Anda di halaman 1dari 29

Proposal Penelitian

EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MAJA UNTUK MENGHAMBAT


PERTUMBUHAN DAN POPULASI LARVA LALAT RUMAH
(Musca domestica L.) PADA EKSKRETA
AYAM BROILER

Disusun oleh:
Alfian Nur Arifin
14/362677/PT/06697

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020

i
HALAMAN PERSETUJUAN
USULAN PENELITIAN
MAHASISWA FAKULTAS PETERNAKAN
PROGRAM STUDI ILMU DAN INDUSTRI PETERNAKAN

Diajukan oleh:
Nama Mahasiswa : Alfian Nur Arifin
Nomor Mahasiswa : 14/362677/PT/06697
Alamat : Jl. Wonosari km 8,5 GMA Cepokosari, Bantul
Dibawah Bimbingan
Pembimbing : Ir. Nanung Agus Fitriyanto, S.Pt., M.Sc.,
Ph.D., IPM.
Pembimbing Pendamping : Prof. Ir. Ambar Pertiwinigrum, M.Si. Ph.D,
IPM., ASEAN Eng.

JUDUL:
EFEKTIFITAS EKSTRAK BUAH MAJA UNTUK MENGHAMBAT
PERTUMBUHAN DAN POPULASI LARVA LALAT RUMAH
(Musca domestica Linnaneus) PADA EKSKRETA
AYAM BROILER

Telah Diperiksa dan Disetujui:


Pembimbing Tanggal:…………………

Ir. Nanung Agus Fitriyanto, S.Pt., M.Sc., Ph.D.,


IPM.
NIP. 19798092002121003

Pembimbing Pendamping Tanggal:…………………

Prof. Ir. Ambar Pertiwiningrum, M.Si., Ph.D., IPM., ASEAN Eng.


NIP. 196602091990032001

Mengetahui
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

Prof. Ir. Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D., IPU., ASEAN Eng.

ii
NIP  197008291996011001
EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MAJA UNTUK MENGHAMBAT
PERTUMBUHAN DAN POPULASI LARVA LALAT RUMAH
(Musca domestica L.) PADA EKSKRETA
AYAM BROILER

Alfian Nur Arifin


14/362677/PT/06697

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi senyawa bioaktif


dari daging buah tanaman maja sebagai agen penghambat
perkembangan dan pertumbuhan lalat rumah (Musca domestica) pada
ekskreta ayam broiler di daerah tropis. Penelitian dilakukan pengujian
terhadap ekskreta ayam broiler untuk menghambat perkembangan dan
pertumbuhan larva lalat. Variabel yang diamati berupa jumlah larva,
panjang, bobot larva lalat, serta kandungan C organik, N organik, protein
kasar, dan kadar air ekskreta sebelum dan sesudah digunakan larva
maupun lalat, serta suhu dan kelembapan lingkungan. Data yang
diperoleh akan dianalisis secara statistik dengan memakai analisis dari
rancangan acak lengkap pola searah pada taraf α = 5% melalui perangkat
lunak SPSS. Apabila menunjukan perbedaan maka dilanjutkan dengan uji
beda mean dengan uji Duncan’s Multiple Range Test.

Kata kunci: Eksktrak Aegle marmelos, ekskreta ayam broiler, dan larva
Musca domestica (L.).

iii
PENDAHULUAN

Latar belakang
Kebutuhan pangan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk setiap tahunnya, terkhusus
kebutuhan akan protein hewani yang berasal dari ternak unggas yang
semakin diminati masyarakat. Daging dan telur ayam merupakan salah
satu bahan pangan sumber protein hewani yang mampu memenuhi
kebutuhan nutrisi manusia. Peningkatan populasi ternak unggas semakin
meningkat seiring dengan peningkatan permintaan akan kebutuhan
protein hewani Penambahan populasi ternak akan menghasilkan limbah
peternakan yang dapat mengganggu lingkungan dan masyarakat apabila
tidak ditangani dengan pengolahan dan penanganan limbah yang baik
dan benar, salah satunya adalah limbah ekskreta ayam
Limbah ekskreta ayam menghasilkan bau dan mengundang
datangnya lalat yang dapat menyebabkan penyakit. Apabila limbah
tersebut tidak ditangani dengan baik akan dapat mencemari lingkungan
dan mengganggu masyarakat sekitar. Pemeliharaan ayam broiler di
Indonesia pada umumnya dilakukan dengan menggunakan kandang
panggung yang berada di pinggir pemukiman atau desa, dimana ekskreta
ayam akan jatuh kedasar kandang dan tertumpuk selama periode
pemeliharaan. Jumlah ekskreta yang dikeluarkan, rata-rata per ekor ayam
60 sampai 150 gr (Charles dan Hariono, (1991); Fontenot et al., (1983)).
Ekskreta ayam yang tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan masalah baru selain dari bau dan jumlahnya, karena bisa
menjadi menjadi media pertubumbuhan dan perkembangbiakan lalat.
Melimpahnya bahan organik berupa air, abu, protein kasar, lemak,
kalsium, fosfor, dan serat kasar, dalam ekskreta menimbulkan masalah
karena menjadi media yang cocok bagi lalat bekembang biak dengan baik
sebagai tempat bertelur dan sumber makanan lalat karena tingginya
bahan organik dan iklim tropis yang sangat mendukung pertumbuhan

1
menjadi lebih cepat. Beberapa jenis lalat yang menjadikan ekskreta ayam
sebagai media salah satunya lalat rumah (Musca domestica L.). Lalat
rumah yang merupakan serangga yang dapat berperan sebagai vektor
penyakit sehingga menimbulkan dampak kesehatan bagi ternak maupun
manusia.
Lalat rumah tidak dapat berkembang biak dalam jumlah besar
apabila sumber pakan mereka terbatas. Ekskreta dan sampah organik
seperti buah dan sayur-sayuran yang membusuk lainnya, kemudian
terakumulasi menjadi sumber pakan yang cukup bagi lalat. Sayangnya,
karena insektisida dipecah oleh sinar matahari, efek residu dari bahan
tersebut akan sangat menurun dan mungkin tidak membunuh lalat lebih
dari beberapa hari atau seminggu. Jika lalat banyak di dalam rumah,
dapat menggunakan semprotan ruang (aerosol).
Insektisida adalah metode paling mudah untuk menurunkan
populasi lalat rumah. Beberapa insektisida mengandung pyrethrins
digunkan untuk membunuh dengan cepat. Semprotan aerosol
memberikan bantuan sementara, namun apabila terdapat banyak lalat di
dalamnya, maka sebaiknya mencari tahu mengapa mereka ada di sana
dan langkah-langkah untuk mengurangi masalah. Selain itu, sangat tidak
disarankan karena tidak ramah lingkungan dan efek merugikan pada
manusia, hewan ternak, dan organisme non target. Oleh karena itu,
diperlukan suatu upaya lain untuk mengendalikan populasi lalat pada area
peternakan tanpa membahayakan lingkungan.
Salah satu upaya penanganan populasi lalat rumah adalah
pengendalian pertumbuhan dan reproduksi lalat yang dilakukan secara
hayati berupa penggunaan insektisida alami. Memanfaatkan senyawa
dalam tanaman yang bersifat racun terhadap lalat sehingga tidak dapat
melakukan pertumbuhan dan perkembangbiakan yang diberikan melalui
media yang kaya akan bahan organik sebagai sumber makanan.
Insektisida alami menjadi aman dan mudah terdegradasi di alam sehingga
tidak meninggalkan residu yang dapat mencemari tanah, air, dan udara.

