Anda di halaman 1dari 34

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK DAN KEPERCAYAAN DIRI

SISWA SMA DENGAN PENDEKATAN


PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Matematika

Oleh :
KAYAN RUSDIANDRI
NIM. 13510187
PENDIDIKAN MATEMATIKA

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)


SILIWANGI BANDUNG
2017
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini dengan baik.

Salawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada suri tauladan kita, Nabi

Muhammad SAW, keluarganya, pada sahabat dan umatnya yang selalu mendambakan

syafaatnya hingga akhir zaman.

Proposal dengan judul “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik

dan Kepercayaan Diri Siswa SMA dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran

Berbasis Masalah” bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan kemampuan

berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa SMA dengan pendekatan

pembelajaran berbasis masalah. Proposal skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat

untuk mengerjakan skripsi pada program S1 di jurusan Pendidikan Matematika, Sekolah

Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi Bandung.

Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini tidak luput dari berbagai

kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

untuk menyempurnakan proposal sekripsi ini sehingga dapat menjadi acuan tindak

lanjut penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi kita semua terutama bagi ilmu

pendidikan.

Cimahi, Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………….. ii

A. Judul ………………………………………………………………………………………………………… 1

B. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………………………. 1

C. Identifikasi dan Rumusan Masalah ……………………………………………………………. 7

D. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………………………………… 7

E. Manfaat Penelitian/ Pentingnya masalah …………………………………………………. 8

F. Definisi Operasional …………………………………………………………………………………. 9

G. Kajian Teoritis/Studi Literatur ………………………………………………………………….. 10

H. Hipotesis ..………………………………………………………………………………………………… 17

I. Metode dan Disain Penelitian …………………………………………………………………… 17

J. Populasi dan Sampel ………………………………………………………………………………… 18

K. Instrumen Penelitian ………………………………………………………………………………… 18

L. Prosedur Penelitian ………………………………………………………………………………….. 24

M. Prosedur Pengolahan Data ……………………………………………………………………….. 25

N. Jadwal Penelitian ……………………………………………………………………………………… 29

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………….. 30

ii
1

PROPOSAL SKRIPSI

A. Judul

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik dan Kepercayaan

Diri Siswa SMA dengan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah.

B. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, Bangsa Indonesia harus

mempersiapkan diri karena persaingan dalam dunia pendidikan semakin ketat.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan Sumber Daya

Manusia. Pendidikan merupakan komponen yang berpengaruh terhadap

peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.

Pendidikan dalam upaya membangun suatu peradaban merupakan salah

satu kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang

harus diemban oleh setiap negara agar dapat membentuk masyarakat yang

memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan

yang selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya

menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.

Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan

mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, salah

satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya

proses pembelajaran. Berdasarkan pengalaman riil di lapangan, proses

pembelajaran di sekolah ini kurang meningkatkan kreativitas siswa. Masih banyak

tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam

1
2

kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan

didominasi oleh sang guru.

Pendidikan merupakan salah satu proses penting yang harus dilalui

manusia. Melalui proses pembelajaran dalam pendidikan, seseorang dibimbing

untuk mengembangkan pola pikir serta kepribadiannya menjadi pribadi yang

kompeten dan berakhlak mulia agar dapat memainkan berbagai peran di dalam

lingkungan kehidupannya masing-masing. Oleh karena itu, setiap orang harus

memperoleh pendidikan.

Diantara pelajaran ilmu agama, sastra, sains, sosial dan lain-lain,

matematika merupakan salah satu pelajaran yang penting. Matematika menjadi

penunjang berbagai ilmu lain sehingga tidak sedikit ilmu dan pengetahuan yang

penemuan dan perkembangannya bergantung pada matematika. Hal ini sesuai

dengan Kline dalam Suherman (2003) yang menyatakan bahwa matematika itu

bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri,

tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam

memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Hal ini sejalan

dengan Hudoyo (2003) yang menyatakan bahwa matematika adalah alat untuk

mengembangkan cara berfikir sehingga sangat diperlukan untuk kehidupan sehari-

hari maupun dalam menghadapi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Melihat betapa pentingnya matematika terutama dalam kehidupan

sehari-hari, maka matematika perlu diajarkan. Cockroft dalam Abdurrahman (2003)

mengemukakan bahwa:

Matematika perlu diajarkan karena : 1) selalu digunakan dalam segala


segi kehidupan, 2) semua bidang studi memerlukan keterampilan
3

matematika yang sesuai, 3) merupakan sarana komunikasi yang kuat,


singkat, dan jelas, 4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam
berbagai cara, 5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian,
dan kesadaran keruangan, dan 6) memberikan kepuasan terhadap usaha
memecahkan masalah yang menantang.
Hal ini diwujudkan melalui terselenggaranya pembelajaran matematika.

Tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan KTSP dalam Depdiknas (2006)

menyatakan bahwa belajar matematika bertujuan agar peserta didik mampu

memahami konsep matematika, menggunakan penalaran, memecahkan masalah,

mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk

memperjelas keadaan atau masalah serta memiliki sikap menghargai kegunaan

matematika dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika,

salah satu aspek yang harus dikuasai siswa adalah berpikir kritis matematik.

Berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif

terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Berpikir kritis akan

membantu siswa memiliki pemikiran mengenai hal-hal yang dapat dipercaya atau

yang tidak dapat dipercaya. Masalah lain yang terjadi di sekolah adalah saat di

sekolah siswa lebih banyak menerima begitu saja materi yang diberikan oleh guru.

Hal ini senada dengan pendapat Widyastuti & Pujiastuti (2014) yang menyatakan

bahwa kemampuan berpikir logis merupakan kemampuan berpikir siswa untuk

menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika. Jadi, kemampuan berpikir

kritis atau logis ini bukan merupakan hasil transfer ilmu dari seseorang ke orang lain

dalam hal ini guru ke siswa, akan tetapi dibentuk sendiri oleh siswa melalui

pengalaman nyata dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya.


4

Menurut Dede Rosyada (2004) kemampuan berpikir kritis tiada lain

adalah kemampuan siswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu membuat

sebuah kesimpulan evaluatif dari berbagai informasi tersebut. Selanjutnya Alec

Fisher (2009) mendefinisikan berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang

terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi.

Berdasarkan pemaparan tersebut berpikir kritis matematik penting dimiliki oleh

siswa.

Selain kemampuan berpikir kritis matematik, ada aspek lain yang juga

patut diperhatikan dalam pembelajaran yaitu affective siswa, salah satunya

kepercayaan diri. Kepercayaan diri menurut Royal Melbourne Institute of

Technology (RMIT) (2009) diartikan sebagai kepercayaan yang dimiliki individu

dalam meraih kesuksesan dan kompetensi, mempercayai kemampuan mengenai

diri sendiri dan dapat menghadapi situasi di sekelilingnya. Siswa yang memiliki

kepercayaan diri yang tinggi akan mempercayai dirinya mampu menyelesaikan

masalah yang ada dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat

meningkatkan prestasi belajar. Namun hasil Trends in International Mathematics

and Science Study (TIMSS) dalam Mullis, Martin, Foy dan Arora (2011) menunjukkan

bahwa tingkat kepercayaan diri siswa Indonesia masih rendah.

Salah satu hal yang perlu kita soroti untuk mengetahui penyebab

rendahnya berpikir kritis dan kepercayaan diri siswa adalah proses pembelajaran.

Sekolah di Indonesia umumnya masih menerapkan pembelajaran konvensional

yaitu pembelajaran langsung yang berpusat pada guru (teacher centered). Menurut

Amir (2009) pada proses pembelajaran tersebut, pengetahuan cenderung

dipindahkan dari guru ke siswa tanpa siswa membangun sendiri pengetahuan


5

tersebut. Dalam kondisi seperti ini tidak jarang guru hanya memberikan catatan

pelajaran kemudian menjelaskannya sehingga siswa menjadi pasif karena hanya

mendengarkan dan mencatat pelajaran yang diberikan oleh guru. Aktivitas

pembelajaran seperti ini mengakibatkan sedikitnya kesempatan siswa

mengekspresikan ide matematika secara mandiri, sehingga kemampuan berpikir

kritis siswa rendah karena tidak distimulus oleh guru. Siswa menyelesaikan soal

hanya mengikuti algoritma yang sudah ada. Oleh karena itu pembelajaran yang

berpusat pada guru dianggap tidak cocok lagi digunakan, sebab siswa tidak kreatif

dalam mengekspresikan ide-ide mereka, dan hanya diberi informasi yang

berkenaan dengan materi. Siswa hendaknya dapat membangun sendiri konsep

berpikirnya yang berkaitan dengan ide-ide dan konsep matematika.

Peningkatan berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa dapat

dilakukan dengan menerapkan pembelajaran yang membiasakan siswa untuk

mengkontruksi sendiri idenya serta memberi kesempatan kepada siswa untuk

berpikir kritis. Model pembelajaran yang sebaiknya diterapkan adalah model

pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa mengkontruksi sendiri

pengetahuan melalui masalah yang berkaitan langsung dengan kehidupannya

sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan siswa menjadi lebih

mudah untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan.

Salah satu alternatif untuk mendukung hal tersebut menurut Amir

(2009) adalah menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dimana

peserta didik dilibatkan untuk memecahkan suatu masalah melalui fase-fase ilmiah.

Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah adalah mengorientasi siswa pada

masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing pengalaman individual/


6

kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Fase-fase pembelajaran berbasis masalah memberikan peluang siswa

untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik dan kepercayaan dirinya.

Misalnya pada fase mengorganisasi siswa untuk belajar, siswa dituntut berpikir

kritis dalam permasalahan yang disajikan ke dalam ekspresi matematika. Kemudian

dalam mengevaluasi hasil pemecahan masalah, siswa juga dituntut berpikir objektif

dan rasional. Pada fase menyajikan hasil karya, siswa dituntut memiliki kepercayaan

diri dalam menyampaikan hasil karyanya. Selain itu pembelajaran berbasis masalah

melatih siswa untuk bisa berpikir rasional dan percaya diri yang merupakan

indikator kepercayaan diri. Pengetahuan yang diperoleh melalui tahap-tahap

menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari akan

membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan komunikatif. Berdasarkan

pemaparan tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa SMA dengan

pendekatan pembelajaran berbasis masalah.


