Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

BERPIKIR KRITIS

1.1. Apa itu berpikir kritis
Berpikir kritis tidak dilahirkan tetapi dibentuk. Disiplin berpikir kritis adalah kunci
menjadi seorang pemikir kritis. Memiliki sejumlah pengetahuan tidak cukup untuk menjadi
seorang pemikir kritis. Belajar berpikir kritis adalah belajar tentang cara berpikir itu sendiri.
Belajar berpikir kritis bukan menyangkut apa-nya tetapi tentang bagaimana-nya materi,
informasi, pengetahuan yang diperoleh. Bahkan bagaimana menerima, menilai, menimbang dan
memutuskan sesuatu. Intinya adalah bagaimana seseorang berpikir hingga mendapat pengertian
dan makna yang paling tinggi.

Acap kali berpikir kritis diartikan sempit, negatif bahkan sesuatu yang kurang etis.
Misalnya ketika seorang mahasiswa membantah pendapat dosen. Atau ketika mahasiwa
demonstrasi menentang kenaikan harga BBM. Di sini berpikir kritis diartikan tanggapan atau
perlawanan terhadap suatu keputusan atau gagasan, jadi hanya sebuah istilah umum yang
menunjuk keahlian kognitif untuk mencapai suatu makna tertinggi, untuk mencapai tujuan,
keputusan, ideologi, atau tujuan politik. Berpikir kritis lebih luas dari itu.

1.2. Standar berpikir kritis.
Berpikir kritis diatur oleh disiplin berpikir dengan standar intelektual yang jelas. Standar inilah
yang menjadi norma dan mengatur kita dalam berpikir kritis. Di antara standar intelektual
penting adalah: klarifitas, presisi, akurasi, relevansi, konsistensi, kebenaran logis, kelengkapan,
dan fairness.

Klarifitas, adalah kejelasan dari suatu ungkapan, pengertian, konsep, gagasan sehingga
kita dapat memahaminya secara objektif. Dapat terjadi bahwa kita mengerti suatu persoalan,
suatu ungkapan, informasi secara samar-samar dan dengan demikian hanya sebagian dari
keseluruhan yang kita tahu. Pada hal kita memerlukan pemahaman yang terang, objektif dan
komprehensif apa yang dikatakan seseorang itu sebelum kita mengevaluasinya. Dalam profesi
dokter -tepatnya hubungan dokter-pasien- kepentingan itu sangat jelas; bagaimana seorang
dokter mengambil keputusan medis jika ia tidak mempunyai informasi yang memiliki klarifitas
tentang pasien ?. Namun inilah persoalannya, kadang-kadang pasien tidak mampu
mengungkapkan dengan jelas apa yang mereka alami. Kesulitan ini dapat juga terjadi karena
kemalasan, ketidak seriusan, ketidakpedulian, atau kurangnya kemampuan atau ketidak
berdayaan. Dalam hal inilah klarifikasi diperlukan.

Presisi, adalah kebutuhan yang paling menentukan dalam berbagai hal terutama dalam
kerja teknologi tinggi. Proses dan hasil-hasil teknologi tinggi ditandai dengan presisi tinggi. Kita
dapat menduga apa yang terjadi jika presisi tidak tercapai dalam pekerjaan menngambil
keputusan medis oleh seorang dokter, membedah, ketika dokter memberikan resep kepada
pasien, dalam program astronout, dalam menjatuhkan vonis oleh hakim, dan berbagai pekerjaan
dalam bermacam-macam profesi. Apa yang diperlukan dalam membentuk pemikiran kritis
adalah komitmen terhadap presisi. Penggunaan kata yang kurang tepat misalnya dapat
mengaburkan pendapat. Tetapi penggunaan kata yang tepat akan memudahkan kita merumuskan
konsep, gagasan, idee sehingga mampu mengungkapkan apa yang kita inginkan. Oleh karena itu
dibutuhkan kehati-hatian dan pengamatan yang tinggi, lalu dengan proses penalaran logika kita
memutuskan sesuatu.

Akurasi, contoh yang paling mudah adalah komputer, data yang masuk itulah yang
keluar (input =output). Jika kita memasukkan data yang salah maka data yang salah itu juga yang
keluar dan sebaliknya, jika kita memasukkan data yang benar itulah juga data yang keluar.
Konon, salah satu sebab kekalahan Amerika dalam perang Vietnam adalah tidak akurasinya
informasi. Akibatnya keputusan yang diambil berpotensi salah.

