Anda di halaman 1dari 131

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/355586409

Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash untuk Pengelolaan Batuan dan Air
Asam di Tambang Batubara

Book · October 2021

CITATIONS READS

0 586

8 authors, including:

Candra Nugraha

16 PUBLICATIONS   64 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Environment Indicators on Sustainability Report of Mining Industries View project

All content following this page was uploaded by Candra Nugraha on 08 November 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMANFAATAN
FLY ASH DAN BOTTOM ASH
UNTUK PENGELOLAAN BATUAN DAN AIR ASAM
DI TAMBANG BATUBARA

2021
Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash
Untuk Pengelolaan Batuan dan Air Asam
Di Tambang Batubara

Penanggung Jawab
Ir. Sinta Saptarina Soemiarno, M.Sc.

Penulis
Dr. Eng. Candra Nugraha
Rolliyah, S.T., M.Si.

Penyusun
Tim KLHK
Ir. Edy Purwanto, MAS
Indra Zen, S.Si.
Farida Maya Indriani, S.Kel.
M. Andhika Budiawan, S.T.
Fazri Putrantomo, S.Pi., M.Si.
Aminullah Mawardi, S.T.

ISBN: 978-623-93846-2-3 (PDF)

Diterbitkan oleh:
Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Jl. DI Panjaitan Kav-24 Jakarta Timur 13410
Telp/Fax (021) 85904932
e-mail: PKPLB3@gmail.com

Tahun terbit:
Oktober 2021
Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash
Untuk Pengelolaan Batuan dan Air Asam
Di Tambang Batubara

Copyright@2021 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Publikasi buku ini menyajikan informasi bersifat dinamis yang mungkin


berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Buku ini disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dalam rangka Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash untuk Pengelolaan
Batuan dan Air Asam Tambang. Buku ini tidak diperjualbelikan atau
untuk tujuan komersial lainnya. Untuk tujuan pembelajaran, buku ini
dapat dicuplik atau digandakan sebagian atau seluruhnya dengan
menyebutkan rujukan kepada buku ini tanpa perlu memperoleh izin
terlebih dahulu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat menghargai
pemberitahuan dan/atau pengiriman cetakan publikasi lainnya yang
merujuk kepada buku ini.

ISBN: 978-623-93846-2-3 (PDF)

Sumber foto sampul depan: Dokumentasi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, PT Kaltim Prima Coal, PT Guguk Tinggi Coal, dan koleksi Candra Nugraha
K

Kata Pengantar

Oleh: Sinta Saptarina Soemiarno


Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan
Limbah Non B3
Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Penggunaan batubara sebagai bahan bakar semakin meningkat yang


berdampak terhadap meningkatnya jumlah limbah yang akan
dihasilkan. Demikian pula dengan bukaan lahan tambang batubara
yang semakin besar. Pada tahun 2019, produksi batubara Indonesia
mencapai 616 juta ton dimana 454,5 juta ton atau 74% dari produksi
di ekspor. Di tahun 2021 kebutuhan batubara untuk pembangkit
listrik sebanyak 113 juta ton, terdiri dari PLN sebanyak 63,8
juta ton dan Independent Power Producer (pengembang listrik
swasta) sebanyak 49,2 juta ton. Apabila diasumsikan jumlah
limbah abu terbang (Fly Ash - FA) dan abu dasar (Bottom Ash – BA)
yang dihasilkan sebesar 10%, maka timbulan total limbah di tahun
2021 diperkirakan sebanyak 11,3 juta ton.
Potensi dampak terhadap lingkungan, baik dari kegiatan
penambangan maupun pemakaian batubara, relatif besar. Potensi
dampak lingkungan kegiatan penambangan dapat berupa
perubahan bentang alam akibat lubang bekas tambang dan
pembentukan air asam tambang dari batuan asam. Sedangkan dari
kegiatan pemakaian batubara di PLTU, dampak lingkungan berasal
dari timbulan FABA sebagai sisa dari proses pembakaran batubara.
Salah satu inovasi untuk mengurangi timbulan limbah
adalah Pemanfaatan FABA sebagai bahan penutup timbunan
batuan asam untuk mencegah reaksi oksidasi mineral sulfida.
Pemanfaatan FABA ini dapat memberikan manfaat besar
terhadap penyelesaian masalah lingkungan, ekonomi dan sosial,

i
Kata Pengantar

dimana terdapat simbiosis mutualisme antara perusahaan


penghasil FABA dengan perusahaan pertambangan batubara,
dimana volume FABA yang relatif besar dapat dimanfaatkan oleh
perusahaan pertambangan. Dengan demikian limbah dapat
dikurangi dan dimanfaatkan sehingga dapat memperoleh
nilai keuntungan ekonomi, lingkungan dan sosial bagi perusahaan.
Kami berharap, buku ini dapat menambah referensi dan menjadi
inspirasi bagi perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan
dan perusahaan yang menghasilkan FABA.
Apresiasi disampaikan kepada PT Kaltim Prima Coal dan PT Guguk
Tinggi Coal, Tim Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3
dan Limbah Non B3 KLHK, serta semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan dan penerbitan buku ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa
berkenan selalu melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua.

ii
K

Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................................. i


Daftar Isi ........................................................................................................................ iii
Daftar Tabel ................................................................................................................vii
Daftar Gambar ............................................................................................................ ix
Bab I. Pendahuluan .................................................................................................... 1
1.1. Latar belakang ............................................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan...................................................................................... 7
1.3. Sasaran .............................................................................................................. 8
Bab II. Penambangan Batubara Dan Potensi Dampak Lingkungan ...... 9
2.1. Proses penambangan .................................................................................. 9
2.2. Pengelolaan batuan asam dan air asam tambang........................ 13
2.2.1. Reaksi dan faktor pengaruh ......................................................... 13
2.2.2. Perpindahan air asam tambang .................................................. 16
2.2.3. Prinsip pengelolaan batuan dan air asam tambang ........... 18
2.3. Identifikasi potensi pembentukan air asam tambang ............... 18
2.3.1. Uji statik ................................................................................................ 19
2.3.2. Uji kinetik ............................................................................................. 22
2.4. Pemodelan sebaran batuan ................................................................... 24
2.5. Pemindahan dan penimbunan batuan secara selektif ............... 24
2.5.1. Penutup kering (dry cover) ........................................................... 26
2.5.2. Penutup basah (wet cover) ............................................................ 29
2.6. Pengolahan air asam tambang ............................................................. 30
2.6.1. Pengolahan aktif ................................................................................ 31
2.6.2. Pengolahan pasif................................................................................ 32
2.7. Pemantauan dan evaluasi kinerja ...................................................... 34

iii
Daftar Isi

Bab III. Penggunaan Batubara Dan Timbulan Limbah Fly Ash Dan
Bottom Ash .................................................................................................................. 37
3.1. Pengunaan batubara ................................................................................. 37
3.2. Karakteristik Fly Ash (FA) dan Bottom Ash (BA) .......................... 39
Bab IV. Pemanfaatan Fly Ash Dan Bottom Ash............................................. 45
4.1. Persyaratan pemanfaatan fly ash dan bottom ash ....................... 45
4.2. Sumber dan volume FABA ..................................................................... 47
4.3. Pemanfaatan FABA .................................................................................... 48
4.3.1 Persiapan pemanfaatan ................................................................... 48
4.3.2. Persetujuan rencana pemanfaatan ............................................ 59
4.3.3. Penyusunan rencana pemanfaatan ........................................... 60
4.3.4. Pelaksanaan pemanfaatan ............................................................. 61
4.3.5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemanfaatan ...... 61
4.3.6. Pelaporan .............................................................................................. 62
Bab V. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash ................. 63
5.1. Studi Kasus – PT Kaltim Prima Coal ................................................... 63
5.1.1. Latar belakang .................................................................................... 63
5.1.2. Pengelolaan batuan dan air asam tambang ........................... 63
5.1.3. Produksi dan karakteristik FABA ............................................... 66
5.1.4 Persetujuan pemanfaatan ............................................................... 69
5.1.5. Tujuan pemanfaatan ........................................................................ 70
5.1.6. Uji coba pemanfaatan FABA .......................................................... 70
5.1.7. Pemanfaatan FABA ........................................................................... 74
5.1.8. Nilai ekonomi dan lingkungan ..................................................... 81
5.1.9. Peluang dan kendala ........................................................................ 81
5.2. Studi kasus 2 - PT Guguk Tinggi Coal ................................................ 84
5.2.1. Latar Belakang .................................................................................... 84
5.2.2. Pengelolaan air asam tambang .................................................... 86
5.2.3. Karakterik batuan di lubang bekas tambang dan FABA ... 87
5.2.4. Persetujuan pemanfaatan .............................................................. 92
5.2.5. Tujuan pemanfaatan ........................................................................ 92

iv
K

5.2.6. Pemanfaatan FABA ........................................................................... 93


5.2.7. Pemantauan ......................................................................................... 99
5.2.8. Nilai ekonomi dan lingkungan ................................................... 101
5.2.9. Peluang dan kendala ...................................................................... 102
Bab VI. Penutup...................................................................................................... 103
Daftar Istilah............................................................................................................ 105
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 109

v
vi
K

Daftar Tabel

Tabel 1. Kebutuhan batubara dan potensi FABA dari PLTU ................... 4


Tabel 2. Pokok-pokok pengaturan pengelolaan lingkungan hidup
pertambangan .......................................................................................................... 12
Tabel 3. Faktor dalam pembentukan lapisan penutup ........................... 27
Tabel 4. Jenis material alkali .............................................................................. 32
Tabel 5. Sistem pengolahan pasif (passive treatment) ............................ 33
Tabel 6. Baku mutu air limbah pertambangan batubara....................... 35
Tabel 7. Komposisi oksida abu batubara berdasarkan jenis
batubara ...................................................................................................................... 40
Tabel 8. Karakteristik kimia dan fisika abu terbang ................................ 41
Tabel 9. Sifat fisik bottom ash ............................................................................ 42
Tabel 10. Hasil uji karakteristik terhadap FABA ....................................... 43
Tabel 11. Contoh penyusunan Teori Perubahan pemanfaatan
FABA ............................................................................................................................. 50
Tabel 12. Contoh matriks penentuan risiko ................................................ 52
Tabel 13. Nilai konduktivitas hidraulik (K) ................................................. 57
Tabel 14. Hasil analisa oksida logam dan LOI FABA ................................ 67
Tabel 15. Hasil uji TCLP ........................................................................................ 67
Tabel 16. Hasil uji konsentrasi total logam pada abu batubara
PT KPC.......................................................................................................................... 68
Tabel 17. Hasi uji radioaktif................................................................................ 69
Tabel 18. Variasi ketebalan material untuk masing-masing blok ...... 71
Tabel 19. Material yang digunakan di Galaxy Dump ............................... 79
Tabel 20. Data timbulan dan pemanfaatan FABA ..................................... 80
Tabel 21. Hasil analisa kualitas air di lubang tambang PT GTC .......... 86
Tabel 22. Hasil XRF sampel batuan ................................................................. 88

vii
Daftar Tabel

Tabel 23. Hasil uji statik sampel PT GTC dan FABA PLTU Ombilin ... 89
Tabel 24. Hasil pengujian karakteristik dasar FABA .............................. 90
Tabel 25. Hasil pengujian TCLP FABA ............................................................ 91
Tabel 26. Hasil pengujian okida logam .......................................................... 91
Tabel 27. Baku mutu parameter TCLP ........................................................... 95
Tabel 28. Hasil pengujian air sumur pantau ............................................. 101

viii
K

Daftar Gambar

Gambar 1. Target bauran energi primer .......................................................... 2


Gambar 2. Arus kebutuhan batubara ................................................................ 2
Gambar 3. Peta sebaran PLTU batubara .......................................................... 3
Gambar 4. Pemanfaatan fly ash di beberapa negara dan kawasan ....... 5
Gambar 5. Proses penambangan batubara .................................................. 10
Gambar 6. Contoh kondisi area penambangan batubara ...................... 13
Gambar 7. Contoh AAT yang mengalir ke lingkungan ............................ 14
Gambar 8. Sumber, jalur aliran, dan lingkungan penerima AAT ........ 17
Gambar 9. Proses reaksi oksidasi di timbunan hingga pelepasan
AAT ke lingkungan.................................................................................................. 17
Gambar 10. Diagram alir pengelolaan batuan dan air asam
tambang....................................................................................................................... 19
Gambar 11. Sistem klasifikasi batuan secara geokimia .......................... 22
Gambar 12. Contoh uji kinetik di laboratorium dan lapangan ............ 23
Gambar 13. Faktor pembentuk AAT pada batuan di timbunan .......... 25
Gambar 14. Lapisan penutup yang ditentukan oleh iklim setempat 27
Gambar 15. Konsep timbunan batuan dengan lapisan penutup ........ 27
Gambar 16. Contoh strategi enkapsulasi waste rock ............................... 29
Gambar 17. Pengelolaan AAT di lubang tambang ..................................... 30
Gambar 18. Pilihan pendekatan pengolahan air asam ........................... 33
Gambar 19. Konsep PLTU batubara ................................................................ 38
Gambar 20. Ruang lingkup pengelolaan limbah nonB3 ......................... 45
Gambar 21. Aspek penting penyimpanan limbah nonB3 ...................... 46
Gambar 22. Aspek penting pemanfaatan limbah NonB3....................... 47
Gambar 23. Skema penyusunan rencana kegiatan ................................... 50
Gambar 24. Pilihan fungsi pemanfaatan FABA .......................................... 53

ix
Daftar Gambar

Gambar 25. Pilihan pemanfaatan FABA di lubang bekas tambang


dan area penimbunan ............................................................................................ 54
Gambar 26. Rancangan sistem lapisan batuan di tempat
penimbunan ............................................................................................................... 65
Gambar 27. PLTU PT KPC .................................................................................... 66
Gambar 28. Peta lokasi ujicoba pemanfaatan FABA ................................ 71
Gambar 29. Uji coba pemanfaatan FABA sebagai penudung PAF
di lokasi J Void .......................................................................................................... 73
Gambar 30. Potongan melintang lokasi sumur pantau........................... 73
Gambar 31. Rancangan pemanfaatan FABA ................................................ 76
Gambar 32. Peta lokasi pemanfaatan FABA di Galaxy Dump dan
Purnama Dump ........................................................................................................ 77
Gambar 33. Pemanfaatan FABA penudung PAF di Lokasi Galaxy
Dump............................................................................................................................. 78
Gambar 34. Pemantauan oksigen dan kandungan air pada
timbunan ..................................................................................................................... 78
Gambar 35. Grafik timbulan dan pemanfaatan abu batubara
PT KPC .......................................................................................................................... 80
Gambar 36. Peninjauan kegiatan pemanfaatan FABA oleh
tim KLHK ..................................................................................................................... 83
Gambar 37. Peta wilayah PLTU Ombilin, jalur angkut FABA, dan
wilayah IUP PT GTC ................................................................................................ 85
Gambar 38. Peta lubang bekas tambang di wilayah IUP PT GTC ........ 85
Gambar 39. Peta lokasi pengambilan sampel ............................................. 87
Gambar 40. Kegiatan pemindahan FABA dari TPS Lapangan Hijau .. 94
Gambar 41. Konsep desain pemanfaatan FABA sebagai penutup
batuan asam (PAF).................................................................................................. 97
Gambar 42. Pemanfaatan FABA di lokasi GTC 1 ........................................ 98
Gambar 43. Pemanfaatan FABA di lokasi GTC 2 ........................................ 98
Gambar 44. Akumulasi pemanfaatan FABA ................................................. 99

x
K

Bab I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah salah satu negara yang dikaruniai kekayaan barang
tambang berupa batubara terbesar ke-6 setelah Amerika Serikat,
Rusia, Australia, China, dan India. Tercatat sebanyak 37.606 juta ton
cadangan batubara Indonsia atau 4% dari keseluruhan cadangan
batubara di dunia. Pada tahun 2019, produksi batubara Indonesia
mencapai 616 juta ton dimana 454,5 juta ton atau 74% dari produksi
di ekspor (ESDM, 2020).
Batubara merupakan salah satu penyedia energi primer. Berdasaran
Kebijakan Energi Nasional (KEN) tahun 2014, penyediaan energi
primer mencapai 400 juta ton setara minyak bumi (MTOE - Million
tonnes of oil equivalent) pada tahun 2025 dan 1000 MTOE pada tahun
2050. Untuk memenuhi target tersebut, energi yang berasal dari
batubara berkontribusi sebanyak 30% pada tahun 2025 dan 25%
pada tahun 2050, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Selain untuk memenuhi kebutuhan internasional, sebagian dari
produksi batubara digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Sebagian besar pasokan batubara dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik dan sektor industri. Sisanya diproses menjadi synthetic gas
(melalui coal gasification), dimethyl ether, dan briket, yang kemudian
dimanfaatkan antara lain oleh sektor rumah tangga, industri, dan
komersial. Ilustrasi arus kebutuhan batubara adalah seperti
ditunjukkan oleh Gambar 2.
Untuk tujuan pembangkitan listrik, data kapasitas terpasang
pembangkit listrik nasional di tahun 2020 menunjukkan bahwa dari
total 72,8 GW, PLTU batubara berkontribusi sebesar 34,6 GW atau
47,6% dari total kapasitas terpasang (ESDM, 2021).

1
Bab 1. Pendahuluan

Gambar 1. Target bauran energi primer


(Sumber: KEN, 2014 dalam DEN, 2020)

Gambar 2. Arus kebutuhan batubara


(Sumber: RUEN, 2017 dalam DEN, 2020)

2
K

Gambar 3. Peta sebaran PLTU batubara


(Sumber: Direktorat Bioenergi KESDM, 2020)

Batubara berasal dari kegiatan pertambangan di wilayah yang


memiliki sumber daya tersebut. Dengan demikian, berdasarkan
rencana jangka panjang penyediaan energi, kegiatan penambangan
dan pemakaian batubara di Indonesia masih akan terus berlangsung
dalam waktu yang cukup lama.
Setiap kegiatan pertambangan dan penyediaan energi, termasuk
PLTU, tidak akan luput dari adanya potensi dampak terhadap
lingkungan dan sosial. Dari kegiatan pertambangan, potensi dampak
lingkungan setidaknya berupa perubahan bentang alam dengan
adanya lubang bekas tambang dan pembentukan air asam tambang
(AAT) dari batuan yang mengandung mineral sulfida. Sedangkan dari
kegiatan pemakaian batubara di PLTU, salah satu potensi dampak
lingkungan dapat berasal dari timbulan limbah abu terbang (fly ash -
FA) dan abu dasar (bottom ash - BA) sebagai abu sisa dari proses
pembakaran batubara. Kedua limbah tersebut juga dikenal dengan
sebutan FABA.
Berdasarkan data Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) PT PLN (Persero) 2019 – 2028, kebutuhan batubara dan
potensi FABA yang dihasilkan adalah seperti ditunjukkan pada Tabel
1. Potensi timbulan FABA diasumsikan sebesar 10% dari kebutuhan
batubara.

3
Bab 1. Pendahuluan

Tabel 1. Kebutuhan batubara dan potensi FABA dari PLTU


Kebutuhan batubara PLTU Potensi FABA
Tahun
(juta ton) (juta ton)
2019 97 9,7
2023 135 13,5
2028 153 15,3
Sumber: RUPTL PT PLN (Persero) 2019 – 20281

Berbagai kajian telah dan sedang dilakukan untuk meminimalkan


potensi dampak dari kedua kegiatan tersebut, termasuk potensi
pemanfaatan FABA di area pertambangan. Upaya pemanfaatan ini
diharapkan dapat saling menguntungkan (win-win solution), baik bagi
penghasil FABA maupun pemanfaatan FABA.
Berdasarkan hasil kajian dari Yao, Z.T., dkk. (2015), pemanfaatan
FABA di beberapa negara dan kawasan di dunia telah banyak
dilakukan untuk berbagai keperluan, seperti ditunjukkan pada
Gambar 4. Pemanfaatan FABA di negara-negara Uni Eropa dan
Amerika Serikat terlihat dominan untuk kegiatan reklamasi, restorasi
atau aplikasi lainnya di tambang dan pemanfaatan untuk campuran
pembuatan konkret. Sementara di India dan Cina, pemanfaatan
dominan untuk kegiatan terkait industri semen. Secara umum,
informasi ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan FABA dapat
sangat beragam bentuknya, namun kebanyakan negara
memanfaatkannya untuk kegiatan yang menyerap FABA dengan
volume yang besar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan efektifitas
pemanfaatan dan biaya yang optimal.

1 RUPTL PT PLN (Persero) 2019 – 2028 seperti tertulis dalam “Fly ash dan bottom
ash PLTU Batubara”, Bahan Press Conference Dirjen Ketenagalistrikan KESDM,
Jakarta 15 Maret 2021

4
K

Gambar 4. Pemanfaatan fly ash di beberapa negara dan kawasan


(Sumber: Yao, Z.T., dkk., 2015)

5
Bab 1. Pendahuluan

Beberapa kajian dasar menunjukkan bahwa FABA memiliki


karakteristik kimia yang bersifat basa sehingga berpotensi untuk
dapat dimanfaatkan sebagai penetral air asam tambang (Damayanti,
2018; Said, M.S., dkk., 2019), termasuk yang berada di lubang bekas
tambang. Selain itu, secara fisik, FABA juga memiliki karakteristik
yang dapat dimanfaatkan sebagai penutup timbunan batuan asam
untuk mencegah reaksi pembentukan air asam tambang (Syaefudin,
M.A., dkk., 2020).
Buku ini disusun untuk menjelaskan secara rinci upaya pemanfaatan
FABA yang dapat dilakukan di area pertambangan. Saat ini,
berdasarkan PP No. 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, FABA yang berasal
dari proses pembakaran batubara yang menggunakan teknologi
selain stoker boiler dan/atau tungku industri dikategorikan sebagai
Limbah NonB3 dengan kode N106 untuk fly ash dan N107 untuk
bottom ash. Artinya, FABA yang berasal dari PLTU yang digunakan
untuk menghasilkan listrik dengan pembakaran batubara pada
temperatur tinggi (diatas 800 oC) untuk menciptakan pembakaran
sempurna, dikategorikan sebagai Limbah NonB3.
Upaya pemanfaatan FABA sebanyak mungkin merupakan salah satu
kegiatan yang didorong untuk terus dilakukan di berbagai bidang
seperti infrastruktur dan pertambangan sesuai persyaratan yang
berlaku, sehingga diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi,
sosial dan lingkungan yang optimal.
Terkait dengan pengelolaan fly ash dan bottom ash serta upaya
pemanfaatannya di area pertambangan, terdapat paling tidak 3 (tiga)
isu penting dari kegiatan pertambangan ini yang menjadi topik
penting dalam buku ini, yaitu:
1. Karakterisasi geokimia batuan penutup
Secara geokimia, batuan penutup di pertambangan dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu yang berpotensi
menghasilkan asam (Potentially Acid Forming – PAF) dan yang
tidak berpotensi menghasilkan asam (Non-Acid Forming – NAF).
Tanpa upaya identifikasi yang memadai, pembentukan air asam

6
K

sangat memungkinkan terjadi di seluruh area pertambangan,


terlebih di area pit dan area penimbunan batuan penutup.
2. Pengelolaan area bekas pit
Isu lingkungan penting terkait dengan pengelolaan area bekas pit
(atau dikenal juga sebagai lubang tambang) adalah banyaknya
area tersebut yang tidak dikelola dengan baik, yang kemudian
terisi air membentuk kolam bekas tambang. Tanpa pengelolaan
yang baik, kondisi ini telah terbukti berbahaya bagi keselamatan
baik bagi pekerja maupun masyarakat sekitar. Selain itu,
karakteristik geokimia batuan pada dinding lubang tambang
sangat memungkinkan membentuk air asam dan mengisi lubang
tambang.
3. Pengelolaan batuan penutup di area penimbunan
Penimbunan batuan penutup tanpa memperhatikan karakteristik
geokimia dapat menciptakan masalah pembentukan air asam
tambang.
Buku ini juga menampilkan contoh pemanfaatan FABA di 2 (dua)
pertambangan batubara yaitu di PT Kaltim Prima Coal (PT KPC) dan
PT Guguk Tinggi Coal (PT GTC). Di PT KPC, timbulan FABA yang
dihasilkan dari PLTU Tanjung Bara yang dioperasikan sendiri
dimanfaatkan sebagai bahan baku penudung batuan asam di tempat
penimbunan batuan (overburden dump). Sedangkan di PT GTC, FABA
yang dimanfaatkan berasal dari PLTU Ombilin yang dioperasikan
oleh PT PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Ombilin, dimana
FABA digunakan sebagai bahan baku penudung batuan asam di
lubang bekas tambang.

