TEKNOLOGI BATUBARA
PENGOLAHAN BATUBARA
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
KELAS : VA
NAMA :
ii
2022
KATA PENGANTAR
iii
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................ ii
Kata Pengantar............................................................................................ iii
Daftar Isi..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB II STUDI PUSTAKA....................................................................... 4
A. Pengenalan Batubara................................................................... 4
2.1.1 Definisi Batubara............................................................... 5
2.1.2 Jenis-jenis Batubara........................................................... 6
2.1.3 Pebentukan Batubara.......................................................... 9
B. Pengolahan Batubara.................................................................. 12
2.2.1 Kominusi............................................................................ 12
2.2.2 Konsentrasi........................................................................ 15
2.2.3 Dewatering......................................................................... 22
C. Teknologi Pengolahan Batubara................................................. 24
2.3.1 Karbonisasi Batubara......................................................... 24
2.3.2 Gasifikasi Batubara............................................................ 30
2.3.3 Pencairan Batubara............................................................ 35
2.3.4 Briket Batubara.................................................................. 51
BAB III SOAL DAN JAWABAN............................................................ 68
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 72
SINOPSIS.................................................................................................. 74
iv
BAB I
PENDAHULUAN
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Eksajoule
1
Namun, besarnya jumlah produksi batubara di tanah air tidak
sebanding dengan pamanfaatannya. Sekitar 70-80% dari total produksi
batubara Indonesia di ekspor dan sisanya dijual di pasar domestik.
Berdasarkan laporan British Petroleum (BP), konsumsi batu bara secara
global sebesar 160,1 eksajoule sepanjang 2021. Jumlah tersebut meningkat
5,97% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 151,07 eksajoule.
Indonesia menempati urutan ketujuh dengan konsumsi batu bara sebanyak
3,28 eksajoule.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Eksajoule
2
Dengan jumlah sumber daya batubara yang melimpah seharusnya
pemanfaatan batubara sebagai sumber energi domestik dapat dilakukan
dengan lebih maksimal untuk menyokong kebutuhan sumber energi domestik
bukan hanya sebagai pembangkit listrik. Mengingat batubara memiliki sifat
tak terbarukan dan dihasilkan dari proses geologi selama puluhan bahkan
ratusan juta tahun, maka sangatlah disayangkan apabila pemanfaatannya tidak
memiliki nilai tambah. Selain itu, pembakaran batubara untuk keperluan
pembangkit listrik juga menghasilkan “limbah padat berbahaya dan beracun”.
Pengembangan dan penelitian harus dilakukan terkait dengan penggunaan
batubara dan pemanfaatan limbah batubara, antara lain gas metana batubara
(coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan
(gasified coal), atau briket dan karbon aktif.
3
BAB II
STUDI PUSTAKA
6
yang bersifat sederhana, karena panas yang dikeluarkan sangat
rendah sehingga seringkali digunakan sebagai bahan bakar untuk
pembangkit listrik.
7
4. Bituminous
Bituminous merupakan mineral padat, berwarna hitam dan kadang
coklat tua, rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah
prismatik berlapis dan tidak mengeluarkan gas dan air bila
dikeringkan sering digunakan untuk kepentingan transportasi dan
industri serta untuk pembangkit listrik tenaga uap.
11
Gambar 10. Proses Pembentukan Batubara Menjadi Jenis-jenis Batubara
2.2 Pengolahan Batubara
Tahapan-tahapan utama pengolahan bahan galian batubara dapat
ilihat pada diagram alir pada Gambar 11. Kegiatan pengolahan batubara
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Preparasi
2. Konsentrasi (peningkatan kadar)
3. Dewatering (pemisahan padatan dan cairan)
2.2.1 Preparasi
Prreparasi atau pengecilan ukuran merupakan tahap awal dalam
pengolahan bahan galian. Tujuan dilakukannya kominusi yaitu :
a. Membebaskan / meliberasi mineral berharga dari material
pengotornya.
b. Menghasilkan ukuran dan bentuk material/mineral yang sesuai
dengan untuk proses selanjutnya.
c. Memperluas permukaan partikel agar dapat mempercepat kontak
dengan zat lain, misalnya reagen pada proses flotasi.
Preparasi ada 2 (dua) macam yaitu :
a. Peremukan / pemecahan (crushing)
b. Penggerusan / penghalusan (grinding)
Proses pada kominusi terdiri dari beberapa tahap yaitu :
- Tahap pertama / primer (primary stage)
12
- Tahap kedua / sekunder (secondary stage)
- Tahap ketiga / tersier (tertiary stage)
- Kadang-kadang ada tahap keempat / kuarter (quaternary stage),
sesuai dengan kebutuhan proses material.
2.2.1.1 Peremukan/Pemecahan (Crushing)
Peremukan adalah proses reduksi ukuran bahan galian / bijih
(boulder dengan ukuran > 30 cm) yang berasal langsung dari tambang
(ROM = run of mine) menjadi ukuran yang lebih kecil bahkan bisa
sampai ukuran 2,5 cm. Peralatan yang digunakan pada kegiatan
peremukan antara lain :
a. Jaw crusher
b. Gyratory crusher
c. Cone crusher
d. Roll crusher
e. Impact crusher
f. Rotary breaker
g. Hammer mill
2.2.1.2 Penggerusan/Penghalusan (Grinding)
Penggerusan adalah proses pengecilan ukuran butiran mineral
dari yang berukuran 2,5 cm menjadi ukuran yang lebih halus.
Berdasarkan media yang digunakan, penggerusan bahan galian dibagi
4 yaitu :
a. Ball mill dengan media penggerus berupa bola-bola baja atau
keramik.
b. Rod mill dengan media penggerus berupa batang-batang baja.
c. Semi autogenous mill (SAG) bila media penggerusnya berupa
bola-bola baja dan bahan galian nya sendiri.
d. Autogenous mill bila media penggerusnya adalah bahan galiannya
sendiri.
13
2.2.1.3 Pemisahan Berdasarkan Ukuran (Sizing)
Setelah bahan galian atau bijih diremuk dan digerus, akan
dihasilkan bermacammacam ukuran material. Material tersebut harus
dipisahkan berdasarkan ukuran partikel agar sesuai dengan ukuran
yang dibutuhkan pada proses pengolahan yang berikutnya.
Pengayakan/Penyaringan (Screening/Sieving)
Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan
material secara mekanik berdasarkan perbedaan ukurannya.
Pengayakan (screening) umumnya dipakai dalam skala industri,
sedangkan penyaringan (sieving) dipakai untuk skala laboratorium.
Produk dari proses pengayakan/penyaringan ada 2 (dua), yaitu :
- Oversize : ukuran material lebih besar daripada ukuran lubang-
lubang ayakan.
- Undersize : Ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-
lubang ayakan.
Saringan (sieve) yang sering dipakai di laboratorium adalah :
a. Hand sieve
b. Vibrating sieve series / Tyler vibrating sive
c. Sieve shaker / rotap
d. Wet and dry sieving
Sedangkan ayakan (screen) yang berskala industri antara lain :
a. Stationary grizzly
b. Roll grizzly
c. Sieve bend
d. Revolving screen
e. Vibrating screen (single deck, double deck, triple deck, etc.)
f. Shaking screen
g. Rotary shifter
2.2.1.4 Klasifikasi
14
Klasifikasi adalah proses pemisahan partikel berdasarkan
kecepatan pengendapannya dalam suatu media (udara atau air).
Klasifikasi dilakukan dalam suatu alat yang disebut classifier.
Produk hasil proses klasifikasi ada 2 (dua) yaitu :
- Produk yang berukuran kecil/halus (slimes) mengalir di bagian
atas disebut overflow.
- Produk yang berukuran lebih besar/kasar (sand) mengendap di
bagian bawah (dasar) disebut underflow.