Relevansi, sangat penting bagi pekerjaan seorang dokter, hakim atau jaksa, politikus dan
berbagai profesi lain. Informasi yang relevan akan memperjelas masalah dan membantu untuk
pemecahannya. Sebaliknya informasi yang tidak relevan tidak bermanfaat bagi pemecahan
persoalan dan tidak dapat memperkuat argumentasi. Suatu penyakit sering kali berkaitan dengan
berbagai faktor, seperti keadaan fisik, sosial, ekonomi, tradisi bahkan lingkungan. Kualitas
informasi yang berkaitan itulah yang dimaksud dengan relevansi.
Konsistensi, adalah penting dalam berpikir kritis karena berpikir kritis mementingkan
kebenaran dan memperbaiki kesalahan. Logika mengajarkan kepada kita, jika seseorang tidak
konsisten (dalam keyakinan, pendapat, data, atau informasi) maka salah satu data yang diperoleh
pasti salah. Dengan alasan ini maka pemikiran kritis secara konstan memperhatikan
ketidakkonsistenan, memperhatikan baik dalam pemikiran mau pun dalam argumen dan
penegasannya.

Dalam pemikiran kritis ada dua jenis inkonsistensi: inkonsistensi logis dan inkonsistensi
praktis. Inkonsistensi logis, melibatkan ucapan yang menyangkut keyakinan tentang benda ini
atau itu. Inkonsistensi praktis, menyangkut pengakuan/ ucapan tentang sesuatu tetapi
melakukan yang lain. Kadang-kadang ada juga orang yang dengan sengaja (sadar) melakukan
inkonsistensi dengan tujuan tertentu, atau mengucapkan sesuatu dan melakukan yang lain.
Contoh seperti ini sering terdapat dalam dunia politik. Namun semua itu juga mengecewakan
pendengar dan akibatnya mereka dituduh munafik (hypocrites). Konsistensi adalah kata yang
penting dalam membangun integritas moral pribadi. Integritas moral pribadi adalah satunya kata
dan perbuatan.

Kebenaran logis, berpikir secara logis adalah bernalar secara benar, yaitu menyimpulkan
dengan tepat dari keyakinan yang kita miliki. Kita membutuhkan akurasi dan dukungan
keyakinan dalam berpikir kritis. Tetapi juga kita harus dapat bernalar sesuai dengan keyakinan
hukum logika itu. Sayangnya dalam kehidupan nyata sering kita mengalami hal-hal yang tidak
logis namun kita anggap sebagai yang tidak salah.

Kelengkapan, dibutuhkan dalam menilai dan menyimpulkan. Pemahaman yang hanya
menyangkut luar (kulit persoalan) dan tidak memahami sampai kepada inti permasalahan akan
menggiring kita pada kesimpulan yang spekulatif, bisa salah bisa benar, atau bersifat dangkal.
Dalam banyak hal seorang dokter terkadang membutuhkan waktu dan upaya agar informasi yang
dibutuhkan tentang penyakit yang diderita pasien lengkap, dengan demikian dimungkinkan
mengambil keputusan medis yang paling akurat. Kita tidak dapat menggunakan hukum
penalaran dengan baik jika kelengkapan informasi tidak kita miliki. Penyimpulan induktif,
misalnya, sangat membutuhkan informasi selengkap mungkin. Bagaimana pun, dalam pemikiran
kritis lebih baik bila informasinya mendalam dari pada dangkal/kulit-kulitnya saja.

Fairness, akhirnya pemikiran kritis menuntut berpikir yang fair, yaitu terbuka, tidak
memihak, dan bebas dari distorsi, bias serta segala pra-anggapan. Mungkin sukar untuk
dikembangkan tetapi itulah tuntutannya.
Tentu masih banyak hal dibutuhkan untuk dapat berpikir kritis namun setidaknya
beberapa hal di atas akan membantu kita.

1.3. Manfaat berpikir kritis.
Berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam segala kehidupan. Namun sebagai mahasiswa
berpikir kritis pertama barmanfaat untuk kepentingan di kelas, dalam proses belajar yang lebih
efektif, atau juga di tempat kerja, dalam setiap profesi, bahkan dalam semua bidang kehidupan.

