Anda di halaman 1dari 14

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Dimensi Serat dan Berat Jenis Kayu Akasia Hibrida


Dimensi serat yang diukur pada penelitian ini meliputi panjang serat,
diameter panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding sel.
Panjang serat akasia hibrida pada penelitian ini 0,89 mm tergolong dalam kelas IV
(Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976) dan termasuk dalam kategori serat cukup
pendek (IAWA, 1932). Nilai panjang serat yang diperoleh mendekati kisaran
panjang serat pada penelitian sebelumnya yaitu 0,75–0,81 mm (Sunarti et al.,
2016). Panjang serat pada penelitian ini pun termasuk dalam kisaran panjang serat
kedua induknya yaitu A. mangium (0,86–0,87 mm) dan A. auriculiformis (0,80–
0,92 mm) pada umur pohon yang sama (Sunarti et al., 2016).
Nilai dimensi serat yang diperoleh pada penelitian ini secara berturut–
turut, yaitu diameter serat (17,08 µm; kategori diameter besar) tebal dinding serat
(2 µm; kategori sangat tipis), diameter lumen (13,09 µm; kategori lumen sedang)
(Hernandi, 1996; Casey, 1960). Secara umum nilai dimensi serat tersebut masih
termasuk dalam kisaran dimensi serat kedua induknya. Namun sedikit lebih besar
daripada peneltian akasia hibrida sebelumnya, diameter serat 13,09–14,63 µm,
tebal dinding serat 1,03–1,41 µm, diameter lumen 11,03–11,81 µm (Sunarti et al.,
2016). Hal ini dapat terjadi karena pada penelitian sebelumnya menggunakan
sampel yang seragam, sedangkan pada penelitian ini menggunakan sampel dengan
2 nomor klon yang berbeda.
Berat jenis kayu akasia hibrida memiliki rerata 0,42 yang termasuk dalam
kategori berat jenis sedang (Wheeler et al., 2008). Nilai berat jenis tersebut
dianggap baik sebagai bahan baku pulp dan kertas. Karena menurut Kasmudjo
(2011), kayu dengan berat jenis 0,40–0,60 akan menghasilkan rendemen dan
kualitas kertas paling optimal. Perbandingan berat jenis akasia hibrida dengan
spesies induk disajikan pada Tabel 6.1 menunjukkan berat jenis pada penelitian ini
sama hampir sama dengan penelitan Yamada et al. (1990) yaitu 0,44 pada umur 9
tahun.
Nilai pengukuran turunan dimensi serat yang diperoleh pada penelitian ini
memiliki nilai yang berbeda namun masih termasuk pada kelas yang sama dengan
penelitian sebelumnya dan kedua spesies induk. Bilangan Runkel ratio yang
diperoleh yaitu 0,32 dan termasuk dalam kategori kelas II (Direktorat Jenderal
Kehutanan, 1976). Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Sunarti et al.
(2016) dengan spesies akasia hibrida (0,21), A. mangium (0,28), dan A.
auriculifromis (0,38) dan masih termasuk dalam kelas II. Bilangan Runkel ratio
yang disyaratkan baik untuk pulp yaitu kurang dari 1, karena dinding serat tipis
sehingga pelarut dan bahan kimia bisa menembus lebih mudah ke dalam serat dan
mempermudah proses pemasakan (Sugesty et al., 2015) selain itu, serat juga akan
lebih mudah digiling (Syafii dan Iskandar, 2006). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kayu akasia hibrida yang digunakan dalam penelitian ini baik
untuk digunakan sebagai bahan baku pulp. Tingginya bilangan Runkel ratio akan
menghasilkan lembaran kertas dengan kekuatan tarik dan kekuatan jebol yang
rendah (Syafii dan Iskandar, 2006).
Nilai daya tenun yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 53,30 dan
termasuk dalam kategori kelas III (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada spesies akasia hibrida (56,43), A.
mangium (50,54), dan A. auriculiformis (57,04) (Sunarti et al., 2016), nilai tersebut
tidak berbeda jauh dan masih terdapat pada kisaran kelas yang sama yaitu kelas III.
dalam penelitiannya, Area dan Popa (2014) menyampaikan bahwa nilai daya tenun
yang baik berada pada kisaran 70 – 80. Sedangkan pada penelitian ini, nilai daya
tenun belum dapat dikatakan baik sebagai bahan baku pulp. Semakin rendah nilai
daya tenun akan menyebabkan kekuatan sobek kurang baik (Kardiansyah dan
Sugesty, 2015). Hal ini disebabkan karena serat tersebut memiliki ikatan antar serat
yang rendah (Istikowati et al., 2016).
Muhlsteph ratio yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 42,63% dan
termasuk dalam kategori kelas II (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada spesies akasia hibrida (31,67%),
A. mangium (39,42%), dan A. auriculiformis (38,46%) (Sunarti et al., 2016),
Muhlsteph ratio pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi, namun masih
terdapat pada kisaran kelas yang sama yaitu kelas II. Semakin tinggi nilai
Muhlsteph ratio akan menyebabkan lembaran kertas memiliki kerapatan yang lebih
kurang baik dan akan menyebabkan kekuatan tarik dan sobek yang rendah (Tarigan,
2009).
Koefisien kekakuan yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 0,12 dan
termasuk dalam kategori kelas II (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada spesies akasia hibrida (0,09), A.
mangium (0,11), dan A. auriculiformis (0,15) (Sunarti et al., 2016), koefisien
kekakuan akasia hibrida sebelumnya lebih baik daripada akasia hibrida pada
penelitian ini dan termasuk dalam kategori kelas I. Semakin tinggi koefisien
kekakuan maka semakin rendah kekuatan tarik dari lembaran yang dihasilkan.
Nilai fleksibilitas yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 0,76 dan
termasuk dalam kategori kelas II (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada spesies akasia hibrida (0,83), A.
mangium (0,76), dan A. auriculiformis (0,76) (Sunarti et al., 2016), nilai tersebut
tidak berbeda jauh dan masih terdapat pada kisaran kelas yang sama yaitu kelas II.
Semakin tinggi nilai fleksibilitas, maka akan menghasilkan lembaran dengan
kekuatan kekuatan yang baik (Syafii dan Siregar, 2006).