Proses pemisahan dalam classifier dapat terjadi dalam tiga cara
(concept) yaitu :
a. Partition concept
b. Tapping concept
c. Rein concept
Hal ini dapat berlangsung apabila sejumlah partikel dengan
bermacam-macam ukuran jatuh bebas di dalam suatu media atau
fluida (udara atau air), maka setiap partikel akan menerima gaya berat
dan gaya gesek dari media. Pada saat kecepatan gerak partikel
menjadi rendah (tenang/laminer), ukuran partikel yang besar-besar
mengendapmlebih dahulu, kemudian diikuti oleh ukuran-ukuran yang
lebih kecil, sedang yang terhalus (antara lain slimes) akan tidak
sempat mengendap.
Peralatan yang umum dipakai dalam proses klasifikasi adalah :
a. Scrubber
b. Log washer
c. Sloping tank classifier (rake, spiral & drag)
d. Hydraulic bowl classifier
e. Hydraulic clindrical tank classifier
f. Hydraulic cone classifier
g. Counter current classifier
15
h. Pocket classifier
i. Hydrocyclone
j. Air separator
k. Solid bowl centrifuge
l. Elutriator
2.2.2 Konsentrasi
Bahan galian yang mutu atau kadarnya rendah (marginal)
agar dapat diolah lebih lanjut atau diekstrak logamnya, maka kadar
bahan galian itu harus ditingkatkan. Peningkatan kadar bahan galian
dikenal dengan proses konsentrasi. Sifat-sifat fisik mineral yang dapat
dimanfaatkan dalam proses konsentrasi yaitu :
- berat jenis, pemisahan mineral berdsarkan perbedaan berat jenis
mineral.
- sifat kondutivitas, pemisahan mineral berdasarkan sifat kelistrikan.
- sifat kemagnetan, pemisahan mineral berdasarkan sifat magnetic.
- Perbedaan sifat permukaan partikel, pemisahan secara proses
flotasi.
Proses peningkatan kadar itu ada bermacam-macam antara lain :
a. Pemilahan (Hand Sorting)
Bila ukuran material cukup besar, maka pemisahan
mineral berharga dari pengotornya dapat dilakukan secara manual
dengan tangan.
b. Konsentrasi Gravitasi (Gravity Concentration)
Pemisahan mineral berdasarkan perbedaan berat jenis
didalam suatu media fluida. Memanfaatkan perbedaan kecepatan
pengendapan mineral-mineral didalam fuida karena perbedaan
berat jenis dari setiap mineral.
Ada 3 (tiga) cara pemisahan mineral secara gravitasi bila dilihat
dari segi gerakann fluidanya, yaitu :
16
- Fluida tenang, contoh dense medium separation (DMS) atau
heavy medium separation (HMS).
- Aliran fluida horisontal, contoh sluice box, shaking table dan
spiral
concentration.
- Aliran fluida vertikal, contoh jengkek (jig).
Bila jumlah partikel (mineral) di dalam fluida relatif sedikit, maka
akan terjadi pengendapan bebas (free settling). Bila jumlah
partikelnya banyak, maka gerakannya akan terhambat sehingga
terbentuk stratifikasi yang terdiri dari 3 (tiga) tahap sebagai berikut
:
a. Hindered settling classification ; klasifikasi pengendapannya
terhalang
b. Differential acceleration pada awal pengendapan : artinya partikel
yang berat mengendap lebih dahulu.
c. Consolidation trickling pada akhir pengendapan : partikel-partikel
kecil berusaha mengatur diri di antara partikel-partikel besar sesuai
dengan berat jenisnya.
Produk dari proses konsentrasi gravitasi ada 3 (tiga), yaitu :
- Konsentrat (concentrate), kumpulan mineral berharga dengan
kadar tinggi/ memenuhi syarat untuk proses selanjutnya.
- Amang (middling) yaitu konsentrat yang kadarnya belum
memenuhi syarat.
- Ampas (tailing) yaitu mineral-mineral pengotor belum dapat
dimanfaatkan karena faktor teknologi dan ekonomi saat ini.
Peralatan konsentrasi gravitasi yang banyak dipakai adalah :
a. Jengkek (jig)
b. Meja goyang (shaking table).
c. Konsentrator spiral (Humprey spiral concentrator).
17
d. Palong / sakan (sluice box).
e. Air Table (Meja Angin)
c. Konsentrasi dengan Media Berat (Dense/Heavy Medium
Separation)
Merupakan proses konsentrasi yang bertujuan untuk
memisahkan mineralmineral berharga dari pengotornya dengan
menggunakan medium pemisah yang berat jenisnya lebih besar dari
air (berat jenisnya > 1). Biasanya berat jenis mineral berharga lebih
besar dibandingkan berat jenis pengotornya. Produk dari proses
konsentrasi ini adalah :
- Endapan (sink) yang terdiri dari mineral-mineral berharga yang
berat.
- Apungan (float) yang terdiri dari mineral-mineral pengotor yang
ringan.
Media pemisah yang pernah dipakai antara lain :
- Air + magnetit halus dengan kerapatan 1,25 - 2,20 ton/m3.
- Air + ferrosilikon dengan kerapatan 2,90 - 3,40 ton/m3.
- Air + magnetit + ferrosilikon dengan kerapatan 2,20 - 2,90.
- Larutan berat seperti : tetra bromo ethana (b.j. = 2,96), bromoform
(b.j. = 2,85) methylene jodida (b.j. = 3,32).
Tetapi larutan berat ini harganya mahal, oleh sebab itu hanya dipakai
untuk percobaanpercobaan di laboratorium. Peralatan yang biasa
dipakai adalah gravity dense/heavy medium separators yang
berdasarkan bentuknya ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Drum separator karena bentuknya silindris.
b. Cone separator karena bentuknya seperti corongan.
d. Pemisahan berdasarkan sifat Kelistrikan (Electrostatic
Separation)
18
Merupakan proses konsentrasi dengan memanfaatkan
perbedaan sifat kelistrikan mineral. Mineral yang dihasilkan dari
proses konsentrasi ini terbagi menjadi mineral yang bersifat
konduktor (mudah menghantarkan arus listrik) dan nonkonduktor.
Peralatan yang digunakan untuk pemisahan berdasarkan sifat
kelistrikan adalah :
a. Electrodynamic separator (high tension separator).
b. Electrostatic separator yang terdiri dari :
- plate electrostatic separator
- screen electrostatic separator
Kendala yang dihadapi pada proses konsentrasi ini adalah :
- Mineral harus dipanaskan terlebih dahulu (temperatur yang
dibutuhkan yaitu antara 700C -1200C) agar sifat kelistrikannya
keluar. Bila temperatur tidak tercapai maka akan kesulitan diproses
secara Electrostatic Separator.
- Ukuran material yang diproses yaitu 75 – 250 microns atau 60 –
200 dan sebaiknya dilakukan sizing untuk memperoleh hasil yang
maksimal.
- Proses konsentrasi dilakukan dengan jumlah umpan yang tidak
terlalu besar.
- Mineral yang diproses harus kering, maka timbul masalah debu
pada saat proses.
e. Pemisahan berdasarkan sifat Kemagnetan (Magnetic Separation)
Proses konsentrasi dengan memanfaatkan sifat kemagnetan
(magnetic susceptibility) yang dimiliki atau terkandung pada tiap
mineral. (Lampiran B) Sifat kemagnetan bahan galian ada 3 (tiga)
macam yaitu :
19
- Ferromagnetic, yaitu bahan galian (mineral) yang sangat kuat
untuk ditarik oleh medan magnet.
Contoh : magnetit (Fe3O4).
- Paramagnetic, yaitu bahan galian yang dapat tertarik oleh medan
magnet. Contoh : hematit (Fe2 O3), ilmenit (Se Ti O3), xenotime
(YPO4) dan pyrhite (FeS2).
- Diamagnetic, yaitu bahan galian yang tak tertarik oleh medan
magnet. Contoh : kwarsa (SiO2), Cassiterite (SNO2) dan mineral
feldspar [(Na, K, Al) Si3 O8] .
