Anda di halaman 1dari 3

Saat saya berusia 6 tahun, ayah saya pernah mengajak kami sekeluarga untuk liburan.

Ia
memberikan kami beberapa pilihan destinasi. Saya adalah orang terakhir yang memilih destinasi yang
menurutku cocok untuk keluargaku. Tanpa saya sadari, itu adalah pertama kalinya saya membuat
keputusan yang bisa berdampak kepada banyak orang.
Dalam decision making, seringkali kita dihadapkan dengan banyak hal yang mungkin akan
mempengaruhi keputusan final kita. Hal sesimpel menentukan destinasi liburan juga termasuk ke
dalam decision making. Bagi beberapa orang, decision making mungkin membutuhkan waktu yang
lama dan terasa sulit. Apabila kita perhatikan dengan baik, sebagian besar orang yang lebih tua
mampu membuat keputusan dengan lebih cepat dan rasional. Mereka memiliki pengalaman yang
lebih banyak ketimbang orang yang lebih muda. Pengalaman yang dimiliki bisa dijadikan acuan
dalam pengambilan keputusan. Mereka tahu mana hal yang baik dan buruk dengan lebih akurat
karena pernah dihadapkan dengan situasi yang mirip atau bahkan sama sebelum mengambil
keputusan. Keputusan yang diambil pun akan lebih baik karena lebih rasional dan memiliki banyak
hal yang dijadikan acuan, jadi bukan hanya keputusan yang diambil karena iseng.
Namun pengalaman yang banyak tidak selalu dimilki oleh orang yang lebih tua. Ada
beberapa orang dengan usia muda namun memiliki banyak pengalaman dan bahkan mampu
mengambil keputusan dengan lebih baik. Dalam beberapa kasus, umur dan persepsi individual
memang berperan saat mengambil keputusan. Faktor usia tidak bisa diabaikan begitu saja. Saat
dihadapkan dengan situasi yang lebih sulit dan krusial, usia memegang peranan penting dalam
membuat keputusan. Oleh karena itu, sebagian besar anak kecil akan menunggu keputusan dari orang
tuanya daripada membuat keputusan sendiri. Contohnya saat kita sakit, berapa banyak dari kalian
yang mampu menjawab pertanyaan dari dokter dan membuat sebuah keputusan? Hampir semua orang
menunggu atau meminta orang tua mereka untuk menjawab sang dokter dan membuat keputusan.
Sebenarnya kita juga bisa membuat keputusan, hanya saja orang yang lebih muda lebih mempercayai
keputusan yang dibuat oleh orang yang dianggap memiliki lebih banyak pengalaman dan berusia lebih
tua.
Pengambilan keputusan di masa krisis seperti saat pandemi baru muncul juga lebih banyak
dilakukan oleh orang dewasa ketimbang orang yang lebih muda. Mungkin hal ini bisa dijadikan
sebagai contoh agar kita bisa lebih mudah memahaminya. Saat pandemi muncul, saya sudah berusia
cukup untuk mengambil keputusan. Namun, saya tetap menunggu orang tua saya mengambil
keputusan atau minimal meminta saran dari mereka terkait keputusan apa yang perlu saya ambil. Saya
memutuskan melakukan hal itu bukan karena saya tidak bisa mengambil keputusan. Namun saya jauh
lebih mempercayai keputusan yang diambil berdasarkan sudut pandang dan persepsi yang mereka
miliki. Secara logis, orang tua saya memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak ketimbang
pengalaman yang saya miliki. Mereka sudah dihadapkan dengan manis dan pahitnya kehidupan
sehingga keputusan yang diambil oleh mereka lebih terpercaya untuk jangka panjang.
Tapi bukan berarti orang dengan usia lebih muda tidak bisa dan tidak pernah mengambil
keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan orang berusia lebih tua. Di beberapa situasi, orang
dengan usia lebih muda bisa mengambil keputusan dengan lebih baik. Sekarang banyak sekali inovasi
yang muncul. Orang yang berusia lebih muda mampu beradaptasi dengan lebih baik. Mereka lebih
memahami perubahan yang terjadi dengan lebih cepat. Alhasil, keputusan yang diambil bisa lebih
sesuai dengan kebutuhan pada masa itu dan lebih cepat.
Tetapi, terkadang terdapat orang yang merasa dirinya paling benar dan tidak mau
mendengarkan orang lain. Ego yang mereka miliki tinggi. Sebenarnya, memiliki ego bukanlah hal
yang salah namun di beberapa kondisi bisa menghambat seseorang dalam membuat keputusan. Orang
dengan ego tinggi tidak akan mau mendengarkan dan membiarkan orang lain memberi pendapat. Hal
tersebut sebenarnya baik dilakukan. Keputusan yang diambil akan lebih orisinal karena dibuat
berdasarkan sudut pandang, pengalaman, dan persepsi diri sendiri. Namun, apakah terpercaya?