Tabel 6. 1 Perbandingan nilai dimensi serat, turunan dimensi serat, dan berat jenis
kayu akasia hibrida dengan induknya

Kriteria Am x Aa Am x Aa (a) Am (a) Aa (a)


Panjang Serat (mm) 0,89 0,76–0,94 0,86–0,87 0,80–0,92
Diameter Serat (µm) 17,08 13,09–14,63 15,97–18,17 15,15–16,51
Tebal dinding serat 2 1,03–1,41 1,84–1,94 1,83–2,47
(µm)
Diameter lumen 13,09 11,03–11,81 12,24–14,36 10,59–11,69
(µm)
Runkel ratio 0,32 (II)* 0,21 0,28 0,38
Daya tenun 53,30 (III)* 56,43 50,54 57,04
Muhlsteph ratio (%) 41,63 (II)* 31,67 39,42 38,46
Nilai fleksibilitas 0,76 (II)* 0,83 0,78 0,78
Koefisien kekakuan 0,12 (II)* 0,09 0,11 0,15
Berat Jenis 0,42 0,44 0,39 0,41
Keterangan:
Am : Acacia mangium
Aa : Acacia auriculiformis
Am x Aa : Acacia mangium x Acacia auriculiformis
Sumber : (a) Sunarti et al., 2016

