel
kekurangan untuk menyebabkan fisi ikatan pada saat tumbukan
dan ini menyebabkan reaksi rantai radikal bebas.
 Langkah (1) adalah langkah inisiasi   dimana ikatan C-C pada
suatu molekul alkana dipecah menjadi dua radikal bebas alkil
dengan fisi ikatan homolitik. Ini artinya pasangan elektron pada
ikatan C-C dipecah antara dua radikal yang terbentuk.
 Ikatan terlemah yang pertama kali akan terputus dalam langkah
inisiasi, ikatan C-C (entalpi ikatan 348 kJ/mol) akan cenderung
pertama kali terputus. Sedangkan ikatan C-H lebih kuat (entalpi
ikatan 412 kJ/mol).
 Titik merah menunjukkan elektron yang tidak berpasangan pada
radikal  bebas.
 Radikal bebas adalah jenis yang kereaktifannya tinggi dengan
elektron yang tidak berpasangan dan cenderung membentuk
ikatan baru dengan cepat, dalam hal ini dengan cara
menghilangkan hidrogen dari molekul dengan langkah (2) sampai
(6) atau berpasangan dengan radikal lainnya contohnya langkah
(7) dan (8).

40
 Langkah (2) sampai (6) adalah langkah  propagasi   rantai, karena
sama halnya dengan hasil, radikal bebas juga terus dihasilkan
untuk melanjutkan reaksi rantai dan menyebabkan, dalam hal ini
bermacammacam produk lain.
 Langkah (7) dan (8) adalah dua kemungkinan langkah terminasi  
rantai yang menghilangkan kereaktifan alkil radikal bebas yang
tinggi. Elektron yang tidak berpasangan dari dua radikal akan
berpasangan sehingga membentuk ikatan baru.
 Juga dapat melakukan terminasi dengan bentuk alkena dan alkana
secara simultan.
Contoh: 2CH3CH2 CH2 = CH2 + CH3CH3
Atau kombinasi isomer untuk membentuk methylpropana
(CH3)2CHCH3 seperti butan yang diharapkan.

2.3.3.4 Mekanisme Hipotetis Proses Pencairan Batubara

a. Tingkat destabilisasi
Tahapan ini merupakan tahapan awal yang dilakukan
sebelum tahapan pemutusan ikatan secara termal. Tahapan ini
dimaksudkan untuk mengganggu kestabilan ikatan senyawa
kompleks batubara sehingga akan melemahkan energi ikatannya.
Proses destabilisasi ini dilakukan dengan menggunakan medan
elektromagnet dan elektrolisis secara simultan. Medan elektrolisis
akan menyebabkan terjadinya gangguan dan splitting pada level
energi bilangan kuantum magnetik atom yang berikatan
sedangkan elektrolisis akan mengacak gaya Van der Waalsnya.
Dengan memanfaatkan senyawa-senyawa minor pada batubara
maka akan membantu untuk melemahkan gaya van der waals
molekul- molekul batubara sehingga molekul ini merenggang
jaraknya. Selanjutnya pelarut akan masuk ke dalam pori-pori
41
molekul sehingga akan terjadi pembengkakan (swelling) molekul-
molekul batubara ini.

Gambar 16. Proses Destabilsasi pada Ikatan batubara


b. Depolymerisation
Bagian ini lebih dikenal dengan proses perengkahan
panas (thermal cracking). Batubara yang telah mengalami proses
pembengkakan (swelling) dengan bantuan panas dari luar akan
membantu memutuskan ikatan antar molekul-molekul batubara.
Tahapan thermal craking didahului oleh ikatan inisiasi dengan
pemutusan secara homolitik menjadi radikal-radikal bebas.
Pemutusan ikatan menjadi radikal bebas ini terjadi pada ikatan
yang terlemah yaitu ikatan tunggal C-C dan C-O. Dengan
pemutusan ikatan C-C ini maka akan terbentuk senyawa
hidrokarbon baru dengan berat molekul yang lebih kecil dari
senyawa kompleks batubara yang besar. Setelah terjadi inisiasi
maka akan dilanjutkan dengan tahap propagasi ikatan membentuk
42
beberaga jenis rantai hidrokarbon yang beragam. Tahapan ini
akan diakhiri dengan mekanisme terminasi radikal bebas melalui
proses stabilisasi.

Gambar 17. Proses Thermal Cracking pada Ikatan Batubara


c. Tahapan stabilisasi
Tahap ini bertujuan untuk menstabilkan radikal bebas
yang terbentuk selama thermal cracking terjadi. Bagian ini
dikenal dengan proses ekstraksi pelarut (solvent extraction).
Molekul-molekul batubara dengan berat molekul yang kecil dan
dalam keadaan tak stabil akan distabilkan kembali dengan
bantuan pelarut donor hidrogen. Pelarut ini akan memberikan
molekul hidrogennya pada molekul batubara yang tak jenuh agar
batubara menjadi jenuh kembali. Selain memberikan donor
hidrogen jugaberkontribusi membentuk radikal lain yang akan
berikatan dengan radikal hasil proses thermal cracking sehingga
dapat saling menstabilkan. Tahap ini juga diharapkan dalam

43
keadaan yang turbulensi agar proses ekstraksi batubara oleh
pelarut lebih cepat dan homogen.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi hasil
konversi produk dan konsumsi hidrogen pada proses pencairan
batubara, antara lain:
a) Pengaruh peringkat batubara
Peringkat batubara mempengaruhi konversi produk
yang dihasilkan. Syaker dan Kelvin mempelajari pengaruh
karateristik batubara terhadap minyak yang dihasilkan setelah
proses pencairan, mereka menyatakan bahwa semakin tinggi
peringkat batubara, makin sedikit minyak yang dihasilkan,
b) Pengaruh rasio batubara/pelarut
Rasio batubara/pelarut (coal-solvent ratio) yang
digunakan mempunyai peranan yang penting dalam menaikan
konversi produk yang dihasilkan. Pelarut yang digunakan
biasanya mengandung hidroaromatik, seperti: tetralin,
dekalin, dihidroantresen, dihidrofenantren dan lain lain.
Pelarut yang dipilih biasanya mempunyai temperatur
superkritis pirolisis batubara sebagai contoh: tetralin
mempunyai temperatur kritis 448°C, sehingga proses
pencairan biasanya dilakukan sekitar temperatur 450°C. Jones
dan Rotterdorf (1980) menyatakan bahwa dengan rasio berat
batubara/pelarut: 4 dan ternyata menunjukan hasil konversi
produk yang hampir sama. Menurut Ghazali dan Nasir
(1994), dengan rasio batubara/pelarut: 2/3 dan 1/3 diperlukan
konsumsi hidrogen berturut-turut: 2,4% dan 2,5%, konsumsi
hidrogen tinggi ini menunjukkan kemampuan pelarut
berfungsi dengan baik.
c) Pengaruh kondisi operasi
44
Kondisi operasi proses pencairan batubara yang utama disini
adalah:
 Pengaruh temperatur operasi
Temperatur operasi pencairan batubara biasanya terjadi
antara 375°C- 450°C. Batubara bituminus bila dipanaskan
pada temperatur 325°C- 350°C akan lunak dan bersifat
plastis. keadaan ini disebut "plastic state", dan pada
kondisi ini kecepatan reaksi berjalan sangat lambat,
bahkan belum terjadi reaksi. Laju pemanasan yang cepat
untuk mencapai temperatur operasi optimum akan
melindungi bagian reaktif batubara terhadap polimerisasi.
 Pengaruh waktu operasi
Waktu operasi proses pencairan batubara sekitar 20 menit
sampai 2 jam, namun ada peneliti yang menyatakan bahwa
terjadi peningkatan konversi batubara menjadi produk
minyak dengan kenaikan waktu operasi sampai 200 menit.
Pemanasan partikel batubara secara cepat dalam media gas
hidrogen dapat meningkatkan waktu kontak sehingga
kurang dari 15 menit (short contact time liquefaction),
dengan konversi produk yang tetap tinggi.