Proses Magnetic Separation mineral yang dilakukan menghasilkan
produk
yaitu :
- Mineral-mineral non-magnetik sebagai konsentrat, karena
mengandung mineral cassiterite sebagai mineral utama timah,
zircon, pyrite, anatase dan lain-lain.
- Mineral-mineral magnetik sebagai ampas (tailing), tetapi masih
mengandung mineral ikutan timah yang terdiri dari ilmenite,
monazite, xenotime, siderite, magnetite dan lain-lain.
Peralatan yang dipakai disebut magnetic separator yang terdiri dari :
a. Induced roll dry magnetic separator.
b. Wet drum low intensity magnetic separator yang arah aliran
dapat :
- concurrent
- countercurrent
- counter rotation
c. berdasarkan letak magnetnya :
- Suspended magnets
- Suspended magnets with continuous removal
- Cobbing drum
20
f. Konsentrasi Secara Flotasi (Flotation Concentration)
Merupakan proses konsentrasi berdasarkan sifat “senang
terhadap udara” atau “takut terhadap air” (hydrophobic). Pada
umumnya mineral-mineral oksida dan sulfide akan tenggelam bila
dicelupkan ke dalam air, karena permukaan mineral-mineral itu
bersifat “suka akan air” (hydrophilic) tetapi beberapa mineral sulfida
seperti Calcophyrite (CuFeS2), Galena (Pb S), dan Stalerit (ZnS)
mudah diubah sifat permukaannya dari suka air menjadi suka udara
dengan menambahkan reagen yang terdiri dari senyawa hidrokarbon.
Sejumlah reagen kimia yang sering digunakan dalam proses flotasi
adalah :
a. Pembuih (frother) yang berfungsi sebagai pengstabil gelembung-
gelembung udara. Contoh : methyl isobuthyl carbinol (MIBC),
minyak pinus, dan terpentin.
b. Kolektor / pengumpul (collector) yang bisa mengubah sifat
permukaan mineral yang semula suka air menjadi suka udara.
Contoh : xanthate, thiocarbonilid, asam oleik, dll.
c. Penekan / pencegah (depresant) yang berguna untuk mencegah
agar mineral pengotor tidak ikut menempel pada udara dan ikut
terapung. Contoh : ZnSO4 untuk menekan Zn S.
d. Pengatur keasaman (pH regulator) yang berfungsi untuk mengatur
tingkat keasaman proses flotasi. Contoh : HCl, HNO3, Ca (OH)3,
NH4OH, dll.
Produk flotasi yang dihasilkan pada pengolahan mineral di PT Timah
ada 3 (tiga) macam yaitu :
- Ampas (tailing), berupa mineral-mineral yang ikut terapung
(mineral-mineral apungan) dengan gelembung-gelembung udara,
seperti calcophyrite, phyrite dan marcasite.
21
- Amang (middling), berupa mineral - mineral apungan yang masih
mengandung banyak mineral-mineral pengotor.
- Konsentrat, berupa mineral tenggelam yang terdiri dari mineral
cassiterite dan mineral ikutan timah lainnya.
Peralatan yang biasa dipakai adalah :
a. Mechanical flotation, terdiri dari berbagai variasi antara lain :
- Agitair cell
- Denver cell
- Krupp cell
- Outokumpu cell
- Wemco-Fagregren cell
b. Pneumatic flotation, terdiri dari variasi :
- Column cell
- Cyclo cell
- Davcra cell
- Flotaire cell
2.2.3 Dewatering
Bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang ada pada
konsentrat yang diperoleh dari proses basah, misalnya proses
konsentrasi gravitasi dan flotasi. Kegiatan proses dewatering terdiri dari
3 (tiga) yaitu :
2.2.3.1 Cara Pengentalan / Pemekatan (Thickening)
Konsentrat yang berupa lumpur dimasukkan ke dalam bejana
bulat. Bagian yang pekat mengendap ke bawah disebut underflow,
sedangkan bagian yang encer atau airnya mengalir di bagian atas
disebut overflow. Kedua produk itu dikeluarkan secara terus menerus
(continuous).
Peralatan yang biasa dipakai adalah :
a. Rake thickener.
22
b. Deep cone thickener.
c. Free flow thickener.
2.2.3.2 Cara Penapisan (Filtration)
Dengan cara pengentalan kadar airnya yang masih cukup
tinggi, maka bagian yang pekat dari pengentalan dimasukkan ke
penapis yang disertai dengan pengisapan, sehingga jumlah air yang
terisap akan banyak. Dengan demikian akan dapat dipisahkan padatan
dari airnya.
Peralatan yang dipakai adalah :
a. Vacuum (suction) filters yang terdiri dari :
- intermitten, misalnya Moore leaf filter.
- Continuous ada beberapa tipe, yaitu :
* bentuk silindris / tromol (drum type), contoh : Oliver filter,
Dorrco filter.
* bentuk cakram (disk type) berputar, contoh : American filter.
* bentuk lembaran berputar (revolving leaf type), contoh : Oliver
filter.
* bentuk meja (desk type), contoh : Caldecott sand table filter.
b. Pressure filter, misalnya :
- Merrill plate and frame filter
- Kelly pressure filter
- Burt revolving filter
2.2.3.3 Pengeringan (Drying)
Proses membuang seluruh kandungan air dari padatan yang
berasal dari konsentrat dengan cara penguapan
(evaporization/evaporation).
Peralatan atau cara yang dipakai ada bermacam-macam, yaitu :
23
a. Hearth type drying/air dried/air baked, yaitu pengeringan yang
dilakukan di atas lantai oleh sinar matahari dan harus sering
diaduk (dibolak-balik).
b. Shaft drier, ada dua macam, yaitu :
- tower drier, material (mineral) yang basah dijatuhkan di dalam
saluran silindris vertikal yang dialiri udara panas (80o C -
100oC).
- rotary drier, material yang basah dialirkan ke dalam silinder
panjang yang diputar pada posisi agak miring dan dialiri udara
panas yang berlawanan arah.
c. Film type drier (atmospheric drum drier), silinder baja yang di
dalamnya dialiri uap air (steam). Methode ini jarang dipakai.
d. Spray drier, material halus yang basah dan disemburkan ke dalam
ruangan panas, material yang kering akan terkumpul di bagian
bawah ruangan. Methode ini juga jarang dipakai.
2.3 Teknologi Pengolahan Batubara
2.3.1 Karbonisasi Batubara
Karbonisasi merupakan proses pemanasan dengan residu yang
kaya akan karbon (arang atau kokas) yang dihasilkan oleh dekomposisi
termal, dengan pembuangan secara simultan zat-zat terbang secara
distilasi destruktif. Selama reaksi karbonisasi, tanpa penambahan zat-
zat kimia, tiga tahapan berupa pelembutan (softening), pembengkakan
(swelling), dan pengerasan (stiffening), dapat menentukan sifat-sifat
produk akhir (Cook dan Wilson, 1969; Cook, 1982; Stach dkk., 1982;
Suàrez-Ruiz dan Crelling, 2008; Daulay dkk., 2010a; Miller, 2011).
Proses pembuatan arang aktif dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah proses karbonisasi bahan baku dalam kiln drum
untuk menghasilkan arang. Tahap kedua adalah proses aktivasi arang
menggunakan retort dan steam boiler untuk menghilangkan
24
hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga meningkatkan
porositas arang. Pada kedua proses tersebut terjadi tahap-tahap sebagai
berikut:
a. Dehidrasi yaitu proses penghilangan air, yaitu dengan pemanasan
sampai temperatur 170°C.
b. Karbonisasi yaitu proses penguraian selulosa organik menjadi unsur
karbon, serta mengeluarkan senyawa-senyawa non karbon.
Pembakaran bahan baku menggunakan udara terbatas dengan
temperatur antara 300 sampai 900o C. Proses ini menyebabkan
terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur
bahan membentuk metanol, uap asam asetat, tar, dan hidrokarbon.
