Anda di halaman 1dari 22

MODUL

LATIHAN KADER I (LK-1)


GELOMBANG KEDUA

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)


KOMISARIAT TARBIYAH
CABANG KABUPATEN BANDUNG
1444 H/ 2022 M
A. Dasar Pemikiran

َ‫ت لِ َغ ۚ ٍد َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗاِ َّن هّٰللا َ خَ بِ ْي ٌر ۢبِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬


ْ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا هّٰللا َ َو ْلتَ ْنظُ ْ)ر نَ ْفسٌ َّما قَ َّد َم‬
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (Al Hasyr : 18)

Setiap orang akan melawati peristiwa semasa hidupnya, baik peristiwa yang bermakna
maupun yang tidak bermakna, hal itu menjadi sunatullah. Peristiwa akan mengandung makna bila
seseorang mengambil nilai daripada peristiwa yang telah terjadi. Dengan kata lain, peristiwa yang
dimaksud adalah sejarah. Menurut Roelan Abdulghani sejarah adalah ilmu yang meneliti kejadian
masa lampau manusia dengan maksud untuk menilai serta kritis hasil penelitiannya untuk dijadikan
pembendaharaan-pedoman dan penentuan masa sekarang serta arah progress masa depan.

Sejarah tidak hanya dialami oleh manusia tetapi dialami juga oleh seluruh makhluk ciptaan-
NYA baik yang bersifat individu maupun yang bersifat komunal. Meskipun yang menentukan nilai
tersebut adalah hasil dari output intelektual manusia. Seperti halnya organisasi mempunyai catatan
sejarahnya yang akan senantiasa dikenang dan dijadikan ibrah bagi pengikutnya yang senantiasa
menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran (Az-Zumar : 9).

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah ditempatkan pada kedudukan yang bernilai
tinggi. Setiap ilmu pengetahuan memiliki sejarahnya masing-masing untuk kemudian
dikembangkan menjadi cabang ilmu lainnya. Seperti halnya Fazlur Rahman menempatkan sejarah
sebagai metodelogi penafsiran al-quran dan hadis yang dikenal dengan istilah penafsiran gerakan
ganda (Double Movement) untuk dijadikan istinbath hukum pada realita kontemporer masa kini.
Menurut Rahman Melihat situasi historis pewahyuan menjadi urgen karena al-Qur’an adalah respon
ilahi dengan media insani, yakni melalui nalar kenabian (the prophet’s mind). Respon ilahi tersebut
ditujukan pada situasi sosial-moral yang terjadi pada masa dan tempat Nabi, khususnya masyarakat
komersil Mekah pada era Nabi.

Sejarah mencatat bahwa pembentukan Indonesia ini hasil dari proses perjuangan yang
panjang. Sebuah perjalan yang sudah barang tentu tidak harus dibayangkan lurus. Pembentukan
Indonesia sekarang ini dimulai dengan perjuangan generasi muda yang dimotori oleh mahasiswa
disejumlah titik merupakan tonggak sejarah. Oleh karena itu mahasiswa disebut sebagai agent of
change.

I Made Subrata dalam artikel yang berjudul Gerakan Mahasiswa menjelaskan bahwa Slogan
atau Mitos mahasiswa sebagai agent of change sangat jauh dari realita yang ada sekarang ini.
Aktivitas mahasiswa sekarang ini lebih banyak dan bangga jadi peserta tepuk tangan di acara-acara
TV, pengembira dalam acara-acara serimonial, duduk manis di pusat perbelanjaan atau di tempat
nongkrong modern yang mana semua aktivitas tersebut sangat jauh dari hiruk pikuk kesusahan dan
kesulitan hidup rakyat kecil. Di sana mereka dapat leluasa berbicara tentang mode pakaian, artis,
film terbaru dan populer dan selalu mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan jalan yang
memperjuangkan hak masyarakat kecil dan terpinggirkan. Sehingga kehidupan para mahasiswa
pada era tahun 80-an kembali lagi di jaman sekarang ini yang sering dibuat jargon oleh masyarakat
umum bahwa mahasiswa tidak lebih sebagai “Menara gading” yang kehidupannya sangat rapuh.

Di bagian lain kehidupan gerakan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan lebih


cenderung tersandera dalam isu-isu elit yang lebih membuat mahasiswa menghayal masa lalu yang
tidak pernah mereka alami. Mereka seringkali terjebak pada romantisme masa lalu yang mereka
dapatkan dari berbagai media. Kalau kita bercermin kembali kepada tujuan dan fungsi mahasiswa
dan organisasi kemahasiswaan prinsip dasarnya adalah mendidik dan mengasah intelektual muda
yang nantinya mau dan mampu memperjuangkan hak dan kehidupan rakyat.

Menurut anggaran dasar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pasal 8 tentang fungsi, HMI
berfungsi sebagai organisasi kader, yang diharapkan mampu menjadi alat perjuangan dalam
mentransformasikan gagasan, gerakan dan perjuangan terhadap rumusan insan cita yang ingin
dibangun yakni terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

HMI sebagai organisasi kader memiliki platform yang jelas dalam menyusun agenda dengan
mendekatkan diri kepada realitas masyarakat dan secara konsisten membangun proses dialetika
secara obyektif dalam pencapaian tujuannya. Dengan kaderisasi di HMI diharapkan mahasiswa
yang dibentuk sebagai pemimpin di generasi milenial dan masa mendatang mampu
menginterpretasikan nilai-nilai sebagai dasar kepemimpinan sehingga memiliki keberpihakan
terhadap kaum tertindas (mustadha’afin) dan memperjuangkan kepentingan mereka serta
membekalinya dengan ideologi yang kuat untuk melawan kaum penindas (mustakbirin) serta
menjawab tantangan zaman.

