Kerajaan Hindu-Buddha
Salakanagara (130-362)
Tarumanagara (358–669)
Kendan (536–612)
Galuh (612-1528)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Indonesia Merdeka
l
b
s
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan
di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya
adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram
(di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur.
Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya,
Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka
dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa
penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak
menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa
proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia,
bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman
tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang
apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu.[1]:3 Bukti
utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa
kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di
tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit
seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam
mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat
itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan
mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses
yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai
hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika
Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527,
pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya
sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta".
Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah
penaklukan ini.
Daftar isi
1 Awal sejarah
2 Menurut wilayah
o 2.1 Malaka
o 2.2 Sumatera Utara
o 2.3 Jawa Tengah dan Jawa Timur
o 2.4 Jawa Barat
o 2.5 Daerah lain
3 Legenda Nusantara dan Melayu
4 Lihat pula
5 Rujukan
6 Referensi
Awal sejarah
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif
sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara
peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3
Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan
kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi
ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun
Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam
alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi
perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri
maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi
yang lama.[2]
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir
selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang
tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan
Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll)
menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di
Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan
dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara
dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad
ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut
kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama
karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh,
Lengkuas dan banyak lainnya.[3]
Menurut wilayah
Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara
yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara
melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir.[5] Namun klaim ini kemudian
dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa
Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan
Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim pada abad ke-
16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering
berperang.[1]:8 Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer pada
tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya menjadi
Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang
suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama
periode ini. [1]:8[6]
Malaka
Didirikan sekitar awal abad ke-15 , negara perdagangan Melayu Kesultanan Malaka (sekarang
bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, adalah, sebagai pusat perdagangan paling
penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian
muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui telah
dikonversi ke Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatangan Laksamana Cheng
Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain batu-batu
nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga
sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.
Sumatera Utara
Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu
nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan
Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di
Brunei, Trengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu
Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi
pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433)
yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di
bagian utara Sumatra sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho)
mengunjungi Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga
warganya, dan mereka percaya dengan sangat taat".
Di Kampong Pande, Banda Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Johan
Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota
Kesultanan Aceh Darussalam dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22
April 1205) oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba
yang beribukota di Bandar Lamuri.
Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara
Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke Islam. [7]
Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie dan Pasai menggabungkan
beberapa daerah penghasil emas dan lada. Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya
menyebabkan ketegangan internal dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai
bandar perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar
produksi.
Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa
dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling
penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan
raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang,
para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan
Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan
Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-
orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus
memperoleh penganut baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang
kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571)
mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta
dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim
laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal
membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh
Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh
terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.[8]
Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak
serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka
hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan
dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti
dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang
sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan.[9] Hal ini menunjukkan bahwa beberapa
elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan
Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di
wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari
pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah
kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah
melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem
keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan.
Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai
kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa
yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.[1]:5
Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih
dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang
Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan
daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah
di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah
Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan
mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu
mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan
demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman
ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan
permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.[1]:8
Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma
Huan, utusan Kaisar Yongle,[4] mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam
bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis
orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan
Jawa yang bukan Muslim.[10] Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima
puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah
diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur
dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing
non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik
Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali
Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an,
Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa
pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan
Demak pada tahun 1520.
Jawa Barat
Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di
Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam.[1] Sebuah penaklukan
oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten,
Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan,
mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau
Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan
perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik."[11] Ia
menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan
"Naqsyabandiyah" dari sufisme.
Daerah lain
Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar
Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei
dan Semenanjung Melayu.
Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat
diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik
terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke
dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan
para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke
bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda Nusantara
(Indonesia) melihat proses Islamisasi ini.[1]:8–11 Sumber-sumber ini termasuk:
Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan
bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di
Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama didirikan.
Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai
menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka
(Parameswara).
Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di
mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada Wali Sanga
("sembilan orang suci").
Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.
Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses konversi ke
Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata
dari ritual konversi, seperti sunat, pengakuan iman, dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain,
ketika peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang
Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu tidak
ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam lebih merupakan "menyerap"
Islam ketimbang berpindah, [1]:9 hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara
signifikan lebih besar dalam Islam