Material padat yang tertinggal setelah proses karbonisasi adalah
karbon dalam bentuk arang dengan permukaan spesifik yang sempit.
c. Aktivasi yaitu proses pembentukan dan penyusunan karbon
sehingga pori- pori menjadi lebih besar. Arang yang dihasilkan
melalui proses karbonisasi bahan baku, sebahagian besar pori-
porinya masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan komponen lain,
seperti abu, air, nitrogen, dan sulfur, sehingga keaktifannya atau
daya serapnya rendah. Untuk meningkatkan daya serap arang, maka
bahan tersebut dapat diubah menjadi arang aktif melalui proses
aktivasi. Pada prinsipnya arang aktif dapat dibuat dengan dua cara,
yaitu cara kimia dan cara fisika. Mutu arang aktif yang dihasilkan
sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif,
suhu dan cara pengaktifannya.
a. Aktivasi cara kimia
Aktivasi cara kimia pada prinsipnya adalah perendaman
arang dengan senyawa kimia sebelum dipanaskan. Pada proses
pengaktifan secara kimia, arang direndam dalam larutan
pengaktifasi selama 24 jam, lalu ditiriskan dan dipanaskan pada
25
suhu 600- 900 °C selama 1 - 2 jam. Pada suhu tinggi bahan
pengaktif akan masuk di antara selasela lapisan heksagonal dan
selanjutnya membuka permukaan yang tertutup. Bahan kimia
yang dapat digunakan yaitu H 3PO4, NH4Cl, AlCl3, HNO3, KOH,
NaOH, KMnO4, SO3, H2SO4 dan K2S (Kienle, 1986).
Pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering
mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan.
Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa berupa oksida yang
tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu,
dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan dengan HCl
untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel
pada permukaan arang aktif dan kandungan abu yang terdapat
dalam arang aktif.
b. Aktivasi cara fisika
Aktivasi arang secara fisika menggunakan oksidator
lemah, misalnya uap air, gas CO2, N2, O2 dan gas pengoksidasi
lainnya. Oleh karena itu, pada proses ini tidak terjadi oksidasi
terhadap atom-atom karbon penyusun arang, akan tetapi
oksidator tersebut hanya mengoksidasi komponen yang
menutupi permukaan pori arang. Prinsip aktivasi ini dimulai
dengan mengaliri gas-gas ringan, seperti uap air, CO 2, atau
udara ke dalam retort yang berisi arang dan dipanaskan pada
suhu 800-1000 °C. Pada suhu di bawah 800 °C, proses aktivasi
dengan uap air atau gas CO2 berlangsung sangat lambat,
sedangkan pada suhu di atas 1000 °C, akan menyebabkan
kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang (Manocha, 2003).
Produk-produk karbonisasi terbagi atas arang dan kokas
berdasarkan pada struktur-struktur fisik, terutama struktur molekul.
Arang yang terbentuk oleh batu bara asalnya (khususnya batu bara
26
peringkat rendah) memperlihatkan tidak adanya viskositas selama
karbonisasi. Walaupun demikian, apabila batu bara melunak, melebur,
dan mengeras kembali selama dekomposisi, hal ini akan mengakibatkan
struktur vesikuler kokas terbentuk (Daulay dkk., 2010a).
Gas, amonia, ter, dan minyak ringan dihasilkan sebagai zat
terbang yang bervariasi dengan peringkat batu bara, jenis batu bara,
kandungan mineral dan kondisi karbonisasi seperti temperatur, tingkat
pemanasan dan sebagainya. Reaksi karbonisasi batu bara umumnya
terkait dengan reaksi-reaksi temperatur rendah (500–700°C),
temperatur menengah (700–900°C) dan temperatur tinggi (900–
1.050°C), seperti dilaporkan oleh Jasienko (1978), Elliot (1981), Stach
dkk. (1982), Suàrez-Ruiz dan Crelling (2008), Daulay dkk. (2010a) dan
Miller (2011).
Karbonisasi temperatur rendah dikembangkan terutama sebagai
proses untuk menyiapkan produk bahan bakar padat tanpa asap
(devolatilisasi) bagi konsumsi domestik dan boiler industri. Elliot
(1981) dan Tsai (1982) menyatakan bahwa struktur pori-pori yang
sangat kecil dari batu bara asal tetap bertahan secara substantif di dalam
arang sampai pirolisis dilakukan antara 650°C dan 700°C. Dengan
demikian, arang yang dihasilkan pada karbonisasi temperatur rendah
secara substantif bersifat reaktif seperti batu bara asalnya. Dengan
pemanasan yang dilanjutkan hingga 700°C, arang temperatur rendah
kehilangan reaktivitasnya melalui devolatilisasi dan mengalami
penurunan dalam porositasnya. Karbonisasi temperatur tinggi
dilakukan untuk memproduksi kokas. Kokas ini dipanaskan selama
beberapa jam dalam oven, tanpa udara, pada temperatur sekitar 1.000°C
untuk membuang komponen-komponen zat terbang dengan cara
distilasi destruktif berupa bentuk dekomposisi pirolitik (Daulay dkk.,
27
2010a). Kokas metalurgis dipakai terutama dalam tungku ledak
pembuatan besi (Daulay dkk., 2010a) sebagai.
1) sumber energi
2) agen pereduksi kimia, khususnya setelah pembakaran parsial ke
CO, dan
3) pemberi permeabilitas di dalam tungku dan mendukung beban
tungku.
Karbonisasi batu bara melibatkan interaksi sifat-sifat kimia dan
fisika batu bara. Faktor-faktor penting yang mengontrol kecocokan batu
bara untuk pembuatan kokas terkait dengan sifat-sifat tersebut yang
berdampak pada karakteristik kekuatan kokas.
Kekuatan kokas bisa dikaji dengan pengujian empiris dan yang
umumnya digunakan berupa pengujian ukuran kecenderungan kokas
yang pecah sepanjang retakan-retakan utama dan kemampuan kokas
menahan goresan (Daulay dkk., 2010a). Prediksi stabilitas kokas secara
luas dikaitkan dengan peringkat batu bara (reflektansi vitrinit, nilai
kalori, karbon tertambat, dan parameter peringkat lainnya) dan jenis
batu bara (komposisi maseral dan litotipe).
Peringkat batu bara sangat berpengaruh terhadap temperatur
fluiditas minimum dan maksimum serta resolidifikasi. Sifat-sifat ini
terkait langsung dengan dekomposisi termal batu bara. Dengan
demikian, hal ini ditentukan oleh lebih komposisi maseral daripada
struktur kimia batu bara. Fluiditas efektif batu bara sangat terkait
dengan kandungan vitrinit. Liptinit keadaannya sangat cair tetapi
bersifat mudah menyuling cairan. Inertinit memiliki sifat fluiditas
rendah.
Batu bara yang secara normal digunakan dalam proses
karbonisasi temperatur rendah adalah batu bara peringkat rendah,
berkisar dari lignit hingga batu bara bituminus zat terbang tinggi
28
dengan reflektansi vitrinit < 1,0 % (Berkowitz, 1979). Batu bara
peringkat rendah saat dipirolisis pada temperatur 600°C ke 700°C
menghasilkan arang-arang keropos atau semikokas tanpa asap dan
reaktif seperti batu bara asalnya. Sekalipun demikian, batu bara
peringkat rendah dapat dibuat briket dan dikarbonisasi pada temperatur
900°C hingga 1.000°C untuk menghasilkan kokas. Arang yang
dihasilkan juga bergantung pada jenis batu bara. Arang yang berasal
dari inertinit sedikit lebih keropos daripada arang yang berasal dari
vitrinit tetapi perbedaan ini berkurang seiring dengan peningkatan
peringkatnya.
Batu bara yang digunakan dalam proses karbonisasi temperatur
tinggi adalah batu bara peringkat tinggi, berkisar dari bituminus zat
terbang menengah hingga bituminus zat terbang tinggi dengan nilai
reflektansi dari 1,00% sampai 1,40% (Berkowitz, 1979). Batu bara
berperingkat lebih rendah dan lebih tinggi bisa dicampur untuk
meminimalkan biaya dan memaksimalkan kualitas.