Dalam menjawab tantang tersebut, di jaman modern sekarang ini mahasiswa yang
merapakan insan intelektual yang merupakan harapan bangsa yang nantinya akan mengambil alih
semua tanggung jawab bangsa segera harus berbenah diri. Adapun langkah yang bisa dilakukan,
kita harus memanfaatkan ruang dan kemampuan kita semua untuk mendengar dan melihat
fenomena yang terjadi dilingkungan kita, terutama permasahan yang dialami oleh masyarakat.
Semua itu bisa dikerjakan dengan melakukan suatu pergerakan ilmiah dengan mengadakan diskusi
ilmiah, dialog publik, seminar, audiensi yang mengambil topik tentang fenomena-fenomena yang
terjadi di masyarakat terutama yang sesuai dengan keilmuan kita. Kita selaku insan terdidik harus
mampu memposisikan diri dalam permasalahan ini.

Untuk itu dalam rangka memaksimalkan dan mempersiapkan mahasiswa yang sesuai
dengan peran dan fungsinya seyoginya perkaderan di HMI harus di orientasikan kepada proses
rekayasa pembentukan kader yang memiliki karakter, nilai dan kemampuan untuk melakukan
transformasi generasi muda yang berkepribadian muslim yang utuh (kaffah), sikap dan wawasan
intelektual yang melahirkan kritisisme serta orientasi kepada kemandirian dan profesionalisme.
Oleh karena itu untuk menguatkan dan memberikan nilai pengkaderan HMI, maka ada tiga hal yang
harus diberi perhatian serius,. Pertama, rekrutmen calon kader. Kedua, proses perkaderan yang
dilakukan sangat ditentukan oleh kualitas pengurus sebagai penanggung jawab perkaderan,
pengelola latihan, pedoman perkaderan dan bahan yang dikomunikasikan serta fasilitas yang
digunakan. Ketiga, iklim dan suasana yang dibangun harus kondusif untuk perkembangan kualitas
kader.

Untuk memberikan panduan (guidance) yang dipedomani dalam setiap proses perkaderan
HMI, maka dipandang perlu untuk menyusun suatu konsep perkaderan yang menjadi strategi besar
(grand strategy) perjuangan HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan dalam
memaksimalkan dan memperiapkan mahasiswa di Indonesia.

Oleh sebab itu maka dasar kebutuhan dan problematika yang kompleks seperti halnya yang
telah dijelaskan diatas, maka Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten
Bandung bermaksud menggelar Latihan Kader I (Basic Training).

B. LANDASAN PERKADERAN
Landasan perkaderan merupakan pijakan dasar bagi aktivitas HMI di dalam menjalankan
fungsinya sebagai organisasi perkaderan. Nilai-nilai yang termaktub di dalam landasan ini tiada lain
merupakan spirit yang harus dijiwai baik oleh HMI secara kolektif maupun kader HMI secara
individual. Dengan demikian, aktivitas kaderisasi di HMI tidak akan keluar dari nilai-nilai yang
dimaksud, agar setiap aktivitasnya selalu mengarahkan pada tujuan-tujuan yang bersifat jangka
panjang dan terarah. Untuk itu, dalam landasan perkaderan HMI ada 5 landasan sebagai pondasi
perkaderan di HMI, yaitu sebagai berikut:

