Anda di halaman 1dari 34

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN COLLABORATIVE

PROBLEM SOLVING (CPS) TERHADAP KEMAMPUAN

REPRESENTASI MATEMATIKA SISWA KELAS VIII

Proposal Penelitian ini disusun untuk memenuhi

Tugas akhir semester mata kuliah Metodologi Penelitian

Dosen Pembimbing Ibu Aprilia Nurul Chasanah, S.Pd., M.Pd.

Oleh :

ARDHIA SIVA WARDHANI

NPM. 1910306008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TIDAR

2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil’alamin puji syukur kehadirat Alloh SWT atas ridho dan
pertolongan-Nya saya dapat menyelesaikan proposal dengan judul “Pengaruh Model
Pembelajaran Collaborative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan
Representasi Matematika Siswa Kelas VIII SMP yang merupakan salah satu syarat
untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Metodologi Penelitian. Selama penulisan
ini, saya menyadari banyaknya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang saya
miliki. Namun berkat kerja keras, do’a dan dukungan dari berbagai pihak untuk
penyelesaian mata kuliah metodologi penelitian ini, semuanya dapat teratasi dan
berjalan dengan lancar Demikian ucapan kata pengantar yang dapa saya sampaikan
tentunya proposal penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran
dan kritik diharapkan untuk perbaikan proposal penelitian ini. Semoga proposal
penelitian ini dapat memberi manfaat dan kebaikan bagi banyak pihak khususnya bagi
mahasiswa mendatang yang melakukan penelitian pada kajian yang sama. Terima
Kasih.

Magelang, 26 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................................... 3
C. Perumusan Masalah ...................................................................................................... 4
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 4
E. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 4
BAB II....................................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 6
A. Pembelajaran Matematika ............................................................................................. 6
B. Kemampuan Representasi Matematika Siswa .............................................................. 6
C. Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving .................................................... 12
D. Penelitian yang relevan ............................................................................................... 20
E. Kerangka berfikir............................................................................................................ 21
BAB III ................................................................................................................................... 22
METODE PENELITIAN ........................................................................................................ 22
A. Jenis Penelitian............................................................................................................... 22
B. Desain Penelitian ........................................................................................................ 22
C. Subjek Penelitian ........................................................................................................ 23
D. Setting Penelitian ........................................................................................................ 23
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data .................................................................. 23
F. Teknik Analisis Instrumen .......................................................................................... 26
H. Teknik Analisis Data ...................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pada abad ke-21 dikenal dengan masa pengetahuan. Dalam era ini,
semua alternative upaya pemenuhan kebutuhan hidup dalam berbagai konteks
lebih berbasis pengetahuan. Upaya pemenuhan kebutuhan bidang pendidikan
(knowledge based education), pengembangan ekonomi (knowledge based
econom ic), pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (knowledge based
social empowering), dan pengembangan dalam bidang industri (knowledge
based industry) (Mukhadis, 2013:115).

Menurut Sugiarto (2009: 11) matematika merupakan ilmu universal


yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting
dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia.

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, matematika merupakan satu-


satunya bidang studi yang dipelajari secara eksplisit mulai dari tingkat taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerja sama.

Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 menjelaskan bahwa tujuan


mata pelajaran matematika adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai
berikut: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada
pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3)
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh. (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram,

1
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.

Mengingat begitu pentingnya kemampuan representasi matematis yang


dimiliki oleh siswa dan masih sedikitnya sekolah-sekolah di Indonesia yang
menerapkan sebuah pembelajaran, maka diperlukan suatu alternatif
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat
mengembangkan kemampuan representasi matematisnya tersebut.

Representasi merupakan salah satu dari lima standar proses yang


tercantum dalam NCTM (National Council Of Teacher Of Mathematics)
bersama dengan empat kompetensi lainnya yang harus dimiliki oleh setiap
siswa yaitu pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, serta
koneksi yang semuanya merupakan bagian dari proses berpikir matematis.
Dalam program pembelajaran matematika, NCTM menekankan agar siswa
dilatih kemampuan representasi matematisnya. Hal ini untuk membantu
perkembangan pemahaman matematis sehingga siswa mampu: (1) Membuat
dan menggunakan representasi untuk mengatur, mencatat, dan
mengomunikasikan ide-ide. (2) Mengembangkan suatu bentuk perwujudan dari
representasi matematis yang dapat digunakan dengan tujuan tertentu, secara
fleksibel dan tepat. (3) Mengomunikasikan representasi untuk memodelkan dan
menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematis.

Standar kurikulum NCTM dijelaskan bahwa representasi adalah proses


memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematika
dengan penuh arti untuk meningkatkan pemahaman (Hatfield, 2008). Ada tiga
standar kemampuan representasi matematika yang ditetapkan oleh NCTM
untuk pogram pembelajaran dari prataman kanak-kanak hingga kelas 12 standar
pertama adalah siswa mampu membuat dan menggunakan representasi untuk
mengorganisasikan, mencatat dan mengkomunikasikan semua ide-ide

2
matematika. Kemudian standar kedua, siswa mampu memilih, menerapkan,
dan menerjemahkan antar representasi matematis untuk memecahkan masalah.
Standar ketiga adalah siswa mampu menggunakan representasi untuk
memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematika.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa kemampuan


representasi memiliki peranan penting dalam pembelajaran matematika.
Peneliti selanjutnya mencoba menerapkan model pembelajaran Collaborative
Problem Solving yang diduga dapat memberikan kesempatan kepada siswa
mengambangkan kemampuan representasinya. Pada model pembelajaran ini,
siswa dihadapkan pada permasalahan yang harus diselesaikan secara individu
dan kelompok. Permasalahan yang diberikan akan menstimulus siswa untuk
merepresentasikan ide-idenya terkait masalah itu sedemikian sehingga mereka
dapat menemukan penyelesaiannya..