Berkaitan dengan proses karbonisasi, maseral-maseral batu bara
terbagi menjadi maseral reaktif (binder) dan lembam (filler),
bergantung pada sifat-sifat selama karbonisasi. Maseral reaktif melunak
pada proses pemanasan, menjadi plastis, berperan sebagai pengikat
yang menghasilkan beragam residu kokas dan produk-produk
sampingan. Hal ini bergantung pada peringkat batu bara dan tipe khas
maseral. Maseral reaktif tersebut adalah vitrinit, liptinit, dan beberapa
semifusinit (Daulay dkk., 2010a).
Maseral lembam mengalami degasifikasi tetapi hampir tetap
stabil secara struktural selama karbonisasi. Maseral lembam ini
mencakup semua maseral inertinit, kecuali untuk semifusinit reaktif
(Daulay dkk., 2010a).
29
Metode sederhana yang memperlihatkan hubungan antara
kekuatan kokas, peringkat batu bara, dan jenis batu bara dilakukan oleh
Cook dan Edwards (1971). Mereka memperlihatkan konturkontur
kekuatan kokas dalam plot orthogonal dengan kandungan reflektansi
vitrinit dan kandungan vitrinit sebagai sumbu-sumbunya. Namun
sangat disayangkan bahwa kisaran peringkat batu bara yang dilakukan
dalam penelitian ini sangat terbatas.
Metode lain yang dilakukan oleh Schapiro dan Gray (1964)
menggunakan kisaran batu bara yang besar tetapi sangat sedikit
variasinya. Metode ini sangat luas pemakaiannya tetapi mendapatkan
kritikan keras dari Brown dkk. (1964).
Batu bara kokas terbagi atas:
a. batu bara kokas peringkat rendah, meliputi batu bara dengan
peringkat <bituminous A zat terbang tinggi;
b. batu bara kokas peringkat menengah, meliputi bituminous zat A
terbang tinggi ke bituminous zat terbang menengah; dan
c. batu bara kokas peringkat tinggi, meliputi bituminous zat terbang
menengah dan bituminous zat terbang rendah.
2.3.2 Gasifikasi Batubara
Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) adalah sistem
tenaga termal generasi mendatang dengan efisiensi pembangkit listrik
yang ditingkatkan secara signifikan dan kinerja lingkungan karena
kombinasi dengan gasifikasi batu bara dan sistem Gas Turbine
Combined Cycle (GTCC). Sistem IGCC tipe besar dapat meningkatkan
efisiensi pembangkit listrik sekitar 15% dan mengurangi CO2
dibandingkan dengan sistem tenaga panas berbahan bakar batu bara
konvensional (Harkin et al., 2011).
30
Gambar 11. Skema alir proses IGCC (Harkin et al., 2011)
31
Gambar 12. Skema Air Blown IGCC (ABI) (Gräbner et al., 2010)
Gambar 13. Mekanisme dari Air Blown IGCC (ABI) (Gräbner et al.,
2010)
33
dihasilkan dalam gasifier untuk memungkinkan waktu tinggal
partikel batubara dan menekan dispersi arang.
Gambar 14. Konfigurasi Oxygen blown IGCC (OBI) (Tanno & Makino,
2018)
34
3) Aliran gas bersuhu tinggi (aliran sirkulasi sendiri) dalam
tungku dan nosel penggerak aliran-turun terak digunakan
untuk mengisolasi dan memanaskan lubang keran abu cair
(terak), untuk menyebabkan terak mengalir turun secara stabil.
Langkah-langkah ini memecahkan masalah yang terkait dengan
(OBI) (Gambar 6) (Harkin et al., 2011).
Gambar 15. Fitur Oxygen blown IGCC (OBI) (Tanno & Makino, 2018)
2.3.3 Pencairan Batubara
Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah proses
mengubah wujud batubara dari padat menjadi cair. Proses pencairan
batubara dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode langsung
dan metode tidak langsung. Pada proses tidak langsung batubara
difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 yang kemudian
direkombinasikan menghasilkan produk cair, prosesnya melalui
gasifikasi dan kondensasi. Pada proses langsung batubara cair
diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut organik lalu
35
dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi.
Proses pencairan batubara secara langsung dapat dilakukan melalui
pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
Pada proses pencairan batubara secara langsung, katalis sangat
berperan dalam reaksi hidrogenasi pelarut donor hidrogen. Molekul
hidrogen kurang reaktif dibandingkan dengan pelarut donor hidrogen
dalam proses stabilisasi radikal hasil fragmentasi batubara. Sifat
kekurang-aktifan dari molekul hidrogen menyebabkan pelarut donor
hidrogen terlibat langsung dalam proses hidrogenasi fragmen-fragmen
batubara tersebut. Hidrogen yang dikeluarkan dari donor hidrogen
mengakibatkan pelarut tersebut menjadi tidak aktif. Pengaktifan
kembali dapat dilakukan dengan reaksi hidrogenasi. Molekul hidrogen
dengan bantuan katalis dapat merehidrogenasi pelarut donor hidrogen
pada proses pencairan batubara.
Pencairan batubara prinsipnya melalui dekomposisi termal
batubara (biasanya 400-500°C batubara sudah/mulai mengeluarkan
liquid ) kadang disebut karbonisasi atau destructive distillation, tapi
istilah ini tidak tepat karena proses karbonisasi tidak ditujukan untuk
menghasilkan liquid sebagai produk utama (C organik = C
coke/char/carbon+liquid+gas). Proses secara kimiawi pada prinsipnya
struktur kimia batubara dipecah menjadi kecil, ikatan-ikatan organik
dipecah menjadi lebih kecil dan rasio atom H/C ditingkatkan agar
menjadi liquid,
36
hidrogen (hidrokarbonisasi). Proses ini sederhana tapi tidak efektif
karena dominan menghasilkan char daripada liquid.
b. Solvent extraction : batubara dicampur solvent untuk menghasilkan
liquid dengan adanya transfer hidrogen dari solvent ke batubara
atau dari gas hidrogen ke batubara (temperatur sampai dengan
500°C, tekanan bisa bervariasi sampai dengan 5000 psi). Solvent
bisa berupa batubara cair hasil proses sebelumnya atau
produk petroleum (bitumen dan heavy oil ).
c. Catalytic Liquefaction: penggunaan katalis untuk menambah
hidrogen ke batubara. Katalis bisa berupa iron oxide, zinc chloride,
tin chloride, dan lain lain, tapi harus tetap ada suplai hidrogen.
d. Indirect liquefaction: meliputi 2 tahap konversi, (1) batubara
direaksikan dengan uap air dan oksigen untuk menghasilkan gas
terutama CO dan H2, (2) kemudian gas ini dimurnikan
(membersihkan S, N, dan lain-lain), hasilnya direaksikan dengan
katalis untuk dikonversi menjadi cair (kadang disebut proses
Fischer-Tropsch). Bisa juga dikonversi untuk menghasilkan
methanol, kemudian methanol dikonversi menjadi liquid.
- Kekuatan ikatan
38
Ikatan C-C dan C-H yang kuat sehingga tidak mudah memutus
ikatan.
- Sifat ikatan
C dan H memiliki keelekronegatifan yang sama sehingga
tak ada ikatan polar yang mudah memberikan atom karbon
positif yang mudah diserang pasangan elektron donor yang
bersifat elektrofilik.
Seluruh ikatan C-C dan C-H merupakan ikatan kovalen
tunggal dan tidak ada daerah yang memiliki densitas
elektron yang tinggi dan dapat menyerang pasangan
elektron donor yang bersifat elektrofilik.
39
Jika temperatur cukup tinggi, energi kinetik dari partikel
kekurangan untuk menyebabkan fisi ikatan pada saat tumbukan
dan ini menyebabkan reaksi rantai radikal bebas.
