Anda di halaman 1dari 5

INTEGRATING RATIONAL AND NONRATIONAL MODELS

David Snowden dan Mary Boone mengkolaborasikan kedua model ini dengan mengindentifikasikan
4 jenis decision environtments dan metode yang efektif untuk setiap environments ini.

1. Kondisinya stabil, hubungan sebab-akibatnya jelas dan target terbaiknya itu mudah
ditentukan = rational model
2. Kondisi lebih rumit, hubungan sebab-akibat terlihat lumayan jelas namun mungkin ga
transparan, dan ada lebih dari satu keputusan yang bs diambil = rational model, tapi harus
dianalisis lebih dalam.
3. Kondisinya rumit, Cuma ada 1 keputusan yang paling bener, dan ada banyak hal yang
pengambil keputusan itu ga tau = harus eksperimen dulu coba2, diliat apa yang mungkin
terjadi klpake ini ato itu, dan menggabungkan ide2 kreatif mengenai pemecahan masalah.
4. Kondisinya sangat rumit, gada pola sebab-akibat, kondisinya bener2 ga stabil dan berubah
terus = harus buat order ato urutan mengenai mana dulu yang harus diurus, kemudian
menjadi aspek2 yang bisa dianalisis sebab akibatnya.

LO2

DECISION MAKING BIASES


Dalam membuat keputusan, kita bisa aja salah. Kesalahan dalam pengambilan keputusan ini sering
dikaitkan dengan JUDGEMENTAL HEURISTIC, yaitu sebuah rule of thumb ato metode dimana
seseorang itu membuat penilaian ato judgement terhadap suatu probability itu lebih simple.
Sebenarnya berguna untuk mengurangi uncertainty, tapi bisa juga membuat pengambilan keputusan
itu mengalami systematic errors.