7

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah kemampuan berpikir kritis matematik siswa SMA yang

pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah

lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa?

2. Apakah kepercayaan diri siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan

pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang

menggunakan pembelajaran biasa?

3. Bagaimana implementasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan

pembelajaran berbasis masalah di lapangan?

4. Bagaimana kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal berpikir kritis

matematik?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui dan menelaah:

1. Kemampuan berpikir kritis matematik siswa SMA yang pembelajarannya

menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dibandingkan

dengan yang menggunakan pembelajaran biasa.

2. Kepercayaan diri siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pendekatan

kontekstual dibandingkan dengan yang menggunakan pembelajaran biasa.

3. Implementasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran

berbasis masalah di lapangan.


8

4. Kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal berpikir kritis matematik.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan:

1. Bagi Guru

Sebagai masukan bagi para pendidik untuk pendekatan pembelajaran

berbasis masalah sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran yang

dapat dipergunakan dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa.

2. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa untuk menguasai

konsep-konsep pembelajaran, sehingga kemampuan peserta didik dalam

berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri dapat meningkat.

3. Bagi Pembelajaran Matematika pada Umumnya

Dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah diharapkan bisa

sedikit merubah sosok matematika sebagai mata pelajaran yang sulit,

bahwa matematika itu dekat dengan masalah-masalah kita pada kehidupan

sehari-hari, serta untuk perbaikan pembelajaran pada masa yang akan

datang.
9

F. Definisi Operasional

1. Kemampuan berpikir kritis matematik adalah sebuah proses sistematis yang

memungkinkan seseorang untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan

dan pendapatnya sendiri, Ennis (Baron, dan Sternberg, (Eds), 1987)

mengelaborasi indikator berpikir kritis secara rinci sebagai berikut :

a. Memfokuskan diri pada pertanyaan

b. Menganalisis dan menjelaskan pertanyaan, jawaban, dan argumen

c. Mempertimbangkan sumber yang terpercaya

d. Mendeduksi dan menganalisa deduksi

e. Menginduksi dan menganalisa induksi

f. Merumuskan penjelasan, hipotesis, dan kesimpulan

g. Menyusun pertmbangan yang bernilai

h. Berinteraksi dengan yang lain

2. Kepercayaan diri adalah rasa percaya terhadap kemampuan dan perasaan

dirinya, dengan indikator sebagai berikut :

a. Percaya kepada kemampuan sendiri

b. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan

c. Memiliki konsep diri yang positif

d. Berani mengungkapkan pendapat

3. Menurut Kamdi (2007) pendekatan pembelajaran berbasis masalah adalah

pembelajaran yang didalamnya melibatkan siswa untuk berusaha

memecahkan masalah dengan melalui beberapa tahap metode ilmiah sehingga

siswa diharapkan mampu mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan


10

masalah tersebut dan sekaligus siswa diharapkan akan memiliki keterampilan

dalam memecahkan masalah dan memiliki 5 tahapan yaitu :

a. Orientasi siswa kepada masalah

b. Mengorganisasikan siswa untuk belajar

c. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

e. Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

G. Studi Literatur

1. Kemampuan berpikir kritis matematik

Sekolah harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak-anak.

Salah satu bentuk berpikir adalah berpikir kritis (critical thinking). Dalam

penelitian ini menekankan kemampuan dalam hal berpikir kritis. Elaine

Johnson (2002) berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas

yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,

mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan

penelitian ilmiah. Indikator berpikir kritis menurut Ennis dalam Rante (2008)

ada 12 indikator berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu:

“1. Memberikan penjelasan sederhana, 2. Membangun keterampilan dasar, 3.

Menyimpulkan, 4. Memberikan penjelasan lanjut, 5. Mengatur strategi dan

taktik.”

Cece Wijaya (1996) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah “Suatu

kegiatan atau suatu proses menganalisis, menjelaskan, mengembangkan atau

menyeleksi ide, mencakup mengkategorisasikan, membandingkan dan


11

melawankan (contrasting), menguji argumentasi dan asumsi, menyelesaikan

dan mengevaluasi kesimpulan induksi dan deduksi, menentukan prioritas dan

membuat pilihan”. Dede Rosyada (2004) kemampuan berpikir kritis tiada lain

adalah “Kemampuan siswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu

membuat sebuah kesimpulan evaluatif dari berbagai informasi tersebut”.

Selanjutnya Alec Fisher (2009) mendefinisikan berpikir kritis adalah interpretasi

dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi,

informasi dan argumentasi. Watson dan Glaser (1980) menyatakan bahwa

berpikir kritis adalah :

(1) sikap penyelidikan yang melibatkan kemampuan untuk mengenali


keberadaan dan penerimaan kebutuhan umum untuk bukti dalam apa
yang ditegaskan untuk menjadi kenyataan, (2) pengetahuan tentang
alam dari kesimpulan yang valid, abstraksi dan generalisasi di mana
bobot akurasi berbagai jenis bukti ditentukan secara logis, dan (3)
keterampilan dalam menggunakan dan menerapkan di atas sikap dan
pengetahuan”.
Berpikir kritis juga dikonseptualisasikan sebagai berorientasi pada hasil,

rasional, logis, dan reflektif berpikir evaluatif, dalam hal apa untuk menerima

(atau menolak) dan apa yang harus percaya, diikuti oleh keputusan apa yang

harus dilakukan (atau tidak melakukan), kemudian bertindak dengan sesuai

sikap yang diambil dan bertanggung jawab baik keputusan yang dibuat dan

konsekuensinya (Zoller, 1999 dalam Miri, David & Uri, 2007). Berpikir kritis

penting bagi masa depan siswa, mengingat bahwa itu mempersiapkan siswa

untuk menghadapi banyak tantangan yang akan muncul dalam hidup mereka,

karier dan pada tingkat kewajiban dan tanggung jawab pribadi mereka (Tsui,

1999 dalam Vieira, Tenreiro-Vieira, Martins, 2011).


12

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka berpikir kritis matematik

adalah kemampuan memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk,

menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah dengan menggunakan

istilah matematika dan berbagai representasi yang sesuai serta

memperhatikan kaidah-kaidah matematika.

2. Kepercayaan diri

Kepercayaan diri diartikan sebagai kepercayaan yang dimiliki individu

dalam meraih kesuksesan dan kompetensi, mempercayai kemampuan

mengenai diri sendiri dan dapat menghadapi situasi di sekelilingnya (RMIT,

2009). Menurut Fishbein & Ajzen dalam Parson, Croft & Harrison (2011), “self-

confidence is a belief”, kepercayaan diri adalah sebuah keyakinan. Keyakinan

menurut Scoenfeld dalam Hannula, Maijala, & Pehkonen (2004) adalah

“Pemahaman dan perasaaan individu yang membentuk konsep individu dan

terlibat dalam perilaku matematika”.

Kepercayaan diri adalah unsur penting dalam meraih kesuksesan.

Menurut Molloy dalam Hapsari (2011) kepercayaan diri adalah “Merasa

mampu, nyaman dan puas dengan diri sendiri, dan pada akhirnya tanpa perlu

persetujuan dari orang lain”. Menurut Lestari dan Yudhanegara (2015) yaitu:

Self-confidence adalah suatu sikap yakin akan kemampuan diri sendiri


dan memandang diri sendiri sebagai pribadi yang utuh dengan mengacu
pada konsep diri. Indikator self-confidence adalah: a) Percaya pada
kemampuan sendiri. b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan.
c) Memiliki konsep diri yang positif. d) Berani mengemukakan pendapat.
Sedangkan kepercayaan diri menurut Ghufron dan Risnawita (2011),

adalah “Keyakinan untuk melakukan sesuatu pada diri subjek sebagai


13

karakteristik pribadi yang di dalamnya terdapat kemampuan diri, optimis,

objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis”. Pembentuk utama dari

kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran matematika menurut Jurdak

(2009) adalah interaksi siswa dengan guru juga siswa dengan sesama siswa.

Guru dan metode pembelajaran yang diterapkannya di kelas akan berpengaruh

langsung pada kepercayaan diri siswa, saat siswa dihadapkan pada situasi yang

menantang dan perasaan yang menyenangkan maka kepercayaan diri siswa

pun akan meningkat. Menurut Lauster dalam Ghufron & Risnawati (2011)

yaitu :

Aspek-aspek kepercayaan diri meliputi: 1) keyakinan kemampuan diri


yaitu keyakinan diri untuk mampu secara sungguh-sungguh akan apa
yang dilakukannya, 2) optimis yaitu selalu berpandangan baik dalam
menghadapi segala hal tentang diri dan kemampuannya, 3) objektif
yaitu memandang permasalahan sesuai dengan kebenaran yang
semestinya, bukan menurut dirinya, 4) bertanggung jawab yaitu
kesediaan untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi
konsekuensinya, dan 5) rasional dan realistis yaitu analisis terhadap
suatu masalah, sesuatu hal, dan suatu kejadian dengan menggunakan
pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.
Preston (2007) menyebutkan aspek-aspek pembangun kepercayaan diri

adalah kesadaran diri, niat, berpikir positif dan rasional, berpikir kreatif pada

saat akan bertindak.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka kepercayaan diri adalah

kemampuan diri sendiri dalam menyelesaikan tugas dan memilih cara

penyelesaian yang baik dan efektif serta kepercayaan diri atas kemampuan
14

yang dimiliki siswa dalam mengambil keputusan dilihat dari kemampuan diri,

optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional, dan realistis.

3. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah

Pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning menurut

Checkly dalam Apriono (2011) adalah suatu sarana yang relevan untuk

pembelajaran, dimana masalah nyata menjadi kajiannya, mereka menyelidiki,

sunguh-sunguh mendalami, apa yang mereka perlukan untuk mengetahui dan

ingin mengetahui. Sedangkan menurut Lloyd- Jones, Margeston, dan Bligh

dalam Huda (2013), problem based learning mempunyai 3 elemen dasar yang

seharusnya muncul dalam pelaksanaannnya yaitu menginisiasi masalah awal,

meneliti isu-isu yang diidentifikasi sebelumnya, dan memanfaatkan

pengetahuan dalam memahami lebih jauh situasi masalah. Amir (2009)

menyatakan bahwa problem based learning banyak diadopsi untuk menunjang

pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sanjaya (2009)

mengidentifikasi beberapa kelebihan problem based learning salah satunya

yaitu dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan

bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.

Menurut Sanjaya (2006) kelebihan dari Problem Based Learning adalah :


(1) mengembangkan jawaban yang bermakna bagi suatu masalah yang
akan membawa siswa mampu menuju pemahaman lebih dalam
mengenai suatu materi; (2) memberikan tantangan pada siswa sehingga
siswa bisa memperoleh kepuasan dengan menemukan pengetahuan
baru bagi dirinya sendiri; (3) membuat siswa selalu aktif dalam
pembelajaran; (4) dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis
setiap siswa, serta kemampuannya beradaptasi untuk belajar dengan
situasi yang baru; (5) menantang kemampuan siswa serta memberikan
15

kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; (6) dapat


meningkatkan aktivitas belajar siswa; dan (7) dapat membantu siswa
bagaimana mentansfer pengetahuannya untuk memahami masalah
dalam kehidupan nyata.
Sugiyanto (2009) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah

didasarkan pada premis situasi bermasalah yang membingungkan atau tidak

jelas akan membangkitkan rasa ingin tahu siswa sehingga siswa tertarik untuk

menyelidiki”. Sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima

kriteria penting, yang pertama yaitu situasi mestinya autentik yang berarti

bahwa masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bukan

dengan prinsip-prinsip disiplin akademis tertentu. Kedua, masalah itu mestinya

tidak jelas/tidak sederhana sehingga menciptakan misteri atau teka-teki.

Ketiga, masalah itu seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat

perkembangan intelektualnya. Kemudian masalah itu mestinya cakupannya

luas sehingga memberikan kesempatan kepada guru untuk memenuhi tujuan

instruksionalnya, tetapi tetap dalam batas-batas yang layak bagi pelajarannya

dilihat dari segi waktu, ruang, dan keterbatasan sumber daya. Dan yang

terakhir masalah yang baik harus mendapatkan manfaat dari usaha kelompok,

bukan justru dihalanginya.

Ada 5 tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah dan perilaku yang

dibutuhkan guru yang dinyatakan oleh Sugiyanto (2009) yaitu:

Fase pertama dalam pembelajaran berbasis masalah yaitu memberikan


orientasi tentang permasalahannya kepada siswa, guru membahas
tujuan pelajaran, memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan
mengatasi masalah. Pada fase mengorganisasikan siswa untuk meneliti,
guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan
16

tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya. Selanjutnya


pada fase memandu investigasi mandiri dan kelompok, guru mendorong
siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan
eksperimen, dan mencari solusi. Pada fase mengembangkan dan
mempresentasikan hasil, guru membantu siswa dalam merencanakan
dan menyiapkan hasil-hasil yang tepat, seperti laporan dan membantu
mereka untuk menyampaikan kepada orang lain. Terakhir guru
mendampingi siswa pada fase menganalisis dan mengevaluasi proses
mengatasi masalah.
Selcuk dalam Hastuti (2014) menyatakan bahwa problem based learning

membuat siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran sehingga dapat

meningkatkan berpikir kritis matematis siswa. Selain itu problem based

learning melatih siswa untuk bisa berpikir rasional dan percaya diri yang

merupakan indikator self-confidence. Pengetahuan yang diperoleh melalui

tahap-tahap menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-

hari akan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan komunikatif.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka pembelajaran berbasis

masalah adalah suatu pembelajaran yang menghadapkan siswa pada

permasalahan permasalahan matematis yang kontekstual sebagai konteks bagi

siswa untuk belajar dan memperoleh pengetahuan dan konsep dari materi

pelajaran.
17

H. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan studi literatur, hipotesis dalam

penelitian ini adalah:

1. Kemampuan berpikir kritis matematik siswa SMA yang menggunakan

pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang

menggunakan pembelajaran biasa.

2. Kepercayaan diri siswa SMA yang menggunakan pendekatan pembelajaran

berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa.

I. Metode dan Disain Penelitian

Metode Penelitian ini adalah eksperimen / kuasi eksperimen dimana kemampuan

berpikir kritis sebagai variabel terikat dan pendekatan pembelajaran berbasis

masalah sebagai variabel bebasnya, dengan disainnya sebagai berikut

O X O X O

---------------- atau ----------------

O O O

Dimana:

O : Pretest/ postest kemampuan berpikir kritis matematik

X : Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah

-------- : Pengambilan sampel tidak acak


18

J. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA. Dengan subjek

sampelnya adalah dua kelas XI di salah satu SMA Negeri di Kota Cimahi. Alasan

pemilihan subjek sampel karena kemampuan berpikir kritis matematik adalah salah

satu kemampuan berpikir tingkat tinggi sehingga cocok pada usia siswa di kelas XI

yang sudah mulai dewasa, sehingga kemampuan berpikir kritis matematik dan

kepercayaan diri siswa sudah harus mereka miliki sebagai bekal mereka khususnya

dalam pembelajaran matematika umumnya pada pembelajaran mereka di sekolah

ataupun dalam kehidupan sehari-hari.

K. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini berupa :

1. Tes Kemampuan Berpikir kritis matematik.

Instrumen tersebut kemudian dikonsultasikan dengan dosen

pembimbing agar memiliki validitas isi. Sedangkan agar memiliki validitas empiris

maka instrumen tersebut diujicobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya

pembeda dan indeks kesukarannya.

a. Validitas

Sebelum menghitung validitas setiap butir soal, dilakukan terlebih

dahulu pengujian validitas isi yang dilakukan oleh dosen pembimbing. Validitas

soal yang dinilai oleh validator adalah (1) kesesuaian antara indikator dan butir

soal; (2) kejelasan bahasa dan gambar dalam soal; (3) kesesuaian soal dengan

tingkat kemampuan siswa kelas XI SMA; dan (4) kebenaran materi atau konsep.
19

Untuk mengetahui validitas tiap butir soal, koefesien validitas

dihitung dengan menggunakan rumus korelasi produk momen (Hendriana, H.

2014) sebagai berikut :

𝑛 ∑ 𝑥𝑦−(∑ 𝑥)(∑ 𝑦)
r=
√{𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑥)2 }{𝑛 ∑ 𝑦 2 −(∑ 𝑦)2 }

Keterangan :

r = koefisien korelasi

x = skor siswa pada satu butir soal

y = skor siswa pada seluruh butir soal

n = banyaknya subjek

Untuk menginterpretasikan derajat validitas digunakan kriteria

klasifikasi menurut Guilford (Ruseffendi, 1991) sebagai berikut:

Tabel 1.1

Klasifikasi Validitas Butir Tes

Nilai r Interpretasi

0,00 < r ≤ 0,20 Validitas sangat rendah

0,20 < r ≤ 0,40 Validitas rendah

0,40 < r ≤ 0,70 Validitas sedang

0,70 < r ≤ 0,90 Validitas tinggi

0,90 < r ≤ 1,00 Validitas sangat tinggi

b. Reliabilitas

Untuk mengetahui nilai reliabilitas digunakan rumus Cronbach

Alpha (Hendriana, H. 2014) sebagai berikut :


20

k St   Si
2 2

r ( )
k 1 St2

Keterangan :

r = koefisien reliabilitas

k = banyaknya subjek

Si = simpangan baku butir tes ke-1

St = simpangan baku seluruh butir tes

Untuk menginterpretasikan koefisien reliabilitas suatu instrumen

dapat menggunakan kriteria klasifikasi menurut Guilford (Ruseffendi, 1991)

sebagai berikut :

Tabel 1.2

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Nilai r Interpretasi

0,00 < r ≤ 0,20 Reliabilitas sangat rendah

0,20 < r ≤ 0,40 Reliabilitas rendah

0,40 < r ≤ 0,70 Reliabilitas sedang

0,70 < r ≤ 0,90 Reliabilitas tinggi

0,90 < r ≤ 1,00 Reliabilitas sangat tinggi


21

c. Daya Pembeda

Daya beda atau indeks diskriminasi menunjukan sejauh mana setiap

butir soal dapat membedakan siswa yang mampu menguasai materi

pembelajaran. Menurut Hendriana, H. (2014), untuk menghitung daya beda tiap

butir soal digunakan rumus sebagai berikut :

S A  SB
DB 
JA

Keterangan :

S A = jumlah skor kelompok atas suatu butir soal

S B = jumlah skor kelompok bawah suatu butir soal

J A = jumlah skor ideal suatu butir soal

Selanjutnya dilakukan penginterpretasian nilai daya beda (DB) yang

diperoleh. Interpretasi koefisien daya beda yang dikemukakan Hendriana, H.

(2014) seperti tampak pada tabel berikut :

Tabel 1.3
Klasifikasi Nilai Daya Pembeda
Nilai DB Interpretasi

0,00 ≤ DB < 0,20 Jelek

0,20 ≤ DB < 0,40 Cukup

0,40 ≤ DB < 0,70 Baik

0,70 ≤ DB < 1,00 Baik Sekali


22

d. Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran (IK) suatu butir tes menunjukkan derajat proporsi

jumlah skor jawaban benar pada butir tes yang bersangkutan terhadap jumlah

skor idealnya. Perhitungan indeks kesukaran butir menggunakan rumus tertentu

sesuai dengan bentuk tes yang bersangkutan. Menurut Hendriana, H. (2014),

untuk menghitung indeks kesukaran tiap butir soal digunakan rumus sebagai

berikut :

S A  SB
IK 
2J A

Keterangan :

SA = jumlah skor kelas atas suatu butir soal

SB = jumlah skor kelas bawah suatu butir soal

JA = jumlah skor ideal suatu butir soal

Selanjutnya melakukan interpretasi nilai indeks kesukaran yang

diperoleh. Interpretasi koefesien indeks kesukaran menurut Hendriana, H.

(2014) adalah sebagai berikut :

Tabel 1.4
Klasifikasi Indeks Kesukaran
Nilai IK Interpretasi
0,00 ≤ IK < 0,20 Soal terlalu sukar
0,20 ≤ IK < 0,30 Soal sukar
0,30 ≤ IK < 0,70 Soal sedang
0,70 ≤ IK < 0,90 Soal mudah
0,90 ≤ IK < 1,00 Soal sangat mudah
23

2. Instrument Non Tes

a. Skala Kepercayaan Diri

Pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan

siswa terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Angket yang

diberikan dalam penelitian ini adalah suatu bentuk evaluasi siswa dalam

pernyataan positif dan negatif terhadap suatu objek psikologis atau juga

perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung

atau tidak memihak pada suatu objek tertentu.

Skala pandangan siswa terhadap pembelajaran diberikan kepada

siswa sesudah kegiatan pembelajaran. Skala pandangan siswa mengenai

Pembelajaran Berbasis Masalah terdiri dari 33 butir pernyataan dengan

empat pilihan jawaban yaitu sangat sering (SS), sering (S), jarang (JR) dan

jarang sekali (JS). Untuk mendukung pernyataan pandangan positif

masing-masing mempunyai nilai SS = 4, S = 3, JR = 2, JS = 1 dan sebaliknya,

untuk mendukung pernyataan negatif masing-masing mempunyai nilai SS

= 1, S = 2, JR = 3, dan JS = 4. Bobot penilaian dalam angket dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 1.5
Bobot Nilai Angket Kepercayaan Diri
Bobot Pernyataan
No Pernyataan
Positif Negatif
1 Sangat Sering 4 1
2 Sering 3 2
3 Jarang 2 3
4 Jarang Sekali 1 4
24

b. Bahan Ajar

Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini berupa Lembar

Kegiatan Siswa (LKS). Sementara itu, pada kelas kontrol diberikan LKS yang

berbeda dan perangkat pembelajarannya mengacu kepada pembelajaran

biasa.

Bahan ajar dikembangkan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kememadaian materi soal-soal yang disajikan dalam bahan ajar

didasarkan pada pertimbangan dosen pembimbing.

2. Mengujicobakan bahan ajar dengan tujuan sebagai berikut :

a. Mengukur berapa lama waktu yang diperlukan siswa untuk

menyelesaikan satu bahan ajar

b. Untuk melihat kesesuaian soal-soal yang disajikan dengan tujuan

yang ingin dicapai

3. Setelah uji coba dilakukan diadakan revisi seperlunya terhadap bahan

ajar.

L. Prosedur Penelitian

Penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan

tahap evaluasi. penjelasan dari tahapan tahapan tersebut yaitu:

1. Tahap persiapan meliputi :

a. Studi perpustakaan

b. Pengajuan judul

c. Pembuatan proposal skripsi

d. Seminar proposal skripsi


25

e. Pembuatan dan pengembangan instrumen

f. Memilih sempel, lalu menentukan kelas eksperimen dan kelas control

g. Melakukan uji coba tes kemampuan pemahaman matematis pada kelas yang

satu tingkat lebih tinggi dengan kelas yang akan jadi eksperimen penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Memberikan pre-tes dan postes pada kelas eksperimen dan control

b. Melakukan pembelajaran matematika dengan pendekatan metaphorical

tinking pada kelas eksperimen dan pembelajaran biasa pada kelas kontrol.

c. Pada setiap pertemuan terdafat observer yang mengisi lembar observasi

mengenai kegiatan pembelajaran.

d. Mengadakan protes di hari terakhir

3. Tahap Evaluasi

a. Menganalis data yang tekumpul pretes, postes, lembar observasi, dan jurnal

siswa

b. Menysusun laporan dari hasil temuan-temuan dari peneliti

M. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini diolah dengan menggunakan

beberapa software, yaitu Microsoft Excel 2010 digunakan untuk mengolah data hasil uji

coba instrumen, rekapitulasi postes berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa

SMA. Software SPSS digunakan untuk mengolah uji beda mean kemampuan berpikir

kritis dengan prosedur pengolahan data (Sugiyono, 2007) sebagai berikut :


26

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel

berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Apabila hasil pengujian

menunjukkan bahwa data berdistribusi normal maka pengujian dilanjutkan dengan uji

homogenitas. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : Data berdistribusi normal

H1 : Data tidak berdistribusi normal

Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.

Sedangkan jika hasil pengujian menunjukkan data tidak berdistribusi normal maka

digunakan uji Mann-Whitney yang merupakan alat uji statistik yang digunakan untuk

menguji hipotesis komparatif (uji beda) bila datanya berskala ordinal (ranking) pada

sampel independen. Sebuah sampel dikatakan bersifat independen, apabila dua

kelompok atau lebih tidak saling berhubungan, masing-masing kelompok diberi

perlakuan (treatment) sebanyak satu kali.

2. Uji Homogenitas Varians dari Dua Kelompok

Uji homogenitas varians digunakan untuk mengetahui apakah kedua kelompok

sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Apabila kedua kelompok data

(sampel) tersebut berasal dari populasi-populasi dengan varians yang sama dinamakan

populasi homogen. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : 𝜎12 = 𝜎22 : Varians skor kelas eksperimen dan kontrol sama

H1 : 𝜎12 ≠ 𝜎22 : Varians skor kelas eksperimen dan kontrol tidak sama

Keterangan:

𝜎12 = Varians skor kelas eksperimen

𝜎22 = Varians skor kelas kontrol


27

Uji statistikanya menggunakan uji homogenitas variansi dua buah peubah bebas

yaitu uji-F.

3. Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Untuk menguji apakah terdapat perbedaan peningkatan kelas kontrol dan

eksperimen, maka dilakukan pengujian perbedaan dua rata-rata dengan taraf

signifikansi 𝛼 = 0,05. Hipotesis yang diajukan adalah:

H0 : Rerata pretes kelas eksperimen sama dengan rerata pretes kelas kontrol

H1 : Rerata pretes kelas eksperimen tidak sama dengan rerata pretes kelas kontrol

Selanjutnya melakukan uji perbedaan dua rerata untuk data postes serta

peningkatan pretes dan postes pada kedua kelompok tersebut. Jika kedua rerata skor

beristribusi normal dan homogen maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t dan

apabila data tidak berdistribusi normal, maka uji statistik yang digunakan adalah dengan

pengujian non-parametrik, yaitu uji Mann-Whitney. Jika data berdistribusi normal tetapi

varians tidak homogen, maka digunakan uji t’.

4. Uji Gain

Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan kognitif siswa

sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran, dilakukan perhitungan gain ternormalisasi.

Perhitungan gain ini dilakukan apabila pada pengolahan data pretes kemampuan

kognitif siswa disimpulkan terdapat perbedaan rata-rata. Perhitungan gain

ternormalisasi dari Hake (Hidayat, 2011) sebagai berikut:

Skor tes akhir − skor tes awal


Gain (g) =
skor maksimum ideal − skor tes awal
28

Tabel 1.6

Klasifikasi Gain (g)

Besarnya Gain (g) Interpretasi

(g) > 0,70 Tinggi

0,30 ≤ (g) ≤ 0,70 Sedang

(g) < 0,30 Rendah

Uji Normalitas

Data Normal Data Tidak Normal

Data Tidak
Uji Homogenitas Homogen

Uji Non Parametrik


Mann Whitney

Data Homogen
Uji Perbedaan Dua
Rata-rata Uji t’

Uji Perbedaan Dua Rata-


rata Uji t

Gambar 1.1

Prosedur Pengolahan Data


29

N. Jadwal Penelitian

Tabel 1.7

Jadwal Penelitian

Bulan
No. Langkah Penelitian
10 11 12 1 2 3 4 5 6

Membuat proposal
1
penelitian

2 Membuat instrument

3 Mengurus perijinan

Uji coba Instrumen dan


4
penelitian Di lapangan

5 Pengumpulan data

6 Pengolahan data

7 Penulisan laporan penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Arfin, Bambang Hudiono, Suratman, D. (2014) Pengaruh Problem Based Learning

terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis pada Materi Gradien Di SMP.

Cahyaningsih, U dan Ghufron, A. (2016) “Pengaruh Penggunaan Model Problem-Based

Learning terhadap Karakter Kreatif dan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran

Matematika”. Program Pascasarjana. Yogyakarta : Jurnal Pendidikan Karakter

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa

Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:

Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Depdiknas. 70

Fachrurazi. (2011). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar.

Hapsari, M. J. (2011). Upaya Meningkatkan Self Confidence Siswa dalam Pembelajaran

Matematika Melalui Model Inkuiri Terbimbing. Seminar Nasional Matematika

dan Pendidikan Matematika 3 Desember 2011. Prosiding.

Hendriana, H., & Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung;

Refika Aditama.

Hendriana, H., dkk. (2017). Hard Skills dan Soft Skills Matematika Siswa. Bandung: Refika

Aditama.

Huda, M. (2013). Model Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar. Hudoyo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang: UM Press.

30
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: The NCTM.

Ruseffendi, E.T. (1991). “Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam

Pengajaran Matematika Guru dan Calon Guru”, Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1993). “Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen

Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek

Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi: tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D). Bandung: Alfabeta.

Sudarman. (2007). Problem Based Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk

Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah.

Jurnal Pendidikan Inovatif Vol. 02 No. 02.

Sugiyanto. (2009). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Mata Padi Presindo.

Sugiyarti, H. (2005). Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa

SMPN 1 Tambakromo Kabupaten Pati Melalui Pembelajaran Matematika

Berbasis Masalah. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

31

Anda mungkin juga menyukai