Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah konflik dan konsensus

Dosen Pengampu
Kiki Setyawati, S. Sos

Oleh Kelompok :

1. Rana Anissa (1936021009)


2. Indah Maulidia Rahma (1936021025)
3. Tasya Maharani (1936021036)
4. Natasya Tamaira (1936021045)
5. Rachmanda (1936021056)

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Papua Barat Daya merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Papua Barat.
Pemekaran ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat
Papua. Untuk mendukung upaya percepatan pembangunan Papua tersebut, menurut
Wapres, pemerintah telah menyusun Rencana Induk Percepatan Pembangunan Otonomi
Khusus Papua. Ia pun mengharapkan agar rencana induk ini didukung oleh struktur
birokrasi termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di dalamnya. Dengan rencana
pembentukan ini muncul beberapa permasalahan/konflik yang terjadi. Konflik tersebut
berhubungan dengan pemerintahan Papua Barat Daya nanti.
Konflik sendiri adalah pertentangan antarbanyak kepentingan, nilai, tindakan atau
arah, serta bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Johnson dan Duinker, 1993: 17).
Konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan dapat bersifat positif ataupun negatif.
Aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengidentifikasikan sebuah
proses pengelolaan dan sumber daya yang tidak bekerja secara efektif, mempertajam
gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman.
A. M. Ruslan (2001) mengatakan bahwa konflik dapat dipandang sebagai sesuatu
yang bersifat negatif ataupun positif. Konflik dipandang sebagai sesuatu yang bersifat
negatif bila diartikan percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Sementara itu, yang
memandang konflik sebagai sesuatu yang bersifat positif menyatakan bahwa konflik
adalah bagian dari pergerakan masyarakat dan konflik akan selalu ada dalam kehidupan
manusia. Pandangan positif ini berangkat dari keyakinan bahwa konflik berakar dalam
watak manusia. Dalam masyarakat, telah terbentuk suatu struktur dominasi dan
subordinasi sehingga ketidakadilan bisa berkembang dan meluas. Struktur ini pula yang
tidak memungkinkan terjadinya distribusi sumber daya secara adil. Mitchell et al. (2003)
juga mengatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang selalu ada atau inherent dalam
setiap masyarakat. Oleh karena itu, penulis menganalisa konflik yang terjadi di Papua
Barat Daya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik yang muncul setelah pembentukan Papua Barat Daya?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui konflik yang ada setelah pembentukan Papua Barat Daya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konflik yang Muncul Setelah Pembentukan Papua Barat Daya

Papua Barat Daya merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Papua Barat.
Dengan adanya hal ini menimbulkan konflik yang terjadi dalam perencanaan
pemerintahannya. DPR RI & Pemerintah Pusat pada 17 November 2022 telah
menetapkan UU tentang Papua Barat Daya walau terjadi penolakan oleh masyarakat
papua. Pemerintah menetapkan RUU Provinsi PBD tanpa mempertimbangkan aspirasi
rakyat Papua yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Kebijakan pemerintah hanya
akan berdampak pada konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Aksi-aksi penolakan yang
dilakukan hingga menelan korban jiwa adalah bentuk nyata bahwa rakyat Papua tidak
menghendaki kebijakan negara yang terkesan sepihak dan sarat kepentingan tersebut.

Walau sudah disahkan di UU 17 November 2022 tentang ibukota Papua Barat


Daya berada di Kota Sorong, tetapi saat ini tim pemekaran masih terus berupaya mencari
lokasi untuk membangun perkantoran yang akan menjadi pusat pemerintahan Provinsi
PBD. Ada beberapa tempat yang kini dalam pembahasan oleh tim pemekaran,
diantaranya di Kabupaten Sorong pada wilayah perbatasan Sorong dan Sorong Selatan
(wilayah Sub Suku Moi Salkhma) dan juga di wilayah Salawati (wilayah Sub Suku Moi
Sigin). Apabila rencana tim pemekaran mencari wilayah di luar Kota Sorong untuk
dijadikan ibu kota provinsi, maka dengan sendirinya mereka telah melanggar UU tentang
Provinsi PBD tersebut.

Rencana pembangunan ibu kota provinsi PBD telah mendapat penolakan dari
masyarakat adat Moi Salkhma di wilayah Sayosa Raya, yang terdiri dari Distrik Sayosa,
Distrik Sayosa Timur, Distrik Maudus, Distrik Sunok, Distrik Klawak, Distrik Konhir,
Distrik Salkma, dan Distrik Wemak. Adapun beberapa hal yang melatarbelakangi
penolakan mereka. Pertama, dengan tegas mereka menyatakan bahwa wilayah adat
mereka merupakan pusat pendidikan adat bagi suku Moi terutama sub suku Moi Salkma,
sehingga harus dilindungi oleh semua pihak. Kedua, pembangunan ibu kota provinsi PBD
akan mengancam ruang hidup, termasuk tanah dan hutan adat mereka.
Masyarakat adat di kampung persiapan Garma, Distrik Sayosa Timur, Kabupaten
Sorong pada 27 November 2022 telah mengadakan diskusi untuk merespons rencana tim
pemekaran PBD dan pemerintah yang hendak menjadikan wilayah adat mereka sebagai
lokasi ibu kota Provinsi PBD. Mereka juga dengan tegas menyatakan menolak rencana
tersebut karena wilayah adat mereka adalah pusat pendidikan adat suku Moi, sehingga
tidak bisa diperuntukan untuk pembangunan lain. Ketersediaan sumber daya manusia
juga menjadi alasan lain mengapa mereka menolak. Penduduk kampung persiapan Garma
merupakan warga yang berasal dari kampung Sailala dan kampung Kladuk Kabupaten
Sorong.

Lokasi ibu kota Provinsi PBD yang mereka rencanakan di Salawati (Moi Sigin)
merupakan wilayah eks PT Inti Kebun Lestari (IKL). PT IKL merupakan perusahaan
yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit yang izinnya telah dicabut oleh Bupati
Sorong pada 2021 lalu. Status tanah pada wilayah ini belum jelas, apakah sudah menjadi
milik masyarakat adat atau masih dikuasai oleh pemerintah. Karena itu, pemerintah harus
terlebih dahulu menjelaskan status tanah tersebut. Pemerintah berdalih bahwa pemekaran
dilakukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran
menurut mereka sebagai upaya pemerintah mengatasi ketimpangan sosial di Papua.
Rakyat Papua justru melihatnya dari sudut yang berbeda bahwa mereka menilai
pemekaran adalah politik pemerintah Indonesia untuk menguasai seluruh tanah dan
kekayaan alam Papua, dan pemekaran akan mendatangkan migran dalam jumlah yang
besar.

Selain itu terdapat konflik lainnya yang terjadi. Filep Wamafma menekankan
bahwa poin utama pembahasan pemerintahan PBD adalah batas dan cakupan wilayah
untuk dibahas. Komisi II DPR dalam draftnya menilai cakupan wilayah Provinsi Papua
Barat Daya itu meliputi Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan,
Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Maybrat. Sedangkan
terkait dua kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana masih
ada perdebatan di masyarakat dari kedua kabupaten tersebut. Sebagian masyarakat ingin
berada di Provinsi Papua Barat Daya, sementara sisanya tetap ingin berada di Papua
Barat.
Berkaitan dengan cakupan wilayah, lanjut Paulus, pihaknya telah mendapatkan
dua surat, baik dari masyarakat adat Bomberay di Fakfak maupun juga dari masyarakat
adat di Kaimana. Adapun, surat dari masyarakat adat Kaimana masih di dalam amplop
dan belum dibaca. Namun, surat dari masyarakat adat Bomberay sudah dibuka. Di dalam
surat tersebut, disampaikan, secara prinsip, terkait penggabungan Fakfak ke Papua Barat
Daya, masyarakat adat menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada pemerintah
pusat. Namun, masyarakat adat Bomberay meminta agar pusat juga memfasilitasi
pertemuan antara pemangku kepentingan wilayah adat Bomberay dan pemangku
kepentingan di Provinsi Papua Barat Daya. Tujuannya untuk mencapai pemahaman
bersama.

Setelah DOB Papua Barat Daya ditetapkan, pemerintah pusat dan DPR juga
diharapkan segera memproses pembentukan DOB Kabupaten Kokas dan Kota Fakfak.
Ini, disebutnya, dalam rangka mempersiapkan pembentukan DOB Bomberay Raya ke
depan. Bupati Fakfak Untung Tamsil membenarkan soal aspirasi masyarakat Fakfak yang
meminta kepada pemerintah pusat agar segera merealisasikan pembentukan Provinsi
Bomberay Raya. Hal ini diklaim atas dasar pertimbangan kesepahaman sejarah, filosofi,
ikatan emosional, dan sosiologis sebagai daerah otonomi baru Provinsi Bomberay Raya.