Manfaat di sekolah. Pendidikan di perguruan tinggi sangat berbeda dengan pendidikan
di tingkat dasar dan menengah. Di perguruan tinggi dapat saja seorang mahasiswa terkejut
karena si Dosen kurang peduli terhadap apa yang dia yakini atau ketahui ketimbang mengapa
mereka meyakini atau mengetahui. Pusat pemikiran di perguruan tinggi adalah: kecerdasan aktif
menilai ide atau informasi. Jadi bukan apanya (know what) yang lebih dibutuhkan tetapi yang
lebih mendapat tekanan adalah bagaimananya (know how) ide atau informasi itu. Dalam hal ini
pemikiran kritis sangat dibutuhkan.

Dalam studi berpikir kritis mahasiswa mengenal bermacam-macam keahlian berpikir
yang sangat memperbaiki suasana penampilan kelas yang meliputi:
Mengerti argumen dan pandangan-pandangan orang lain.
Mengevaluasi argumen dan pandangan itu secara kritis.
Mengembangkan dan memercayai pandangan yang didukung argumen dari seseorang.
Supaya berhasil di perguruan tinggi harus mampu mengerti materi kuliah dengan baik.
Belajar berpikir kritis tidak otomatis mudah memahami materi kuliah yang sulit, tetapi
memberikan pilihan-pilihan keahlian, yang jika dipraktikkan, dapat secara signifikan
memperbaiki kemampuan untuk memahami argumen dan issu yang dibahas di kelas atau dalam
buku referensi.

Berpikir kritis dapat membantu mengevaluasi secara kritis apa yang dipelajari di kelas.
Dalam kuliah sering ada tugas untuk berdiskusi secara kritis tentang argumen atau pendapat
yang dikemukakan. Belajar berpikir kritis adalah juga membahas strategi dan keahlian yang
sangat memperbaiki kemampuan mengevaluasi secara kritis. Mungkin juga diminta
mengembangkan argumen yang dimiliki. Misalnya, mengapa di Indonesia penderita demam
berdarah cenderung meningkat di musim penghujan? Apakah benar bahwa untuk mengatasi
endemi flu babi harus juga memusnahkan semua babi? Pertanyaan ini tentu memerlukan
pembahasan mendalam, argumen dan pandangan kritis, oleh karena banyak hal yang terkait
semisal perilaku dan budaya, lingkungan, curah hujan, tingkat kemampuan pemerintah
mencegah, lalulintas manusia dsb.. Pendek kata, berpikir kritis adalah karakter yang mutlak
dimiliki oleh mahasiwa yang berhasil.

Berpikir kritis di tempat kerja. Ada survei yang membuktikan bahwa hanya setengah
lebih sedikit tamatan perguruan tinggi yang siap kerja, pada hal telah lima tahun kuliah di
perguruan tinggi. Jika survei ini benar maka di satu sisi tampak kesenjangan antara dunia kerja
dengan pendidikan di perguruan tinggi tetapi, di pihak lain juga realitas tantangan yang dihadapi
dalam dunia kerja. Ditambah lagi, seringnya pengusaha mencari tenaga bukan yang memiliki
keahlian tinggi, karena keahlian itu kelak akan diperoleh dalam pengalaman bekerja. Dalam
dunia kerja dibutuhkan kemampuan berpikir dan berkomunikasi yang baik, yang cepat belajar
memecahkan persoalan, berpikir secara kreatif, menghimpun dan menganalisa informsi, menarik
kesimpulan-kesimpulan yang sesuai dengan data, dan mengkomunikasikan idenya dengan jelas
dan efektif. Belajar berpikir kritis akan membantu mahasiswa menyiapkan diri memenuhi
tuntutan dunia kerja.

Berpikir kritis dalam kehidupan. Dalam banyak konteks kehidupan berpikir kiritis juga
sangat bernilai. Pertama, berpikir kritis menolong kita menjauhkan keputusan personal yang
tidak tepat. Dapat terjadi pada suatu waktu kita membuat keputusan yang tidak tepat -terhadap
pasien, konsumen, pelanggan, teman, saudara, orang tua, tetangga, hubungan dsb.- yang
dikemudian hari kita sesali sebagai keputusan/tingkah laku yang tidak masuk akal. Berpikir
kritis menjauhkan kita dari kekhilafan atau kesalahan yang seperti itu jika kita selalu
memikirkan secara lebih hati-hati dan lebih logis setiap keputusan-keputusan.