6.2. Rendemen Pulp Akasia Hibrid


Rendemen pulp dibedakan menjadi tiga, yaitu rendemen tersaring,
rendemen sisa (reject), dan gabungan dari keduanya yaitu rendemen total.
Rendemen tersaring merupakan pulp yang telah lolos penyaringan dari alat flat
screen dan kemudian akan digunakan untuk mencetakan lembaran kertas.
Sedangkan rendemen sisa (reject) merupakan pulp yang tertahan dalam alat flat
screen karena pulp tersebut belum termasak dengan sempurna.
Pemasakan pulp akasia hibrida pada penelitian ini dilakukan dengan
proses sulfat menggunakan faktor konsentrasi alkali aktif 15%, 17%, 19%, dan
21%. Rendemen total yang dihasilkan pada penelitan ini berkisar antara 49,16% –
57,49%, rendemen tersaring berkisar antara 47,74% – 53,98%, dan rendemen sisa
(reject) berkisar antara 1,06% – 3,52%. Menurut Shmulsky dan Jones (2011),
rendemen tersaring pulp sulfat yang baik berkisar antara 40% – 55%, dengan
demikian dapat dikataan bahwa rendemen tersaring yang diperoleh pada penelitian
ini sudah baik.
Grafik pada Gambar 5.2 menunjukkan bahwa konsentrasi alkali aktif
berpengaruh terhadap rendemen dan reject yang dihasilkan. Lukmandaru et al.
(2002), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi alkali aktif dapat
meningkatkan rendemen tersaring sampai batas tertentu. Artinya, pemakaian
konsentrasi alkali aktif diluar titik tertentu akan memperoleh pulp dengan kualitas
rendah (Fengel dan Wegener, 1995). Berdasarkan data yang diperoleh terlihat
bahwa penurunan reject pada konsentrasi alkali aktif 19% tidak menaikkan nilai
rendemen tersaring. Hal tersebut diduga telah terjadi pelarutan hemiselulosa lebih
lanjut pada konsentrasi 19%, sehingga menyebabkan menurunnya rendemen.
Berdasarkan penelitian oleh Yamada, et al. (1990) akasia hibrida umur 9
tahun berasal dari Sabah dimasak dengan konsentrasi alkali aktif 13% dan sulfidita
25% selama 2 jam menghasilkan rendemen 55,9%. Pada peneltian Wan Rosli et al.
(2009) menggunakan sampel A. mangium umur 14 tahun dengan konsentrasi alkali
aktif 13% menghasilkan rendemen tersaring cukup rendah, yaitu 37,6%. Nilai
rendemen yang paling mendekati rendemen pada penelitian ini yaitu pada
konsentrasi 13% (Yamada et al., 1990). Nilai rendemen pulp konsentrasi 13%
penelitian Yamada et al. (1990) lebih besar daripada rendemen pulp konsentrasi
15% pada penelitian ini. Hal ini diduga dapat terjadi karena adanya perbedaan umur
dan tempat tumbuh sampel yang digunakan sehingga memiliki pengaruh berbeda
terhadap konsentrasi alkali aktif.
Jika dibandingkan dengan penelitian Wan Rosli et al., (2009)
menggunakan A. mangium pada konsentrasi alkali aktif 18% dan 23%
menghasilkan rendemen tersaring 42,7% dan 39,3%. Rendemen pada penelitian ini
dengan konsentrasi 19% dan 21% menghasilkan hasil yang lebih baik. Penelitian
lain dilakukan oleh Mahdiyanti dan Marsoem (2015), kayu A. mangium willd
berasal dari Merauke yang dimasak dengan konsentrasi alkali aktif 14% dan 16%
menghasilkan rendemen menghasilkan rendemen sebanyak 44,81% – 47,96%.
Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan
pada penelitian ini dengan konsentrasi 15% dan 17%. Perbedaan nilai rendemen
diduga karena perbedaan spesies dan umur mempengaruhi sifat kimia yang
terkandung, sehingga reaksinya terhadap konsentrasi alkali aktif pun berbeda.

6.3. Padatan Total, Tersuspensi Pulp Akasia Hibrida

Padatan total merupakan jumlah total padatan yang terdapat di dalam lindi
hitam yang terdiri dari padatan tersuspensi dan padatan terlarurt. Padatan tersebut
berisi senyawa organik seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, lignin, dan senyawa
kimia lainya yang terlarut selama proses pemasakan pulp. Sedangkan padatan
tersuspensi terdiri dari serat-serat pendek, bahan pengisi, dan bahan aditif
(Lukmandaru, 2017). Padatan total dan padatan tersuspensi yang diperoleh dalam
penelitian ini berkisar antara 4219–4552 mg/L dan 60–330 mg/L. Jika
dibandingkan dengan penelitian Lukmandaru (2017) yang menghasilkan padatan
total dan tersuspensi sebesar 1600–8500 mg/L dan 160–600 mg/L, nilai yang
dihasilkan pada penelitian ini memasuki kisaran tersebut. Berdasarkan grafik pada
Gambar 5.3 dan Gambar 5.4 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi alkali
aktif meningkatkan nilai padatan total dan padatan tersuspensi. Peningkatan
padatan tersuspensi meningkat cukup tinggi pada konsentrasi alkali aktif 19% dan
21%. Hal tersebut diduga karena semakin banyak serat-serat yang terlarut ketika
terjadi penambahan konsentrasi alkali aktif tersebut. Hal ini dibuktikan dengan
rendemen tersaring pada konsentrasi alkali aktif 19% dan 21% yang menurun,
sementara nilai reject pun turut menurun.

