Anda di halaman 1dari 7

Justin Janico Widjaja

SPKS-G 22912

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAYU BUAH


MUDA (CHERELLE WILT) KAKAO
Oleh:
Justin Janico Widjaja

Pendahuluan
Kakao adalah salah satu komoditas ekspor dari subsektor perkebunan
yang merupakan komoditas unggulan nasional yang memberikan sumbangan
devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet (Goenadi et al., 2007).
Kakao juga menempati luas areal keempat terbesar untuk subsektor
perkebunan setelah kelapa sawit, kelapa dan karet. Hal ini menunjukkan bahwa
kakao merupakan komoditas yang sangat penting bagi perekonomian
Indonesia.

Kakao merupakan komoditas yang sangat penting bagi Indonesia


sebagai salah satu negara eksportir utama kakao dalam perdagangan
internasional. Pasar kakao dunia masih memiliki potensi sangat tinggi, yang
ditunjukkan oleh peningkatan konsumsi sehingga Indonesia diharapkan mampu
meraih peluang pasar yang ada. Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja
dan daya saing perdagangan biji kakao dan produk-produk kakao olahan
Indonesia di pasar internasional. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder. Untuk mengukur daya saing produk kakao Indonesia
menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA), Indeks Spesialisasi
Perdagangan (ISP), Export Product Dynamics (EPD), dan Constant Market
Share Analysis (CMSA). Hasil analisis menunjukkan bahwa Indonesia
mengalami surplus dalam perdagangan kakao, yang ditunjukkan oleh tren yang
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia juga memiliki keunggulan
komparatif sebagai eksportir biji kakao dan kakao olahan di pasar internasional.
Hasil analisis EPD dan CMSA, terdapat sedikit perbedaan. Analisis EPD hampir
semua produk kakao memiliki daya saing, sedangkan analisis CMSA
menunjukkan produk-produk kakao yang memiliki daya saing adalah produk-
produk kakao olahan. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan daya saing produk
kakao, baik dalam bentuk biji maupun produk olahan, diperlukan upaya
peningkatan kualitas biji kakao dan pengembangan industri hilir (Abdul Muis
Hasibuan , Rita Nurmalina. 2012).

Terkait dengan pertumbuhan generatif, pada hampir semua tanaman


buah menunjukkan tidak semua pentil (buah muda) dapat tumbuh hingga
dapat dipanen, sebagian pentil akan layu dan mati dalam kurun waktu 1—2
bulan setelah pertumbuhannya. Pada kakao, pentil yang layu dan mati tetap
menempel pada batang atau cabang dan disebut layu pentil (CW, Cherelle wilt).
Secara fisiologis, CW kakao disebabkan oleh persaingan nutrisi antara pentil
dengan organ vegetatif dan reproduktif lainnya yang sedang tumbuh aktif.
Tingkat CW dapat mencapai 7—81% tergantung pada klon (Prawoto, 2000),
atau rerata hanya sekitar 32,9% pentil kakao yang mampu tumbuh menjadi
dewasa dan sisanya mengalami kelayuan (Efron et al., 2003). Pentil kakao yang
layu akan mengering dan tetap menempel pada cabang atau batang.

Layu pentil merupakan gangguan fisiologi yang disebabkan oleh


persaingan nutrisi antara pentil dengan organ lain yang sedangng tumbuh aktif
yang mengakibatkan kegagalan proses embryogenesis dan perkembangan
buah. Menurut Chaidamsari (2005), Cherelle will pada kakao diduga disebabkan
karena adanya persaingan dalam mendapatkan asimilat, terutama karbohidrat.
Persaingan ini terjadi antara buah dengan buah dan antara buah dengan
pertumbuhan pujuk yang aktif Daryanto (2002), mengatakan bahwa cherelle
will nampak jelas setelah terjadi flush yang sangat banyak. Tunas baru
terbentuk merupakan pesaing yang sangat kuat bagi buah muda yang dalam
menggunakan asimilat.

Menurut Tjasadihardja (2001) pada tanaman kakao terlihat


kecenderungan bahwa pusat pertumbuhan vegetatif merupakan pemakai
asimilat yang dominan dibandingkan pusat pertumbuhan generatif. Keadaan
seperti ini sesuai dengan konsep Hormone Directed Transport yang
dikemukanan oleh Wareing dan Patrick (2002) bahwa asimilat bergerak kearah
tanaman yang mengandung zat tumbuh dalam konsentrasi tinggi.
Penyemprotan zat pengatur tumbuh pada buah dimaksudkan untuk
meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada buah, sehingga asimilat
yang dihasilkan dipakai untuk perkembangan buah secara optimal. Hal ini
sangat mempengaruhi persentase penurunan cherelle will pada kakao.

Cherelle wilt diduga juga terjadi karena kekurangan hormon didalam


biji (Prawoto, 2000). Hasil penelitian Salamala (1997), menunjukkan bahwa
umur buah dibawah 70 hari mengalami kekurangan unsur mikro didalam
tanaman. Penelitian yang menggunakan unsur mikro untuk mengurangi
cherelle will pada kakao sangat sedikit. Unsur mikro dibutuhkan dalam jumlah
kecil tetapi mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung
pertumbuhan dan produksi tanaman (tutiliana, 2014).
PEMBAHASAN

Persentase Buah Muda Layu (%) Nilai rata-rata persentase buah muda
layu disajikan pada (Tabel 1).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penelitian respon beberapa klon


kakao terhadap penyakit fisiologis memperlihatkan pengaruh 6 yang nyata pada
rata-rata persentase buah muda layu baik pada umur 3 MSP, 6 MSP, 9 MSP dan
12 MSP. Klon RCC 71 memperlihatkan nilai rata-rata rasio buah layu muda
tertinggi yang berbeda nyata dengan klon RCC 70 dan KKM 22 pada umur 3
MSP, 6 MSP, 6 MSp. Hal ini dikaitkan dengan jumlah asimilat dalam bentuk
sukrosa yang dapat masuk kedalam buah muda.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penelitian respon beberapa klon kakao
terhadap penyakit fisiologis memperlihatkan pengaruh yang nyata pada rata-
rata persentase buah muda sehat baik pada umur 3 MSP, 6 MSP, 9 MSP dan 12
MSP. Nilai rata-rata persentase buah muda sehat disajikan pada (Tabel 2).
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penelitian respon beberapa klon kakao
terhadap penyakit fisiologis memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap
rata rata laju fotosintesis, densitas stomata, dan lebar bukaan stomata. Nilai
rata rata laju fotosintesis, densitas stomata, dan lebar bukaan stomata disajikan
pada (Tabel. 3)

Klon RCC 71 memperlihatkan laju fotosintesis tertinggi (142,86 µmol CO2 /m/s)
yang berbeda nyata dengan klon rcc 70 (µmol CO2 /m/s 130,54) dan kkm 22
(149,52 µmol CO2 /m/s). meskipun memiliki laju fotosintesis yang tinggi akan
tetapi klon RCC 71 juga memiliki densitas stomata yang tinggi (1024,92) dan
lebar bukaan stomata tertinggi (984,69) dibandingkan dua klon lainnya. Lebar
bukaan dan densitas stomata erat kaitannya dengan sekapan CO2 dan laju
transpirasi. Semakin lebar bukaan stomata maka akan semakin tinggi laju 5,455
2,406 2,865 2,898 1,554 1,652 R C C 7 0 R C C 7 1 K K M 2 2 KADAR SUKROSA
BUAH MUDA LAYU DAN SEHAT (MG/G BERAT SEGAR) Sehat Layu 8 transpirasi
yang terjadi pada tanaman akibatnya produk asimilat yang dihasilkan dari
proses fotosintesis digunakan untuk proses transpirasi
KESIMPULAN

1. Layu pentil merupakan gangguan fisiologi yang disebabkan oleh


persaingan nutrisi antara pentil dengan organ lain yang sedangng
tumbuh aktif yang mengakibatkan kegagalan proses embryogenesis dan
perkembangan buah.
2. Klon RCC 71 memiliki tingkat layu buah muda yang lebih tinggi
dibandingkan dengan klon RCC 70 dan Klon KKM 2.
3. Kandungan sukrosa pada klon RCC 70 lebih tinggi dibandingkan klon
KKM 22 dan RCC 71 hal inilah yang menyebabkan persentase buah sehat
pada Klon RCC 70 lebih tinggi dibandingkan dengan klon kkm 22 dan
RCC 71.
4. Respon beberapa klon kakao terhadap penyakit fisiologis memperlihatkan
pengaruh yang nyata terhadap rata rata laju fotosintesis, densitas
stomata, dan lebar bukaan stomata
5. Rendahnya kandungan sukrosa yang masuk kedalam buah yang sedang
berkembang menyebabkan perurunan metabolisme yang terjadi dalam buah
yang selanjutnya memicu terjadinya layu buah muda.
6.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muis Hasibuan, Rita Nurmalina dan Agus WahyudI. ANALISIS KINERJA
DAN DAYA SAING PERDAGANGAN BIJI KAKAO DAN PRODUK KAKAO
OLAHAN INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL. 2012. Diakses
tanggal 30 desember 2022
Goenadi, D.H., J.B. Baon, S. Abdullah, Herman dan A. Purwoto. 2007. Prospek
dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Edisi Kedua. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian,
Jakarta. Diakses tanggal 30 desember 2022
Prawoto, A.A. (2000). Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan Beberapa Unsur
Hara Mikro Terhadap Pembungaan, CW dan Hasil Buah Kakao. Laporan
Penelitian Tahun 2000, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,
Jember. Diakses tanggal 30 desember 2022
Efron, Y.; P. Epaina & S. Taisa (2003). Analysis of the factors affecting yield
and yield variability in the SG 2 cocoa hybrid variety in Papua New
Guinea. Proc. Internat. Workshop on Cocoa Breeding for Improved
Production Systems. Diakses tanggal 30 desember 2022
Chaidamsari T, 2005. Biotechnology for cocoa pod Borer Resistance in cocoa.
Ph. D Thesis, Wageningen University. Diakses tanggal 30 desember
2022
Daryanto. 2002. Beberapa Catatan Tentang Pembungaan dan Pembentukan
Buah Kakao. Diakses tanggal 30 desember 2022
Tjasadihardja, 2001. Pertumbuhan dan Pola Pembentukan Buah dan Pengaruh
Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Kelayuan Buah-Muda dan
Hasil Buah/Biji Cokelat (Theobroma cacao L). diakses tanggal 30
desember 2022
Prawoto, A. 2000. Kajian Morfologi, Anatomis, dan Biokhemis Layu Pentil Kakao
serta Perkembangan Upaya Pengcndaliannya. Diakses tanngal 30
desember 2022
Salamala, M. 1997. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Auksin dan Unsur Mikro
Terhadap "Cherelle Wilt" Pada Kakao (Theohroma cacao L.). diakses
tanggal 30 desember 2022
Tutiliana. APLIKASI ZPT AUKSIN, SENG DAN BORON UNTUK MENGENDALIKAN
LAYU PENTIL (Cherelle Wilt) PADA TANAMAN KAKAO (Theobroma
cacao L.). diakses tanggal 30 desember 2022

Anda mungkin juga menyukai