Menurut Dillenbourg (1999), Collaborative Problem Solving adalah


suatu kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.

Aktivitas-aktivitas pembelajaran yang terdapat dalam model


pembelajaran Collaborative Problem Solving ini memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan ide-ide matematikanya secara terbuka.
Kemampuan siswa dalam menyajikan ide-ide matematika berdasarkan apa
yang mereka konstruk sendiri ataupun hasil diskusi dalam kelompok yang akan
mereka sampaikan kepada kelompok yang lain sehingga kelompok yang lain
mengerti dan memahami apa yang telah disampaikan, hal inilah yang disebut
kemampuan representasi matematis.

B. Identifikasi Masalah

Dari apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, muncul
berbagai macam permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Kemampuan representasi matematis siswa masih rendah.

3
2. Siswa hanya meniru langkah-langkah penyelesaian dari suatu
masalah berdasarkan contoh soal yang diberikan.
3. Guru tidak mengikutsertakan siswa dalam mengkonstruksi suatu
pengetahuan, siswa cenderung pasif.
4. Pembelajaran yang diterapkan belum cukup efektif untuk dapat
mengembangkan kemampuan representasi matematis siswa.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi latar belakang, maka permasalahannya dapat


dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh model pembelajaran
Collaborative Problem Solving (CPS) terhadap kemampuan representasi
matematika siswa kelas VIII?“

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan representasi
matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative
Problem Solving.
E. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain:
1. Bagi Guru
Penelitian ini dapat menambah alternatif model pembelajaran, khususnya
pada mata pelajaran matematika sehingga dapat dimanfaatkan dalam upaya
memperbaiki proses belajar mengajar serta meningkatkan kemampuan
representasi matematis siswa.
2. Bagi Sekolah
Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan sekolah
guna meningkatkan kualitas pendidikan matematika di sekolah.
3. Bagi Peneliti
Dapat dimanfaatkan sebagai gambaran penerapan model pembelajaran
Collaborative Problem Solving yang dilakukan penulis, sehingga dapat

4
memperbaiki kekurangan dan keterbatasan yang ada agar kemampuan
matematis siswa dapat berkembang lebih optimal.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Matematika

Para ahli psikologi dan ahli pendidikan memberikan pengertian


mengajar yang berbeda-beda rumusannya. Menurut Gulo (2002:23) mengajar
adalah usaha untuk memberi ilmu pengetahuan dan usaha untuk melatih
kemampuan. Pembelajaran matematika, menurut Bruner (Hudoyo, 1998 : 56)
adalah belajar tentang konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam
materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep dan struktur
matematika di dalamnya. Menurut Suherman (1986: 55) bahwa dalam
pembelajaran matematika para siswa dibiasakan untuk memperoleh
pemahaman melalui pengalaman tentang sifat sifat yang dimiliki dan yang tidak
dimiliki dari sekumpulan objek.

Menurut Cobb ( Suherman, 2003: 71) pembelajaran matematika sebagai


proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif mengkonstruksi
pengetahuan matematika. Menurut Rahayu (2007:2) hakikat pembelajaran
matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk
menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan seseorang (si pelajar)
melaksanakan kegiatan belajar matematika dan pembelajaran matematika harus
memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman
tentang matematika.

Jadi berdasarkan uraian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa


pembelajaran matematika adalah usaha untuk memahami segala pola, sifat dan
konsep dari setiap kebenaran yang ada.

B. Kemampuan Representasi Matematika Siswa

6
Istilah representasi dalam bahasa Inggris adalah representation yang
memiliki arti gambaran atau perwakilan. Secara sederhana menurut Kalathil
dan Sherin (2000) menyatakan bahwa representasi adalah berbagai bentuk
ungkapan siswa yang menunjukkan penalaran dan pemahamannya terhadap
ide-ide matematika yang ia peroleh. Menurut Goldin (2002), representasi
merupakan suatu bentuk yang dapat menggambarkan proses pemikiran internal
siswa dalam berbagai cara. Dari dua pendapat tersebut, proses berpikir, bernalar
dan pemahaman siswa terhadap suatu gagasan dapat dilihat melalui representasi
yang ia gunakan.

Dalam standar kurikulum NCTM dijelaskan bahwa representasi adalah


proses memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan
matematika dengan penuh arti untuk meningkatkan pemahaman. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika yang baik
melibatkan penggunaan representasi secara berkesinambungan.

Ada tiga standar kemampuan representasi matematika yang ditetapkan


oleh NCTM untuk pogram pembelajaran dari prataman kanak-kanak hingga
kelas 12:

1. Create and use representations to organized, record and


communicate mathematical ideas.
2. Select, apply, and translate among mathematical representation to
solve problems.
3. Use representation to model and interpret physical, social, and
mathematical phenomena.

Menurut NCTM, standar pertama adalah siswa mampu membuat dan


menggunakan representasi untuk mengorganisasikan, mencatat dan
mengkomunikasikan ide-ide matematika. Kemudian standar kedua, siswa
mampu memilih, menerapkan, dan menterjemahkan antar representasi
matematis untuk memecahkan masalah. Standar ketiga adalah siswa mampu

7
menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan
fenomena fisik, sosial, dan matematika.

Menurut Janvier, Girardon, dan Morand dalam Pape dan Tchoshanov


(2001) mengemukakan gagasannya mengenai representasi internal dan
representasi eksternal. Representasi internal adalah proses abstraksi dari
berbagai ide matematis atau suatu skema kognitif yang dikembangkan oleh
siswa melalui pengalamannya. Sedangkan representasi berupa bilangan,
persamaan aljabar, grafik, tabel, dan diagram adalah manifestasi eksternal dari
berbagai konsep matematis yang menstimulus dan membantu memahami
konsep-konsep tersebut. Dengan kata lain, suatu representasi diawali dengan
proses abstraksi ide-ide matematis dalam pikiran siswa sehingga terbentuk
suatu skema kognitif, kemudian ide-ide tersebut diungkapkan baik berupa
grafik, tabel, diagram, dan lain-lain.

Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Operasional Representasi Matematis Menurut


Mudzakkir (2006)

No Representasi Bentuk-bentuk Operasional


1. Representasi visual : • Menyajikan kembali data atau
a) Diagram, table atau grafik informasi dari suatu representasi ke
representasi diagram, grafik atau table.
• Menggunakan representasi visual
untuk
menyelesaikan masalah.
b) Gambar • Membuat gambar grafik pada SPLDV
Membuat gambar untuk memperjelas
masalah dan memfasilitasi
penyelesaiannya.
2. Persamaan atau eksperimen • Membuat persamaan atau model
matematis matematika dari representasi lain yang

8
diberikan.
• Membuat konjektur dari suatu SPLDV
• Menyelesaikan masalah dengan
melibatkan ekspresi matematis.
3. Kata – kata atau teks tertulis • Menuliskan interpretasi dari suatu
representasi.
• Menuliskan langkah-langkah
penyelesaian
masalah matematika dengan kata-kata.
• Menyusun cerita yang sesuai dengan
suatu representasi yang disajikan.
• Menjawab soal dengan menggunakan
katakata atau teks tertulis,
• Dapat menyatakan ide matematika
dengan menggunakan kata-kata atau
teks tertulis.
Menurut Lesh, Post dan Bohr (dalam Hwang, et. al., 2007) ada lima

representasi untuk konsep. Awalnya mereka hanya mengemukakan dua bentuk

representasi yaitu berupa model dan gambar manipulatif. Kemudian dalam

penelitian selanjutnya, mereka menambahkan simbol tulisan, bahasa lisan, dan

situasi dunia nyata sebagai representasi atau pemodelan dari suatu konsep.

Berikut adalah ilustrasi dari kelima representasi yang di ungkapkan.

9
Gambar 2.1 Representasi Menurut Lesh, Post dan Bohr (2007)

Gambar di atas menunjukkan bahwa kelima representasi tersebut saling


berkaitan satu sama lain. Proses menginterpretasikan konsep dari suatu
representasi ke representasi lainnya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk memikirkan ide-ide baru yang mereka peroleh dan kemudian
menggabungkan ide-ide tersebut untuk mengembangkan konsep-konsep baru.
Dalam penelitiannya Lest, Post, dan Bohr menemukan bahwa siswa yang
mengalami kesulitandalam menerjemahkan suatu konsep dari satu reoresentasi
ke representasi lainnya akan mengalami kesulitan pula dalam menyelesaikan
permasalahan dan memahami perhitungan.

Representasi membantu siswa dalam memahami suatu konsep. Selain


itu juga, membantu meningkatkan keterampilansiswa menyajikan ide kedalam
berbagai bentuk representasi akan memperbaiki pertumbuhan konsep siswa.
Kalathil dan Sherin (2000) mengemukakan tiga kegunaan representasi siswa.
Pertama, representasi digunakan untuk memberikan informasi kepada guru dan
kelas mengenai proses mereka berpikir berkaitan dengan suatu konteks
matematika. Dalam suatu kelas dimungkinkan bahwa siswa memiliki
representasi yang berbeda-beda mengenai suatu masalah. Hal ini memberikan
kesempatan kepada guru untuk mengetahui bagaimana proses berpikir dari

10
masing-masing siswa. Kedua, representasi digunakan untuk memberikan
informasi mengenai pola dan kecenderungan diantara siswa. Ketiga,
representasi digunakan oleh guru dan siswa sebagai alat bantu pembelajaran di
kelas. Representasi merupakan alat bantu pembelajaran yang berguna tidak
hanya bagi siswa, tetapi bagi guru juga. Bagi siswa, representasi dapat
membantu mengembangkan berbagai kemampuan matematisnya, dan bagi
guru dapat melihat kecenderungan proses berpikir masing masing siswa.

Menurut beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa


kemampuan representasi matematis adalah ungkapan ide-ide matematika
sebagai hasil pemikiran siswa dalam menghadapi suatu konsep atau
permasalahan. Berdasarkan uraian di atas, kemampuan representasi matematis
siswa adalah kemampuan siswa dalam menyajikan ide-ide matematika dalam
bentuk representasi visual berupa gambar, membuat model matematika dari
permasalahan yang diberikan, dan menjawab soal dengan menggunakan teks
tertulis. Kemampuan representasi matematis siswa yang hendak dicapai dalam

penelitian ini terbagi dalam tiga aspek, sebagai berikut:

Tabel 2.2 Indikator Kemampuan Representasi Matematis Siswa

No. Aspek Representasi Indikator Kemampuan


Representasi Siswa
1. Visual a. Membuat gambar grafik SPLDV
untuk
memperjelas masalah dan
memfasilitasi
penyelesaian.
2. Ekspresi Matematis a. Membuat model matematika terkait
dengan permasalahan yang diberikan.