Kedua, berpikir kritis memainkan sebuah peran vital dalam mempromosikan proses
demokrasi. Sekali pun kita memiliki kesan yang lucu bahkan sinis terhadap perjalanan demokrasi
tetapi harus diakui bahwa di dalam demokrasilah kita menjadi rakyat yang memiliki suara yang
dapat menentukan pemerintah dan segala konsekuensi keputusannya. Kita dapat memberi
sumbangan yang berarti bagi proses perjalanan pemerintahan apabila kita mampu mengkritisi
dengan baik kekurangan yang ada di tengah masyarakat. Banyak masalah sosial yang serius saat
ini-kerusakan lingkungan, poliferasi nuklir, dekadensi budipekerti, prasangka rasial, standar
pendidikan kurang memuaskan, standar kesehatan yang masih rendah di berbagai tempat, dan
banyak lagi yang lain -yang semuanya disebabkan oleh miskinnya berpikir kritis. Einstein pada
suatu saat berkata: Persoalan nyata yang kita hadapi tidak dapat dipecahkan di tingkat
pemikiran kita saat ini saat di mana kita telah menciptakannya.

Ketiga, berpikir kritis patut dipelajari demi berpikir kritis itu sendiri. Dengan pengayaan
dan pemenuhan pribadi menyadarkan kita betapa pentingnya berpikir kritis. Adalah kenyataan
bahwa cara berpikir manusia dari waktu ke waktu berubah-ubah. Dalam sejarah yang panjang
orang menerima tanpa bertanya bahwa bumi ini adalah pusat alam semesta, bahwa setan adalah
penyebab bencana, bahwa perhambaan adalah adil, dan bahwa wanita lebih rendah dari pria. Dan
banyak gagasan, konsep, aturan yang telah menjadi bagian budaya manusia yang lalu kini telah
ditinggalkan. Berpikir kritis, secara jujur dan berani telah menolong kita mengoreksi pendapat,
asumsi-asumsi yang tidak teruji, dogma, budaya dan prasangka didikan masyarakat. Berpikir
kritis membawa kita pada suatu pembebesan dalam menanggapi, meyakini, memutuskan apa
yang baik dan benar untuk kita. Pendeknya berpikir kritis memperkenankan kita memimpin diri
langsung, dan menguji kehidupan. Inilah yang menyebabkan para pendahulu kita mampu
membuat keputusan, gagasan yang mengubah hidup bangsa dan menjadi gaya hidup yang kita
alami saat ini. RA Kartini misalnya mengkritisi budaya yang tidak masuk akal di zamannya di
mana kaum perempuan tidak memiliki derajat dan kesempatan yang sama dengan pria. Karena
itu dia menulis Habis Gelap Terbitlah Terang dia mana ia memperjuangkan kesetaraan gender.
Dan banyak tokoh-tokoh lain di dunia.

Keempat, berpikir kritis dapat membentengi diri dari korban moralitas murahan. Dunia
ini penuh dengan orang-orang yang hidup dengan mementingkan diri, orang-orang yang tidak
jujur dan tidak memiliki integritas. Kadang-kadang mereka tidak hanya mendustai diri tetapi
juga merugikan orang lain. Ini berkaitan dengan menurunnya moral atau budi pekerti di tengah-
tengah masyarakat. Dalam suatu kesempatan berbincang dengan seorang teman, dokter,
mengatakan, bahwa terkadang ada juga pasien yang nakal. Sebetulnya ia (pasien) adalah
orang yang tergolong mampu, tetapi berlagak seperti orang tidak mampu hanya untuk meminta
keringanan biaya pengobatan. Bila menghadapi kasus seperti itu, katanya, sewaktu pemeriksaan
perhatikan pakaian dalam yang di pakai. Jika dari produk yang bermerek mahal maka ada
kemungkinan ia berbohong. Tentu pada setiap profesi hal seperti ini, menyimpang dari yang
seharusnya, kita temukan. Dari cerita sederhana ini kita dapat memahami bahwa berpikir kritis
bukan sekedar kepentingan teoritis, tetapi juga untuk kepentingan praktis.