2.3.3.5 Pelarut dalam Proses Likuifaksi Batubara


Proses likuifaksi batubara dijalankan pada suhu 315-470°C,
melalui dua cara yaitu dengan menggunakan proses pelarutan
(solvasi) dan tanpa menggunakan pelarut. Cara pertama batubara
dilarutkan dalam pelarut tertentu yang mempunyai sifat donor-H
ataupun tidak, kemudian hidrogen bertekanan. diinjeksikan ke
dalamnya. Pada cara kedua dilakukan hidrogenisasi secara langsung
tanpa menggunakan pelarut.

45
Minyak tanah atau kerosin merupakan cairan hidrokarbon
yang tak berwarna dan mudah terbakar dan memiliki titik didih antara
200 °C dan 300 °C. Minyak tanah atau disebut juga parafin. Minyak
tanah banyak digunakan untuk lampu minyak dan kompor, sekarang
banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin jet (Avtur, Jet-A, Jet-B,
JP-4 atau JP-8). Kerosin dikenal sebagai RP-1 digunakan sebagai
bahan bakar roket. Pada proses pembakarannya menggunakan
oksigen cair. Kerosin didestilasi langsung dari minyak mentah dan
memerlukan pengendalian khusus dalam sebuah unit Merox atau
hydrotreater untuk mengurangi kadar belerang dan perkaratan.
Kerosin dapat juga diproduksi oleh hydrockraker, yang digunakan
untuk meningkatkan bagian dari minyak mentah yang cocok untuk
bahan bakar minyak.

- Densitas : 0.750-0,845 kg/1, zat cair


- Titik Lebur : - 60°C to -26°C
- Titik Didih : ~150 to 300° C
- Viskositas : 8,0-8,8 mm2/s (-20° C)
- Titik Nyala : 28 to 60°C

2.3.3.6 Katalis dalam Proses Likuifaksi Batubara


Peranan katalis dalam pencairan batubara adalah untuk
membantu memasukkan atom hidrogen yang berasal dari disosiasi
molekul hidrogen ke dalam batubara atau campuran batubara pelarut
sehingga menaikkan ketersediaan hidrogen aktif. Berdasarkan fasanya
katalis dibedakan menjadi dua yaitu katalis homogen dan katalis
heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang mempunyai fasa
sama dengan fasa reaksi sehingga daya yang dihasilkan lebih kuat
daripada katalis heterogen. Kelemahan katalis homogen adalah sulit
dipisahkan dari sistem reaksinya. Katalis heterogen adalah katalis
46
yang mempunyai fasa berbeda dengan fasa reaksinya, sehingga katalis
heterogen kurang reaktif, tetapi katalis ini lebih mudah dipisahkan
dengan sistem reaksinya serta relatif stabil dalam perlakuan panas
(Zhao, et al., 2006; Syukri, et al., 2007). Kriteria pemilihan katalis
antara lain adalah kereaktifannya tinggi, harganya murah dan mudah
diproduksi. Beberapa katalis yang termasuk kriteria tersebut adalah
Fe2O3, ZnCl2, dan SnCl2.
Katalisator digunakan untuk menurunkan energi aktivasi zat-
zat pereaksi, sehingga pada suhu yang tetap reaksi berlangsung lebih
cepat. Makin banyak katalisator yang digunakan, konversi akan
bertambah, tetapi pada suatu saat penambahan katalisator tidak akan
menambah basil cair yang berarti. Selain itu penggunaan katalisator
dalam proses liquifaksi batubara dapat mereduksi kandungan sulfur
dalam produk (Masduki, dkk., 2001).
Di antara berbagai halida logam, seng klorida adalah salah
satunya. Seng klorida akan cair pada kondisi reaksi dan pada
gilirannya berfungsi untuk mengatasi beberapa masalah dalam
katalisis heterogen. Keuntungan tambahan dari menggunakan seng
klorida termasuk minim penggunaan hidrogen dan kemungkinan
katalis diresikel melebihi 99%. Mengingat keunggulan ini olch
berbagai kelompok riset seng klorida telah diterapkan. Peneliti juga
telah mengembangkan proses percontohan memanfaatkan seng
klorida sebagai katalis utama (Ghandi, 2013).
Adapun spesifikasi dari zink klorida (ZnCl2) adalah sebagai
berikut:

- Berat Molekul : 136,3 gr/mol


- Titik didih : 732°C
- Titik Lebur : 290°C 4.

47
- Tekanan Uap pada 428°C : 1 mmHg
- Densitas : 2,91 gr/mL
- Kelarutan pada 25°C : 423 gr/100 gr Air
- pH :4
- berupa kristal putih dan tidak berbau

2.3.3.7 Elemen Pemanas


Elemen pemanas adalah elemen yang menghasilkan panas
yang bersumber dari material yang mempunyai resistansi yang tinggi
terhadap listrik yang kemudian diberi arus listrik. Ada banyak macam
dari elemen pemanas ini tergantung dari kebutuhan. Namun pada
dasarnya dapat di kategorpkan sebagai berikut :

a. Elemen Pemanas Bentuk Awal Yaitu elemen pemamas dimana


material beresistansi tinggi tersebut kemudian dilapisi oleh
material isolator listrik. Isolator tersebut bisa dari keramik, silikon
dan sebagainya.
b. Elemen Pemanas Bentuk Lanjutan Merupakan elemen pemanas
yang bentuknya mengalami pengembangan. Untuk menambah
efisiensi, ketahanan ataupun meningkatkan fungsi dari pemanas
tersebut dilakukan penambahan lapisan logam, pipa ataupun
lembaran plat pada badan elemen pemanas. Logam yang
digunakan yaitu kuningan, tembaga, bronze, stainless steel dan
steel (besi).