11
b. Menyelesaikan permasalahan yang
melibatkan berbagai ekspresi
matematis tersebut.
3. Teks Tertulis a. Menjawab soal dengan
menggunakan teks tertulis.

C. Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving


1. Collaborative learning

Collaborative dapat diartikan sebagai kolaborasi atau kerja sama.


Marjan dan mozhgan (2012: 491) mengartikan collaborative learning sebagai
suatu pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan sekelompok
siswa untuk bekerja bersama dalam memecahkan masalah,melengkapi tugas,
dan menciptakan suatu produk. Sementara Smith dan MacGregor (dalam
Marjan dan Mozhgan, 2012: 492) mendefinisikan collaborative learning
sebagai suatu istilah yang memasukkan berbagai pendekatan yang melibatkan
hubungan intelektual antar siswa, atau antara siswa dengan guru secara
bersama-sama. Pada umumnya siswa bekerja dalam kelompok yang
beranggotakan dua orang atau lebih, satu sama lain saling mencari
pemahaman,solusi, pengertian, atau menciptakan suatu produk. Kedua
pendapat tersebut memfokuskan pembelajaran collaborative pada proses kerja
sama antar siswa dalam kelompok ketika pembelajaran berlangsung.

Secara bahasa Collaborative Learning memiliki arti yang hampir sama


dengan istilah cooperaive learning, yaitu bekerja sama. Namun pada dasarnya
keduanya memiliki perbedaan. Menurut Gunawan (2007): “proses belajar
secara kolaborasi atau collaborative learning bukan sekedar bekerja sama dalam
suatu kelompok, tetapi penekanannya lebih kepada suatu proses pembelajaran
yang melibatkan proses komunikasi secara utuh dan adil di dalam kelas”. Dari
pendapat tersebut berarti yang menjadi fokus perhatian pembelajaran
kolaboratif adalah proses komunikasi antarsiswa ketika bekerja sama, dan

12
bagaimana mereka berproses bersama dalam mengembangkan
pengetahuannya. Jadi pembelajaran kolaboratif bukan bertujuan untuk
menyamakan persfektif siswa mengenai suatu konsep tertentu sebagai sebagai
hasil akhir diskusi kelompok, tetapi bertujuan untuk memperkaya pengetahuan
siswa dari berbagai persfektif yang muncul ketika diskusi berlangsung dan
kemudian diharapkan siswa dapat menginternalisasi secara individu untuk
memperoleh pemahaman mengenai konsep tertentu.

Menurut Gunawan (2007: 198) terdapat lima unsur penting dalam


proses pembelajaran kolaboratif, yaitu:

1) Adanya rasa kebersamaan;

2) Adanya interaksi yang saling mendukung antar anggota kelompok satu sama

lain;

3) Adanya rasa tanggungjawab secara individu dan kelompok untuk


keberhasilan proses pembelajaran

4) Kemampuan komunikasi yang baikantarpribadi dalam suatu kelompok kecil;

5) Adanya proses refleksi terhadap fungsi dan keterampilan mereka bekerja


sama sebagai suatu kelompok

2. Pengertian Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

Collaborative Problem Solving. Model ini pertama kali diperkenalkan


oleh Dr Greene dalam buku “The Explosive Child”. Menurutnya Collaborative
Problem Solving menerapkan dua prinsip utama, yang pertama yaitu tantangan
sosial, emosional dan perilaku anak-anak hendaknya dipahami sebagai produk
sampingan dari perkembangan kemampuan kognitif. Kedua, penyelesaian
masalah secara kolaboratif hendaknya dijadikan fokus perhatian dalam
menghadapi suatu tantangan. Greene mengembangkan pendekatan ini dalam
hal perkembangan psikologi anak.

13
Adapun Collaborative Problem Solving menurut Nelson (1999: 245)

merupakan kombinasi antara dua pendekatan pembelajaran, yaitu pembelajaran

kerja sama dan pembelajaran berbasis masalah. Kedua pembelajaran ini


sebenarnya memungkinkan untuk menciptakan lingkungan belajar kolaboratif,
namun tidak komprehensif. Lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk
berkolaborasi secara natural dan efektif sangat penting untuk didesain agar
mereka dapat mengembangkan pengetahuan melalui pengalamannya sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibuatlah desain pembelajaran
Collaborative Problem Solving yang didukung oleh kegiatan pemecahan
masalah siswa dimana siswa dapat melakukan kesepakatan, didasarkan pada
proses kolaboratif alami mereka masingmasing.

Dillenbourg (1999) menyatakan, Collaborative Problem Solving adalah


suatu kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.
Dalam disertasinya Ho (2008) mengemukakan bahwa ada 4 fase dari proses
Collaborative Problem Solving yaitu: 1. Memahami tugas kelompok;2.
menyusun suatu perencanaan;3. melaksanakan riset individu;4. Menentukan
solusi akhir.

Barron (2000) berpendapat, Collaborative Problem Solving merupakan


suatu pembelajaran dimana siswa dilibatkan dalam suatu project pemecahan
masalah, menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-sama dan
saling bertukar pendapat satu sama lain ketika kerja sama berlangsung.

Dalam menyelesaikan permasalahan secara berkelompok, sangat


dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dari masing-masing siswa. Oleh
karena itu, akan muncul berbagai respon ketika pertukaran pendapat ini
berlangsung. Barron (2000) menyebutkan setidaknya ada lima respon yang
mungkin terjadi.

14
1) No respon, setelah salah satu anggota kelompok menyampaikan
pendapatnya

mengenai penyelesaian masalah, anggota lainnya tidak memberikan

tanggapan, baik menerima maupun menolak pendapat tersebut.

2) Acceptances (penerimaan), yaitu setelah salah satu anggota mengemukakan

pendapat mengenai penyelesaian masalah, anggota lainnya dalam


kelompok menyetujui dan menerima pendapat tersebut. Ini ditandai dengan
adanya respon positif baik berupa kata-kata ataupun tindakan yang
mendukung dari solusi permasalahan yang diajukan.

3) Clarification (klarifikasi), respon ini muncul ketika ada keraguan dari


anggota kelompok lain terhadap penyelesain permasalahan yang diajukan
oleh salah satu anggota kelompoknya, sehingga diperlukan penjelasan
tambahan untuk lebih meyakinkan. Hal ini ditandai dengan adanya
beberapa permintaan untuk menjelaskan proses penyelesaian masalah dari
anggota lainnya dalam kelompok.
4) Elaborations (elaborasi), setelah penyelesaian permasalahan diajukan oleh

salah satu anggota, anggota lainnya menyetujui dan memberikan informasi

tambahan untuk melengkapi penyelesaian tersebut sehingga diperoleh


solusi akhir kelompok yang optimal.

5) Rejections (penolakan), respon ini muncul jika penyelesaian permasalahan

yang diajukan oleh salah satu anggota kelompok dianggap kurang tepat.

Ketika proses pembelajaran Collaborative Problem Solving berlangsung,


setiap siswa diharapkan ikut terlibat secara aktif dalam setiap tahapannya.
Terutama pada saat siswa belajar dalam kelompok, diharapkan setiap siswa
aktif bertukar pendapat, saling share informasi, dan saling melengkapi satu
sama lain sehingga diperoleh penyelesaian permasalahan yang maksimal.

15
Jadi dari kelima respon yang telah disebutkan di atas, respon elaborasi
diharapkan lebih sering muncul ketika diskusi kelompok.

Seperti yang diungkapkan Windle dan Warren (2001) yang berpendapat

bahwa proses sharing information, defining issues, sharing more information

diperlukan agar pembelajaran Collabortive Problem Solving dapat berjalan


efektif. Menurutnya Collabortive Problem Solving bukanlah suatu proses linier
yang berlangsung secara metodis melalui langkah-langkah tertentu.Jika
diperlukan kita bisa saja melakukan langkah maju mundur, artinya setelah
melewati beberapa langkah awal untuk memastikan bahwa penyelesaian yang
diperoleh benar-benar penyelesaian paling efektif dari permasalahan yang ada.

Menurut Djamilah (2008), langkah pembelajaran kolaboratif berbasis


masalah adalah sebagai berikut:

1) Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah yang menantang;


2) Siswa diberi kesempatan untuk mengidentifikasi dan merancang
penyelesaian permasalahan tersebut secara individu sebelum mereka
belajar dalam kelompok;
3) Siswa belajar dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4-6 orang
untuk mengklarifikasi pemahaman mereka, mengkritisi ide teman
dalam kelompoknya, membuat konjektur, memilih strategi
penyelesaian, dan menyelesaikan masalah yang diberikan, dengan cara
saling beradu argumen. Setelah itu siswa menyelesaikan masalah yang
diberikan guru secara individual;
4) Siswa mempresentasikan hasil penyelesaian masalah yang diperoleh.

Lebih rinci Windle dan Warren (2001) menyusun proses Collaborative

Problem Solving dalam enam langkah :

1) Share Perspective

16
Proses ini dilakukan agar siswa dalam kelompok untuk memahami
dengan jelas berbagai perspektif dari masing-masing anggota terhadap masalah
yang dihadapi.

2) Define the Issue

Setelah semua siswa menyampaikan persfektifnya masing-masing


berkaitan dengan permasalahan, pada langkah kedua ini siswa mendeskripsikan
Setelah semua siswa menyampaikan persfektifnya masing-masing berkaitan
dengan permasalahan, pada langkah kedua ini siswa mendeskripsikan berbagai
topik yang menjadi poin penting dari persfektif yang muncul untuk
didiskusikan bersama.

3) Identify the Interest

Dari berbagai persfektif yang muncul kemudian siswa melakukan identifikasi

untuk mengetahui kecenderungan berbagai solusi permasalahan yang ada dan

mencari kesamaannya.

4) Generate Options

Setelah melakukan identifikasi, siswa mendiskusikan tentang berbagai solusi

yang mungkin dan menggeneralisasi berbagai pilihan solusi.

5) Develop a Fair Standar or Objective Criteria For Deciding

Pada langkah ini, siswa mengembangkan suatu kriteria objektif untuk


memutuskan solusi akhir permasalahan dengan menggunakan indicator
indikator tertentu yang disetujui.

6) Evaluate Options and Reach Agrement

Langkah terakhir, siswa melakukan evaluasi terhadap berbagai pilihan solusi

untuk selanjutnya diperoleh persetujuan atas solusi akhir.

17
Dari tahapan-tahapan pembelajaran yang telah diuraikan oleh beberapa
ahli, terlihat bahwa pembelajaran Collaborative Problem Solving memberikan

kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi dengan guru dan teman

sekelompoknya dalam memecahkan suatu permasalahan serta memperoleh

pemahaman terhadap suatu konsep. Permasalahan atau tugas yang cocok untuk

pembelajaran ini adalah tugas yang bersifat heuristik (heuristic tasks).

Berdasarkan uraian beberapa ahli maka dapat disimpulkan bahwa


model Pembelajaran Collaborative Problem Solving adalah suatu pembelajaran
yang diawali dengan penyajian masalah kepada siswa untuk diselesaikan secara
individu dan berkelompok. Pembelajaran ini sekurang kurangnya harus
mencakup unsur unsur sebagai berikut: 1) Adanya permasalahan; 2)
permasalahan coba diselesaikan secara individu; 3) permasalahan diselesaikan
secara bersama dalam kelompok melalui proses sharing antar individu; dan 4)
proses transfer hasil kerja sebagai solusi akhir permasalahan sebagai hasil
kesepakatan dalam kelompoknya masing masing. Dapat dideskripsikan
langkah-langkah model Pembelajaran Collaborative Problem Solving sebagai
berikut.

Langkah 1: Adanya permasalahan Guru menyajikan permasalahan dengan


memberikan lembar kerja individu kepada masing-masing siswa.

Langkah 2: Membuat rancangan penyelesaian secara individu

a. Masing-masing siswa secara individu mengidentifikasi permasalahan


dan berusaha mencari solusi permasalahan tersebut.

b. Siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan

dengan materi ajar. Selain itu siswa juga mendaftar hal-hal yang belum

dimengerti untuk nanti ditanyakan kepada anggota lainnya dalam

18
kelompok.

Langkah 3: Penyelesaian kelompok

a. Setelah waktu penyelesaian tugas individu habis, guru


menginformasikan pembagian kelompok diskusi. masing-masing
kelompok terdiri dari 4-5 siswa.

b. Setiap kelompok diberi bahan diskusi berupa lembar kerja kelompok


(LKK) untuk diselesaikan secara bersama-sama. LKK berisi
permasalahan individu dan permasalahan tambahan yang lebih
kompleks untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai materi
yang sedang dipelajari.

c. Dalam kelompok, setiap siswa saling bertukar informasi untuk

menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan


dasar pengetahuan yang dimiliki oleh setiap siswa dari permasalahan
individu.

d. Antar siswa dalam tiap-tiap kelompok saling berkolaborasi untuk


mencapai kesepakatan mengenai solusi akhir kelompoknya dari
permasalahan yang diberikan.

e. Guru memberikan informasi tambahan yang diperlukan berkaitan


dengan materi ajar jika diminta oleh siswa. Terjadi kolaborasi antara
guru dan siswa selama pembelajaran.

Langkah 4: Transfer hasil kerja

a. Salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya dan kelompok


lain memberikan tanggapan. Terjadi kolaborasi antarkelompok untuk
mencapai solusi optimal dari permasalahan. Guru membimbing
jalannya diskusi dan memberikan penjelasan tambahan kepada siswa

19
jika diperlukan. Guru dan siswa berkolaborasi untuk mencapai tujuan
pembelajaran.

D. Penelitian yang relevan

Penelitian yang dilakukan didukung oleh penelitian sebelumnya, yaitu


relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh :

(1) Lina Marlina (2014) dengan judul “pengaruh model pembelajaran

collaboratve problem solving terhadap kemampuan berpresentasi matematis

siswa”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aspek representasi paling

menonjol yang dapat dikembangkan melalui model pembelajaran Collaborative

Problem Solving adalah aspek representasi visual, baik pada siswa yang

berkemampuan tinggi maupun rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa model

pembelajaran Collaborative Problem Solving efekif dalam mengembangkan

kemampuan representasi visual untuk semua tingkatan kemampuan siswa.

Sementara pada dua aspek lainnya yaitu ekspresi matematika dan teks tertulis,

keduanya hampir seimbang dan tidak terlalu besar selisihnya dengan aspek

representasi visual. Dengan demikian, model pembelajaran Collaborative


Problem Solving dapat mewadahi perkembangan kemampuan representasi
matematis secara menyeluruh.

1) M.Anang Jatmiko (2014) dengan judul “Pengaruh Metode TAPPS

Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada pokok bahasan lingkaran

dengan menggunakan metode TAPPS berpengaruh terhadap kemampuan

komunikasi matematik siswa.

20
E. Kerangka berfikir
Dalam proses pembelajaran matematika di kelas, siswa tidak dapat

mengungkapkan dan menyajikan ide-ide/ pendapatnya secara tulisan dengan


baik. Hal ini terihat setelah guru memberikan soal kepada siswa, setelah
diperiksa banyak terjadi kesalahan dalam pengerjaannya. Siswa mengalami
kesulitan dalam menyajikan ide-ide sehingga tidak dapat mengerjakan soal
dengan baik. Dapat dikatakan kemampuan representasi siswa masih kurang.

Berdasarkan pengertian pembelajaran Collaborative Problem Solving


yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa pembelajaran ini memberikan
kesempatan pada siswa untuk mengembangkan kemampuan representasinya,
baik dalam bentuk gambar, ekspresi matematis, maupun teks tertulis. Sehingga
diharapkan dengan menerapkan model pembelajaran Collaborative Problem
Solving dalam pembelajaran matematika dapat meningkat atau berpengaruh
terhadap kemampuan representasi siswa.

