Anda di halaman 1dari 44

ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS

PESERTA DIDIK DITINJAU DARI SELF-EFFICACY PADA


MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
BERBANTUAN ASESMEN KINERJA

Proposal Skripsi
diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan

oleh
Arina Syarifatul Hidayah
4101419084

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG, TAHUN 2022
Table of Contents
BAB 1...........................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................7
1.4 Batasan Penelitian..........................................................................................8
1.5 Manfaat Penelitian.........................................................................................8
1.6 Keaslian Penelitian........................................................................................9
BAB 2.........................................................................................................................11
KAJIAN PUSTAKA..................................................................................................11
2.1 Tinjauan Pustaka..........................................................................................11
2.2 Landasan Teori............................................................................................12
2.2.1 Kemampuan Komunikasi Matematis...................................................12
2.2.2 Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)........15
2.2.3 Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL).........................15
2.2.4 Self-efficacy..........................................................................................15
2.2.5 Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL)...........................................................................18
2.2.6 Asesmen Kinerja..................................................................................18
2.2.7 Ketuntasan Belajar...............................................................................18
2.3 Kerangka Berpikir.......................................................................................19
2.4 Hipotesis......................................................................................................19
BAB 3.........................................................................................................................20
METODE PENELITIAN...........................................................................................20
3.1 Pendekatan dan Desain Penelitian...............................................................20
3.2 Lokasi Penelitian.........................................................................................20
3.3 Fokus Penelitian/Sampel dam Populasi.......................................................20
3.4 Variabel Penelitian.......................................................................................20
3.5 Data dan Sumber Data.................................................................................20
3.6 Teknik Pengumpulan Data..........................................................................20
3.7 Teknik Keabsahan Data...............................................................................20
3.8 Teknik Analisis Data...................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................21
LAMPIRAN...............................................................................................................22
Tabel 2.1. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis.................................18
Tabel 2.2. Tahapan Pembelajaran CTL.................................................................26
Tabel 2.3. Pengkategorian Self-efficacy Siswa.......................................................27
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Salah satu ilmu pengetahuan itu adalah matematika. Matematika
sering kali dijumpai dalam kehidupan manusia, mulai dari hal yang
sederhana hingga hal yang kompleks. Matematika termasuk ilmu dasar
yang berasal dari penalaran, oleh karena itu matematika memberikan
dampak yang signifikan bagi peradaban di bidang ilmu pengetahuan.
Matematika harus diajarkan di sekolah karena membantu anak-anak
mengembangkan karakter mereka dalam mempersiapkan diri agar menjadi
pemikir, penemu kreatif serta warga negara yang cermat, hemat, dan
bertanggung jawab. Karena fungsinya yang sangat penting dalam
menciptakan sumber daya manusia yang berkarakter, matematika sudah
diajarkan sejak tingkat sekolah dasar (Khamidah, 2013).
Adapun tujuan pembelajaran matematika berdasarkan capaian dalam
kurikulum merdeka, yaitu: (1) memahami materi pelajaran matematika
berupa fakta, konsep, prinsip, operasi, dan relasi matematis serta
mengaplikasikan secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan
masalah matematis (pemahaman matematis dan kecakapan prosedural),
(2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematis dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan pernyataan matematika (penalaran dan pembuktian
matematis), (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematis, menyelesaikan model
atau menafsirkan solusi yang diperoleh (pemecahan masalah matematis),
(4) mengomunikasi gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, serta menyajikan suatu
situasi ke dalam simbol atau model matematis (komunikasi dan
representasi matematis), (5) mengaitkan materi pembelajaran matematika
berupa faka, konsep, prinsip, operasi, dan relasi matematis pada suatu
bidang kajian, lintas bidang kajian, lintas bidang ilmu, dan dengan
kehidupan (koneksi matematis), dan (6) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap kreatif,
sabar, mandiri, tekun, terbuka, tangguh, ulet, dan percaya diri dalam
pemecahan masalah (disposisi matematis).
Pembelajaran matematika diharapkan dapat menghasilkan siswa yang
memiliki kemampuan berpikir, kemampuan penalaran matematis,
memiliki pengetahuan serta keterampilan dasar yang bermanfaat.
Kkemampuan matematika dapat diklasifikasikan dalam lima kompetensi
utama yaitu: pemahaman matematika (mathematical understanding),
pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving),
komunikasi matematika (mathematical communication), koneksi
matematika (mathematical connection), dan penalaran matematika
(mathematical reasoning)”. Kemampuan-kemampuan tersebut harus
dimiliki oleh setiap siswa (Hendriana & Soemarmo, 2017)
Dapat ditinjau dari beberapa kemampuan yang telah disebutkan
sebelumnya, kemampuan komunikasi matematis siswa adalah salah satu
kemampuan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Dalam
hal ini, komunikasi dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu kemampuan
komunikasi matematis dalam bentuk tulisan dan kemampuan komunikasi
matematis dalam bentuk lisan. Komunikasi matematis merupakan
kecakapan seseorang dalam mengungkapkan pikiran mereka, dan
bertanggungjawab untuk mendengarkan, menafsirkan, bertanya, dan
menginterpretasikan antara ide satu dengan ide-ide yang lain dalam
memecahkan masalah baik itu pada kelompok diskusi maupun di kelas
(Yanuar & Fitriana Yuli, 2018). Siswa dengan kemampuan komunikasi
yang baik dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran serta
merasa lebih mudah menggunakan fakta untuk mendukung argumen
mereka. Karena matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang
memungkinkan terwujudnya komunikasi yang akurat dan tepat, maka
keterampilan komunikasi dalam matematika sangat penting bagi siswa.
Komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika perlu
didorong karena dua alasan utama, yaitu matematika tidak hanya sebagai
alat untuk berpikir, memecahkan masalah, serta menarik kesimpulan,
tetapi juga merupakan aktivitas sosial dalam pembelajaran; sebagai
wahana untuk interaksi antara guru dan siswa. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa komunikasi matematika itu penting, karena melalui
komunikasi matematika siswa dapat mengungkapkan ide mereka kepada
guru dan teman-temannya (Yuniarti, 2016).
Komunikasi matematis siswa dapat tercapai apabila siswa percaya
pada kemampuan mereka sendiri (self-efficacy) untuk memahami ide-ide
matematika, menerapkannya pada masalah, dan mengomunikasikannya
(Yulianto & Suprihatiningsih, 2019). Dalam matematika maupun dalam
kehidupan sehari-hari, peserta didik bisa melewati dan menaklukkan
berbagai macam tantangan yang dihadapi. Self-efficacy mengacu pada
keyakinan seseorang untuk dapat melaksanakan secara optimal tugas-tugas
yang diberikan berdasakan pengalaman yang didapat atau yang pernah
dilalui
Setiap siswa mampu menaklukkan berbagai tantangan baik dalam
matematika dan kehidupan sehari-hari. Self-efficacy mengacu pada
keyakinan seseorang dalam kapasitasnya untuk melaksanakan tugas yang
diberikan secara optimal berdasarkan pengalaman sebelumnya yang
pernah dilalui. Hal ini dapat mempengaruhi serta mendukung kemampuan
komunikasi matematis karena peserta didik memiliki keyakinan terhadap
kemampuan dirinya yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan
“self-efficacy yang kuat dapat membantu anak-anak berhasil secara
akademis, meningkatkan harga diri mereka, berpikir positif, dan mengatur
emosi mereka” (Lestari & Afifah, 2016). Self-efficacy adalah keyakinan
individu mengenai kemampuannya dalam menyelesaikan tugas atau
tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Self-efficacy
dapat mempengaruhi seseorang dalam mencapai sesuatu, berapa banyak
usaha yang diupayakan, berapa lama bertahan dalam menghadapi
rintangan, dan kegagalan, serta ketahanan menghadapi kesulitan
(Hendriana & Soemarmo, 2017).
Namun pada kenyataan di lapangan, kemampuan komunikasi siswa di
Indonesia masih berada pada kategori rendah. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Azizah & Maulana (2018) di salah satu SMA negeri di
Kabupaten Cirebon, mengungkapkan bahwa kemampuan komunikasi
matematis belum mencapai ketuntasan klasikal, karena hanya 5 siswa
(15,6%) yang telah mencapai KKM dari 32 siswa. Artinya hanya sebagian
kecil yang telah menguasai kemampuan komunikasi matematis. Hasil
penelitian Ismayanti & Sofyan (2021) yaitu rendahnya kemampuan
komunikasi siswa SMP kelas VIII di Kampung Cigulawing, dikarenakan
sebagian besar siswa belum mampu memenuhi semua indikator
kemampuan komunikasi matematis yang ditentukan dalam penelitian
tersebut. Adapun hasil penelitian Yanti et al (2019) juga menyatakan
bahwa kemampuan komunikasi matematis pada siswa SMP yang ditinjau
dari jawaban siswa terhadap soal yang diberikan tergolong rendah. Hal ini
sejalan dengan hasil observasi peneliti di sekolah, dimana tempat peneliti
melakukan penelitian.
Kemampuan komunikasi matematis dikembangkan dari berbagai
kegiatan dalam pembelajaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat
menstimulasi serta mengembangkan kemampuan komuniasi matematis
peserta didik. Selama kurang lebih dua tahun berlangsungnya pandemi,
kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara daring (dalam jaringan)
dengan memanfaatkan berbagai teknologi modern di mana pembelajaran
tersebut mengembangkan pengalaman belajar mengajar yang efektif.
Sedangkan pada saat ini kegiatan pembelajaran sudah kembali
dilaksanakan secara luring (luar jaringan) atau sudah memasuki era setelah
pandemi. Peserta didik saat ini berada dalam fase peralihan serta
penyesuaian kembali dengan kegiatan pembelajaran yang mereka
laksanakan. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang sesuai
untuk mengatasi kondisi dan permasalahan yang terjadi.