Langkah (1) adalah langkah inisiasi dimana ikatan C-C pada
suatu molekul alkana dipecah menjadi dua radikal bebas alkil
dengan fisi ikatan homolitik. Ini artinya pasangan elektron pada
ikatan C-C dipecah antara dua radikal yang terbentuk.
Ikatan terlemah yang pertama kali akan terputus dalam langkah
inisiasi, ikatan C-C (entalpi ikatan 348 kJ/mol) akan cenderung
pertama kali terputus. Sedangkan ikatan C-H lebih kuat (entalpi
ikatan 412 kJ/mol).
Titik merah menunjukkan elektron yang tidak berpasangan pada
radikal bebas.
Radikal bebas adalah jenis yang kereaktifannya tinggi dengan
elektron yang tidak berpasangan dan cenderung membentuk
ikatan baru dengan cepat, dalam hal ini dengan cara
menghilangkan hidrogen dari molekul dengan langkah (2) sampai
(6) atau berpasangan dengan radikal lainnya contohnya langkah
(7) dan (8).
40
Langkah (2) sampai (6) adalah langkah propagasi rantai, karena
sama halnya dengan hasil, radikal bebas juga terus dihasilkan
untuk melanjutkan reaksi rantai dan menyebabkan, dalam hal ini
bermacammacam produk lain.
Langkah (7) dan (8) adalah dua kemungkinan langkah terminasi
rantai yang menghilangkan kereaktifan alkil radikal bebas yang
tinggi. Elektron yang tidak berpasangan dari dua radikal akan
berpasangan sehingga membentuk ikatan baru.
Juga dapat melakukan terminasi dengan bentuk alkena dan alkana
secara simultan.
Contoh: 2CH3CH2 CH2 = CH2 + CH3CH3
Atau kombinasi isomer untuk membentuk methylpropana
(CH3)2CHCH3 seperti butan yang diharapkan.
a. Tingkat destabilisasi
Tahapan ini merupakan tahapan awal yang dilakukan
sebelum tahapan pemutusan ikatan secara termal. Tahapan ini
dimaksudkan untuk mengganggu kestabilan ikatan senyawa
kompleks batubara sehingga akan melemahkan energi ikatannya.
Proses destabilisasi ini dilakukan dengan menggunakan medan
elektromagnet dan elektrolisis secara simultan. Medan elektrolisis
akan menyebabkan terjadinya gangguan dan splitting pada level
energi bilangan kuantum magnetik atom yang berikatan
sedangkan elektrolisis akan mengacak gaya Van der Waalsnya.
Dengan memanfaatkan senyawa-senyawa minor pada batubara
maka akan membantu untuk melemahkan gaya van der waals
molekul- molekul batubara sehingga molekul ini merenggang
jaraknya. Selanjutnya pelarut akan masuk ke dalam pori-pori
41
molekul sehingga akan terjadi pembengkakan (swelling) molekul-
molekul batubara ini.
43
keadaan yang turbulensi agar proses ekstraksi batubara oleh
pelarut lebih cepat dan homogen.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi hasil
konversi produk dan konsumsi hidrogen pada proses pencairan
batubara, antara lain:
a) Pengaruh peringkat batubara
Peringkat batubara mempengaruhi konversi produk
yang dihasilkan. Syaker dan Kelvin mempelajari pengaruh
karateristik batubara terhadap minyak yang dihasilkan setelah
proses pencairan, mereka menyatakan bahwa semakin tinggi
peringkat batubara, makin sedikit minyak yang dihasilkan,
b) Pengaruh rasio batubara/pelarut
Rasio batubara/pelarut (coal-solvent ratio) yang
digunakan mempunyai peranan yang penting dalam menaikan
konversi produk yang dihasilkan. Pelarut yang digunakan
biasanya mengandung hidroaromatik, seperti: tetralin,
dekalin, dihidroantresen, dihidrofenantren dan lain lain.
Pelarut yang dipilih biasanya mempunyai temperatur
superkritis pirolisis batubara sebagai contoh: tetralin
mempunyai temperatur kritis 448°C, sehingga proses
pencairan biasanya dilakukan sekitar temperatur 450°C. Jones
dan Rotterdorf (1980) menyatakan bahwa dengan rasio berat
batubara/pelarut: 4 dan ternyata menunjukan hasil konversi
produk yang hampir sama. Menurut Ghazali dan Nasir
(1994), dengan rasio batubara/pelarut: 2/3 dan 1/3 diperlukan
konsumsi hidrogen berturut-turut: 2,4% dan 2,5%, konsumsi
hidrogen tinggi ini menunjukkan kemampuan pelarut
berfungsi dengan baik.
c) Pengaruh kondisi operasi
44
Kondisi operasi proses pencairan batubara yang utama disini
adalah:
Pengaruh temperatur operasi
Temperatur operasi pencairan batubara biasanya terjadi
antara 375°C- 450°C. Batubara bituminus bila dipanaskan
pada temperatur 325°C- 350°C akan lunak dan bersifat
plastis. keadaan ini disebut "plastic state", dan pada
kondisi ini kecepatan reaksi berjalan sangat lambat,
bahkan belum terjadi reaksi. Laju pemanasan yang cepat
untuk mencapai temperatur operasi optimum akan
melindungi bagian reaktif batubara terhadap polimerisasi.
Pengaruh waktu operasi
Waktu operasi proses pencairan batubara sekitar 20 menit
sampai 2 jam, namun ada peneliti yang menyatakan bahwa
terjadi peningkatan konversi batubara menjadi produk
minyak dengan kenaikan waktu operasi sampai 200 menit.
Pemanasan partikel batubara secara cepat dalam media gas
hidrogen dapat meningkatkan waktu kontak sehingga
kurang dari 15 menit (short contact time liquefaction),
dengan konversi produk yang tetap tinggi.
45
Minyak tanah atau kerosin merupakan cairan hidrokarbon
yang tak berwarna dan mudah terbakar dan memiliki titik didih antara
200 °C dan 300 °C. Minyak tanah atau disebut juga parafin. Minyak
tanah banyak digunakan untuk lampu minyak dan kompor, sekarang
banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin jet (Avtur, Jet-A, Jet-B,
JP-4 atau JP-8). Kerosin dikenal sebagai RP-1 digunakan sebagai
bahan bakar roket. Pada proses pembakarannya menggunakan
oksigen cair. Kerosin didestilasi langsung dari minyak mentah dan
memerlukan pengendalian khusus dalam sebuah unit Merox atau
hydrotreater untuk mengurangi kadar belerang dan perkaratan.
Kerosin dapat juga diproduksi oleh hydrockraker, yang digunakan
untuk meningkatkan bagian dari minyak mentah yang cocok untuk
bahan bakar minyak.
47
- Tekanan Uap pada 428°C : 1 mmHg
- Densitas : 2,91 gr/mL
- Kelarutan pada 25°C : 423 gr/100 gr Air
- pH :4
- berupa kristal putih dan tidak berbau
48
langsung ditransfer ke lapisan keramik tersebut. Hal ini juga
bermanfaat untuk kawat pemanas sehingga terlindungi dan dapat
memperpanjang umur elemen. Penemu dari pemanas keramik tersebut
di atas adalah perusahaan Elstein-Werk dari Jerman. Untuk model
dasar radiator keramik sebagai bola dengan sekrup-topi, paten untuk
Elstein diterbitkan pada 24 Maret 1949. Item ini dikenal juga di
seluruh dunia dengan nama “Elsteinheater".
Biasanya dimanfaatkan untuk memanaskan benda yang
permukaannya padat diantaranya untuk memanaskan : plastik,
makanan, ruangan, metal, cat, dan lain-lain. Aplikasi lainnya juga
digunakan sebagai drying untuk material plastik foil dan sheet hasil
cetakan printer, furniture kayu, material kaca, dan lain-lain.
49
Gambar 18. Infrared Heater
50
Badan Black Body Ceramik Heater dengan lubang lubang 5/16"
(8mm) di seluruh permukaan praktis untuk aplikasi pemanasan
berseri-seri dengan kebutuhan pendinginan. Sepanjang 8-7/8″ x
12-1/8″ (225mm x 308mm) kombinasi radiasi/sumber panas
konvektif diperlukan udara yang ditiupkan melalui permukaan
sehingga memberikan transfer konveksi panas.
2.3.3.10Penelitian Terdahulu
52
d. Kedap air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada waktu
lama
e. Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan suhu
pembakaran) yang baik. (Nursyiwan dan Nuryei, 2005).
Briket batubara memiliki keungggulan sebagai berikut:
a. Murah
b. Panas yang tinggi dan kontinu sehingga sangat baik untk pembakaran
yang lama
c. Tidak beresiko meledak atau terbakar
d. Tidak mengeluarkan suara bising serta tidak berjelaga, dan sumber
batubara berlimpah.
Briket adalah teknologi yang menggunakan proses basah atau kering
untuk mengkompresi bahan baku ke dalam beberapa bentuk. Proses briket
kering memerlukan tekanan tinggi dan tidak memerlukan pengikat. Proses
tersebut mahal dan direkomendasi hanya untuk produksi level tinggi.
Sedangkan proses basah hanya memerlukan tekanan rendah tetapi
memerlukan binder (Assureira, 2002).
Beberapa tipe/bentuk briket yang umum dikenal adalah, antara lain :
bantal (oval), sarang tawon (honey comb), silinder (cylinder), telur (egg), dan
lain-lain. Kemudian adapun faktor-faktor yang mempengarhui sifat briket
adalah berat jenis bahan bakar atau berat jenis bahan baku, kehalusan serbuk,
suhu karbonisasi, dan tekanan pada saat dilakukan pencetakan. Selain itu,
pencampuran formula dengan briket juga mempengaruhi sifat briket.
53
(a) (b) (c)
Gambar 19. Bentuk-bentuk Briket : (a) Sarang Tawon Bulat (b) Sarang Tawon
Kotak (c) Silinder Pejal (d) Tablet (e) Hexagonal (f) Silinder Berlubang
(sumber : www.arangbriketindonesia.com )
2.3.4.1 Teknologi Pembuatan Briket
Ada tiga jenis briket batubara yang berbeda-beda komposisinya,
yaitu:
a. Briket batubara biasa (Non Karbonisasi), campuran berupa batubara
mentah dan zat perekat (biasanya lempung). Sangat sederhana dan
biasanya berkualitas rendah. Jenis Non Karbonisasi (biasa), jenis yang ini
tidak mengalamai dikarbonisasi sebelum diproses menjadi Briket dan
harganyapun lebih murah. Karena zat terbangnya masih terkandung
dalam Briket Batubara maka pada penggunaannya lebih baik
menggunakan tungku (bukan kompor) sehingga akan menghasilkan
pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang yang muncul
dari Briket akan habis terbakar oleh lidah api dipermukaan tungku.
Briket ini umumnya digunakan untuk industri kecil. Pada briket jenis ini
komposisi campurannya adalah batubara 80% – 95%, bahan pengikat 5%
– 20%, bahan imbuh 0% -5 %.
b. Briket batubara terkarbonisasi, batubara yang digunakan “dikarbonisasi”
(carbonised) terlebih dulu dengan cara membakarnya pada suhu tertentu
54
sehingga sebagian besar zat pengotor, terutama zat terbang (volatile
matters) hilang. Dengan bahan perekat yang baik, briket batubara yang
dihasilkan akan menjadi sangat baik dan rendah emisinya.
Dengan proses karbonisasi zat – zat yang terkandung dalam Briket
Batubara tersebut diturunkan serendah mungkin sehingga produk
akhirnya tidak berbau dan berasap, namun biaya produksi menjadi
meningkat karena pada Batubara tersebut terjadi rendemen sebesar 50%.
Briket ini cocok untuk digunakan untuk keperluan rumah tangga serta
lebih aman dalam penggunaannya. Bahan baku utama briket batubara
terkarbonisasi adalah batubara dengan persentase antara 80 – 90%,
sisanya 5 – 15% merupakan bahan pengikat dan bahan imbuh. Bahan
imbuh yang biasa digunakan adalah kapur dengan kadar maksimum 5%
yang berfungsi sebagai adsorban untuk menangkap SO2.
c. Briket bio-batubara, atau dikenal dengan bio-briket, selain kapur dan zat
perekat, ke dalam campuran ditambahkan bio-masa sebagai substansi
untuk mengurangi emisi dan mempercepat pembakaran. Bio-masa yang
biasanya digunakan berasal dari ampas industri agro (seperti bagas tebu,
ampas kelapa sawit, sekam padi, dan lain-lain) atau serbuk gergaji.
Bahan baku briket bio-batubara terdiri dari : batubara, biomassa, bahan
pengikat dan kapur. Komposisi campurannya adalah batubara 50% –
80%, biomas 10% – 40%, bahan pengikat 5% – l0%, bahan imbuh
(kapur) 0% – 5%.
55
Tabel 1. Standar Kualitas Briket Batubara
63
c. Kandungan zat terbang
Zat terbang terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti
hidrogen, karbon monoksida (CO), dan metana (CH 4), tetapi
kadang-kadang terdapat juga gas-gas yang tidak terbakar seperti
CO2 dan H2O. Volatille matter adalah bagian dari briket dimana
akan berubah menjadi produk volatile matter (produk) bila briket
tersebut dipanaskan tanpa udara pada suhu lebih kurang 950 ℃.
d. Kerapatan
Dilakukan dengan mendeterminasi berapa rapat massa
biobriket melalui perbandingan antara massa biobriket dengan
besarnya dimensi volumetrik biobriket.
e. Kekuatan
Bertujuan untuk mengukur berapa energi yang dapat diserap
suatu material sampai material itu patah. Pengujian ini merupakan
respon terhadap beban kejut atau beban tiba-tiba. (calliester, 2007)
ukuran partikel mempengaruhi kekuatan briket yang dihasilakn
karena ukuran yang lebih kecil akan menghasilkan rongga yang
lebih kecil pula sehingga kuat tekan briket akan semakin besar.
Sedangkan distribusi ukuran akan menentukan kemungkinan
penyusunan (packing) yang lebih baik.
f. Nilai kalor
Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value, merupakan
suatu parameter yang penting dari suatu thermal coal. Gross
calorific valur diperoleh dengan membakar suatu sampel briket
dalam bomb calorimeter dengan megembalikan sistem ke ambient
temperature. Net calorific value biasanya antara (93-97%) dari
gross value dan tergantung dari kandungan inherent moisture serat
kandungan hidrogen dalam briket.
64
2.3.4.4 Pembakaran Briket
Menurut Himawanto D. A. (2005), mekanisme pembakaran
biomassa terdiri dari tiga tahap yaitu pengeringan (drying),
devolatilisasi (devolatilization), dan pembakaran arang (char
combustion).
a. Pengeringan (drying)
Dalam proses ini bahan bakar mengalami proses kenaikan
temperatur yang akan mengakibatkan menguapnya kadar air yang
berada pada permukaan bahan bakar tersebut, sedangkan untuk
kadar air yang berada di dalam akan menguap melalui pori-pori
bahan bakar padat tersebut. (Borman dan Ragland, 1998).
b. Devolatilisasi (devolatilization)
Setelah proses pengeringan, bahan bakar mulai mengalami
dekomposisi, yaitu pecahnya ikatan kimia secara termal dan zat
terbang (volatile matter) akan keluar dari partikel. Volatile matter
adalah hasil dari proses devolatilisasi.
c. Pembakaran arang (char combustion)
Sisa dari pirolisis adalah arang (fixed carbon) dan sedikit
abu, kemudian partikel bahan bakar mengalami tahapan oksidasi
arang yang memerlukan 70% - 80% dari total waktu pembakaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembakaran bahan bakar
padat (Sulistyanto A, 2006), adalah :
a. Ukuran partikel
Salah satu faktor yang mempengaruhi pada proses pembakaran
bahan bakar padat adalah ukuran partikel bahan bakar padat yang
kecil. Dengan Partikel yang lebih kecil ukurannya, maka suatu
bahan bakar padat akan lebih cepat terbakar.
b. Kecepatan aliran udara
65
Laju pembakaran biobriket akan naik dengan adanya kenaikan
kecepatan aliran udara dan kenaikan temperatur.
c. Jenis bahan bakar
Jenis bahan bakar akan menentukan karakteristik bahan bakar.
Karakteristik tersebut antara lain kandungan volatile matter (zat-
zat yang mudah menguap) dan kandungan moisture (kadar air).
Semakin banyak kandungan volatile matter pada suatu bahan
bakar padat maka akan semakin mudah bahan bakar padat tersebut
untuk terbakar dan menyala.
d. Temperatur udara pembakaran
Kenaikan temperatur udara pembakaran menyebabkan semakin
pendeknya waktu pembakaran.
e. Karakteristik bahan bakar padat
Yang terdiri dari kadar karbon, kadar air (moisture), zat-zat yang
mudah menguap (Volatile matter) , kadar abu (ash), nilai kalori.
Menurut Sulistyanto A. (2006), dari hasil penelitiannya
didapatkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik
pembakaran briket, antara lain :
a. Laju pembakaran biobriket paling cepat adalah pada komposisi
biomassa yang memiliki banyak kandungan volatile matter (zat-zat
yang mudah menguap). Semakin banyak kandungan volatile
matter suatu biobriket maka semakin mudah biobriket tersebut
terbakar, sehingga laju pembakaran semakin cepat.
b. Kandungan nilai kalor yang tinggi pada suatu biobriket saat
terjadinya proses pembakaran biobriket akan mempengaruhi
pencapaian temperatur yang tinggi pula pada biobriket, namun
pencapaian suhu optimumnya cukup lama.
c. Semakin besar berat jenis (bulk density) bahan bakar maka laju
pembakaran akan semakin lama. Dengan demikian biobriket yang
66
memiliki berat jenis yang besar memiliki laju pembakaran yang
lebih lama dan nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan
biobriket yang memiliki berat jenis yang lebih rendah. Makin
tinggi berat jenis biobriket semakin tinggi pula nilai kalor yang
diperolehnya.
Pada briket, uji nyala pelu dilaksanakan guna mengetahui
apakah superkarbon yang dibuat dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Parameter yang diamati mencakup lama penyalaan.
Tabel 2. Beberapa Permasalahan Uji Nyala
Permasalahan Faktor Penyebab Cara Mengatasi
Nyala api sebentar Bahan penyala minim Tambahkan bahan penyala
Tambahankan
Bara sebentar Pengempaan minim Pengempaan
67
a. Pencampuran kontak aliran udara dengan bahan bakar dalam ruang
bakar kompor harus baik sehingga dapat membakar bahan bakar
dengan pasokan udara cukup.
b. Suhu dalarn ruang bakar harus cukup tinggi selama berlangsungnya
pembakaran. (Suhu pembakaran zat terbang dirnulai pada suhu 200
°C hingga suhu 400°C, suhu pembakaran sisa karbon dimulai pada
suhu di atas 400 °C).
c. Waktu yang tersedia cukup untuk membakar bahan bakar secara
sempurna.
68
BAB III
SOAL DAN JAWABAN
SOAL
1. Jelaskan 2 tahap proses pembentukan batu bara !
2. Mengapa proses pengolahan batu bara termasuk tidak ramah
lingkungan ?
3. Bagaimana proses pencairan batu bara ?
4. Mengapa briket dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif ?
5. Bahan apa saja yang digunakan dalam proses pembuatan briket dan
bagaimana proses pembuatan briket ?
JAWAB
1. Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap, yaitu:
Tahap biokimia (penggambutan) adalah tahap ketika sisa-sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas
oksigen (anaeorobik), tumbuhan yang busuk tersebut melepaskan
unsur H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O dan NH3
untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobic dan
fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi gambut.
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis
terhadap komponen organik dari gambut yang menimbulkan
peningkatan temperatur dan tekanan sebagai gabungan proses
biokimia, kimia dan fisika yang terjadi karena pengaruh
pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun waktu
geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon akan meningkat,
sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang
sehingga menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat maturitas
material organiknya.
69
2. Pada proses pengolahan batu bara terdapat proses pembakaran yang
menghasilkan gas emisi karbondioksida dan sulfur diokaida yang
dapat menimbulkan efek rumah kaca, pemanasan global, perubahan
iklim, dan jika sulfurdioksida bereaksi dengan uap air akan
menghasilkan asam sulfat yang dapat terjadinya hujan asam. Selain
itu Pembakaran batu bara juga menghasilkan partikel karbon hitam
yang dapat membuat suatu daerah tertutup asap tebal dan hitam
sehingga urang baik bagi kesehatan manusia karena dapat
menimbulkan gangguan ISPA
3. Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah proses mengubah
wujud batubara dari padat menjadi cair. Proses pencairan batubara
dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode langsung dan
metode tidak langsung. Pada proses tidak langsung batubara
difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 kemudian
direkombinasikan menghasilkan produk cair, prosesnya melalui
gasifikasi dan kondensasi. Pada proses langsung batubara cair
diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut organik lalu
dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi.
Proses ini melalui pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
4. a.) Dapat dibuat dari bahan sekitar (serbuk kayu, sekam padi)
b.) Dapat diperbaharui dan ramah lingkungan
c.) Cara menggunakannya sangat praktis
d.) Lebih ekonomis dari pada minyak dan gas bumi
5. Bahan yang digunakan bida dari batu bara atau pun limbah biomassa
yang memungkinkan untuk dibuat briket. Tahap pembuatan briket
diawali dengan pengecilan ukuran bahan baku selanjutnya
ditambahkan perekat yang bertujuan untuk merekatkan. Tahap
selanjutnya yaitu pencetakan briket untuk memperoleh bentuk yang
seragam dan memudahkan pengemasan dan juga penggunaannya.
70
Tahap terakhir yaitu pengeringan briket bertujuan untuk mengurangi
kadar air dalam briket karena kadar air dapat menurunkan nilai kalor.
6.
71
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Batubara didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terbentuk dari
dekomposisi tumpukan tanaman selama kira-kira 300 juta tahun.
Dekomposisi tanaman ini terjadi karena proses biologi dengan
mikroba dimana banyak oksigen dalam selulosa diubah menjadi
karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Perubahan yang terjadi dalam
kandungan bahan tersebut disebabkan oleh adanya tekanan,
pemanasan yang kemudian membentuk lapisan tebal sebagai akibat
pengaruh panas bumi dalam jangka waktu berjuta-juta tahun,
sehingga lapisan tersebut akhirnya memadat dan mengeras.
2. Proses pengolahan batubara terdiri dari proses preparasi, konsentrasi,
dan dewatering.
3. Teknologi pengolahan batubara terdiri dari gasifikasi barubara,
karbonisasi batubara, pencairan batubara, dan pemnfaatan batubara
sebagai briket.
4.2 Saran
Indonesia memiliki potensi ketersediaan batubara yang
melimpah. Konsumsi batubara hendaknya sebanding dengan
ketersediaan batubara di tanah air agar pemanfaatan dan pengolahan nya
lebih maksimal. Tidak hanya difungsikan pada pembangkit listrik, tetapi
pada fungsi lain seperti bahan bakar dan arang aktif melalui proses
pengolahan pencairan batubara, gasifikasi batubara, karbonisasi, dan
pengolahan briket.
72
DAFPUS
73
Pasymi. 2008. Batubara. URL :
https://www.researchgate.net/publication/339237855_BATUBARA_JI
LID_1. Diakses tanggal 23 Desember 2022.
74
SINOPSIS
75