2.3.3.8 Ceramic Heater


Ceramic Heater ataupun pemanas keramik adalah item
kompleks yang menghasilkan panas dengan melewatkan listrik
melalui material beresistansi tinggi yang tertanam dalam piringan
keramik. Dengan sepenuhnya ditanam dalam keramik maka panas

48
langsung ditransfer ke lapisan keramik tersebut. Hal ini juga
bermanfaat untuk kawat pemanas sehingga terlindungi dan dapat
memperpanjang umur elemen. Penemu dari pemanas keramik tersebut
di atas adalah perusahaan Elstein-Werk dari Jerman. Untuk model
dasar radiator keramik sebagai bola dengan sekrup-topi, paten untuk
Elstein diterbitkan pada 24 Maret 1949. Item ini dikenal juga di
seluruh dunia dengan nama “Elsteinheater".
Biasanya dimanfaatkan untuk memanaskan benda yang
permukaannya padat diantaranya untuk memanaskan : plastik,
makanan, ruangan, metal, cat, dan lain-lain. Aplikasi lainnya juga
digunakan sebagai drying untuk material plastik foil dan sheet hasil
cetakan printer, furniture kayu, material kaca, dan lain-lain.

1. Silica dan Quartz Heater


Silica (Silikon Oksida) bisa berbentuk gelas, semen atau keramik.
Pemanas silica biasanya adalah elemen (material beresistansi
tinggi) yang dibuat kompleks. kemudian dilapisi oleh silica.
Sehingga panasnya memancar karena bahan silica yang bening.
Penjelasan untuk Quartz pun serupa dengan silica.
Silica/Quartz heater juga disebut dengan Infrared Heater/Pemanas
Infrared. Ini disebakan karena pancaran panas yang dihasilkan
merupakan radiasi cahaya infrared. Radiasi bias terjadi antara
780nm sampai 1mm tergantung dari panas yang dihasilkan.

49
Gambar 18. Infrared Heater

2. Bank Channel Heater


Channel Heater ataupun Saluran Elemen Pemanas adalah jenis
pemanas yang telah dirancang untuk memberikan pemanasan
modular pada unit yang diinginkan. Didesain dengan kuat
sehingga cocok untuk dipakai pada tegangan rendah sekalipun.
Dengan sifatnya yang portable maka cocok untuk digunakan
dalam tungku sementara.
Aplikasi dari jenis pemanas ini biasa ditemukan pada industry-
industri seperti piringan panas, cetakkan (mold & dies) ataupun
pada permukaan dimana panas dibutuhkan.
3. Black Body Ceramik Heater
Sama halnya seperti pemanas keramik, namun pada jenis ini
mempunyai efisiensi maksimum yaitu dengan mengubah setiap
energi daya menjadi energi radiasi. Konveksi kerugian yang
maksimal, suhu dapat dikendalikan dengan proses yang
dikategorikan dalam "thermocouple built-in". Panjang gelombang
dapat disesuaikan dengan karakteristik penyerapan dari bahan
yang dipanaskan. Kehilangan panas dan perubahan proses juga
dapat dikurangi.

50
Badan Black Body Ceramik Heater dengan lubang lubang 5/16"
(8mm) di seluruh permukaan praktis untuk aplikasi pemanasan
berseri-seri dengan kebutuhan pendinginan. Sepanjang 8-7/8″  x
12-1/8″  (225mm x 308mm) kombinasi radiasi/sumber panas
konvektif diperlukan udara yang ditiupkan melalui permukaan
sehingga memberikan transfer konveksi panas.

2.3.3.9 Analisis Minyak Hasil Pencairan Batubara


Untuk menganalisis produk minyak hasil pencairan batubara,
parameter yang dituju terbagi menjadi dua kategori yaitu parameter
sifat fisik dan parameter sifat kimia.

a. Parameter Sifat Fisik Parameter sifat fisik produk minyak hasil


pencairan batubara meliputi: densitas, viskositas, titik nyala, titik
asap, titik bakar dan titik tuang.
b. Parameter Sifat Kimia Parameter sifat kimia produk minyak hasil
pencairan batubara meliputi: komposisi minyak, nilai kalor, rasio
H/C.

2.3.3.10Penelitian Terdahulu

Harli Talla dan Hendra Wijaya (2012) melakukan penelitian


variabel temperatur terhadap hasil konversi pencairan batubara
dengan batubara yang  berasal dari Papua Barat dan Kalimantan
Selatan. Hasil dari penelitian tersebut yaitu pada temperatur
400oC –  425oC, konversi batubara Sorong sangat tinggi dan
mencapai 89,94 %, karena batubara ini memiliki kandungan hidrogen
(H/C) yang tinggi sehingga bersifat sangat reaktif dalam proses
pencairan. Suhu ini cocok untuk pencairan batubara peringkat rendah
(lignit). Sedangkan Suhu 425ºC - 450ºC, puncak konversi batubara
Eco-coal   sebesar 87,28 %, karena semakin tinggi peringkat batubara
51
semakin rendah pula kandungan hidrogennya (H/C) dan strukturnya
semakin kompak. Sehingga suhu 425ºC - 450ºC akan lebih tepat
untuk pencairan batubara peringkat tinggi.
Sedangkan pada penelitian terbarunya, Harli Talla (2017)
melakukan  penelitian pengaruh kadar air terhadap proses pencairan
dan produk minyak  batubara dengan menggunakan tiga jenis
batubara yang berbeda. Batubara yang digunakan yaitu batubara
peringkat lignit dari Papua, batubara sub-bituminus dari Kutai dan
batubara bituminus berperingkat tinggi dari Kalimatan. Hasil dari 21
penelitian tersebut yaitu batubara Papua (lignit) yang memiliki kadar
air tertinggi menghasilkan konversi dan perolehan minyak yang lebih
banyak dikarenakan tingkat solubiliti yang lebih baik serta didukung
dengan kandungan hidrogen yang tinggi dan didominasi oleh struktur
hidrokarbon alifatik ikatan oksigen dibanding dengan batubara
subbituminus dan bituminus yang berkadar air rendah, tingkat
kelarutan dan kandungan hidrogen rendah serta struktur hidrokarbon
cenderung lebih aromatik dan kompak