6.4.Bilangan Kappa Pulp Akasia Hibrida

Nilai bilangan kappa penting diketahui untuk mengukur kualias pulp,


karena melalui uji bilangan kappa dapat diketahui jumlah lignin yang tersisa setelah
proses pulping. Bilangan kappa yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara
6,09% – 11,19%. Grafik pada Gambar 5.5 menunjukkan bahwa nilai bilangan
kappa menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi alkali aktif. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Basri et al. (2002), bahwa peningkatan alkali aktif
dapat menyebabkan tingginya tingkat kehilangan lignin, sehingga nilai bilangan
kappa akan menurun. Selain itu, Lukmandaru (2017) pun mengatakan bahwa
semakin tinggi nilai konsentrasi alkali aktif akan menurunkan nilai bilangan kappa
karena semakin keras pemasakan akan meningkatkan reaksi delignifikasi. Hal ini
dibuktikan dari hasil rendemen yang dihasilkan menurun seiring dengan
penambahan konsentrasi alkali aktif. Selain itu, nilai padatan tersuspensi dan total
yang meningkat seiring dengan penambahan alkali aktif. Hasil tersebut
menandakan bahwa reaksi delignifikasi meningkat seiring dengan penambahan
konsentrasi alkali aktif dan diduga senyawa selain lignin turut terdegradasi.

Menurut MacLeod (2007), target nilai bilangan kappa pulp yang dapat
diputihkan berkisar antara 12–18. Nilai bilangan kappa pada penelitian ini berada
di bawah target tersebut. Hal ini diduga terjadi karena konsentrasi alkali aktif yang
digunakan menyebabkan proses delignifikasi yang berlangsung terlalu tinggi. Pada
penelitian ini hanya konsentrasi 15% yang paling mendekati target bilangan kappa
yang disampaikan oleh MacLeod (2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Yamada et al. (1990), akasia hibrida
dengan konsentrasi 13% secara menghasilkan bilangan kappa sebesar 16,2. Pada
penelitian ini dengan konsentrasi 15% sudah mencapai bilangan kappa 11,19%.
Jika dibandingkan dengan penelitian oleh Wan Rosli et al., (2009) menggunakan
A. mangium konsentrasi alkali aktif 13%, 18%, dan 23% menghasilkan bilangan
kappa 21,7, 20,2, dan 15,7. Nilai tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan pada
penelitian ini. Hal tersebut diduga karena kandungan lignin pada akasia hibrida
relatif rendah. Sebagai catatan, akasia hibrida umur 9 tahun memiliki kandungan
lignin sebesar 26,6% Yamada et al. (1990). Pada umur 3 tahun, dimungkinkan
akasia hibrida memiliki kandungan lignin yang lebih rendah.

6.5.Pengaruh Alkali Aktif terhadap Derajat Giling Pulp Akasia Hibrida


Proses penggilingan pada penelitian ini dilakukan pada pulp dengan
konsentrasi alkali aktif berbeda yang kemudian diukur nilai derajat gilingnya.
Sebagai pembanding, pulp yang telah melalui proses penggilingan dibandingkan
dengan pulp yang tidak melalui proses penggilingan. Nilai derajat giling pada
penelitian ini bervariasi. Selain dipengaruhi oleh waktu penggilingan, grafik pada
Gambar 5.6 pun menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi alkali aktif memiliki
pengaruh terhadap nilai derjat giling. Pada pulp yang melalui proses penggilingan
dengan konsentrasi alkali aktif yang berbeda dan waktu penggilingan yang sama
memiliki nilai derajat giling yang fluktuatif dan tidak memiliki selisih yang besar
dan hampir serupa. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai derajat giling pada pulp
yang melalui proses penggilingan dipengaruhi oleh dimensi serat dibandingkan
sifat kimianya.
Pulp yang tidak melalui proses penggilingan memiliki kecenderungan
penurunan nilai derajat giling sering dengan penambahan konsentrasi alkali aktif.
Penurunan tersebut berkisar antara 10-25 mL CSF. Kecenderungan tersebut serupa
dengan penelitian Yamada et al. (1990), konsentrasi alkali aktif 10% dan 13% pada
pulp yang tidak digiling memiliki nilai derajat giling 657 mL CSF dan 509 mL CSF.
Hal ini diduga karena pada konsentrasi alkali aktif yang lebih tinggi, keadaan serat
lebih terpisah dan terputus. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Haygreen
dan Bowyer (1989), bahwa penambahan NaOH berfungsi untuk melarutkan lignin
pada proses pulping sehingga mempercepat pemisahan dan pemutusan serat.

6.6. Pengaruh Derajat Giling terhadap Sifat Fisik Lembaran Kertas


Proses penggilingan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ikatan
serat dan mengembangkan kekuatan kertas. Wan Rosli et al. (2009), menyatakan
bahwa proses penggilingan dapat membuat dinding sel menjadi lebih fleksibel
sehingga berdampak baik pada penggabungan lembaran. Adapun konsekuensi
akibat adanya proses penggilingan, yaitu adanya serat yang terpotong dan berubah
bentuk. Jika serat yang terpotong berjumlah banyak, maka kekuatan kertas terutama
indeks sobek dapat menurun. Pada penelitian ini, proses penggilingan dilakukan
dengan menggunakan beban 250 g dengan waktu 10, 20, dan 30 menit. Selain itu,
sebagai pembanding dilakukan juga pencetakan lembaran kertas pada pulp yang
tidak melalui proses penggilingan.
Pengujian sifat fisik pada penelitian ini meliputi indeks retak, indeks sobek
dan indeks tarik. Berdasarkan grafik pada Gambar 5.7, 5.8, dan 5.9, ketiga nilai
sifat fisik lembaran kertas tersebut memiliki kecenderungan yang sama, yaitu
meningkat seiring dengan penurunan nilai derajat giling. Lembaran kertas yang
digiling dari waktu 10–30 menit tidak terlihat perbedaan yang besar. Sedangkan
sifat fisik pada lembaran kertas yang tidak digiling memiliki perbedaan yang lebih
besar dibandingkan dengan lembaran kertas yang digiling. Jika dibandingkan
dengan penelitian oleh Yamada et al. (1990) menggunakan sampel akasia hibrida
umur 9 tahun dengan derajat giling 657–289 mL CSF menghasilkan indeks retak
1,6–8,8 kPa m2/g, indeks sobek 8,3–11,2 mN m2/g, dan indeks tarik 42–135 Nm/g.
Sementara pada penelitian Banavath et al. (2011) menggunakan sampel kayu keras
dengan derajat giling 670–290 menghasilkan indeks retak 2,06–6,74 kPa m2/g dan
indeks tarik 12,13–32,46 Nm/g. Kecenderungan pada penelitian serupa dengan
kedua penelitiaan tersebut yang menunjukkan bahwa nilai indeks retak, indeks
sobek, dan indeks tarik meningkat seiring dengan penurunan nilai derajat giling.
Hal ini membuktikan bahwa adanya proses penggilingan dapat
meningkatkan ikatan serat dan mengembangkan kekuatan kertas. proses
penggilingan mampu meningkatkan kekuatan tarik lembaran kertas (Casey, 1980).
Shmulsky dan Jones (2011), mengatakan bahwa semakin lama proses penggilingan
akan menyebabkan meningkatnya ketahanan retak, sementara ketahanan sobeknya
akan menurun. Namun pada penelitian ini, nilai indeks sobek terus mengalami
peningkatan seiring dengan semakin lama proses penggilingannya. Hal ini diduga
serat pada waktu penggilingan 30 menit belum banyak yang terputus, sehingga nilai
indeks sobeknya masih terus meningkat. Dengan kondisi yang demikian,
dimungkinkan untuk menambah waktu penggilingan dengan harapan memperoleh
sifat fisik yang lebih baik. Berdasarkan Tabel 6.1, nilai indeks retak, indeks sobek,
dan indeks tarik terbesar ada pada derajat giling 180–195 mL CSF yang digiling
selama 30 menit, sedangkan nilai terendah pada derajat giling 620–670 mL CSF
pada pulp yang tidak digiling.
Pada pulp yang tidak digiling memiliki nilai sifat fisik yang lebih rendah.
Wan Rosli et al. (2009) melakukan penelitian menggunakan sampel A. mangium
umur 14 tahun tanpa proses penggilingan dengan konsentrasi alkali aktif 13%–23%
menghasilkan indeks retak 1,15–1,76 kPa m2/g, indeks sobek 3,62–4,59 mN m2/g,
dan indeks tarik 30,76–47,06 Nm/g. Jika dibandingkan dengan kekuatan kertas pulp
yang tidak digiling pada penelitian ini, nilai tersebut jauh lebih tinggi. Hal ini
diduga karena perbedaan spesies dan umur sampel yang digunakan.

6.7. Pengaruh Derajat Giling terhadap Sifat Optis Lembaran Kertas


Sifat optis yang diuji pada penelitian ini yaitu kecerahan dan opasitas.
Berdasarkan Gambar 5.10, nilai kecerahan dari pulp yang dihasilkan pada
penelitian ini menurun seiring dengan menurunnya nilai derajat giling atau semakin
lama waktu penggilingan. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian
Indrawan et al. (2015) yang menyatakan bahwa semakin lama waktu penggilingan
maka semakin tinggi nilai kecerahannya. Hasil yang berbeda diduga karena pada
penelitian ini diduga karena proses penggilingan mampu meningkatkan banyaknya
cahaya yang dipantulkan. Nilai kecerahan pada penelitian ini termasuk ke dalam
rentang yang dilakukan oleh Indrawan et al., (2015) yaitu 23-31, kecuali pada
konsentrasi 15% dan 17% pada derajat giling di bawah 255 mL CSF. Nilai
kecerahan tertinggi pada penelitian ini terdapat pada derajat giling 620-670 mL
CSF.
Nilai opasitas berdasarkan Gambar 5.11 menunjukkan kecenderungan
meningkat seiring dengan turunnya nilai derajat giling. Hasil tersebut sesuai dengan
penelitian Dina et al. (2017) yang menyatakan bahwa proses penggilingan dapat
meningkatkan opasitas lembaran. Hal ini disebabkan karena proses penggilingan
mampu meningkatkan luas permukaan total serat sehingga dapat mendispersi
cahaya lebih banyak. Tingginya nilai opasitas dapat disebabkan oleh kondisi
lembaran kertas yang tidak diputihkan. Nilai opasitas tertinggi pada penelitian ini
terdapat pada derajat giling 180-195 mL CSF.

Tabel 6. 2 Pengaruh derajat giling terhadap sifat fisik dan opasitas pulp akasia
hibrida

Indeks Indeks Indeks


Opasitas
Derajat retak (kPa sobek (mN tarik Kecerahan
Waktu (%)
Alkali Giling m2 /g) m2 /g) (Nm/g)
Penggilingan 20-40
Aktif (mL Min. 2,5 Min. 5,5 Min. 45 80 – 90
(menit) (TAPPI
CSF) (SNI (SNI (SNI (SNI
452 OM-
6107:2015) 6107:2015) 6107:2015) 724:2008)
02)
15% 0 670 0,96 0,87 16,90 25,68 90,68
10 425 2,51 3,06 33,12 24,19 91,79
20 265 3,35 3,93 37,46 22,43 93,26
30 190 3,35 3,97 40,35 20,16 94,91
17% 0 645 0,97 0,91 15,57 27,51 91,09
10 420 2,45 3,52 31,41 26,15 92,57
20 255 3,07 4,29 38,54 24,24 93,81
30 195 3,11 4,31 38,76 21,68 95,26
19% 0 635 0,88 1,19 13,47 28,59 90,60
10 415 2,10 3,38 23,78 27,43 92,43
20 265 2,73 4,08 29,99 25,82 93,42
30 185 2,76 4,07 31,75 23,89 95,43
21% 0 620 0,81 1,41 14,65 29,41 91,09
10 420 1,59 2,74 24,02 27,76 92,57
20 265 2,10 2,95 27,17 25,83 93,81
30 180 2,23 3,19 29,89 24,07 95,26
6.8.Pengaruh Alkali Aktif terhadap Sifat Fisik Lembaran kertas

Penggunaan konsentrasi alkali aktif dapat berpengaruh terhadap sifat fisik


pulp yang dihasilkan. Penambahan konsentrasi alkali aktif pada batas tertentu akan
meningkatkan indeks tarik dan indeks sobek (Lukmandaru et al., 2002). Namun
Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa penambahan alkali aktif yang
terlalu tinggi dapat menyababkan pelarutan hemiselulosa lebih lanjut sehingga akan
menyababkan turunkan rendemen dan kekuatan pulp. Pada penelitian ini dilakukan
analisis regresi untuk mendapatkan derajat giling yang sama yaitu 250 mL CSF
agar hasil perbandingan sifat fisik pulp antar konsentrasi yang berbeda lebih
terlihat. Berikut merupakan tabel perbandingan sifat fisik dan optis lembaran kertas
pada konsentrasi alkali aktif yang berbeda :

Tabel 6. 3 Perbandingan sifat fisik dan optis lembaran kertas akasia hibrida pada
konsentrasi alkal aktif yang berbeda

Indeks tarik Indeks retak Indeks sobek Derajat


Parameter Opasitas %
(Nm/g) (kPa.m2/g ) (mN.m2/g) kecerahan

Min. 45 Min. 2,5 Min. 5,5 20-40 80 – 90


SNI / TAPPI
(SNI (SNI (SNI (TAPPI 452 (SNI
Standard
6107:2015) 6107:2015) 6107:2015) OM-02) 724:2008)
Am x Aa (15%) 38,34 3,44 3,96 22,39 93,31
Am x Aa (17%) 38,90 3,17 4,59 24,04 94,32
Am x Aa (19%) 33,80 2,79 4,22 25,61 94,40
Am x Aa (21%) 27,43 2,10 3,1 25,73 94,86
Am x Aa (10%) (a) 135 8,80 11,30 - -
Am x Aa (13%) (a) 106 8,20 9,90 - -
Am (13%) (b) 30,76 1,15 3,36 - -
Am (18%) (b) 47,06 1,76 4,59 - -
Am (23%) (b) 33,18 1,28 3,98 - -
Keterangan:
Am : Acacia mangium
Aa : Acacia auriculiformis
Am x Aa : Acacia mangium x Acacia auriculiformis
Sumber : (a) Yamada et al. (1990); (b) Wan Rosli et al. (2009)
Pengujian sifat fisik pada penelitian ini meliputi indeks retak, indeks sobek
dan indeks tarik. Berdasarkan grafik pada Gambar 5.12 nilai indeks retak cenderung
mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi alkali aktif. Hal ini
diduga karena adanya pelarutan hemiselulosa lebih lanjut yang dibuktikan dengan
penurunan bilangan kappa dan peningkatan padatan tersuspensi seiring dengan
peningkatan alkali aktif. Sementara nilai indeks sobek dan tarik pada Gambar 5.13
dan 5.14 cenderung mengalami penurunan pada konsentrasi alkali aktif 19% dan
21%. Hal ini diduga pada konsentrasi tersebut terjadi palarutan serat-serat yang
dibuktikan peningkatan padatan tersuspensi secara drastis. Pada konsentrasi 15%
dan 17% selisih indeks sobek dan tarik tidak begitu terlihat, diduga karena belum
banyak serat yang ikut terlarut dilihat dari nilai padatan tersuspensi yang hampir
sama.

Berdasarkan Tabel 6.2, nilai indeks retak memiliki kecenderungan yang


serupa dengan penelitian Yamada et al. (1990) yakni menurun seiring dengan
peningkatan konsentrasi alkali aktif. Nilai indeks sobek dan tarik memiliki
kecenderungan serupa dengan penelitian Wan Rosli et al. (2009) yakni menurun
pada konsentrasi alkali aktif tertentu. Konsentrasi alkali aktif yang menghasilkan
indeks retak tertinggi yaitu pada konsentrasi alkali aktif 15%, sedangkan indeks
sobek dan tarik pada konsentrasi alkali aktif 17%.