1.2. Maksud dan Tujuan


Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk memberikan informasi
mengenai pemanfaatan FABA dalam pengelolaan batuan dan air
asam di pertambangan, khususnya tambang batubara. Sedangkan
tujuan spesifik dari penyusunan buku ini adalah untuk:

7
Bab 1. Pendahuluan

• Menjelaskan secara rinci langkah-langkah dalam pemanfaatan


FABA untuk pengelolaan batuan dan air asam tambang
• Menjelaskan syarat administrasi dan teknis pemanfaatan
FABA
• Memberikan contoh pemanfaatan FABA yang telah dilakukan
oleh beberapa perusahaan

1.3. Sasaran
Sasaran dari buku ini adalah seluruh pihak yang bermaksud untuk
melakukan pemanfaatan limbah fly ash dan bottom ash di
pertambangan atau fasilitas sekitarnya, baik oleh pihak perusahaan
maupun pemerintah.

8
K

Bab II. Penambangan Batubara Dan Potensi


Dampak Lingkungan

2.1. Proses penambangan


Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Pada
definisi tersebut, yang dimaksud dengan batubara adalah endapan
senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan.
Proses penambangan batubara dimulai dari kegiatan pembukaan
lahan, yaitu kegiatan pemotongan pohon dan/atau pembersihan
tanaman penutup lahan lainnya. Selanjutnya dilakukan pemindahan
tanah pucuk (top soil) dan tanah dibawahnya (sub soil) untuk
digunakan sebagai media tanam area reklamasi atau kegunaan
lainnya. Setelah lapisan tanah dipindahkan, maka akan terlihat
adanya batuan penutup batubara atau lazim disebut dengan
overburden (OB). Batuan ini harus dibongkar dan dipindahkan ke
lokasi penimbunan, dapat berupa bekas area tambang lainnya
(dikenal sebagai inpit dump), atau area lain yang khusus digunakan
sebagai area penimbunan (dikenal sebagai outpit dump).
Batubara yang telah tersingkap kemudian dipindahkan untuk
diproses lebih lanjut (misalnya pencucian, penghancuran sampai
pada ukuran tertentu, pencampuran untuk mencapai kualitas
tertentu, dll.) sebelum dilakukan pengangkutan menuju lokasi
pengguna. Daerah bekas penggalian batubara ini (disebut sebagai pit)
selanjutnya dapat digunakan sebagai tempat penimbunan batuan
penutup, sarana pengendali air permukaan, atau diperuntukan untuk
tujuan lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang tertuang dalam dokumen Rencana Penutupan
Tambang (RPT).

9
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

Gambar 5. Proses penambangan batubara


(Sumber: EITI Indonesia, 2016 – dengan modifikasi)

Operasi tambang terbuka akan selalu merubah bentang alam dan


aliran air permukaan sehingga diperlukan sebuah upaya
komprehensif, yaitu rehabilitasi lahan bekas tambang secara
progresif untuk mengelola lahan dan air dengan baik. Contoh yang
nyata terjadi dengan perubahan bentang alam adalah timbulnya
lubang-lubang bekas tambang (void). Data dari Direktorat Teknik dan
Lingkungan Mineral dan Batubara tahun 2017 menyebutkan,
terdapat 45 lubang tambang aktif seluas 4.402 ha, 183 lubang
tambang tidak aktif seluas 3.227 ha, dan 24 lubang tambang yang
sedang diisi/ditimbun kembali seluas 273 ha. Secara jumlah, lebih
banyak lubang tambang yang tidak aktif, yang berarti resiko kejadian
berbahaya lebih besar, yang bisa disebabkan oleh pengawasan dan
pengamanan yang tidak intensif dan tidak memadai (Hendrasto,
2018).
Secara umum terdapat 4 (empat) lingkup kegiatan penting dalam
pengelolaan lingkungan pertambangan, yaitu:
1. pengelolaan dan pemantauan kualitas air,
2. pengelolaan dan pemantauan kualitas udara,
3. pengelolaan tanah, reklamasi, dan keanekaragaman hayati,

10
K

4. pengelolaan sampah, bahan berbahaya dan beracun (B3), dan


limbah B3.
Pelaksanaan kegiatan penting tersebut perlu diatur dalam sebuah
sistem manajemen pengelolaan dan pemantauan, termasuk aspek
kepatuhan terhadap izin/peraturan/ standar yang diperlukan untuk
kegiatan tersebut.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 26 tahun 2018
tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan
Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Keputusan
Menteri ESDM No 1827K/30/MEM/2018 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik. Bagian
Keempat dari Peraturan Menteri tersebut khusus mengatur tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pertambangan, Reklamasi, dan Pasca
Tambang, serta Pascaoperasi.
Pokok-pokok pengaturan pengelolaan lingkungan hidup
pertambangan adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Secara lebih
rinci, pedoman pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik untuk
aspek lingkungan hidup dapat dilihat pada Lampiran VI
KepmenESDM No 1827 tahun 2018.
Perencanaan pengelolaan lingkungan adalah kegiatan untuk
menyusun upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pelaku usaha
sehingga semua potensi dampak negatif terhadap lingkungan dari
seluruh tahap kegiatannya dapat dihindari, diminimalkan, atau
dihilangkan. Sebaliknya, dampak positif perlu diciptakan, dijaga, atau
ditingkatkan.
Dalam pengembangan dampak positif dan pencegahan terjadinya
dampak negatif, pengelolaan lingkungan hidup dapat dilakukan
dengan pendekatan sosial ekonomi, kelembagaan, dan teknologi.
Pendekatan sosial ekonomi diperlukan untuk mencegah terjadinya
konflik antar masyarakat maupun antara masyarakat dengan pihak
perusahaan. Sedangkan pendekatan kelembagaan dilakukan dengan
menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melakukan koordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan

11
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

kewenangannya. Adapun pendekatan teknologi pada prinsipnya


adalah penggunaan teknologi yang dapat meminimalkan dampak
lingkungan dan secara ekonomis tidak merugikan perusahaan.

Tabel 2. Pokok-pokok pengaturan pengelolaan lingkungan hidup


pertambangan
No Kegiatan Substansi
1 Eksplorasi • Efisiensi pembukaan lahan
• Penyiapan sarana/fasilitas pengelolaan lingkungan
sebelum pengeboran, pembuatan sumur/parit uji
• Kajian geokimia dalam rangka studi kelayakan
2 Konstruksi • Penyiapan sarana/fasilitas pengelolaan lingkungan
• Pengamanan, pengelolaan tanah zona perakaran
• Sarana dan prasarana pertambangan dilengkapi
fasilitas pengelolaan lingkungan (drainase, kolam
pengendap, oil trap)
3 Penambangan • Penyiapan sarana/fasilitas pengelolaan lingkungan
• Pengamanan, pengelolaan tanah zona perakaran
• Jarak aman penambangan/penimbunan terhadap
fasilitas umum
• Pengutamaan backfilling
• Pengelolaan air larian permukaan, air tambang
• Integrasi pencegahan dan penanggulangan AAT
dalam penambangan
• Tambang bawah tanah: kajian, identifikasi, dan
pemantauan subsidence
• Tambang semprot, kapal keruk darat: air kerja
sirkulasi tertutup
• Tambang kapal keruk laut: pencegahan dan
penanggulangan tumpahan hidrokarbon dan bahan
kimia
• Tambang ekstraksi cair: daur ulang air kerja,
pemantauan subsidence
4 Pengangkutan • Pengendalian debu, pencegahan kebocoran,
pencegahan dan penanggulangan tumpahan
hidrokarbon dan bahan kimia
5 Pengolahan/ • Air kerja sirkulasi tertutup atau air keluaran yang
pemurnian memenuhi baku mutu
• Larangan menggunakan merkuri
• Sirkulasi air kerja tertutup dan fasilitas minimum
untuk pelindian timbunan bijih

12
K

Gambar 6. Contoh kondisi area penambangan batubara

2.2. Pengelolaan batuan asam dan air asam tambang


2.2.1. Reaksi dan faktor pengaruh
Air asam tambang (AAT), acid mine drainage (AMD), acid rock
drainage (ARD), atau acid and metaliferous drainage (AMD) adalah
beberapa istilah yang dipakai di kegiatan pertambangan untuk
menjelaskan tentang air lindi, rembesan, atau drainase yang bersifat
asam dan umumnya mengandung logam terlarut tertentu yang tinggi,
yang keluar dari batuan di tempat asalnya (in-situ) atau di tempat
penimbunan diluar pit (ex-situ), sebagai hasil reaksi oksidasi mineral
sulfida yang terkandung dalam batuan tersebut.
Pembentukan air asam tambang adalah salah satu dampak
lingkungan penting dari kegiatan pertambangan yang harus menjadi
perhatian serius, karena pembentukannya dapat berlangsung untuk
jangka waktu yang sangat lama bahkan dapat melampaui umur
tambang itu sendiri. Air asam yang keluar ke badan perairan umum
akan mengakibatkan pengasaman lingkungan perairan serta
mobilisasi dan pengendapan logam yang pada tingkat tertentu dapat
mempengaruhi kualitas air dan peruntukannya sebagai bahan baku
air minum, sebagai habitat biota air, sebagai sumber air untuk
tanaman, dsb. Juga mempengaruhi kualitas tanah dan peruntukanya
sebagai habitat flora dan fauna darat.

13
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

Gambar 7. Contoh AAT yang mengalir ke lingkungan


(Sumber: Lottermoser, 2015)

AAT terjadi sebagai hasil dari oksidasi alami mineral sulfida pada
batuan penutup (overburden) atau batuan sisa (waste rock) oleh
adanya udara dan air. Jenis mineral sulfida yang umum ditemukan
dan paling reaktif di pertambangan batubara adalah pirit (FeS2),
dimana reaksi oksidasi adalah sebagai berikut:

7
𝐹𝑒𝑆2 (𝑠) + 2 𝑂2 (𝑔) + 𝐻2 𝑂(𝑙) → 𝐹𝑒 2+ (𝑎𝑞) + 2𝑆𝑂42− (𝑎𝑞) + 2𝐻 + (𝑎𝑞) [1]
1 1
𝐹𝑒 2+ (𝑎𝑞) + 4𝑂2 (𝑔) + 𝐻 + (𝑎𝑞) ↔ 𝐹𝑒 3+ (𝑎𝑞) + 2𝐻2 𝑂 (𝑙) [2]

𝐹𝑒 3+ (𝑎𝑞) + 3𝐻2 𝑂(𝑙) ↔ 𝐹𝑒(𝑂𝐻)3 (𝑠) + 3𝐻 + (𝑎𝑞) [3]

𝐹𝑒𝑆2 (𝑠) + 14𝐹𝑒 3+ (𝑎𝑞) + 8𝐻2 𝑂(𝑙) → 15𝐹𝑒 2+ (𝑎𝑞) + 2𝑆𝑂42− (𝑎𝑞) + 16𝐻 + (𝑎𝑞) [4]

𝐹𝑒𝑆2 (𝑠) + 15
4
𝑂2 (𝑔) + 72𝐻2 𝑂(𝑙) → 𝐹𝑒(𝑂𝐻)3 (𝑠) + 2𝑆𝑂42− (𝑎𝑞) + 4𝐻 + (𝑎𝑞) [5]

Reaksi pertama adalah proses oksidasi pirit menjadi sulfat dan ion
ferrous (Fe2+). Dari reaksi ini dihasilkan dua mol keasaman (H+) dari
setiap mol pirit yang teroksidasi. Reaksi ini dapat terjadi baik pada
kondisi abiotik maupun biotik. Oksigen dari atmosfir bertindak

14
K

sebagai oksidan, termasuk oksigen yang terlarut dalam air meskipun


jumlahnya terbatas. Ion ferrous yang dihasilkan pada reaksi (1) dapat
mengalami oksidasi dan hidrolisa dan membentuk ion ferric (reaksi
2). Warna merah kecoklatan kadang terlihat menempel pada saluran
yang menerima air hasil reaksi, dikenal dengan sebutan "Yellow-Boy,"
atau ferric hydroxide (Fe(OH)3) yang terbentuk dari reaksi 3.
Kehadiran bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans dapat mempercepat
reaksi ini (5-6 kali). Ion ferric dari reaksi 2 juga dapat mengoksidasi
pirit, seperti ditunjukkan pada reaksi 4. Reaksi oksidasi ini lebih cepat
(2-3 kali) dibandingkan dengan oksidasi dengan oksigen dan
menghasilkan keasaman yang lebih banyak per mol pirit. Namun ini
terbatas pada jumlah ion ferric yang ada (dalam kondisi asam).
Dengan demikian oksidasi pirit dimulai dengan reaksi (1) pada
kondisi dekat netral dan dilanjutkan dengan reaksi (4) jika kondisi
semakin asam (kira-kira pada kondisi pH 4.5 atau lebih rendah).
Reaksi (5) adalah total keseluruhan reaksi yang terjadi.
Terbentuknya AAT ditandai oleh satu atau lebih karakteristik kualitas
air sbb.:
• nilai pH yang rendah (1.5 – 4);
• konsentrasi logam terlarut yang tinggi, seperti logam besi,
aluminium, mangan, kadmium, tembaga, timbal, seng, arsenik
dan merkuri;
• nilai asiditas yang tinggi (50 – 1500 mg/L CaCO3);
• nilai sulfat yang tinggi (500 – 10.000 mg/L);
• nilai salinitas (1 – 20 mS/cm);
• konsentrasi oksigen terlarut yang rendah.

Reaksi netralisasi dapat terjadi dan berperan penting dalam


menentukan kualitas aliran air yang berasal dari oksidasi mineral
sulfida diatas. Secara umum, reaksi netralisasi asam disebabkan oleh
larutan mineral karbonat dan silika, dan reaksi dapat ditulis sebagai
reaksi MeCO3 + H+ → Me2+ + HCO3-, dimana Me adalah kation divalen
seperti kalsium dan magnesium.
Seperti halnya mineral sulfida, reaktifitas dan efektivitas tiap mineral
penetral juga berbeda. Kebanyakan mineral karbonat dapat terlarut

15
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

cepat sehingga efektif dalam menetralkan asam. Namun demikian,


besaran kapasitas penetral juga menjadi penting agar dapat
mengimbangi air asam yang terbentuk.
Terdapat 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi reaksi pembentukan dan
pelepasan air asam tambang, yaitu:
• Faktor primer, yaitu faktor yang terlibat langsung dalam
proses oksidasi, yaitu air, oksigen, mineral sulfida, termasuk
dalam hal ini adalah pengaruh konsentrasi, distribusi,
mineralogi, dan bentuk fisik dari mineral sulfida. Termasuk
dalam hal ini adalah keberadaan bakteri yang dapat
mempercepat proses oksidasi
• Faktor sekunder, yaitu faktor yang mempengaruhi hasil dari
proses oksidasi, yaitu keberadaan material yang memiliki
kemampuan menetralkan asam.
• Faktor tersier, yaitu faktor lingkungan sekitar seperti iklim,
curah hujan, temperatur, dll., termasuk dalam hal ini adalah
asupan oksigen dari atmosfir melalui mekanisme adveksi dan
difusi. Studi yang dilakukan oleh Nugraha, dkk. (2009)
menyebutkan bahwa kondisi basah dan kering dari batuan di
pertambangan batubara akibat pengaruh hujan dan
temperatur yang tinggi di Indonesia dapat menyebabkan
terjadinya pelapukan batuan yang cepat. Pelapukan ini dapat
mempengaruhi kepadatan lapisan timbunan yang kemudian
mempengaruhi jumlah air dan oksigen yang masuk ke dalam
timbunan.

2.2.2. Perpindahan air asam tambang


Pembentukan, pelepasan, pengaliran, dan penghilangan AAT
merupakan suata proses kompleks yang dipengaruhi oleh kombinasi
faktor fisik, kimia, dan biologi, dan pengaruhnya pada lingkungan
sangat tergantung pada karakteristik sumber, jalur aliran, dan
lingkungan penerima yang terlibat (Gambar 8). Ketiga faktor ini
bervariasi tergantung pada jenis bahan tambang, iklim, fasilitas

16
K

tambang, dan fase penambangan (eksplorasi, konstruksi,


operasi/produksi, pascatambang).

Gambar 8. Sumber, jalur aliran, dan lingkungan penerima AAT


(Sumber: GARD Guide, 2021)

Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan


bahwa pembentukan AAT sangat tergantung pada kondisi tempat
pembentukannya. Perbedaan salah satu faktor tersebut diatas
menyebabkan proses pembentukan dan hasil yang berbeda. Ilustrasi
dari keterlibatan faktor-faktor pada tempat penimbunan batuan sisa
penambangan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Proses reaksi oksidasi di timbunan hingga pelepasan AAT


ke lingkungan
(Sumber: GARD Guide, 2021)

17
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

2.2.3. Prinsip pengelolaan batuan dan air asam tambang


Prinsip utama dalam pengelolaan batuan dan air asam tambang
adalah sedapat mungkin mencegah terbentuknya air asam tambang
dari batuan asam. Upaya ini dilakukan dengan menghilangkan salah
satu komponen reaksi oksidasi, terutama air atau udara pada batuan
asam atau batuan PAF. Apabila air asam tambang telah terbentuk,
maka perlu dilakukan pengolahan. Pengelolaan terdiri dari
kegiatan pencegahan (prevention) untuk mencegah atau
meminimalkan pembentukan AAT dari batuan asam, dan pengolahan
(treatment) air asam apabila telah terbentuk. Pencegahan lebih
baik dari pada mengolahnya (prevention is better than treatment)
karena lebih andal untuk jangka panjang dan dapat
meminimalkan risiko material (biaya) dan non-material
(ketidakpatuhan/pelanggaran pada peraturan yang dapat
berakibat sanksi).
Diagram alir pengelolaan batuan asam dan air asam adalah seperti
ditunjukkan pada Gambar 10.

2.3. Identifikasi potensi pembentukan air asam tambang


Tidak semua batuan penutup memiliki mineral sulfida yang
kemudian berpotensi dapat menghasilkan air asam. Selain itu,
pada batuan penutup juga seringkali ditemukan adanya mineral
karbonat yang memiliki sifat basa (alkalin) yang dapat bereaksi
dengan keasaman yang terjadi dan mempengaruhi nilai pH akhir.
Untuk mengetahui karakteristik batuan tersebut, perlu dilakukan
pengujian geokimia.
Secara geokimia, batuan sisa (waste rock)/batuan
penutup (overburden) terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang
berpotensi menghasilkan asam (Potentially Acid Forming – PAF),
dan ada yang tidak berpotensi menghasilkan asam (Non-Acid
Forming – NAF). Identifikasi karakteristik batuan dilakukan
melalui pengujian geokimia statik dan/atau kinetik.

18
K

Gambar 10. Diagram alir pengelolaan batuan dan air asam tambang

2.3.1. Uji statik


Uji statik adalah uji tahap awal yang dilakukan untuk menentukan
kemampuan suatu percontoh/sampel dalam memproduksi dan/atau
menetralkan asam secara kuantitatif. Uji statik ini meliputi beberapa
uji, antara lain seperti yang dijelaskan dibawah. Tata cara pengujian
sebagian berasal dari prosedur yang dibuat oleh AMIRA International
(2002).

19
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

a) pH Pasta
Uji ini dilakukan untuk memberikan gambaran tingkat keasaman
sampel ketika bereaksi pada kondisi alami yang diketahui melalui
pencampuran sampel batuan dengan air destilat (sampel:air = 1:2),
didiamkan selama 12 s/d 16 jam, dan selanjutnya diukur nilai pH
larutannya.
b) Total Sulfur dan Maximum Potential Acidity (MPA)
Digunakan untuk melihat kandungan total sulfur yang terdapat pada
sampel untuk menghitung potensi maksimum batuan untuk
menghasilkan keasaman atau dikenal sebagai nilai Maximum
Potential Acidity (MPA). Hal ini dengan asumsi bahwa total sulfur
tersebut adalah sulfide sulfur (yang reaktif dan dapat teroksidasi
menghasilkan asam), meskipun juga terdapat mineral mengandung
sulfat yang yang tidak menghasilkan asam (misalnya barit atau
gipsum), atau yang mengandung mineral sulfat penghasil asam yang
substansial (misalnya melanterit atau jarosit) (Lapakko, K., 2002).
Nilai MPA (dalam satuan kg H2SO4/ton) adalah nilai Total Sulfur (%)
x 30,6. Total Sulfur diperoleh dari pengujian mengacu pada SNI 13-
6591-2001 (Penentuan kadar belerang (S) total contoh mineral
dengan pelarutan KBr-Br2-HNO3), SNI 13-3601-1994 (Penentuan
kadar belerang pada berbagai senyawa dalam contoh), atau ASTM
D5016 (Standard Test Method for Total Sulfur in Coal and Coke
Combustion Residues Using a High-Temperature Tube Furnace
Combustion Method with Infrared Absorption). Pengujian melalui X-
Ray Diffraction (XRF) juga dapat dilakukan.
c) Acid Neutralizing Capacity (ANC)
Acid Neutralizing Capacity (ANC)/Kapasitas Penetralan Asam (KPA)
adalah kapasitas suatu sampel (melalui kandungan mineral karbonat
yang terdapat didalamnya) untuk menetralkan keasaman. Nilai ANC
didapatkan melalui pengujian, yaitu dengan mereaksikan sejumlah
berat sampel batuan dengan larutan HCl standar. HCl yang tersisa dari
reaksi tersebut kemudian dititrasi balik dengan larutan NaOH,
sehingga dapat diketahui jumlah HCl yang bereaksi dengan karbonat
dari sampel batuan. Pengujian nilai ANC dapat dilakukan berdasarkan
standar pengujian SNI 13-7170-2006 (Penentuan Kapasitas

20
K

Penetralan Asam (KPA) Untuk Material Tambang), dan dinyatakan


dalam satuan jumlah kg H2SO4 per ton batuan
d) Net Acid Production Potential (NAPP)
Nilai Net Acid Production Potential (NAPP)/Potensi Pembentukan
Asam Bersih (PPAB) merupakan hasil perhitungan selisih antara MPA
dengan ANC (NAPP = MPA – ANC), yang mewakili keseimbangan
antara kapasitas sampel untuk menghasilkan asam dengan kapasitas
sampel untuk menetralkan asam. Nilai NAPP dinyatakan dalam
satuan kg H2SO4 per ton batuan.
e) Net Acid Generation (NAG) Test
Net Acid Generation (NAG) Test/ Pembentukan Asam Neto (PAN)
merupakan uji yang didasari oleh prinsip bahwa oxidizing agent yang
kuat (dalam hal ini hidrogen peroksida – H2O2) akan mempercepat
reaksi oksidasi sulfida. Selama uji NAG, reaksi pembentukan asam dan
penetralan asam terjadi secara bersamaan sehingga hasil akhir yang
didapatkan menunjukkan nilai sisa keasaman yang masih terdapat
dalam sampel setelah semua reaksi pembentukan asam dan
penetralan terjadi. Pengujian NAG test dapat dilakukan berdasarkan
standar pengujian SNI 13-6599-2001 (Tata Cara Penentuan
Pembentukan Asam Netto).
Pengujian yang umum dilakukan adalah single addition NAG test,
dimana H2O2 akan ditambahkan pada sampel dan didiamkan bereaksi
selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pengukuran keasaman melalui
parameter pH terhadap larutannya.
Setelah dilakukan serangkaian pengujian-pengujian diatas,
selanjutnya dilakukan pengklasifikasian jenis batuan berdasarkan
hasil NAPP dan NAG test. Secara visual, pengklasifikasian dapat
ditunjukkan dengan menggunakan grafik seperti ditunjukan oleh
Gambar 11. Sampel yang berpotensi menghasilkan keasamam
(Potentially Acid Forming – PAF) akan memiliki nilai NAPP yang positif
(NAPP > 0) dengan nilai pH NAG test dibawah 4,5. Sedangkan sampel
yang tidak berpotensi menghasilkan keasaman (Non-Acid Forming –
NAF) akan memiliki nilai NAPP yang negatif (NAPP < 0) dan nilai pH
NAG test lebih besar atau sama dengan 4,5.

21
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

NAF: NAG pH ≥ 4.5; NAPP ≤ 0


PAF: NAG pH < 4.5; NAPP > 0
Gambar 11. Sistem klasifikasi batuan secara geokimia

Dalam kondisi tertentu dimana NAPP tidak dilakukan, penentuan


jenis batuan dapat dilakukan hanya dengan nilai pH dari hasil
pengujian NAG test, mengingat pengujian ini relatif lebih sederhana
dan dapat dilakukan oleh laboratorium lapangan yang ada di
perusahaan pertambangan.
2.3.2. Uji kinetik
Uji kinetik dilakukan untuk mengetahui secara lebih detail
karakteristik batuan yang dominan dan perilaku/kecenderungan laju
pembentukan air asam dan laju penetralannya, maupun kualitas air
yang akan terbentuk secara jangka panjang. Selain itu, juga untuk
mengetahui perubahan kondisi fisik material (permeabilitas, tekstur,
dll.). Pengujian umumnya dilakukan dengan menggunakan kolom
(column test), dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan
column atau tabung dari keramik (buchner funnel), pipa akrilik, atau
sejenisnya dengan beberapa metode pengujian seperti free draining
column test, humidity cell, dan lain-lain. Untuk pengujian di lapangan,
dilakukan dengan menggunakan drum plastik atau IBC (industrial
bulk container), atau timbunan batuan secara langsung atau dikenal
dengan leach test pad. Bisa dikatakan bahwa uji kinetik adalah

22
K

simulasi proses oksidasi (pelapukan) yang prosedurnya disesuaikan


untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam jangka waktu
yang tidak terlalu lama.
Di laboratorium, kondisi basah-kering diterapkan pada batuan
melalui penyiraman dan pemanasan secara bergantian. Beberapa
metode juga memberikan asupan oksigen pada kolom tersebut untuk
mengetahui laju konsumsi oksigen dalam proses oksidasi dan
pengaruhnya terhadap pembentukan air asam yang dihasilkan
(humidity cell test). Sedangkan untuk pengujian di lapangan, kondisi
basah-kering terjadi secara alami sesuai dengan kondisi cuaca saat
pengujian.
Air yang keluar dari dasar kolom, sebagai air yang dipengaruhi hasil
reaksi oksidasi, dikumpulkan/ditampung untuk selanjutnya
dilakukan analisa. Pengujian kinetik juga seringkali dilakukan untuk
memvalidasi hasil analisis dari pengujian statik.
Rancangan kolom, ukuran batuan, komposisi PAF dan NAF, teknik
penempatan (perlapisan batuan/layering atau campuran
batuan/blending) merupakan beberapa batasan pengujian yang
sangat penting untuk diperhatikan dan disesuaikan dengan tujuan
pengujian lainnya, seperti untuk mengetahui pengaruh faktor lain
(curah hujan, pencampuran dengan material lain, perubahan faktor
fisik, dsb.) terhadap pembentukan AAT.

(a). Column test di (b). Uji kinetik di lapangan


laboratorium (Sumber: dokumentasi pribadi)
(Sumber: Lottermoser, 2015)

Gambar 12. Contoh uji kinetik di laboratorium dan lapangan

23
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

2.4. Pemodelan sebaran batuan


Berdasarkan hasil klasifikasi batuan, dapat dilakukan pemodelan
sebaran jenis-jenis batuan berdasarkan klasifikasi tersebut (NAF atau
PAF), sebagai dasar dalam penyusunan rencana pemindahan dan
penimbunan batuan penutup (overburden)/batuan sisa (waste rock)
yang terintegrasi dalam rencana penambangan batubara atau
mineral. Proses pemodelan ini sangat penting untuk menentukan
perencanaan pembangunan daerah timbunan, penjadwalan
pemindahan batuan secara selektif, perhitungan kebutuhan
peralatan, penanganan lubang tambang, dll.
Kegiatan pengontrolan proses pengelolaan batuan juga dilakukan
melalui pengambilan sampel dari lubang peledakan batuan penutup
atau dari lubang pengujian kadar bijih (grade control) untuk
selanjutnya dilakukan pengujian, klasifikasi batuan, dan
validasi terhadap model penyebaran batuan yang sebelumnya telah
dibuat.

2.5. Pemindahan dan penimbunan batuan secara selektif


Salah satu sumber terbesar dari pembentukan AAT adalah tempat
penimbunan batuan penutup (overburden)/batuan sisa (waste rock).
Pemindahan dan penimbunan batuan secara selektif, yang
selanjutnya diikuti dengan pembentukan lapisan akhir penutup
timbunan dan pengujian kualitasnya, dilakukan untuk memastikan
batuan PAF seminimal mungkin terpapar dengan oksigen dan air.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukaan dan
pelepasan AAT pada tempat penimbunan batuan sisa, seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 13. Air permukaan yang terinfiltrasi
dapat bergerak hingga mencapai batuan asam. Sedangkan masuknya
udara kedalam timbunan dapat terjadi dengan 2 (dua) cara, yaitu
secara difusi (gas diffusion) dan adveksi (gas advection). Gas diffusion
terjadi karena adanya energi kinetik akibat perbedaan tekanan, yang
salah satunya dipengaruhi juga oleh temperatur timbunan. Reaksi
oksidasi mineral sulfida bersifat eksoterm, artinya menghasilkan
panas yang kemudian dapat meningkatkan temperatur didalam
24
K

timbunan. Sedangkan gas advection kedalam timbunan terjadi karena


adanya dorongan dari luar seperti oleh dorongan angin.
Hasil reaksi oksidasi dapat mengalir dalam timbunan dan keluar pada
dinding atau kaki timbunan, atau meresap sampai dasar timbunan
dan masuk ke sistem aliran air tanah dibawahnya.

Gambar 13. Faktor pembentuk AAT pada batuan di timbunan


(Sumber: Vriens et al., 2018)

Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, maka penempatan


batuan harus dilakukan secara selektif, yaitu sebisa mungkin
menghindarkan paparan langsung batuan asam dengan air dan
oksigen untuk mencegah reaksi oksidasi pembentukan air asam
tambang. Cara yang umum dilakukan untuk hal ini adalah melalui
rekayasa pembuatan lapisan penutup batuan asam dengan
memperhatikan faktor lingkungan luar seperti curah hujan dan
temperatur.
Apabila mengacu pada panduan seperti ditunjukkan oleh Gambar 14,
untuk Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi dan beriklim tropis,
pilihan lapisan penutup yang efektif adalah berupa Water Cover, Low
Permeability Oxygen Barriers, dan Organic Covers. Secara umum,
pilihan tersebut dikategorikan sebagai lapisan penutup batuan secara
kering (dry cover) dan penutupan secara basah (wet cover). Kedunya

25
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

mempunyai fungsi memutus salah satu faktor penting pengoksidasi


mineral sulfida, yaitu air atau oksigen.
Dry cover adalah penutupan dengan menggunakan material padat,
umumnya digunakan batuan penutup dan/atau tanah liat yang
dipadatkan untuk membentuk tingkat permeabilitas yang rendah
sehingga oksigen dan/atau air menjadi minimal keberadaannya.
Sedangkan wet cover adalah penutupan dengan menggunakan air,
dimana batuan PAF yang diletakkan pada lubang bekas tambang
digenangi air dengan kedalaman tertentu untuk mencegah
masukknya oksigen yang dapat bereaksi dengan batuan tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa kedalaman air 4 meter (atau hasil lain
berdasarkan kajian/pemodelan) dengan kondisi stabil (steady, tidak
turbulen) mampu mencegah masuknya oksigen. Pilihan wet cover
merupakan pilihan yang relatif lebih efisien jika tersedia lubang
tambang yang sudah tidak aktif atau sudah selesai ditambang.
Kegiatan pengisian kembali (back filling) lubang tambang dapat
mengurangi kebutuhan pembukaan lahan khusus untuk penimbunan.
Wet cover juga menjadi salah satu pilihan untuk penutupan tailing.

2.5.1. Penutup kering (dry cover)


Konsep konstruksi lapisan penutup kering (dry cover) adalah seperti
diilustrasikan pada Gambar 15, dimana dilakukan pembuatan
lapisan pembatasan/barrier dari material bukan asam agar oksigen
dan air tidak masuk ke dalam timbunan dan bereaksi dengan mineral
sulfida yang ada.
Spesifikasi lapisan penutup dapat beragam, sangat tergantung dengan
kondisi geokimia batuan dan juga ketersediaan batuan atau material
lainnya di lokasi. Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan
seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

26
K

Gambar 14. Lapisan penutup yang ditentukan oleh iklim setempat

Tempat penimbunan tanpa penutup. Air dan Tempat penimbunan dengan penutup akan
oksigen akan masuk ke dalam timbunan dan mengurangi air dan oksigen masuk ke dalam
bereaksi dengan mineral sulfida, menghasilkan timbunan untuk bereaksi dengan mineral
air asam tambang. sulfida.

Gambar 15. Konsep timbunan batuan dengan lapisan penutup

Tabel 3. Faktor dalam pembentukan lapisan penutup


Proses fisik Proses kimia Proses biologi
Erosi Konsolidasi osmotik Penetrasi akar tanaman
Kestabilan lereng Dispersi/erosi Lubang binatang
Siklus basah – kering Disolusi/Precipitation Bioturbation
Siklus beku – cair Hidrolisa asam Intervensi manusia
Konsolidasi/pemadatan Konsolidasi mineral Bacteriological clogging
Kejadian iklim ekstrem Sorpsi Pertumbuhan tanaman
Konstruksi Salinisasi
Oksidasi
Sumber: GARD Guide, 2021

27
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

Oksigen dapat dengan mudah menembus timbunan batuan, batuan


penutup atau penutup tanah liat dengan cara difusi melalui ruang-
ruang antara partikel batuan atau lempung. Ruang antara ini
membentuk jalur-jalur yang menghubungkan atmosfir dengan bagian
dalam timbunan. Namun, tingkat difusi oksigen melalui air sangat
rendah. Jika lubang pori/jalur udara dalam timbunan terisi oleh air,
maka tingkat difusi oksigen akan sangat berkurang. Apabila
diperlukan tingkat saturasi (kejenuhan) air yang memadai, perlu
dilakukan pengkondisian pada timbunan dengan cara penggaruan
sampai kedalaman tertentu (misalnya 1/2 meter) yang selanjutnya
dilakukan penyesuaian kelembaban dengan penyiraman jika
kelembaban kurang, atau dengan menunggu hingga kandungan air
berkurang akibat pemanasan sinar matahari saat kandungan
kelembaban berlebih, sampai kandungan kelembaban optimum
tercapai.
Apabila NAF tersedia dalam jumlah yang cukup maka sistem
pelapisan loose NAF cover cenderung lebih disukai karena lebih hemat
biaya, minim risiko erosi, dan lebih stabil secara geoteknikal. Namun
jika jumlah NAF terbatas, maka beberapa pilihan teknik
penutupan/pelapisan batuan PAF harus dibuat dengan upaya
tambahan seperti perlakuan pemadatan lapisan. Pemadatan penting
untuk menurunkan nilai permeabilitas lapisan sehingga pergerakan
oksigen dan air kedalam lapisan menjadi lebih sedikit.
Pemadatan batuan atau tanah liat sebagai lapisan penutup di
timbunan dilakukan dengan menggunakan unit pemadat (compactor)
seperti penggilas getar (vibrating pad foot roller), penggilas getar kaki
kambing (sheepfoot vibrating roller compactor), atau dengan
penggilas getar berpermukaan halus (smooth drum vibrating roller
compactor).

28
K

Gambar 16. Contoh strategi enkapsulasi waste rock


(Sumber: Gard Guide, 2021 – dengan modifikasi)

2.5.2. Penutup basah (wet cover)


Di lubang bekas tambang, upaya pencegahan relatif lebih sulit
dilakukan karena bentuk area yang berbentuk lubang/cekungan
dimana air asam dapat terbentuk dari batuan PAF yang berada di
dinding lubang tambang. Pengelolaan yang umum dilakukan adalah
dengan mengumpulkan air asam yang terbentuk pada suatu kolam
untuk diolah lebih lanjut, atau pengisian lubang tambang dengan air.
Penutupan batuan PAF dengan air dapat mencegah masuknya udara
kedalam air, karena oksigen memiliki kelarutan dan kecepatan difusi
hampir 4 kali lebih rendah dalam air dibanding di udara. Cara tersebut
dapat mencegah atau meminimalkan reaksi oksidasi mineral sulfida
pada batuan PAF. Cara ini sangat memungkinkan dilakukan terutama
di area dengan curah hujan yang tinggi (Kuyucak, N., 1999).
Ilustrasi kondisi pit saat masih beroperasi dan setelah digunakan
sebagai tempat penimbunan batuan sisa dan kaitannya dengan
potensi pembentuk AAT adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 17.
Diperlukan air dengan kedalaman tertentu, berdasarkan hasil kajian
atau pemodelan, untuk melapisi batuan PAF, yang terjaga dari kondisi
pasang dan surut muka air yang ekstrem, dan kondisi turbulensi yang
disebabkan oleh aliran masuk dan keluar air atau angin. Apabila hal
ini bisa terjaga, maka potensi AAT dari bekas pit hanya akan berasal
dari lereng/dinding bekas pit, yang bisa dikendalikan dengan
kegiatan revegetasi.

29
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

Gambar 17. Pengelolaan AAT di lubang tambang


(Sumber: GARD Guide, 2021)

2.6. Pengolahan air asam tambang


Seperti yang telah disampaikan di bagian awal, bahwa sekali AAT
sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya,
sehingga prinsip utama pengelolaan AAT adalah sedapat mungkin
mencegah terbentuknya AAT. Tetapi pada kenyataannya, hal tersebut
tidak dapat mencegah secara total terjadinya AAT. AAT yang
terbentuk di dalam pit (baik di dinding atau pit wall maupun di dasar
atau pit floor) tidak akan mungkin dicegah, sehingga perlu ditangani
(mitigasi). Juga dalam proses pemindahan dan penimbunan batuan
yang tidak serta merta dapat ditata kembali secara cepat, sehingga
sangat memungkinkan terjadi paparan mineral sulfida pada batuan
PAF dan terbentuk air asam.
Penanganan AAT yang telah terbentuk, yang berpotensi keluar dari
lokasi penambangan, dilakukan untuk mencapai kondisi kualitas air
yang memenuhi baku mutu sebelum dilepaskan ke lingkungan
penerima.
Secara umum terdapat dua cara pengolahan air, yaitu secara aktif
(active treatment) dan pasif (passive treatment). Sebagai contoh,
seperti disebutkan diatas, salah satu parameter penting yaitu pH.

30
K

Untuk menaikkan nilai pH ke kondisi normal, maka dilakukan


beberapa upaya diantaranya adalah dengan penambahan bahan
kimia seperti kapur (lime). Pengolahan secara aktif dilakukan dengan
mencampurkan kapur (berbentuk serbuk/tepung) secara langsung
dengan air asam di saluran air atau wadah khusus, atau di kolam
penampungan air. Sedangkan pengolahan secara pasif dilakukan
dengan mengalirkan air asam melalui saluran-saluran dimana
terdapat kapur (dalam bentuk batuan) sebagai material penetral yang
dapat bereaksi dengan air asam yang melaluinya.

2.6.1. Pengolahan aktif


Prinsip dari pengolahan secara aktif adalah dengan melakukan
pemberian material mengandung basa (seperti kapur) agar bereaksi
dengan air asam membentuk kondisi pH yang netral, dan juga
menurunkan konsentrasi logam-logam terlarut seperti Fe dan Mn.
Cara ini memberikan hasil yang cepat dan relatif akurat apabila
dilakukan dengan perhitungan yang tepat. Namun cara ini memiliki
kelemahan, yaitu:
• Konsumsi kapur yang banyak apabila perhitungan tidak
dilakukan dengan tepat.
• Pembentuk gypsum (CaSO4) sebagai hasil reaksi kapur dan
asam, yang kemudian perlu untuk ditangani apabila endapan
sudah cukup banyak di saluran atau kolam pengendap.
• Memerlukan biaya operasional yang relatif tinggi.
• Harus dilakukan terus menerus selama air asam masih
terbentuk.

Beberapa jenis material basa (alkali) yang bisa digunakan untuk


proses pengolahan ini adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai
yang tercantum adalah indikatif/perkiraan dan diperlukan pengujian
laboratorium untuk mendapatkan angka kebutuhan dan efisiensi
yang lebih tepat.

31
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

Tabel 4. Jenis material alkali


Material/senyawa Kebutuhan alkali Efisiensi netralisasi
alkali (ton/ton keasaman) (% yang terpakai)
Batu kapur, CaCO3 1.00 30 - 50
Hydrated lime, Ca(OH)2 0.74 90
Kapur tohor, CaO 0.56 90
Soda abu, Na2CO3 1.06 60 - 80
Caustic soda, NaOH 0.80 100
Magna lime, MgO 0.4 90
(Sumber: Gard Guide, 2021)

2.6.2. Pengolahan pasif


Prinsip dari pengolahan pasif ini adalah dengan mengalirkan air asam
ke suatu fasilitas buatan manusia dimana akan terjadi perbaikan
kualitas air sebagai hasil dari proses fisik, kimia, dan/atau biologi
pada fasilitas tersebut. Pendekatan pengolahan secara pasif memiliki
beberapa keterbatasan yang signifikan, yaitu hanya cocok untuk air
dengan asiditas yang relatif rendah (<800 mg CaCO3/L), beban yang
rendah (100-150 kg CaCO3 per hari), dan kecepatan aliran yang stabil
(Gambar 18). Pengolahan pasif kurang tepat untuk kondisi operasi
diluar itu. Proyek pengolahan pasif yang paling sukses adalah
pengolahan dengan debit aliran kurang dari 1,000 m3 per hari (Gard
Guide, 2021). Kategori umum sistem pengolahan pasif (passive
treatment) adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
Pemilihan tumbuhan air sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
dalam pengelolaan AAT. Selain itu, fasilitas pengolahan pasif tidak
memerlukan intervensi, operasi atau perawatan oleh manusia secara
reguler sebagaimana halnya pengolahan aktif, dan juga bisa berumur
operasi lebih panjang.

32
K

Gambar 18. Pilihan pendekatan pengolahan air asam


(Sumber: Taylor et al. (2005) dalam Jones et al. (2016))

Tabel 5. Sistem pengolahan pasif (passive treatment)


Teknologi pengolahan pasif Aplikasi pada kondisi penyaliran
Lahan basah aerobik / aerobic Air alkali
wetlands
Drainase batukapur anoxic / Anoxic Air asam dengan Al3+ rendah, Fe3+
limestone drains (ALD) rendah, oksigen terlarut rendah
Lahan basah anaerobic / Anaerobic Air asam dengan kandungan logam
wetlands tinggi
Sistem pereduksi dan penghasil Air asam dengan kandungan logam
alkalinitas / Reducing and alkalinity tinggi
producing systems (RAPS)
Drainase terbuka batukapur / Open Air asam dengan kandungan logam
limestone drains (OLD) tinggi, kandungan SO42- rendah dan
menengah
Sumber: GARD Guide, 2021

33
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

2.7. Pemantauan dan evaluasi kinerja


Penilaian kinerja upaya pencegahan dilakukan untuk menilai kinerja
dari lapisan penutup timbunan batuan sisa yang telah dibuat dalam
menahan laju infiltrasi air dan difusi oksigen. Hal ini dapat dilakukan
dengan memasang beberapa alat ukur, seperti alat ukur konsentrasi
oksigen dan temperatur pada timbunan. Di beberapa tambang,
lysimeter juga dipasang untuk menampung air rembesan, yang
kemudian akan dan dianalisa untuk mengetahui kualitas airnya.
Melalui data pemantauan yang tersedia, efektifitas dari lapisan
penutup timbunan dapat dikaji-ulang.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran
terhadap kualitas air yang berkaitan dengan AAT di daerah hilir dari
daerah timbunan seperti: pH, asiditas, alkalinitas, konduktivitas,
logam berat, dsb. Hasil pengukuran dibandingkan dengan baku mutu
air limbah pertambangan batubara yang berlaku, dan juga digunakan
sebagai bahan pelaporan dan penyusunan rencana tindak
lanjut dalam pelaksanaan pengelolaan AAT.
Penilaian kinerja pengolahan dilakukan dengan melakukan pengujian
terhadap sampel air di titik penaatan (compliance point) dan
membandingkannya dengan baku mutu air yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur
pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke
dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan. Baku mutu air
ditetapkan berdasarkan kelas air dan kriteria mutu air, ditetapkan
sesuai dengan pembagian kewenangan pemerintah setempat, dan
pemerintah daerah bisa memperketat nilai baku mutu dan
menambah parameter pengujian. Ketaatan terhadap baku mutu ini
diukur di titik penaatan.
Sebagai contoh, untuk pertambangan batubara berlaku baku mutu
yang tertuang dalam KepmenLH No. 113 tahun 2003 tentang Baku
Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan
Batubara. Pemerintah daerah dapat menerapkan baku mutu yang

34
K

lebih ketat, disesuaikan dengan kondisi lingkungan di daerah


tersebut.
Kualitas air buangan wajib memenuhi standar kualitas, yang artinya
adalah bahwa hasil analisis contoh air tersebut menunjukkan nilai
dibawah nilai baku mutu yang telah diatur. Ketentuan teknis dalam
peraturan tersebut juga berlaku, seperti mengelola air yang terkena
dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan
(pond), kajian lokasi titik penaatan (compliance point) air limbah dari
kegiatan pertambangan, periode pengambilan sampel uji, kewajiban
pengujian menggunakan laboratorium terakreditasi, kewajiban
pelaporan, dan penanggulangan keadaan darurat.

Tabel 6. Baku mutu air limbah pertambangan batubara


Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Penambangan Pengolahan/pencucian*
pH 6–9 6–9
TSS mg/L 400 200
Fe total mg/L 7 7
Mn total mg/L 4 4
*Volume air limbah maksimum 2m3 per ton produk batubara

Meskipun pH merupakan parameter dalam baku mutu lingkungan,


namun dalam pengelolaan AAT, juga perlu memperhatikan nilai
asiditas (acidity). Asiditas secara umum dipengaruhi oleh mineral
asam yang kuat konsentrasi ion H+ (yang merupakan dasar
perhitungan pH) dan asiditas yang berasal dari mineral.
Asiditas didapatkan dari analisis laboratorium atau diestimasi dengan
persamaan:
Asiditas (dalam mg/L CaCO3) = 50 x ((3 x [total besi terlarut]/56) + (3
x [Al3+]/27) + (2 x [Mn2+]/55) + (1000 x 10-pH)). Tanda [ ] artinya
konsentrasi dalam mg/L. Formula ini lebih cocok untuk air dari
tambang batubara.

35
Bab 2. Penambangan Batubara dan Potensi Dampak Lingkungan

Jika data kualitas air lebih lengkap, software bebas seperti ABATES
(https://www.acidmetalliferousdrainage.com) dapat digunakan
untuk mengestimasi asiditas (Nugraha, 2019).

36
K

Bab III. Penggunaan Batubara Dan Timbulan


Limbah Fly Ash Dan Bottom Ash

3.1. Pengunaan batubara


Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bekerja dengan
memanfaatkan putaran turbin pembangkit energi listrik, yang
digerakan oleh uap air yang terbentuk pada boiler dengan tekanan
dan temperatur tertentu. Uap ini terbentuk karena pemanasan air
dalam boiler oleh gas panas yang dihasilkan dari pembakaran
batubara. Tipe boiler berdasarkan metode pembakaran batubara
adalah sebagai berikut (KLHK, 2019):
• Pembakaran Unggun Tetap (Fixed Bed Combustion)
Proses pembakaran pada metode unggun tetap menggunakan stoker
boiler. Bahan bakar yang digunakan biasanya adalah batubara dengan
kadar abu 10 – 15% dan berukuran maksimum 30mm. Abu hasil
pembakaran berupa fly ash sekitar 30% dari keseluruhan.
• Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)
Batubara berukuran 200 mesh (diameter 74μm) dengan udara
pembakaran disemprotkan ke boiler. Batubara yang digunakan
dengan Hardgrove Grindability Index (HGI) di atas 40, kadar air
kurang dari 30%, rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2, suhu
pembakaran sekitar 1.400 – 1.500℃. Metode ini akan menghasilkan
abu dari clinker ash sebanyak 10-15% dan sisanya berupa fly ash.
• Pembakaran Unggun Terfluidakan (Fluidized Bed Combustion/FBC)
Batubara berukuran maksimum 25mm, dibakar dalam posisi
mengambang (fluidisasi), dengan cara melewatkan angin
berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler, sehingga
pembakaran bahan bakar lebih sempurna. Spesifikasi bahan bakar
untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain,
namun kadar air tidak lebih dari 4% dan suhu pembakaran antara 850
– 900 ℃.

37
Bab 3. Penggunaan Batubara dan Timbulan Limbah Fly Ash dan Bottom Ash

• Pembangkitan Kombinasi dengan Gasifikasi Batubara


Batubara dan oksigen berkadar tinggi dimasukkan kedalamnya,
dilakukan reaksi oksidasi sebagian (partial oxidation) untuk
menghasilkan gas sintetis (H2 dan CO) 85%. Karena reaksi
berlangsung pada suhu tinggi, abu pada batubara akan melebur
membentuk slag dalam kondisi meleleh (glassy slag). Panas yang
ditimbulkan pada proses gasifikasi dapat digunakan untuk
menghasilkan uap bertekanan tinggi, yang selanjutnya dialirkan ke
turbin uap.

Gambar 19. Konsep PLTU batubara


(Sumber: PT PLN (Persero))

Proses pembakaran batubara di boiler menghasilkan material


anorganik atau oksida logam dan material sisa karbon yang tidak
terbakar. Material anorganik yang tidak terbakar dan berukuran
sangat kecil serta sangat ringan terbawa bersama gas buang (flue gas)
keluar dari boiler. Material ini kemudian ditangkap oleh alat
penangkap debu, disebut sebagai abu terbang (Pulverized Fuel
Ash/PFA atau Fly Ash/FA). Material lain yang lebih berat dan tidak

38
K

terbakar jatuh ke Submersible Scraper Chain Conveyor (SSCC) yang


terletak di bagian bawah boiler. Material ini dikenal sebagai abu
bawah (Furnace Bottom Ash/FBA atau Bottom Ash/BA). Dari total
kandungan abu batubara, 80 - 90% FA dan 10 - 20% BA. Selain kedua
abu tersebut, juga terdapat boiler slag, yaitu abu batubara yang
meleleh dan dapat ditemukan di filter cerobong asap atau bagian
bawah boiler.

3.2. Karakteristik Fly Ash (FA) dan Bottom Ash (BA)


Komposisi pembakaran batubara menghasilkan 80 - 90 % fly ash (FA)
dan 10 - 20 % bottom ash (BA). Menurut SNI 03-6414-2002, FA
merupakan limbah hasil pembakaran batu bara pada tungku
pembangkit listrik tenaga uap yang berbentuk halus, bundar dan
bersifat pozolanik. Sementara menurut ASTM C-618, FA didefinisikan
sebagai butiran halus residu pembakaran batubara atau bubuk batu
bara.
FA bervariasi mulai yang lebih kecil dari 1 μm (micrometer) sampai
yang lebih besar dari 100 μm (beberapa literatur menyebutkan
ukuran 0.5 μm – 300 μm), sebagian besar partikel berukuran < 20 μm.
Umumnya hanya sekitar 10 % sampai 30 % ukuran partikel fly ash
lebih besar dari 50 μm. Luas permukaan FA umumnya berkisar 300
m²/kg – 500 m²/ kg FA, dengan batas bawah 200 m²/kg dan batas
atas 700 m²/kg.
Specific gravity (Gs) FA bervariasi antara 1.6 – 3.1. Pada umumnya
specific gravity material FA antara 1.9 – 2.55. Massa jenis FA dalam
kondisi kering berkisar 540 – 860 kg/m³, dan dalam kondisi dengan
penggetaran dalam kemasan sebesar 1.120 – 1.500 kg/m³.
FA batubara mengandung unsur kimia antara lain silika (SiO2),
alumina (Al2O3), fero oksida (Fe2O3) dan kalsium oksida (CaO).
Juga mengandung unsur tambahan lain yaitu magnesium oksida
(MgO), titanium oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan K2O), sulfur
trioksida (SO3), pospor oksida (P2O5) dan karbon.

39
Bab 3. Penggunaan Batubara dan Timbulan Limbah Fly Ash dan Bottom Ash

Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisik, kimia dan teknis dari FA


adalah tipe batubara, kemurnian batubara, tingkat penghancuran,
tipe pemanasan dan operasi, metoda penyimpanan dan penimbunan.
Pembakaran batubara lignit dan subbituminous menghasilkan FA
dengan kalsium dan magnesium oksida lebih banyak dari pada
bituminus, namun memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon
yang lebih sedikit dari pada bituminous.

Tabel 7. Komposisi oksida abu batubara berdasarkan jenis batubara


Jenis Batubara
Komponen Sub
Bituminous Lignite
Bituminous
SiO2 (%) 20-60 40-60 15-45
Al2O3 (%) 5-35 20-30 20-25
Fe2O3 (%) 10-40 4-10 4-15
CaO (%) 1-12 5-30 15-40
MgO (%) 0-5 1-6 3-10
SO3 (%) 0-4 0-2 0-10
Na2O (%) 0-4 0-2 0-6
K2O (%) 0-3 0-4 0-4
LOI (%) 0-15 0-3 0-5

Berdasarkan ASTM C.618-86 terdapat beberapa jenis abu batubara


berdasarkan pada komposisi elemen makronya, yaitu (ASTM, 1986):
1. abu batubara kelas F dengan kadar Fe tinggi;
2. abu batubara kelas F dengan kadar Fe rendah;
3. abu batubara kelas C dengan kadar CaO tinggi; dan
4. abu batubara kelas menengah

Sedangkan untuk FA, terdapat dua jenis yaitu kelas F dan kelas C. FA
kelas F disebut juga low-calcium fly ash, yang tidak mempunyai sifat
cementitious dan hanya bersifat pozolanic. Sedangkan FA kelas C
disebut juga high-calcium fly ash karena kandungan CaO yang cukup
tinggi, lebih tinggi dari kelas F. FA tipe C mempunyai sifat
cementitious selain juga sifat pozzolan. Bersifat cementitious artinya
jika terkena air atau lembab akan berhidrasi dan mengeras dalam
waktu sekitar 45 menit.

40
K

Berdasarkan ASTM C 618 yang menjadi referensi SNI 2460:2014,


persyaratan kimia dan fisika abu terbang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik kimia dan fisika abu terbang


Persyaratan Kelas F Kelas C
Sifat Kimia
SiO2 + Al2O3 + Fe2O3, min% 70,0 50,0
SO3, maks% 5,0 5,0
Kadar air, maks% 3,0 3,0
Hilang pijar (LOI), maks% 6,0 6,0
CaO, % <10* >10**
C, % 5-10 2
Sifat Fisika
Kehalusan/Fineness, maks% 34 34
Indeks Kuat Tekan
• Dengan portland cement, 7 hari, min% 75 75
• Dengan portland cement, 28 hari, min% 75 75
Kebutuhan air, maks% control 105 105
Soundness, autoclave expansion atau kontraksi, maks% 0,8 0,8
Persyaratan keseragaman
Berat jenis, maks% variasi dari rata-rata 5,00 5,00
Persentase tertahan pada saringan 45 µm (No. 325), 5 5
maks % variasi dari rata-rata
Sumber: ASTM C 618, 2005
* dihasilkan dari pembakaran anthracite atau bitumen batubara (bitumminous).
** dihasilkan dari pembakaran lignite atau sub-bitumen batubara (batubara muda/sub-
bitumminous).

FA memiliki sifat yang unik sebagai bahan rekayasa. Beberapa sifat


teknik FA yang menjadi perhatian khusus ketika FA digunakan
sebagai tanggul jalan raya atau bahan pengisi adalah hubungan
densitas kelembabannya, distribusi ukuran partikel, kekuatan
geser, dan permeabilitas. FA dalam pemanfaatan ini harus
ditimbun dan dikondisikan pada kadar air optimum untuk
memastikan material tidak terlalu kering dan berdebu atau terlalu
basah. Ketika FA berada pada atau mendekati kadar air
optimumnya, ia dapat dipadatkan hingga kepadatan maksimumnya
dan akan bekerja dengan cara yang setara dengan tanah yang
dipadatkan dengan baik (Rai, A.K., Paul, B., dan Singh, G., 2010).

41
Bab 3. Penggunaan Batubara dan Timbulan Limbah Fly Ash dan Bottom Ash

Bottom Ash (BA) atau abu dasar adalah sisa proses pembakaran
batubara yang mempunyai ukuran partikel lebih besar dan lebih berat
dibanding FA, sehingga akan jatuh pada dasar tungku pembakaran
(boiler). Berdasarkan jenis tungkunya, abu dasar batubara
dikategorikan menjadi dry bottom ash dan wet bottom ash/boiler slag.
Sifat BA sangat bervariasi tergantung jenis batubara dan system
pembakarannya. Sifat fisik BA berdasarkan bentuk, warna, tampilan,
berat jenis spesifik, berat unit kering dan penyerapan adalah seperti
ditunjukkan pada Tabel 9. Komposisi kimia dari BA sebagian besar
tersusun dari unsur unsur Si, Al, Fe, Ca serta Mg, S, Na dan lainnya.

Tabel 9. Sifat fisik bottom ash


No. Sifat fisik Basah Kering
1 Bentuk Angular/bersiku Berbutir kecil/granular
2 Warna Hitam Abu-abu gelap
3 Tampilan Keras, mengkilap Seperti pasir halus,
sangat berpori
4 Ukuran No. 4 (90 – 100%) 1,5 – ¾ inch (100%)
5 % lolos ayakan No. 10 (40 – 60%) No. 4 (50 – 90%)
No. 40 (< 10%) No. 10 (10 – 60%)
No. 200 (< 5%) No. 40 (0 – 10%)
6 Berat jenis 2,3 – 2,9 2,1 – 2,7
spesifik
7 Berat unit kering 960 – 1440 kg/m3 720 – 1600 kg/m3
8 Penyerapan 0,3 – 1,1% 0,8 – 2%

Hasil uji karakteristik terhadap FABA yang dilakukan oleh KLHK


(2021) adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 10. Selain hasil
tersebut, data hasil pengujian yang dilakukan oleh PLTU disimpulkan
sebagai berikut (KLHK, 2021):
1. Hasil uji TCLP terhadap limbah FABA dari 19 unit PLTU dengan
hasil uji semua parameter memenuhi Baku Mutu Lampiran III PP
101 Tahun 2014/Lampiran XI PP 22 Tahun 2021.
2. Hasil Uji LD50 dari 19 unit PLTU dengan nilai LD50 > 5000 mg/
kg berat badan hewan uji.

42
K

3. Kajian Human Healt Risk Assessment (HHRA) yang pernah


dilakukan oleh PLTU PT. PJB UP Paiton 1 dan 2, dengan hasil:
- Tidak ada parameter yang melebihi Toxicity Reference Value
(TRV) yang ditentukan oleh Kementerian Tenaga Kerja
Indonesia seperti yang diatur dalam Permen Tenaga Kerja No.
5 Tahun 2018.

Tabel 10. Hasil uji karakteristik terhadap FABA


No Uji karakteristik Fly ash Bottom ash
1 Mudah menyala Tidak mudah menyala Tidak mudah menyala
(>140oF) (>140oF)
2 Mudah meledak Tidak mudah meledak Tidak mudah meledak
3 Reaktif Sianida: tidak reaktif Sianida: tidak reaktif
Sulfida: tidak reaktif Sulfida: tidak reaktif
4 Korosif Tidak korosif (pH: 10 Tidak korosif (pH: 8 - 9)
- 11)
5 TCLP untuk 16 Memenuhi baku mutu Memenuhi baku mutu
Parameter Lampiran I Permen Lampiran I Permen LHK
anorganik, 6 LHK P.10 tahun 2020 P.10 tahun 2020
parameter anion, 36
parameter organik, 8
parameter pestisida,
dan 6 parameter
tambahan
6 Total konsentrasi Memenuhi baku mutu Memenuhi baku mutu
logam berat untuk Lampiran II Permen Lampiran II Permen LHK
16 parameter LHK P.10 tahun 2020 P.10 tahun 2020
7 Lethal Dose-50 / Nilai > 5000 kg/BB Nilai > 5000 kg/BB
LD50 hewan uji hewan uji
Sumber: KLHK, 2021
Catatan: Pengujian dilakukan sebelum terbit PermenLHK No. 6 tahun 2021 tentang
Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah B3, sehingga acuan pengujian masih
menggunakan PermenLHK No. P.10 tahun 2020 tentang Tata Cara Uji Karakteristik
dan Penetapan Status Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Secara substansi,
tidak ada perubahan pada metode uji dan nilai batas ditetapkan pada peraturan
yang terbaru.

43
44
K

Bab IV. Pemanfaatan Fly Ash Dan Bottom Ash

4.1. Persyaratan pemanfaatan fly ash dan bottom ash


Berdasarkan PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, FABA yang berasal
dari proses pembakaran batubara yang menggunakan teknologi
selain stoker boiler dan/atau tungku industri dikategorikan sebagai
Limbah NonB3 Terdaftar sebagaimana tercantum dalam lampiran XIV
dengan kode N106 untuk fly ash dan N107 untuk bottom ash. Dengan
adanya perubahan status limbah ini, diharapkan pemanfaatan FABA
dapat dilakukan dengan lebih optimal namun tetap memperhatikan
ketentuan-ketentuan teknis pemanfaatan dan pengelolaan potensi
dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan.
Pengaturan pengelolaan Limbah NonB3 adalah seperti tertuang
dalam PP 22 Tahun 2021: BAB VII (Pasal 450 – 470). Dalam
implementasinya di dunia usaha, setiap rencana pemanfaatan
Limbah nonB3 harus tercantum dalam dokumen lingkungan.
Pengelolaan FABA sebagai Limbah NonB3 terdiri dari kegiatan seperti
Pengurangan, Penyimpanan, Pemanfaatan, dan Penimbunan, seperti
ditunjukkan pada Gambar 20. Sedangkan aspek penting terkait
dengan kegiatan Penyimpanan dan Pemanfaatan adalah seperti
ditunjukkan pada Gambar 21 dan Gambar 22.

Gambar 20. Ruang lingkup pengelolaan limbah nonB3

45
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Gambar 21. Aspek penting penyimpanan limbah nonB3

46
K

Gambar 22. Aspek penting pemanfaatan Limbah NonB3

4.2. Sumber dan volume FABA


FABA dapat berasal dari PLTU yang dioperasikan oleh perusahaan
pertambangan untuk menyediakan energi listrik yang diperlukan
untuk mendukung kegiatan penambangan, atau dari PLTU yang
dioperasikan oleh perusahaan pembangkit listrik seperti Perusahaan
Listrik Negara (PLN). Menurut PLN, besaran kapasitas terpasang saat

47
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

ini mencapai 63,000 MW, dan akan terus meningkat pada tahun-tahun
mendatang (Tobing, S., 2021).
Penambahan kapasitas pembangkit listrik tentunya berkorelasi
dengan pemakaian batubara. Pada 2016 pemakaian batubara untuk
PLTU hanya sebesar 74,1 juta ton, 2017 sebesar 82,3 juta ton. Lalu,
pada 2018 sebesar 89,3 juta ton dan 2019 sebesar 97,8 juta ton. Di
tahun 2021 kebutuhan batubara untuk pembangkit 113 juta ton,
terdiri dari PLN 63,8 juta ton dan IPP (pengembang listrik swasta)
49,2 juta ton (Umah, A., 2021). Apabila diasumsikan FABA sebesar
10%, maka timbulan total di tahun 2021 diperkirakan sebanyak 11,3
juta ton.

4.3. Pemanfaatan FABA


4.3.1 Persiapan pemanfaatan
Peraturan terkait
Pemanfaatan FABA di area pertambangan dapat merupakan bagian
dari kegiatan reklamasi. Oleh karena itu, kegiatan pemanfaatan FABA
ini harus masuk dalam rencana reklamasi. Rencana reklamasi wajib
disusun pada awal kegiatan, baik tahap eksplorasi maupun tahap
operasi produksi. Acuan penyusunan dokumen adalah Lampiran V
Kepmen ESDM No 1827K/30/MEM/2018.
Rencana reklamasi disusun dengan mempertimbangkan rencana
penambangan. Ini berarti bahwa reklamasi bisa dilakukan tanpa
harus menunggu kegiatan penambangan secara keseluruhan selesai.
Reklamasi bisa dilakukan secara bertahap pada daerah-daerah
penimbunan batuan penutup atau daerah terbuka lainnya yang telah
dinyatakan selesai disiapkan (misalnya: area penimbunan batuan
penutup, dll.) atau tidak akan digunakan lagi (misalnya: jalan akses,
lubang bekas tambang, dll.).
Rencana Reklamasi meliputi:
a. tata guna lahan sebelum dan sesudah kegiatan;
b. rencana pembukaan lahan untuk kegiatan yang menyebabkan
lahan terganggu;

48
K

c. program reklamasi yang dapat dilaksanakan dalam bentuk


revegetasi dan/atau peruntukan lainnya, dapat berupa: area
permukiman; pariwisata; sumber air; atau area pembudidayaan.
d. kriteria keberhasilan reklamasi meliputi standar keberhasilan
penatagunaan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian
akhir; dan
e. rencana biaya reklamasi, yang terdiri dari biaya langsung
(penatagunaan lahan; revegetasi; pencegahan dan
penanggulangan air asam tambang; dan pekerjaan sipil sesuai
peruntukan lahan Pascatambang; atau pemanfaatan lubang bekas
tambang (void)) dan biaya tidak langsung (mobilisasi dan
demobilisasi alat; perencanaan reklamasi; administrasi dan
keuntungan pihak ketiga sebagai pelaksana; dan supervisi).

Dalam hal pelaksanaan kegiatan penambangan secara teknis


meninggalkan lubang bekas tambang, maka wajib dibuat rencana
pemanfaatan lubang bekas tambang meliputi:
a. stabilisasi lereng;
b. pengamanan lubang bekas tambang (void);
c. pemulihan dan pemantauan kualitas air serta pengelolaan air
dalam lubang bekas tambang (void) sesuai dengan
peruntukannya; dan
d. pemeliharaan lubang bekas tambang (void).

Theory of change
Persiapan pemanfaatan FABA perlu disusun dengan jelas agar
rencana pemanfaatan dapat terlaksana dengan baik dan memberikan
dampak yang positif sebesar-besarnya bagi berbagai aspek. Salah satu
cara yang umum dilakukan adalah dengan menyusun Teori
Perubahan (Theory of Change), seperti ditunjukkan pada Gambar 23.
Cara ini dilakukan untuk memetakan masalah/kebutuhan yang
dihadapi, inisiatif apa yang perlu dilakukan, pelaksanaan kegiatan,
produk nyata yang akan didapatkan, perubahan yang dihasilkan, dan
efek atau dampak jangka panjang yang diharapkan terjadi.

49
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Dalam hal pemanfatan FABA di pertambangan, contoh dari Teori


Perubahan yang dapat disusun adalah seperti ditunjukkan pada Tabel
11.

Gambar 23. Skema penyusunan rencana kegiatan


(Sumber: https://360impact.ch/en/sdgs-and-impact/ - dengan modifikasi)

Tabel 11. Contoh penyusunan Teori Perubahan pemanfaatan FABA


No. Langkah Deskripsi
1 Masalah/Kebutuhan Timbulan FABA dari PLTU dan terbentuknya
air asam tambang di area pertambangan
2 Masukan Pengurangan timbulan FABA dan pencegahan
pembentukan air asam tambang
3 Kegiatan Pemanfaatan FABA sebagai bahan baku
penutup batuan asam
4 Luaran Berkurangnya tumpukan FABA di PLTU
Area penimbunan batuan asam yang tertutup
oleh FABA
5 Hasil Tata graha (housekeeping) yang baik di area
sumber FABA
Tidak terjadi air asam tambang
6 Dampak Kualitas lingkungan yang baik di area PLTU
dan perairan area tambang

50
K

Analisa risiko
Risiko/manfaat lingkungan adalah suatu faktor atau proses dalam
lingkungan yang mempunyai kemungkinan (probabilitas) tertentu
untuk mengakibatkan konsekuensi yang merugikan/menguntungkan
kepada manusia dan lingkungannya. Baik resiko maupun manfaat
mengandung unsur ketidakpastian. Risiko tidaklah sama dengan
biaya yang bersifat pasti, demikian juga manfaat tidaklah sama
dengan keuntungan (Kristanto, 2002).
Penilaian Risiko Lingkungan atau Environmental Risk Assessment
(ERA) adalah kegiatan penilaian risiko untuk serangkaian kegiatan
yang akan dilakukan, yang bisa memberikan dampak terhadap
lingkungan hidup. Risiko itu sendiri didefinisikan sebagai “akibat
yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu
perbuatan atau tindakan”. Oleh karena itu, ERA perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi potensi dampak dan upaya pengendaliannya untuk
setiap tahap kegiatan.
Proses ERA terdiri dari penyusunan langkah kerja penting secara
rinci, identifikasi risiko dari setiap langkah kerja, penilaian risiko,
penentuan kontrol risiko, dan penilaian risiko sisa. Biasanya
digunakan tabel untuk membantu penyusunan hal tersebut.
Penilaian tingkat risiko dilakukan dengan bantuan matriks risiko,
yang ditentukan berdasarkan tingkat konsekuensi/keparahan sebuah
dampak (severity) dan tingkat kekerapan/keseringan terjadinya
(frequency).

Pilihan pemanfaatan
Secara teknis, rencana pemanfaatan FABA sebagai bahan baku dalam
pengelolaan air asam tambang dapat terdiri dari berbagai pilihan,
seperti ditunjukkan pada Gambar 24. Terdapat faktor -faktor penting
yang harus diperhatikan dari setiap pilihan.

51
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Tabel 12. Contoh matriks penentuan risiko

Konsekuensi
Sebarapa parah jika terjadi?
Insignificant Minor Significant Major Severe
1 2 3 4 5

Almost certain 5 High High Very high Very high Extreme


Seberapa sering kemungkinan

Likely 4 Medium High High Very high Very high


Kekerapan

terjadi?

Possible 3 Medium Medium High High Very high

Unlikely 2 Low Medium Medium High High

Rare 1 Low Low Medium Medium High


Kekerapan
1 Rare : dapat terjadi, namun mungkin tidak akan pernah
2 Unlikely : tidak mungkin terjadi dalam kondisi normal
3 Possible : dapat terjadi pada suatu saat
4 Likely : terjadi pada suatu saat
5 Almost certain : terjadi teratur dalam keaadaan normal
Konsekuensi
1 Insignificant : tidak signifikan
2 Minor : kecil
3 Significant : signifikan
4 Major : besar
5 Severe : parah
Tingkat risiko
Low : Tidak ada kerusakan lingkungan
Medium : Kerusakan lingkungan kecil, perbaikan dilakukan anggaran yang
mencukupi
High : Dapat menyebabkan beberapa kerusakan lingkungan dan perlu
alokasi sumber-sumber daya
Very high : Dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar dan perlu
sumber daya yang besar
Extreme : Dapat menyebabkan bencana lingkungan, menyebabkan hukuman,
dan perlu sumber daya besar

52
K

Gambar 24. Pilihan fungsi pemanfaatan FABA

Upaya pemanfaatan FABA juga dapat dilakukan dengan


menggunakannya sebagai campuran bahan lain. Sebagai contoh,
percobaan skala laboratorium pencampuran fly ash dan bahan
organik menunjukkan campuran ini efektif untuk mencegah
pembentukan air asam tambang, dimana konsumsi oksigen oleh
bahan organik di permukaan dapat mengurangi difusi oksigen pada
lapisan dibawahnya. Selain itu, peluruhan alkalinitas dari kapur yang
terkandung dalam fly ash juga membantu menetralkan air asam yang
terbentuk dari material asam dibawahnya (Win, T.S., dkk., 2020).
Berdasarkan lokasi, pilihan pemanfaatan FABA daapa dilakukan baik
di bekas lubang tambang maupun area penimbunan, dengan metode
dry cover, seperti ditunjukkan pada Gambar 25.