Memilih model pembelajaran serta strategi yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan peserta didik yang dapat menciptakan suasana
yang menyenangkan dalam pembelajaran adalah suatu bentuk pemilihan
model pembelajaran yang efektif dan efisien. Model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu alternatif
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik
dalam pembelajaran. Model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru untuk
mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi yang terjadi di
dunia nyata peserta didik. Untuk dapat memotivasi peserta didik yaitu
membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dalam
kehidupan para peserta didik sebagai anggota keluarga, masyarakat dan
tenaga kerja (Trianto, 2010). Pembelajaran matematika sendiri memiliki
tujuan yang sangat luas, salah satu di antaranya yaitu adalah supaya
peserta didik mempunyai keterampilan yang dapat menghubungkan
matematika dengan hal-hal dalam kehidupan sehari-hari serta dapat
menerapkannya di dalam soal-soal. Maka dari itu, guru perlu menerapkan
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan
maksud supaya mencapai hasil belajar dengan kemampuan komunikasi
matematis yang lebih baik.
Terdapat langkah-langkah dalam menggunakan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) yang mengembangkan
pemikiran bahwa cara bekerja dengan menciptakan masyarakat belajar
peserta didik lebih bermakna dalam belajar, melakukan kegiatan
penemuan dalam semua pembelajaran, mengembangkan sifat ingin tahu
peserta didik dengan bertanya, menghadirkan model atau media sebagai
contoh belajar peserta didik dan melakukan refleksi di akhir pertemuan
dan melakukan penilaian atas hasil yg dicapai peserta didik. Dengan
menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL), proses pembelajaran lebih bermakna karena peserta didik akan
aktif dalam memahami konsep dengan menaitkan materi yang dipelajari
dengan materi yang sudah dipelajari. Kemampuan awal peserta didik
memiliki peranan yang sangat penting dalam belajar matematika, karena
terdapat keterkaitan antara materi yang satu dengan materi yang lainnya.
Cepat lambatnya peserta didik dalam menguasai materi dipengaruhi oleh
tingkat kemampuan awal.
Implementasi kurikulum merdeka membutuhkan alat penilaian yang
tidak hanya menilai hasil akhir pembelajaran, melainkan alat penilaian
yang dapat menilai proses pembelajaran dari awal hingga akhir
pembelajaran. Alat penilaian alternatif yang sesuai dengan hal tersebut
adalah Asesmen kinerja. Asesmen kinerja merupakan pengumpulan
informasi terkait dengan perkembangan dan pencapaian peserta didik yang
mampu mengungkapkan dan membuktikan ketercapaian tujuan
pembelajaran (Wisnuwardani & Masrukan, 2021). Asesmen kinerja
dilakukan oleh guru selama pembelajaran dengan berbagai teknik. Data
yang diperoleh dari penilaian dengan asesmen kinerja mampu membantu
siswa agar mempelajari (how to learn), bukan ditekankan pada prestasi
belajar yang diperoleh siswa di akhir periode pembelajaran. Tujuan
penerapan Asesmen kinerja dalam pembelajaran yaitu untuk: (1)
mengetahui kemampuan individu siswa, (2) mengetahui kebutuhan
pembelajaran, (3) mendorong dan membantu siswa dalam pembelajaran,
(4) mendorong guru untuk menerapkan pembelajaran yang lebih baik, (5)
menyusun strategi pembelajaran, (6) akuntabilitas lembaga, dan (7)
meningkatkan kualitas pembelajaran (Santoso dalam Masrukan, 2017).
Asesmen Kinerja merupakan salah satu strategi evaluasi yang paling tepat
dan efektif untuk menilai perkembangan siswa dan proses pembelajaran
(Stiggins dalam Espinosa, 2015). Asesmen kinerja melibatkan siswa
secara langsung dan mendalam dalam proses belajar siswa sendiri, dan
meningkatkan kepercayaan diri dan memotivasi mereka untuk belajar
karena menekankan kemajuan dan prestasi daripada kegagalan dan
kekalahan. Menurut Masrukan (2017), bahwa dalam asesmen kinerja
tidak ada jawaban yang benar atau salah sehingga mampu menghilangkan
ketakutan siswa terhadap matematika. Asesmen kinerja memungkinkan
siswa untuk membangun tanggapan mereka sendiri, bukan dengan
memilih jawaban berdasarkan pilihan yang tersedia. Manfaat Asesmen
Kinerja adalah: (1) mendorong siswa berlomba dengan dirinya sendiri
daripada berlomba dengan siswa lain, (2) menambah pemahaman siswa,
(3) menghilangkan ketakutan terhadap pembelajaran matematika, (4)
menuntun pembelajaran matematika, dan (5) menciptakan pembelajaran
yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari (Ott dalam Masrukan, 2017).
Asesmen Kinerja merupakan alternatif penilaian yang dapat diterapkan
dalam kegiatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk aktif dan
mengutamakan proses pembelajaran (Hasanah et al., 2016). Dalam
pemahaman materi dan proses penyelesaian masalah, kinerja peserta didik
dapat ditunjukkan dengan penerapan asesmen kinerja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah
yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa pada pembelajaran
matematika dengan menggunakan model Contextual Teaching and
Learning (CTL) mencapai ketuntasan klasikal 75%?
2. Apakah self-efficacy siswa pada model Contextual Teaching and
Learning (CTL) berpengaruh signifikan terhadap kemampuan
komunikasi matematis peserta didik?
3. Bagaimana deskripsi kemampuan komunikasi matematis peserta didik
berdasarkan self-efficacy pada model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) berbantuan asesmen kinerja?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan tersebut, adapun
tujuan penelitian ini diantaranya yaitu.
1. Mengetahui ketuntasan klasikal hasil tes kemampuan komunikasi
matematis peserta didik yang menggunakan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL).
2. Mengetahui pengaruh self-efficacy peserta didik yang menggunakan
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik.
3. Mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis peserta didik
berdasarkan self-efficacy peserta didik pada model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) berbantuan asesmen kinerja.
1.4 Batasan Penelitian
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Populasi pada penelitian ini adalah kelas VII SMPN 2 Ungaran.
2. Penelitian ini melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
menerapkan model Contextual Teaching and Learning (CTL)
berbantuan asesmen kinerja.
3. Aspek yang diukur dalam penelitian ini adalah kemampuan
komunikasi matematis ditinjau dari self-efficacy peserta didik.
1.5 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur
perkembangan penelitian tentang self-efficacy dan kemampuan
komunikasi matematis peserta didik pada model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL). Manfaat dari penelitian dapat dilihat lebih
rinci sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berperan dalam memberikan solusi
terhadap upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematis
peserta didik ditinjau dari self-efficacy peserta didik berbantuan
asesmen kinerja.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi peneliti, yaitu mengembangkan keterampilan peneliti dalam
hal meneliti komunikasi matematis berdasarkan self-efficacy
peserta didik pada pembelajaran matematika model Contextual
Teaching and Learning (CTL). Temuan penelitian ini diharapkan
dapat menjadi dasar bagi pengembangan dan pengajaran
pembelajaran selanjutnya
b) Bagi peserta didik, penerapan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) diharapkan dapat memudahkan
peserta didik untuk menguasai materi pelajaran, meningkatkan
keaktifan peserta didik dalam pembelajaran di kelas, dan
mengetahui kategori self-efficacy dalam dirinya terhadap
kemampuan belajar matematika terutama kemampuan komunikasi
matematisnya.
c) Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan untuk
memilih strategi model pembelajaran yang tepat untuk
meningkatkan self-efficacy dan kemampuan komunikasi matematis
peserta didik. Guru dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran
melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) sehingga bisa menjadi solusi untuk meningkatkan
komunikasi matematis peserta didik dan self-efficacy peserta didik,
terutama di pembelajaran setelah masa pandemi.
d) Bagi dunia pendidikan, diharapkan bahwa penelitian ini akan
memberikan wawasan tentang bagaimana menerapkan
pembelajaran, terutama bagi guru matematika dalam meningkatkan
standar kualitas pendidikan.
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai komunikasi matematis berdasarkan self-efficacy
peserta didik cukup banyak dilakukan. Untuk mengetahui perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya maka
dibuatkan keaslian penelitian. Adapun penjabaran secara rinci dari
keaslian penelitian sebagai berikut.
Penelitian Viki & Handayani (2020) yang berjudul “Kemampuan
Komunikasi Matematis berdasarkan Self-efficacy” yang bertujuan untuk
menganalisis dan menelaah secara mendalam tentang kemampuan
komunikasi matematis yang dipengaruhi keyakinan diri (self-efficacy)
peserta didik SMK. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode
korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini
adalah peserta didik SMK Negeri 34 Jakarta dan sampel sebanyak 41
peserta didik yang ditetapkan dengan random sampling. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi peserta
didik SMK dipengaruhi oleh keyakinan dirinya sebesar 37,69% sedangkan
53,9% dipengaruhi oleh faktor selain keyakinan diri peserta didik.
Persamaan penelitian Viki dan Handayani (2020) dengan penelitian ini
yaitu terletak pada variabel penelitian yaitu kemampuan komunikasi
matematis dan self-efficacy peserta didik. Adapun perbedaannya adalah
metode penelitian yang digunakan, indikator kemampuan komunikasi
matematis yang digunakan pada penelitian tersebut, serta populasi dan
sampel yang berbeda.
Penelitian Rapsanjani & Sritresna (2021) yang berjudul “Kemampuan
Komunikasi Matematis Ditinjau dari Self-Efficacy Siswa” mempunyai
tujuan penelitian untuk menganalisis kemampuan komunikasi matematis
peserta didik ditinjau dari self-efficacy menggunakan metode penelitian
deskrisptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan
self-efficacy peserta didik. Peserta didik dengan self-efficacy tinggi lebih
baik di bandingkan dengan self-efficacy sedang dan rendah dalam
penguasaaan kemampuan komunikasi matematis. Persamaan penelitian
Rapsanjani dan Sritresna (2021) dengan penelitian ini yaitu terletak pada
variabel penelitian yakni kemampuan komunikasi matematis dan self-
efficacy peserta didik. Adapun perbedaannya adalah metode dan
pendekatan penelitian yang digunakan, indikator kemampuan komunikasi
matematis yang digunakan juga berbeda.
Penelitian yang dilakukan Dewi & Nuraeni (2022) yang berjudul
“Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP ditinjau dari Self-
Efficacy pada Materi Perbandingan di Desa Karangpawitan” mempunyai
tujuan penelitian untuk menganalisis bagaimana kemampuan komunikasi
matematis ditinjau dari self-efficacy pada materi perbandingan. Subjek
penelitian adalah lima orang peserta didik kelas VII di Desa
Karangpawitan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa tingkat
self-efficacy memengaruhi tingkat kemampuan komunikasi matematis.
Adapun perbedaan penelitian Dewi dan Nuraeni dengan penelitian ini
adalah metode yang digunakan. Pada penelitian Dewi dan Nuraeni (2021)
menggunakan metode kualitatif sedangkan pada penelitian ini
menggunakan metode kombinasi (mixed method) dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif.
Secara keseluruhan yang membedakan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya yaitu dapat dilihat dari subjek penelitian, instrumen