1.4. Hambatan berpikir kritis
Sekali pun berpikir kritis perlu dan dibutuhkan dalam segala bidang kehidupan tetapi
dalam kenyataannya orang tidak selalu berberpikir kritis; termasuk orang berpendidikan tinggi.
Pernah terjadi seorang Menteri terobsesi menggali satu tempat untuk mencari harta karun hanya
berdasarkan mimpi/wangsit/tahayul. Berbagai hambatan untuk tidak berpikir kritis dapat terjadi.
Hambatan itu bersifat kompleks seperti, kurangnya pengetahuan tentang informasi yang relevan,
prasangka, penstereotipan, kebohongan, pemikiran yang sempit, pentahyulan, egosentrisme (self-
centered thinking), sosiosentrisme (group-centered thinking), tekanan kelompok, mayoritasisme,
kedaerahan, adat/tradisi, kemapanan, prasangka, primordialisme, khayalan (wishful thinking),
pikiran yang pendek, pikiran yang sempit, dan berbagai alasan yang lain. Empat macam
hambatan yang paling sering terjadi adalah: egosentrisme, sosiosentrisme, asumsi-asumsi yang
tidak terjamin, dan impian.

Egosentrisme, adalah kecenderungan melihat kenyataan seperti diri sendiri; egoistis
(selfish), orang yang terpikat pada diri sendiri; yang kecenderungannya melihat pada interes
pribadi, gagasan, nilai-nilai pribadinya sebagai yang terbaik. Dalam bentuk yang ekstrim dapat
menjadi suatu penyakit, misalnya seseorang yang memandang diri sendiri sebagai Tuhan,
sebagai presiden atau idola lain.

Egosentrisme dapat muncul dalam dua bentuk yaitu pemikiran ketertarikan-diri (self-
interested thinking), dan bias pelayanan-diri (self-serving bias)). Self-interested thinking adalah
kecenderungan menerima dan membela keyakinan yang condong pada minat pribadinya
sedangkan bias self-serving adalah kecenderungan menilai diri atau kecenderungan melihat
seseorang lebih dari pada apa yang patut. Narsisme juga termasuk dalam hal ini. Narsisme adalah
kecenderungan melihat diri sebagai tolok ukur, selalu mandasari pandangannya pada diri sendiri
dan mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang dialamai atau dinikmati. Kelemahannya
adalah belum tentu apa yang kita alami itu bermutu lebih tinggi dari yang dialami orang lain.

Sosiosentrisme, adalah pikiran yang berpusat pada kelompok. Seperti halnya pemikiran
egosentrisme dapat mengesampingkan pemikiran kritis karena terpusat pada diri sendiri
demikian juga sosiosentrisme membuat pemikiran kritis tidak muncul karena terlalu berpusat
pada kelompok. Sosiosentrisme dapat mengubah pikiran yang kritis dengan berbagai cara. Dua
bentuk yang paling penting adalah bias kelompok dan insting kelompok. Bias kelompok adalah
kecenderungan melihat kelompoknya sendiri (bangsanya, sukunya, sektenya,
kelompok/gengnya) selalu lebih baik dari yang lain. Misalnya, seseorang tidak lagi berpikir
apakah itu benar atau salah, pantas atau tidak pantas, relevan atau tidak relevan, hanya karena
sudah menjadi keputusan kelompok. Dalam kehidupan masyarakat, juga dalam sejarah bangsa-
bangsa sering kita temukan hal seperti ini dan tidak selalu disadari. Tetapi juga dalam kelompok
anak-anak, terutama kaum remaja awal. Insting kelompok (konformisme) menunjuk pada
kecenderungan mengikuti pendapat/pilihan, standar, nilai-nilai orang banyak, anutan orang
banyak; mengikuti pilihan kebanyakan orang tanpa melihat benar salahnya. Keinginan menjadi
bagian dari kelompok adalah motivasi yang paling kuat yang dapat melumpuhkan daya kritis
dalam keputusan seseorang.

Asumsi-asumsi yang tidak terjamin, adalah sesuatu yang kita anggap pasti, sesuatu
yang kita yakini benar tanpa alasan yang benar. Dalam banyak hal perbuatan kita sering
didasarkan atas asumsi. Misalnya, Lembaga Meteorologi dan Geofisika mengatakan hari ini akan
turun hujan, maka kita membawa payung, kita menganggap mereka tidak mungkin bohong
karena didasarkan pada analisis ilmiah. Tanpa berpikir apakah benar atau tidak kita merasa lebih
bijaksana kalau membawa payung. Contoh lain, kita pergi ke sekolah karena yakin dosen
matakuliah anu akan mengajar, tanpa kita bertanya apakah beliau memenuhi jadwal atau tidak.
Seorang dokter percaya bahwa cerita/informasi yang diungkapkan pasien benar dan memberi
terapi yang sesuai. Jika semua informasi objektif dan respon dokter juga tepat maka proses itu
ideal. Dokter yang kritis tidak menerima begitu saja informasi pasien tetapi dia membutuhkan
pembuktian (penelitian) selanjutnya, mungkin juga diperlukan alat-alat canggih. Dalam
kehidupan nyata, kebanyakan keyakinan dan opini didasarkan pada asumsi. Salah satu tipe yang
paling umum dari asumsi tidak terjamin adalah stereotip. Kata stereotip berasal dari bahasa
percetakan. Yaitu lembaran-lembaran yang dicetak sesuai dengan pelat atau masternya. Pelat
atau masternya adalah tipe awal, sebagai contoh. Jika seorang dokter meyakini bahwa pasien
yang selalu minta discount/ potongan adalah orang miskin, karena beberapa kali ia mengalami
hal yang sama, maka ia telah jatuh pada penstereotipan. Bagaimana kalau pasien tersebut orang
yang nakal?. Jika kita menganggap setiap bule menganut free sex, karena dalam film sering
ditampilkan, kita jatuh pada hal yang sama, penstereotipan. Pada dasarnya penstereotipan adalah
generalisasi, yaitu sikap yang menggambarkan/menyamakan kelompok yang lebih luas sama
dengan sampel kecil/sempit. Tuntutan berpikir kritis secara praktis adalah kita wajib menyadari
apa yang kita pikirkan, termasuk asumsi kita. Asumsi yang disadari adalah sesuatu yang kita
sadar tentangnya. Jadi kita berkata, Saya mau mengasumsikan bahwa laporan ini benar, atau
Saya berasumsi bahwa kelas kuliah... pada hari ini ada, atau Saya mengasumsikan bahwa
informasi pasien benar, dst.

Impian khayalan/keinginan (wishful thinking), adalah meyakini sesuatu oleh karena
membuat merasa nyaman, bukan karena faktanya baik atau dasar rasional pemikirannya benar.
Percaya sesuatu bukan karena memiliki fakta tentangnya tetapi karena ingin benar. Dalam
sejarah manusia, penalaran/akal sehat sering berhadapan dengan pikiran mistik. Manusia
berkhayal tentang sesuatu yang dia tidak tahu. Misalnya, tentang alam semesta, tentang
kematian, tentang hidup sesudah mati. Buah dari khayalan atau impian ini sering disebut mistik.
Misalnya petani membayangkan akan mendapat panen melimpah jika melakukan berbagai
upacara tertentu; kelompok masyarakat mengusir wabah penyakit mala petaka dengan upacara
tertentu. Ada keinginan yang diharapkan tercapai dengan melakukan sesuatu, apakah oleh
seseorang yang diyakini memiliki kemampuan gaib lalu melakukan petunjuknya?. Di balik itu
semua ada keinginan yang kuat (wishful thinking).

Jadi, orang-orang yang berpikir kritis selalu berkeinginan memperlihatkan sifat-sifat
berpikir kritis dan membedakannya dengan berpikir tidak kritis. Di antara sifat-sifat itu adalah
klarifitas, presisi, akurasi dan standar intelektual lain yang menandai kehati-hatian dan disiplin
berpikir; suatu sensifitas terhadap cara berpikir kritis. Sensifitas itu perlu untuk mencapai
keyakinan rasional, kejujuran dan kerendahan hati intelektual, pola berpikir terbuka,
keingintahuan intelektual, cinta kebenaran, dan keteguhan intelektual yang menjadi ciri-ciri
pemikir kritis. Sensitifitas seperti itu perlu karena berbagai hal seperti egosentrisme,
sosiosentrisme, asumsi-asumsi yang tidak terjamin, khayalan dan rintangan-rintangan psikologis
lain dapat memiringkan pemikiran kritis.