1. Availability heuristic  kecenderungan si pengambil keputusan untuk mendasarkan


pengambilan keputusannya pada informasi2 yang ada di ingatan atau pengetahuan dia saja.
Saat Anda mencoba membuat keputusan, sejumlah peristiwa atau situasi terkait mungkin
segera muncul di garis depan pikiran Anda. Akibatnya, Anda mungkin menilai bahwa
peristiwa tersebut lebih sering atau mungkin terjadi daripada yang lain. Anda memberikan
kepercayaan yang lebih besar pada informasi ini dan cenderung melebih-lebihkan
kemungkinan dan kemungkinan hal serupa terjadi di masa depan. Misalnya, setelah melihat
beberapa laporan berita tentang pencurian mobil, Anda mungkin menilai bahwa pencurian
kendaraan jauh lebih umum daripada yang sebenarnya terjadi di daerah Anda. Abis pesawat
jatuh, jadi takut mau kemana2 naik pesawat. Liat berita tentang di laut orang diserang hiu,
jadi takut mau snorkling. POSITIFNYA Jenis heuristik ketersediaan ini dapat membantu dan
penting dalam pengambilan keputusan. Saat dihadapkan pada pilihan, kita sering
kekurangan waktu atau sumber daya untuk menyelidiki lebih dalam. Lebih banyak kata
awalan T atau K? Anda dapat mencoba menjawab pertanyaan ini dengan memikirkan
sebanyak mungkin kata yang dimulai dengan setiap huruf. Karena Anda dapat memikirkan
lebih banyak kata yang dimulai dengan t, Anda mungkin percaya bahwa lebih banyak kata
yang dimulai dengan huruf ini dibandingkan dengan k. Dalam hal ini, heuristik ketersediaan
telah memberi Anda jawaban yang benar.
2. Representativeness heuristic  keputusan diambil berdasarkan likelihood atau
kemungkinan dari kejadian yang terjadi. Seperti namanya representative atau perwakilan,
bias ini itu contohnya misal seorang HRD melihat bahwa 3 orang yang belakangan dia rekrut
itu bagus kinerjanya. Setelah diselidiki, mereka dari universitas A. jadilah orang HRD ini
rekrut orang dari universitas A lagi dengan pikiran bahwa oh lulusan universitas A ini bagus2,
padahal belum tentu kualitas lulusan2nya kan bisa di pukul rata. Orang HRD ini jadi terlalu
mentitikberatkan perekrutan pekerjanya pada “berasal dari uni mana si orang ini”, daripada
pada misalnya latar belakang keluarganya, nilainya selama di sekolah, pengalaman kerjanya,
dll. Terus kan kadang kita juga suka bilang misal “ini makanan beli di mana? Oh di resto A ya?
Ga mau ah, kemaren di resto itu makanannya ada yang kurang mateng, nti yang ini juga
begitu lagi.” Jadi kalo mau makan itu fokusnya ke “belinya dimana”, bukan ke misal cari yang
harga terjangkau, tempat deket, atau apa.
3. Confirmation bias  biasanya kl kita suka nyebutnya ‘orangnya batu, gamau terima
perubahan, terlalu terpaku sama apa yang dianggap benar’. kecenderungan untuk mencari
dan memilih bukti untuk mendukung keyakinan, dugaan atau hipotesis. Ini menyebabkan
individu cenderung untuk mengabaikan bukti atau peluang untuk mengumpulkan bukti yang
berpotensi bekerja untuk menghilangkan pandangan semacam itu. Bias semacam itu
memiliki efek mempertahankan keyakinan seseorang, yang mungkin mencakup pandangan
yang tidak benar, misalnya pandangan stereotip. Contohnya, kita mau beli suatu barang, kita
lebi cenderung mencari2 alasan kenapa kita harus beli itu, dan berusaha mengabaikan
alasan kenapa kita gaperlu beli itu. Stereotip = Sebagai contoh, bayangkan seseorang
memegang keyakinan bahwa orang kidal lebih kreatif daripada orang yang tidak kidal. Setiap
kali orang ini bertemu dengan orang yang kidal dan kreatif, mereka lebih mementingkan
bukti yang mendukung apa yang sudah mereka yakini. Orang ini bahkan mungkin mencari
bukti yang lebih jauh mendukung kepercayaan ini sambil mengabaikan contoh-contoh yang
tidak mendukung gagasan itu.
4. Anchoring bias  keputusan yang diambil terpengaruh atau terkena bias karena informasi
yang pertama kali diterima. Contohnya, kalau kita ditanya “Apakah populasi orang Indonesia
itu lebih besar dari 100juta jiwa? Menurutmu berapa populasi orang Indonesia?”
umpamakan kita jawab iya, lebih dari 100juta jiwa, dan Ketika akan jawab pertanyaan kedua
mengenai Kirakira berapa jumlahnya kita jawab mungkin 120juta? 150juta? Dimana kl diliat,
kit aitu masih terpaku pada angka 100juta yang disebut di awal. Padahal bisa jawab 200juta,
atau 270juta sekalian yang mendekati benar. Contoh lain, misal kita beli baju pertama
harganya 500rb, lalu beli baju kedua harganya 100rb. Kita bisa mikir oh baru kedua murah
ya, padahal cb bayangin kl kita pertama liat tu baru yang 100rb. Kita bisa aja ga mikir itu
murah. Jadi keputusan atau penilaian kita itu kek di jangkar sama apa yang uda kita ketahui
lebih dulu.
5. Overconfidence bias.  Overconfidence adalah jenis bias yang mengarahkan pada
kesalahan prediksi karena orang yang mengalami overconfidence akan merasa mampu
melakukan analisis dan memiliki pengetahuan yang pada kenyataannya tidaklah demikian.
Oleh karena itu, bias ini sangat berbahaya apabila dialami oleh investor. Karena akan
mengarahkan pada perilaku sok tahu dan sok pintar sehingga dalam proses prediksi untuk
membuat keputusan transaksi akan keliru. Contoh lain = kita mo ujian ga belajar karena
merasa bisa, padahal itu Cuma di perasaan aja kenyataan besok pas ngerjain ternyata oh kok
susah ya, keknya pas waktu latian minggu lalu bisa deh.
6. Hindsight bias  merupakan penyimpangan dalam judgment, dimana indivdiu menilai
bahwa sebenarnya apa yang sudah terjadi dapat diperkirakan sebelumnya, sekalipun pada
kenyataannya tidak tersedia informasi yang memadai untuk membuat perkiraan di waktu
itu. Contohnya: minggu depan dosen kita bilang akan ada ujian dadakan di hari selasa, tapi
belum tentu. Pas seninnya, kita uda nimbang2 ni mau belajar buat besok kl tbtb quiz, ato
mending tidur cepet aja ya? Iseng kita tanya sama temen kita, eh beberapa orang jawabnya
“ah besok juga dosennya lupa, tidur aja”, dan kita tidur. Eh besokannya ternyata jadi quiz,
dan kita langsung mikir “ih uda aku duga bakal quiz. tau gitu aku belajar dah, ngapain aku
dengerin temen2”. Padahal kan hari sebelumnya kita belom tau dan bahkan ga tau sama
sekali si dosen ini bakal jadi quiz atau ngga.
7. Framing bias  manusia tidak sepenuhnya merupakan makhluk yang logis yang bisa
menentukan benar-salah setiap saat. Ada masa dimana manusia berada pada mode “Auto
Pilot” yaitu kondisi malas berpikir sehingga melihat sesuatu hanya berdasarkan informasi
tersedia dan cenderung mengambil pilihan yang memberikan kenyamanan kognitif. Apa itu
kenyamanan kognitif? Dalam konteks ini mungkin saya bisa membantu menjelaskan melalui
3 kata awam: “gak pake mikir”. Emosi seseorang cenderung menginginkan agar otak kita
berada dalam zona nyaman kognitif. Pemanfaatan Framing Effect tentu tidak akan 100%
efektif pada setiap orang karena tiap orang memiliki ciri khas tertentu dalam mengelola
konsentrasinya. Saat menghadapi pertanyaan ter-“Frame”, orang yang kebetulan/sengaja
meluangkan konsentrasi terhadap pertanyaan yang diajukan tentu akan memberikan
jawaban yang lebih rasional. Beberapa orang yang berbakat secara alamiah juga memiliki
kontrol konsentrasi yang lebih baik sehingga lebih terhindar dari framing effect. CONTOH
LIAT BUKU HALAMAN 344.
Pada sebuah artikel yang dipublikasikan tahun 2003, jumlah donasi donor organ mencapai
100% untuk Austria dibandingkan hanya 12% di Jerman. Jumlah donasi di Swedia sebesar
86% dibandingkan dengan Denmark yang hanya 4%. Menurut Kahenman, perbedaan yang
signifikan ini dikarenakan penggunaan framing effect pada format formulir pengajuan Surat
Ijin Mengemudi (SIM) dimana kesediaan menjadi donor organ jika meninggal dalam
kecelakaan menjadi salah satu pertanyaannya.
Contoh dibawah menunjukan bagaimana suatu pertanyaannya pada formulir SIM di “Frame”
(diarahkan) agar sesuai dengan keinginan pembuat pertanyaan.
Pada negara dengan tingkat donor tinggi, formulir SIM disertai dengan pilihan centang bagi
mereka yang tidak bersedia mendonasikan organnya jika meninggal dalam kecelakaan. Jika
mereka tidak mencentang kotaknya (Opt-out), mereka dianggap bersedia menjadi donor
organ. Saya bayangkan pertanyaanya seperti ini :
“Centang kotak ini jika anda tidak bersedia mendonasikan organ ………”
pada negara dengan tingkat donor rendah, pilihan centang diberikan untuk menunjukan
kesediaan mendonorkan organ. Mereka baru dianggap beresedia jika mereka mencentang
kotak pilihannya (Opt-in). Mungkin gambaran pertanyaannya seperti ini :
“Centang kotak ini jika anda bersedia mendonasikan organ…”
Daniel mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah donor pada formulir tipe Opt-in, Opt-Out
disebabkan karena otak kita sedang dalam mode malas berpikir sehingga cenderung
mengikuti alur jawaban umum (Kahneman membagi mode operasi otak menjadi Sistem 1
dan Sistem 2). Seseorang baru akan mencentang kotak jika dia sudah menentukan
pilihannya. Saat pemohon dihadapkan pada pertanyaan yang tidak mereka antisipasi (seperti
pilihan untuk menjadi donor organ), mereka harus mengalokasikan sumber daya pikiran
untuk membaca dan mencerna pertanyaan untuk memilih mencentang atau tidak. Semakin
rumit informasi yang harus dicerna, semakin malas seseorang untuk berpikir sehingga
akhirnya menghindari untuk mencentang kotak. Perasaan ini bisa terjadi sangat cepat dan
tanpa disadari sehingga perilaku seseorang untuk tidak mencentang saya anggap bisa dilihat
seperti sebuah naluri daripada proses decision making.
8. Escalation of commitment bias  kecenderungan untuk tetap berada pada posisi
mempertahankan dan melanjutkan suatu proses ato tindakan yang sebenernya ga effective
atau ga berguna dan gaakan menjadikan sesuatu itu berbalik dari buruk ke baik, karena kita
berpikir mo digimanain juga keadaan buruknya gaakan bisa dikelarin atau akan jadi lebih
ribet kalo kita ganti keputusan. Intinya dia takut untuk memulai dari awal karena banyaknya
ketidakpastian yang justru dihadapi karena memulai Kembali. Contohnya, kita ada di suatu
pekerjaan, uda bertahun2 tapi kita sebenernya benci bgt sama kerjaan itu. Walopun begitu,
kita tetep kek paksain diri kita untuk bertahan di kerjaan itu karena kita mikir uda berapa
banyak uang dan waktu yang kita invest di kerjaan kita sekarang, dan gimana susahnya,
ribetnya, belom kemungkinan gagalnya kalo kita keluar dari kerjaan itu untuk nyari kerjaan
baru yang kita lebih suka.

Anda mungkin juga menyukai