penelitian, materi belajar, waktu penelitian adalah pada tahun 2022, lokasi
penelitian di SMPN 2 Ungaran, Kecamatan Ungaran, Kabupaten
Semarang. Serta dari penelitian-penelitian di atas belum ada yang
menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL). Sedangkan pada penelitian ini peneliti menggunakan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk
menganalisis ketuntasan klasikal hasil tes kemampuan komunikasi
matematis peserta didik, menganalisis rata-rata kemampuan komunikasi
matematis peserta didik, serta mendeskripsikan kemampuan komunikasi
matematis peserta didik berdasarkan self-efficacy peserta didik dengan
berbantuan asesmen kinerja.
BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti menemukan beberapa
penelitian yang dianggap berkaitan dan mampu untuk menunjang
penyusunan skripsi ini. Tinjauan pustaka yang pertama yaitu penelitian dari
Azizah & Maulana (2018) yang berjudul “Analisis Kemampuan Komunikasi
Matematis pada Siswa SMA”. Penelitian tersebut merupakan penelitian
analisis deskripsi dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui
wawancara dan tes kemampuan komunikasi matematis. Setelah dianalisis
diperoleh hasil bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X pada
salah satu SMA Negeri di Kabupaten Cirebon belum mencapai ketuntasan
klasikal, karena hanya terdapat 15,625% dari keseluruhan siswa yang tuntas
KKM. Hal tersebut dijadikan peneliti untuk melanjutkan penelitian guna
menganalisis ketuntasan klasikal tes kemampuan komunikasi matematis
siswa di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Semarang, tepatnya di SMPN 2
Ungaran. Adapun perbedaannya dengan penelitian sebelumnya, peneliti
menggunakan metode kombinasi (mixed method) dan berdasarkan aspek
afektif yaitu self-efficacy siswa serta berbantuan asesmen kinerja.
Tinjauan pustaka kedua adalah penelitian Hendriana & Kadarisma
(2019) yang berjudul “Self-Efficacy dan Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa SMP”. Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh rendahnya
kemampuan komunikasi matematis dan self-efficacy siswa SMP, sehingga
penelitian tersebut memiliki tujuan untuk menganalisis pengaruh self-efficacy
terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP. Metode penelitian
yang digunakan pada penelitian tersebut adalah metode kuantitatif
kolerasional. Hasil dari analisis data pada penelitian tersebut menunjukkan
bahwa self-efficacy berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan
komunikasi matematis siswa SMP, dengan persamaan regresi 𝑌 = 0,34𝑋 −
10,255 menunjukkan pengaruh positif serta tingkat keeratan yaitu koefisien
kolerasi person sebesar 0,776 tergolong dalam interpretasi kuat positif. Hal
tersebut relevan dengan penelitian ini yang menganalisis kemampuan
komunikasi matematis siswa dan self-efficacy siswa. Dari penelitian tersebut
dapat menunjang penelitian yang akan diteliti karena sudah dibuktikan bahwa
kemampuan komunikasi matematis dipengaruhi oleh self-efficacy.
Tinjauan pustaka ketiga yaitu berdasarkan penelitian (Roamah &
Safaatullah, 2022) yang berjudul “Analisis Kemampuan Komunikasi
Matematis berdasarkan Self-efficacy Siswa Kelas XI pada Model
Pembelajaran Flipped Classroom”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa (1) kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan
model pembelajaran flipped classroom telah mencapai ketuntasan secara
klasikal dengan persentase yang dicapai adalah 75%; (2) kemampuan
komunikasi matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran flipped
classroom lebih tinggi dari kemampuan komunikasi matematis siswa dengan
model pembelajaran PBL daring; (3) deskripsi kemampuan komunikasi
matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran flipped classroom
dari subjek self-efficacy kategori atas memenuhi indikator mathematics
expression (menjelaskan ide, situasi, masalah nyata ke dalam model
matematika menggunakan simbol atau bahasa matematika), drawing
(menjelaskan ide matematika ke dalam bentuk visual berupa gambar,
diagram, atau tabel) dan memenuhi indikator written text (menjelaskan secara
matematis yang menunjukkan pemahaman matematika menggunakan bahasa
sendiri dalam menyusun argumen dan generalisasi). Penelitian tersebut
menggunakan metode penelitian mixed method (metode kombinasi) dengan
desain penelitian sequential explanatory design (rancangan sekuensial
eksplanatori). Penelitian tersebut memilih dua kelompok secara acak,
kemudian kelompok yang diberikan perlakukan sebagai kelompok
eksperimen menggunakan model pembelajaran flipped classroom dan
kelompok yang tidak diberi perlakuan sebagai kelompok kontrol yang
menggunakan model pembelajaran yang biasa dilakukan di sekolah tersebut
yaitu model pembelajaran PBL daring.
Tinjauan pustaka keempat yaitu berdasarkan penelitian Sabroni,
2017) yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL) terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII MTs Al-Khairiyah
Natar Tahun Pelajaran 2015/2016 yang berjumlah 66 siswa. Teknik sampling
yang digunakan adalah random sampling dimana kelompok eksperimen yang
terdiri dari 22 siswa dan kelompok kontrol yang terdiri dari 22 siswa. Hasil
dari penelitian tersebut adalah disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap
kemampuan komunikasi matematis siswa. Dari penelitian tersebut dapat
menunjang penelitian yang akan diteliti karena sudah dibuktikan bahwa
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) berpengaruh
terhadap kemampuan komunikasi siswa.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Kemampuan Komunikasi Matematis
Komunikasi merupakan alat atau sarana untuk mengemukakan
ide, gagasan, serta pendapat baik secara lisan maupun secara tulisan.
Menurut Musfiqon (2017), komunikasi merupakan kegiatan rutin
setiap interaksi antara dua orang atau lebih. Menurut Olteanu (2013),
komunikasi adalah hubungan antara pembicara dan pendengar, yakni
suatu proses yang membagi dua orang atau lebih yang tujuannya
bukan merupakan monopoli seseorang atau sejumlah orang. Pada
hakekatnya komunikasi terjadi setiap kali informasi ditransfer dari satu
pihak ke pihak lain, baik itu antar individu, antar individu dengan
lingkungannya, atau sebaliknya. Dalam hal ini terjadi komunikasi
antara komunikator yang mengirim pesan dan komunikan yang
langsung memberikan respon secara aktif. Sedangkan menurut Umar
(2012) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis
memungkinkan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas,
memecahkan masalah yang diberikan, serta mempertanggungjawabkan
atas jawaban mereka terhadap pertanyaan atau permasalahan yang ada
kepada guru.
Hopf dan Colby (dalam (Wulantina et al., 2020) berpendapat
bahwa interaksi teman sebaya dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi siswa. Sedangkan menurut state of the literature dalam
(Kaya & Aydın, 2016) “Mathematical communication is defined as
planned interaction in classroom setting, which includes strategies
such as questioning, discussions and group activities. The purpose of
mathematical communication is to encourage students to express,
share and reflect on their ideas”. Pernyataan tersebut bermakna bahwa
komunikasi matematika diartikan sebagai interaksi yang direncanakan
secara terstruktur yang menggunakan strategi berupa pertanyaan, kerja
kelompok, dan diskusi. Tujuan dari komunikasi matematis adalah
untuk mendorong siswa dalam mengekspresikan, berbagi, serta
merefleksikan ide-ide mereka.
Menurut Clark (2005), “Math is communication. You have to be
able to communicate the concepts. You have to be able to
communicate your thinking…. Numbers aren’t enough for me.
Numbers aren’t enough for any good mathematician. You have to
prove it. You have to convince me”. Ini berarti bahwa matematika tidak
hanya dalam hal berhitung, tetapi juga dalam hal bagaimana
mengkomunikasikan matematika baik secara lisan maupun tulisan,
siswa harus mampu menyampaikan isi pemikirannya mengenai
masalah matematika. Sementara itu, Elida (2012) mengemukakan
bahwa kemampuan siswa untuk menghubungkan benda nyata, gambar,
dan diagram dengan konsep matematika dikenal sebagai kemampuan
komunikasi matematisnya. Siswa mampu menjelaskan konsep, situasi,
dan hubungan matematika baik melalui lisan ataupun tulisan yang
menggunkan grafik atau gambar dan merumuskan pertanyaan
mengenai matematika yang telah dipelajari dari situasi tertentu.
Kemampuan komunikasi matematis terdiri atas dua jenis yaitu
kemampuan komunikasi tertulis dan lisan (Putri & Tauran, 2020).
Kemampuan komunikasi matematis tertulis dapat berbentuk grafik,
gambar, tabel, persamaan, atau menulis jawaban atas pertanyaan.
Sedangkan kemampuan komunikasi matematis lisan dapat berbentuk
berbicara, mendengarkan, berdiskusi, atau berbagi pendapat. Dalam
penelitian ini, kemampuan komunikasi matematis diukur dari
kemampuan komunikasi matematis tertulis.
Untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa
perlu menggunakan alat ukur yang juga dikenal sebagai indikator
kemampuan komunikasi matematis. Menurut Depdiknas melalui
Dokumen Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004 (dalam
Handayani, 2014)) indikator komunikasi matematis antara lain: (1)
menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan
diagram; (2) mengajukan dugaan; (3) melakukan manipulasi
matematika; (4) menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan
alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi; (5) menarik kesimpulan
dari pernyataan; (6) memeriksa kesahihan suatu argumen dan; (7)
menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi. Indikator komunikasi matematis tertulis menurut
Kodariyati dan Astuti (2016) yaitu, (1) menggunakan model
matematika (gambar, rumus, dan simbol/lambang matematika yang
sesuai), (2) memberikan pendapat terhadap suatu pernyataan atau
pertanyaan, dan (3) memberikan kesimpulan terhadap solusi yang
diperoleh. Sedangkan indikator komunikasi matematis tertulis menurut
Ansari (dalam Hikmawati, 2019) antara lain, (1) mathematical
expression, menjelaskan ide, situasi, masalah nyata ke dalam model
matematika menggunakan simbol atau bahasa matematika, (2)
drawing, yaitu menjelaskan ide matematika ke dalam bentuk visual
berupa gambar, diagram, atau tabel; (3) written text, menjelaskan
secara matematis yang menunjukkan pemahaman matematika
menggunakan bahasa sendiri dalam menyusun argumen dan
generalisasi.
Berdasarkan uraian yang telah dibahas sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis mengacu pada
kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan suatu masalah atau
konsep matematika untuk memperjelas keadaan atau masalah baik
secara lisan, visual (berupa objek nyata, gambar, grafik, atau tabel,
serta simbol matematika), serta tulisan. Ide dapat diungkapkan,
didiskusikan, dan dikembangkan melalui komunikasi. Ketika siswa
diminta untuk mempresentasikan serta mengkomunikasikan hasil
pemikiran mereka secara tertulis kepada orang lain, mereka
mengembangkan kemampuan mereka untuk membenarkan,
membujuk, dan menggunakan bahasa matematika dengan benar dan
tepat. Kemampuan komunikasi matematis pada penelitian ini adalah
kemampuan komunikasi secara tertulis sesuai dengan indikator
Indikator Deskripsi
(1) mathematical expression, a. Dapat menyajikan ide dan
menjelaskan ide, situasi, situasi menggunakan model
masalah nyata ke dalam matematika dengan benar
model matematika dan lengkap.
menggunakan simbol b. Dapat menyajikan ide
atau bahasa matematika menggunakan bahasa
simbol/notasi matematika
dengan benar.
c. Menggunakan semua
informasi yang ada pada
masalah dengan tepat.