1. Landasan Teologis
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Dia adalah makhluk yang menurut alam
hakikatnya sendiri, yaitu sejak masa primordialnya selalu mencari dan merindukan Tuhan.
Inilah fitrah atau kejadian asal sucinya, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan,
mencari, dan menemukan Tuhan. Agama menyebutnya sebagai kecenderungan yang hanif
(Hanafiyah al-samhah), yaitu “sikap mencari kebenaran secara tulus dan murni, lapang,
toleran, tidak sempit dan tidak membelenggu jiwa.
Selain itu pula, bahwa fitrah bagi manusia adalah adanya sifat dasar kesucian yang
kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Sifat
dasar kesucian itu disebut dengan hanafiyyah, dan sebagai makhluk yang hanif itu manusia
memiliki dorongan kearah kebaikan, kebenaran, dan kesucian. Pusat dorongan hanafiyyah itu
terdapat dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murni, yang disebut hati nurani,
artinya bersifat nur atau cahaya (luminous). Kesucian manusia merupakan kelanjutan
perjanjian primordial antara manusia (ruh) dan Tuhan, yaitu suatu perjanjian atau ikatan janji
antara manusia sebelum lahir ke dunia dengan Tuhan, bahwa manusia akan mengakui Tuhan
sebagai pelindung dan pemelihara (rabb) satu-satunya baginya.
Oleh sebab itu, ruh manusia dijiwai oleh kesadaran tentang yang Mutlak dan Maha Suci
(Transenden, Munazzah), kesadaran tentang kekuatan yang Maha Tinggi yang merupakan
asal dan tujuan semua yang ada dan yang berada diatas alam raya. Kesadaran ini merupakan
kemampuan intelek (‘Aql), sebuah piranti pada manusia untuk mempersepsi sesuatu yang ada
diatas dan diluar dataran jasad ini. Juga atas dasar perjanjian primordial itu pula, manusia
diberikan amanah sebagai wakil Tuhan (Khalifah) di muka bumi ini, yang berfungsi untuk
mengatur dan mengelola alam raya dengan sebaik-baiknya, disertai dengan peniruan terhadap
sifat-sifat Tuhan sebagai Rabb Alamin.
Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan, manusia seringkali memiliki kecenderungan dan
godaan untuk mencari “jalan pintas” yang gampang dengan mengabaikan pesan dan mandat
dari Tuhan. Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup dan keinsyafan akan
datangnya masa Pertanggungjawaban mutlak kelak diakhirat, membuat manusia terlindungi
dirinya dari ketelanjangan spritual dan moral yang tercela. Itulah pakaian taqwa yang mesti
dikenakan manusia setiap saat dan tempat. Taqwa itu sendiri memiliki arti God Consiousness,
atau “kesadaran ketuhanan”, dan itulah sebaik-baik proteksi dari noda ruhani.
Sebagai bentuk dasar akan adanya “kesadaran ketuhanan” tersebut, maka manusia harus
pula dapat menginternalisasi konsepsi tawhid yang merupakan perwujudan kemerdekaan yang
ada padanya. Implikasi logis dari tawhid itu sendiri adalah meneguhkan sikap dan langkahnya
sebagai khalifah, dengan cara tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apapun juga
dengan cara meninggalkan praktek mengangkat sesama manusia sebagai “tuhan-tuhan”
(arbab), selain kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mengangkat sesama manusia sebagai
“tuhan-tuhan” ialah menjadikan sesama manusia sebagai sasaran penyembahan, dedikasi,
devosi, atau sikap pasrah total. Dengan demikian maka tawhid mengharuskan adanya
pembebasan diri dari objekobjek yang membelenggu dan menjerat ruhani. Ini adalah sejajar
dan identik dengan semangat dan makna dari bagian pertama kalimat persaksian, “Aku
bersaksi bahwasanya tiada suatu tuhan (ilah)...” yakni, aku menyatakan diri bebas dari
kukungan kepercayaan-kepercayaan palsu yang membelenggu dan menjeret ruhaniku.
Kemudian untuk menyempurnakannya, maka pernyataan kedua diteruskan sebagai proses
pembebasan “...kecuali Allah, (Al-Ilah,Al-Lah, yakni Tuhan yang sebenarnya, yang dipahami
dalam kerangka semangat ajaran ketuhanan yang maha esa atau tauhid uluhiyya, monoteisme
murni-strict monotheisme).
Maka dari itu, tawhid bukan hanya melahirkan taqwa, melainkan inspirasi dan peneguhan
fungsi dasar manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan sebagai akhir dari pada fungsi
manusia tersebut, maka di hari akhirat kelak manusia akan di mintai Pertanggungjawaban
secara pribadi, yaitu Pertanggungjawaban atas setiap pilihan yang ditentukannya secara
pribadi di dunia. Sehingga tidak ada pembelaan berdasarkan hubungan solidaritas,
perkawinan, kawan-karib maupun sanak-saudara. Manusia disebut berharkat dan bermartabat
tiada lain merupakan konsekuensi dari adanya hak dasar manusia untuk memilih dan
menentukan sendiri prilaku moral dan etisnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa
manusia harus senantiasa memberi makna atas hidup di dunia ini melampaui tujuan-tujuan
duniawi (terrestrial), menembus tujuantujuan hidup ukhrawi (celestial).
2. Landasan Ideologis
Islam sebagai landasan nilai transformatif yang secara sadar dipilih untuk memenuhi
kebutuhan dan menjawab persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Islam mengarahkan
manusia untuk mencapai tujuan dan idealisme yang dicita-citakan. Untuk tujuan dan
idealisme tersebut maka umat Islam akan ikhlas berjuang dan berkorban demi keyakinannya.
Ideologi Islam senantiasa mengilhami, memimpin, mengorganisir perjuangan, perlawanan,
dan pengorbanan yang luar biasa untuk melawan semua status quo, belenggu dan penindasan
terhadap umat manusia.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad telah memperkenalkan Islam sebagai ideologi
perjuangan dan mengubahnya menjadi keyakinan yang tinggi, serta memimpin rakyat
melawan kaum penindas. Nabi Muhammad lahir dan muncul dari tengah masyarakat
kebanyakan yang oleh Al-Qur’an dijuluki sebagai “ummi”. Kata “ummi” yang disifatkan
kepada Nabi Muhammad menurut Ali Syari’ati dalam karyanya Ideologi Kaum Intelektual,
berarti bahwa beliau berasal dari kelas rakyat. Kelas ini terdiri atas orang-orang awam yang
buta huruf, para budak, anak yatim, janda dan orang-orang miskin (mustadh’afin) yang
menderita, dan bukan berasal dari kalangan borjuis dan elite penguasa. Dari kalangan inilah
Muhammad memulai dakwahnya untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Cita-cita Islam adalah adanya transformasi terhadap ajaran dasar Islam tentang
persaudaraan universal (Universal Brotherhood), kesetaraan (Equality), keadilan sosial
(Social Justice), dan keadilan ekonomi (Economical Justice). Ini adalah cita-cita yang
memiliki aspek liberatif sehingga dalam usaha untuk mewujudkannya tentu membutuhkan
keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen. Hal ini disebabkan sebuah ideologi
menuntut penganutnya bersikap setia (committed).
Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita Islam, pertama, persaudaraan universal dan
kesetaraan (equality), Islam telah menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) yang
ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Hai manusia ! kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling ber-taqwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui. “ (Q.S. Al-Hujurat:13).
Ayat ini secara jelas membantah sernua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan
atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya keshalehan, baik
keshalehan ritual maupun keshalehan sosial, sebagaimana Al-Qur’an menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri karena Allah, menjadi saksi
dengan keadilan. Janganlah karena kebencianmu kepada suatu kaum, sehingga kamu tidak
berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa dan takutlah
kepada Allah…” (QS. Al-Maidah: 8).
Kedua, Islam sangat menekankan kepada keadilan di semua aspek kehidupan. Dan
keadilan tersebut tidak akan tercipta tanpa membebaskan masyarakat lemah dan marjinal dari
penderitaan, serta memberi kesempatan kepada kaum mustadh’afin untuk menjadi pemimpin.
Menurut Al-Qur’an, mereka adalah pernimpin dan pewaris dunia.
Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di muka burni. Kami
akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi” (QS. Al-Qashash: 5)
“Dan kami wariskan kepada kaum yang tertindas seluruh timur bumi dan baratnya yang
kami berkati. “ (QS. Al-A’raf: 37).
Di tengah-tengah suatu bangsa ketika orang-orang kaya hidup mewah di atas penderitaan
orang miskin, ketika budak-budak merintih dalam belenggu tuannya, ketika para penguasa
membunuh rakyat yang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim mernihak
kepada pemilik kekayaan dan penguasa, ketika orang-orang kecil yang tidak berdosa
dimasukkan ke penjara maka Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan
rabbulmustadh’afin :
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas,
baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berdo’a, Tuhan kami ! Keluarkanlah kami dari
negeri yang penduduknya berbuat zalim, dan berilah kami perlindungan dan pertolongan dari
sisi Engkau.” (QS. An-Nisa: 75).
Dalam ayat ini menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi
Pembebasan, Al-Qur’an mengungkapkan teori kekerasan yang membebaskan yaitu:
“Perangilah mereka itu hingga tidak ada fitnah.” (Q.S. Al-Anfal: 39)
Al-Qur’an dengan tegas mengutuk Zulm (penindasan). Allah tidak menyukai kata-kata
yang kasar kecuali oleh orang yang tertindas.
“Allah tidak menyukai perkataan yang kasar/jahat (memaki), kecuali bagi orang yang
teraniaya….” (QS. An-Nisa: 148).
Ketika Al-Qur’an sangat menekankan keadilan ekonomi berarti Al-Qur’an seratus persen
menentang penumpukan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh mungkin
menganjurkan agar orang-orang kaya hartanya untuk anak yatim, janda-janda dan fakir
miskin.
“Adakah engkau ketahui orang yang mendustakan agarna? Mereka itu adalah orang yang
menghardik anak yatim. Dan tidak menyuruh memberi makan orang miskin. Maka celakalah
bagi orang yang shalat, yang mereka itu lalai dari sholatnya, dan mereka itu riya, enggan
memberikan zakatnya. “ (QS. AI-Maun: 1-7).
Al-Qur’an tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di antara orang-orang
kaya saja.
“Apa-apa (harta rampasan) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri
(orang-orang kafir), maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, untuk karib kerabat Rasul, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang berjalan, supaya jangan harta itu beredar
antara orang-orang kaya saja diantara kamu … “ (QS. Al Hasyr: 7).
Al-Qur’an juga memperingatkan manusia agar tidak suka menghitung-hitung harta
kekayaannya, karena hartanya tidak akan memberikan kehidupan yang kekal. Orang yang
suka menumpuk-numpuk dan menghitung-hitung harta benar-benar akan dilemparkan ke
dalam bencana yang mengerikan, yakni api neraka yang menyala-nyala:
“Celakalah setiap pengumpat lagi pencela. yang mengumpulkan harta dan menghitung-
hitungnya. Dia (manusia) mengira bahwa hartanya dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak!
Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah. Tahukah kamu apakah (neraka)
Hutamah?. (Ia adalah) api (azab) Allah yang dinyalakan yang (membakar) naik sampai ke
hati. Sesungguhnya dia (api itu) tertutup rapat (sebagai hukuman) atas mereka, (sedangkan
mereka) diikat pada tiang-tiang yang panjang”. (QS. Al-Humazah:1-9).
Kemudian juga pada Surat At-Taubah: 34, menyatakan:
” Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari para rabi dan rahib benar-
benar memakan harta manusia dengan batil serta memalingkan (manusia) dari jalan Allah.
Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah,
berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih”
(QS. At-Taubah: 34)
Al-Qur’an memberikan beberapa peringatan keras kepada mereka yang suka menimbun
harta dan mendapatkan hartanya dari hasil eksploitasi (riba) dan tidak membelanjakannya di
jalan Allah.
Pada masa Rasulullah SAW banyak sekali orang yang terjerat dalam perangkap hutang
karena praktek riba. Al-Qur’an dengan tegas melarang riba dan memperingatkan siapa saja
yang melakukannya akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya (Iihat, QS. Al-Baqarah: 275-
279 dan Ar-Rum: 39). Demikianlah Allah dan Rasul-Nya telah mewajibkan untuk melakukan
perjuangan membela kaum yang tertindas dan mereka (Allah dan Rasul-Nya) telah
memposisikan diri sebagai pembela para mustadh’afin.
Dalam keseluruhan proses aktifitas manusia di dunia ini, Islam selalu mendorong
manusia untuk terus memperjuangkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan,
melawan penindasan dan ekploitasi. AI-Qur’an memberikan penegasan:
”Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia supaya kamu menyuruh
berbuat kebajikan (ma’ruf) dan melarang berbuat kejahatan (mungkar) serta beriman kepada
Allah (QS. Ali-Imran: 110).
Dalam rangka memperjuangkan kebenaran ini, manusia memiliki kebebasan dalam
mengartikulasikan Islam sesuai dengan konteks lingkungannya agar tidak terjebak pada hal-
hal yang bersifat mekanis dan dogmatis. Menjalankan ajaran Islam yang bersumber pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka
menyelesaikan persoalan kehidupan yang serba kompleks sesuai dengan kemampuannya.