1
Aegle marmelos adalah jenis tanaman lokal yang tumbuh di negara
tropis seperti Indonesia. Aegle marmelos juga dapat dijumpai di wilayah
Asia Tenggara lainnya dan Asia Selatan. Daerah penyebarannya terutama
di dataran rendah hingga ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut
(Fatmawati, 2015). Buah tanaman Aegle marmelos memiliki senyawa
bioaktif seperti Marmelosin, Luvangetin, Aurapten, Psoralen dan
Marmelide (Maity et al., 2009). Senyawa bioaktif marmelosin diharapkan
mampu menghambat dan merusak metamorphosis dan ekosistem lalat
dengan menggangu tempat berkembang biak dan sumber makanan lalat.
Penelitian dilakukan untuk melihat potensi senyawa bioaktif buah maja
sebagai pengendali lalat pada ekskreta ayam broiler di daerah tropis. Hasil
yang disajikan di sini dapat membantu kami merencanakan strategi
pengelolaan ekskreta untuk mengurangi populasi lalat Musca domestica
dan meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang tinggal di dan/atau di
sekitar peternakan.
Tujuan Penelitian
Mengetahui efek penambahan senyawa bioaktif ekstrak buah maja
ke dalam ekskreta ayam broiler sebagai pengendali populasi lalat rumah
(Musca domestica L.).
Manfaat Penelitian
Mendapatkan data potensi senyawa bioaktif ekstrak buah maja
yang dapat dijadikan pengendali populasi lalat rumah (Musca domestica
L.).

TINJAUN PUSTKA

Lalat Rumah
Lalat rumah (Musca domestica L.) atau sering disebut housefly,
merupakan lalat yang paling umum dikenal orang karena lalat ini biasanya
hidup berasosiasi dengan manusia. Lalat Musca domestica banyak
dijumpai di sekitar rumah dan kandang. Lalat rumah juga dianggap

1
sebagai serangga pengganggu karena merupakan salah satu vektor
mekanis beberapa penyakit dan penyebab myiasis pada manusia dan
hewan. Selain itu, Lalat rumah ini juga mengganggu dari segi kebersihan
dan ketenangan (Hastutiek dan Fitri, 2007).
Lalat rumah (Musca domestica L) dapat diklasifikasikan dalam
sistematika sebagai berikut (Skaife, 1979),
Kingdom : Metazoa (Animal)
Filum : Arthopoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Insecta
Ordo : Muscidae
Genus : Musca
Species : Musca domestica
Musca domestica dimasukkan dalam kelompok Arthropoda atau
binatang beruas, memiliki kerangka luar atau eksoskeleton yang
mengandung khitin yang dapat mengelupas apabila tubuh berkembang
(Soulsby, 1986).
Musca domestica adalah lalat yang bersifat kosmopolitan dan
sering ditemui dalam aktivitas manusia, khususnya didalam rumah,
sehingga lalat ini secara umum dikenal sebagai lalat rumah (house fly).
Lalat ini lebih aktif pada tempat yang terlindung dari sorotan cahaya
langsung. Lalat rumah banyak ditemukan di peternakan ayam, kandang
kuda, sampah, feses hewan, dan peternakan lainnya (Borror et al., 1992).
Musca domestica atau lalat rumah merupakan serangga yang memiliki
ukuran sedang dengan panjang tubuh 6 sampai 7 cm (West, 1951).
Soulsby (1974) menyatakan bahwa ukuran tubuh lalat jantan, yaitu 5,6
sampai 6,5 mm, sedangkan lalat betina berukuran 6,5 sampai 7,5 mm.
Secara umum lalat rumah (Musca Domestica L.) dibagi atas tiga
bagian yaitu kepala, dada (toraks) dan perut (abdomen). Musca
domestica memiliki kepala yang besar dan berwarna kecoklatan. Kepala
dilengkapi dengan sepasang mata besar dan menonjol, sepasang sungut

1
terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar berbentuk
gada dengan sehelai rambut yang bercabang-cabang tumbuh diatasnya
(Kadarsan et al., 1983). Bagian mulut terdapat proboscis, dibagian
posterior dari proboscis terdapat labella yang akan melebar saat lalat
makan. Labella inilah yang berfungsi untuk menghisap dan menyerap
cairan atau makanan yang bersifat cairan atau makanan yang bersifat
cair. Bahan makanan yang keras terlebih dahulu dibasahi dengan sekresi
air liur lalat (Service, 1996).
Antena seekor lalat rumah (Musca domestica L.) terdiri atas tiga
ruas. Ruas pertama yaitu ruas dasar yang disebut batang dasar (Scape),
ruas kedua adalah tungkai pedikal (pedikel) dan sisanya adalah ruas
ketiga yaitu flagellum. Antenna merupakan alat sensorik yang penting
untuk mendeteksi keberadaan udara dan bau-bauan (Axtell, 1986). Untuk
membedakan jenis kelamin lalat rumah dapat diamati dari matanya, lalat
jantan memiliki mata holoptic (kedua perangkat mata majemuk
berdekatan) dibandingkan dengan lalat betina dengan mata dichoptic
(kedua perangkat mata mejemuk berjauhan) (Magdalena, 2019).
Fertilisasi dan oviposisi berlangsung beberapa hari setelah lalat
muda keluar dari pupa dan menjadi lalat dewasa. Lalat betina dapat
menghasilkan 100 sampai 150 butir telur dalam tiap kelompok pada setiap
kali peneluran dan biasanya betina bertelur dalam empat kelompok. Telur
diletakkan pada feses segar atau tempat yang mengandung bahan
organik yang membusuk. Secara keseluruhan Musca domestica mampu
menghasilkan telur dalam jumlah yang cukup besar, lebih kurang 2000
butir. Dengan jumlah tersebut Musca domestica mampu membentuk 10
sampai 12 generasi dalam satu musim (Arroyo, 1998).
Lalat ini mempunyai metamorfosis lengkap (complete metamorfosis
holometabolous) mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Perkembangan
dari telur sampai dewasa memerlukan waktu 7 sampai 21 hari. Pada
temperatur 25 sampai 35ºC telur menetas dalam kurun waktu 8 sampai 12
jam. Telur akan menetas dan berkembang menjadi larva dalam waktu 3