Dapat disimpulkan alasan fakfak tidak bergabung ke Papua Barat Daya. Pertama
dari segi pendekatan wilayah adat, menurutnya, Fakfak dan Kaimana punya wilayah adat
sendiri yakni Bomberai. Alasan kedua, dari sejarah pembentukan wilayahnya, antara
Sorong dan Fakfak justru Fakfak yang lebih tua sebagai kabupaten. Alasan ketiga adalah
karena Fakfak dan Kaimana lebih dekat dengan Manokwari daripada Sorong ssehingga
akses apapun lebih mudah kesana. Keempat, dari jumlah penduduk, perkiraan jumlah
penduduk Papua Barat sebelum dimekarkan itu 1,2 juta orang. Apabila Fakfak dan
Kaimana dipindahkan maka, Papua Barat hanya tinggal penduduk sekitar 200 ribu orang.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam UU 17 November 2022 tentang ibukota Papua Barat Daya berada di Kota
Sorong, tetapi saat ini tim pemekaran masih terus berupaya mencari lokasi untuk
membangun perkantoran yang akan menjadi pusat pemerintahan Provinsi PBD. Ada
beberapa tempat yang kini dalam pembahasan oleh tim pemekaran, diantaranya di
Kabupaten Sorong pada wilayah perbatasan Sorong dan Sorong Selatan (wilayah Sub
Suku Moi Salkhma) dan juga di wilayah Salawati (wilayah Sub Suku Moi Sigin).
Rencana pembangunan ibu kota provinsi PBD telah mendapat penolakan dari masyarakat
adat Moi Salkhma di wilayah Sayosa Raya, yang terdiri dari Distrik Sayosa, Distrik
Sayosa Timur, Distrik Maudus, Distrik Sunok, Distrik Klawak, Distrik Konhir, Distrik
Salkma, dan Distrik Wemak.
Rakyat Papua justru melihatnya dari sudut yang berbeda bahwa mereka menilai
pemekaran adalah politik pemerintah Indonesia untuk menguasai seluruh tanah dan
kekayaan alam Papua, dan pemekaran akan mendatangkan migran dalam jumlah yang
besar. Komisi II DPR dalam draftnya menilai cakupan wilayah Provinsi Papua Barat
Daya itu meliputi Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan,
Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Maybrat. Berkaitan
dengan cakupan wilayah, lanjut Paulus, pihaknya telah mendapatkan dua surat, baik dari
masyarakat adat Bomberay di Fakfak maupun juga dari masyarakat adat di Kaimana.
Namun, masyarakat adat Bomberay meminta agar pusat juga memfasilitasi pertemuan
antara pemangku kepentingan wilayah adat Bomberay dan pemangku kepentingan di
Provinsi Papua Barat Daya.
3.2 Saran
Berkaitan dengan makalah ini, maka saran dalam makalah ini adalah:
Pemerintah agar dapat menyelesaikan konflik yang ada dan yang terjadi di dalam
penetapan Kota baru Papua Barat Daya tersebut. Pemerintah dapat memberikan jalan
tengah dalam konflik tersebut dan dapat mendengarkan aspirasi-aspirasi masyarakat
papua yang tidak setuju dengan pemekaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/amp/s/suarapapua.com/2022/11/30/rencana-bangun-ibu-kota-provinsi-
pbd-ancam-hilangnya-hutan-dan-tanah-masyarakat-adat-moi-di-kabupaten-sorong/
%3famp_markup=1

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/40418/t/
Tiga+Isu+Krusial+Dalam+Pembahasan+Panja+RUU+Provinsi+Papua+Barat+Daya

https://m.merdeka.com/peristiwa/alasan-kabupaten-kaimana-dan-fakfak-tidak-masuk-ke-provinsi-
baru-papua-barat-daya.html

https://dpd.go.id/daftar-berita/dim-ruu-pbd-dibahas-besok-senator-filep-tekankan-sejumlah-poin-
penting

https://www.wapresri.go.id/pembentukan-provinsi-papua-barat-daya-upaya-percepat-
pembangunan-kesejahteraan-papua/

Anda mungkin juga menyukai