Demikianlah cita-cita Islam yang senantiasa harus selalu diperjuangkan dan ditegakkan,
sehingga dapat mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil, demokratis, egaliter dan
berperadaban. Dalam memperjuangkan cita-cita tersebut manusia dituntut untuk selalu setia
(commited) terhadap ajaran Islam seraya memohon petunjuk Allah SWT, ikhlas, rela
berkorban sepanjang hidupnya dan senantiasa terlibat dalam setiap pembebasan kaum
tertindas (mustadh'afin).
"Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku, semata-mata hanya untuk
Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada serikat bagi-Nya dan aku diperintah untuk itu, serta aku
termasuk orang yang pertama berserah diri. " (QS. AI-An'am: 162-163).
3. Landasan Sosio-Kultural
Islam yang masuk di kepulauan Nusantara telah berhasil merubah kultur masyarakat
terutama di daerah sentral ekonomi dan politik menjadi kultur Islam. Keberhasilan Islam yang
secara dramatik telah berhasil menguasai hampir seluruh kepulauan nusantara. Tentunya hal
tersebut dikarenakan agama Islam memiliki nilainilai universal yang tidak mengenal batas-
batas sosio-kultural, geografis dan etnis manusia. Sifat Islam ini termanifestasikan dalam cara
penyebaran Islam oleh para pedagang dan para wali dengan pendekatan sosio-kultural yang
bersifat persuasif.
Masuknya Islam secara damai berhasil mendamaikan kultur Islam dengan kultur
masyarakat nusantara. Dalam proses sejarahnya, budaya sinkretisme penduduk pribumi
ataupun masyarakat, ekonomi dan politik yang didominasi oleh kultur tradisional, feodalisme,
hinduisme dan budhaisme mampu dijinakkan dengan pendekatan Islam kultural ini. Pada
perkembangan selanjutnya, Islam tumbuh seiring dengan karakter keindonesiaan dan secara
tidak langsung telah mempengaruhi kultur Indonesia yang dari waktu ke waktu semakin
modern.
Karena mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam, maka kultur Islam telah
menjadi realitas sekaligus memperoleh legitimasi social dari bangsa Indonesia yang
pluralistik. Dengan demikian wacana kebangsaan di seluruh aspek kehidupan ekonomi,
politik, dan sosial budaya Indonesia meniscayakan transformasi total nilai-nilai universal
Islam menuju cita-cita mewujudkan peradaban Islam.
Secara sosiologis dan historis, kelahiran HMI pada tanggal 5 Februari 1947 tidak terlepas
dari permasalahan bangsa yang di dalamnya mencakup umat Islam sebagai satu kesatuan
dinamis dari bangsa Indonesia yang sedang mempertahankan kemerdekaan yang baru
diproklamirkan. Kenyataan itu merupakan motivasi kelahiran HMI sekaligus dituangkan
dalam rumusan tujuan berdirinya, yaitu: pertama, mempertahankan negara Republik
Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan
mengembangkan syiar ajaran Islam. Ini menunjukkan bahwa HMI bertanggung jawab
terhadap permasalahan bangsa dan negara Indonesia serta bertekad mewujudkan nilainilai
Islam dalam kehidupan manusia secara total.
Makna rumusan tujuan itu akhirnya membentuk wawasan dan langkah perjuangan HMI
ke depan yang terintegrasi dalam dua aspek keislaman dan aspek kebangsaan. Aspek
keislaman tercermin melalui komitmen HMI untuk selalu mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam
secara utuh dalam kehidupan berbangsa sebagai pertanggungjawaban peran kekhalifahan
manusia, sedangkan aspek kebangsaan adalah komitmen HMI untuk senantiasa bersama-sama
seluruh rakyat Indonesia merealisasikan cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia demi terwujudnya cita-cita masyarakat yang demokratis, berkeadilan sosial dan
berkeadaban. Dalam sejarah perjalanan HMI, pelaksanaan komitmen keislaman dan
kebangsaan merupakan garis perjuangan dan misi HMI yang pada akhirnya akan membentuk
kepribadian HMI dalam totalitas perjuangan bangsa Indonesia ke depan.
Melihat komitmen HMI dalam wawasan sosiologis dan historis berdirinya pada tahun
1947 tersebut, yang juga telah dibuktikan dalam sejarah perkembangnnya, maka pada
hakikatnya segala bentuk pembinaan kader HMI harus pula tetap diarahkan dalam rangka
pembentukan pribadi kader yang sadar akan keberadaannya sebagai pribadi muslim, khalifah
di muka bumi dan pada saat yang sama kader tersebut harus menyadari pula keberadannya
sebagai kader bangsa Indonesia yang bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita bangsa ke
depan.
4. Landasan Konstitusi
Dalam rangka mewujudkan cita-cita perjuangan HMI di masa depan, HMI harus
mempertegas posisinya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara demi
melaksanakan tanggung jawabnya bersama seluruh rakyat Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Dalam pasal tiga (3) tentang azas
ditegaskan bahwa HMI adalah organisasi berazaskan Islam dan bersumber kepada Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Penegasan pasal ini memberikan cerminan bahwa di dalam dinamikanya,
HMI senantiasa mengemban tugas dan tanggung jawab dengan semangat keislaman yang
tidak mengesampingkan semangat kebangsaan. Dalam dinamika tersebut, HMI sebagai
organisasi kepemudaan menegaskan sifatnya sebagai organisasi mahasiswa yang independen
(Pasal 6 AD HMI), berstatus sebagai organisasi mahasiswa (Pasal 7 AD HMI), memiliki
fungsi sebagai organisasi kader (Pasal 8 AD HMI) serta berperan sebagai organisasi
perjuangan (Pasal 9 AD HMI).
Dalam rangka melaksanakan fungsi dan peranannya secara berkelanjutan yang
berorientasi futuristik maka HMI menetapkan tujuannya dalam pasal empat (4) AD HMI,
yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam serta
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
Kualitas kader yang akan dibentuk ini kemudian dirumuskan dalam tafsir tujuan
HMI. Oleh karena itu, tugas pokok HMI adalah perkaderan yang diarahkan kepada
perwujudan kualitas insan cita yakni dalam pribadi yang beriman dan berilmu pengetahuan
serta mampu melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan sebagai amal saleh.
Pembentukan kualitas dimaksud diaktualisasikan dalam fase-fase perkaderan HMI, yakni
fase rekruitmen kader yang berkualitas, fase pembentukan kader agar memiliki kualitas
pribadi Muslim, kualitas intelektual serta mampu melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan
secara profesional dalam segala segi kehidupan, dan fase pengabdian kader, dimana sebagai
output maka kader HMI harus mampu berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara dan berjuang bersama-sama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan
makmur yang diridhoi Allah SWT.
C. PRINSIP PERKADERAN