Jawabannya adalah belum tentu. Kejadian tersebut lebih sering terjadi kepada orang yang lebih tua.
Orang yang lebih tua cenderung tidak mau mendengarkan pendapat dari orang yang lebih muda atau
orang yang dinilai memiliki pengalaman lebih sedikit. Oleh karena itu, banyak sekali kejadian dimana
orang tua tidak mau mendengarkan anaknya bukan karena mereka meremehkan anaknya, namun
karena mereka merasa dirinya jauh lebih benar dan berpengalaman.
Mungkin hampir semua orang pernah mengalami hal tersebut khususnya selama pandemi
berlangsung. Situasi pandemi membuat kita lebih sulit dalam membuat keputusan. Banyak sekali
faktor yang harus dijadikan pertimbangan dalam membuat keputusan. Apakah keputusan yang kita
buat akan mempengaruhi orang lain secara positif? Apakah kita sudah mengambil keputusan yang
tepat? Atau apakah keputusan yang kita buat sudah kayak?
Dalam pengambilan keputusan, banyak sekali hal yang bisa mempengaruhi keputusan yang
diambil. Itulah mengapa sebelumnya saya sempat berkata orang yang memiliki ego yang tinggi adalah
orang yang bisa mengambil keputusan orisinal meskipun belum tentu terpercaya. Di situasi pandemi,
keputusan yang dibuat tidak bisa asal-asalan. Keputusan yang dibuat perlu didasarkan pada hal yang
jelas.
Selain orang dengan usia lebih tua dan pengalaman lebih banyak, seseorang dengan
komitmen dan persepsi kuat yang menempel dengan dirinya biasanya bisa membuat keputusan
dengan baik. Komitmen dan persepsi kuat bisa dimiliki oleh siapapun bahkan anak kecil pun bisa
memilikinya. Sejak kecil, kita semua sudah dihadapkan dengan komitmen dan persepsi. Hal sesimpel
seperti kita mau menjaga mainan yang diberikan oleh orang tua bahkan bisa dianggap sebagai sebuah
komitmen. Tetapi komitmen dan persepsi yang dimiliki seseorang bisa menjadi bumerang.
Tergantung apakah komitmen dan persepsi yang dimiliki positif atau negatif. Hal tersebut memang
tidak bisa dinilai dari satu sudut pandang. Namun, ada beberapa kondisi dan situasi dimana penilaian
atas baik atau buruknya suatu hal adalah hal yang mutlak.
Komitmen yang positif akan sangat membantu seseorang dalam membuat keputusan.
Seseorang yang memiliki komitmen adalah orang yang memiliki pendirian yang kuat dan mampu
mengambil keputusan sendiri namun tetap terbuka dengan pendapat orang lain. Mereka mampu
mengambil keputusan dengan lebih akurat dan kredibel karena memiliki banyak sumber. Mereka
tidak terpacu dari satu sudut pandang saja. Sehingga keputusan yang dibuat bisa menjadi payung bagi
banyak orang karena bersifat universal. Akan ada banyak orang yang mendapatkan efek positif dari
pembuatan keputusan tersebut.
Selain hal yang telah dibahas diatas, terdapat satu hal yang juga bisa menjadi salah satu faktor
dalam pembuatan keputusan. Pernahkah anda membaca sebuah berita dan merasa berita tersebut
mendukung opini anda? Itu disebut dengan cognitive biases. Cognitive bias sebenarnya sangat lekat
dengan kehidupan sehari-hari terutama saat kita membuat sebuah keputusan. Cognitive biasa
sebenarnya bisa dikategorikan sebagai sebuah kesalahan yang terjadi di alam bawah sadar alias tanpa
kita sadari. Kesalahan tersebut membuat kita menafsirkan sebuah informasi dengan cara yang salah
dan mempengaruhi keakuratan dan rasionalitas kita dalam membuat sebuah keputusan. Namun,
cognitive bias bisa membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan efisien meski
tidak selalu benar.
Cognitive bias seseorang dapat dipengaruhi oleh mental shortcuts, emosi, dan juga tekanan
sosial. Sama dengan komitmen, cognitive bias bisa menjadi sebuah bumerang apabila penggunaannya
tidak tepat. Cognitive bias terdapat dua jenis yaitu conscious dan unconcious. Conscious bias adalah
bias yang dilakukan dengan intention. Kita sudah mengetahui tentang tindakan yang kita lakukan dan
dampak dari tindakan tersebut. Conscious bias biasanya bersifat positif. Hal inilah yang akan snagat
membantu dalam membuat sebuah keputusan yang baik. Conscious bias juga sangat sering kita temui
di kehidupan sehari-hari kita. Contohnya saat kita melihat makanan sehat, kita mengetahui jika
makanan tersebut baik untuk dikonsumsi dan memutuskan untuk mengkonsumsinya.

Anda mungkin juga menyukai