Anda di halaman 1dari 3

Cobain Dulu Dong, Biar Tahu

"Ghita, ayo bangun! Nanti kamu telat ke sekolah, Nduk."

Itu tadi suara mama. Saking kerasnya, aku yang sedang asyik di alam mimpi

sampai terbangun. “Berisik banget”, batinku.

"Iya, Mama. Ghita mau ngumpulin nyawa dulu, bentar." Tak ingin mendengar

teriakan mama menjadi lebih keras, aku pun segera bangun, mengalahkan rasa

malasku dan bergegas untuk mandi. Seusai mandi dan berganti baju, mama dan

papa sudah menyambutku di meja makan rumah kami.

"Ghita, mau sarapan apa hari ini?"

Aku yang sedang membenarkan dasi seragamku langsung memandangi meja

makan, mengabsen satu demi satu apa saja menu makan pagi ini. Tumpang koyor,

pecel keong, dan gudeg.

"Sereal lagi aja deh, Ma."

"Kamu ini, ada makanan enak-enak, kok, milihnya sereal melulu," tanya papa

yang sedang menyantap nasi gudeg kesukaannya.

"Abisnya, Githa nggak doyan,"

"Nyobain aja belum, udah bilang nggak doyan," imbuh mama sambil

memasang wajah keheranan ke arahku.

Tak menggubris perkataan mama, aku pun langsung mengambil mangkuk,

susu, dan pastinya sereal kesukaanku. Menuangkan susu terlebih dahulu ke dalam

mangkuk, disusul dengan sereal.

Waktu sudah menunjukkan tepat pukul 07.30. Setengah jam lagi sekolahku

dimulai, aku harus bergegas menghabiskan sarapan dan berangkat bersama papa.

Akan sangat klise kalau aku dihukum di tengah lapangan karena terlambat sekolah.



Bahasa Indonesia menjadi yang pertama untuk mengawali pelajaran hari ini.

Minggu yang lalu, Bu Ratih meminta kami membawa makanan tradisional sebagai

objek untuk membuat laporan.


"Anak-anak kelas 9H, silahkan coba makanan tradisional yang kalian bawa.

Jangan lupa, nanti kalian tulis bagaimana rasanya dilaporan yang akan kalian tulis

nanti, ya."

Pandanganku terfokus pada enting- enting gepuk yang kubawa dari rumah.

Kali ini, aku harus mencobanya. Tidak mungkin, kan, kutulis 'Githa nggak doyan' di

dalam laporanku nanti? Bisa-bisa, aku berakhir dengan nilai di bawah kriteria.

"Git, kok, nggak dimakan?" tanya Darren, teman sebangkuku yang sedari tadi

bingung melihatku diam saja.

"Nggak mau, nggak doyan."

"Kok, bisa nggak doyan? Padahal itu enak banget, loh. Emangnya kamu udah

pernah nyobain?"

"Belum, sih."

"Cobain dulu, gih. Dijamin, deh, nggak bakal nyesel," bujuk Darren penuh

keyakinan. Yah, mau bagaimana lagi, demi laporan aku harus mencobanya. Ingat,

hanya demi laporan. Dengan penuh keraguan, aku menggigit sebagian kecil dari

jajanan khas kota Salatiga itu.

Kok, enak?

Gawat, sepertinya aku termakan kata-kataku sendiri. Darren akan meledekku

kalau dia sampai tahu.

"Gimana?"

"Lumayan, sih." Yah, gengsi mengalahkanku kali ini. Semoga saja aku tidak

kedapatan berbohong oleh Darren.

"Tuh, kan. Makanya, cobain dulu sebelum bilang nggak doyan," jawab Darren

sambil tertawa kecil.

"Iya, iya."



Bel tanda waktu belajar telah usai berbunyi. Yah, namanya juga anak sekolah.

Kalau sudah dengar bel pulang, langsung berhamburan keluar kelas seolah-olah

ada sembako gratis yang menanti mereka.

"Git, nanti jadi ‘kan, nemenin aku ke pasar?" tanya Alyn sahabatku,

memastikan. Sepulang sekolah, aku dan Alyn memang mempunyai rencana ke


pasar untuk membeli tumpang koyor. Tentu saja, bukan aku yang ingin membeli,

tapi Alyn.

"Jadi, dong," jawabku mengiyakan.

Di pasar, Alyn mengajakku ke sebuah warung makan. Di sana, sudah

disediakan berbagai macam kuliner, tak luput juga tumpang koyor.

"Lyn, kok, kamu beli dua porsi?" Aku bingung saat melihat Alyn memesan dua

porsi tumpang koyor lengkap dengan nasi. Apa dia ingin makan sebanyak itu?

Mungkin saja, sih. Dia ‘kan, fans berat tumpang koyor.

"Iya, satunya buat kamu." Aku? Dia pasti bercanda. Alyn kan tahu kalau aku

tidak suka tumpang koyor. Menyentuhnya saja tidak pernah, apalagi memakannya.

"Tapi ‘kan— "

"Kali ini cobain dulu, deh." Yah, bagaimana lagi. Aku harus memakannya,

kalau tidak temanku yang satu ini akan kecewa.

Tanpa kusadari, satu porsi tumpang koyor sudah kuhabiskan. Lagi-lagi, aku

termakan oleh kata-kataku sendiri. Aku dan Alyn yang sudah dalam kondisi perut

kenyang pun bersiap untuk pulang. Karena kebetulan rumahku dan Alyn searah, aku

meminta mama untuk menjemput kami berdua.

Tin, tin…

Itu tadi suara klakson mobil mama. Tak ingin mama menunggu lama, aku dan

Alyn segera masuk ke dalam mobil.

"Alyn sama Githa jalan-jalan ke mana aja tadi?" tanya mama memulai

percakapan sembari menyalakan mesin mobil.

"Kita pergi ke warung makan, Tante. Tadi kita nyobain tumpang koyor di situ,"

sahut Alyn yang duduk di kursi tengah.

"Wah, pasti enak, tuh. Githa juga ikut makan, ‘nih? Bukannya kemarin

bilangnya nggak doyan?"

"Hehe, iya Ma. Ternyata enak juga tumpang koyor," jawabku sambil

menggaruk ujung kepalaku yang tidak gatal. Kuakui, makan tradisional ternyata tidak

kalah enak dengan sereal.

"Ma, besok masakin Githa tumpang koyor lagi, ya."

Anda mungkin juga menyukai