53
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Gambar 25. Pilihan pemanfaatan FABA di lubang bekas tambang dan


area penimbunan

Faktor teknis kunci dalam pemanfaatan


Berdasarkan uraian diatas, terdapat paling tidak 2 (dua) faktor teknis
kunci dalam upaya pemanfaatan FABA, yaitu permeabilitas dan
alkalinitas dari FABA.
Permeabilitas
Hukum Darcy merupakan dasar penting untuk mengetahui kecepatan
aliran air dalam media seperti tanah atau batuan lainnya secara
kuantitatif. Hukum atau formula Darcy dapat ditulis sbb.:
∆ℎ 𝑑ℎ
𝑞 = −𝐾 = −𝐾
∆𝑙 𝑑𝑙
dimana:
- q (flux) disebut juga laju aliran, mempunyai dimensi sama
dengan kecepatan yaitu L/T (panjang/waktu)
- K adalah konduktivitas hidraulik (hydraulic conductivity)
mempunyai dimensi L/T (panjang/waktu)
- dh/dl disebut gradien hidraulik – tanpa dimensi
Nilai K dipengaruhi oleh ukuran butiran partikel tanah/material,
porositas, berat jenis fluida, dan viskositas fluida, sehingga
dinyatakan dalam bentuk matematik K = f (fluida dan sifat-sifat
tanah/material). Pengertian K sebagai ‘konduktivitas hidraulik’
sering disamakan dengan pengertian K pada bidang ilmu mekanika
tanah yang mengistilahkan K dengan nama ‘koefisien permeabilitas’

54
K

(Freeze dan Cherry, 1979 dalam Kodoatie, 2012). Pada literatur lain
disebutkan juga bahwa ‘permeabilitas tanah/material’ adalah
‘konduktivitas hidraulik tanah/material dalam keadaan jenuh’ (Kunia,
U., dkk., 2006). Oleh karena itu, dalam buku ini, yang dimaksud
dengan permeabilitas adalah merujuk pada istilah ‘nilai konduktivitas
hidraulik’ atau ‘koefisien permeabilitas’ pada kondisi jenuh.
Permeabilitas adalah kemampuan lapisan material untuk dapat
meloloskan fluida (air dan udara) melalui ruang pori yang ada dan
saling terhubung. Sejumlah faktor yang mempengaruhi nilai
permeabilitas dari material adalah sebagai berikut:
1. Ukuran partikel
Semakin besar ukuran partikel, semakin besar permeabilitas. Bottom
ash yang didominasi oleh partikel pasir memiliki permeabilitas lebih
tinggi dibanding fly ash yang didominasi oleh partikel liat.
2. Luas permukaan partikel
Hal ini terkait dengan ukuran partikel, dimana semakin besar ukuran
partikel, semakin kecil luas permukaan total, sehingga permeabilitas
semakin besar.
3. Bentuk partikel
Semakin bulat bentuk partikel akan menciptakan permeabilitas
semakin besar dibandingkan dengan bentuk pertikel yang bersudut.
Partikel bersudut akan lebih mudah mengisi ruang antar partikel,
yang selanjutnya mempengaruhi nilai rasio pori.
4. Rasio pori (void ratio)
Secara umum, semakin kecil rasio pori akan menciptakan
permeabilitas semakin kecil. Namun ini tidak berlaku bagi beberapa
jenis material.
5. Struktur partikel
Semakin teratur struktur partikel akan menciptakan permeabilitas
semakin kecil. Termasuk dalam hal ini adalah posisi terhadap arah
aliran air. Jika struktur partikel tegak lurus arah aliran, maka
permeabilitas akan semakin kecil karena tertahannya aliran tersebut.
6. Derajat kejenuhan (saturation degree)
Material yang jenuh sebagian karena terisi oleh udara yang
terperangkap atau yang terlepas dari pori karena terdesak oleh air

55
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

akan mengakibatkan permeabilitas yang kecil. Sebaliknya, material


yang jenuh keseluruhannya oleh air akan lebih mudah meloloskan air
(artinya permeabilitas semakin besar) karena tidak ada udara yang
terperangkap dan menghalangi aliran.
7. Air yang teradsorpsi oleh partikel
Semakin banyak air yang terjerap pada partikel mengakibatkan
semakin kecil ruang pori, sehingga permeabilitas semakin kecil.
8. Keberadaan bahan organik
Semakin banyak bahan organik didalam material akan menciptakan
permeabilitas yang semakin kecil, karena terhalang/tertutupnya
ruang pori oleh bahan organik tersebut.
9. Temperatur dan sifat air
Temperatur dapat mempengaruhi kekentalan air. Semakin tinggi
temperatur, kekentalan akan semakin rendah, sehingga permeabilitas
semakin tinggi. Demikian juga dengan kemurnian air. Semakin banyak
partikel pada air yang merembes akan menciptakan permeabilitas
yang semakin kecil.
Ada beberapa metode laboratorium yang dapat digunakan untuk
menetapkan konduktivitas hidraulik tanah dalam keadaan jenuh atau
permeabilitas, diantaranya (Kunia, U., dkk., 2006): (1) metode tinggi
air konstan/constan head method; (2) metode tinggi air konstan di
dalam tangki/constan head soil core/tank method; (3) metode tinggi
air terjun di dalam tangki/falling head soil core/tank method; dan (4)
metode aliran air dalam kondisi kesetimbangan/steady flow soil
column method. Pemilihan suatu metode sangat ditentukan oleh
berbagai faktor seperti: (1) ketersediaan alat; (2) sifat alami tanah; (3)
ketersediaan contoh tanah; dan (4) kemampuan dan pengetahuan
dari pelaku percobaan. Nilai konduktivitas hidraulik beberapa jenis
material adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 13 (Appleo, C.A.J. and
Postman, D., 2005).

56
K

Tabel 13. Nilai konduktivitas hidraulik (K)


Nilai K
Material
m/hari cm/detik
Gravel / Kerikil 200 – 2000 0,23 – 2,3
Sand / Pasir 10 – 300 0,0116 – 1,25
Loam / Lempung 0,01 – 10 1,16 x 10-5 – 1,16 x 10-2
Clay / Liat 10-5 – 1 1,16 x 10-8 – 1,16 x 10-3

Dalam hal pemakaian FABA sebagai lapisan penutup, beberapa studi


menunjukkan bahwa nilai konduktivitas hidraulik FABA tidak cukup
lambat untuk berfungsi sebagai material penutup. Nilai K sebesar 10-
7 cm/dt biasanya digunakan sebagai batasan untuk material penutup

(Skousen, J. dan Bhwnbla, D.K., 1998).


Alkalinitas
Selain permeabilitas seperti dijelaskan diatas, faktor lain yang penting
untuk menentukan jenis pemanfaatan FABA adalah nilai alkalinitas.
Alkallinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam,
atau dikenal dengan acid neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas
anion dalam air yang dapat menetralkan kation hydrogen. Alkalinitas
juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap
perubahan pH perairan. Penyusun alkalinitas yang utama adalah
anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-)
(Effendi, 2003 dalam Bintoro dan Abidin, 2014). Selain itu, alkalinitas
juga dapat dihasilkan dari beberapa proses, yaitu peluruhan silikat,
peluruhan karbonat, dan peluruhan hidroksid (Lottermoser, 2010).
Mineral silikat adalah sumber utama penetral asam di lingkungan.
Hasil peluruhan silikat akan bereaksi dengan H+, hasil pelarutan
kation, dan silicic acid, untuk kemudian membentukan mineral
sekunder. Peluruhan silikat dapat terjadi secara kongruen dimana
seluruh mineral silikat meluruh dan terlarut, atau terjadi secara
nonkongruen dimana mineral silikat berubah menjadi jenis mineral
silikat lainnya. Peluruhan non-kongruen adalah yang umum terjadi.
Reaksi kongruen adalah seperti ditunjukkan dibawah:
2MeAlSiO4(s) + H+(aq) + 3H2O → Mex+(aq) + Al3+(aq) + H4SiO4(aq) + 3OH-(aq)

57
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

sedangkan reaksi nonkongruen adalah seperti ditunjukkan dibawah:


2MeAlSiO4(s) + 2H+(aq) + H2O → Mex+(aq) + Al2Si2O5(OH)4(s)
dimana Me = Ca, Na, K, Mg, Mn atau Fe.
Karena sifat alami dari material pozzolan yang ada didalam FABA
yang dapat mengeras, material ini hanya dapat melepaskan
alkalinitias dari bagian permukaan. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan pelepasan alkalinitas dari FABA, material harus
dicampur dengan material yang lebih berongga (porous) seperti
bottom ash yang dapat mengurangi pengerasan sehingga alkalinitas
dapat dikeluarkan dari bagian dalam lapisan material tersebut
(Skousen, J. dan Bhwnbla, D.K., 1998).
Dalam hal rencana pemanfaatan FABA, pengujian alkalintas FABA
dapat dilakukan dengan pengujian statik geokimia, seperti yang
dijelaskan pada bagian lain pada buku ini.

Penentuan pilihan
Secara fisik, seluruh FABA memiliki karakteristik yang hampir sama,
dimana fly ash didominasi oleh material lempung dan liat dan bottom
ash didominasi oleh pasir. Sedangkan secara kimia, FABA bisa
memiliki karakteristik yang berbeda terutama potensi alkalinitasnya.
Hal ini tergantung dari proses pembakaran yang dilakukan termasuk
penggunaan bahan tambahan dalam proses pembakaran seperti
kapur.
Oleh karena itu, perbedaan kondisi kimia ini harus menjadi perhatian
dan dipastikan melalui pengujian geokimia yang umum diterapkan
dalam studi air asam tambang. Jika secara kimia FABA tidak memiliki
kemampuan menetralkan, maka pemanfaatan FABA difokuskan pada
kemampuan fisiknya, yaitu untuk mencegah masukknya air dan udara
kedalam timbunan dan bereaksi dengan batuan asam. Permeabilitas
akan berperan penting untuk tujuan tersebut.
Berdasarkan lokasi di area pertambangan, dengan
mempertimbangkan potensi masalah pembentukan air asam
tambang yang dapat timbul di area lubang bekas tambang dan area

58
K

penimbunan batuan penutup, maka terdapat pilihan pemanfaatan


FABA di area tersebut dengan prinsip utama sbb.:
1. Pada lubang bekas tambang, FABA dapat berfungsi sebagai pengisi
lubang, penetral air asam didalamnya (jika ada), dan lapisan
penutup batuan PAF yang ditimbun pada lubang tersebut.
2. Pada area penimbunan batuan penutup, FABA berfungsi sebagai
material penutup/penudung/pelapis batuan PAF dan/atau
penyedia bahan penetral.

4.3.2. Persetujuan rencana pemanfaatan


Seperti dijelaskan sebelumnya, pemanfaatan Limbah NonB3 oleh
penghasil meliputi pemanfaatan sebagai substitusi bahan baku,
produk samping, atau sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Selain itu pemanfaatan juga bisa dilakukan oleh pihak
ketiga.
Dalam hal pemanfaatan FABA, ‘pemanfaatan dilakukan sendiri oleh
penghasil’ dapat diartikan bahwa FABA yang dihasilkan dari PLTU
yang dikelola oleh perusahaan pertambangan akan dimanfaatkan di
area pertambangannya. Atau dengan kata lain, pemanfaatan
dilakukan dalam satu entitas/perusahaan yang sama. Sedangkan
‘pemanfaatan yang dilakukan oleh pihak ketiga’ dapat diartikan
bahwa FABA yang dihasilkan oleh PLTU akan dimanfaatkan oleh
perusahaan pertambangan sebagai pihak ketiga, di area
pertambangannya.
Secara administratif, kegiatan pemanfaatan FABA dapat dilakukan
apabila rekomendasi teknis kegiatan tersebut telah tertulis pada
dokumen lingkungan yang telah disetujui. Adapun rekomendasi
teknis dapat diperoleh dari KLHK apabila perusahaan telah
menyampaikan pengajuan permohonan rekomendasi pada KLHK.
Pengajuan akan divalidasi kelengkapannya dan dibahas pada
pertemuan antara pemohon rekomendasi dan KLHK. Apabila
diperlukan, akan dilakukan kunjungan lapangan ke lokasi
pemanfaatan. Setelah seluruh persyaratan permohonan dianggap

59
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

terpenuhi, maka rekomendasi teknis pemanfaatan FABA akan


dikeluarkan oleh KLHK kepada perusahaan pemohon.
Rekomendasi teknis bersifat ‘site specific’ atau tergantung pada
rencana pemanfaatan yang akan dilakukan oleh setiap perusahaan.
Tentunya ini akan berbeda antara satu perusahaan pertambangan
pemanfaat dengan perusahaan lainnya, sesuai dengan rencana teknis
pemanfaatan masing-masing.

4.3.3. Penyusunan rencana pemanfaatan


Rencana pemanfaatan FABA harus tercantum dalam dokumen
lingkungan perusahaan pemanfaat. Hal ini berlaku bagi perusahaan
penghasil maupun perusahaan sebagai pihak ketiga. Rencana
kegiatan pemanfaatan Limbah NonB3 harus mendapatkan
rekomendasi teknis dari pihak KLHK, yang kemudian menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dalam dokumen lingkungan yang dimiliki
oleh perusahaan pemanfaat tersebut.
Secara teknis, penyusunan rencana pemanfaatan FABA harus
mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut:
1. Identifikasi sumber dan jumlah timbulan FABA yang akan
dimanfaatkan.
2. Karakterisasi FABA yang akan dimanfaatkan.
3. Analisa kesesuaian dan kehandalan FABA untuk pemanfaatan
sebagai bahan substitusi bahan baku, substitusi sumber energi,
bahan baku, produk samping, atau pemanfaatan lain sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengujian
pemanfaatan.
4. Optimasi rancangan/desain pemanfaatan FABA dengan
mempertimbangkan ketersediaan teknologi, standar produk, dan
baku mutu lingkungan, termasuk aspek ekonomi.
5. Kesiapan sarana dan prasarana untuk implemantasi rencana
pemanfaatan FABA, termasuk prosedur kerja dan sistem tanggap
darurat.
6. Rencana pemantauan dan evaluasi kinerja pemanfaatan FABA.

60
K

4.3.4. Pelaksanaan pemanfaatan


Pelaksanaan pemanfaatan dilakukan dengan mengacu pada
aspek teknis yang tercantum pada rekomendasi teknis dan
dokumen lingkungan perusahaan. Secara umum, rekomendasi
teknis akan berisi paling sedikit hal sebagai berikut:
1. Kewajiban pelaksanaan pemanfaatan FABA sesuai isi
rekomendasi teknis, dan apabila ada perubahan wajib
mengajukan permohonan perubahan. Apabila tidak terlaksana,
maka rekomendasi teknis dapat dibatalkan.
2. Nama sumber dan rencana pemanfaatan FABA.
3. Peta dan koordinat lokasi pemanfaatan FABA.
4. Kapasitas/volume pemanfaatan FABA.
5. Desain atau rancangan pemanfaatan FABA.
6. Fasilitas peralatan yang digunakan dalam kegiatan pemanfatan
FABA.
7. Tahapan proses pemanfaatan FABA.
8. Pemantauan efektivitas pemanfaatan FABA, termasuk sarana
pemantauan, ketentuan pengujian, dan prosedur pemantauan.
9. Pencatatan dan pelaporan kegiatan pemanfaatan FABA.
10. Sistem Tanggap Darurat.
Berdasarkan hal tersebut diatas, pelaksanaan pemanfaatan harus
dipastikan memenuhi ketentuan, untuk selanjutnya dilaporkan
kepada pemerintah pusat maupun daerah.

4.3.5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemanfaatan


Sesuai dengan tujuan pemanfaatan FABA sebagai bahan untuk
pengelolaan batuan dan air asam tambang, maka kegiatan
pemantauan pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan
pemanfaatan FABA difokuskan pada aspek terkait dengan potensi
pembentukan air asam tambang.
Seperti dijelaskan pada bagian awal, pembentukan air asam
dipengaruhi oleh dua faktor penting, yaitu keberadaan oksigen dan
air pada timbunan batuan asam. Dengan demikian, maka pada kondisi

61
Bab 4. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

pemanfaatan tertentu, dianggap perlu untuk melakukan pengukuran


kadar oksigen dan kadar air pori pada timbunan batuan asam atau
batuan penutupnya. Teknik pemantauan, desain sumur pantau, alat
ukur, dsb. dapat berbeda untuk setiap bentuk pemanfaatan FABA.
Selain itu, untuk mengetahui pengaruh secara umum dari
pemanfaatan FABA terhadap lingkungan sekitarnya, diperlukan
pemantauan kualitas air tanah di lokasi hulu dan hilir area
pemanfaatan. Kualitas air tanah dari sumur pantau di lokasi hulu akan
dijadikan sebagai referensi untuk mengukur potensi dampak yang
terjadi dari pemanfaatan FABA terhadap air tanah, yang diukur
melalui kualitas air tanah dari sumur pantau di hilir area
pemanfaatan.
Pemantauan dan pengujian lain sangat mungkin disyaratkan untuk
dilakukan, tergantung dari rencana pemanfaatan dan kondisi area
pemanfaatan.

4.3.6. Pelaporan
Berdasarkan PP No. 22/2021 Pasal 469, pelaporan pelaksanaan
kegiatan pengelolaan Limbah nonB3 secara elektronik dilakukan
paling sedikit 1 kali dalam 1 (satu) tahun kepada Menteri,
Gubernur/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Pelaporan
kegiatan pengelolaan Limbah NonB3 paling sedikit memuat nama,
jumlah, waktu penyimpanan, dan jenis kegiatan pengelolaan limbah
NonB3 yang dimanfaatkan oleh pihak lain.
Dalam hal pemanfaatan FABA dari PLTU dilakukan oleh perusahaan
pertambangan, maka pelaporan harus dilakukan oleh kedua belah
pihak.

62
K

Bab V. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan


Bottom Ash

5.1. Studi Kasus – PT Kaltim Prima Coal


5.1.1. Latar Belakang
PT Kaltim Prima Coal (PT KPC) adalah perusahaan pertambangan
batubara yang mengelola area konsesi pertambangan dengan luas
mencapai 84.938 hektar berlokasi di Sangatta, Bengalon dan Rantau
Pulung, Kalimantan Timur. PT KPC mengelola salah satu
pertambangan open-pit terbesar di dunia, untuk memasok batubara
pada pelanggan industri baik pasar ekspor maupun domestik.
Saat ini, kapasitas produksi batubara PT KPC mencapai 70 juta ton per
tahun, dan pada tahun 2019, PT KPC berhasil memproduksi 60,78 juta
ton batubara. Kegiatan pertambangan batubara di PT KPC
dioperasikan oleh Mining Operation Division dan beberapa
kontraktor pertambangan. 7 pit dikelola langsung oleh PT KPC,
sedangkan 10 pit lainnya dikelola oleh kontraktor pertambangan
dibawah pengawasan PT KPC.
Luas area terbuka untuk penambangan saat ini adalah 31.124,57 dan
luas area yang telah direhabilitasi adalah 12.386,97 hektar

5.1.2. Pengelolaan batuan dan air asam tambang


PT KPC mengintegrasikan seluruh kegiatan pertambangan dengan
upaya pengelolaan lingkungannya, termasuk pengelolaan air asam
tambang (AAT). Dengan mempertimbangkan dampak AAT yang
sangat serius bagi lingkungan, maka PT KPC memberlakukan strategi
pengelolaan AAT yang sangat ketat. Tahapan pengelolaan AAT
meliputi:
• Identifikasi potensi AAT pada tahap eksplorasi melalui uji Net Acid
Generation (NAG) dari sampel lubang bor untuk untuk
mengindentifikasi dan memisahkan batuan yang bersifat asam

63
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

(Potential Acid Forming – PAF) dari batuan yang tidak bersifat


asam (Non-Acid Forming – NAF). Selanjutnya dilakukan
pembuatan model penyebaran dari kedua klasifikasi batuan
tersebut (model AMD).
• Kontrol pada tahap operasi penambangan, mencakup pembuatan
jadwal penambangan dengan metode Bench-Strip-Block dan
validasi model AMD melalui uji NAG pada titik-titik lubang bor
peledakan.
• Kontrol akhir sebelum kegiatan reklamasi melalui uji NAG sampel
batuan pada lokasi timbunan akhir/final. Kontrol ini merupakan
salah satu bagian dari upaya pencegahan pembentukan AAT,
dimana lapisan NAF harus berada di bagian terluar dari timbunan
akhir, menutup atau melapisi batuan PAF. Upaya penutupan atau
pelapisan ini ditujukan untuk menghindari potensi reaksi oksidasi
mineral sulfida pyrit (FeS2) yang berada dalam batuan PAF,
sehingga pembentukan AAT dapat dicegah.
PT KPC mengetengahkan upaya pencegahan pembentukan AAT
secara masif di seluruh area penambangan khususnya di area tempat
penimbunan batuan penutup (overburden). Terdapat 3 (tiga)
rancangan sistem penutupan timbunan (dump cover system) di PT
KPC yang telah terbukti handal untuk mengurangi pembentukan AAT,
seperti ditunjukkan oleh Gambar 26.
Seiring dengan perencanaan penambangan dimana dilakukan
perhitungan kesetimbangan material (material balance) antara NAF
dan PAF, dan perkembangan penelitian mengenai potensi FABA
sebagai material penutup/penudung di timbunan, PT KPC memulai
upaya pemanfaatan FABA dalam skala besar melalui ujicoba
pembentukan lapisan penutup material PAF dengan menggunakan
FABA.

64
K

a. DC01
Lapisan material diatas
PAF terdiri dari:
• tanah liat dipadatkan
dengan ketebalan 1
m
• batuan NAF tanpa
pemadatan dengan
ketebalan 2 m
• tanah pucuk dengan
ketebalan 1 m

b. DC02
Lapisan material diatas
PAF terdiri dari:
• batuan NAF
dipadatkan dengan
ketebalan 2 m
• batuan NAF tanpa
pemadatan dengan
ketebalan 2 m
• tanah pucuk dengan
ketebalan 1 m

c. DC03
Lapisan material diatas
PAF terdiri dari:
• batuan NAF tanpa
pemadatan dengan
ketebalan 10-20 m
• tanah pucuk dengan
ketebalan 1 m

Gambar 26. Rancangan sistem lapisan batuan di tempat penimbunan

65
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

5.1.3. Produksi dan karakteristik FABA


Untuk menunjang kegiatan operasi penambangan, PT KPC
mengoperasikan PLTU Tanjung Bara yang berada di wilayah PKP2B
dengan kapasitas PLTU 2x5 MW dan 3x18 MW, yang sebagian
terhubung dengan jaringan PLN Sangatta. Untuk keberlanjutan
produksi listrik, dibutuhkan batubara sebanyak 192.000-ton
pertahun, dimana dari kegiatan ini dihasilkan timbulan FABA
sebanyak 26.000-ton pertahun.

Gambar 27. PLTU PT KPC

PT KPC memiliki Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) FABA


sebagai berikut:
a. TPS berizin berupa waste pile di area Tanjung Bara dengan luas
4.000 m2 (empat ribu meter persegi); dan
b. TPS berizin berupa waste pile di area Pit Jupiter dengan luas
17.000 m2 (tujuh belas ribu meter persegi) dan tinggi tanggul 4
(empat) meter.
Terhadap FABA yang dihasilkan, dilakukan beberapa pengujian untuk
mengetahui karakteristik dari FABA tersebut. Uji Toxicity
Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dilakukan untuk
menentukan mobilitas senyawa organik dan anorganik yang terdapat
dalam limbah cair maupun padat. Kandungan FABA sebagian besar

66
K

terdiri dari unsur-unsur berupa silikat dioksida (SiO2), alumunium


(Al2O3), besi (Fe2O3), dan kalsium (CaO), serta sedikit magnesium,
potassium, sodium, titanium, dan sulfur. Keberadaan unsur-unsur ini
di dalam limbah batubara dipengaruhi oleh komposisi kimia
batubara, proses pembakaran batubara, serta bahan tambahan yang
digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengujian oksida logam untuk
mengetahui karakteristik dari limbah FABA.
Hasil pengujian adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 14 dan 15.
Secara keseluruhan, hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh
parameter yang diuji berada di bawah baku mutu pada PP 101/2014
yang masih berlaku pada saat pengujian tersebut dilakukan.

Tabel 14. Hasil analisa oksida logam dan LOI FABA


Hasil analisa sampel tahun 2017
No. Parameter
Fly ash (%) Bottom ash (%)
1 SiO2 37,22 48,11
2 Al2O3 14,45 17,83
3 Fe2O3 5,45 9,47
4 CaO 3,47 4,27
5 MgO 2,39 3,05
6 K2O 1,05 1,25
7 Na2O 0,46 0,51
8 TiO2 0,8 0,89
9 LOI 7,2 6,4

Tabel 15. Hasil uji TCLP


Hasil pengujian Hasil pengujian Baku mutu
2016 Baku mutu 2017
(mg/L)* TCLP sesuai
No. Parameter (mg/L) (mg/L) persetujuan
Bottom TCLP TCLP Fly Bottom ujicoba
Fly ash (mg/L)
ash -A -B ash ash
1 Antimoni 0,00287 0,00468 6 1
(Sb)
2 Arsen (As) 0,0107 0,0075 3 0,5 <0,02 <0,02 0,5
3 Barium (Ba) 0,330 0,310 210 35
4 Berilium < 0,001 < 0,001 4 0,5
(Be)
5 Boron (B) 0,023 0,018 150 25
6 Cadmium 0,005 0,014 0,9 0,15 <0,02 <0,02 0,15
(Cd)

67
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Hasil pengujian Hasil pengujian Baku mutu


2016 Baku mutu 2017
(mg/L)* TCLP sesuai
No. Parameter (mg/L) (mg/L) persetujuan
Bottom TCLP TCLP Fly Bottom ujicoba
Fly ash (mg/L)
ash -A -B ash ash
7 Chromium 0,007 0,012 15 2,5
(Cr)
8 Copper (Cu) 0,017 0,043 60 10 <0,02 <0,02 10
9 Lead (Pb) 0,036 0,042 3 0,5 0,04 0,09 0,5
10 Mercury 0,00389 0,00544 0,3 0,05 <0,00 <0,000 0,05
(Hg) 05 5
11 Molibdenu < 0,0375 < 0,0375 21 3,5
m (Mo)
12 Nikel (Ni) 0,024 0,032 21 3,5 0,03 <0,02 3.5
13 Selenium 0,011 0,012 3 0,5 <0,2 <0,2 0.5
(Se)
14 Silver (Ag) 0,015 0,022 40 5 <0.02 <0,02 5
15 Zinc (Zn) 0,095 0,52 300 50 0,47 0,44 50
Sumber: PT KPC, 2018
*Peraturan ini telah diganti dengan PP 22/2021 namun nilai baku mutu TCLP masih
tetap sama

Tabel 16. Hasil uji konsentrasi total logam pada abu batubara PT KPC
Hasil pengujian Baku mutu pada PP
(mg/kg) 101/2014*(mg/kg)
No. Parameter
Bottom
Fly ash TK-A TK-B TK-C
ash
1 Antimoni (Sb) <0,001 < 0,001 300 75 3
2 Arsen (As) 2,67 1,72 2000 500 20
3 Barium (Ba) - 25000 6250 160
4 Boron (B) - 60000 15000 36
5 Cadmium (Cd) 0,320 0,160 400 100 3
6 Chromium (Cr) 3,398 1,238 2000 500 1
7 Copper (Cu) 6,236 2,676 3000 750 30
8 Lead (Pb) <0,001 < 0,001 6000 1500 300
9 Mercury (Hg) 0,007 < 0,007 300 75 0,3
10 Molibdenum 4000 1000 40
(Mo)
11 Nickel (Ni) 4,397 2,157 12000 3000 60
12 Selenium (Se) <0,001 < 0,001 200 50 10
13 Silver (Ag) - 720 180 10
14 Zinc (Zn) 8,395 4,194 15000 3750 120
15 Fluoride (F) 4000 100 1,1
16 Cobalt (Co) 3,198 1,837
17 Vanadium (Va) 14,48 19,46
18 Thalium (Ti) < 0,00001 < 0,00001
Sumber: PT KPC, 2018
*Baku mutu masih mengacu pada PP 101/2014, dan peraturan ini telah diganti
dengan PP 22/2021 namun nilai baku mutu total logam masih tetap sama.

68
K

Tabel 17. Hasi uji radioaktif


Hasil analisa sample
Paramter
Fly ash (Bq/kg) Bottom ash (Bq/kg)
210Pb < 0.77 < 0.77
226Ra 44.10 ± 4.50 54.04 ± 5.34
229Ra 33.65 ± 3.68 39.92 ± 4.14
228Th 32.50 ± 3.38 38.55 ± 3.86
230Th < 0.77 < 0.77
234Th 44.10 ± 4.50 54.04 ± 5.34
238U 33.65 ± 3.68 5.34 39.92 ± 4.14
40K 32.50 ± 3.38 38.55 ± 3.86

Konsentrasi terendah yang dapat dideteksi 210Pb = 0.77 Bq/kg; 226Ra


= 0.04 Bq/kg; 228Ra = 0.05 Bq/kg; 228Th = 0.03 Bq/kg; 230Th = 1.49
Bq/kg; 234Th = 0.15 Bq/kg; 238U = 1.95 Bq/kg; 40K = 0.14 Bq/kg.
Berdasarkan Peraturan Kepala BAPETEN No. 9 Tahun 2009, nilai
tersebut di atas masih lebih rendah daripada nilai intervention level
yaitu 1000 Bq/kg untuk 238U, 226Ra, 228Ra, 228Th, 234Th, 210Pb, dan
10000 Bq/kg untuk 40K

5.1.4 Persetujuan pemanfaatan


Sebagai upaya inovasi pengelolaan FABA, PT KPC melaksanakan
rangkaian kegiatan pemanfaatan FABA sebagai bahan baku lapisan
penudung material PAF di tambang PT KPC. PT KPC mendapat
persetujuan pelaksanaan ‘uji coba pemanfaatan abu batubara sebagai
bahan baku lapisan penudung material berpotensi asam (Potentially
Acid Forming/PAF) di tambang PT KPC’, melalui surat Nomor
S.83/Menlhk/Setjen/ PLB.3/2/2017 yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tertanggal 16
Februari 2017. Sesuai surat persetujuan tersebut, PT KPC melakukan
konstruksi lapisan penudung batuan PAF yang dimulai sejak tanggal
20 Februari 2017 di RL 40 area J Void.
Berdasarkan hasil tersebut, selanjutnya PT KPC mendapatkan izin
pemanfatan FABA dari KLHK melalui Surat No.
SK.660/Menlhk/Setjen/ PLB.3/8/2019 tentang Izin Pengelolaan

69
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Untuk Kegiatan Pemanfaatan


Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun PT Kaltim Prima Coal Sebagai
Penghasil Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. Izin ini diperoleh
setelah melalui proses pengajuan permohonan izin, validasi
kelengkapan administrasi, rapat pembahasan dan tindaklanjutnya,
sampai dinyatakan permohonan izin dinyatakan telah memenuhi
persyaratan.
Baik izin ujicoba pemanfaatan maupun izin pemanfaatan tersebut
diatas, prosesnya dilakukan sebelum adanya PP No. 22 tahun 2021
(sebagai pengganti PP No. 101 tahun 2014), dimana FABA saat itu
masih dikategorikan sebagai Limbah B3 dari sumber spesifik khusus
dengan kode limbah B409 untuk fly ash dan B410 untuk bottom ash.

5.1.5. Tujuan pemanfaatan


Adapun tujuan pemanfaatan FABA sebagai penudung batuan
berpotensi asam ini adalah untuk:
• Meminimalkan pasokan oksigen yang berasal dari proses difusi
untuk pencegahan pembentukan air asam tambang
• Memanfaatkan FABA sebagai penyedia mineral penetral asam dan
alkalinitas air pori pada lapisan penudung batuan berpotensi
asam (PAF)
• Memanfaatkan FABA sebagai pengendali pH air pori pada lapisan
penudung batuan berpotensi asam (PAF)

5.1.6. Uji coba pemanfaatan FABA


A. Tahap pelaksanaan uji coba
Pelaksanaan kegiatan uji coba pemanfaatan FABA sebagai
penudung material asam ini memiliki tahapan sebagai berikut:
a. Pengujian karakteristik geokimia area uji coba dilakukan dengan
cara mengambil sample batuan overburden secara komposit
menggunakan alat bor hingga kedalaman 5 meter untuk
mengkonfirmasi area yang diuji coba dalam kondisi berpotensi
asam, sehingga harus ditutup dengan lapisan penudung. Hasil
70
K

pengujian menunjukkan karakteristik batuan overburden di area


uji coba lebih dari 50% merupakan material berpotensi asam
(PAF).
b. Penentuan dan pembagian area uji coba menjadi 4 blok untuk
variasi ketebalan lapisan penudung dan pemasangan sekat antar
blok. Detail pembagian blok dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Variasi ketebalan material untuk masing-masing blok


Blok FABA NAF Soil
A 1 5 1
B 1 3 1
C 0.5 5 1
D 0.5 3 1

Gambar 28. Peta lokasi ujicoba pemanfaatan FABA

c. Pengakutan dan penebaran FABA dilokasi uji coba sesuai dengan


ketebalan di tiap blok ujicoba. FABA yang telah dihamparkan di
lokasi uji coba diratakan dan sekaligus dipadatkan menggunakan
bantuan dozer. Penghamparan FABA dilakukan secara bertahap
untuk tiap blok uji coba.
71
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

d. Penghamparan material NAF dilakukan dengan 2 variasi


ketebalan (3 meter dan 5 meter) untuk 4 blok uji coba. Volume
material NAF sebagai lapisan penudung yang telah ditempatkan di
area uji coba adalah sekitar 92.000 m3. Perataan material NAF
dilakukan secara bertahap dari blok dengan elevasi terendah
(Blok D) hingga blok dengan elevasi tertinggi (Blok A).
e. Penghamparan material tanah pucuk ke lokasi uji coba dan
perataan dengan ketebalan 1 meter untuk setiap blok uji coba.
Setelah tanah dihamparkan, kontur permukaan tanah didesain
sedemikian rupa untuk memisahkan aliran permukaan dari
masing-masing blok.
f. Pembuatan lubang bor untuk penempatan sensor oksigen dan
kelembaban. Lubang bor dibuat menggunakan alat pengeboran
dengan kedalaman bervariasi untuk penempatan sensor oksigen
dan kelembaban secara akurat di masing-masing lapisan
penudung. Sensor 1 ditempatkan pada lapisan NAF bagian atas,
sensor 2 pada lapisan NAF bagian bawah, sensor 3 pada lapisan
abu batubara dan sensor 4 pada lapisan PAF.

B. Hasil pemantauan
Pemantauan oksigen dan kandungan air dilakukan di empat
kedalaman yang mewakili lapisan NAF (dua titik), FABA, dan PAF.
Hasil pemantauan menunjukkan konsentrasi oksigen pada blok A
(dengan ketebalan lapisan FABA + 1 meter dan NAF 5 meter) dan blok
B (dengan ketebalan lapisan FABA + 1 meter dan NAF 3 meter) berada
pada nilai < 0.1%. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi penudungan
di blok A dan B dengan ketebalan FABA 1 meter dapat secara efektif
membantu mencegah masuknya oksigen sebagai faktor penting
pembentukan air asam tambang.
PT KPC juga melakukan pengambilan sample air pada lokasi sumur
pantau upstream (M-up), sumur pantau downstream (M-down),
sumur pantau utara (M-north) dan sumur pantau selatan (M-south)
untuk melihat rona awal dan kondisi setelah selesai proses
konstruksi. Hasil pemantauan pada Mei 2017 (rona awal) dan
Februari 2018 tidak menunjukkan adanya perubahan kualitas air,

72
K

bahkan nilai parameter kadmium, krom, kobalt, tembaga, merkuri,


dan nikel berada dibawah batas deteksi alat.

(a) Pelapisan FABA (b) Pelapisan NAF

(c) Pelapisan Soil (d) Pertumbuhan vegetasi

Gambar 29. Uji coba pemanfaatan FABA sebagai penudung PAF di


lokasi J Void

Gambar 30. Potongan melintang lokasi sumur pantau

73
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Kinerja penudungan lapisan FABA juga telah efektif dalam


mengendalikan pH air pori di area uji coba yang memiliki kandungan
PAF sebanyak 50%. Hal ini juga dibuktikan melalui pengujian contoh
air yang terkumpul di J Void, kolam terdekat dengan area ujicoba,
dimana kualitasnya tidak terpengaruhi dari waktu ke waktu. Nilai pH
terukur dalam kondisi netral, sedangkan ammonia, nitrite, phospat,
sulphide dan beberapa logam berat seperti kromium, kadmium,
kobalt, tembaga, timbal, merkuri, selenium, arsenik, dan seng bahkan
nilainya dibawah kemampuan deteksi alat ukur laboratorium. Saat
ini, air di kolam tersebut digunakan sebagai sumber air baku bagi
Instalasi Pengolahan Air (IPA) berkapasitas 100 liter/detik yang
dioperasikan oleh pemerintah setempat (Banjarnahor, 2019).
Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan dan dengan
mempertimbangkan operasional alat berat yang digunakan, maka
dapat ditetapkan kriteria dan parameter kontrol untuk pemanfaatan
FABA sebagai material pada lapisan penudung untuk mencegah
pembentukan air asam tambang secara optimal. Tujuan kriteria ini
adalah untuk dapat mencapai kinerja konsentrasi oksigen paling
tinggi 0.18% pada dasar lapisan penudung sehingga oksidasi material
berpotensi asam (PAF) dapat dihindari. Kriteria tersebut adalah sbb.:
1. Ukuran butir FABA yang digunakan memiliki Dry Sieve D50 paling
tinggi sebesar 0.37 mm dan Wet Sieve D50 paling tinggi sebedar
0.075 mm.
2. Ketebalan lapisan FABA 1 m menjadi ketebalan optimal untuk
dapat menghasilkan lapisan FABA dengan ketebalan relatif
homogen yang mampu berperan sebagai lapisan penudung.
3. Ketebalan material NAF minimal = 3.5 m.
4. Ketebalan material soil minimal = 1 m.
5. Kemiringan dasar penempatan lapisan FABA maksimal 1%.

5.1.7. Pemanfaatan FABA


Pemanfaatan FABA pada tahap ini wajib mengacu pada izin
pemanfaatan yang tertuang dalam KepmenLHK No.
SK.660/Menlhk/Setjen/ PLB.3/8/2019.

74
K

Pemanfaatan FABA dilakukan dengan ketentuan sbb.:


a. lokasi pemanfaatan FABA sebagai bahan baku lapisan penudung
material PAF dilakukan pada area yang tercantum dalam izin,
yaitu area Palapa-Montana dan area Purnama-Galaxy. Sampai saat
buku ini disusun, kemajuan pemanfaatan telah dilakukan di area
Galaxy dan sedang dalam proses pemanfaatan di area Purnama;
b. Pengangkutan FABA dari fasilitas TPS ke lokasi pemanfaatan
dilakukan dengan menggunakan alat angkut tertutup untuk
mencegah tumpahan dan debu;
c. desain lapisan penudung adalah seperti yang tercantum dalam
izin; dan
d. membangun paling sedikit 1 (satu) sumur pantau di hulu (up-
stream) dan 1 (satu) sumur pantau di hilir (down-stream) serta 1
(satu) bak pengumpulan air infiltrasi-perkolasi (sump drainage) di
areal pemanfaatan FABA dengan konstruksi sesuai desain tipikal
yang tercantum dalam izin.
Tahapan pemanfaatan FABA sebagai bahan baku lapisan penudung
material berpotensi asam PAF dilakukan dengan cara:
1. identifikasi material NAF dan PAF sebelum penggalian dan
pemindahan batuan penutup;
2. pengambilan air tanah untuk dijadikan rona awal (base line)
lingkungan;
3. penghamparan material PAF pada lapisan paling bawah dari suatu
tempat penimbunan;
4. penghamparan FABA paling tinggi 2 (dua) meter di atas lapisan
PAF, dimana FABA dihampar sekaligus dipadatkan menggunakan
dozer di bagian atas material PAF dengan kemiringan dasar
penempatan lapisan FABA paling tinggi 5% (lima persen);
5. penghamparan material NAF diatas lapisan FABA dengan
ketebalan paling tinggi 5 (lima) meter;
6. penutupan lapisan NAF dengan menggunakan tanah sebagai
media tanam lebih kurang 1 (satu) meter dan dilakukan proses
penanaman kembali (revegetasi);

75
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

7. pemasangan alat monitoring oksigen dan kelembaban untuk


pemantauan kualitas lapisan penudung PAF yang diambil pada
berbagai kedalaman dengan titik pemantauan sebagai berikut:
a. bagian atas lapisan penudung NAF;
b. bagian bawah lapisan penudung NAF;
c. lapisan FABA; dan
d. lapisan PAF dibawah lapisan FABA.

Gambar 31. Rancangan pemanfaatan FABA

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan pemanfaatan FABA terdiri


dari dump truck, dozer, excavator, drilling, dan peralatan pemantauan
parameter lapangan diantaranya sensor oksigen dan kelembaban
untuk mengukur volumetric water content (VWC).

76
K

Gambar 32. Peta lokasi pemanfaatan FABA di Galaxy Dump dan


Purnama Dump

(a) Pelapisan NAF (bench atas) dan Pelapisan FABA (bench bawah)

(b) Pelapisan Soil

77
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

(c) Reklamasi dan revegetasi lapisan penudung yang sudah final

(d) Kondisi area Galaxy Dump - 22 Juni 2021


Gambar 33. Pemanfaatan FABA penudung PAF di lokasi Galaxy Dump

(a) Pengeboran titik (b) Pemasangan sensor (c) Koneksi sensor dan
pemantauan datalogger

Gambar 34. Pemantauan oksigen dan kandungan air pada timbunan

78
K

Selama kurun waktu 5 bulan pemantauan lapisan penudung di Galaxy


Dump, rata-rata konsentrasi oksigen pada lapisan FABA adalah
0,01%. Hal ini memenuhi persyaratan dalam izin pemanfaatan
dimana konsentrasi oksigen maksimum yang diizinkan dalam
lapisan FABA adalah 1,5%.
PT KPC juga melakukan pemantauan pada sumur pantau di area
pemanfaatan Galaxy Dump. Setelah pemantauan selama 5 bulan,
hasil sumur pantau relatif sama dengan rona awal sebelum
adanya pemanfaatan FABA, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemanfaatan FABA di area tersebut tidak berdampak negatif
terhadap perubahan kualitas air tanah.
Jumlah material yang digunakan dalam pemanfaatan FABA di Galaxy
Dump adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 20. Selain pemanfaatan
di Galaxy Dump, saat ini (Juli 2021) PT KPC sedang melakukan
pemanfaatan di Purnama Dump. Dari seluruh kegiatan tersebut, PT
KPC dapat memanfaatkan FABA sebagai penudung PAF dengan
jumlah dan luas area pemanfaatan seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 20 dan Gambar 35. Selama tahun 2017 sampai bulan Maret
2021, pemanfaatan FABA sebagai penundung adalah sebanyak
73.378 ton atau 81.8% dari total timbulan. Pemanfaatan FABA
sebagai penudung dapat menyerap FABA dalam jumlah besar dan
masif karena area reklamasi tambang sangat luas.

Tabel 19. Material yang digunakan di Galaxy Dump


Kebutuhan Luas FABA Ketebalan NAF Ketebalan Tanah
Material (m2) (m3) Rata-Rata (m3) Rata-Rata (m3)
FABA (m) NAF (m)
Top bench 13,395 20,027 1.49 40,185 3 13,395
Bottom bench 12,710 18,595 1.46 38,130 3 12,710
Sloping & 57,053 - 171,159 3 57,053
Finishing
Total 83,158 38,622 249,474 83,158

79
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Tabel 20. Data timbulan dan pemanfaatan FABA


Tahun Timbulan Lokasi Luas area Ketebalan Jumlah
FABA Pemanfaatan Pemanfaatan FABA (m) Pemanfaatan
(Ton) (Ha) FABA (ton)
2017 18.015 Jupiter 2 1 dan 0.5 12.407
2018 19.539
2019 23.724 Galaxy 2.6 1.5 40.487
2020 22.400
2021 6.058 Purnama 1.57 1.3 20.484
(Maret)
Total 89.736 73.378
Catatan: sisa FABA dimanfaatkan sebagai campuran untuk low grade coal.

Gambar 35. Grafik timbulan dan pemanfaatan abu batubara PT KPC

Berdasarkan penjelasan diatas, beberapa hal penting yang perlu


menjadi perhatian dalam kegiatan pemanfaatan FABA sebagai
penudung PAF adalah sebagai berikut:
• Pemanfaatan FABA sebagai penudung hanya bisa dilakukan
apabila perusahaan melakukan karakterisasi dan
segregasi/pemisahan antara batuan asam (PAF) dan batuan tidak
asam (NAF). PT KPC telah lama mempraktekan hal ini (sejak tahun
1995) sehingga memudahkan dalam implementasi pemanfaatan
FABA sebagai substitusi material NAF di area penimbunan. Selain

80
K

itu, area pemanfaatan juga dapat dipastikan merupakan timbunan


batuan PAF.
• Pemanfaatan FABA sebaiknya dilakukan di area datar (bukan
lereng) untuk memastikan kestabilan geoteknis timbunan tetap
berada pada kriteria aman.

5.1.8. Nilai ekonomi dan lingkungan


Nilai ekonomi dan lingkungan dari upaya pemanfaatan FABA dapat
dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung dalam jangka
waktu pendek dan panjang.
Dari aspek lingkungan, pemanfaatan FABA sebagai bahan baku
penudung batuan PAF di area reklamasi dapat membantu mencegah
pembentukan air asam tambang yang merupakan salah satu masalah
besar dalam pertambangan. Dengan operasi PLTU yang berjalan
sepanjang tahun, pemanfaatan FABA di PT KPC dapat dilakukan
secara berkelanjutan dan dalam jumlah yang besar mengingat
ketersediaan lahan reklamasi yang luas.
Secara ekonomi, pemanfaatan FABA dapat mengurangi biaya
pengelolaan FABA lebih lanjut oleh pihak ketiga. Selain itu,
pemanfaatan FABA dapat mengurangi kebutuhan batuan NAF sebagai
batuan penutup PAF, yang semula memerlukan ketebalan 10 meter
menjadi 3 meter. Hal ini sangat berguna terutama untuk lokasi
dimana ketersediaan batuan NAF terbatas. Pengurangan kebutuhan
batuan NAF ini juga berarti efisiensi biaya operasi penambangan
karena berkurangnya biaya pengangkutan NAF. Sebagai contoh,
pemanfaatan FABA di Galaxy Dump berhasil melakukan efisiensi
biaya reklamasi sejumlah USD 1,6 juta karena adanya pengurangan
biaya mobilisasi material NAF.

5.1.9. Peluang dan kendala


PT KPC berpendapat bahwa kegiatan pemanfaatan FABA merupakan
peluang untuk dilakukannya kerjasama antara pihak PLTU sebagai
penghasil FABA dan tambang batubara sebagai pemanfaat FABA

81
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

dalam kegiatan reklamasi lahan bekas tambang, dengan tetap


memperhatikan kesesuaian karakteristik FABA sebagai penudung
dan peraturan yang berlaku.
Selain itu, kegiatan pemanfaatan FABA saat ini belum bisa dilakukan
secara umum dengan standar yang sama, mengingat batubara dan
teknologi yang digunakan oleh PLTU memiliki spesifikasi yang
berbeda-beda. Hal ini tentunya mempengaruhi karakteristik dari
FABA yang dihasilkan, sehingga diperlukan kajian terlebih dahulu
sebelum upaya pemanfaatan di area pertambangan dilakukan.
Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan kajian lebih lanjut
sehingga dapat terbentuk standar pemanfaatan FABA yang dapat
dijadikan rujukan umum bagi upaya pemanfaatan di pertambangan.

