Anda di halaman 1dari 3

Artikel

Judul : MENGGUGAT NEGARA

(PASAL 34 AYAT 1 UUD TAHUN 1945)

Oleh : P. PUTRO NOTO NEGORO

Kinerja hukum yang lemah bangsa ini kembali menjadi sorotan tajam bahkan menjadi topik
utama di media-media, kearoganan Negara sebagai penguasa yang Lalai semakin menjadi
sosok nyata dengan realitas sisi hukum yang tidak masuk akal, bagaimana mungkin seseorang
individu ketika melanggar Undang-undang dapat diproses pidana namun ketika Negara yang
melanggar hanya menjadi bahan diskusi yang tak berujung. Dimana letak letak asas Kepastian
Hukum dan Asas untuk mendapatkan Keadilan? Dalam tulisan ini saya tidak akan menggugat
Negara melalui jalur hukum tapi saya selaku penulis ingin menggugat naluri Negara,
kebingungan dalam menggugat melalui jalur hukum cukup bisa dijadikan alasan ketika
Mahkamah Konstitusi yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam penegakan
konstitusional menjadi pesakitan dan mendapat sanksi moral karena terlibat skandal suap.
Perlu dipahami Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan itu tercantum jelas dalam
konstitusi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945
“negara Indonesia adalah Negara Hukum” dan penegakan hukum tentu tidak bisa dipisahkan
dengan penegakan HAM di Negara tersebut.

Miskin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan kondisi tak berharta serba
kekurangan namun secara global istilah miskin memiliki difinisi suatu keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian , tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Pengertian, istilah dan diefinisi diatas hanya contoh kata
miskin dalam tataran teori namun lebih jelasnya akan Saya gambarkan dalam sosok yang
abstrak, fenomena, dan fakta riil agar sebagian dari kita lebih faham kata miskin tersebut yaitu
saya ingin mendefinisikan “miskin” adalah Aisyah bocah berumur 8 tahun hampir 2 tahun
merawat ayahnya yang sakit dalam becak tua jika malam hanya tidur di emperan toko atau
teras mesjid jika lapar hanya menunggu belas kasihan orang lain selalu mengambil air dimesjid
untuk membersihkan tubuh ayahnya agar selalu kelihatan bersih dan tidak gerah karena panas,
dimana Negara?. Miskin adalah Iqbal bocah 3,5 tahun yang dipaksa mengamen oleh ibunya
sehingga mengalami siksaan yang luar biasa akibatnya tangan bocah tersebut patah dan
banyak luka lebam dan sulutan api rokok, dimana Negara. Fenomena Aisyah dan Iqbal menjadi
gambaran kecil bahwa rakyat miskin dan anak terlantar seakan-akan hidup tanpa Negara.

Dalam fakta hukum Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
“fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara” ini merupakan bukti tertulis
yang otentik dan fakta hukum. Dalam tafsir hukum sendiri pasal ini merupakan cerminan dari
sisi positif dari bangsa ini bahwa ada jaminan konstitusional yang mengatur kewajiban Negara
di bidang kesejahteraan sosial ini dapat dijadikan dasar dalam penegakan HAM bagi
masyarakat miskin yang menuntut pemeliharaan dari Negara. Kemiskinan merupakan kondisi
yang tidak bisa ditolak oleh manusia sehingga sangat wajar jika dalam situasi tersebut harus
dan wajib ada pembelaan serta perlindungan oleh Negara. Kita yakin bahwa filosofi lahirnya
Pasal 34 ayat (1) UUD RI tahun 1945 adalah untuk melindungi mereka yang mengalami
kemiskinan, sehingga sudah selayaknya makna yang terkandung dalam Pasal tersebut dapat
diwujudkan dalam pembelaan, pemeliharaan serta perlindungan.

Filosofi lahirnya pasal 34 ayat 1 dalam konstitusi Indonesia tentu tidak lepas dari keinginan
untuk menegakan HAM dalam tatanan bernegara, sebagaimana hak semua manusia untuk
dapat menjalankan hidup dengan selayaknya. Dalam kemiskinan ada 3 hak yang tentunya
sangat sulit untuk didapatkan 1. mendapatkan hak tempat tinggal, 2. hak untuk mendapatkan
pendidikan dan 3. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, Hak-hak ini hanya dapat
terpenuhi dengan kekuatan ekonomi. Lahirnya konsep Negara hukum dalam tatanan bernegara
di Negara ini tentu saja sebagai semangat untuk memastikan bahwa rakyat bisa mendapatkan
ketiga hak tersebut, namun dalam berjalanya waktu semangat penegakan HAM semakin terkikis
oleh sikap apatis oleh setiap individu manusia dan lebih tragis juga diikuti oleh Negara yang
notabene sebagai penguasa, Tentu ada hal lain yang sering mengusik kita semua yaitu ketika
terjadi sikap ingkar dari Negara kenapa sampai saat ini tidak ada satupun yang berani
menggugat pasal ini? Padahal kemiskinan semakin nyata, anak-anak jalanan bekeliaran sangat
mudah ditemukan dan hal itu di biarkan oleh Negara.

Dalam penegakan Pasal ini tentu tidak lepas dari kritik karena selama ini Negara selaku
penguasa terlihat sangat lamban dan terkesan tidak peduli, sebagai contoh yang saya sebutkan
diatas yaitu kasus Aisyah dan Iqbal adalah contoh terbaru bahwa Negara baru bertindak ketika
sudah jatuh korban dan juga kita sangat berterima kasih kepada media yang berperan penting
dalam mengungkap fakta tersebut. Fenomena ini sudah sering terjadi berulang kali, tentu fakta
ini menunjukkan kelalaian Negara dalam penegakan hukum. Dalam persepektif hukum Pidana
kelalaian sering di istilahkan dengan Kesalahan, kekurang hati-hatian, dan kealpaan
sebagaimana tercantum jelas dalam Pasal 359 KUHP ““Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Dalam hukum perdata kelalaian dikenal
dengan arti wanprestasi yang terjadi di dalam kontrak. Dalam kaitanya dengan tulisan ini saya
lebih sepakat Negara telah melakukan wanprestasi, pasal 34 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 dapat
diasosiasikan sebagai kontrak antara Negara dan Rakyat, jika Rakyat melakukan wanprestasi
maka Negara dapat melakukan tindakan hukum demikian sebaliknya jika Negara yang
wanprestasi karena kelalaiannya dalam melayani rakyat maka Negara juga dapat dituntut.

Mungkin saat ini kita sangat merindukan sosok pemimpin layaknya Amirul mukminin Umar bin
Khattab r.a. yang mengetahui kelaparan rakyatnya langsung melalui mata dan telinga beliau
sendiri. Beliau pernah memikul sendiri beras untuk dihantarkan kepada seorang ibu yang
memasak batu agar anaknya berhenti menangis kelaparan karena mengira sang ibu memasak
makanan, kita tidak tahu entah berapa kali sosok bocah seperti Aisyah dan Iqbal menangis
menahan lapar menunggu seonggok batu berubah menjadi makanan lezat. Sejenak kita
renungkan makna Hadist Nabi “Ibnu Abbas r.a. “saya pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda, bukanlah orang yang beriman yang ia sendiri kenyang sedang tetangganya dalam
kelaparan” mungkin hanya kepadamu Tuhan rakyat bisa menggugat penguasa karena lalai,
aamiin allahumma aamiin yaa rabbal'alaamiin.

Anda mungkin juga menyukai