Prinsip merupakan asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak
dan berprilaku. Dengan demikian prinsip pada perkaderan merupakan asasasas yang dijadikan
pijakan dalam menjalankan sistem perkaderan. Adapun yang dijadikan prinsip-prinsip dalam
perkaderan adalah:

1. Integratif
Prinsip integratif mengarahkan agar keseluruhan aspek yang ada di dalam perkaderan
dapat digunakan secara menyeluruh, terhubung, tidak parsial dan tidak mendikotomikan
antara satu aspek dengan aspek yang lainnya. Hal ini dapat diketemukan dalam perintah
Tuhan dalam Al-Qur’an, bahwa selain manusia diperintahkan untuk Sholat, ia juga
diperintahkan untuk berzakat. Atau dengan kata lain, selain perintah untuk membaca ayat-ayat
yang bersifat Qauliyyah (Wahyu), manusia juga diperintahkan untuk memikirkan ayat-ayat
semesta (Kauniyyah). Dengan demikian, prinsip integratif adalah menghubungkan satu aspek
perkaderan dengan aspek-aspek lainnya secara menyeluruh.
2. Keseimbangan
Prinsip keseimbangan merupakan keharusan dalam pengembangan dan pembinaan
manusia sehingga tidak adanya kepincangan dan kesenjangan antara material, spritual
maupun unsur jasmani, dan rohani. Di dalam Al-Quran Allah menyebutkan iman dan amal
secara bersamaan. Iman adalah unsur yang menyangkut dengan hal spritual, sedangkan amal
adalah yang menyangkutb dengan material, yaitu jasmani. Hal ini diperjelas dalam firman
Allah :
َ‫ت َوه َُو ُمْؤ ِم ٌن فَاَل ُك ْف َرانَ لِ َس ْعيِ ٖ ۚه َواِنَّا لَهٗ ٰكتِبُوْ ن‬ ّ ٰ ‫فَ َم ْن يَّ ْع َملْ ِمنَ ال‬
ِ ‫صلِ ٰح‬
“Siapa yang mengerjakan kebajikan dan dia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari
(disia-siakan). Sesungguhnya Kamilah yang mencatat untuknya”
3. Persamaan
Dalam menjalani seluruh proses perkaderan, tidak ada yang harus diperbedakan antara
satu kader dengan kader lainnya. Seluruh kader berhak mendapatkan perlakukan, pembinaan
serta pasilitas yang sama, khususnya di dalam memenuhi hak dan kewajibannya sebagai kader
maupun instruktur. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang tentang kemanusiaan itu
sendiri, sebagaimana firman Allah :
َ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْ)م ُشعُوْ بًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل لِتَ َع‬
‫ارفُوْ ا ۚ اِ َّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد‬
‫هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌر‬
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti”.
4. Kasih Sayang
Prinsip kasih-sayang tiada lain merupakan sifat dasar dari Tuhan YME, yaitu ArRahman
dan Ar-rahim. Sebagaimana kedudukan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini, maka
sudah seharusnya manusia menirukan segala sifat yang ada pada-Nya, menifestasi dari sifat-
sifat Tuhan tersebut seyogyanya pula teraktualisasikan dalam proses pendidikan dan
perkaderan. Prinsip ini mengarahkan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi
dan watak kebaikan, dan kecenderungannya selalu pada kebenaran. Maka pendekatan kearah
potensi dasar manusia tersebut harus didekati dengan cara memberikan kasih-sayang,
sehingga para kader merasakan dirinya diayomi dan diamong, sehingga dikemudian hari bisa
terwujud melalui sikap yang sadar untuk menjalankan segala kewajibannya sebagai kader.
Sebagaimana perintah Allah :
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫ُح َم ۤا ُء بَ ْينَهُ ْم ت َٰرىهُ ْم ُر َّكعًا ُس َّجدًا يَّ ْبتَ ُغوْ نَ فَضْ اًل ِّمن‬ َ ‫ار ر‬ ۤ
ِ َّ‫ُم َح َّم ٌد َّرسُوْ ُل ِ ۗ َوالَّ ِذ ْينَ َم َعهٗ ٓ اَ ِش َّدا ُء َعلَى ْال ُكف‬
ْ ‫ع) اَ ْخ َر َج َش‬ ٰ
ٗ‫طـَٔه‬ ٍ ْ‫َو ِرضْ َوانًا) ۖ ِس ْي َماهُ ْم فِ ْي ُوجُوْ ِه ِه ْم ِّم ْن اَثَ ِر ال ُّسجُوْ ِد ۗذلِكَ َمثَلُهُ ْم فِى التَّوْ ٰرى ِة ۖ َو َمثَلُهُ ْم فِى ااْل ِ ْن ِجي ۚ ِْل كَزَر‬
‫ت ِم ْنهُ ْم‬ ‫هّٰللا‬
ّ ٰ ‫الزرَّا َع لِيَ ِغ ْيظَ بِ ِه ُم ْال ُكفَّا َر َۗو َع َد ُ الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َو َع ِملُوا ال‬
ُّ ُ‫فَ ٰا َز َر ٗه فَا ْستَ ْغلَظَ فَا ْست َٰوى ع َٰلى سُوْ قِ ٖه يُ ْع ِجب‬
ِ ‫صلِ ٰح‬
ࣖ ‫َّم ْغفِ َرةً َّواَجْ رًا َع ِظ ْي ًما‬
29. Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya
bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang
sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-
Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat
mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan
tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya.
Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan
seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan
pahala yang besar.