2.3.4 Briket Batubara


Briket batubara adalah bahan bakar padat dengan bentuk dan ukuran
tertentu, yang tersusun dari butiran batubara halus yang telah mengalami
proses pemampatan dengan daya tekan tertentu, agar bahan bakar tersebut
lebih mudah ditangani dan menghasilkan nilai tambah dalam pemanfaatan.
Syarat briket yang baik adalah briket yang permukaannya halus dan
tidak meninggalkan bekas hitam di tangan. Selain itu, sebagai bahan bakar,
briket juga harus memenuhi kiteria sebagai berikut :
a. Mudah dinyalakan
b. Tidak mengeluarkan asap
c. Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun

52
d. Kedap air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada waktu
lama
e. Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan suhu
pembakaran) yang baik. (Nursyiwan dan Nuryei, 2005).
Briket batubara memiliki keungggulan sebagai berikut:
a. Murah
b. Panas yang tinggi dan kontinu sehingga sangat baik untk pembakaran
yang lama
c. Tidak beresiko meledak atau terbakar
d. Tidak mengeluarkan suara bising serta tidak berjelaga, dan sumber
batubara berlimpah.
Briket adalah teknologi yang menggunakan proses basah atau kering
untuk mengkompresi bahan baku ke dalam beberapa bentuk. Proses briket
kering memerlukan tekanan tinggi dan tidak memerlukan pengikat. Proses
tersebut mahal dan direkomendasi hanya untuk produksi level tinggi.
Sedangkan proses basah hanya memerlukan tekanan rendah tetapi
memerlukan binder (Assureira, 2002).
Beberapa tipe/bentuk briket yang umum dikenal adalah, antara lain :
bantal (oval), sarang tawon (honey comb), silinder (cylinder), telur (egg), dan
lain-lain. Kemudian adapun faktor-faktor yang mempengarhui sifat briket
adalah berat jenis bahan bakar atau berat jenis bahan baku, kehalusan serbuk,
suhu karbonisasi, dan tekanan pada saat dilakukan pencetakan. Selain itu,
pencampuran formula dengan briket juga mempengaruhi sifat briket.

53
(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 19. Bentuk-bentuk Briket : (a) Sarang Tawon Bulat (b) Sarang Tawon
Kotak (c) Silinder Pejal (d) Tablet (e) Hexagonal (f) Silinder Berlubang
(sumber : www.arangbriketindonesia.com )
2.3.4.1 Teknologi Pembuatan Briket
Ada tiga jenis briket batubara yang berbeda-beda komposisinya,
yaitu:
a. Briket batubara biasa (Non Karbonisasi), campuran berupa batubara
mentah dan zat perekat (biasanya lempung). Sangat sederhana dan
biasanya berkualitas rendah. Jenis Non Karbonisasi (biasa), jenis yang ini
tidak mengalamai dikarbonisasi sebelum diproses menjadi Briket dan
harganyapun lebih murah. Karena zat terbangnya masih terkandung
dalam Briket Batubara maka pada penggunaannya lebih baik
menggunakan tungku (bukan kompor) sehingga akan menghasilkan
pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang yang muncul
dari Briket akan habis terbakar oleh lidah api dipermukaan tungku.
Briket ini umumnya digunakan untuk industri kecil. Pada briket jenis ini
komposisi campurannya adalah batubara 80% – 95%, bahan pengikat 5%
– 20%, bahan imbuh 0% -5 %.
b. Briket batubara terkarbonisasi, batubara yang digunakan “dikarbonisasi”
(carbonised) terlebih dulu dengan cara membakarnya pada suhu tertentu
54
sehingga sebagian besar zat pengotor, terutama zat terbang (volatile
matters) hilang. Dengan bahan perekat yang baik, briket batubara yang
dihasilkan akan menjadi sangat baik dan rendah emisinya.
Dengan proses karbonisasi zat – zat yang terkandung dalam Briket
Batubara tersebut diturunkan serendah mungkin sehingga produk
akhirnya tidak berbau dan berasap, namun biaya produksi menjadi
meningkat karena pada Batubara tersebut terjadi rendemen sebesar 50%.
Briket ini cocok untuk digunakan untuk keperluan rumah tangga serta
lebih aman dalam penggunaannya. Bahan baku utama briket batubara
terkarbonisasi adalah batubara dengan persentase antara 80 – 90%,
sisanya 5 – 15% merupakan bahan pengikat dan bahan imbuh. Bahan
imbuh yang biasa digunakan adalah kapur dengan kadar maksimum 5%
yang berfungsi sebagai adsorban untuk menangkap SO2.
c. Briket bio-batubara, atau dikenal dengan bio-briket, selain kapur dan zat
perekat, ke dalam campuran ditambahkan bio-masa sebagai substansi
untuk mengurangi emisi dan mempercepat pembakaran. Bio-masa yang
biasanya digunakan berasal dari ampas industri agro (seperti bagas tebu,
ampas kelapa sawit, sekam padi, dan lain-lain) atau serbuk gergaji.
Bahan baku briket bio-batubara terdiri dari : batubara, biomassa, bahan
pengikat dan kapur. Komposisi campurannya adalah batubara 50% –
80%, biomas 10% – 40%, bahan pengikat 5% – l0%, bahan imbuh
(kapur) 0% – 5%.