6.9.Pengaruh Alkali Aktif terhadap Sifat Optis Lembaran kertas


Sifat optis yang diuji pada penelitian ini yaitu kecerahan dan opasitas.
Berdasarkan grafik pada gambar 5.15 dapat diketahui bahwa penambahan
konsentrasi alkali aktif dapat meningkatkan kecerahan. Hal ini diduga karena
kandungan lignin dalam pulp menurun seiring dengan penambahan konsentrasi
alkali aktif. Derajat kecerahan dapat dipengaruhi oleh kandungan lignin sisa yang
terdapat dalam pulp (Nasdi, 2013). Pulp dengan konsentrasi alkali aktif 21%
memiliki bilangan kappa terkecil, sehingga dapat dikatakan bahwa pada konsentrasi
tersebut pulp memiliki kandungan lignin paling sedikit sehingga menghasilkan
kecerahan paling tinggi.
Berasarkan grafik pada Gambar 5.16 nilai opasitas dari pulp yang
dihasilkan pada penelitian ini meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi
alkali aktif. Namun peningkatan tersebut tidak besar, hanya berkisar kurang dari
1%. Hal tersebut diduga karena setiap penambahan konsentrasi alkali aktif
menurunkan kadar lignin pada pulp. Dibuktikan dengan nilai bilangan kappa yang
menurun seiring dengan penambahan konsentrasi alkali aktif. Hassan et al. (2020)
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi nilai opasitas adalah kadar lignin
yang terkandung dalam pulp. Kadar lignin memiliki korelasi negatif terhadap nilai
opasitas. Nilai opasitas tertinggi pada penelitian ini terdapat pada konsentrasi alkali
aktif 21%.

6.10. Optimasi Penggunaan Alkali Aktif dan Derajat Giling pada Pulp
Akasia Hibrida

Nilai derajat giling yang menghasilkan sifat fisik lembaran kertas tertinggi
yaitu pada 180-195 mL CSF. Pada derajat giling tersebut, konsentrasi alkali aktif
yang memiliki nilai sifat fisik tertinggi yaitu pada konsentrasi alkali aktif 15%. Jika
dibandingkan dengan SNI, hanya indeks retak saja yang memenuhi standar
tersebut. Sedangkan nilai indeks sobek dan indeks tarik masih berada di bawah
standar tersebut. Dengan kecenderungan meningkat seiring dengan penurunan nilai
derajat giling atau peningkatan waktu penggilingan. Sehingga dimungkinkan untuk
meningkatkan waktu penggilingan agar menghasilkan lembaran kertas dengan
kekuatan yang lebih baik. Konsentrasi alkali aktif pada derajat giling 250 mL CSF
yang menghasilkan sifat fisik lembaran kertas tertinggi untuk indeks retak pada
konsentrasi alkali 15%, sedangkan indeks sobek dan tarik pada konsentrasi alkali
17%. Jika dibandingkan dengan SNI, hanya indeks retak saja yang memenuhi
standar tersebut. Rendahnya nilai indeks sobek dan indeks tarik diduga dipengaruhi
oleh dimensi seratnya. Nilai daya tenun pada penelitian ini cukup rendah (kelas III)
sehingga dapat mempengaruhi nilai kekuatan sobeknya (Hartoyo, 1989). Selain itu,
nilai panang serat pada penelitian ini >900 dan termasuk dalam kelas IV sehingga
akan mempengaruhi kekuatan tariknya. Panjang serat mempengaruhi kekuatan
lembaran dan menentukan kemampuan ikatan antarserat (Casey, 1960).

Secara keseluruhan, nilai sifat fisik lembaran kertas pada peneltian ini pun
masih lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Yamada et al. (1990). Hal ini
diduga karena perbedaan umur dan tempat tumbuh sampel yang digunakan. Sampel
pada penelitian Yamada et al. (1990) berumur 9 tahun sedangkan pada penelitian
ini berumur 3 tahun, diduga terdapat perbedaan pada struktur anatomi dan
kandungan komponen kimianya sehingga berpengaruh terhadap sifat fisik
kertasnya.

Nilai kecerahan tertinggi terdapat pada derajat giling 620-670 mL CSF,


sementara nilai opasitas tertinggi pada derajat giling 180-195 mL CSF. Konsentrasi
alkali aktif pada derajat giling 250 mL CSF yang menghasilkan kecerahan dan
opasitas lembaran kertas tertinggi pada konsentrasi alkali 21%. Jika dibandingkan
dengan standar kecerahan (T 452 om-02) yang mensyaratkan kecerahan 20 – 40,
seluruh nilai kecerahan pada penelitian ini telah sesuai dengan standar tersebut.
Begitupula dengan nilai opasitas pada penelitian ini, seluruh nilai opasitas sudah
sesuai dengan SNI 724:2008 yang mensyaratkan opasitas 80-90%.

Berdasarkan data yang telah diperoleh dengan mempertimbangkan sifat


fisik dan optis dengan standar yang telah ditetapkan, konsentrasi alkali aktif dan
derajat giling terbaik pada penelitian ini yaitu pada konsentrasi alkali aktif 17% dan
derajat giling 180-195 mL CSF.

Anda mungkin juga menyukai