5. Keteladanan
Prinsip keutamaan ini dimaksudkan bahwa perkaderan bukan hanya bertugas
menyediakan kondisi belajar bagi para kader, tetapi lebih dari itu untuk turut membentuk
kepribadiannya dengan perlakukan dan keteladanan yang ditunjukan oleh para pengkader.
Penerapan prinsip keteladanan ini dijadikan pula sebagai landasan bagi penerapan konsep-
konsep perkaderan lainnya. Prinsip ini mendapat legitimasinya di dalam al-qur’an yang
berbunyi:
َ ‫ع اِ ٰلى َسبِ ْي ِل َربِّكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة َو َجا ِد ْلهُ ْم بِالَّتِ ْي ِه َي اَحْ َس ۗنُ اِ َّن َربَّكَ ه َُو اَ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬
‫ض َّل‬ ُ ‫اُ ْد‬
َ‫ع َْن َسبِ ْيلِ ٖه َوه َُو اَ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِد ْين‬
125. Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik
serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang
mendapat petunjuk.

6. Ketaatan
Prinsip ketaatan ini lahir dari adanya ketundukan (din) dan sikap pasrah (alIslam)
sehingga membentuk satu kesatuan dan sikap menaati setiap aturan-aturan yang telah
diberlakukan. Sebab, tidak ada ketaatan tanpa adanya ketundukan dan sikap pasrah terhadap
sesuatu yang sedang diyakininya. Dalam konteks ini, bahwa setiap kader hendaknya menaati
segala aturan-aturan main perkaderan HMI yang diiringi oleh pengamalan dalam lingkup
keseharian, khususnya ketaatan dalam hal menjalankan ibadah yaomiyyah dalam aktivitas
kesehariannya. Prinsip ketaatan ini bersumber pada kebijakan baik yang dihasilkan secara
nyata dalam perintah Allah, rasul, maupun dari para pemimpin yang bertujuan untuk
terwujudnya kemaslahatan. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
‫َمر م ْن ُك ۚم فَا ْن تَنَا َز ْعتُم في َشي ٍء فَ ُر ُّدوْ ه الَى هّٰللا‬ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا) ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل‬
ِ ِ ُ ْ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ْ
ࣖ ‫تَْأ ِو ْياًل‬ َ ِ‫َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِ)م ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬
ُ‫ك َخ ْي ٌر َّواَحْ َسن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad)
serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman
kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus
akibatnya (di dunia dan di akhirat).”

D. POLA DASAR PERKAERAN


1. Pengertian Umum
a. Kader
Menurut AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced Learner's Dictionary)
dikatakan bahwa "Cadre is a small group of People who are specially chosen and trained
for a particular purpose, atau “cadre is a member of this kind of group; they were to
become the cadres of the new community party". Jadi pengertian kader adalah "sekelompok
orang yang terorganisasir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi
kelompok yang lebih besar". Hal ini dapat dijelaskan, pertama, seorang kader bergerak dan
terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan permainan organisasi dan tidak
bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. Bagi HMI aturanaturan itu sendiri dari segi
nilai adalah Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam pemahaman memaknai perjuangan
sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai ke-Islam-an yang membebaskan
(liberation force), dan memiliki kerberpihakan yang jelas terhadap kaum tertindas
(mustadhafin).Sedangkan dari segi operasionalisasi organisasi adalah AD/ART HMI,
pedoman perkaderan dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. Kedua, seorang
kader mempunyai komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat
musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan
kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung
atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar.Jadi
fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. Keempat, seorang Kader rneiliki
visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu
melakukan "social engineering". Kader HMI adalah anggota HMI yang telah melalui proses
perkaderan sehingga meiniliki ciri kader sebagaimana dikemukakan di atas dan memiliki
integritas kepribadian yang utuh : Beriman, Berilmu dan beramal shaleh sehingga siap
mengemban tugas dan amanah kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara (Lihat Pedoman Perkaderan)
b. Perkaderan
Perkaderan adalah usaha organisasi yang dilaksanakan secara sadar dan sistematis
selaras dengan pedoman perkaderan HMI.
2. Rekrutmen Kader
Rekrutmen adalah penjaringan atau usaha pengadaan kader dalam arti kuantitas maupun
kualitas. Sebagai konsekuensi dari organisasi kader, maka aspek kualitas kader merupakan
fokus perhatian dalam proses perkaderan HMI guna menjamin terbentuknya out put yang
berkualitas sebagaimana yang disyaratkan dalam tujuan organisasi, maka selain kualitas proses
perkaderan itu sendiri, kualitas input calon kader menjadi faktor penentu yang tidak kalah
pentingnya.
Kenyataan ini mengharuskan adanya pola pola perencanaan dan pola rekrutmen yang lebih
memprioritaskan kepada tersedianya input calon kader yang berkualitas. Dengan demikian
rekrutmen kader adalah merupakan upaya aktif dan terencana sebagai ikhtiar untuk
mendapatkan input calon kader yang berkualitas bagi proses perkaderan HMI dalam mencapai
tujuan organisasi.
a. Kriteria Rekrutmen
Rekrutmen kader yang lebih memperioritaskan pada pengadaan kader yang berkualitas tanpa
mengabaikan aspek kuantitas, Prioritas dalam rekrutmen kader tersebut memperhatikan kriteria
sebagai berikut :
1. Terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi, dan tidak sedang menjalani skorsing
akademik
2. Muslim/muslimah (bisa baca Al-Qur’an)
3. Memiliki integritas
4. Akademis (cerdas, intelektual) (Q.S: Al-Baqaroh : 247)
5. Memiliki potensi kepemimpinan
6. Berprestasi
7. Mau aktif berorganisasi
b. Proses Pendaftaran
Proses memperkenalkan organisasi kepada mahasiswa secara umum dilakukan dengan
menggunakan media online oleh seluruh kader HMI Komisariat Tarbiyah.
Adapun proses pendaftaran dan screaning sebagai berikut :
1) Pendaftaran dilaksanakan pada tanggal 24 November 2022- Scereening dengan
persyaratan sebagai berikut:
 Mengisi formulir pendaftaran via google form yang telah disediakan oleh panitia;
 Menyiapkan surat keterangan sehat dari puskesmas/ rumah sakit.
2) Seleksi dilakukan dengan cara interview secara langsung, berfungsi untuk menguji
konsistensi jawaban, dan menggali lebih dalam pengetahuan calon peserta serta menggali
motivasi dan potensi calon peserta. Apabila motivasi ada “distorsi” maka pewawancara
bertugas untuk meluruskannya. Interview diadakan dengan dua tahap :
 (Stadium general, ke-Islaman, perguruan tinggi dan kemahasiswaan (PTK) dan
kepemimpinan manajemen dan organisasi (KMO)) yang dilaksanakan pada tanggal
November 2022
 (BTQ dan ke-HMI an) yang dilaksanakan pada tanggal November 2022

3. Pembentukan dan Pengembangan Kader


Pembentukan kader merupakan sekumpulan aktivitas perkaderan yang terintegrasi dalam
upaya mencapai tujuan HMI :
a. Pelaksanaan Latihan Kader 1 (Basic Training)
Basic training HMI komisariat tarbiyah priode 2021-2022 dilaksanakan selama 4
hari mulai dari tanggal November 2022
b. Follow Up
Follow Up training merupakan kagiatan perkaderan HMI yang bersifat
pengembangan, tetapi juga tetap merujuk pada Anggaran Dasar HMI dalam hal ini pasal 7
tentang usaha. Rencana tindak lanjut ini dimaksudkan sebagai acuan dalam meningkatkan
kualitas diri anggota setelah mengikuti jenjang training formal (latihan kader-1). Namun
demikian pedoman ini jangan diartikan sebagai aktivitas seorang kader, tetapi hanya batas
minimal yang harus dilakukan seorang kader setelah mengkuti jenjang training formal
tertentu. Adapun follow up dilakukan secara daring dan luring yang disusun meliputi:
1. Sejarah Pemikiran Islam;
2. Sejarah Perjuangan HMI;
3. Konstitusi;
4. Mission HMI;
5. MKO;
6. Kegiatan keagamaan;
7. Analisis Framing Media;
8. Metode Penelitian;
9. Camp NDP.
E. ANALISIS MASALAH
F. SOLUSI

“Penanaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ke-HMI-an”


G. TUJUAN

“Terbinanya kepribadian muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan
peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya sebagai kader umat dan kader
bangsa".

H. TARGET
Secara umum adalah sebagai berikut :
1. Memiliki kesadaran menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari;
2. Mampu meningkatkan kemampuan akademis;
3. Memiliki kesadaran akan tanggungjawab keumatan dan kebangsaan;
4. Memiliki Kesadaran berorganisasi.
I. INDIKATOR LATIHAN KADER-01

J. MATERI
1. Materi Wajib
 Sejarah Perjuangan HMI
 Nilai Dasar Perjuangan
 Mission HMI
 Konstitusi HMI
 Kepemimpinan, Manajemen dan Organisasi
2. Materi Penunjang
 Sejarah Peradaban Islam
 Pengantar Logika
3. Materi Suplemen
 Ekpektasi
 Keperempuanan

 Teknik persidangan
 Pengantar analisis sosial dan simulasi aksi
K. FASE
 Pendobrakan
 Internalisasi
 Kristalisasi
L. ALUR
 Penyadaran
 Idiologisasi HMI
 Pengenalan HMI secara system
 Kristalisasi
M. KORELASI ALUR, FASE DAN MATERI

Fase Alur Hari Materi Pemateri


Penobrakan Penyadaran
Internalisasi Idiologisasi HMI
Pengenalan HMI
Secara Sistem
Kristalisasi Kistalisasi

N. METODE LATIHAN KADER-1


1. Metode Doktrin
 Ceramah penanaman nilai, spirit, dan perspektif baru dalam berpikir dan melihat sesuatu;
 Ceramah untuk memfokuskan pikiran peserta;
 Ceramah untuk membangun dasar pengetahuan untuk memperoleh pengetahuan bersama
 Proses membenarkan ide-ide yang salah
2. Metode pembelajaran aksi
 Peserta dikondisikan untuk menerapkan praktek-praktek praktis tertentu kedalam
kehidupan mereka. ( selalu tersenyum, duduk tegap, bicara dengan jelas, selalu memulai
dengan salam, tidak boleh memiliki pendapat yang sama dll )
 Peserta disuruh untuk membuat rencana aksi untuk menerapkan apa-apa yang sudah
dipelajari kedalam kehidupan mereka.

3. Metode partisipatif
 Mendorong peserta agar lebih aktif;
 Peserta lebih aktif “ peserta sebagai nara sumber “;
 Tukar pengalaman.
Bentuk bentuk metode ini diantaranya adalah sebagai berikut:
 Brainstroming ( Curah pendapat );
 Diskusi;
 Studi kasus;
 Role playing (permainan peran);
 Simulasi.

4. Evaluasi Latihan Kader-1


Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan latihan dan pencapaian target latihan maka
dipandang perlu untuk melakukan evaluasi, sebagaimana berikut:
a. Tujuan
 Mengukur tingkat keberhasilan training
b. Sasaran
 Kognitif (30%)
 Afektif (50%)
 Psikomotorik (20%)
c. Alat Evaluasi
 Test Objektif (MOT dan Panitia)
 Test Subjektif (MOT dan Panitia)
d. Prosedur Evaluasi
 Resume
 Mid-Test (evaluasi proses)
 Post-Test
 Absen
O. KORELASI FASE, MATERI DAN INDIKATOR KETERCAPAIAN
P. KALKULASI KETERCAPAIAN
1. Fase Pendebrakan
 Kognitif 10%
 Afektif 80%
 Psikomotorik 10%
2. Fase Internalisasi
 Kognitif 50%
 Afektif 40%
 Psikomotorik 10%
3. Fase Kristalisasi
 Kognitif 30%
 Afektif 30%
 Psikomotorik 40%
4. Total Pembobotan
 Kognitif 30%
 Afektif 50%
 Psikomotorik 20%
Q. ROWNDOWN ACARA

Anda mungkin juga menyukai