21
BAB III

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode
penelitian semu eksperimen (quasi experimental), yaitu metode penelitian yang
tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan secara penuh terhadap
kondisi kelas dan lingkungan belajar kelas eksperimen. Peneliti akan menguji
pengaruh model collaboraive problem solving terhadap kemampuan representasi
matematis siswa dengan cara membandingkan kemampuan representasi
matematik siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model collaboraive
problem solving (kelompok eksperimen) dengan siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan metode konvensional (kelompok kontrol).

B. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah Posttest Only Control Group


Design. Desain ini melibatkan 2 kelompok yang terpilih secara random yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen akan diberi
perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran collaborative problem
solving dan kelompok kontrol akan diberi perlakuan dengan menggunakan model
pembelajaran konvensional.

Tabel 3.1Posstest Only Control Group Design

Group Perlakuan Posttest


Kelompok Eksperimen 𝑋 𝑂2
Kelompok Kontrol 𝑂4
Sumber : Sugiyono (2015:
112)

Keterangan:

X = Model Pembelajaran CPS (Collaborative Problem Solving)

22
O2 = Tes akhir (Posttest) kelompok eksperimen setelah diberi perlakuan
menggunakan model CPS(Collaborative Problem Solving))

O4 = Tes akhir (Posttest) kelompok control setelah diberi perlakuan


menggunakan metode konvensional

C. Subjek Penelitian
Siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Bandongan, Magelang, Jawa Tengah
D. Setting Penelitian
SMP Negeri 1 Bandongan di Jalan Kyai A’rof, Krjan, Bandongan,
Magelang, Jawa Tengah
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Adapaun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1) Wawancara (Interview)

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila


peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan
yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari
responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil
(Sugiyono, 2016: 194). Dalam penelitian ini menggunakan wawancara tidak
terstruktur yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa
garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Wawancara
dilaksanakan langsung dengan guru mata pelajaran matematika.

2) Dokumentasi

23
Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk
mendapatkan data data tertulis, seperti foto proses pembelajaran di kelas, daftar
nama siswa dan jadwal pelajaran matematika kelas VIII.

3) Tes

Menurut Collegiate dalam Purwanto (2008: 64), tes adalah serangkaian

pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur

keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki


oleh individu atau kelompok. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik tes (posttest)., yaitu tes kemampuan komunikasi
matematik. Tes kemampuan komunikasi matematik yang diberikan terdiri dari
6 soal dengan pokok pembahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
(SPLDV). Adapun tes kemampuan representasi matematik diberikan kepada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

2. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes kemampuan

representasi m atematik. Soal tes untuk mengukur representasi matematik


disusun dalam bentuk uraian yang terdiri dari 6 buah tes berbentuk tes objektif
dengan instrumen soal pada lampiran. Pemberian tes dilakukan untuk
memperoleh data tentang kemampuan representasi matematik siswa.

Adapun indikator yang akan diukur melalui tes uraian kemampuan


representasi matematik akan dijelaskan sebagaimana terdapat pada tabel
dibawah ini:

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematik

Aspek Representasi Indikator Soal Nomol Soal

24
1. Written text siswa dapat menentukan 1, 3
(memberikan jawaban penyelesaian persamaan linear
dengan bahasa sendiri) dua variabel.
2. Drawing a. siswa dapat menggambar 2, 5
menggunakan fenomena sketsa
dalam masalah dengan metode grafik.
Matematika b. siswa dapat mengambar
sketsa
tafsiran geometri.
3. Mahematical siswa dapat mengekspresikan 4, 6
Expression konsep matematika pada
mengubah kalimat sistem persamaan linear dua
seharihari ke dalam variabel dalam bahasa atau
kalimat simbol matematika.
matematika.
Sumber: Marlina (2006)

Untuk mengukur kemampuan representasi matematik, diperlukan


rubrik penilaian sebagai acuan pemberian skor pada setiap indikator soal.
Berikut ini rubrik penskoran tes kemampuan representasi matematik.
Tabel 3.3 Pedoman penskoran tes kemampuan representasi matematika

Skor Menulis Menggambar Ekspresi Matematis


( Written ) ( Drawing ) ( Mathematical
Expression )
0 Tidak ada jawaban, Tidak ada jawaban, Tidak ada jawaban,
kalaupun ada kalaupun ada kalaupun ada
terlihatkan tidak terlihatkan tidak terlihatkan tidak
memahami konsep memahami konsep memahami konsep
sehingga informasi sehingga informasi sehingga informasi

25
yang diberikan tidak yang diberikan tidak yang diberikan tidak
berarti apa-apa berarti apa-apa berarti apa-apa
1 Hanya sedikit dari Melukiskan sketsa Membuat model
penjelasan yang gambar salah matematika salah
benar
2 Penjelasan secara Melukiskan sketsa Membuat model
matematis masuk gambar benar, namun matematika dengan
akal dan benar, ada yang kurang benar, namun proses
namun kurang dan solusi salah
lengkap
3 Penjelasan secara Melukiskan sketsa Membuat model
matematis masuk gambar secara matematika dengan
akal, lengkap, dan lengkap dan benar benar, namun
benar, meskipun prosesnya benar
tidak tersussun namun
secara logis atau solusi salah
terdapat sedikit
kesalahan
4 Penjelasan secara Membuat model
matematis masuk matematika dengan
akal, lengkap dan benar, proses dan
benar, serta solusi
tersusun secara benar
logis
Skor Maksimal : 4 Skor Maksimal : 3 Skor Maksimal : 4
Sumber : Marlina (2006)

F. Teknik Analisis Instrumen

Sebuah tes terlebih dahulu diujicobakan sebelum digunakan


sehingga memenuhi kriteria instrumen yang baik. Uji coba ini dimaksudkan

26
untuk memperoleh validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran, dan
reliabilitas instrumen. Dikatakan sebagai alat pengukur jika memenuhi
persyaratan berikut:

1. Validitas
Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi
pada obyek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh
peneliti. Suatu instrument dikatakan valid apabila instrument
tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya
diukur (Sugiyono, 2015:173). Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan 2 validitas yaitu validitas isi dan validitas item.
a). Validitas Isi
Validitas isi menunjukkan sejauh mana pertanyaan, tugas, atau
butir dalam suatu tes atau instrument mampu mewakili secara
keseluruhan dan proporsioanal perilaku sampel yang dikenai tes
tersebut.
b). Validitas Item
Setelah melakukan uji validitas isi, selanjutnya instrument akan
diuji cobakan untuk menguji validitas butir-butir instrument. Hasil
dari uji coba atau hasil tes yang diperoleh akan ditentukan 27%
skor kelompok atas (upper group) dan 27% skor kelompok bawah
(lower group) (Sugiyono, 2015:183). Cara mengambil kelompok
upper group dan lower group adalah dengan mengurutkan hasil tes
berdasarkan skor tertinggi sampai skor terendah. Kemudian
diambil siswa yang mendapatkan skor tertinggi yang selanjutnya
disebut kelompok upper group dan siswa yang mendapatkan skor
terendah yang selanjutnya disebut kelompok lower group inilah
yang akan dianalisis.
2. Daya Pembeda

27
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal
untukmembedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi
dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2013: 226).
Untuk menentukan daya pembeda suatu soal kita harus
mengurutkan dari siswa yang menjawab paling sedikit sampai
siswa yang menjawab paling bayak. Kemudian membagi jawaba
siswa tersebut kedalam dua kelompok, yaitu kelompok atas dan
kelompok bawah.
3. Tingkat Kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak
terlalu sukar (Arikunto 2013:222). Bilangan yang menunjukkan
sukar dan mudahnya sesuatu soal disebut indeks kesukaran.
4. Reliabilitas Instrumen
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui kepercayaan hasil tes.
Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang
tinggi, jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.

H. Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dan menguji
hipotesis untuk menguji hipotesis diterima atau di tolak menggunakan uji

perbedaan dua rata-rata. Uji yang digunakan adalah uji-t. Namun sebelumnya

dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t, maka perlu dilakukan uji prasyarat

analisis terlebih dahulu. Uji prasyarat yang perlu dilakukan adalah uj normalitas

dan uji homogenitas untuk memeriksa keabsahan sampel sebagai prasyarat


dapat dilakukan analisis data.

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif yaitu suatu teknis


analisis yang penganalisisannya dilakukan dengan perhitungan.
Penganalisissannya dilakukan dengan membandingkan hasil tes kelas kontrol

28
yang dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional dan
kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Collaborative
Problem Solving. Teknik analisis data dalam penelitian kuantitatif
menggunakan statistik. Terdapat dua macam statistic yang digunakan untuk
analisis data dalam penelitian ini, yaitu analisis deskriptif dan analisis.
inferensial.

29
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,

2009.

Barron, Brigid, “Achieving Coordination in Collaborative Problem-Solving

Groups”, The Journal of the Learning Science, Vol. 9 No. 4, tt. p.: Lawrence

Erlbaum Associates, 2000.

Dillenbourg, “What Do You Mean by „Collaborative Learning‟?”, dalam

P.Dillenbourg (ed), Collaborativelearning: Cognitive and Computational

Approaches, (Oxford:Elsevier, 1999), p. 7.

Goldin, Gerald A., “Representation in Mathematical Learning and Problem

Solving”, dalam Lyn D. English (ed), Handbook of International Research

in Mathematics Education, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2002.

Jatmiko, Anang.M. 2014. Pengaruh Metode Tapps Terhadap Kemampuan

Komunikasi Matematik Siswa [Skripsi]. Jakarta: Universitas Negeri Islam

Syarif Hidayatullah.

Kalathil, Radha R., and Mirian Gamoran Sherin, “Role of Student’s Representations

in the Mathematics Classroom”, dalam B. Fishman dan S. O’ConnorDivelbiss


(ed), Proceeding of Fourth International Conference of learning

Science, Mahwah: NJ Erlbaum, 2000.

Marlina, Lina. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Problem

Solving Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa [skripsi].

Jakarta: Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah.

30
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.

Reston, VA : NCTM

Nelson, Laurie Miller, “Collaborative Problem Solving”, dalam Reigeluth (ed),

Instructional-Design Theories and Models A New Paradigm of Instructional

Theory, New York: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 1999.

Wijaya, Dwi Dan Amat. 2016. Transformasi Pendidikan Abad 21 Sebagai Tuntutan

Pengembangan Sumber Daya Manusia Di Era Global. Universitas Negeri

Malang. Vol 1, hal 264.

Windle, Rod and Suzanne Warren, Collaborative Problem Solving and Dispute

Resolution in Special education, Hood River: Oregon Department of

Education, 2001.

31

Anda mungkin juga menyukai