Anda di halaman 1dari 4

BERFIKIR KRITIS

 Video 1

Apa Itu Keterampilan Berfikir Kritis? Mengapa Kita Perlu Menguasainya?.


Hidup di negara demokratis seperti Indonesia adalah sebuah berkah. karena kita dibebebas untuk
berbicara, berpendapat, dan menyebarkan atau mencari informasi. Boleh dibilang kita tidak
pernah kekurangan informasi, apalagi dengan kondisi teknologi informasi dan komunikasi yang
sudah semaju sekarang.
Tapi, berkah tersebut bisa juga menjadi bencana. Kalau tidak pandai mengolah informasi yang
kita terima, kita bisa lumpuh karena bingung, tidak tahu mana informasi yang bisa dipercaya atau
tidak. Lebih buruk lagi, kita bisa tertipu dan akhirnya melakukan kesalahan dalam mengambil
keputusan penting.
Fungsi keterampilan berpikir kritis adalah menjadi “perisai” kita dalam melindungi diri dari
informasi yang menyesatkan, dan “pegangan” dalam kita mengambil keputusan.

Apa Arti Berpikir Kritis?


Seorang pemikir kritis adalah orang yang berpikir secara sistematis, logis, dan objektif dalam
menilai sesuatu atau dalam membuat keputusan; bukan orang yang suka mencari-cari kelemahan
sesuatu.
Beberapa contoh ciri-ciri pemikir kritis adalah tidak mudah mempercayai informasi yang tidak
jelas sumbernya, dan tidak mudah tersinggung ketika dikritik, dan selalu menimbang sisi baik
dan buruk sebelum memutuskan sesuatu.

 Video 2

Langkah Pertama Melindungi Diri Dengan Logika.


Cara kerja default atau bawaan otak manusia adalah berpikir instan, dangkal, dan umumnya
sangat dipengaruhi oleh emosi. Cara ini disebut pemikiran Sistem 1.
Sistem 1 membuat penilaian instan terhadap informasi apa pun tanpa pemikiran mendalam. Jika
tanggapan kita terhadap sebuah informasi dibentuk Sistem 1, maka kualitas tanggapan kita patut
diragukan.
Tapi, otak kita juga mampu berpikir mendalam, sistematis, dan perlahan. Ini disebut pemikiran
Sistem 2.
Saat menggunakan Sistem 2, kita melakukan usaha ekstra untuk menyerap dan menilai informasi
secara rasional.
Kebiasaan yang dapat dilatih untuk memperkuat Sistem 2, yaitu adalah kebiasaan untuk
bertanya. Setelah membaca atau mendengar sebuah pernyataan, kita harus menanyakan beberapa
hal agar dapat menyikapi atau menanggapinya dengan kritis.
Apa kita sudah betul-betul paham arti atau definisi setiap kata di dalam informasi yang kita
terima? Kadang kita merasa sudah paham perkataan seseorang karena istilah yang dipakainya
sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tapi bisa saja ternyata maksudnya sangat berbeda
dari yang kita kira.

 Video 3

Kita perlu bertanya tentang definisi istilah yang dipakai dan konteks di balik pernyataan itu.
Dengan membiasakan diri bertanya mengenai hal tersebut,
kita mengembangkan kemampuan untuk berpikir dengan lebih teliti.
Lalu, setelah kita paham definisi dan konteks,
apa langkah selanjutnya untuk mengevaluasi sebuah pernyataan?
Nah, agar dapat menentukan sikap, kita membutuhkan kemampuan untuk menilai dan menyusun
argumen.
Tentunya, kemampuan menilai argumen tidak hanya digunakan untuk menyanggah orang lain,
namun justru harus lebih sering kita lakukan ke kita sendiri.
Ketika mendengar kata “argumen”, mungkin terbayang dua pihak yang sedang cekcok atau adu
mulut.
Padahal, argumen berbeda dengan adu mulut.
Dalam adu mulut, satu pihak percaya suatu hal, dan pihak lain percaya hal yang berbeda.
Sesungguhnya argumen adalah serangkaian kalimat yang bersifat persuasif
atau bertujuan mengubah pandangan orang terhadap suatu hal.
Misalnya, mengubah pandangan dari tidak setuju menjadi setuju,
dari pilihan A menjadi pilihan B, atau dari tidak yakin menjadi yakin.
Yang membedakan argumen dari opini biasa adalah argumen harus terdiri dari beberapa kalimat.
Ada kalimat yang menjadi kesimpulan,
dan ada satu atau beberapa kalimat yang dijadikan alasan atau dasar dari kesimpulan itu.
Kalimat yang menjadi alasan atau dasar dinamakan juga premis.
Oleh karena itu, opini seseorang tentang sebuah topik belum tentu dapat disebut sebagai
argumen.
Opini baru menjadi sebuah argumen jika memiliki premis-premis yang mendukung opini
tersebut.
Mari kita lihat contoh kasus berikut:
Rika berkata,
“Menurut saya, solusi radikalisme adalah memperkuat pengawasan aparat terhadap masyarakat.”
Kemudian Budi menanggapi,
“Saya tidak setuju. Menurut saya, solusi radikalisme adalah peningkatan kualitas pendidikan.”
Perbedaan pendapat antara Budi dan Rika tadi adalah “adu mulut”,
karena keduanya tidak menyampaikan alasan di balik opini masing-masing.
Akan tetapi, jika Budi menambahkan satu kalimat sederhana sehingga pernyataannya menjadi,
“Solusi radikalisme adalah peningkatan kualitas pendidikan, karena banyak kelompok radikal
merekrut mereka yang berpendidikan rendah,”
maka pendapatnya dapat dikategorikan sebagai argumen.
Kita bisa setuju atau tidak setuju dengan kalimat tersebut, namun itu adalah contoh suatu
argumen.
Salah satu ciri lain dari pernyataan yang bukan argumen adalah jika pernyataan tersebut tidak
dapat diperdebatkan.
Karena itu, hal-hal berikut tidak dapat disebut sebagai argumen:
Pertama, fakta, contohnya “air tidak memiliki warna, bau, maupun rasa’;
Kedua, deskripsi, seperti ‘langit hari ini cerah dan tidak berawan’;
dan yang terakhir, penjelasan, misalnya tumbuhan membuat udara menjadi sejuk di siang hari
melalui proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen’.
Masih ingat premis dan kesimpulan yang membentuk sebuah argumen?
Proses menarik kesimpulan dari premis-premis disebut penalaran.
Kita akan mempelajari dua jenis penalaran untuk menyusun argumen,
yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran induktif.
Dalam penalaran dedukif, jika semua premis benar atau sesuai fakta, maka kesimpulan yang
diambil pasti benar juga.
Mari kita lihat contoh premis-premis dan kesimpulan berikut:
Semua murid yang mendapat nilai di bawah 60 harus mengikuti remedial.
Nilai Ridwan 45. Nilai Santoso 30. Nilai Irma 58.
Kesimpulannya, Ridwan, Santoso, dan Irma harus mengikuti remedial.
Sedangkan, dalam penalaran induktif, walaupun premis-premis yang kita miliki sesuai fakta,
kesimpulan yang kita ambil belum tentu benar.
Misalnya, mari kita cermati premis-premis dan kesimpulan berikut:
Dinda sekoah di SMA 1001, ia pandai matematika. Satria sekolah di SMA 1001, ia pandai
matematika.
Dan Wawan sekolah di SMA 1001, ia pandai matematika.
Kesimpulannya, anak-anak yang bersekolah di SMA 1001 pandai matematika.
Nah, kesimpulan ini belum tentu benar, meskipun premis-premisnya sesuai fakta.
Ini adalah contoh penalaran induktif.

Anda mungkin juga menyukai