55
Tabel 1. Standar Kualitas Briket Batubara

2.3.4.2 Pembuatan Briket


Secara umum proses pembuatan briket melalui tahap pemilihan
bahan baku, pencampuran, pencetakan, pengeringan dan pengepakan.
1. Bahan Baku
Untuk melakukan proses pembuatan briket pertama harus
menentukan bahan baku pembuatan briket. Umumnya bahan baku
yang digunakan adalah batubara, limbah biomassa ataupun
campuran antara batubara dengan limbah biomassa yang
memungkinkan untuk dijadikan briket.
a. Batubara
Elliot (1981), ahli geokimia batubara, berpendapat
batubara merupakan batuan sedimen yang secara kimia dan
56
fisika adalah heterogen yang mengandung unsur-unsur karbon,
hydrogen, serta oksigen sebagai komponen unsur utama dan
belerang serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu
senyawa anorganik pembentuk ash (debu), tersebar sebagai
partikel zat mineral yang terpisah di seluruh senyawa batubara.
Secara ringkas, batubara bisa didefinisikan sebagai batuan
karbonat berbentuk padat, rapuh, berwarna cokelat tua sampai
hitam, dapat terbakar, yang terjadi akibat perubahan tumbuhan
secara kimia dan fisik.
Batubara berasal dari tumbuhan yang telah mati dan
tertimbun dalam cekungan yang berisi air dalam waktu sangat
lama, mencapai jutaan tahun. Inilah yang membedakan
batubara dengan minyak bumi, karena minyak bumi berasal
dari sumber hewani. Dalam proses pembentukan batubara,
banyak faktor yang mempengaruhi. Sebagai contoh, besarnya
temperatur dan tekanan terhadap tumbuhan mati akan
mempengaruhi kondisi lapisan batubara yang terbentuk,
termasuk pengayaan kandungan karbon di dalam batubara.
Timbunan material ini kemudian mengalami proses
pengambutan dan pembatubaraan sehingga menjadi batubara.
Secara umum, batubara terdiri dari unsur karbon (C),
oksigen (O), dan hydrogen (H). selain itu, pada batubara juga
ditemukan unsur belerang (S), nitrogen (N), dan beberapa unsur
logam pengotor yang terjebak saat pembentukan batubara.
Secara kimia, batubara terdiri dari bahan penyusun batubara
dan non- bahan batubara. (Arif, Irwandy. 2014)
b. Sekam Padi
Sekam padi merupakan lapisan keras yang menutupi
kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang saling bertautan
57
yang disebut lemma dan palea (Nugraha, 2008). Berbeda
dengan dedak atau bekatul yang masih mempunyai nilai
ekonomis dan umumnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak
atau ikan, sekam dianggap sebagai limbah penggilingan padi.
Sekam dihasilkan dari sekitar 16%-26% padi dari proses
penggilingan bergantung pada model atau tipe penggilingan
padi yang digunakan. Sedangkan menurut Deptan dihasilkan
sekitar 20-30% sekam, dedak
8-12% dan beras giling sekitar 50-63,5% (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, tanpa tahun). Sekam dikategorikan sebagai
biomassaa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan
seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau bahan
bakar (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian, tanpa tahun).
Pemanfaatan sekam padi berbeda di setiap negara
bergantung pada kebutuhan. Penelitian pemanfaatan sekam
dalam bentuk briket antara lain oleh Nugraha dan Rahmat
(2008), Assureira (2002), Hermawan (2006), maupun lembaga
pertanian.
2. Perekat
Pada proses pembriketan, bahan baku yang telah dilakukan
pengecilan dengan ukuran tertentu kemudian akan ditambahkan
bahan perekat sehingga bahan baku tersebut dapat menyatu.
Perekat adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan
untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan. Beberapa
istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue,
mucilage, paste, dan cement. Glue merupakan perekat yang terbuat
dari protein hewani seperrti kulit, kuku, urat, otot dan tulang yang
58
digunakan dalam industri kayu. Mucilage adalah perekat yang
dipersiapkn dari getah dan air yang diperuntukkan terutama untuk
perekat kertas. Paste adalah perekat pati (starch) yang dibuat
melalui pemanasan campuran pati dan air dan dipertahankan
berbentuk pasta. Cement adalah istilah yang digunakan untuk
perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui
pelepasan pelarut (Ruhendi, dkk, 2007).
Untuk merekatkan partikel-partikel zat dalam bahan baku
pada proses pembuatan briket maka diperlukan zat pengikat
sehingga dihasilkan briket yang kompak. Berdasarkan fungsi dari
pengikat dan kualitasnya, pemilihan bahan pengikat dapat dibagi
sebagai berikut :
1. Berdasarkan sifat / bahan baku perekatan briket
Adapun karakteristik bahan baku perekatan untuk pembuatan
briket adalah sebagai berikut :
a. Memiliki gaya kohesi yang baik bila dicampur dengan
semikokas atau batu bara.
b. Mudah terbakar dan tidak berasap.
c. Mudah didapat dalam jumlah banyak dan murah harganya.
d. Tidak mengeluarkan bau, tidak beracun dan tidak berbahaya.
2. Berdasarkan jenis
Jenis bahan baku yang umum dipakai sebagai pengikat untuk
pembuatan briket, yaitu :
a. Pengikat Anorganik
Pengikat anorganik dapat menjaga ketahanan briket
selama proses pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan
bakar tidak terganggu. Pengikat anorganik ini mempunyai
kelemahan yaitu adanya tambahan abu yang berasal dari bahan
pengikat sehingga dapat menghambat pembakaran dan
59
menurunkan nilai kalor. Contoh dari pengikat anorganik antara
lain semen, lempung, natrium silikat.
b. Pengikat Organik
Pengikat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit
setelah pembakaran briket dan umumnya merupakan bahan
perekat yang efektif. Contoh dari pengikat organik diantaranya
kanji, tar, aspal, amilum, molase dan parafin.
Sifat alamiah bubuk arang cenderung saling memisah.
Dengan bantuan bahan perekat atau lem, butir-butir arang dapat
disatukan dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Namun,
permasalahannya terletak pada jenis bahan perekat yang akan
dipilih. Penentuan jenis bahan perekat yang digunakan sangat
berpengaruh terhadap kualitas briket ketika dinyalakan dan
dibakar. Faktor harga dan ketersediaannya di pasaran harus
dipertimbangkan secara seksama karena setiap bahan perekat
memiliki daya lengket yang berbeda-beda karakteristiknya
(Sudrajat, 1983).
Menurut Schuchart, dkk. (1996), pembuatan briket
dengan menggunakan bahan perekat akan lebih baik hasilnya
jika dibandingkan tanpa menggunakan bahan perekat.
Disamping meningkatnya nilai kalor dari bioarang, kekuatan
briket arang dari tekanan luar jauh lebih baik (tidak mudah
pecah).
3. Pencetakan Briket
Pencetakan briket bertujuan untuk memperoleh bentuk yang
seragam dan memudahkan dalam pengemasan serta penggunaannya.
Dengan kata lain, pencetak briket akan memperbaiki penampilan dan
mengangkat nilai jualnya. Oleh karena itu bentuk ketahanan briket yang
diinginkan tergantung dari alat pencetak yang digunakan.
60
Dalam membuat briket alat yang dapat dipergunakan sebagai
pengepres yaitu berupa pengepres dengan pengerak manual (tenaga
manusia) dan tekanan tinggi (sistem hidrolik) yang berfungsi untuk
pemadatan dari bahan baku briket tersebut.
Pencetakan briket menggunkan Hidrolik, Hidrolik berasal dari
bahasa Yunani, yang terdiri dari 2 kata Hydra dan Aulos. Hydra berarti
air, dan aulos untuk pipa, gambaran yang menunjukkan bahwa fluida
adalah air walaupun minyak lebih sering digunakan. Dari keterangan
tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem hidrolik merupakan sistem
berbasis fluida yang menggunakan cairan sebagai media transmisi.
Aliran fluida pada sistem hidrolik digerakkan dengan
menggunakan pompa hidrolik, dimana sebuah pompa mengambil
minyak dari sebuah tangki dan mengirimkannya kebagian bagian lain
sirkuit hidrolik. Dengan melakukan itu, pompa menaikkan minyak
ketingkat yang dibutuhkan.
Pada alat ini untuk mencetak briket mempergunakan sistem
hidrolik dengan memanfaatkan tekanan fluida oli (minyak pelumas)
yang dialirkan dari pompa oli dengan tekanan tertentu.
Dalam sistem hidrolik fluida cair berfungsi sebagai penerus gaya.
Minyak mineral adalah jenis fluida yang sering dipakai. Perinsip dasar
dari sistem hidrolik adalah karena sifatnya yang sangat sederhana. zat
cair tidak mempunyai bentuk yang tetap, zat cair hanya dapat membuat
bentuk menyesuaikan dengan yang ditempatinya. Zat cair pada
prakteknya mempunyai sifat yang tidak dapat dikompresi, beda dengan
fluida gas yang sangat mudah sekali dikompresi. Karena zat cair yang
digunakan harus bertekanan tertentu, diteruskan kesegala arah secara
merata, memberikan arah gerakan yang sangat halus. Hal ini sangat
didukung oleh sifatnya yang selalu menyesuaikan bentuk yang
ditempatinya dan tidak dapat dikompresi.
61
Sistem hidrolik merupakan suatu bentuk perubahan atau
pemindahan daya dengan menggunakan media penghantar berupa
fluida cair untuk memperoleh daya yang lebih besar dari daya awal
yang dikeluarkan. Dimana fluida penghantar ini dinaikkan tekanannya
oleh pompa pembangkit tekanan yang kemudian diteruskan kesilinder
kerja melalui pipa-pipa saluran dan katupkatup. Gerakan translasi
batang piston dari silinder kerja yang diakibatkan oleh tekanan fluida
pada ruang silinder dimanfaatkan untuk gerak maju dan mundur
maupun naik dan turun sesuai dengan pemasangan silinder yaitu arah
horizontal maupun vertikal.
4. Pengeringan Briket
Pengeringan adalah pemindahan air keluar dari bahan sesuai
dengan yang diinginkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pengeringan antara lain adalah luas bahan yang dikeringkan, suhu
ruang pengeringan, kecepatan aliran udara, dan tekanan udara dalam
ruang pengering (Supriyono, 2003). Kadar air briket sangat
mempengaruhi nilai kalor atau nilai panas yang dihasilkan. Tingginya
kadar air briket akan menyebabkan penurunan nilai kalor. Hal ini
disebabkan karena panas yang tersimpan dalam briket terlebih dahulu
digunakan untuk mengeluarkan air yang ada sebelum kemudian
menghasilkan panas yang dapat dipergunakan sebagai panas
pembakaran (Hendra dan Darmawan, 2000).
Pengeringan dapat dilakukan dengan alat pengering seperti
oven, atau dengan penjemuran. Suhu pengeringan dengan oven
umumnya 60℃ dengan lama pengeringan 24 jam. Jika dilakukan
penjemuran, lama penjemuran briket cukup tiga hari dalam kondisi
cuaca yang cerah (Achmad, 1991). Keuntungan pengeringan dengan
matahari adalah tidak membutuhkan alat khusus dan biaya tambahan
untuk pemanas. Kerugiannya adalah membutuhkan waktu pengeringan
62
yang lebih lama, areal penjemuran yang luas, serta sangat dipengaruhi
oleh kondisi cuaca setempat. Karenanya pengeringan dengan cara ini
kurang memberikan hasil yang optimal.
2.3.4.3 Parameter Kualitas Briket
Parameter kulitas briket yang akan mempengaruhi
pemanfaatannya antara lain :
a. Kandungan air
Moisture yang dikandung dalam briket dapat dinyatakan
dalam dua macam :
- Free moisture (uap air bebas)
Free mositure dapat hilang dengan penguapan, misalnya
dengan air drying. Kandungan free mositure sangat penting
dalam perencanaan coal handling dan preparation equipment.
- Inherent mositure (uap air terikat)
Kandungan inherent moisture dapat ditentukan dengan
memanaskan briket antara temperature 104℃ – 110 ℃ selama
satu jam.
b. Kandungan abu
Abu dalam hal ini merupakan bagian yang tersisa dari hasil
pembakaran briket. Salah satu penyusun abu adalah silika,
pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor briket arang yang
dihasilkan. Jika bahan pembuatan briket dikarbonisasi terlebih
dahulu, maka semakin banyak penambahan bahan dalam
komposisi, maka nilai kadar abu briket yang dihasilkan akan
semakin rendah. Ini disebabkan kandungan yang terdapat dalam
bahan banyak yang terbuang pada proses karbonisasi (Santosa,
tanpa tahun).

63
c. Kandungan zat terbang
Zat terbang terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti
hidrogen, karbon monoksida (CO), dan metana (CH 4), tetapi
kadang-kadang terdapat juga gas-gas yang tidak terbakar seperti
CO2 dan H2O. Volatille matter adalah bagian dari briket dimana
akan berubah menjadi produk volatile matter (produk) bila briket
tersebut dipanaskan tanpa udara pada suhu lebih kurang 950 ℃.
d. Kerapatan
Dilakukan dengan mendeterminasi berapa rapat massa
biobriket melalui perbandingan antara massa biobriket dengan
besarnya dimensi volumetrik biobriket.
e. Kekuatan
Bertujuan untuk mengukur berapa energi yang dapat diserap
suatu material sampai material itu patah. Pengujian ini merupakan
respon terhadap beban kejut atau beban tiba-tiba. (calliester, 2007)
ukuran partikel mempengaruhi kekuatan briket yang dihasilakn
karena ukuran yang lebih kecil akan menghasilkan rongga yang
lebih kecil pula sehingga kuat tekan briket akan semakin besar.
Sedangkan distribusi ukuran akan menentukan kemungkinan
penyusunan (packing) yang lebih baik.
f. Nilai kalor
Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value, merupakan
suatu parameter yang penting dari suatu thermal coal. Gross
calorific valur diperoleh dengan membakar suatu sampel briket
dalam bomb calorimeter dengan megembalikan sistem ke ambient
temperature. Net calorific value biasanya antara (93-97%) dari
gross value dan tergantung dari kandungan inherent moisture serat
kandungan hidrogen dalam briket.

64
2.3.4.4 Pembakaran Briket
Menurut Himawanto D. A. (2005), mekanisme pembakaran
biomassa terdiri dari tiga tahap yaitu pengeringan (drying),
devolatilisasi (devolatilization), dan pembakaran arang (char
combustion).
a. Pengeringan (drying)
Dalam proses ini bahan bakar mengalami proses kenaikan
temperatur yang akan mengakibatkan menguapnya kadar air yang
berada pada permukaan bahan bakar tersebut, sedangkan untuk
kadar air yang berada di dalam akan menguap melalui pori-pori
bahan bakar padat tersebut. (Borman dan Ragland, 1998).
b. Devolatilisasi (devolatilization)
Setelah proses pengeringan, bahan bakar mulai mengalami
dekomposisi, yaitu pecahnya ikatan kimia secara termal dan zat
terbang (volatile matter) akan keluar dari partikel. Volatile matter
adalah hasil dari proses devolatilisasi.
c. Pembakaran arang (char combustion)
Sisa dari pirolisis adalah arang (fixed carbon) dan sedikit
abu, kemudian partikel bahan bakar mengalami tahapan oksidasi
arang yang memerlukan 70% - 80% dari total waktu pembakaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembakaran bahan bakar
padat (Sulistyanto A, 2006), adalah :
a. Ukuran partikel
Salah satu faktor yang mempengaruhi pada proses pembakaran
bahan bakar padat adalah ukuran partikel bahan bakar padat yang
kecil. Dengan Partikel yang lebih kecil ukurannya, maka suatu
bahan bakar padat akan lebih cepat terbakar.
b. Kecepatan aliran udara

65
Laju pembakaran biobriket akan naik dengan adanya kenaikan
kecepatan aliran udara dan kenaikan temperatur.
c. Jenis bahan bakar
Jenis bahan bakar akan menentukan karakteristik bahan bakar.
Karakteristik tersebut antara lain kandungan volatile matter (zat-
zat yang mudah menguap) dan kandungan moisture (kadar air).
Semakin banyak kandungan volatile matter pada suatu bahan
bakar padat maka akan semakin mudah bahan bakar padat tersebut
untuk terbakar dan menyala.
d. Temperatur udara pembakaran
Kenaikan temperatur udara pembakaran menyebabkan semakin
pendeknya waktu pembakaran.
e. Karakteristik bahan bakar padat
Yang terdiri dari kadar karbon, kadar air (moisture), zat-zat yang
mudah menguap (Volatile matter) , kadar abu (ash), nilai kalori.
Menurut Sulistyanto A. (2006), dari hasil penelitiannya
didapatkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik
pembakaran briket, antara lain :
a. Laju pembakaran biobriket paling cepat adalah pada komposisi
biomassa yang memiliki banyak kandungan volatile matter (zat-zat
yang mudah menguap). Semakin banyak kandungan volatile
matter suatu biobriket maka semakin mudah biobriket tersebut
terbakar, sehingga laju pembakaran semakin cepat.
b. Kandungan nilai kalor yang tinggi pada suatu biobriket saat
terjadinya proses pembakaran biobriket akan mempengaruhi
pencapaian temperatur yang tinggi pula pada biobriket, namun
pencapaian suhu optimumnya cukup lama.
c. Semakin besar berat jenis (bulk density) bahan bakar maka laju
pembakaran akan semakin lama. Dengan demikian biobriket yang
66
memiliki berat jenis yang besar memiliki laju pembakaran yang
lebih lama dan nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan
biobriket yang memiliki berat jenis yang lebih rendah. Makin
tinggi berat jenis biobriket semakin tinggi pula nilai kalor yang
diperolehnya.
Pada briket, uji nyala pelu dilaksanakan guna mengetahui
apakah superkarbon yang dibuat dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Parameter yang diamati mencakup lama penyalaan.
Tabel 2. Beberapa Permasalahan Uji Nyala
Permasalahan Faktor Penyebab Cara Mengatasi
Nyala api sebentar Bahan penyala minim Tambahkan bahan penyala
Tambahankan
Bara sebentar Pengempaan minim Pengempaan

Superkarbon sulit Briket kurang kering


Pengeringan maksimal
menyala benar

Asap terlalu banyak Briket masih basah Pengeringan maksimal


Tambahankan bahan
Abu mudah rontok Bahan perekat minim Perekat

Sumber : Kurniawan dan Marsono, 2008


Pada pembakaran briket diperlukan suatu kompor. Kompor
dengan bahan bakar briket batubara atau bahan bakar padat berbasis
batubara dirancang untuk melakukan pembakaran yang memenuhi
persyaratan pembakaran sempurna. Berdasarkan Peraturan Menteri
Energi Sumber Daya Mineral dalam pedoman pembuatan kompor
dengan bahan bakar briket batubara dan kompor dengan bahan bakar
padat berbasis batubara untuk industri kecil ban rumah tangga, prinsip
pembakaran dalarn kompor harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

67
a. Pencampuran kontak aliran udara dengan bahan bakar dalam ruang
bakar kompor harus baik sehingga dapat membakar bahan bakar
dengan pasokan udara cukup.
b. Suhu dalarn ruang bakar harus cukup tinggi selama berlangsungnya
pembakaran. (Suhu pembakaran zat terbang dirnulai pada suhu 200
°C hingga suhu 400°C, suhu pembakaran sisa karbon dimulai pada
suhu di atas 400 °C).
c. Waktu yang tersedia cukup untuk membakar bahan bakar secara
sempurna.

68
BAB III
SOAL DAN JAWABAN

SOAL
1. Jelaskan 2 tahap proses pembentukan batu bara !
2. Mengapa proses pengolahan batu bara termasuk tidak ramah
lingkungan ?
3. Bagaimana proses pencairan batu bara ?
4. Mengapa briket dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif ?
5. Bahan apa saja yang digunakan dalam proses pembuatan briket dan
bagaimana proses pembuatan briket ?
JAWAB
1. Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap, yaitu:
 Tahap biokimia (penggambutan) adalah tahap ketika sisa-sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas
oksigen (anaeorobik), tumbuhan yang busuk tersebut melepaskan
unsur H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O dan NH3
untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobic dan
fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi gambut.
 Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis
terhadap komponen organik dari gambut yang menimbulkan
peningkatan temperatur dan tekanan sebagai gabungan proses
biokimia, kimia dan fisika yang terjadi karena pengaruh
pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun waktu
geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon akan meningkat,
sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang
sehingga menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat maturitas
material organiknya.

69
2. Pada proses pengolahan batu bara terdapat proses pembakaran yang
menghasilkan gas emisi karbondioksida dan sulfur diokaida yang
dapat menimbulkan efek rumah kaca, pemanasan global, perubahan
iklim, dan jika sulfurdioksida bereaksi dengan uap air akan
menghasilkan asam sulfat yang dapat terjadinya hujan asam. Selain
itu Pembakaran batu bara juga menghasilkan partikel karbon hitam
yang dapat membuat suatu daerah tertutup asap tebal dan hitam
sehingga urang baik bagi kesehatan manusia karena dapat
menimbulkan gangguan ISPA
3. Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah proses mengubah
wujud  batubara dari padat menjadi cair. Proses pencairan batubara
dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode langsung dan
metode tidak langsung. Pada  proses tidak langsung batubara
difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 kemudian
direkombinasikan menghasilkan produk cair, prosesnya melalui
gasifikasi dan kondensasi. Pada proses langsung batubara cair
diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut organik lalu
dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi.
Proses ini melalui pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
4. a.) Dapat dibuat dari bahan sekitar (serbuk kayu, sekam padi)
b.) Dapat diperbaharui dan ramah lingkungan
c.) Cara menggunakannya sangat praktis
d.) Lebih ekonomis dari pada minyak dan gas bumi
5. Bahan yang digunakan bida dari batu bara atau pun limbah biomassa
yang memungkinkan untuk dibuat briket. Tahap pembuatan briket
diawali dengan pengecilan ukuran bahan baku selanjutnya
ditambahkan perekat yang bertujuan untuk merekatkan. Tahap
selanjutnya yaitu pencetakan briket untuk memperoleh bentuk yang
seragam dan memudahkan pengemasan dan juga penggunaannya.
70
Tahap terakhir yaitu pengeringan briket bertujuan untuk mengurangi
kadar air dalam briket karena kadar air dapat menurunkan nilai kalor.

6.

71
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Batubara didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terbentuk dari
dekomposisi tumpukan tanaman selama kira-kira 300 juta tahun.
Dekomposisi tanaman ini terjadi karena proses biologi dengan
mikroba dimana banyak oksigen dalam selulosa diubah menjadi
karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Perubahan yang terjadi dalam
kandungan bahan tersebut disebabkan oleh adanya tekanan,
pemanasan yang kemudian membentuk lapisan tebal sebagai akibat
pengaruh panas bumi dalam jangka waktu berjuta-juta tahun,
sehingga lapisan tersebut akhirnya memadat dan mengeras.
2. Proses pengolahan batubara terdiri dari proses preparasi, konsentrasi,
dan dewatering.
3. Teknologi pengolahan batubara terdiri dari gasifikasi barubara,
karbonisasi batubara, pencairan batubara, dan pemnfaatan batubara
sebagai briket.
4.2 Saran
Indonesia memiliki potensi ketersediaan batubara yang
melimpah. Konsumsi batubara hendaknya sebanding dengan
ketersediaan batubara di tanah air agar pemanfaatan dan pengolahan nya
lebih maksimal. Tidak hanya difungsikan pada pembangkit listrik, tetapi
pada fungsi lain seperti bahan bakar dan arang aktif melalui proses
pengolahan pencairan batubara, gasifikasi batubara, karbonisasi, dan
pengolahan briket.

72
DAFPUS

Annur, C.A. 2021. Produksi Batubara Indonesia 2000-2020. URL :


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/12/produksi-batu-
bara-indonesia-naik-73-kali-lipat-dalam-20-tahun. Diakses tanggal 23
Desember 2022.
Anonim, 2005. Sumber Daya Batubara : Tinjauan Lengkap Mengenai
Batubara, World Coal Institute. URL :
https://www.worldcoal.org/file_validate.php?
file=coal_resource_indonesian.pdf. Diakses tanggal 23 Desember 2022.
Anonim. 2012. Pedoman Teknis Pengolahan Batubara. URL :
https://bangazul.com/pedoman-teknis-pengolahan-batubara-2/. Diakses
tanggal 23 Desember 2022.
Anonim. 2020. Mengenal Batubara. URL :
https://eprints.upnyk.ac.id/21706/1/BUKU%20BATUBARA%20BAB
%201%20DAN%202.pdf. Diakses tanggal 23 Desember 2022.
Rizaty, M.A. 2022. Daftar Konsumen Batubara Terbesar. URL :
https://dataindonesia.id/bursa-keuangan/detail/daftar-negara-konsumen-
batu-bara-terbesar-indonesia-nomor-7. Diakses tanggal 23 Desember
2022.
Rizaty, M.A. 2022. Produksi Batu Bara Indonesia Terbesar Kedua di Dunia
pada 2021. URL : https://dataindonesia.id/bursa
keuangan/detail/produksi-batu-bara-indonesia-terbesar-kedua-di-dunia-
pada-2021. Diakses tanggal 23 Desember 2022.
Santoso,B. 2014. Petrologi Batu Bara Sumatra dan Kalimantan. URL :
http://penerbit.lipi.go.id/data/naskah1445912403.pdf. Diakses tanggal
23 Desember 2022.

73
Pasymi. 2008. Batubara. URL :
https://www.researchgate.net/publication/339237855_BATUBARA_JI
LID_1. Diakses tanggal 23 Desember 2022.

74
SINOPSIS

Batubara didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terbentuk dari


dekomposisi tumpukan tanaman selama kira-kira 300 juta tahun yang
merupakan sumber energy yang sangat penting bagi dunia. Salah satu Negara
penghasil batubara terbesar di dunia adalah Indonesia sebagai produsen
batubara terbesar kedua di dunia dengan produksi sebanyak 15,15 eksajoule
pada tahun 2021 menurut British Petroleum (BP). Sekitar 70-80% dari total
produksi batubara tanah air di ekspor dan sisanya dijual di pasar domestik.
Sektor pembangkit listrik adalah konsumen batubara terbesar di
Indonesia. Peningkatan konsumsi batubara sangat signifikan di sektor
pembangkit listrik, yaitu dari 56 juta ton pada 2006 dan diperkirakan menjadi
123,2 ton pada 2025. Sementara Indonesia sendiri memiliki sumberdaya
batubara sebesar 149,009 miliar ton dan cadangan sebesar 37,604 miliar ton.
Dengan jumlah sumber daya batubara yang melimpah seharusnya
pemanfaatan batubara sebagai sumber energi domestik dapat dilakukan
dengan lebih maksimal untuk menyokong kebutuhan sumber energi domestik
bukan hanya sebagai pembangkit listrik. Mengingat batubara memiliki sifat 
tak terbarukan dan dihasilkan dari proses geologi selama puluhan bahkan
ratusan juta tahun, maka sangatlah disayangkan apabila pemanfaatannya tidak
memiliki nilai tambah. Selain itu, pembakaran batubara untuk keperluan
pembangkit listrik juga menghasilkan “limbah padat berbahaya dan beracun”.
Pengembangan dan penelitian harus dilakukan terkait dengan penggunaan
batubara dan pemanfaatan limbah batubara, antara lain gas metana batubara
(coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan
(gasified coal), atau briket dan karbon aktif.

75

Anda mungkin juga menyukai