(2) drawing, menjelaskan ide a. Menyajikan situasi, ide atau


matematika ke dalam solusi dari permasalahan
bentuk visual berupa matematika dalam bentuk
gambar, diagram, atau gambar dengan tepat.
tabel b. Menyajikan situasi, ide atau
solusi dari permasalahan
matematika dalam bentuk
gambar dengan jelas.

(3) written text, menjelaskan a. Menuliskan ide strategi


secara matematis yang penyelesaian menggunakan
menunjukkan bahasa sendiri dengan tepat
pemahaman matematika dan dapat dipahami.
menggunakan bahasa b. Dapat menjelaskan ide
sendiri dalam menyusun menggunakan istilah
argumen dan generalisasi matematika.
c. Menuliskan kesimpulan.

kemampuan komunikasi matematis yang dikemukakan Ansari (dalam


Hikmawati, 2019) seperti tercantum pada Tabel 2.1. berikut.
Tabel 2.1. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

2.2.2 Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)


Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata
peserta didik, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari (Mansur, 2008). Menurut Johnson Contextual
Teaching and Learning (CTL) juga merupakan sebuah sistem yang
merangsang otak untuk menyusun pola-pola sehingga menghasilkan
makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari
kehidupan sehari-hari peserta didik (Wilda, 2013).
Menurut Sanjaya Contextual Teaching and Learning (CTL)
adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses
keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi
yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2006).
Menurut Berns dan Erikson (Kokom, 2010) bahwa
pembelajaran matematika kontekstual adalah pembelajaran
matematika dengan pendekatan kontekstual. Contextual Teaching and
Learning (CTL) disebut pendekatan kontekstual karena konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat
tenaga kerja (Kokom, 2010). Proses pembelajaran berlangsung
alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan menyelami
bukan transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik. Proses
pengembangan konsep dan gagasan pembelajaran matematika
kontekstual bermula dari dunia nyata.
Menurut Sanjaya (2006) ada tujuh komponen utama yang
mendasari penerapan pembelajaran konteksual di kelas. Komponen-
komponen tersebut yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya,
masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya.
Ketujuh komponen tersebut dapat diterapkan tanpa harus mengubah
kurikulum yang ada, bidang studi apa saja dan kelas yang
bagaimanapun keadaannya. Secara proposi ketujuh komponen
pembelajaran kontekstual sebagai berikut.
1. Konstruktivisme (Contructivism)
Teori belajar tentang konstruktivisme menyatakan bahwa
peserta didik harus membangun pengetahuan di dalam benak
mereka sendiri. Setiap pengetahuan dapat dikuasai dengan baik
jika peserta didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan di
dalam pikirannya. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir
atau filosofis model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia secara
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks
terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Oleh karena itu pengetahuan
menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan.
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi lebih diutamakan dari
pada kemampuan peserta didik memperoleh dan mengingat
pengetahuan.
Dalam proses pembentukan pengetahuan, baik perspektif
personal maupun perspektif sosial kultural sebenarnya sama-sama
menekankan kepentingannya keaktifan peserta didik dalam belajar,
hanya yang satu lebih menekankan keaktifan individual, sedangkan
yang lain menekankan pentingnya lingkungan sosial kultural.
Tugas guru adalah memfasilitasi proses pembentukan pengetahuan
dengan:
a. Menjadikan pengajar bermakna dan relevan bagi peserta didik.
b. Memberi kesempatan peserta didik menemukan dan
menerapkan idenya sendiri.
c. Menyadarkan agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
belajar. Pembelajaran menekankan pemahaman sendiri secara
aktif, kreatif dan produktif dari pengalaman atau pengetahuan
terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan
pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL)
atau pembelajaran dengan model kontekstual. Pengetahuan dan
ketrampilan peserta didik diperoleh bukan dari hasil mengingat
seperangkat fakta tetapi hasil dari penemukan sendiri. Guru selalu
merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,
apapun materi yang diajarkannya. Siklus inquiry: merumuskan
masalah, observasi, bertanya, mengajukan dugaan (hipotesis),
pengumpulan data dan penyimpulan.
3. Bertanya (Questioning)
Questioning atau bertanya adalah salah satu strategi
pembentukan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL). Bagi guru bertanya dipandang sebagai kegiatan
untuk mendorong peserta didik mengetahui sesuatu, mengarahkan
peserta didik untuk memperoleh informasi, membimbing dan
menilai kemampuan peserta didik.
Dalam pembelajaran kegiatan bertanya berguna untuk:
a. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademik.
b. Mengecek pemahaman peserta didik.
c. Membangkitkan respon kepada peserta didik.
d. Mengetahui sejauh mana keingintahuan peserta didik.
e. Mengetahui hal- hal yang sudah diketahui peserta didik.
f. Memfokuskan perhatian peserta didik pada suatu yang
dikehendaki.
g. Untuk membangkitkan pertanyaan dari peserta didik.
h. Untuk menyegarkan kembali pengetahuan peserta didik.
Pada semua aktivitas belajar bertanya dapat diterapkan antara
peserta didik dengan peserta didik, antara peserta didik dengan
guru, antara guru dengan peserta didik, antara peserta didik dengan
orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya juga
dapat ditemukan ketika peserta didik berdiskusi, bekerja dalam
kelompok, ketika menemukan kesulitan, dan ketika mengamati.
4. Pemodelan (Modelling)
Modelling atau permodelan adalah kegiatan pemberian model
dengan tujuan untuk membahasakan gagasan yang kita pikirkan,
mendemonstrasikan bagaimana kita menginginkan para peserta
didik untuk belajar atau melakukan sesuatu yang kita inginkan.
Sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan adalah model
yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan
sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh surat, cara
melafalkan Inggris, atau guru memberi contoh cara mengerjakan
sesuatu sehingga guru menjadi model tentang bagaimana belajar.
5. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar adalah kegiatan pembelajaran yang
difokuskan pada aktivitas berbicara dan berbagai pengalaman
dengan orang lain. Aspek kerjasama dengan orang lain untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih baik untuk memberikan
ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk membuka wawasan,
berani mengemukakan pendapat yang berbeda dengan orang lain
pada umumnya, dan berani berekspresi serta berkomunikasi
dengan teman sekelompok atau teman sekelas. Hal ini berarti hasil
pembelajaran diperoleh dengan kerjasama dengan orang lain. Hasil
belajar diperoleh dari “sharing“ antara teman kelompok dan antara
yang tahu dengan tidak tahu. Dalam kelas Contextual Teaching
and Learning (CTL), guru selalu melaksanakan pembelajaran
dalam kelompok-kelompok belajar.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari
atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di
masa lalu. peserta didik menyimpan apa yang telah dipelajari
sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan
pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan
yang baru diterima. peserta didik melakukan refleksi berupa:
a. Pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
b. Catatan atau jurnal di buku peserta didik.
c. Kesan dan saran peserta didik mengenai pembelajaran hari itu.
d. Diskusi.
e. Hasil karya
7. Penilaian Yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang
dapat memberi gambaran pengembangan belajar peserta didik.
Gambaran itu perlu diperoleh guru agar bisa memastikan bahwa
peserta didik mengalami proses belajar yang benar. Penilaian
dilakukan secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran. Data
yang dikumpulkan harus dari kegiatan yang nyata yang dikerjakan
peserta didik pada proses pembelajaran.
Beberapa karakteristik penilaian autentik antara lain:
a. Dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran.
b. Dapat digunakan untuk formatif dan sumatif.
c. Yang diukur adalah ketrampilan dan penampilannya,
bukan mengingat fakta.
d. Berkesinambungan.
e. Terintegrasi.
f. Dapat digunakan sebagai feed back.
Menurut Komalasari karakteristik model pembelajara
Contextual Teaching and Learning (CTL) meliputi pembelajaran
yang menerapkan konsep keterkaitan (relating), konsep
pengalaman langsung (experiencing), konsep aplikasi (applying),
konsep kerjasama (cooperating), konsep pengaturan diri (self-
regulating), dan konsep penelitian (autentik assessment).
Landasan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL): Pertama, Contextual Teaching and Learning
(CTL) menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada
proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks
Contextual Teaching and Learning (CTL) tidak mengharapkan
agar peserta didik hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses
mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua,
Contextual Teaching and Learning (CTL) mendorong agar peserta
didik dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik dituntut
untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab
dengan dapat mengolerasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, bukan saja bagi peserta didik materi itu akan
bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya
akan tertanam erat dalam memori peserta didik, sehingga tidak
akan mudah dilupakan. Ketiga, Contextual Teaching and Learning
(CTL) mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya Contextual Teaching and Learning (CTL)
bukan hanya mengharapkan peserta didik dapat memahami materi
yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu
dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi
pelajaran dalam konteks Contextual Teaching and Learning (CTL)
bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi
segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupannya nyata.
Adapun kelebihan dan kelemahan model pembelajaran
contextual teaching and learning (CTL) yaitu:
1. Kelebihan Contextual Teaching and Learning (CTL)
a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya
peserta didik dituntut untuk dapat menangkap hubungan
antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata.
b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan
penguatan konsep kepada peserta didik karena model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
menganut aliran kontruktivisme, dimana seorang peserta
didik dituntut untuk menemukan pengetahuannya sendiri.
2. Kelemahan Contextual Teaching and Learning (CTL)
a. Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL). Guru tidak lagi berperan sebagai informasi. Tugas
guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang
bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan
keterampilan yang baru bagi peserta didik. peserta didik
dipandang sebagai individu yang sedang berkembang.
Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang
dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah
sebagai instruktur atau “penguasa” yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing peserta didik
agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap
perkembangannya.
b. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menemukan atau menerapkan ide-ide dan mengajak peserta
didik agar dengan menyadari dan dengan sadar
menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Dalam proses belajar dengan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) terdapat langkah-langkah yang
mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja dengan menciptakan masyarakan
belajar, melakukan kegiatan penemuan dalam semua pembelajaran,
mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya,
menghadirkan model atau media sebagai contoh belajar peserta
didik dan melakukan refleksi di akhir pertemuan dan melakukan
penilaian atas hasil yg di capai peserta didik. Dalam penelitian ini
tahap-tahap yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran CTL
untuk meningkatkan kemampuan matematis yaitu dijelaskan pada
tabel 2.3 berikut.
Tahapan Siklus Kegiatan
Belajar Guru Peserta Didik
Kegiatan Awal a. Guru menyiapkan a. Menyiapkan diri
peserta didik secara untuk mengikuti
psikis dan fisik kegiatan
untuk mengikuti pembelajaran.
proses b. Mengingat
pembelajaran. kembali
b. Apresiasi sebagai pengetahuan
penggalian awal terhadap
pengetahuan awal materi yang
peserta didik diajarkan.
terhadap materi c. Memberikan
yang akan diajarkan. respon.
c. Guru
menyampaikan
tujuan pembelajaran
dan pokok-pokok
materi yang akan
dipelajari. d)
Penjelasan tentang
pembagian
kelompok dan cara
belajar
Kegiatan Inti a. Guru berkeliling a. Peserta didik
untuk memandu bekerja dalam
proses penyelesaian kelompok
permasalahan. menyelesaikan
b. Dengan mengacu permasalahan
pada jawaban yang diajukan
peserta didik, guru. Pada tahap
melalui tanya jawab, ini peserta didik
guru dan peserta diharapkan
didik membahas dapat
cara penyelesaian menjelaskan
masalah yang tepat. permasalahan
c. Guru mengadakan dengan ide,
refleksi dengan konsep, secara
menanyakan kepada sistematis, jelas
peserta didik dan logis.
tentang halhal yang b. Wakil kelompok
dirasakan peserta mempresentasik
didik, materi yang an hasil kerja
belum dipahami kelompok dan
dengan baik, kesan kelompok yang
dan pesan selama lain menggapai
mengikuti hasil kerja
pembelajaran kelompok yang
mendapat tugas.
Pada tahap ini
peserta didik
diharapkan
dapat Membuat
konjektur,
menyusun
argumen,
merumuskan
definisi,
kemudian
megeneralisasik
an ilmu
matematika.
c. Peserta didik
dalam kelompok
menyelesaikan
lembar kerja
yang diajukan
guru dengan
memodelkan
permasalahan
secara benar
kemudian
melakukan
perhitungan
secara lengkap
dan benar.
Kegiatan Akhir a. Mengajak peserta a. Membuat
didik membuat kesimpulan
kesimpulan cara berdasarkan
menyelesaikan soal- didskusi
soal pada materi kelompok dan
yang di ajarkan dan mengerjakan
memberikan lembar lembar tugas.
tugas secara
individu. b. Membahas
b. Membahas Penyelesaian
penyelesaian lembar lembar tugas.
tugas sekaligus
memberi nilai pada
lembar tugas sesuai
kesepakatan yang
telah diambil.
Tabel 2.2. Tahapan Pembelajaran CTL

