Video 1
Video 2
Video 3
Kita perlu bertanya tentang definisi istilah yang dipakai dan konteks di balik pernyataan itu.
Dengan membiasakan diri bertanya mengenai hal tersebut,
kita mengembangkan kemampuan untuk berpikir dengan lebih teliti.
Lalu, setelah kita paham definisi dan konteks,
apa langkah selanjutnya untuk mengevaluasi sebuah pernyataan?
Nah, agar dapat menentukan sikap, kita membutuhkan kemampuan untuk menilai dan menyusun
argumen.
Tentunya, kemampuan menilai argumen tidak hanya digunakan untuk menyanggah orang lain,
namun justru harus lebih sering kita lakukan ke kita sendiri.
Ketika mendengar kata “argumen”, mungkin terbayang dua pihak yang sedang cekcok atau adu
mulut.
Padahal, argumen berbeda dengan adu mulut.
Dalam adu mulut, satu pihak percaya suatu hal, dan pihak lain percaya hal yang berbeda.
Sesungguhnya argumen adalah serangkaian kalimat yang bersifat persuasif
atau bertujuan mengubah pandangan orang terhadap suatu hal.
Misalnya, mengubah pandangan dari tidak setuju menjadi setuju,
dari pilihan A menjadi pilihan B, atau dari tidak yakin menjadi yakin.
Yang membedakan argumen dari opini biasa adalah argumen harus terdiri dari beberapa kalimat.
Ada kalimat yang menjadi kesimpulan,
dan ada satu atau beberapa kalimat yang dijadikan alasan atau dasar dari kesimpulan itu.
Kalimat yang menjadi alasan atau dasar dinamakan juga premis.
Oleh karena itu, opini seseorang tentang sebuah topik belum tentu dapat disebut sebagai
argumen.
Opini baru menjadi sebuah argumen jika memiliki premis-premis yang mendukung opini
tersebut.
Mari kita lihat contoh kasus berikut:
Rika berkata,
“Menurut saya, solusi radikalisme adalah memperkuat pengawasan aparat terhadap masyarakat.”
Kemudian Budi menanggapi,
“Saya tidak setuju. Menurut saya, solusi radikalisme adalah peningkatan kualitas pendidikan.”
Perbedaan pendapat antara Budi dan Rika tadi adalah “adu mulut”,
karena keduanya tidak menyampaikan alasan di balik opini masing-masing.
Akan tetapi, jika Budi menambahkan satu kalimat sederhana sehingga pernyataannya menjadi,
“Solusi radikalisme adalah peningkatan kualitas pendidikan, karena banyak kelompok radikal
merekrut mereka yang berpendidikan rendah,”
maka pendapatnya dapat dikategorikan sebagai argumen.
Kita bisa setuju atau tidak setuju dengan kalimat tersebut, namun itu adalah contoh suatu
argumen.
Salah satu ciri lain dari pernyataan yang bukan argumen adalah jika pernyataan tersebut tidak
dapat diperdebatkan.
Karena itu, hal-hal berikut tidak dapat disebut sebagai argumen:
Pertama, fakta, contohnya “air tidak memiliki warna, bau, maupun rasa’;
Kedua, deskripsi, seperti ‘langit hari ini cerah dan tidak berawan’;
dan yang terakhir, penjelasan, misalnya tumbuhan membuat udara menjadi sejuk di siang hari
melalui proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen’.
Masih ingat premis dan kesimpulan yang membentuk sebuah argumen?
Proses menarik kesimpulan dari premis-premis disebut penalaran.
Kita akan mempelajari dua jenis penalaran untuk menyusun argumen,
yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran induktif.
Dalam penalaran dedukif, jika semua premis benar atau sesuai fakta, maka kesimpulan yang
diambil pasti benar juga.
Mari kita lihat contoh premis-premis dan kesimpulan berikut:
Semua murid yang mendapat nilai di bawah 60 harus mengikuti remedial.
Nilai Ridwan 45. Nilai Santoso 30. Nilai Irma 58.
Kesimpulannya, Ridwan, Santoso, dan Irma harus mengikuti remedial.
Sedangkan, dalam penalaran induktif, walaupun premis-premis yang kita miliki sesuai fakta,
kesimpulan yang kita ambil belum tentu benar.
Misalnya, mari kita cermati premis-premis dan kesimpulan berikut:
Dinda sekoah di SMA 1001, ia pandai matematika. Satria sekolah di SMA 1001, ia pandai
matematika.
Dan Wawan sekolah di SMA 1001, ia pandai matematika.
Kesimpulannya, anak-anak yang bersekolah di SMA 1001 pandai matematika.
Nah, kesimpulan ini belum tentu benar, meskipun premis-premisnya sesuai fakta.
Ini adalah contoh penalaran induktif.