1
sampai 7 hari tergantung suhu lingkungan. Larva instar 1 mempunyai
panjang 2 mm, stadia ini berlangsung selama 24 sampai 36 jam
tergantung temperatur dan tempat yang cocok. Larva instar 2 berlangsung
selama 24 jam pada temperatur 25 sampai 35ºC, yang kemudian
dilanjutkan dengan instar 3 yang berlangsung selama 3 sampai 4 hari
pada temperatur 35ºC dengan ukuran 12 mm. Segera setelah stadia larva
selesai, larva bermigrasi ke daerah yang lebih kering untuk menjadi pupa
dan setelah mengalami 3 kali pergantian kulit, larva akan berkembang
menjadi pupa. Stadia pupa berlangsung antara 3 sampai 26 hari
tergantung temperatur lingkungan dan akhirnya segera berkembang
menjadi lalat dewasa. Waktu yang dibutuhkan dalam proses metamorfosis
lalat mulai dari telur sampai bentuk lalat dewasa bervariasi pada berbagai
belahan di bumi yang tergantung oleh temperatur dan faktor lain. Waktu
metamorfosis lalat bervariasi sekitar rata-rata 44,8 hari pada suhu
lingkungan 16°C sampai dengan rata-rata 10,4 hari pada suhu 30°C (Hall,
1992).
Siklus lengkap menjadi lalat dewasa dapat berlangsung kira-kira
delapan hari pada temperatur 33 sampai 35 ºC sehingga sejumlah
generasi berkembang pada musim panas (Chapman dan DGoulson,
2000). Perkembangan lalat mulai telur sampai dewasa pada suhu 20 oC
butuh waktu 26,2 hari sedangkan pada suhu 35 oC waktu yang dibutuhkan
hanya 9,6 hari (Hall, 1992). Tingkat pertumbuhan secara umum
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Suhu merupakan faktor lingkungan
yang penting untuk pertumbuhan populasi Musca domestica, khususnya
didaerah equator dan tropis, yaitu daerah yang menunjukkan tingginya
jumlah spesies (Chapman dan DGoulson, 2000). Lalat rumah
pertumbuhannya amat tinggi di Indonesia karena didukung oleh faktor
suhu, kelembahan serta tersedianya sumber makanan.
Musca domestica memiliki potensi tinggi dalam penyebaran banyak
agen penyakit baik secara mekanis maupun biologis pada populasi
manusia yang hidup relatif dekat dengan suatu peternakan atau usaha

1
produksi hewan lainnya. Tidak tertutup kemungkinan agen penyakit ini
dapat menyebar luas jauh dari sumber penularan karena lalat dapat
terbang sampai jarak yang cukup jauh. Seekor lalat dewasa mampu
berpindah pada jarak yang jauh. Kebanyakan lalat dewasa akan tetap
tinggal di tempat dimana tersedia makanan yang cukup dan tempat untuk
bertelur. Lalat dewasa hidup beberapa minggu dan dapat berpindah
apabila makanan berkurang. Selain itu lalat dapat mengadakan migrasi
hingga 8 km (Zurex, et al, 2001).
Pada kasus food borne disease secara epidemiologi penting
dipelajari peran lalat dalam memindahkan agen penyakit dari tempat yang
kotor ke makanan. Penyebaran agen penyakit dapat berlangsung cepat
dan luas karena lalat rumah dapat terbang sampai jarak 20 mil
(Szostakowska et al., 2004). Lalat rumah bahkan dapat terbang lebih dari
32 km (Zurex et al., 2001). Potensi Musca domestica yang tinggi sebagai
vektor penyakit juga dipengaruhi oleh kemampuan bereproduksi lalat
rumah yang sangat hebat, oleh sebab itu sering terjadi ledakan populasi
lalat (Sigit et al, 2006).
Lalat rumah dewasa meletakkan telur pada eksreta, dan larva
makan material yang mengandung agen penyakit. Probosis lalat dipakai
untuk menyerap makanan dalam jumlah besar dan dibantu oleh rambut
yang ada disekitarnya. Lalat hanya dapat menyerap makanan cair,
biasanya makanan selanjutnya akan dimuntahkan guna mencairkan
materi padat agar mudah diserap. Lalat mengeluarkan feses selama
proses makan. Lalat beradaptasi dengan baik untuk menyerap agen
penyakit. Keenam kaki lalat yang dilengkapi dengan rambut dan bantalan
kaki tempat menempelnya material, oleh karenanya lalat sebagai vektor
potensial penyebaran agen penyakit. Lalat dalam sekali makan dapat
membawa 6 x 106 bakteri pada eksoskeletonnya (Grubbel et al., 1997).
Ekskreta
Ekskreta adalah hasil ekskresi terutama dalam bentuk campuran
feses dan urin. Feses adalah ekskreta yang dikeluarkan dari saluran

1
pencernaan melalui anus sedangkan urine adalah cairan atau bahan
semisolid yang dihasilkan ginjal dan dikeluarkan melalui ureter menuju
urinary blader kemudian dikeluarkan melalui uretra (Ensminger and
Olentine, 1980). Jumlah ekskreta ayam broiler, dan ayam petelur berturut-
turut sebanyak 100 dan 60 g/ekor/hari (Fontenot et al., 1983). Komposisi
ekskreta terdiri dari 80% nitrogen urine dan 20% nitrogen feses. Nitrogen
urin berbentuk asam urat, ammonia, presipitat nitrogen, urea mempunyai
persentase berturut-turut 67, 6, 1 dan 6%, sedangkan nitrogen feses
terdiri dari presipitat nitrogen dan nitrogen terlarut, dengan persentase
berturut-turut 16 dan 4% (Widyani, 1999). Total nitrogen dan asam amino
pada ekskreta meningkat seiring dengan bertambahnya umur ayam
(Nasroedin, 1977).
Formulasi pakan dapat memiliki efek yang signifikan pada
komposisi, sebagian besar terkait dengan protein kasar dan tingkat fosfor
dalam pakan. Komposisi ekskreta juga tergantung pada lamanya waktu
ekskreta ditimbun. Umumnya kandungan karbon dan nitrogen dari
ekskreta di kandang akan menurun karena waktu penimbunan
diperpanjang, sementara nutrisi lain seperti fosfor terkonsentrasi. Berikut
adalah komposisi ekskreta tanpa perlakuan pengeringan.
Tabel 1. Komposisi nutrient dalam ekskreta ayam petelur
Parameter Uni Interval
t
Kelembapan % 51.0-73.7
pH 5.7-6.5
Karbon Organik % 37.3-39.4
Nitrogen % 4.8-7.1
Fosfor % 1.1-2.4
Potasium % 1.7-2.5
Calcium % 7.7-14.0
Sulfur % 0.4-0.5

Ekskreta ayam yang ditampung dalam waktu yang lama menjadi


kering karena aktivitas bakteri yang menguraikan protein dan sisa
makanan tersebut kemudian menurun (Pauzenga, 1991). Hal ini
disebabkan karena semakin berkurangnya kandungan air dan nutrien bagi

1
pertumbuhan bakteri (Leeson et al., 1995). Jumlah dan komposisi
ekskreta yang diproduksi berbeda-beda tergantung jenis unggas, bobot
badan, waktu pengambilan ekskreta, jenis dan jumlah pakan, dan cuaca
(Muller, 1980, Ensminger, 1992). Berikut adalah tabel komposisi ekskreta
ayam, Ekskreta ayam mampu mentoleransi populasi larva dan
mempertahankan berat larva yang tinggi pada saat yang bersamaan. Hal
tersebut dapat terjadi karena kandungan serat kasar yang tinggi
(menyediakan ruang untuk respirasi) dan rasio C/N yang rendah (11,2%)
yang mana mengindikasikan mengandung protein esensial atau mikroba
tertentu. Kandungan lipid yang rendah (3,5%) juga bisa berkontribusi pada
lingkungan pertumbuhan yang menguntungkan (Zi-zhe et al., 2017).
Ekskreta ayam mampu menyediakan bahan pakan yang ideal,
yang kemudian dapat dikonversi oleh larva dari limbah menjadi lipid. Larva
lalat memiliki lipase yang sangat efektif, yang merupakan fosfolipase aktif
A1. Proses hidrolisis dapat dipicu oleh AKH (hormon adipokinetik) yang
dikeluarkan dari jantung koroner di bawah lingkungan yang tidak ramah
(Yang and Liu, 2014). Larva instar cenderung berpindah dari pakan ke
tempat yang kering dan sejuk untuk periode pupa, namun tidak dapat
dihindari bahwa lingkungan larva instar yang padat (populasi) dan dengan
suhu tinggi yang disebabkan oleh pergerakkan dan metabolisme.
Ekskreta yang lebih banyak lemak tidak jenuh akan cenderung
menjadi tengik dan memiliki titik leleh yang lebih rendah. Lemak fase cair
dapat mengganggu respirasi larva dan oksidasi lemak dapat
menyebabkan kerusakan media dan penghambatan pertumbuhan larva.
Mengurangi kadar lemak dapat meningkatkan pertumbuhan larva (Yang
dan Liu, 2014).
Larva lalat rumah dilaporkan mampu mensintesis lemak tubuh dari
protein tubuh, dan tidak memerlukan asam lemak atau karbohidrat
didalam tubuh. Mereka biasanya berkembang tanpa sumber lemak tubuh
baik sebagai larva dan lalat dewasa (Levinson et al., 1957). Komposisi
asam lemak larva lalat relatif sederhana dan stabil meskipun ada

1
perubahan pada pakan larva (Bridges, 1971) sementara peningkatan
asam lemak tidak jenuh larva mungkin merupakan respons adaptif
terhadap susunan protein rendah (Stefanov et al., 2002). Protein yang
terkandung dalam pakan mungkin mencegah asam lemak menjadi tidak
jenuh yang diamati pada pertumbuhan larva pada pakan protein rendah
(Eigenheer, 2002).
Aegle Marmelos (L.)
Aegle marmelos (L.) Corr. Serr (Aegle marmelos) dari famili
Rutaceae, yang dikenal sebagai Bael (atau Bel), adalah tanaman
berukuran sedang, ramping dan aromatik yang tumbuh di beberapa
bagian India dan Asia Tenggara (Sankeshi et al., 2013). Aegle marmelos
(L.) Corr. Di Indonesia sebagai Maja memiliki sebutan beragam di tiap
daerah, antara lain: Mojo atau Mojo legi (Jawa), Maos (Madura), Bilak
(Melayu), danKabila (Alor, Nusa Tenggara). Selain di Indonesia, ternyata
Maja juga dapat dijumpai di wilayah Asia Tenggara lainnya dan Asia
Selatan. Daerah penyebarannya terutama di dataran rendah hingga
ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut dengan kondisi lahan basah
seperti rawa-rawa maupun di lahan kering, dan pada suhu 49°C saat
musim kemarau atau (-7) °C saat musim dingin (Fatmawati, 2015).
Buah maja sering kali dianggap sama dengan Berenuk (Crescentia
cujete L.) yang juga memiliki kulit buah berwarna hijau namun dagingnya
berasa pahit. Buah Maja yang baru dipetik dapat langsung dibelah untuk
diambil daging buahnya. Apabila rentang waktu antara pemetikan buah
dan pengambilan daging buah terlalu lama, maka daging buah akan
berwarna hitam. (Fatmawati, 2015). Klasifikasi ilmiah Aegle marrmelos
adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida

1
Sub class : Rosidae
Ordo : Sapindales
Family : Rutaceae
Genus : Aegle
Species : marmelos
Aegle marmelos memiliki senyawa bioaktif pada setiap bagian
tanamannya seperti pada kulit batang, daun dan buah. Kulit buah terdapat
senyawa fagarine dan marmin. Daun terdapat senyawa skimmianine,
aeglin, rutin, y-sitosterol, βsitosterol, flavone, lupeol, cineol, citral,
glycoside, o-isopentenyl, halfordiol, 6 marmeline, citronellal,
cuminaldehyde phenylethyl cinnamamides, eugenol, dan marmesinin.
Buah Aegle marmelos terdapat senyawa marmelosin, luvangetin,
aurapten, psoralen, marmelide, dan tannin (Dhankar et al., 2011). Selain
mengandung marmelosin, maja mengandung minyak atsiri, pektin,
saponin (Fatmawati, 2015).
Mekanisme Senyawa Bioaktif
Mekanisme penghambatan pertumbuhan jumlah lalat rumah
dengan menggunakan senyawa bioaktif Aegle marmelos dapat melalui
beberapa cara, baik pada saat lalat dewasa maupun dalam bentuk larva
lalat. Minyak atsiri dapat digunakan sebagai repellent atau daya tolak
karena bau yang dihasilkan oleh tanaman tertentu ini akan terdeteksi oleh
reseptor kimia (chemoreceptor) yang terdapat pada tubuh dan menuju
impuls saraf, kemudian diterjemahkan didalam otak sehingga akan
mengekspresikan untuk menghindar (Trevor, 1991). Aegle marmelos juga
memiliki sifat anti inflamasi dengan cara mengganngu permeabilitas
membrane sel dan menghambat respirasi sel (Angajala et al., 2014).
Senyawa monoterpen (pinine), sesquiterepen, fllavonoid,
triophenes dan senyawa yang bersifat minyak lainnya mampu membuka
lapisan lipid bilayer yang terdapat di kutikula sehingga mengakibatkan
cairan membran meningkat dan permeabilitas sel otot terganggu.
Senyawa golongan seskuiterpen juga bersifat menghambat enzim

1
asetilkolineseterase. Secara fisiologis, asetilkolin yang dibentuk oleh
sistem syaraf berfungsi untuk menghantarkan impuls dari sel syaraf ke sel
otot. Proses ini dihentikan oleh enzim asetilkolinesterase yang memecah
asetilkolin menjadi asetil ko-A dan kolin. Terhambatnya kerja enzim ini
mengakibatkan terjadinya penumpukan asetilkolin yang menyebabkan
terjadinya gangguan pada sistem penghantar impuls ke otot. Akibatnya
otot menjadi kejang, selanjutnya terjadi kelumpuhan dan berakhir dengan
kematian (Ivanice et al., 2004). Ibrahim et al., (2001) senyawa monoterpen
bersifat toksik dan masuk melalui lapisan kutikula (racun kontak), saluran
pernafasan dan saluran pencernaan (racun cerna).
Efek racun cerna minyak atsiri yang menyebabkan penyakit myasis
pada ternak dan manusia. Mekanisme kerja efek racun cerna terjadi ketika
senyawa aktif minyak atisiri termakan oleh larva. Efek racun ini sebagian
besar berlangsung dalam dinding mesenteron (saluran pencernaan
bagiah bawah) yang tersusun dari sel-sel epitelium. Senyawa aktif
tersebut akan mempengaruhi saluran pencernaan larva dengan cara
mematikan sel-sel dalam mesentron akibat terhalangnya pembentukan
energi, sehingga menyebabkan penyerapan nutrisi menjadi kurang
optimal (Prijono, 1988).
Efek racun cerna ini sebagian besar berlangsung dalam dinding
mesenteron (saluran pencernaan bagian tengah) yang tersusun dari sel-
sel epitelium. Senyawa aktif tersebut akan mempengaruhi saluran
pencernaan larva dengan cara mematikan sel-sel dalam mesentron akibat
terhalangnya pembentukan energi, sehingga menyebabkan penyerapan
nutrisi menjadi kurang optimal (Prijono 1988). Berbeda dengan efek racun
cerna, penyerapan insektisida yang berefek racun kontak sebagian besar
terjadi pada kutikula. Senyawa aktif ekstrak methanol buah maja akan
berpenetrasi ke dalam tubuh larva, selanjutnya ke lapisan yang lebih
dalam dan menuju hemolimpa, kemudian disebarkan ke seluruh bagian
tubuh larva. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan metabolisme

1
tubuh yang mengakibatkan kematian apabila senyawa tersebut
mempunyai tokisitas yang tinggi (Prijono 1988).
Senyawa saponin yang didalam buah maja merupakan glikosida
yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpenoid. Saponin steroid
tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid
saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai
saraponin. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan
molekul karbohidrat dan apabila dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon
yang disebut sapogenin. Molekul yang dimiliki oleh senyawa saponin
inilah menyebabkan buah Maja berbusa, mempunyai sifat antieksudatif,
dan hameolisis merusak sel darah merah. (Rismayani, 2013).
Alkaloid merupakan senyawa nitrogen hasil metabolism sekunder
yang paling banyak terdapat didalam tumbuhan dan merupakan salah
satu jenis racun yang berfungsi sebagai penolak atau pemikat serangga.
Umumnya senyawa ini mempengaruhi sistem syaraf. Senyawa ini
mempunyai struktur kimia yang beragam, tetapi pada umumnya berupa
senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitogen yang
merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid dapat menurunkan
kemampuan larva untuk bergerak karena pengaruh dari sistem syaraf
yang paralysa, dan dapat merangsang kelenjar endokrin untuk
menghasilkan hormon ekdison yang dapat menggagalkan proses
metamorphosis sehingga larva tidak mampu untuk berubah menjadi pupa
dan mati. Selain itu kemampuan alkaloid juga dapat menurunkan gerakan
larva terutama pada konsentrasi tinggi yang kemudian bersifat depresan
yang dapat menyebabkan paralisa dan berakhir dengan kematian (Trevor,
1991)
Flavonoid yang menurut Aminah (1995) dapat berfungsi sebgai
insektisida yang dapat mempengaruhi pengatur pertumbuhan pada
serangga (Insect Growth Regulating). Kerja IRG mirip dengan hormon
juvenile yang disekresikan di corpus allata. Hormon juvenile sangat
mempengaruhi proses perkembangan larva. Adanya flavonoid akan

1
meningkatkan jumlah IGR yang mempunyai respon kerja yang sama
dengan hormon juvenil. Jika hormon juvenile tinggi larva tidak akan
berubah menjadi pupa sehingga menghambat proses metamorphosis dan
jika jumlah hormon lebih sedikit atau seimbang dengan hormon ekdison
makan larva akan segera berubah menjadi pupa (Beroza, 1972).
Flavonoid umumnya larut di dalam aquades dan dapat membentuk
glikosida pada air. Flavonoid didalam tubuh larva dapat menghambat
proses pernapasan sel, dapat menghambat proses pembekuan darah
serta dapat merangsang hormon pengatur pertumbuhan. Adanyaa
gangguan fisiologis larva akan menyebabkan kematian (Trevor, 1991).
Flavonoid termasuk dalam golongan fenol yang mempunyai ciri utama
yaitu cincin aromatic yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil
(Suradikusumah, 1989).
Tanin merupakan salah satu senyawa sekunder yang termasuk
didalam golongan fenol dan banyak terdapat didalam tumbuhan. Tanin
mempunyai citarasa yang getir sehingga didalam tumbuhan berfungsi
untuk mengusir serangga, menjadikan nafsu makan larva berkurang.
Senyawa tanin didalam tubuh larva dapat menyebabkan denaturasi
protein, menurunkan nafsu karena rasanya sepet dan bisa menyebabkan
iritasi pada kulit (Suradikusumah, 1989). Aniarsih (1987) menambahkan
bahwa ketika tanin dapat berikatan kompleks dengan protein makanan
sehingga protein tidak dapat diserap dan hilangnya atau berkurangnya
protein tubuh yang dapat diserap dan hilangnya atau berkurangnya
protein tubuh yang dapat mengganggu pertumbuhan. Kemampuan tanin
yang selain membunuh larva, juga mampu menghambat perubahan
menjadi pupa. Tanin akan mengikat protein pada selaput lendir, mengikat
enzim-enzim pencernaan dan protein dari makanan tersebut, sehingga
terbentuk lapisan yang dapat menghambat proses penyerapan makanan
pada usus dan mengganggu kerja dari saluran pencernan. Hal tersebut
secara tidak langsung larva tidak mendapat asupan makanan maka tidak
akan terjadi penyimpanan energi yang dibutuhkan pada stadium pupa

1
yang tidak makan atau puasa. Tanin juga mengalami proses hidrolisa dan
diserap oleh tubuh serta bersirkulasi akan menyebabkan keracunan
(Aniarsih, 1987).
Terpenoid merupakan salah satu zat yang mempunyai kemampuan
sebagai insketisida (Aminah, 1995). Terpenoid lebih larut pada pelarut
organik daripada aquades. Zat ini bersifat depresan pada susunan saraf
larva yang akhirnya menyebabkan kematian (Aminah, 1995). Fenil propan
(asam kafeat, asam ferulat dan asam kumarat) merupakan racun kontak
yang dapat meyebabkan iritasi pada permukaan tubuh larva dan dapat
merusak lapisan kutikula (Suradikusumah, 1989). Kerusakan kutikula
dapat mempercepat proses kematian.
Landasan Teori

Ayam adalah ternak yang kurang efisien dalam mengkonversi


pakan, sekitar 50-80% protein pakan terbuang dalam bentuk ekskreta.
Proses pencernaan protein yang kurang efisien menyebabkan gas
ammonia yang dihasilkan pada ekskreta jumlahnya tidak sedikit.
Pencernaan pakan yang kurang optimal juga menyebabkan tingginya
bahan organik yang terakumulasi menjadikan ekskreta sebagai media
yang cocok untuk dijadikan sumber makanan bagi lalat rumah dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu upaya penanganan
populasi lalat rumah adalah dengan melakukan pengendalian
pertumbuhan dan reproduksi lalat dengan mengganggu proses
metamorfosis yang dilakukan secara hayati. Penggunaan senyawa
bioaktif buah maja yang mudah terurai, maka tidak meninggalkan residu
yang dapat mencemari tanah, air, dan udara, serta aman untuk ternak.
Kemampuan senyawa bioaktif dalam buah maja dapat digunakan
sebagai repellent atau daya tolak karena bau yang dihasilkan akan
terdeteksi oleh reseptor kimia (chemoreceptor) yang terdapat pada tubuh
lalat, lalu menuju impuls saraf, kemudian diterjemahkan didalam otak
sehingga lalat akan mengekspresikan untuk menghindar. Selain itu,

1
alkaloid mampu mengganggu pergerakan larva melalui hormon
pertumbuhan, berupa merangsang kelenjar endokrin untuk menghasilkan
hormone ekdison yang dapat menggagalkan proses metamorphosis,
maka ketika larva tidak mampu untuk berubah menjadi pupa dan mati.
Tanin mempunyai rasa getir menjadikan nafsu makan larva
berkurang dengan mengikat enzim-enzim pencernaan dan protein dari
makanan tersebut. Kemampuan antibacterial buah maja juga dapat
dimanfaatkan untuk mengurangi populasi lalat secara tidak langsung,
dengan menurunkan jumlah bakteri pada ekskreta maka sumber makanan
lalat berkurang, maka lalat tidak mampu berkembang biak di media yang
memiliki sedikit sumber makanan. Oleh karena itu, senyawa bioaktif buah
maja mampu mencegah lalat untuk mendatangi ekskreta sebagai tempat
mencari makanan dan media berkembang biak, mengganggu proses
metamorphosis larva dan menurunkan sumber makanan larva, sehingga
didapat mengurangi jumlah populasi lalat Musca domestica.
Hipotesis
Penambahan ekstrak buah maja pada ekkreta ayam broiler dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangan pada larva lalat rumah
(Musca domestica L.), semakin tinggi pemberian ekstrak buah maja yang
diberikan maka semakin efektif pengendalian populasi larva lalat.

MATERI DAN METODE


Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan April sampai Juni 2020 di
Laboratorium Teknologi Kulit, Hasil Ikutan dan Limbah Peternakan,
Fakultas Peternakan, Univarsitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Materi
Alat penelitian
Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah pisau kertas
whatman no.1, beaker glass, tabung reaksi, autoklaf, gelas ukur,

1
refrigerator, tabung durham, aluminium foil, mikrotube, kamera, dan
timbangan analitik.
Bahan Penelitian
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah ekskreta ayam
broiler, buah maja (Aegle marmelos), metanol (AR Grade) 96%, etanol
50%, 70%, 96%, aquadest dan alkohol 70 %.

Metode
Persiapan bahan penelitian.
Ekstraks Buah Maja
Buah maja diperoleh dari kampung Nangsri RT 03 RW 13, Desa
Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, dengan
Latitude -7o37’52” dan Longitude 110o23’29”. Buah maja dipersiapkan
dalam kondisi segar dan tergolong masih muda. Buah Maja muda dapat
memiliki tempurung yang lunak, daging buah cenderung putih dan agak
keras dengan umur buah ≤ 10 bulan, serta nilai pH-nya 5.
Daging buah maja dihaluskan dengan cara diblender, kemudian
ditimbang. Sampel buah maja yang halus tersebut kemudian dimaserasi
dengan pelarut metanol 96% sampai tiga hari berturut-turut. Maserat
disaring dan dipekatkan dengan Rotary Evaporator untuk menguapkan
semua pelarut metanol, sehingga diperoleh ekstrak kental.
Ekskreta Ayam Broiler
Kotoran ternak yang digunakan adalah ekskreta ayam broiler.
Ekskreta ternak diperoleh dari peternakan ayam broiler di Piyungan,
Bantul. Kotoran ayam yang digunakan adalah yang baru diekskresikan
dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam, kemudian disimpan ditempat,
dimana lalat tidak bisa datang dan hinggap.
Penampungan Ekskreta

1
Kandang yang digunakan adalah kandang baterai, dimana bagian
bawah terdapat rongga yang digunakan untuk menampung ekskreta.
Pada bagian bawah kandang ayam petelur diberi plastik bening untuk
menampung ekskreta yang jatuh. Ekskreta yang jatuh ditampung kedalam
ember dan ditutup untuk menghindari kontaminasi lalat untuk mencari
makanan dan meletakkan telur
Sterilisasi Ekskreta
Ekskreta segar yang dikumpulkan disterilkan dengan cara dikukus.
Pengukusan dilakukan memanaskan ekskreta segar suhu 30 sampai 40°C
Pengukuran suhu dilakukan dengan thermometer raksa dimasukkan ke
ekskreta segar.
Pelaksanaan percobaan
Sebanyak 200 gr ekskreta dimasukkan kedalam sterofoam plastik
berbentuk balok yang berukuran 16 cm x 12 cm x 4 cm. Sterofoam-
sterofoam tersebut kemudian diletakkan dalam ruang terbuka area
peternakan ayam selama 3 hari, Selanjutnya dipindahkan kedalam ruang
tertutup selama 3 hari, dimana hewan kecil tidak bisa menganggu
termasuk lalat. Untuk mengukur suhu dalam ruang terbuka dan isolasi
digunakan termpmeter hygrometer. Berikut adalah level pecobaan
perlakuan,
Tabel 1. Level percobaan perlakukan

Kelompok Perlakuan
I Ekskreta steril
II Ekskreta steril + 5% ekstrak buah maja.
III Ekskreta steril + 10% ekstrak buah maja.
IV Ekskreta steril + 15% ekstrak buah maja.
V Ekskreta steril + 20% ml ekstrak buah maja.
VI Ekskreta steril + larvatox.

Inkubasi Perlakuan
Sterofoam yang berisi ekskreta yang telah diberi perlakuan diarea
peternakan ayam telah terkontaminasi oleh lalat, kemudian diinkubasi
selama 3 hari pada suhu kamar suhu berkisar 27 sampai 32°C. Selama

1
inkubasi ekskreta perlakuan disimpan dalam kotak sterofoam tertutup,
sehingga tidak ada hewan penganggu yang dapat masuk.

Gambar 1. Ruang pembiakan larva tertutup (isolasi)

Perhitungan Populasi Larva


Proses perhitungan larva dilakukan dengan mengambil satu per
satu larva, yang kemudian disimpan didalam tabung. Larva yang telah
dihitung kemudian disimpan dalam tabung kecil yang sebelumnya larva
dikondisikan supaya tidak mudah rusak. Proses pengkondisian larva
dilakukan dengan membunuh larva pada suhu 80°C selama 10 detik, yang
kemudain dicelupkan selama 10 detik kedalam larutan etanol secara
bertahap 50%, 70% dan 96%.
Kandungan Nutrien Ekskreta
Ekskreta ayam yang menjadi media pertumbuhan larva baik
sebelum dan sesudah diberi perlakuan dilakukan uji kandungan karbon
(C), nitrogen (N), air dan rasio C/N
Perhitungan Kadar Air
Oven cawan cruisible selama 24 jam, setelah itu keluarkan crucible
dari dalam oven dan masukkan ke dalam desikator selama 4 jam sampai
tidak panas lagi. Timbang cruisible, kemudian masukkan 0,5 gram sampel
ekskreta ayam petelur ke dalamnya, kemudian masukkan ke dalam oven
dengan suhu 105°C selama 24 jam. Timbang berat akhir cruisible dan
ekskreta (AOAC, 2002).
Perhitungan:

1
Kadar air (%) = (W-W1) × 100/W
W = Berat sampel asal dalam gram
W1 = Berat sampel setelah dikeringkan dalam gram
100 = factor konversi ke %
Perhitungan Kadar C
Sampel ekskreta ditimbang 0,05 sampai 0,10 gram, kemudian
dimasukkan ke dalam labu takar volume 100ml. Larutan K 2Cr2O7 1,0 N
ditambahkan sebanyak 5 ml, lalu dikocok. Larutan H2SO4 pekat
ditambahkan sebanyak 7 ml dan dikocok, kemudian didiamkan selama 30
menit, jika perlu sesekali dikocok. Setelah 30 menit ditambahkan aquades
sampai tanda batas, dikocok, lalu didiamkan selama satu malam. Blanko
juga dibuat sebagai standar 0 ppm C. Hasil diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm (AOAC, 2002).
Perhitungan:
Kadar C organik (%) = ppm kurva × 100/mg contoh ×
100ml/1000ml × fk
Ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva
regresi hubungan Antara kadar deret
standar dengan pembacaannya setelah
dikurangi blanko
100 = konversi ke %
Fk = faktor koreksi kadar air

Perhitungan Kadar N
Sampel ekskreta ditimbang 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam
tabung digest. Selenium mix sebanyak 1 gram dan asam sulfat (H2SO4)
pekat ditambahkan dan didestruksi. Destruksi selesai apabila keluar asap
putih dan diperoleh ekstrak jernih (sekitar 4 jam). Tabung ditunggu dingin,
kemudian diangkat dan ditambahkan aquades hingga 50 ml (larutan A),
lalu dikocok hingga homogeny, didiamkan semalam agar partikel
mengendap. Larutan A diambil 2 ml, kemudian ditambahkan 4 ml larutan

1
sangga tartat dan 4 ml Na-fenat, kocok dan dibiarkan 10 menit. NaOCl 5%
ditambahkan sebanyak 4 ml, kocok dan diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 636 nm (AOAC, 2002).
Perhitungan:
Kadar Nitrogen (%) = ppm kurva × 0,01 × fp × fk
Ppm kurva = kadar sampel yang di dapat dari kurva
hubungan antara kadar deret standar dengan
pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
Fp = faktor pengenceran
Fk = faktor koreksi kadar air-100/(100-% kadar air)

Perhitungan Jumlah Larva


Pengujian jumlah larva lalat pada penelitian ini dilakukan di sekitar
Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Proses perlakuan dilakukan selama 6 hari. Pada 3 hari pertama
digunakan untuk proses lalat beraktifitas diarea ekskreta, yaitu meliputi
pengambilan makanan dan proses berkembangbiak lalat. Selanjutnya di 3
hari kedua dilakukan inkubasi untuk menetaskan telur lalat, dan
perkembangbiakan larva sesuai tahapannya. Perhitungan jumlah larva
dilakukan pada hari ke-7. Proses perhitungan diawali dengan mengambil
larva pada setiap media satu pertsatu secara hati-hati.
Pengukuran Panjang dan Berat Larva
Pengukuran panjang dan berat larva dilakukan di Laboratorium
Entomoligi Biologi UGM. Panjang larva dilihat dengan mikroskop
supereyes dengan pembesaran 500x, dan proses pengukuran dilakukan
aplikasi bernama supereyes yang terhubung dengan mikroskop.
Pengukuran panjang larva dilakukan dengan mengambil 5 larva tiap
media ekskreta. Berat larva diukur dengan timbangan analitik dengan
menimbang 5 larva per sampel media ekskreta.
Pengamatan Morfologi Larva

1
Pengamatan morfologi dilakukan di Laboratorium Entomologi
Biologi UGM. Morfologi dilihat dengan mikroskop supereyes dengan
pembesaran 500x. Proses pengamatan didahului dengan koleksi dan
penyimpan sampel saat penelitian dilakukan dengan cara, mencelupkan
larva yang ditemukan dengan aquades bersuhu 80ºC. Proses selanjutnya
larva diawetkan kedalam larutan etanol 96%, yang sebelumnya larva
dicelupkan kedalam etanol dengan kadar 50% dan 70% selama 10 detik.
Semakin tinggi nilai kadar etanol maka akan semakin baik proses
pengawetan berlangsung. Otranto dan Stevens, (2002) menyatakan
bahwa keberhasilan cara mengoleksi, menyimpan dan mengarsip suatu
sampel dari lapang dengan baik dan benar merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh data molekuler yang berguna dalam studi taksonomi,
filogenetik, identifikasi
molekuler, populasi genetik, diagnosis dan vaksinasi.
Senyawa etil alkohol (etanol) salah satu senyawa yang sering
digunakan untuk mengawetkan sampel. Spradbery (1991) melaporkan
bahwa pengawetan larva lalat dapat dilakukan dengan cara
membunuhnya
di dalam air panas kemudian disimpan di dalam etanol 70 sampai 80%
atau
di dalam formalin. Shauff (2001) menyatakan bahwa pengawetan larva
yang baik adalah dengan cara membunuhnya di dalam air panas
kemudian
disimpan di dalam etanol 70 sampai 80%. Hall et al. (2001) menambahkan
bahwa pengawetan dengan cara larva dimasukkan langsung ke dalam
etanol 80%, tidak mampu membunuh larva secara langsung sehingga
diperoleh larva yang lemas. Selain itu larva cenderung berubah warna
menjadi hitam dibandingkan dengan metode yang direndam terlebih
dahulu
dengan air panas.
Parameter yang Diamati

1
1. Jumlah larva hidup yang ada ditiap perlakuan.
2. Berat dan panjang larva rata-rata per 5 individu dari tiap
perlakuan.
3. Suhu, kelembapan, pH, kandungan air dan bahan organik
media hidup larva Musca domestica.
4. Kelainan Morfologi larva Musca domestica

Analisis Data
Perbedaan data jumlah larva yang diperoleh dianalisis secara
statistik dengan memakai analisis dari Rancangan Acak Lengkap Pola
Searah pada taraf α = 5% melalui perangkat lunak SPSS. Apabila
menunjukan perbedaan maka dilanjutkan dengan ujji beda mean dengan
uji Duncan’s Multiple Range Test.

1
DAFTAR PUSTAKA

Aminah, N.S. 1995. Evaluasi Tiga Jenis tumbuhan sebagai insektisida dan
repelan terhadap nyamuk. Tesis IPB. Bogor.
Angajala, G., R. Ramya, dan R. Subashini. 2014. In-vitro anti-inflammatory
and mosquito larvicidal efficacy of nickel nanoparticles
phytofabricated from aqueous leaf extracts of Aegle marmelos
Correa. School of Advanced Sciences, VIT University. Acta Tropica.
India. 135:19-26
Arroyo, H. S. 1998. Distribution and Importance Life Cycle and descriptin-
Damage-Economic Injury Level-Management selected references.
Univ. of Florida Institute of Food and Agricultural Sciences. Depart.of
Entomology Nematology.
Axtell, R.C. 1986. Fly Control in Confined Livestock and Poultry
Production. CIBA-GEIGY.USA.
Borror, D.J., Charles A.T., dan Norman, F.J.1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Bridges, R.G. 1971. Incorporation of fatty acids into the lipids of the
housefly, Musca domestica. J. Insect Physiol. 17:881-95.
Chapman, J.W. and DGoulson. 2000. Environmental versus genetic
influences on fluctuating asymmetry in the house fly, Musca
domestica. Biol. J. Linn. 70: 403-413.
Eigenheer, A.L, S. Young,G.J. Blomquist, C.E Borgeson, J. A. Tillman, C.
Tittiger. 2002. Isolation and molecular characterization of Musca
domestica delta-9 desaturase sequences. Insect Mol Biol. 11:533-
542.
Ensminger, M.E. and C.G. Olentine. 1980. Feeds and Nutrition, 1st ed.
The Ensminger Publishing. California.
Fatmawati, I. 2015. Efektivitas buah maja (Aegle marmelos (l). Corr.)
Sebagai bahan pembersih logam besi. Jurnal Konservasi Cagar
Budaya Borobudur. 9(1): 81-87
Fontenot, J.P., L. W. Smith, dan A.L Sutton. 1983. Alternative utilization of
animal wastes. J. Anitn. Sei. 57 (2): 221-233.
Grubel, P., J.S. Hoffman, F.K. Chong, N.A. Burstein, C. Mepani and D.R.
Cave. 1997. Vector potensial of houseflies (Musca domestica) for
Helicobacter pylori. J. of Clinical Microbiol. 35 (6): 1300-1303.
Hall, H.T.B. 1992. Disease and Parasitic Live Stock in the Tropics.
Longman Group Ltd. London. 222-225.

1
Ibrahim, I. dan Rusdiaman. 2017. Identifikasi Senyawa Alkaloid Daging
Buah Maja (Aegle Marmelos) Asal Batu Bessi Kabupaten Barru
Sulawesi Selatan. 8(1): 105-110.
Ibrahim, M.A., P. Kainulainen, A. Aflatuni, K. Tiilikkala, dan J. K.
Halopainen. 2001. Insecticidal, repellent, antimicroba activity and
phytotoxicity of essential oils: with special reference to limonene and
its suitability for control of insect pest. Agric Food Sci Finl. 10:243-
259.
Ivanice, M. C., S. J. Sarti, C. M. Waib, dan Jr. A. C.Branco. 2004.
Evaluation of the Potential Insecticide activity of tegetesminuta
(Asteraceae) Essential Oil Against the head Lice
Pediculushumanuscapitis (Phthiraptera: Pediculidae). Neotropic
Entomol. 33: pp. 805-807.
Kadarsan, S.A., E. Purwaningsih, H.B. Munaf, I. Budiarti, dan S. Hartini.
1983 Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional LIPI. Bogor.
Leeson, S., G. Diaz dan Steven. 1995. Poultry Metabolic Disorders and
Mytcotoxins. University Books. Guelph. Ontario, Canada.
Levinson, Z.H., and E.D. Bergmann. 1957. Steroid utilization and fatty acid
synthesis by the larva of the housefly Musca vicina Macq. J.
Biochem. 65:254-60.
Magdalena, A. 2019. Makanisme Penularan Penyakit Oleh Lalat. Sehati
Intermedia. Jakarta Selatan.
Nasroedin. 1977. The effect of sun-dried and oven-dried broiler and layer
manure on groth of pullets. In: First Seminar on Poultry Science and
Industry. Centre fot Animal Research and Development, Cisarua,
Bogor. Pp 1-15.
Pauzenga. 1991. Animal Production In The 90’s In Harmony With Nature
A Case Study In The Netherlands. In Biotechnology In The Feed
Industry (T.P.Lyons Eds). Proc. Altech’s Seventh Annual
Symposium. Nicholasville, Kentuchky
Prijono, D. 1988. Pengujian insektisida. Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan. Fakultas Pertanian Bogor.
Rismayani. 2013. Manfaat Buah Maja sebagai Pestisida Nabati untuk
Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella). Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol (19):3.
Service, M.W. 1996. Medical Entomology for Student. Chapman dan Hall.
Liverpool.
Sigit, H. S., F.X. Koesharto, U.K. Hadi, D.J. Gunandini dan S. Soviana.
2006. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi dan
Pengendalian. Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman
(UKPHP), Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

1
Slansky FJr, Rodriguez JG. 2004. Nutritional Ecology of Insects, Mites,
Spiders, and Related Invertebrates. US: Wiley
Soulsby, E.J.L. 1974. Helminth, Anthropods and Protozoa of
Domesticated animals. Bailliere, Tindall, and Cassell. London.
Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan.Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat IPB. Bogor.
Szostakowska, B., W. Kruminis-Lozowska, M. Racewics, R. Knight, L.
Tamang, P. Myjak and T.K. Graczyk. 2004. Cryptosporidium parvum
and Giardia lamblia recovered from flies on a cattle farm and in a
landfill. Applied and Environmental Microbiol. 70(6): 3742-3744.
Trevor, R. 1991. The organic constituents of higher plants: their chemistry
and interrelationship ed 6. Universitas Michigan. Cordus Press. USA
West, L. S. 1951. The Housefly. Itachi. New York. Comstock Publishing
Company
Widyani, R. R. 1999. Persyaratan Asam Amino Pembatas Utama pada
Pakan Ayam Pedaging di Indonesia. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yang S, and Z. Liu. 2014 Pilot-scale biodegradation of swine manure via
Chrysomya megacephala (Fabricius) for biodiesel production. Appl
Energy. 113: 385-391
Zi-zhe, C., Y. De-po., W. Sheng-qing, W. Yong., M.J.T. Reaney, Z. Zhi-
min, Z. Long-ping, S. Guo, N. Yi, Z. Dong, N. Hui-ran, dan Y. Wen-
zhe. 2017. Conversion of poultry manure to biodiesel, a practical
method of producing fatty acid methyl esters via housefly(Musca
domestica L.) larval lipid. Sun YAt-san University. Guangzhou PR
China. Vol(201): 463-471.
Zurex, L., S.S. Denning, C. Schal and D.W. Watson. 2001. Vector
compotence of Musca domestica (Diptera: Muscidae) for Yersinia
pseudotuberculosis. J. Med. Entomol. 38 (2): 333-335.

Anda mungkin juga menyukai