(a). Lokasi Ash Yard

82
K

(b). Lokasi pemanfaatan FABA


Gambar 36. Peninjauan kegiatan pemanfaatan FABA oleh tim KLHK

83
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

5.2. Studi kasus 2 - PT Guguk Tinggi Coal


5.2.1. Latar Belakang
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin, dioperasikan oleh PT
PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Ombilin, disebut sebagai PLTU
mulut tambang, karena letaknya berdampingan dengan tambang
batubara, sehingga dapat memanfaatkan secara langsung batubara
dari pertambangan batubara di sekitar lokasi. Dengan kapasitas
terpasang saat ini sebesar 200 megawatt, PLTU Ombilin
menghasilkan produk samping berupa FABA sebanyak 220.000
ton/tahun.
Berdasarkan hal tersebut, PLTU Ombilin berencana untuk mengelola
FABA dengan cara dimanfaatkan sebagai material NAF untuk
pengelolaan air asam tambang daerah penambangan di sekitar lokasi
PLTU. Salah satu lokasi penambangan yang akan digunakan untuk
pemanfaatan FABA ini adalah lokasi penambangan PT Guguk Tinggi
Coal (PT GTC). PT GTC berlokasi di Desa Salak, Kecamatan Talawi,
Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat. Jarak antara lokasi PLTU
Ombilin dan PT GTC adalah sekitar 2,6 Km. Peta lokasi wilayah Izin
Usaha Pertambangan (IUP) milik PT GTC dan rute pengangkutan
FABA dapat dilihat pada Gambar 37.
Pada lokasi PT GTC direncanakan akan disiapkan lokasi pemanfaatan
yang berada di tenggara lokasi IUP. Berdasarkan hasil survei
topografi, area yang telah dilakukan survei topografi seluas 13,5 Ha
ini memiliki kedalaman yang bervariasi. Elevasi tertinggi yaitu 303 m
dan elevasi terendah yaitu 222 m yang merupakan lubang bekas
tambang.
Berdasarkan Gambar 38, terdapat 3 lokasi berwarna biru di dalam
wilayah IUP PT GTC (garis merah) yang menunjukkan lokasi lubang
bekas galian. Lubang-lubang bekas galian tersebut cukup dalam dan
kondisi topografi di sekitarnya tidak merata. Dengan mengacu pada
elevasi tertinggi, untuk meratakan lokasi tersebut, maka diperlukan
volume timbunan sebesar 3,3 juta m3. Rencana penimbunan lubang
bekas tambang tersebut akan disinergikan dengan rencana

84
K

pemanfaatan FABA dari PLTU Ombilin sebagai material penetral air


asam tambang di lokasi PT GTC.

Gambar 37. Peta wilayah PLTU Ombilin, jalur angkut FABA, dan
wilayah IUP PT GTC

Gambar 38. Peta lubang bekas tambang di wilayah IUP PT GTC

85
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

5.2.2. Pengelolaan air asam tambang


Seperti umumnya terjadi pada kegiatan pertambangan, akan
terbentuk lubang-lubang bekas tambang yang berpotensi
menghasilkan air asam tambang. Bentuk akhir dari lubang tambang
dapat berupa kolam bekas tambang atau sebagai tempat/area
penimbunan batuan penutup hingga pada elevasi tertentu akan
membentuk morfologi yang baru. Kedua bentuk akhir tersebut masih
berpotensi menghasilkan air asam tambang apabila pengelolaannya
tidak dilakukan dengan memadai.
PT GTC merencanakan memanfaatkan FABA sebagai material untuk
menetralkan air asam dan batuan asam yang berpotensi
menghasilkan asam pada lubang bekas tambang. Kondisi air asam
ditemukan dari hasil pengambilan dan analisa sampel di dua lokasi
lubang bekas tembang, seperti ditunjukkan pada Tabel 21.

Tabel 21. Hasil analisa kualitas air di lubang tambang PT GTC


Sampel 1 Sampel 2 Baku Mutu
No Parameter Satuan (Area (Area (KepMenLH
Merah) Biru) No. 113/2003)
1 TSS mg/L 13,5 14,2 400
2 pH - 2,71 3,54 6–9
3 Fe mg/L 1,09 0,83 7
4 Mn mg/L 15,22 9,17 4
5 SO4 mg/L 1340,12 647,69 -
Catatan: area biru untuk sampel S-3 GTC, S-4 GTC, dan S-5 GTC, area merah untuk
sampel S-6 GTC

Kedua sampel air asam tambang yang diambil dari dua lokasi berbeda
di PT GTC memiliki nilai pH dan mangan (Mn) di bawah baku mutu
berdasarkan KepmenLH No. 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha dan Atau Kegiatan Pertambangan Batubara.
Kedua sampel air memiliki nilai pH asam yaitu 2,71 dan 3,54, juga nilai
sulfat yang tinggi yaitu 1340,12 mg/L dan 647,69 mg/L, menunjukkan
bahwa oksidasi pirit terjadi dalam jumlah yang besar.

86
K

5.2.3. Karakterik batuan di lubang bekas tambang dan FABA


Karakterisasi batuan pada lubang bekas tambang dan FABA
diperlukan sebagai langkah awal mengetahui potensi pemanfaatan
FABA untuk menetralkan air asam tambang.
Pada saat pengambilan sampel, hampir seluruh area sudah terbuka
dan sudah tertutup oleh material timbunan. Hal tersebut
menyebabkan perubahan terhadap litologi di lokasi tersebut.
Terdapat 9 sampel yang akan dianalisis, terdiri dari 6 sampel batuan
dari lokasi penambangan PT GTC (S1 – S6) dan 3 sampel FABA dari
PLTU Ombilin (bottom ash – S7; fly ash – S8; dan campuran FABA –
S9).

Gambar 39. Peta lokasi pengambilan sampel

Dilakukan analisa mineralogi batuan dengan dua metode yang sering


dipilih adalah X-ray Diffraction (XRD) dan X-ray Flourescence (XRF).

87
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Selain itu, juga dilakukan analisa geokimia statik, seperti yang


dijelaskan dibagian awal buku ini, dan uji geokimia kinetik untuk
menentukan skenario penimbunan terbaik yang akan dilakukan di
lubang tambang agar air asam tambang tidak terbentuk.
Hasil uji XRD menunjukkan mineral atau senyawa utama adalah silika
(SiO2), lempung (kaolinit) dan muskovit sebagai mineral lain.
Sedangkan hasil analisis XRF untuk 6 sampel yang diambil dari lokasi
PT GTC dapat dilihat pada Tabel 22. Secara umum unsur
batuan disusun oleh silika (Si), alumina (Al), dan alkali potasium (K).
Unsur ini merupakan unsur utama penyusun material lempung
(alumina silikat) hasil dari rombakan batuan yang tersedimentasi
kembali. Kadar unsur sulfur berkisar antara 1,05% hingga 1,60%,
dengan rata-rata kandungan unsur dalam sampel adalah 1,34%.

Tabel 22. Hasil XRF sampel batuan


Konsentrasi (%)
Parameter
S1 S2 S3 S4 S5 S6
Na - 0,0688 - - - 0,0608
Mg 0,2210 0,4180 0,3430 0,3410 0,3870 0,3170
Al 15,1000 13,9000 19,3000 17,0000 18,7000 16,0000
Si 69,1000 64,8000 57,1000 57,3000 56,3000 58,0000
P - - - 0,1170 0,0678 -
S 1,2720 1,5550 1,6020 1,1600 1,0500 1,4170
Cl 0,0196 - - 0,0326 - -
K 6,5800 6,3400 7,4100 6,2400 7,6000 5,6600
Ca 0,3750 0,6290 0,3460 1,4600 0,8700 0,5750
Ti 2,0900 1,9300 2,2400 1,8000 1,6900 1,6100
Mn - 0,1220 0,2160 0,3590 0,2170 0,4610
Fe 5,5500 11,0000 12,2000 13,6000 12,7000 16,3000
Zn 0,0660 0,0788 - 0,0775 0,0621 0,0581
Rb 0,0839 0,0659 0,0983 0,0776 0,0903 0,0656
Sr 0,0429 - 0,0621 0,0637 0,0483 -
Zr 0,1870 0,1570 0,1280 0,1480 0,1380 0,1680
W 0,2590 - - 0,2830 - 0,2320

Hasil uji geokimia statik untuk batuan dari lubang tambang dan FABA
adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 23.

88
K

Tabel 23. Hasil uji statik sampel PT GTC dan FABA PLTU Ombilin

Total NAG
Kode ANC/ pH NAG
No. Sulfur MPA ANC NAPP pH
Sampel MPA Pasta pH pH 7
(%) 4,5
1 S-1 1,272 38,95 1,98 0,051 36,97 6,35 3,27 3,92 13,90
GTC
2 S-2 1,555 47,61 4,60 0,097 43,01 5,49 2,94 3,87 11,72
GTC
3 S-3 1,602 49,05 1,76 0,036 47,29 5,12 2,69 4,11 16,28
GTC
4 S-4 1,160 35,50 4,29 0,121 31,21 5,26 3,18 4,75 12,34
GTC
5 S-5 1,070 32,76 8,84 0,269 23,92 5,67 3,75 4,52 12,71
GTC
6 S-6 1,407 43,08 3,15 0,073 39,93 5,53 2,77 5,30 15,16
GTC
S-7
7 Bottom 0,170 5,21 7,81 1,499 -2,6 10,71 8,11 0 0
ash
8 S-8 Fly 0,301 9,22 12,57 1,363 -3,35 10,12 6,98 0 0
ash
9 S9 0,219 6,71 9,94 1,481 -3,23 10,66 8,02 0 0
FABA
Catatan: MPA, ANC, NAPP, NAG pH4,5, dan NAG pH7 dalam satuan kg H2SO4/ton

Sampel yang diambil di PT GTC memiliki nilai pH pasta yang berkisar


pada 5,12 hingga 6,35. Sedangkan sampel fly ash, bottom ash, dan
campuran FABA dari PLTU Ombilin memiliki nilai pH cenderung basa,
yaitu berkisar pada 10,12 sampai dengan 10,71. Sampel PT GTC yang
memiliki nilai pH pasta asam mendekati netral memiliki nilai ANC
berkisar rendah hingga cukup tinggi (1,76 – 8,84 kg H2SO4/ton).
Sebaliknya sampel-sampel fly ash dan bottom ash cenderung memiliki
nilai ANC yang cukup tinggi (7,81 – 12,57 kg H2SO4/ton). Hal ini
menunjukkan bahwa sampel-sampel dari PT GTC memiliki kapasitas
penetralan asam yang kecil, sedangkan sampel dari PLTU Ombilin
memiliki kapasitas penetralan asam yang cukup tinggi. Untuk NAG
test, sampel PT GTC berada pada rentang 2,77 – 3,77, sedangkan
sampel-sampel PLTU Ombilin memiliki nilai pH NAG berkisar antara
6,98 – 8,11.
Hasil intepretasi uji statik sampel PT GTC dan PLTU Ombilin
berdasarkan kriteria penentuan klasifikasi batuan menetapkan
sampel PT GTC sebagai PAF dan sampel PLTU Ombilin sebagai NAF.

89
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Dengan demikian, FABA dari PLTU Ombilin berpotensi untuk dapat


menetralkan air asam tambang yang ada di lubang bekas tambang PT
GTC, yang juga sekaligus dapat berfungsi sebagai material penutup
batuan asam. Hasil tersebut divalidasi dengan uji kinetik dan
diperoleh hasil yang sama, yaitu air lindi yang dihasilkan dari lapisan
PAF bersifat asam, sesuai dengan kualitas sampel air asam tambang
yang diambil di lokasi penambangan PT GTC. Sampel-sampel FA, BA,
dan campuran FABA dari PLTU Ombilin juga menunjukkan hasil
pengukuran pH yang bersifat basa, bahkan dapat meningkatkan nilai
pH dari air lindi yang terbentuk pada lapisan PAF yang telah dilapisi
FA, BA, atau campuran FABA.
Untuk mengetahui karakteristik FABA, secara khusus dilakukan
pengujian sifat mudah meledak, mudah menyala, reaktif, korosif,
TCLP, oksida logam, dan beracun terhadap sampel FABA.

Tabel 24. Hasil pengujian karakteristik dasar FABA


Hasil PP No. 101
No. Parameter Tahun Satuan
Fly ash Bottom ash 2014
1 Mudah Non-Explosive Non- Non- N/A
meledak Explosive Explosive
pada 25˚C,
760 mmHg
2 Mudah Non-Ignitable Non-
terbakar Ignitable
-Flash Point >140 >140 >140 oF
3 Reaktifitas Non-Reactive Non- Non-
Reactive Reactive
-Cyanide <0,06 <0,06 - mg/Kg
-Sulfide <0,01 <0,01 - mg/Kg
-Ammonia <0,1 <0,1 - mg/Kg
4 Korosifitas Non-Corrosive Non-
Corrosive
-pH Solid 9,315 6,025 2< - <12,5 pH Units

90
K

Tabel 25. Hasil pengujian TCLP FABA


Hasil Standard pada PP No.
(mg/L) 101/2014 (mg/L)
No. Parameter
Bottom
Fly Ash TCLP-A TCLP-B
Ash
1 Antimoni, Sb <0,0035 <0,001 6 1
2 Arsen, As <0,0007 <0,0007 3 0,5
3 Barium, Ba 0,7851 0,838 210 35
4 Berilium, Be <0,0045 0,001 4 0,5
5 Boron, B 14,25 0,542 150 25
6 Cadmium, Cd 0,0083 <0,0008 0,9 0,15
Hexavalent
7 <0,0006 <0,0006 15 2,5
Chromium, Cr6+
8 Copper, Cu 0,312 0,191 60 10
9 Lead, Pb <0,0175 <0,005 3 0,5
10 Mercury, Hg <0,0005 <0,0005 0,3 0,05
11 Molibdenum, Mo 0,061 <0,001 21 3,5
12 Nikel, Ni 0,124 0,0215 21 3,5
13 Selenium, Se 0,00115 <0,0006 3 0,5
14 Silver, Ag <0,002 <0,002 40 5
15 Zinc, Zn 0,3798 0,198 300 50
Catatan: metode pengujian Cr6+ berdasarkan SNI 6989.71-2009, sedangkan
parameter lain berdasarkan APHA 3120B

Tabel 26. Hasil pengujian okida logam


Hasil analisa (%)
No. Parameter
Fly ash Bottom ash
1 SiO2 81,59 28,03
2 Al2O3 2,76 1,505
3 Fe2O3 1,52 1,225
4 CaO 1,865 1,12
5 MgO 0,39 0,225
6 Na2O 0,08 0,06
7 K2O 0,225 0,11
8 TiO2 0,1 0,06
9 P 0,025 0,02
10 Loss of Ignition 9,365 38,445
Catatan: metode pengujian Loss of Ignition adalah gravimetric, sedangkan
parameter lainnya mengacu pada metode US EPA SW 6010C-2007

91
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Dari hasil pengujian diatas, dapat disimpulkan bahwa FABA memiliki


karakteristik tidak mudah terbakar, tidak mudah meledak, tidak
reaktif, dan tidak korosif. Hasil pengujian TCLP menunjukkan bahwa
semua parameter pengujian memiliki nilai yang tidak melebihi baku
mutu TCLP, juga untuk hasil pengujian oksida logam. Hasil uji
toksisitas untuk limbah FA adalah 18.796 mg/kg, sedangkan hasil uji
toksisitas untuk limbah BA adalah 17.676 mg/kg. Nilai ini
menunjukkan bahwa limbah FA dan BA dikategorikan sebagai limbah
tidak beracun.

5.2.4. Persetujuan pemanfaatan


Pada saat rencana pemanfaatan FABA dikembangkan pada tahun
2019, FABA masih berstatus sebagai Limbah B3. Oleh karena itu,
sebagai entitas pemanfaat FABA, PT GTC diwajibkan untuk
mendapatkan izin pemanfaatan dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK). Hal tersebut ditempuh melalui rangkaian
pengajuan permohonan izin, validasi persyaratan, rapat pembahasan
permohonan izin, verifikasi lapangan, penyampaian dokumen
tambahan, sampai dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan
mendapatkan izin pemanfaatan FABA berupa KepmenLHK No.SK.197
/Menlhk/Setjen/PLB.3/3/2019 tentang Izin Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya Dan Beracun Untuk Kegiatan Pemanfaatan Limbah
Bahan Berbahaya Dan Beracun PT Guguk Tinggi Coal Sebagai
Pemanfaat Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun.
FABA dimanfaatkan sebagai bahan baku lapisan NAF sebagai penutup
lapisan PAF untuk mencegah terbentuknya air asam tambang pada
lubang bekas tambang batubara dengan kapasitas penggunaan FABA
paling tinggi 110.000 m3/Ha (seratus sepuluh ribu meter kubik per
hektar).

5.2.5. Tujuan pemanfaatan


Tujuan dari kegiatan pemanfaatan FABA dari PLTU Ombilin sebagai
material penetral air asam tambang di PT GTC adalah sebagai berikut:

92
K

1. Mengurangi jumlah timbunan FABA di PLTU Ombilin untuk


mencegah potensi dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan
oleh timbunan FABA tersebut.
2. Memanfaatkan FABA dari PLTU Ombilin sebagai material penetral
air asam dan batuan asam yang akan ditimbun di lubang bekas
tambang PT GTC.
3. Memanfaatkan lubang bekas tambang PT GTC sebagai tempat
pemanfaatan FABA, yang juga berarti mengurangi pembukaan
lahan baru untuk penimbunan batuan penutup (overburden)
batubara PT GTC di luar pit (outpit dump).

5.2.6. Pemanfaatan FABA


Dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan FABA, PT GTC
melakukan hal-hal sbb.:
1. Mematuhi ketentuan mengenai manifes atau pencatatan
perpindahan FABA dari PLTU Ombilin ke PT GTC. Ketentuan ini
harus dilakukan karena FABA dimanfaatkan oleh
entitas/perusahaan yang berbeda dengan entitas/perusahaan
penghasil FABA.
2. Melakukan pengumpulan FABA di fasilitas tempat pengumpulan
FABA berupa area dengan luas 1.660,31 m2 dengan kapasitas
pengumpulan paling banyak 6300 ton. Juga melakukan pencatatan
jumlah FABA masuk dan keluar fasilitas.
3. Melakukan pemanfaatan FABA sesuai dengan rencana yang telah
disusun.
4. Melakukan pengujian terhadap produk hasil pemanfaatan FABA
berupa kualitas mutu dan kualitas lingkungan.
5. Melakukan pencatatan dan pelaporan kegiatan pemanfaatan
FABA dalam satuan ton/bulan (ton per bulan), paling sedikit 1
(satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
6. Melakukan penanggulangan dan pemulihan fungsi lingkungan
hidup dalam hal terjadi pencemaran dan/ atau perusakan
lingkungan hidup.

93
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Gambar 40. Kegiatan pemindahan FABA dari TPS Lapangan Hijau

Pemanfaatan FABA dilakukan dengan ketentuan:


1. Pengujian FABA (paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun
untuk huruf a sampai dengan huruf d) hasil harus memenuhi
kriteria:
a. kadar total parameter SiO2, Al2O3, dan Fe2O3 paling sedikit
50%
b. kadar Lost of Ignition (LOI) paling tinggi 10%
c. kadar parameter TCLP
d. nilai Acid Neutralizing Capacity (ANC) dengan nilai paling
rendah 8 kg H2SO4/ton
e. konsentrasi aktivitas paling banyak 1 Bq/gr (becquerel per
gram) untuk tiap radionuklida Uranium-238 (U-238),
Plumbum-210 (Pb-210), Radium-226 (Ra-226), Radium-228
(Ra-228 ), Thorium-228 (Th-228), Thorium-230 (Th-230), dan
Thorium-234 (Th-234), diuji paling sedikit 1 (satu) kali dalam
3 (tiga) tahun

94
K

Tabel 27. Baku mutu parameter TCLP


Baku Mutu TCLP
No. Parameter
(mg/L)
1 Arsen, As 0,5
2 Kadmium, Cd 0,15
3 Tembaga, Cu 10
4 Timbal, Pb 0,5
5 Merkuri, Hg 0,05
6 Nikel, Ni 3,5
7 Selenium, Se 0,5
8 Perak, Ag 5
9 Seng, Zn 50
Catatan: Baku mutu berdasarkan PP 101/2014 yang telah diganti dengan PP
22/2021 dengan nilai yang sama

2. Tahapan Pemanfaatan FABA dilakukan dengan cara:


a. menyiapkan lahan di lokasi bekas tambang yang menjadi
lokasi pemanfaatan FABA dengan cara:
1) sebelum dilakukan pemanfaatan FABA, seluruh lubang
tambang harus dalam keadaan kering terlebih dahulu.
Penyiapan drainase di sekitar lokasi pemanfaatan untuk
mencegah run off dari lingkungan masuk ke dalam lokasi bekas
tambang dan membuat dinding penahan rembesan (cut off
wall). Pompa siap pakai di lapangan harus senantiasa
dipelihara sepanjang waktu untuk menjamin penggunaannya
ketika diperlukan upaya pengeringan dengan pompa;
2) jika di lokasi bekas tambang terdapat air asam tambang,
maka dilakukan pemompaan dan air asam tambang dialirkan
ke settling pond untuk diproses lebih lanjut sesuai peraturan
pengelolaan limbah cair yang berlaku;
3) kegiatan pemanfaatan FABA tidak boleh ditempatkan,
dihampar atau dipadatkan sewaktu hujan, dan pemadatan
tidak boleh dilaksanakan setelah hujan.
4) peralatan berat untuk pemindahan, pemadatan atau
keperluan lainnya tidak diijinkan berada atau beroperasi
dengan jarak lebih dekat 1,5 meter dari tepi lubang tambang,

95
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

kecuali pipa atau struktur lainnya telah terpasang dalam


lubang tambang tersebut telah ditimbun dan telah dipadatkan.
b. melakukan penghamparan berupa layering menggunakan
tanah overburden setebal 100 (seratus) centimeter dan
dipadatkan hingga mencapai nilai California Bearing Ratio
(CBR) paling rendah 3%.
c. melakukan penghamparan berupa layering menggunakan
FABA dengan ketebalan paling rendah 75 cm dan dipadatkan
hingga mencapai nilai California Bearing Ratio (C8R) paling
rendah 5%.
d. kegiatan penghamparan pada huruf b dan huruf c dilakukan
berulang secara bergantian hingga ketinggian sesuai dengan
kontur lubang tambang semula. Layering dan pemadatan
sesuai dengan desain yang disetujui. Berdasarkan
perbandingan jumlah batuan asam tambang dan kebutuhan
FABA di area pemanfaatan PT GTC, maka rekomendasi desain
pelapisan FABA agar dapat menetralisir batuan asam dan
meminimalisir potensi timbulnya air asam tambang adalah
dengan lapisan batuan asam setebal 100 cm dan lapisan FABA
setebal 65 cm. Kedua lapisan tersebut disusun berulang hingga
kedalaman ± 20 meter.
e. menutup layering bagian atas dengan menggunakan top soil
yang berasal dari kegiatan penambangan awal paling rendah
60 (enam puluh) centimeter dan ditanami dengan tumbuhan
yang sesuai dengan tanaman yang direkomendasikan untuk
daerah reklamasi tambang.
f. untuk setiap 5000 m2 (lima ribu meter persegi) dipasang satu
pipa perforated yang dilapisi geotextile sesuai kontur dan
konduktifitas hidrolik pada lapisan FABA, untuk memantau
keefektifan pemanfaatan FABA berupa pemantauan kadar
oksigen paling tinggi 1% (satu persen). Pipa perforated ini
berfungsi sebagai alat filtrasi jika dihasilkan air dari lapisan
timbunan. Jika terdapat air didalamnya maka akan dilakukan
pemantauan pH air.