2.2.3 Model Pembelajaran Problem-Based Learning (PBL)


Menurut Arends, sebagaimana dikutip oleh Hasan (2016)
ProblemBased Learning (PBL) adalah pembelajaran yang memiliki
ciri berupa memberikan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan
bermakna kepada siswa. Masalah matematika adalah alat yang
digunakan tidak hanya untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan berpikir mereka tetapi juga mengembangkan keterampilan
dasar dalam pemecahan masalah terutama masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Namun memberikan masalah matematika kepada
sekelompok siswa tidak menjamin bahwa mereka akan mampu
mengatasinya. PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang
menghadirkan masalah nyata sebagai landasan dasar dalam proses
pembelajaran (Rahmadani dalam Apriatna, 2020).
Menurut Bruner PBL memiliki arti penting belajar konsep dan
belajar menggeneralisasi. Pembelajaran yang berorientasi pada
kecakapan siswa memproses informasi. Pemrosesan informasi
mengacu pada cara-cara orang menanggapi stimulasi dari lingkungan,
mengorganisasi data, melihat masalah, mengembangkan konsep,
memecahkan masalah dan menggunakan lambang-lambang verbal dan
non-verbal (Mufida, 2016). Daryanto, sebagaimana dikutip oleh
Mufida (2016) juga berpendapat bahwa pembelajaran berbasis masalah
merupakan suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk
“belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk
mencari solusi dari permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-
hari. Masalah yang diberikan digunakan untuk menumbuhkan rasa
ingin tahu siswa dan motivasi belajar siswa. Masalah tersebut
diberikan sebelum siswa mempelajari konsep atau materi yang
berkaitan dengan masalah yang harus dipecahkan.
PBL merupakan suatu model pembelajaran yang digunakan
untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang
berorientasi pada masalah nyata (Rusman dalam Amalia, 2016). PBL
berorientasi pada pemecahan masalah yang dikaitkan dengan
kehidupan nyata. Pembelajaran ini dirancang untuk membantu guru
memberikan informasi sebanyakbanyaknya kepada siswa tanpa harus
menyampaikan materi secara utuh (Amalia, 2016). Beberapa
karakteristik proses PBL menurut Tan, sebagaimana dikutip oleh
Mufida (2016) diantaranya:
1. Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran.
2. Masalah yang digunakan adalah masalah nyata yang disajikan
secara mengambang.
3. Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk. Solusinya
menuntut siswa menggunakan dan mendapatkan konsep dari
beberapa ilmu yang telah dipelajari atau lintas ilmu ke bidang lain.
4. Masalah membuat siswa tertantang mendapatkan pembelajaran di
ranah yang baru.
5. Mengutamakan belajar mandiri (self directed learning).
6. Memanfaatkan berbagai sumber pengetahuan yang bervariasi.
7. Pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Siswa
bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan, dan
melakukan presentasi.
Model PBL memiliki lima tahapan utama yaitu sebagai
berikut (Trianto dalam Mufida, 2016:32-33).
1. Fase 1 (Orientasi siswa pada masalah)
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang
diperlukan, mengajukan fenomena atau cerita untuk memotivasi
siswa agar terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.
2. Fase 2 (Mengorganisasi siswa)
Guru mengelompokkan siswa, membantu siswa mendefinisikan,
dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah.
3. Fase 3 (Membimbing penyelidikan individu atau kelompok)
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
dibutuhkan, melaksanakan eksperimen atau penyelidikan untuk
memperoleh penjelasan atau pemecahan masalah.
4. Fase 4 (Mengembangkan dan menyajikan hasil karya)
Guru membantu siswa merencanakan atau menyiapkan laporan,
dokumentasi, atau model, untuk membantu mereka
menyampaikannya kepada orang lain.
5. Fase 5 (Menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil
pemecahan masalah)
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap proses dan hasil penyelidikan yang telah mereka lakukan.
Akinoglu dan Ozkardes-Tandogan, sebagaimana dikutip oleh
Mufida (2016:33) terdapat kelebihan dan kelemahan yang dimiliki
oleh model PBL. Kelebihan model PBL adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran akan lebih berpusat pada siswa.
2. Model pembelajaran yang mengembangkan kontrol diri pada
siswa. Mengajarkan pembuatan rencana yang perspektif dan
mengekspresikan emosi.
3. Model pembelajaran ini memungkinkan siswa melihat peristiwa
yang berhubungan dengan materi ajar, sehingga belajar bisa lebih
bermakna.
4. Membantu mengembangkan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah.
5. Mendorong siswa belajar hal baru dan konsep saat memecahkan
masalah.
6. Mengembangkan sikap sosialisasi dan keterampilan komunikasi
siswa dengan memungkinkan mereka untuk belajar dan bekerja
dalam tim.
7. Mengembangkan kemampuan pemikiran tingkat tinggi atau
berfikir kritis dan berfikir ilmiah siswa.
8. Model ini memadukan antara teori dan praktik, yang
memungkinkan siswa untuk menggabungkan pengetahuan lama
mereka dengan pengetahuan baru untuk mengembangkan
keterampilan.
9. Memotivasi belajar guru dan siswa.
10. Siswa memperoleh keterampilan manajemen waktu, fokus,
pengumpulan data, penyusunan laporan, dan evaluasi.
Selain itu terdapat beberapa faktor yang menjadi kelemahan
pelaksanaan pembelajaran dengan PBL, yakni sebagai berikut.
1. Kesulitan guru mengubah gaya belajar siswa.
2. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa menyelesaikan
masalah.
3. Kelompok atau individu mungkin dapat menyelesaikan pekerjaan
mereka lebih awal atau lebih lama.
4. PBL memerlukan materi dan penelitian/percobaan yang banyak.
5. PBL tidak dapat diterapkan pada semua materi atau proses
pembelajaran.
6. Penilaian pembelajaran lebih sulit.
2.2.4 Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL)
Beberapa teori belajar yang mendukung dalam penelitian ini,
antara lain sebagai berikut.
1. Belajar menurut Pandangan Piaget
Menurut Piaget (dalam Ibda, 2015) terdapat empat konsep
pokok mengenai perkembangan kognitif. Keempat konsep tersebut
adalah skema, asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrium. Skema
merupakan kategori pengetahuan yang membantu seseorang dalam
memahami dan menafsirkan dunianya. Skema menggambarkan
tindakan mental dan fisik dalam mengetahui dan memahami objek.
Asimilasi merupakan proses memasukkan informasi ke dalam
skema yang telah dimiliki. Proses asimilasi ini agak bersifat
subjektif karena seseorang cenderung memodifikasi pengalaman
atau informasi yang agak atau sesuai dengan keyakinan yang telah
dimiliki sebelumnya. Akomodasi merupakan proses mengubah
skema yang telah dimiliki dengan informasi baru. Ekuilibrium
merupakan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Ekuilibrium ini menjelaskan bagaimana anak mampu berpindah
dari tahapan berpikir ke tahapan berpikir berkutnya.
Tahap-tahap perkembangan kognitif dalam teori Piaget
mencakup tahap sensorimotorik, praoperasional, dan operasional
(Ibda, 2015). Tahap sensorimotorik merupakan tahap dimana bayi
menysun pemahaman dunia dengan mengordinasikan pengalaman
indera mereka dengan gerakan motorik (otot) mereka. Selama
dalam tahap ini, pengetahuan bayi tentang dunia adalah terbatas
pada persepsi yang diperoleh dari penginderaannya dan kegiatan
motoriknya.
Tahap praoperasional merupakan tahap pemikiran yang
bersifat simbolis, egoisentris, dan intuitif, sehingga tidak
melibatkan pemikiran operasional. Pemikiran ini terbagi menjadi
dua sub-tahap yaitu simbolik dan intuitif. Pada subtahap simbolis
anak secara mental sudah mampu mempresentasikan obyek yang
tidak nampak dan penggunaan bahasa mulai berkembang
ditunjukkan dengan sikap bermain, sehingga muncul egoisme dan
animisme. Sedangkan pada subtahap intuitif, anak mulai
menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaan dari semua
pertanyaan; disebut intuitif karena anak merasa yakin akan
pengetahuan dan pemahaman mereka.
Tahap operasional dibagi menjadi dua sub-tahap yaitu
operasional konkret dan operasional formal. Pada tahap
operasional konkret, anak mampu mengoperasikan berbagai logika
namun masih dalam bentuk benda konkret. Sedangkan pada tahap
operasional formal, anak sudah mampu berpikir abstrak, idealis,
dan logis. Pemikiran operasional formal tampak lebih jelas dalam
pemecahan masalah verbal.
Menurut Piaget dalam Ibda (2015), mengemukakan tiga
prinsip utama pembelajaran sebagai berikut.
a. Belajar aktif
Proses pembelajaran adalah proses aktif, karena
pengetahuan, terbentuk dari dalam subyek belajar. Untuk
membantu perkembangan kognitif anak, kepadanya perlu
diciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan anak
belajar sendiri, misalnya melakukan percobaan,
manipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan
mencari jawab sendiri, membandingkan penemuan sendiri
dengan penemuan temannya.
b. Belajar lewat interaksi sosial
Proses belajar perlu diciptakan suasana yang
memungkinkan terjadinya interaksi diantara subyek
belajar. Menurut Piaget, belajar bersama akan membantu
perkembangan kognitif mereka. Dengan interaksi sosial,
perkembangan kognitif anak akan mengarah ke banyak
pandangan.
c. Belajar lewat pengalaman sendiri
Perkembangan kognitif anak lebih berarti apabila
didasarkan pada pengalaman nyata dari pada bahasa yang
digunakan berkomunikasi.
Pada penelitian ini, pandangan belajar menurut Piaget
mendukung model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning, karena: (1) Dalam pembelajaran Contextual Teaching
and Learning terdapat tahapan dimana siswa berdiskusi dengan
kelompok yang berarti selalu terjadi interaksi sosial; (2)
mendorong siswa untuk aktif dalam berdiskusi; dan (3) belajar
lewat pengalaman sendiri dalam kelompoknya dalam
menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Selain itu, pada tahapan
operasional formal juga mengimplikasikan bahwa anak telah
memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, karena pada tahap ini
anak telah mampu untuk berpikir idealis, abstrak, logis, mampu
menyelesaikan masalah, serta menarik kesimpulan.
2. Belajar menurut Pandangan Vygotsky
Menurut Tappan (dalam Rifa’i & Anni, 2012), ada tiga konsep
yang dikembangkan dalam teori Vygotsky yaitu meliputi:
a. Keahlian kognitif anak dapat dipahami apabila dianalisis
dan diinterpretasikan secara developmental.
b. Kemampuan kognitif dimediasi dengan kata, bahasa, dan
bentuk diskurusus yang berfungsi sebagai alat psikologis
untuk membantu dan mentransformasi aktivitas mental;
c. Kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan
dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural.
Pandangan pada teori Vygotsky dipengaruhi situasi dan
bersifat kolaboratif, artinya pengetahuan didistribusikan pada
orang dan lingkungan, yang memuat pada obyek, artifak, alat,
buku, dan komunitas tempat orang berinteraksi dengan orang lain
(Rifa’i & Anni, 2012, p. 37). Beberapa ide yang diungkapkan
Vygotsky tentang zone of proximal development (ZPD) yang
artinya serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara
sendirian, tetapi dapat dipelajari dengan bantuan orang dewasa atau
anak yang lebih mampu (Rifa’i & Anni, 2012).
ZPD menurut Vygotsky sebagaimana dikutip Hasse dalam
Rifa’i (2012) menunjukkan pentingnya pengaruh sosial, terutama
pengaruh pembelajaran terhadap perkembangan kognitif anak. Ide
dasar lain dari teori belajar ide Vygotsky adalah pembelajaran
terjadi melalui interaksi sosial dengan guru atau teman belajar
(peers), dengan tantangan yang tepat dan dukungan guru atau
teman belajar yang lebih mengetahui.
Implikasi teori Vygotsky dalam proses pembelajaran menurut
Rifa’i (2012) sebagai berikut.
a. Sebelum mengajar, seorang guru hendaknya memahami
ZPD siswa batas bawah sehingga bermanfaat untuk
menyusun struktur materi pembelajaran.
b. Untuk mengembangkan pembelajaran yang berkomunitas,
seorang guru perlu memanfaatkan tutor sebaya di dalam
kelas.
c. Dalam pembelajaran, seorang guru hendaknya
menggunakan teknik scaffoldig dengan tujuan siswa dapat
belajar atas inisiatifnya sendiri, sehingga mereka dapat
mencapai keahlian pada batas atas ZPD.
Pada penelitian ini, model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning relevan dengan pandangan belajar Vygotsky, sebab
di dalam pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk
mencapai tujuan belajar dan mengembangkan pengetauannya
sendiri.
3. Belajar menurut Pandangan Bruner
Enam hal yang mendasari teori Bruner dalam Rifa’i (2012),
yakni sebagai berikut.
a. Perkembangan intelektual ditandai oleh meningkatnya
variasi respon terhadap stimulus.
b. Pertumbuhan tergantung pada perkembangan intelektual
dan sistem pengolahan informasi yang dapat
mengambarkan realita.
c. Perkembangan intelektual memerlukan peningkatan
kecakapan untuk mengatakan pada dirinya sendiri dan
orang lain melalui kata-kata.
d. Interaksi antara guru dan siswa adalah penting bagi
perkembangan kognitif.
e. Bahasa menjadi kunci perkembangan kognitif.
f. Pertumbuhan kognitif ditandai oleh semakin
meningkatnya kemampuan menyelesaikan berbagai
alternatif secara simultan, melakukan brbagai kegiatan
secara bersamaan, dan mengalokasikan perhatian secara
runtut pada berbagai situasi tertentu.
Bruner meyakini bahwa ada tiga tahap perkembangan kognitif
(Rifa’i & Anni, 2012) yaitu sebagai berikut.
a. Tahap enaktif yaitu tahap dimana anak memahami
lingkungannya.
b. Tahap ikonik. Dalam tahap ini informasi dibawa anak
melalui imageri. Hal ini berarti bahwa pada tahap ini anak
memproses informasi yang sudah didapat.
c. Tahap simbolik. Tahap ini tindakan pemikiran terlebih
dahulu dan pemahaman konseptual sudah berkembang.
Bahasa, logika, dan matematika memegang peranan
penting.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan antara teori belajar
Bruner dengan berpikir kritis dapat terlihat pada hal kelima dan
keenam serta tiga tahap yang diungkapkan Bruner. Hal kelima
yaitu berkaitan dengan elemen bernalar konsep dan ide serta
penyimpulan. Sesuai dengan standar intelektual luas pada elemen
bernalar sudut pandang Kurniasih (2010) yakni siswa dapat
menyelesaikan masalah dengan berbagai alternatif. Tahap enaktif
sesuai dengan elemen bernalar uraian Paul yaitu memahami
informasi. Tahap ikonik sesuai dengan elemen bernalar konsep dan
ide yaitu memproses informasi yang didapat dengan konsepkonsep
yang telah dipunyai. Sedangkan tahap simbolik sesuai dengan
elemen bernalar sesuai dengan elemen bernalar penyimpulan oleh
Paul dimana konsep dan ide yang telah didapat diimplementasikan
dengan jelas dan runtut menuju penyelesaian masalah.
2.2.5 Self-efficacy
Bandura menciptakan konsep self-efficacy berdasarkan teori
kognitif. Ia menyatakan bahwa “self-efficacy refers to beliefs in one’s
capability to organize and execute the courses of action required to
produce given attains” (Bandura dalam Hendriana et al., 2017). Dari
definisi ini, dapat diketahui bahwa self-efficacy adalah keyakinan yang
dimiliki seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk menghasilkan
pencapaian tertentu. Azadi (dalam Ridaningrum et al., 2020)
berpendapat bahwa self-efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki
seseorang dalam kapasitasnya untuk menyelesaikan tugas-tugas sulit,
menghadapi situasi baru, dan membedakan antara bagaimana
seseorang merasa, berpikir, dan bertindak.
Sedangkan menurut Setiadi (dalam Hanifah et al., 2020) self-
efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang dalam
kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tugas-tugas yang
diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Menurut pandangan
beberapa ahli tersebut, efikasi diri adalah suatu keyakinan unik yang
berkaitan dengan pelaksanaan suatu tugas dan melibatkan keyakinan
seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu aktivitas
tertentu dan dalam keadaan tertentu.
Rahman et al., (2018) menyatakan bahwa “self-efficacy
influenced by Culture, level of tasks assigned, external Intensive, Role
in the environment and Information about SelfEsteem that determines
trust in themselves”. Bahwa self-efficacy berdampak pada hampir
semua hal yang dilakukan seseorang, termasuk bagaimana mereka
berpikir dan menginspirasi diri mereka sendiri. Orang dengan self-
efficacy yang tinggi berkomitmen untuk menemukan solusi atas
kesulitan dan tidak akan menyerah bahkan jika pendekatan mereka
saat ini tidak berhasil. Orang dengan efikasi diri yang tinggi akan
merasa cukup sederhana untuk mengatasi hambatan. Orang-orang
tidak memiliki keraguan tentang dia karena dia benar-benar percaya
diri dengan bakatnya. Orang ini dapat dengan mudah mengatasi
kesulitan dan bangkit kembali dari kemunduran. Seseorang dengan
efikasi diri yang kuat akan terus-menerus mencoba hal-hal baru dan
siap menghadapi tantangan.
Self-efficacy peserta didik dibagi menjadi tiga kategori yaitu
self-efficacy peserta didik kategori atas, tengah, dan bawah. Pada
penelitian ini digunakan pengkategorian self-efficacy berdasarkan
Azwar (2012, h.149) dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Kategori Interval Nilai
Atas Skor ≥( x +1,0 s)
Tengah ( x−1,0 s ) ≤ Skor ¿( x +1,0 s)
Bawah Skor ¿( x −1,0 s)
Keterangan: x = rata-rata skor self-efficacy peserta didik; s =
simpangan baku skor self-efficacy peserta didik.
Tabel 2.3. Pengkategorian Self-efficacy Siswa

Menurut Bandura (dalam Hendriana et al., 2017) terdapat tiga


dimensi untuk mengetahui self-efficacy siswa, yaitu:
a. Magrnitude (tingkat kesulitan tugas) yaitu behubungan dengan
kesulitan tugas. Seseorang akan mencoba perilaku yang mereka
yakini mampu ia lakukan, menghindari situasi dan tindakan yang
berada di luar batas kemampuan yang mereka rasakan.
b. Generality (keumuman perilaku) adalah sejauh mana orang
memiliki keyakinan dalam keterampilan mereka untuk melakukan
berbagai pekerjaan atau situasi, dari melakukan tindakan atau
keadaan tertentu untuk melakukannya.
c. Strength (ketetapan keyakinan) yaitu sejauh mana seseorang dapat
memenuhi tujuannya. Seseorang yang termasuk kategori self-
efficacy bawah lebih cenderung menyerah pada situasi yang
menantang. Sementara seseorang yang temasuk kategori self-
efficacy atas walaupun dalam situasi yang sulit, tidak akan mudah
menyerah dalam usahanya meskipun ada pengalaman negatif yang
menghambat ketika mencapai tujuannya (Bandura dalam
Hendriana et al., 2017).
Menurut Bandura (dalam Hendriana et al., 2017) self-efficacy
dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perolehan, peningkatan,
atau penurunan self-efficacy dari kombinasi empat sumber berikut:
a. Pengalaman menguasai suatu (mastery experience)
Pengalaman menguasai sesuatu, khususnya kinerja masa lalu,
adalah sumber self-efficacy yang paling signifikan. Performa yang
sukses cenderung meningkatkan harapan untuk kemampuan, tetapi
yang tidak berhasil cenderung menurunkannya. Kegagalan juga
akan menurunkan self-efficacy, terutama jika terjadi sebelum self-
effficacy tercipta. Pengalaman dan pencapaian sukses akan
meningkatkan self-efficacy. Sebuah tantangan menawarkan
kesempatan untuk melihat bagaimana kegagalan dapat
mengajarkan kesuksesan dengan mengasah bakat yang gagal.
Begitu seseorang yakin bahwa mereka mampu bertindak, mereka
akan melakukannya.
b. Modeling sosial
Modeling sosial disebut juga sebagai pengalaman orang lain
(vicarious experience). Ketika kita mengamati keberhasilan
mereka yang memiliki kompetensi yang sebanding, rasa self-
efficacy kita meningkat; namun, ketika kita menyaksikan
kegagalan di antara rekan-rekan kita, itu jatuh. Meskipun mereka
ingin dan mampu mencapai sesuatu, seseorang mungkin memiliki
beberapa kekhawatiran tentang kemampuan mereka, tetapi ketika
mereka menyaksikan orang lain berhasil pada sesuatu yang mereka
mampu, self-efficacy mereka meningkat. Di sisi lain, ketika Anda
menyaksikan seseorang dengan keterampilan yang sama atau lebih
besar dari Anda gagal menyelesaikan tugas, pengalaman dari orang
lain juga dapat mengikis kepercayaan Anda pada kemampuan
Anda sendiri.
c. Persuasi sosial
Cara lain untuk menciptakan self-efficacy adalah melalui
interaksi sosial. Jika tindakan yang Anda ingin mendorong
seseorang untuk mencoba berada dalam kemampuan mereka,
persuasi sosial untuk meningkatkan self-efficacy bisa berhasil.
Seseorang memiliki keyakinan pada pihak yang melakukan
persuasi. Selain itu, kinerja yang sukses meningkatkan kekuatan
persuasi sosial. Seseorang dapat dibujuk untuk mencoba sesuatu,
dan jika mereka berhasil, prestasi mereka dan pujian verbal yang
mengikuti akan meningkatkan kepercayaan diri mereka di masa
depan. Kemungkinan persuasi (persuasi yang meningkatkan self-
efficacy) mendorong seseorang untuk berkomitmen kembali pada
usaha dan aktivitas.
d. Kondisi fisik dan emosional
Keadaan fisik dan emosional seseorang adalah sumber
terakhir dari self-efficacy. Ketika seseorang mengalami ketakutan
yang intens, kecemasan yang parah, atau tingkat stres yang
signifikan, mereka cenderung memiliki harapan self-efficacy yang
buruk. Emosi yang kuat biasanya mengurangi kinerja. Keadaan
fisik yang tidak mendukung, seperti kelemahan, kelelahan, dan
penyakit, dapat mempengaruhi apakah seseorang akan bertindak
atau tidak. Penyakit ini akan berdampak pada seberapa baik kinerja
seseorang dalam menjalankan tugas tertentu. Self-efficacy juga
dipengaruhi oleh keadaan mood (atau suasana hati). Oleh karena
itu, dengan meningkatkan kebugaran fisik dan menurunkan stres
dan emosi negatif, self-efficacy dapat dibangkitkan.
2.2.6 Asesmen Kinerja
Asesmen kinerja merupakan pengumpulan informasi terkait
dengan perkembangan dan pencapaian peserta didik yang mampu
mengungkapkan dan membuktikan ketercapaian tujuan pembelajaran
(Nurhadi dalam Masrukan, 2017). Asesmen kinerja dilakukan oleh
guru selama pembelajaran dengan berbagai teknik. Selanjutnya
dikatakan oleh Nurhadi bahwa data yang diperoleh dari penilaian
dengan Asesmen Kinerja mampu membantu siswa agar mempelajari
(how to learn), bukan ditekankan pada prestasi belajar yang diperoleh
siswa di akhir periode pembelajaran. Tujuan penerapan Asesmen
Kinerja dalam pembelajaran yaitu untuk: (1) mengetahui kemampuan
individu siswa, (2) mengetahui kebutuhan pembelajaran, (3)
mendorong dan membantu siswa dalam pembelajaran, (4) mendorong
guru untuk menerapkan pembelajaran yang lebih baik, (5) menyusun
strategi pembelajaran, (6) akuntabilitas lembaga, dan (7) meningkatkan
kualitas pembelajaran (Santoso dalam Masrukan, 2017).
Asesmen kinerja merupakan salah satu strategi evaluasi yang
paling tepat dan efektif untuk menilai perkembangan siswa dan proses
pembelajaran (Stiggins dalam Espinosa, 2015). Selanjutnya dikatakan
oleh Stiggins bahwa asesmen kinerja melibatkan siswa secara
langsung dan mendalam dalam proses belajar siswa sendiri, dan
meningkatkan kepercayaan diri dan memotivasi mereka untuk belajar
karena menekankan kemajuan dan prestasi daripada kegagalan dan
kekalahan. Hal ini selaras dengan pendapat Masrukan (2017), bahwa
dalam Asesmen Kinerja tidak ada jawaban yang benar atau salah
sehingga mampu menghilangkan ketakutan siswa terhadap
matematika. Asesmen Kinerja memungkinkan siswa untuk
membangun tanggapan mereka sendiri, bukan dengan memilih
jawaban berdasarkan pilihan yang tersedia. Manfaat asesmen kinerja
adalah: (1) mendorong siswa berlomba dengan dirinya sendiri daripada
berlomba dengan siswa lain, (2) menambah pemahaman siswa, (3)
menghilangkan ketakutan terhadap pembelajaran matematika, (4)
menuntun pembelajaran matematika, dan (5) menciptakan
pembelajaran yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari (Ott dalam
Masrukan, 2017).
2.2.7 Ketuntasan Belajar
Ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal merupakan dua
jenis ketuntasan belajar. KKM atau kriteria ketuntasan minimal adalah
standar di mana siswa harus menunjukkan kompetensi di semua
bidang penilaian mata pelajaran. Namun, saat ini pada Kurikulum
Merdeka yang dilaksanakan pada peserta didik kelas VII
menggunakan kriteria ketuntasan belajar yang berbeda dari KKM yang
diterapkan pada Kurikulum 2013. Pada Kurikulum Merdeka
menerapkan Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP).
Untuk mengetahui apakah peserta didik telah berhasil mencapai
tujuan pembelajaran dalam penelitian ini, peneliti akan menetapkan
kriteria atau indikator ketercapaian tujuan pembelajaran. Kriteria ini
dikembangkan saat pendidik merencanakan asesmen, yang dilakukan
saat pendidik menyusun perencanaan pembelajaran, baik dalam bentuk
rencana pelaksanaan pembelajaran ataupun modul ajar. Kriteria
ketercapaian ini juga menjadi salah satu pertimbangan dalam
memilih/membuat instrumen asesmen, karena belum tentu
suatu asesmen sesuai dengan tujuan dan kriteria ketercapaian tujuan
pembelajaran. Kriteria ini merupakan penjelasan (deskripsi) tentang
kemampuan apa yang perlu ditunjukkan/didemonstrasikan peserta
didik sebagai bukti bahwa mereka telah mencapai tujuan
pembelajaran. Dengan demikian dalam penelitian ini, peneliti akan
menggunakan deskripsi, dan jika dibutuhkan, maka peneliti akan
menggunakan interval nilai (misalnya 70 - 85, 85 - 100, dan
sebagainya).
2.3 Kerangka Berpikir
Kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VII di SMPN
2 Ungaran masih tergolong rendah dan belum optimal. Hal ini telah
ditunjukkan dari hasil observasi serta wawancara dengan salah satu guru
wajib matematika kelas VII SMPN 2 Ungaran tahun pelajaran 2022/2023.
Tidak sedikit peserta didik yang masih bingung dan kesulitan dalam
memahami dan menyelesaikan pertanyaan, terutama dalam bentuk soal
uraian. Peserta didik belum mampu unutk menyelesaikan masalah
matematika dengan tahap-tahap penyelesaian yang harus dilakukan. Peserta
didik juga belum mampu untuk dapat menyampaian ide atau pemikirannya
mengenai masalah matematika yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa
peserta didik kesulitan untuk menuangkan gagasan pemikirannya ke dalam
tulisan. Peserta didik cenderung bermalas-malasan, mengeluh, dan menyerah
sebelum memikirkan pertanyaan dengan bersungguh-sungguh, dapat
dikatakan bahwa self-efficacy mereka masih rendah.
Salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan
komunikasi matematis peserta didik dalam fase peralihan dari daring ke
luring adalah dengan menggunakan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) berbantuan dengan asesmen kinerja. Model
pembelajran ini dapat menjadi solusi yang baik untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis peserta didik karena dengan model
pembelajaran ini, peserta didik diberikan kesempatan untuk meneliti konsep,
baik secara individu maupun berkelompok dengan mengaitkan permasalahan
matematika dengan kejadian yang dilakukan sehari-hari. Dengan demikian,
diharapkan ketika peserta didik diberi pertanyaan atau soal tes kemampuan
komunikasi matematis peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar,
kemampuan komunikasi matematis pada kelas yang menggunakan model
pembelajaran CTL lebih baik dari pada kelas yang menggunakan PBL, serta
dapat mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis peserta didik
ditinjau dari self-efficacy dengan menggunakan model pembelajaran CTL
berbantuan asesmen kinerja.
Berikut adalah kerangka berpikir dari penelitian ini secara ringkas.
Kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VII yang rendah berdasarkan hasil
2

observasi dan studi pendahuluan di SMPN 2 Ungaran

Penggunaan model pembelajaran Ditinjau dari self-efficacy peserta


didik

Model Contextual Model Problem


Teaching and Based Learning
Learning (CTL) (PBL)

Menguji apakah kemampuan Pengkategorian self-efficacy


komunikasi matematis peserta peserta didik
didik dengan menggunakan
model CTL lebih tinggi dari (atas, tengah, bawah)
pada peserta didik yang
menggunakan model PBL

Kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan model


CTL mencapai ketuntasan klasikal 75%

Kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan model


CTL lebih tinggi daripada kemampuan komunikasi matematis peserta didik
yang menggunakan model PBL

Terdapat pengaruh yang signifikan pada self-efficacy peserta didik yang


menggunakan model pembelajaran CTL terhadap kemampuan komunikasi
matematis peserta didik

Deskripsi kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan model


pembelajaran CTL berbantuan asesmen kinerja berdasarkan self-efficacy siswa

Keterangan :
: Pendekatan Kuantitatif
: Pendekatan Kualitatif
2.4 Hipotesis
Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VII SMPN 2
Ungaran pada pembelajaran matematika menggunakan model Contextual
Teaching and Learning (CTL) mencapai ketuntasan klasikal 75%.
2. Kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VII SMPN 2
Ungaran pada pembelajaran matematika yang menggunakan model
Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih tinggi daripada
kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan
model Problem Based Learning (PBL).
3. Self-efficacy sis
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Desain Penelitian

3.2 Lokasi Penelitian

3.3 Fokus Penelitian/Sampel dam Populasi

3.4 Variabel Penelitian

3.5 Data dan Sumber Data

3.6 Teknik Pengumpulan Data

3.7 Teknik Keabsahan Data

3.8 Teknik Analisis Data


DAFTAR PUSTAKA

Afinnas, F. T., Masrukan, M., & Kurniasih, A. W. (2018). Analisis Kemampuan


Penalaran Matematis Siswa dengan Model Self-Regulated Learning Menggunakan
Asesmen Kinerja Ditinjau dari Metakognisi. PRISMA, Prosiding Seminar Nasional
Matematika, 1, 197–207.
Azizah, S. N., & Maulana, D. F. (2018). Analisis kemampuan komunikasi matematis pada
siswa SMA. Prosiding Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika
(SNMPM), 2(1), 222–228.
Dewi, M. W. K., & Nuraeni, R. (2022). Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP
ditinjau dari Self-Efficacy pada Materi Perbandingan di Desa Karangpawitan.
Plusminus: Jurnal Pendidikan Matematika, 2(1), 151–164.
Handayani, A. (2014). Pengaruh Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas VII MTsN Lubuk Buaya Padang
Tahun Pelajaran 2013/2014. Universitas Negeri Padang.
Hasanah, U., Wardono, W., & Kartono, K. (2016). Keefektifan Pembelajaran MURDER
Berpendekatan PMRI dengan Asesmen Kinerja Pada Pencapaian Kemampuan
Literasi Matematika Siswa SMP Serupa PISA. Unnes Journal of Mathematics
Education, 5(2).
Hendriana, H., & Kadarisma, G. (2019). Self-efficacy dan kemampuan komunikasi
matematis siswa SMP. JNPM (Jurnal Nasional Pendidikan Matematika), 3(1), 153–
164.
Hendriana, H., & Soemarmo, U. (2017). Penilaian pembelajaran matematika edisi revisi.
Bandung: PT Refika Aditama.
Hikmawati, N. N. (2019). ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
DALAM MENYELESAIKAN SOAL GEOMETRI KUBUS DAN BALOK. Universitas
Muhammadiyah Sukabumi.
Ibda, F. (2015). Perkembangan kognitif: teori jean piaget. Intelektualita, 3(1).
Ismayanti, S., & Sofyan, D. (2021). Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP
Kelas VIII di Kampung Cigulawing. PLUSMINUS: Jurnal Pendidikan Matematika,
1(1), 183–196.
Kaya, D., & Aydın, H. (2016). Elementary mathematics teachers’ perceptions and lived
experiences on mathematical communication. Eurasia Journal of Mathematics,
Science and Technology Education, 12(6), 1619–1629.
Khamidah, N. (2013). Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Matematika Di SD.
INSANIA: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 18(2), 215–230.
Lestari, W. P., & Afifah, D. R. (2016). Pengaruh Self efficacy dan kecerdasan emosi
terhadap motivasi berprestasi siswa SMK PGRI 1 Madiun. Counsellia: Jurnal
Bimbingan Dan Konseling, 4(2).
Putri, V. C. S., & Tauran, S. F. (2020). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa SMP Melalui Pembelajaran CORE Dan SQ4R. Jurnal Padegogik, 3(2), 128–
140.
Rahman, A. A., Kristanti, D., Amalia, Y., Syafitri, E., Astuti, D., & Abdullah, D. (2018).
Increasing Students’ Self-Efficacy Through Realistic Mathematics Education in
Inclusion Classroom. Journal of Physics: Conference Series, 1114(1), 12111.
Rapsanjani, D. M., & Sritresna, T. (2021). Kemampuan Komunikasi Matematis Ditinjau
dari Self-Efficacy Siswa. Plusminus: Jurnal Pendidikan Matematika, 1(3), 481–492.
Rifa’i, A., & Anni, C. T. (2012). Educational Psychology. Semarang: UPT Unnes Press.
Roamah, U., & Safaatullah, M. F. (2022). Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis
berdasarkan Self-efficacy Siswa Kelas XI pada Model Pembelajaran Flipped
Classroom. 10(65), 910–920. https://doi.org/10.15294/ujme.v10i1.xxxxx
Sabroni, D. (2017). Pengaruh model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Prosiding Seminar
Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika, 1(1), 55–68.
Viki, V. F., & Handayani, I. (2020). Kemampuan Komunikasi Matematis Berdasarkan
Self-Efficacy. Transformasi: Jurnal Pendidikan Matematika Dan Matematika, 4(1),
189–202.
Wisnuwardani, T., & Masrukan, M. (2021). Kemampuan Komunikasi Matematis pada
Brain Based Learning dengan Asesmen Kinerja ditinjau dari Keingintahuan Siswa
Kelas VII. PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika, 4, 422–435.
Wulantina, E., Ikashaum, F., Mustika, J., Merliza, P., Loviana, S., Rahmawati, N. I., &
Andianto, A. (2020). Self-efficacy of mathematics students‟ on e-learning during
covid 19 pandemic. PROCEEDING UMSURABAYA.
Yanti, R. N., Melati, A. S., & Zanty, L. S. (2019). Analisis Kemampuan Pemahaman dan
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP Pada Materi Relasi dan Fungsi.
Jurnal Cendekia: Jurnal Pendidikan Matematika, 3(1), 209–219.
Yanuar, F., & Fitriana Yuli, S. (2018). Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan
Pendekatan RME Materi Penyajian Data yang Berorientasi pada Kemampuan
Komunikasi Matematis. Jurnal Pedagogi Matematika, 7(1), 87–99.
Yulianto, H., & Suprihatiningsih, S. (2019). Kemampuan Komunikasi Matematis pada
Pembelajaran Treffinger Berdasarkan Self Efficacy. Prosiding Seminar Nasional
Pascasarjana (PROSNAMPAS), 2(1), 371–374.
Yuniarti, D. (2016). MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN BERPIKIR
KREATIF MATEMATIS SERTA SELF-EFFICACYSISWA SMP MELALUI
PENDEKATAN OPEN-ENDED. Universitas Pendidikan Indonesia.
 
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai