Anda di halaman 1dari 6

Pembuka Hati Abigail

Karya Nasya Nadiva

Cuaca di hari itu tampak sangat cerah. Angin berhembus menyejukkan raga dan hati
semua orang. Matahari yang tampak terang di langit menerangi dan memberikan hangat serta
panas. Suara kicauan burung yang merdu disertai suara air mancur yang mengalir. Sungguh
hari yang indah bagi yang menikmatinya.

Tampak seorang remaja putri yang sedang duduk di kursi taman hanya seorang diri.
Ia sedang memegang sebuah alat gambar disertai dengan buku sketsa yang selalu ia bawa
setiap saat. Terlihat jelas bahwa dia sedang menggambar. Buku sketsa yang awal nya kosong
dengan lembar kertas yang bersih menjadi terisi dengan seni gambar yang di buat oleh sang
remaja putri tersebut. Tanpa disangka, gambaran remaja tersebut terlihat indah di atas
lembaran tipis itu. Mungkin benar ia adalah seorang seniman muda yang berbakat.

Seorang remaja putra pun datang ke taman tersebut. Ia memanggil nama sang
remaja putri tersebut dengan penuh antusias seakan-akan ia telah lama mengenalinya
membuat Abigail mengalihkan pandangannya dari buku sketsa nya.

“Hai, Abigail!” seru remaja putra itu dan langsung menduduki tempat kosong di
samping Abigail.

“Siapa kamu? Mengapa kamu mengenal namaku?” tanya Abigail.


“Ah, maafkan aku. Nama ku Esther. Aku harap aku bisa akrab dengan mu,
Abigail,” ucap Esther sedikit kaku dan berusaha tersenyum.

Abigail hanya menatapnya untuk sesaat lalu, mengalihkan pandangan nya balik
ke buku sketsa nya lagi untuk melanjutkan aktivitasnya. Esther pun tetap tersenyum dan
mencoba melihat gambaran yang Abigail ciptakan.

“Hei, kamu tidak menjawab pertanyaanku yang kedua,” ucap Abigail secara
tiba-tiba dan sedikit mengagetkan Esther.

“Apa pertanyaan mu yang kedua?” tanya Esther.

“Aku bertanya kepadamu, mengapa kamu mengetahui namaku?” tanya Abigail


balik dengan nada datar nya.

“Oh.. haha, maaf, aku lupa dengan pertanyaan mu yang ‘kedua’. Sejujurnya, aku
sudah mengenal namamu di saat aku pindah ke sekolahmu. Mungkin kamu tidak
menyadarinya, karena kamu sangat sibuk dengan ‘dunia’mu sendiri,” jelas Esther.

Abigail menaikkan alisnya karena ia bingung maksud Esther dengan ’dunia’mu


sendiri”. Pikir Abigail, mungkin saja yang Esther maksud adalah kegiatan nya yang selalu
menggambar di mana pun dia berada, termasuk di kelasnya. Tak heran Abigail selalu di tegur
oleh guru-guru yang mengajar di kelasnya. Hal ini sering terjadi, dan tanpa disadari, Abigail
sendiri tidak ingin mendengarkan gurunya dan tetap melanjutkan hobi nya itu, lalu perlahan
menjadi kebiasaan nya tiap hari.
“Maaf. Aku tidak terlalu memperhatikan sekitar ku, makanya aku tidak tahu
ternyata kamu adalah murid pindahan itu.”

“Hmm, tidak apa. Tidak perlu merasa bersalah, karena disinilah aku ingin tahu
alasan kenapa kamu selalu melakukan kegiatan menggambar itu sampai tidak memperdulikan
orang lain,” ucap Esther yang mulai memperlihatkan ekspresi seriusnya.

Abigail melihat wajahnya yang serius itu pun tertegun dan mulai merasa tidak
enak hati. Rasa ragu dan tidak percaya nya selalu muncul seakan-akan hatinya bergejolak
untuk tidak mempercayainya. Selain itu, rasa enggan juga muncul karena ia baru saja
mengenalinya.

“Mengapa kamu ingin melakukannya sejauh ini, Esther?” tanya Abigail.

“Aku ingin tahu mengapa seseorang sepertimu bisa berada di kelas itu karena
kelihatannya kamu sangat pendiam dan tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Ditambah,
kelihatannya orang lain tidak peduli dengan mu,” ucap Esther.

Abigail terdiam setelah mendengarkan pengakuan dari Esther. Apa yang ia


katakan memang benar. Abigail sendiri merasa seperti itu. Ia Kembali melihat Esther dengan
tatapan ragunya.

“Apakah kamu yakin ingin tahu tentang hal ini?” tanya Abigail sekali lagi.

“Aku yakin.”
Ucapan singkat dari Esther itu sedikit membuat Abigail merasa kurang percaya,
tetapi ia tetap berusaha untuk berkata sejujurnya kepada Esther.

“Baiklah, aku harap kamu benar-benar orang yang mendengarkanku dan


mengerti tentang aku.”

Esther terkekeh pelan lalu mengatakan sekali lagi kepada Abigail,

“Aku akan mendengarkannya.”

Abigail pun memulai cerita nya dan membahas nya kepada Esther. Esther hanya
terdiam dan memperhatikan Abigail yang benar serius memberitahu penyebab yang
membuatnya menjadi seorang pendiam dan tidak mencoba berinteraksi dengan orang lain.
Abigail pun menghela napas setelah bercerita dan menunggu reaksi dari Esther.

“Jadi.. kamu merasakan semua hal itu?”

“Menurutmu, setelah aku berbicara panjang lebar itu, hasilnya hanyalah sebuah
lelucon?” tanya Abigail.

“Benar juga, haha. Kalau begitu… bolehkah ak mengatakan sesuatu kepada mu?”

Abigail sedikit bingung namun, ia menganggukkan kepalanya untuk memberikan


kesempatan untuk Esther. Esther pun tersenyum dan perlahan membawa tangan nya ke atas
kepala Abigail lalu, mengusap nya perlahan.

“Kamu telah melakukan yang terbaik dan itu sangat hebat.”


Tanpa disadari, mata Abigail pun terlihat buram dan perlahan air mata pun
mengalir hingga menetes membasahi buku sketsanya. Akhirnya, setelah sekian lama dan
bertahun-tahun Abigail mencoba untuk berusaha membuka hati nya, Esther menjadi satu-
satunya orang yang telah mendengarkannya dan menghargainya dengan baik.

Esther tetap mengusap kepalanya seolah-olah ia sedang menenangkan Abigail


namun juga membiarkannya untuk melampiaskan semua masalahnya terlebih dahulu dengan
tangisannya yang masih tidak terhentikan. Hingga Abigail berhenti menangis, Esther
terkekeh pelan karena mata bengkak Abigail terlihat lucu dan menurutnya imut. Esther pun
mengambil saputangan yang ia simpan di kantongnya, dan memberikannya kepada Abigail.

“Gunakan ini, wajah mu terlihat lucu setelah menangis sebanyak itu,” ucap
Esther.

“Aku tahu.. hiks, berhenti mengolokku..”

Suara kecil Abigail yang sedikit terisak membuat Esther sedikit tertawa lalu, ia
kembali menenangkan nya karena rasa bersalah telah membuatnya menangis. Namun, rasa
bangga karena telah membuka hati kecil Abigail ini, ia kembali tersenyum tulus menatap
Abigail.

“Aku harap ke depannya kamu tidak memaksakan diri lagi, Abigail.”

Abigail mengangguk dan menatap kembali Esther dengan mata bengkak nya, lalu
memukul pelan bahunya.
“Iya.. aku tahu. Karena mulai sekarang, kamu adalah tempat cerita ku.”

Esther pun tertawa kecil, “Dengan senang hati, Abigail.”

Semenjak itu, mereka berteman baik dan berbagi cerita bersama-sama, hingga
terkadang orang yang mencuri perhatiannya melihat Abigail yang awalnya terlihat sangat
pendiam itu,sekarang terlihat lebih ceria ketika bersama dengan Esther yang secara misterius
bisa membuka hati si Abigail. Abigail juga tidak meninggalkan hobinya, menggambar. Esther
terkadang senang mengomentari gambaran Abigail dan Abigail pun terkadang selalu
memperbaikinya sesuai saran Esther.

“Esther?”

Esther menoleh dan memandang Abigail yang memanggil nya dengan intonasi
nada yang lebih lembut dibandingkan ketika mereka masih awal bertemu.

“Hm?”

Siapa sangka, Abigail pun untuk pertama kalinya tersenyum dan menjawab
Esther,

“Terima kasih atas semuanya, Esther.”

Esther sempat terkejut melihat senyuman Abigail untuk pertama kalinya, namun
ia langsung membalasnya dengan senyuman dan mengangguk seolah-olah mengatakan
‘sama-sama’ kepada Abigail. Mereka pun kembali berjalan bersama-sama, untuk selamanya.

Anda mungkin juga menyukai