96
K

Gambar 41. Konsep desain pemanfaatan FABA sebagai penutup


batuan asam (PAF)

3. membangun paling sedikit 2 (dua) sumur pantau dan saluran


pengumpulan air perkolasi pada up-stream area pernanfaatan
FABA dan paling sedikit 2 (dua) sumur pantau dan saluran
pengumpulan air perkolasi pada down-stream area pemanfaatan
FABA.
4. memiliki fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan
pemanfaatan FABA terdiri dari truk pengangkut/dump truck,
escavator, dan traktor.
Pengujian terhadap hasil kegiatan pemanfaatan FABA berupa kualitas
mutu lapisan NAF, dan uji kualitas lingkungan, dilakukan dengan
ketentuan:
1. melakukan uji efektivitas berupa uji kinerja penghambat difusi
oksigen dengan hasil paling tinggi 1%, pH air pori dan alkalinitas
air pori paling sedikit 1 kali dalam 2 tahun yang diambil pada
berbagai kedalaman yang mewakili bagian atas dan bawah
lapisan FABA sebagai lapisan NAF dan pada lapisan FABA itu
sendiri;

97
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

2. melakukan uji konduktivitas hidraulik dengan nilai paling besar


10-4 cm/detik pada lapisan FABA yang diaplikasikan sebagai
lapisan NAF; dan
3. melakukan pemantauan terhadap air tanah paling sedikit 1 kali
dalam 2 tahun dan mewakili musim kering dan musim hujan.

Gambar 42. Pemanfaatan FABA di lokasi GTC 1

Gambar 43. Pemanfaatan FABA di lokasi GTC 2

98
K

Dari kegiatan tersebut diatas, pemanfaatan hingga Desember 2020


adalah sebanyak 419,539.81 ton, seperti ditunjukkan pada Gambar
44.

Gambar 44. Akumulasi pemanfaatan FABA

5.2.7. Pemantauan
1. Uji kinerja lapisan FABA terhadap difusi oksigen dan kualitas air di
area pemanfaatan
Untuk mengetahui efektivitas dari pemanfaatan FABA sebagai pelapis
material PAF, dilakukan serangkaian kegiatan pemantauan
lingkungan. Pemantauan air tanah dan oksigen dilakukan melalui
sumur pantau berupa pipa berpori yang ditanam di lokasi
pemanfaatan. Pada setiap luas 5000 m2 dipasang 2 buah pipa berpori
dengan kedalaman bervariasi tergantung pada ketebalan lapisan
FABA yang telah dimanfaatkan, berkisar antara 10 - 30 meter.
Pengujian konsentrasi oksigen di timbunan dilakukan dengan
menghisap udara dari kedalaman + 10 meter dan mengalirkannya ke
detektor gas untuk pembacaan konsentrasi oksigen. Hasil
pengukuran pada tanggal 19 April 2021 menunjukkan konsentrasi
oksigen di dalam timbunan berkisar antara 1.4% - 1.8%.

99
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

Indikator lainnya adalah kualitas air, dimana sampel air diambil untuk
diukur pH dan alkalinitias. Pengujian pH terhadap sampel air tanah
tanggal 19 April 2021 menunjukkan nilai pH 6.9 dan 7.8. Sedangkan
pengujian alkalinitas dilakukan di UPTD Laboratorium Kesehatan
Provinsi Sumatera Barat menunjukkan nilai 8,75 mg/L.
Berdasarkan hasil tersebut diatas, meskipun konsentrasi oksigen
masih diatas 1%, namun nilai pH yang tinggi menunjukkan tidak
terbentuknya air asam tambang pada area pemanfaatan FABA
tersebut.
2. Uji konduktivitas hidraulik (permeabilitas) dan California Bearing
Ratio (CBR)
Efektivitas lapisan penutup sangat dipengaruhi oleh permeabilitas
dari FABA yang digunakan. Lapisan FABA harus memiliki
permeabilitas yang rendah untuk mengurangi masuknya air dan
oksigen. Uji permeabilitas FABA dilakukan di Laboratorium
Mekanika Tanah Universitas Andalas, dan untuk sampel 8 April 2021
diperoleh nilai permeabilitas untuk FABA I sebesar 9,62 x 10-5 cm/
detik dan untuk FABA II sebesar 9,89 x 10-5 cm/detik. Nilai ini telah
memenuhi ketentuan dalam izin.
Untuk pengujian California Bearing Ratio (CBR), diperoleh nilai
sebesar 9.5% – 12% untuk lapisan FABA dan 9% – 16% untuk
lapisan overburden pada pengujian 22 Desember 2020. Kedua nilai
ini telah memenuhi ketentuan dalam izin.
3. Pemantauan terhadap air tanah
Dilakukan pemantauan air tanah melalui sumur pantau di hulu
dan hilir area pemanfaatan dengan kedalaman rata-rata 30 meter.
Pemantauan air tanah dilakukan setiap 1 tahun, bekerja sama
dengan UPTD Laboratorium Lingkungan Dinas Perumahan,
Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Lingkungan Hidup Kota
Sawahlunto. Hasil pengujian kualitas air pada sumur pantau di
hulu (C1) dan di hilir (C2 dan C3) untuk sampel tanggal 1 Juli 2020
adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 28. Hasil pemantauan
menunjukkan tidak ada perbedaan kualitas air yang signifikan antara
sumur pantau tersebut.
100
K

Tabel 28. Hasil Pengujian Air Sumur Pantau


No. Parameter Satuan GTC.C1 GTC.C2 GTC.C3
1 pH 7,11 7,6 7,2
2 Rasa Tidak berasa Tidak berasa Tidak berasa
3 Bau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau
4 Suhu °C 28,7 28,2 26,7
5 TSS mg/l 2 123 11
6 TDS mg/l 121 119 109
7 Kekeruhan NTU 3,02 52 0,42
8 DHL ohm 3,05 2,21 1,77
10 Mangan (Mn) mg/l 0,21 1,60 1,95
11 Besi (Fe) mg/l 0,31 0,75 0,05
13 Arsen (As) mg/l <0,0004 0,0019 <0,0004
14 Cadmium mg/l 0,0005 <0,0001 0,0002
(Cd)
15 Tembaga mg/l <0,0012 <0,0012 <0,0012
(Cu)
16 Timbal (Pb) mg/l 0,0008 0,0028 0,0058
17 Merkuri (Hg) mg/l 0,0013 0,0008 0,0012
18 Nikel (Ni) mg/l <0,0144 <0,0144 <0,0144
19 Selenium (Se) mg/l <0,0007 <0,0007 <0,0007
20 Perak (Ag) mg/l 0,0028 0,0009 0,0152
21 Seng (Zn) mg/l <0,0045 <0,0045 <0,0116

5.2.8. Nilai ekonomi dan lingkungan


Bagi PT GTC, sebagai pihak pemanfaatan FABA, pemanfaatan FABA
dalam proses reklamasi lubang bekas tambang dapat meningkatkan
persentase keberhasilan pengelolaan lingkungan pasca tambang,
dimana lubang bekas tambang dapat dijadikan lahan yang lebih
produktif, disesuaikan dengan rencana tataguna lahan pasca
tambang.
Pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi
oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang
aman dan produktif melalui reklamasi. Kondisi akhir reklamasi dapat
diarahkan untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau
kondisi lain yang telah disepakati dengan mempertimbangkan
potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta
pemerintah, terutama pemerintah daerah.
Sedangkan bagi PT PLN (Persero) selaku pengelola PLTU Ombilin,
pemanfaatan FABA oleh pihak ketiga yang berjarak dekat ini sangat

101
Bab 5. Implementasi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash

menguntungkan karena dapat mengurangi biaya pengangkutan dan


juga mengurangi risiko pencemaran lingkungan pada saat
pengangkutan.

5.2.9. Peluang dan kendala


Bagi PT GTC, kegiatan pemanfaatan FABA merupakan peluang dan
solusi yang baik untuk dilakukan karena selain dapat membantu
perusahaan tambang dalam hal menetralisir batuan dan air asam
tambang, juga dapat membantu PLTU Ombilin mengatasi produk
samping yang dihasilkan. Selain itu, bagi pihak PT PLN (Persero),
pemanfaatan FABA ini juga mendorong peluang pemanfaatan
berbasis masyarakat (Usaha Mikro Kecil Menengah - UMKM) di
bidang konstruksi dan pertanian, dan mendorong pembangunan
daerah dengan pemanfaatan FABA sebagai subtitusi bahan baku
secara masif.
Dalam pelaksanaan pemanfaatan FABA, kendala yang seringkali
terjadi adalah kondisi curah hujan. Pemanfaatan FABA tidak bisa
dilakukan dalam keadaan basah karena hujan karena pemadatan
lapisan FABA tidak bisa dilakukan secara optimal.

102
K

Bab VI. Penutup

Teknologi berkembang sangat cepat, berbagai inovasi dapat terus


dikembangkan melalui strategi win-win solution yang dapat
menciptakan circular economy bagi semua pihak. Pemerintah
mendorong upaya pemanfaatan Limbah FABA dalam jumlah yang
signifikan sebagai langkah nyata yang memberikan keuntungan
secara lingkungan, ekonomi dan sosial.
Best practice Pemanfaataan FABA Untuk Pengelolaan Batuan dan Air
Asam Di Tambang Batubara yang telah diterapkan pada PT Kaltim
Prima Coal (PT KPC) dan PT Guguk Tinggi Coal (PT GTC) diharapkan
dapat menjadi salah satu pilihan yang dapat dijadikan referensi dalam
menerapkan strategi pemanfaatan FABA yang menguntungkan bagi
semua pihak.
Pemanfaataan FABA Untuk Pengelolaan Batuan dan Air Asam Di
Tambang Batubara diharapkan menjadi dasar dalam pengembangan
inovasi selanjutnya yang dapat memberikan manfaat optimal secara
multisektor dan dapat mewujudkan zero waste untuk mengurangi
permasalahan lingkungan.

103
104
K

Daftar Istilah

1. Air asam tambang adalah air lindian (leachate), rembesan


(seepage) atau aliran (drainage) akibat pengaruh oksidasi
alamiah mineral sulfida (mineral belerang) yang terkandung
dalam batuan yang terpapar selama penambangan.
2. Ash pond adalah tempat penyimpanan sementara fly ash dan
bottom ash.
3. Back filling adalah penempatan kembali material, termasuk
Limbah B3, di area bekas tambang.
4. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3
adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat,
konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk
hidup lain.
5. Bottom ash adalah sisa dari hasil pembakaran batubara pada
pembangkit listrik berupa abu berat yang ditemukan setelah
pembakaran/insinerasi.
6. Coal yard atau Stockpile adalah tempat/fasilitas penyimpanan
batubara.
7. Energi Baru dan Terbarukan (EBT) adalah energi yang berasal
dari proses alam yang diisi ulang secara terus menerus dan
secara berkelanjutan dapat terus diproduksi tanpa harus
menunggu waktu jutaan tahun layaknya energi berbasis fosil.
8. Fly Ash adalah sisa dari hasil pembakaran batu bara pada
pembangkit listrik. Abu terbang mempunyai titik lebur sekitar
1300 °C dan mempunyai kerapatan massa (densitas), antara 2.0
– 2.5 g/cm3.

105
Daftar Istilah

9. Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung


dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
10. Leachate atau lindi adalah suatu cairan yang dihasilkan dari
pemaparan air hujan di timbunan waste pile. Cairan ini sangat
berbahaya karena mengandung konsentrasi senyawa organik
maupun senyawa anorganik tinggi, yang terbentuk dalam
landfill akibat adanya air hujan yang masuk ke dalamnya.
11. Log book adalah buku atau media yang digunakan dalam
pencatatan masuk dan keluar limbah.
12. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
13. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut
Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung B3.
14. Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya
disebut Limbah nonB3 adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang tidak menunjukkan karakteristik Limbah B3.
15. Limbah nonB3 Terdaftar adalah limbah yang sudah tidak
memiliki karakteristik B3 dan telah memenuhi ketentuan
penggunaan minimal teknologi terbaik dan ramah lingkungan.
16. Limbah nonB3 Khusus adalah limbah yang sebelumnya adalah
limbah B3 dari sumber spesifik umum dan sumber spesifik
khusus yang telah melalui prosedur pengecualian.
17. Non-Acid Forming (NAF) adalah batuan/material yang tidak
berpotensi menghasilkan asam.
18. Potentially Acid Forming (PAF) adalah batuan/material yang
berpotensi menghasilkan asam.
19. Penghasil Limbah nonB3 adalah setiap orang yang karena usaha
dan/atau kegiatannya menghasilkan Limbah nonB3.
20. Pemanfaat Limbah nonB3 adalah setiap orang yang melakukan
pemanfaatan Limbah nonB3.

106
K

21. Pengurangan Limbah nonB3 adalah pengurangan jumlah atau


volume limbah nonB3 yang dihasilkan dari modifikasi,
perubahan proses produksi, dan/atau perubahan teknologi yang
dapat dilakukan sebelum limbah nonB3 dihasilkan atau
pengurangan jumlah atau volume Limbah nonB3 secara fisik
dan/atau termal sesudah Limbah nonB3 dihasilkan.
22. Penyimpanan Limbah nonB3 adalah kegiatan menyimpan
Limbah nonB3 yang dilakukan oleh Penghasil Limbah nonB3
dengan maksud menyimpan sementara Limbah nonB3 yang
dihasilkannya.
23. Pemanfaatan Limbah nonB3 adalah kegiatan penggunaan
kembali, daur ulang, dan/atau perolehan kembali yang
bertujuan untuk mengubah Limbah nonB3 menjadi produk yang
dapat digunakan sebagai substitusi bahan baku, bahan
penolong, dan/atau bahan bakar yang aman bagi kesehatan
manusia dan lingkungan hidup.
24. Penimbunan Limbah nonB3 adalah kegiatan menempatkan
Limbah nonB3 pada fasilitas penimbunan dengan maksud tidak
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
25. Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
26. Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
27. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup adalah cara atau proses untuk
mengatasi Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup.
28. Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup adalah serangkaian
kegiatan penanganan lahan terkontaminasi yang meliputi

107
Daftar Istilah

kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan


untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup yang disebabkan
oleh Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup.
29. Sistem Tanggap Darurat adalah sistem pengendalian keadaan
darurat yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, dan
penanggulangan kecelakaan serta pemulihan kualitas
lingkungan hidup akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan
Limbah B3.
30. Stoker Boiler adalah sistem pembakaran dengan memasukkan
bahan bakar padat pada bed pembakaran yang tetap, udara yang
digunakan untuk proses pembakaran dioperasikan dengan
kecepatan yang kecil, dan ukuran untuk tipe boiler ini terbatas
sehingga kemampuan untuk menghasilkan uap maksimum ±
50,4 kg/s.
31. Sumur Pantau adalah perangkat yang berfungsi memonitor
penurunan muka air tanah dan juga kualitas air tanah.
32. Top soil adalah Lapisan tanah bagian atas mempunyai
kedalaman sekitar 20 cm yang merupakan lapisan tanah yang
subur dan kedalaman tanah (solum) merupakan tebalnya
lapisan tanah dari permukaan sampai suatu lapisan dimana
perakaran tanaman tidak dapat menembusnya.

108
K

Daftar Pustaka

Appleo, C.A.J. and Postma, D. 2005, Geochemistry, groundwater, and


pollution, 2nd edition, AA Balkema Publishers
ASTM C.618-86, 1986, Spesification for Silica Fume for Use in Hydaulic Cemen
Concrete and Mortar, United States
AMIRA International, 2002, ARD Test Handbook: Prediction & Kinetic Control
of Acid Mine Drainage, AMIRA P387A; Ian Wark Research Institute and
Environmental Geochemistry International Ltd.: Melbourne, Australia
Bakri, E.D., Rolliyah, Zen, I., Artono, A.R.T., Karim, A., Apriliani, A., Andriani,
S., Cahyaningsih, S., Pujilestari, E.S., Hidayat, A.R., 2019, Nilai Ekonomi
Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash PLTU-PLN Di Berbagai sektor,
Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan LB3 dan Non B3, Dirjen PSLB3,
KLHK
Banjarnahor, D., 2019, KPC Sediakan Air Bersih Untuk 8.000 Keluarga di Kutai
Timur, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/market/
20191213184422-17-123023/ kpc-sediakan-air-bersih-untuk- 8000-
keluarga-di-kutai-timur pada 3 Agustus 2021 jam 16.45.
Bintoro, A., Abidin, M., 2004, Pengukuran Total Alkalinitas Di Perairan
Estuari Sungai Indragiri Provinsi Riau, Buletin Teknik Litkayasa Sumber
Daya dan Penangkapan, Vol. 12, No. 1 pp 11 – 14
Damayanti, R., 2018, Abu Batubara Dan Pemanfaatannya: Tinjauan Teknis
Karakteristik Secara Kimia Dan Toksikologinya, Jurnal Teknologi Mineral dan
Batubara Volume 14, Nomor 3, September 2018: 213 - 231
GARD Guide, 2021, Global Acid Rock Drainage Guide, diakses dari
http://www.gardguide.com/ pada 23 Juli 2021 jam 10.09 WIB
Hendrasto, M., 2018, Pengelolaan Lubang Bekas Tambang Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Padang: Forum Komunikasi Pengelola
Lingkungan Pertambangan Indonesia.
Jones, D., Taylor, J., & Pape, S., 2016. Mencegah Drainase Asam Dan Logam.
Commonwealth of Australia

109
Daftar Pustaka

Kodoatie, R. J., 2012, Tata Ruang Air Tanah, Penerbit Andi


Kurnia, U., Agus, F., Adimihardja, A., Dariah, A., 2006, Sifat fisik tanah dan
metode analisisnya, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian
Kuyucak, N., 1999, Acid Mine Drainage Prevention and Control Options, Mine,
Water & Environment, IMWA Congress, Sevilla, Spain.
Kristanto, P., 2002, Ekologi Industri, Penerbit Andi. Yogyakarta
Lapakko, K., 2002, Metal Mine Rock and Waste Characterization Tools: An
Overview, World Business Council for Sustainable Development
Lottermoser, B. 2015, Predicting Acid Mine Drainage: Past, Present, Future.
Mining Report - 151.
Lottermoser, 2010, Mine Waste - Characterization, Treatment and
Environmental Impacts - Third Edition, Springer
Nugraha, C., Shimada, H., Sasaoka, T., Ichinose, M., Matsui, K., & Manege, I.
2009. Geochemistry of waste rock at dumping area. International Journal of
Mining, Reclamation and Environment, 23.
Nugraha, C., 2019, Pengelolaan Lingkungan Pertambangan, Penerbit Kepak
Indonesia, Bandung
Rai, A.K., Paul, B., dan Singh, G., 2010, A Study on Backfill Properties and Use
of Fly Ash for Highway Embankments, Journal of Advanced Laboratory
Research in Biology, Volume 1, Issue 2
Said, M.S., Nurhawaisyah, S.R., Juradi, M.I., Asmiani, N., Kusuma, G.J., 2019,
Analisis Kandungan Fly Ash Sebagai Alternatif Bahan Penetral Dalam
Penanggulangan Air Asam Tambang, Jurnal Geomine, 7(3): 163-170.
Sekretariat EITI Indonesia, 2016, Alur proses bisnis penambangan batubara,
diakses dari https://eiti.esdm.go.id/infografis-proses-bisnis-
penambangan-batubara/ pada 23 Juli 2021 jam 10.03 WIB
Jeff Skousen, J., Bhwnbla, D.K., 1998, Metal Release From Fly Ash Upon
Leaching With Sulfuric Acid Or Acid Mine Drainage, Proceedings America
Society of Mining and Reclamation, pp 713-721
Syaefudin, M.A., Triantoro, A., Riswan, 2020, Analisis Pemanfaatan Fly Ash
Dan Bottom Ash Sebagai Material Alternatif NAF Yang Digunakan Dalam

110
K

Upaya Pencegahan Pembentukan Air Asam Tambang, Jurnal GEOSAPTA Vol.


6 No.1 Januari 2020 pp39-42
Tobing, S., 2021, Efek Titah Jokowi dalam Pembahasan Program Listrik 2021-
2030, diakses dari https://katadata.co.id/sortatobing/indepth/
60bb966aa3276/efek-titah- jokowi-dalam-pembahasan-program-listrik-
2021-2030, pada 17 Juli 2021 jam 22.07 WIB
Umah, A., 2021, 2021, Batu Bara untuk PLTU Diperkirakan Naik ke 113 Juta
Ton”, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/
20210322135706-4-231903/2021-batu-bara-untuk-pltu-diperkirakan-
naik-ke-113-juta-ton, pada 17 Juli 2021 jam 21.55 WIB
Veyrassat, V., 2021, The SDGs as a reference framework for measuring impact,
diakses dari https://360impact.ch/en/sdgs-and-impact/ pada 23 Juli 2021
jam 11.47 WIB
Win, T.S., Dwiki, S., Hamanaka, A., Sasaoka, T., Shimada, H., Matsumoto, S.,
Kusuma, G.J., 2020, Application of Fly Ash and Organic Material as Dry Cover
System in Prevention of Acid Mine Drainage Generation, Journal of Geoscience
and Environment Protection, 2020, 8, 56-64
Yao, Z.T., Ji, X.S., Sarker, P.K., Tang, J.H., Ge, L.Q., Xia, M.S., Xi, Y.Q., A,
2015, comprehensive review on the applications of coal fly ash, Earth.
Rev. 141, pp 105–121.
-----, 2018, Pemanfaatan Abu Batubara Sebagai Lapisan Penudung Material
Berpotensi Asam (Potential Acid Form/PAF), Workshop Pengelolaan
LimbahB3 Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) di Indonesia, Jakarta, 4 Oktober
2018
-----, 2020, Bauran Energi Nasional, Dewan Energi Nasional
-----, 2020, Peluang Investasi Batubara Indonesia, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral
-----, 2021, Fly ash dan bottom ash PLTU Batubara, Bahan Press Conference
Dirjen Ketenagalistrikan KESDM, Jakarta 15 Maret 2021
-----, 2021, Pengaturan Pengelolaan Fly Ash Dan Bottom Ash (FABA) Dalam
PP22/2021, Bahan Presentasi Dirjen PSLB3 - KLHK, Jakarta 15 Maret 2021

111
112
K

Penulis

M Candra Nugraha Deni menyelesaikan


pendidikan tingkat sarjana Teknik Lingkungan di
Institut Teknologi Bandung tahun 1999 dan
Doctor of Engineering di Department of Earth
Resources Engineering, Kyushu University,
Fukuoka – Jepang tahun 2009. Memiliki
pengalaman kerja lebih dari 18 tahun di
pertambangan batubara (PT Kaltim Prima Coal)
dan pertambangan emas (PT Agincourt Resources) pada bidang
pengelolaan lingkungan, baik aspek manajemen maupun teknis
operasional, dengan jabatan terakhir di kedua perusahaan
tersebut sebagai Environmental Manager. Keahlian meliputi
bidang pemantauan lingkungan, pengelolaan limbah B3,
perencanaan dan pelaksanaan reklamasi dan penutupan tambang,
pengelolaan batuan dan air asam tambang, dan analisa risiko
keselamatan, lingkungan, dan sosial.
Selanjutnya berkarir sebagai pengajar tetap di Program Studi
Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional Bandung
dan pengajar tamu di Program Studi Teknik Lingkungan
Institut Teknologi Bandung untuk mata kuliah ‘Rekayasa
Lingkungan Pemanfaatan Sumber Daya Alam’, mata kuliah dengan
topik khusus mengenai pengelolaan lingkungan pertambangan, sejak
tahun 2019. Saat ini juga tercatat sebagai Visiting Researcher di
Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia – Klaster Interaksi,
Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Sosial, untuk periode
April – Desember 2021.
Sebelumnya, penulis telah menyusun buku berjudul
“Pengelolaan Lingkungan Pertambangan” yang diterbitkan oleh
Penerbit Kepak Indonesia pada Maret 2019, dan menyunting buku
berjudul “Aksi Hijau Di Lingkar Tambang – Keberlanjutan
Lingkungan Untuk Masa Depan” yang diterbitkan oleh Kementerian
ESDM pada Mei 2020. Penulis dapat dihubungi melalui e-
mail candra.nugraha@gmail.com.
113
114
Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2021

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai