Cerpen Rowena
Cerpen Rowena
Itu tadi suara mama. Saking kerasnya, aku yang sedang asyik di alam mimpi
"Iya, Mama. Ghita mau ngumpulin nyawa dulu, bentar." Tak ingin mendengar
teriakan mama menjadi lebih keras, aku pun segera bangun, mengalahkan rasa
malasku dan bergegas untuk mandi. Seusai mandi dan berganti baju, mama dan
makan, mengabsen satu demi satu apa saja menu makan pagi ini. Tumpang koyor,
"Kamu ini, ada makanan enak-enak, kok, milihnya sereal melulu," tanya papa
"Nyobain aja belum, udah bilang nggak doyan," imbuh mama sambil
susu, dan pastinya sereal kesukaanku. Menuangkan susu terlebih dahulu ke dalam
Waktu sudah menunjukkan tepat pukul 07.30. Setengah jam lagi sekolahku
dimulai, aku harus bergegas menghabiskan sarapan dan berangkat bersama papa.
Akan sangat klise kalau aku dihukum di tengah lapangan karena terlambat sekolah.
Bahasa Indonesia menjadi yang pertama untuk mengawali pelajaran hari ini.
Minggu yang lalu, Bu Ratih meminta kami membawa makanan tradisional sebagai
Jangan lupa, nanti kalian tulis bagaimana rasanya dilaporan yang akan kalian tulis
nanti, ya."
Pandanganku terfokus pada enting- enting gepuk yang kubawa dari rumah.
Kali ini, aku harus mencobanya. Tidak mungkin, kan, kutulis 'Githa nggak doyan' di
dalam laporanku nanti? Bisa-bisa, aku berakhir dengan nilai di bawah kriteria.
"Git, kok, nggak dimakan?" tanya Darren, teman sebangkuku yang sedari tadi
"Kok, bisa nggak doyan? Padahal itu enak banget, loh. Emangnya kamu udah
pernah nyobain?"
"Belum, sih."
"Cobain dulu, gih. Dijamin, deh, nggak bakal nyesel," bujuk Darren penuh
keyakinan. Yah, mau bagaimana lagi, demi laporan aku harus mencobanya. Ingat,
hanya demi laporan. Dengan penuh keraguan, aku menggigit sebagian kecil dari
Kok, enak?
"Gimana?"
"Lumayan, sih." Yah, gengsi mengalahkanku kali ini. Semoga saja aku tidak
"Tuh, kan. Makanya, cobain dulu sebelum bilang nggak doyan," jawab Darren
"Iya, iya."
Bel tanda waktu belajar telah usai berbunyi. Yah, namanya juga anak sekolah.
Kalau sudah dengar bel pulang, langsung berhamburan keluar kelas seolah-olah
"Git, nanti jadi ‘kan, nemenin aku ke pasar?" tanya Alyn sahabatku,
tapi Alyn.
"Lyn, kok, kamu beli dua porsi?" Aku bingung saat melihat Alyn memesan dua
porsi tumpang koyor lengkap dengan nasi. Apa dia ingin makan sebanyak itu?
"Iya, satunya buat kamu." Aku? Dia pasti bercanda. Alyn kan tahu kalau aku
tidak suka tumpang koyor. Menyentuhnya saja tidak pernah, apalagi memakannya.
"Kali ini cobain dulu, deh." Yah, bagaimana lagi. Aku harus memakannya,
Tanpa kusadari, satu porsi tumpang koyor sudah kuhabiskan. Lagi-lagi, aku
termakan oleh kata-kataku sendiri. Aku dan Alyn yang sudah dalam kondisi perut
kenyang pun bersiap untuk pulang. Karena kebetulan rumahku dan Alyn searah, aku
Tin, tin…
Itu tadi suara klakson mobil mama. Tak ingin mama menunggu lama, aku dan
"Alyn sama Githa jalan-jalan ke mana aja tadi?" tanya mama memulai
"Kita pergi ke warung makan, Tante. Tadi kita nyobain tumpang koyor di situ,"
"Wah, pasti enak, tuh. Githa juga ikut makan, ‘nih? Bukannya kemarin
"Hehe, iya Ma. Ternyata enak juga tumpang koyor," jawabku sambil
menggaruk ujung kepalaku yang tidak gatal. Kuakui, makan tradisional ternyata tidak