1.5. Karakteristik Pemikir Kritis
Sejauh ini kita telah membahas: (1) hakekat berpikir kritis, (2) standar-standar berpikir
kritis seperti klarifitas, presisi, akurasi, fairness dan juga hambatan-hambatan berpikir kritis
seperti: kurangnya pengetahuan kita tentang informasi yang relevan, prasangka, penstereotipan,
kebohongan, pemikiran yang sempit, pentahyulan, (3) keuntungan berpikir kritis, dan (4)
beberapa hambatan berpikir kritis yang penting seperti egosentrisme, sosiosentrisme, asumsi-
asumsi tidak terjamin dan impian/khayalan. Dari semua pembahasan di atas dapat dikemukakan
suatu profil umum berpikir kritis sbb.:








No PEMIKIR KRITIS BUKAN PEMIKIR KRITIS
1 Memiliki semangat berpikir yang
digerakkan oleh: klarifitas, presisi,
akurasi, relevansi, konsistensi,
kelogikaan, kelengkapan dan
ke-fair-an.
Sering berpikir tidak jelas, tidak
persis, tidak akurat, tidak relevan,
tidak konsisten, tidak logis, tidak
lengkap dan tidak fair.
2 Sensitif terhadap cara-cara yang dpat
membuat miring berpikir kritis seperti
egosentrisme, sosiosentrisme, khayalan,
asumsi-asumsi yang tidak terjamin dsb
Sering menjadi mangsa egosentrisme,
sosiosentrisme, khayalan, asumsi-
asumsi yang tidak terjamin dsb.
3 Memahami makna nilai berpikir kritis,
baik terhadap individu maupun
masyarakat.
Melihat hanya sedit kegunaan berpikir
kritis.
4 Jujur terhadap diri sendiri secara
intelektual, mengakui apa yang ia
tidak/belum mengerti dan mengenal
keterbatasannya
Seolah-olah lebih banyak tahu dari
pada yang diketahui sebenarnya dan
masa bodoh terhadap yang dia tidak
diketahui
5 Berpikir terbuka (open mindedly) dalam
mendengar pandangan yang bertentangan
dan suka mengkritik keyakinan dan
asumsi-asumsi.
Berpikir tertutup dan kebal terhadap
kritik keyakinan dan asumsi-asumsi.
7 Sadar akan kemungkinan bias dan pra-
konsepsi yang membentuk dunia yang
mereka terima
Kurang kesadarannya tentang bias dan
pra-konsepsi yang dimiliki
8 Berpikir bebas dan tidak takut
berseberangan dengan pandangan
kelompok.
Cenderung mengikuti pendapat
kelompok, mengikutinya tanpa
mengkritisi nilai-nilai dan keakinan
orang banyak
9 Mampu menghayati suatu masalah atu
persoalan, tanpa terganggu dengan hal-
hal yang kecil
Mudah terganggu dan kurang mampu
menghayati inti persoalan atau
masalah
10 Memiliki keingintahuan intelektual untuk
menghadapi dan menilai ide yang
menantangnya secara fair walau pun
menyangkut keyakinan-keyakinan
dasarnya
Takut dan kebal terhadap pendapat
yang menantang keyakinan dasarnya
11 Mencintai kebenaran dan ingin tahu
tentang sebuah isu yang luas.
Secara relatif sering tidak
membedakan kebenaran dan kurang
ingin tahu.
12 Memiliki ketekunan intelektual
mengikuti pandangan atau kebenaran,
meskipun sulit atau ada rintangan
Cenderung tidak tekun ketika
berjumpa kesulitan dan rintangan
intelektual
Sumber: Bassham p.11-20

Belajar berpikir kritis adalah seperti kebanyakan hal lainnya: kita keluar sebagaimana
kita masuk. Artinya jika kita memasukinya jauh menjelajah maka kita akan tampil jauh berbeda
dengan sebelumnya. Sejauh mana kita merasa perlu berpikir kritis dapat dibuktikan dengan
sejauh mana kita menghayati dan menggunakan prinsip-prinsipnya. Jadi jika kita belajar berpikir
kritis sebagai kesempatan belajar membiasakan diri karena hal disiplin berpikir kritis sangat
penting untuk mensukseskan studi, karier, dan dalam hidup. Maka, sebagai pribadi yang
dibebaskan, berpikir kritis dapat menjadi pengalaman yang menguntungkan dan bahkan
pengalaman transformatif. Pilihannya ada pada kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai