Anda di halaman 1dari 26

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH FORMULASI PAKAN TERHADAP FEKUNDITAS INDUK

DAN VIABILITAS TELUR BSF

SINTIYA ANUGRAH RANTE LEMBANG

1814142019

PROGRAM STUDI BIOLOGI

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

FEBRUARI 2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................3
C.TujuanPenelitian.........................................................................................3
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
A. Kajian Pustaka...........................................................................................5
B.Kerangka Pikir..........................................................................................15
C. Hipotesis..................................................................................................16
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................18
A. Jenis Penelitian........................................................................................18
B. Waktu dan Tempat Penelitian..................................................................18
C. Satuan Eksperimen dan Perlakuan...........................................................18
D. Rancangan Penelitian...............................................................................18
E. Alat dan Bahan........................................................................................19
F. Prosedur Penelitian..................................................................................20
G.Teknik Pengumpulan Data........................................................................21
H. Teknik Analisis Data...............................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah maggot (larva) dikenal mulai pada pertengahan tahun 2005 yang

dikenalkan oleh tim biokonversi IRD (Institut de Recherche pour le

Developpment)-Perancis dan peneliti Riset dari Loka Budidaya Ikan Hias Air

Tawar (LRBIHAT), Depok. Maggot merupakan larva serangga yang dapat hidup

pada sampah organik (Fahmi et al., 2007). Menurut Suciati dan Faruq (2017), tiga

produk yang dapat dihasilkan dengan membudidayakan larva lalat tentara hitam

adalah sebagai pakan sumber protein alternatif bagi hewan ternak, pupuk organik

dari sisa limbah organik cair dan sisa limbah organik kering hasil dari aktivitas

larva.

Lalat tentara hitam (Hermetia illucens) atau Black soldier fly (BSF)

merupakan salah satu serangga pengurai yang mampu mendekomposisi berbagai

macam jenis sampah organik, di antaranya adalah kotoran hewan, sisa sayuran

yang telah membusuk, sisa buah-buahan, residu limbah pabrik tahu, dan limbah

organik lainnya yang sulit untuk dicerna seperti ampas kopi. Kemampuan larva

BSF mendekomposisi bahan organik juga dilaporkan lebih baik dibandingkan

cacing tanah. Biokonversi yang dilakukan oleh BSF juga dilaporkan dapat

mengurangi limbah organik mencapai 56% (Suciati & Faruq, 2017). Selain itu,

larva BSF tidak berperan sebagai vektor penyakit dan relatif aman bagi kesehatan

manusia (Wardhana, 2016).

1
2

Larva BSF juga dilaporkan dapat dijadikan sebagai pakan bagi hewan

ternak daratan maupun perairan. Kandungan nutrisinya yang tinggi dimanfaatkan

peternak sebagai sumber bahan pakan hewan ternak. Larva BSF memiliki

kandungan protein sebesar 40-50%, termasuk kandungan asam amino esensial

yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti tepung ikan untuk ransum ternak.

Kandungan asam amino paling banyak pada larva BSF di antaranya adalah

methionin dan lisin masing-masing sebesar 9,05 dan 22,3 g/kg (berat kering)

(Veldkamp et al., 2012). Kandungan nutrisi yang ada dalam tubuh serangga salah

satunya ditentukan oleh media tumbuh yang dipakai pada saat proses budidaya

(Jintasataporn, 2017).

Lalat H. illucens juga dapat hidup media tumbuh dengan pH cukup tinggi,

lalat dan larvanya bukan pembawa virus atau penyakit, memiliki kandungan

protein yang cukup tinggi (40-50%), masa hidup larva cukup lama (± 4 minggu),

dan mudah dibudidayakan sehingga dapat dijadikan untuk pakan hewan ternak

dan kompos (Adriani dkk, 2020).

Penggunaan insekta seperti maggot Black Soldier Fly (BSF) selain sebagai

agen pengurai sampah organik juga sangat berpotensi sebagai pakan alternatif

bagi hewan ternak, karena kandungan protein dari maggot ini cukup tinggi.

Protein yang berasal dari insekta lebih ekonomis, ramah lingkungan, serta dapat

memenuhi kebutuhan nutrisi hewan ternak. Penelitian-penelitian mengenai

kandungan protein dari maggot BSF telah pernah dilkaukan oleh Rachmawati et

al., (2015), dimana ia memberikan pakan yang berupa bungkil kelapa sawit

kepada maggot dengan persentasi lemak 13-27%, sedangkan Yuwono dan


Mentari (2018), menggunakan pakan sampah organik campuran dengan nilai

kandungan protein pada maggot diperoleh 29,9%. Pangestu et al., (2017)

menggunakan jenis pakan berupa nangka muda dengan kandungan protein yang

diperoleh 12,71% serta menggunakan kulit pisang. Dari hasil penelitian-penelitian

tersebut dapat diketahui bahwa maggot dapat dijadikan sumber protein.

Berdasarkan dari uraian diatas, maka larva H. illucens dapat dijadikan

sebagai agen pengurai limbah organik yang berpotensi, karena larva H. illucens

memiliki kemampuan dalam mengkonsumsi limbah organik dalam jumlah yang

banyak. Limbah industri memiliki nilai ekonomi yang rendah juga memiliki bau

yang menyengat. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan solusi pemanfaatkan

H. illucens dengan memanfaatkan maggot H. illucens sebagai agen pengurai

limbah jeroan ikan dan bungkil singkong sebagai media pakan untuk pertumbuhan

maggot dan membandingkan fekunditas serta viabilitas lalat H. illucens.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh formulasi pakan terhadap fekunditas induk dan viabilitas

telur BSF?

C. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui pengaruh formulasi pakan terhadap fekunditas induk dan

viabilitas telur BSF.


4

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi terkait perbandingan formulasi

pakan yang digunakan untuk mengukur fekunditas induk BSF dan viabilitas

telur BSF.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan

samah organik yang terjadi di lingkungan sekitar.

b. Dapat mengetahui pengaruh formulasi pakan terhadap fekunditas induk BSF

dan viabilitas telur BSF.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Black Soldier Fly

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis

flora dan fauna yang sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati

yang tinggi merupakan kekayaan alam yang dapat memberikan manfaat serbaguna

dan mempunyai manfaat vital serta strategis. Hal ini disebabkan karena Indonesia

terletak di kawasan tropis yang mempunyai iklim yang stabil dan secara geografi

adalah negara kepulauan yang terletak diantara dua benua yaitu benua Asia dan

benua Australia. Diantara kelompok insekta tersebut, lalat termasuk ke dalam

ordo Diptera, famili Stratiomyidae. Salah satu spesies lalat yang ditemukan di

daerah beriklim sedang dan tropis yaitu lalat black soldier fly (Hermetia illucens).

Lalat black soldier fly dewasa hanya memerlukan air untuk bertahan hidup dan

tidak tertarik pada habitasi atau makanan manusia, sehingga tidak terindikasi

sebagai agen penyebaran penyakit. Lalat betina dewasa umumnya beroviposisi

pada sampah organik baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun manusia.

Larva black soldier fly (Hermetia illucens) sangat bermanfaat dalam biokonversi

sampah organik dan menurunkan polusi lingkungan akibat kotoran hewan dan

manusia dalam waktu yang relatif singkat (Rachmawati, 2015).

Serangga ini berasal dari daerah tropis, subtropis dan beriklim sedang benua

Amerika dan selanjutnya tersebar ke wilayah subtropis dan tropis di dunia. Lalat

5
6

Black Soldier fly atau disingkat BSF (Hermatia illucens) merupakan jenis lalat

yang berbeda dengan jenis lalat rumah yang umumnya dikenal sifatnya pun

berbeda. Bentuk lalat ini menyerupai tawon dan lalat BSF tidak berbahaya

terhadap keselamatan dan kesehatan manusia. Maggot atau larva dari lalat

black soldier fly (Hermetia illicens) merupakan salah satu alternatif pakan yang

memenuhi persyaratan sebagai sumber protein. Bahan makanan yang

mengandung protein kasar lebih dari 19%, digolongkan sebagai bahan makanan

sumber protein. Maggot merupakan salah satu jenis pakan alami yang memiliki

protein tinggi. Maggot mengandung 41-42% protein kasar, 31- 35% ekstrak

eter, 14-15% abu, 4,8-5,1% kalsium, dan 0,6-0,63% fosfor dalam bentuk

kering. Larva lalat Black soldier dapat digunakan untuk mengkonversi limbah

seperti limbah industri pertanian, atau peternakan. Kandungan protein yang

dimiliki oleh maggot berkisar antara 41 – 42% disamping memiliki kandungan

protein yang cukup tinggi maggot juga memiliki efek yang baik untuk

meningkatkan daya tahan tubuh terhadap ikan (Andriani et al, 2020).

2. Taksonomi

Maggot BSF atau dalam nama ilmiah yaitu Hermetia illucens, Memiliki

klasifikasi taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Serangga

Ordo : Diptera

Famili : Stratiomyidae
Subfamili : Hermetiinae

Genus : Hermetia

Spesies : Hermetia illucens

Black Soldier Fly (BSF) lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan maggot

merupakan lalat asli dari benua Amerika dan sudah tersebar hampir di seluruh

dunia antara 45° LU - 40° LS. BSF juga ditemukan di Indonesia, tepatnya di

daerah Maluku dan Irian Jaya sebagai salah satu ekosistem alami BSF. Diptera

merupakan kelompok serangga yang memiliki kapasitas reproduksi terbesar,

siklus hidup tersingkat, kecepatan pertumbuhan yang tinggi, dan dapat

mengonsumsi pakan yang variatif dari jenis materi organik (Morales-Ramos dkk,

2014).

Famili Stratiomydae merupakan kelompok yang cukup besar dengan

sekitar 260 spesies yang telah dikenal di Amerika Utara. Famili ini tidak termasuk

golongan hama dan umumnya sering ditemukan di bunga-bungaan. Maggot

ditemukan hampir semua daerah beriklim tropis tersebar di seluruh dunia. Dewasa

berukuran sedang, tampak seperti lebah, dan hanya membutuhkan air

untukmempertahankan hidup, cadangan nutrisi untuk bereproduksi telah diperoleh

pada saat larva (Sunny, 2014).

3. Siklus Hidup

Black Solder Fly termasuk dalam ordo Diptera. Ordo ini memiliki 16

famili dan merupakan kelompok serangga yang mempunyai kapasitas reproduksi

terbesar. Selain itu, memiliki siklus hidup tersingkat, kecepatan pertumbuhan

yang tinggi serta dapat mengonsumsi pakan yang bervariasi. Lalat BSF berasal
8

dari telur yang mengalami metamorfosis. BSF mengalami lima tahapan pada

siklus hidupnya. Diawali dengan telur, kemudian telur menetas menjadi larva atau

maggot. Selanjutnya berkembang menjadi prepupa, tahap selanjutnya adalah

perubahan dari prepupa menjadi pupa dan pada akhirnya pupa akan menjadi lalat.

Siklus hidup Black Soldier Fly sangat dipengaruhi oleh faktor ligkungan seperti

suhu, intensitas cahaya, kelembapan udara (humadity), serta kualitas dan kuantitas

makanan (Hardini dan Gandhy, 2021).

Siklus hidup BSF berkisar antara beberapa minggu hingga beberapa bulan,

tergantung pada temperatur lingkungan, serta kualitas dan kuantitas makanan.

Siklus hidup BSF ini dari telur hingga menjadi lalat dewasa berlangsung sekitar

40-43 hari, tergantung dari kondisi lingkungan dan media pakan yang diberikan.

BSF berwarna hitam dan bagian segmen basal abdomennya berwarna transparan

sekilas terlihat menyerupai abdomen lebah. Panjang BSF antara 15-20 mm dan

mempunyai waktu hidup 5-8 hari. Siklus hidup lalat BSF memiliki lima fase;

yaitu fase dewasa, fase telur, fase prepupa, dan fase pupa (Kahar dkk, 2020).

Gambar 1.1 Siklus Hidup Black Soldier Fly


a. Fase Telur

Lalat BSF betina dapat menghasilkan 400-800 butir telur setelah proses

kawin selesai. BSF betina akan meletakkan telur pada celah-celah atau lokasi-

lokasi tersembunyi yang dianggap aman oleh lalat BSF betina, yaitu disekitar

bahan organik seperti kotoran hewan, sampah, maupun limbah organik lainnya.

Telur akan menetas menjadi maggot dalam waktu sekitar 3 hari. Telur berbentuk

oval dengan ukuran sekitar 1 mm dengan warna kuning atau putih.tingkat suhu

yang idela untuk telur BSF menetas 28oC-35oC, dan tingkat kelembapannya 60-

80% (Hardini dan Gandhy, 2021).

Induk lalat BSF betina meletakkan telurnya didekat sumber makanan,

dimana hal ini berbeda dengan lalat rumah yang selalu meletakkan telurnya di

dalam sumber makanan. Perilaku meletakkan telurnya secara tidak langsung

didalam sumber makanan ini mengindikasikan bahwa serangga ini bersifat

higienis karena tidak meletakkan telur didalam makanan manusia.induk BSF akan

meletakkan telur-telurnya secara bersama-sama dengan individu serangga lainnya.

Setelah indukan lalat BSF meletakkan telurnya, maka indukan betina tersebut

kemudian akan mati dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari (Fahmi, 2018).

Menurut Tomberlin dkk (2016) menyatakan bahwa jumlah telur

berbanding lurus dengan ukuran dari tubuh lalat dewasa. Lalat betina yang

memiliki ukuran tubuh lebih besar dengan ukuran sayap lebih lebar cenderung

lebih subur dibandingkan dengan lalat yang bertubuh dan sayap yang kecil.

Jumlah telur yang diproduksi oleh lalat berukuran tubuh besar lebih banyak

dibandingkan dengan lalat berukuran tubuh kecil. Selain itu, kelembaban juga
10

dilaporkan berpengaruh terhadap daya bertelur lalat BSF. Sekitar 80% lalat betina

bertelur pada kondisi kelembaban lebih dari 60% dan hanya 40% lalat betina yang

bertelur ketika kondisi kelembaban kurang dari 60%.

b. Fase Larva

Telur yang telah diletakkan oleh lalat BSF akan menetas setelah tiga hari

(berukuran 0,66 mm) dan akan mulai bergerak menuju sumber makanan. Maggot

yang baru menetas akan terlihat dipermukaan media yang membentuk seperti

kumpulan awan putih. Maggot yang telah berumur 3 hari akan mulai bergerak ke

dalam media pemeliharaan. Maggot BSF akan mencari tempat yang gelap dan

akan menjauhi cahaya kemudian akan masuk ke celah-celah media pemeliharaan.

Umur maggot mencapai 4-5 minggu, yaitu tergantung dengan suhu di lingkungan

pemeliharaan. Pada suhu 23oC akan menunjukkan bahwa maggot berukuran 20

mm dapat dicapai dengan jangka waktu 32 hari, pada suhu 32 oC maggot dengan

ukuran 20 mm ini akan diperoleh dengan kurung waktu dalam 20 hari. Hal ini

menunjukkan bahwa suhu sangat mempengaruhi pertumbuhan maggot BSF

(Fahmi, 2018).

Maggot BSF dapat berkembang secara optimal pada suhu 29,3 oC. Pada

saat ini maggot dapat mencapai ukuran lebar 6 mm dengan panjang 27 mm. Pada

umumnya maggot berwarna putih. Pada tahap ini dimana maggot sangat rakus dan

aktif dalam memakan makanan yang ada disekitarnya, dimana makanan ini akan

digunakan sebagai cadangan pada fase selanjutnya (Hardini dan Gandhy, 2021).

c. Fase Pre-Pupa
Pada fase prepupa, panjang rata-rata maggot BSF adalah 16-18 mm

dengan bobot antara 150-200 mikro gram. Prepupa terjadi pada saat umur 14-21
hari. Fase prepupa ditandai dengan warna maggot yang berubah dari putih

menjadi kecoklatan, selain itu ditandai dengan maggot yang sudah tidak aktif

untuk makan serta akan bermigrasi mencari tempat yang kering dan gelap untuk

memasuki fase pupa (Hardini dan Gandhy, 2021).

Pada fase prepupa maggot sudah tidak lagi mengalami proses moulting

(instar). Ketika memasuki fase prepupa, bobot tubuh maggot akan menjadi sedikit

berkurang. Pada tahap ini maggot BSF berada pada ukuran maksimum, dengan

bobot tubuh yang mulai berkurang serta timbunan lemak yang maksimal akan

menjadi cadangan makanan saat maggot memasuki fase metamorfosis. Bentuk

tubuh prepupa masih menyerupai serangga muda walaupun warna tubuhnya sudah

mulai menghitam (Fahmi, 2018).

d. Fase Pupa

Pupa atau pupasi merupakan bentuk maggot yang kulitnya sudah berubah

menjadi warna hitam. Pada masa pupa, maggot BSF akan mulai berhenti

melakukan aktivitas, termasuk aktivitas makan dan minum. Setelah berganti kulit

hingga instar yang keenam, maggot BSF akan memiliki kulit yang lebih keras

daripada kulit sebelumnya, yang disebut sebagai puparium dimana maggot mulai

memasuki fase pupa.Dimana fase ini biasa berlangsung selama 7-8 hari sampai

berubah bentuk menjadi imago atau lalat BSF cangkang dari pupa memiliki

tekstur yang kaku dan kerass, serta kaya akan kalsium (Hardini dan Gandhy,

2021).

Pada tahap pupa akan di capai pada hari ke-24 setelah menetas. Tahapan

pupa akan berlangsung selama 8 hari. Pada tahap ini, serangga akan
12

bermetamorfosis menjadi serangga dewasa. Karakter yang paling menonjol pada

tahap pupa ini adalah warna yang semakin gelap dan mulai memudar (tidak

berkilai), sudah tidak bergerak (kaku), dan salah satu ujung pupa menekuk.

Delapan hari kemudian atau pada hari ke-32, pupa akan mulai bermetamorfosis

menjadi serangga (imago) (Fahmi, 2018).

e. Fase Lalat Dewasa

Panjang tubuh BSF dewasa adalah antara 12-20 mm dengan rentang sayap

selebar 8-14 mm. BSF dewasa berwana hitam dengan kaki berwana putih pada

bagian bawah dan memiliki antena (terdiri dari tiga segmen) dengan panjang 2

(dua) kali panjang kepalanya. Antara BSF betina dan BSF jantan memiliki

tampilan yang tidak jauh berbeda, dengan ukuran tubuh BSF betina yang lebih

besar dan ukuran ruas kedua pada perutnya yang lebih kecil dibanding pada BSF

jantan. BSF dewasa berumur relatif pendek, yaitu 4 - 8 hari. BSF dewasa tidak

membutuhkan makanan, namun memanfaatkan cadangan energi dari lemak yang

tersimpan selama fase larva. Hal ini membuat lalat BSF tidak digolongkan sebagai

vektor penyakit. Lalat dewasa berperan hanya untuk proses reproduksi. BSF

dewasa mulai dapat kawin setelah berumur 2 hari (Alvarez, 2012).

Pada fase lalat dewasa ini dimana fokus utamanya untuk aktivitas

reproduksi. Meskipun lalat dewasa tidak memerlukan pakan sepanjang hidupnya,

tetapi pemberian air dan madu dilaporkan mampu memperpanjang lama hidup dan

meningkatkan produksi telur. Serangga BSF dewasa akan mengandalkan

cadangan lemak tubuh yang diperoleh saat masih pada fase larva. Proses

perkawinan serangga BSF 85% terjadi pada pagi hari, mulai pukul 8.30 dan akan
memuncak pada pukul 10.00 dengan intensitas cahaya sekitar 110 lux. Umumnya,

perkawinan terjadi di paparan sinar matahari langsung. Serangga dewasa kawin

dan beretlur pada suhu 24-40oC dengan kadar kelembapan relative 30-90oC

(Fahmi, 2018).

4. Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh individu pada waktu akan

memijah. Banyaknya telur yang dikeluarkan memiliki nilai yang bervariasi sesuai

dengan spesies. Jumlah telur yang dihasilkan merupakan hasil dari pemijahan

yang tingkat kelangsungan hidupnya di alam sampai menetas dan ukuran dewasa

sangat ditentukan oleh faktor lingkungan. Telur yang dihasilkan memiliki ukuran

yang bervariasi. Ukuran telur dapat dilihat dengan menghitung diameter telur.

Diameter telur merupakan garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur

dengan mikrometer yang berskala yang sudah ditera (Harlystiarini, 2017).

Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah telur berbanding lurus dengan ukuran

tubuh lalat dewasa. Lalat betina yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dengan

ukuran sayap lebih lebar cenderung lebih subur dibandingkan dengan lalat yang

bertubuh dan sayap yang kecil (Gobbi et al., 2016). Jumlah telur yang diproduksi

oleh lalat berukuran tubuh besar lebih banyak dibandingkan dengan lalat

berukuran tubuh kecil. Selain itu, kelembaban juga dilaporkan berpengaruh

terhadap daya bertelur lalat BSF. Sekitar 80% lalat betina bertelur pada kondisi

kelembaban lebih dari 60% dan hanya 40% lalat betina yang bertelur ketika

kondisi kelembaban kurang dari 60% (Tomberlin, 2016).


14

Aktivitas kawin BSF umumnya terjadi pada pukul 08.30 dan mencapai

puncaknya pada pukul 10.00 di lokasi yang penuh tanaman (vegetasi) ketika suhu

lingkungan mencapai 27°C. Saat melakukan aktivitas kawin, lalat jantan akan

memberikan sinyal ke lalat betina untuk datang ke lokasi yang telah ditentukan

oleh pejantan. Perkawinan BSF terjadi di tanah atau di daerah yang penuh dengan

vegetasi. Namun, ada juga laporan yang menyebutkan bahwa perkawinan dapat

juga terjadi di udara. Kondisi ruang udara yang cukup dan kepadatan jumlah lalat

merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan aktivitas kawin BSF.

Intensitas cahaya dan suhu sangat berpengaruh terhadap kesuksesan aktivitas

kawin lalat BSF. Umumnya lalat dewasa membutuhkan penerangan yang tinggi

tetapi masih di bawah intensitas sinar matahari. Oleh karena itu, untuk memicu

terjadinya aktivitas kawin BSF diperlukan penerangan buatan apabila lingkungan

dalam keadaan mendung atau penerangan kurang (Wardhana, 2016).

5. Viabilitas

Viabilitas merupakan kelangsungan hidup atau mati. Viabilitas telur diukur

dari parameter perkembangan awal hingga penetasan. Dalam waktu dua sampai

empat hari, telur akan menetas menjadi larva dan berkembang dalam waktu 22-24

hari dengan rata-rata 18 hari (Barros-Cordeiro et al. 2016). Ditinjau dari

ukurannya, larva yang baru menetas dari telur berukuran kurang lebih 2 mm,

kemudian berkembang hingga 5 mm. Setelah terjadi pergantian kulit, larva

berkembang dan tumbuh lebih besar dengan panjang tubuh mencapai 20-25 mm,

kemudian masuk ke tahap prepupa. Larva betina yang berada di dalam media

lebih lama akan memiliki bobot yang lebih berat dibandingkan dengan larva
jantan. Secara alami, prepupa akan meninggalkan media pakannya ke tempat yang

kering, kemudian membuat terowongan untuk menghindari predator. Bobot pupa

betina rata-rata 13% lebih berat dibandingkan dengan bobot pupa jantan. Setelah

14 hari, pupa berkembang menjadi lalat dewasa (imago) (Wardhana, 2016)

B. Kerangka Pikir

Permasalahan sampah organik dapat diatasi dengan bantuan serangga

pengurai sampah organik, lalat tentara hitam. Sampah organik dapat diurai dengan

cepat tanpa menimbulkan bau oleh lalat tentara hitam. Perbedaan pakan bisa

berpengaruh terhadap proses perkembangan maggot BSF dan kandungan

proteinnya.Sehingga diperlukan perumusan yang tepat dalam pemberian pakan

terhadap maggot BSF. Keberhasilan produksi dan kualitas larva sangat ditentukan

oleh media tumbuh. Kandungan nutisi media pakan merupakan faktor penting

terhadap pertumbuhan dan perkembangan maggot hermetia illucens yang

dikarenakan semua kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh maggot harus tersedia

pada media pakan, sehingga proses pertumbuhan dan produksi maggot menjadi

optimal yang ditunjang dari kualitas dan kuantitas media pakan.

Pertumbuhan dan perkembangan lalat tentara hitam melalui metamorfosis

sempurna mulai dari telur, larva, prepupa, pupa, dan imago. Berdasarkan

pemahaman tersebut, maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut :

Maggot

Aplikasi pada media


perlakuan
16

Pupa

Lalat Dewasa

Fekunditas dan Viabilitas

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

C. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka berfikir maka hipotesis dalam

penelitian ini yaitu perbandingan formulasi pakan terhadap fekunditas dan

viabilitas
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental yang bertujuan

untuk mengetahui pengaruh formulasi pakan terhadap fekunditas induk dan

viabilitas telur BSF.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2022 sampai dengan

Maret 2022. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Biologi dan di

Kebun Percobaan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Negeri Makassar.

C. Satuan Eksperimen dan Perlakuan

Satuan eksperimen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah larva

umur 7 hari dengan perlakuan yang digunakan yaitu 30%, 40%, dan 50%.

D. Rancangan Penelitian

Tiap perlakuan menggunakan 400 larva kemudian pada saat umur 17

hari, 30 ekor diambil setiap perlakuan untuk dijadikan imago. Rancangan

penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

18
19

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian

Perl Ulangan

aku

an

1 2

A A A

B 1 2

C B B

1 2

C C

1 3

Keterangan :

A : Perlakuan 30% (140 gram bungkil singkong, 60 gram jeroan ikan)

B : Perlakuan 40% (120 gram bungkil singkonng, 80 gram jeroan ikan)

C : Perlakuan 50% (100 gram bungkil singkong, 100 gram jeroan ikan)

A1: 2 cm kuran potongan jeroan ikan

A2 : 3 cm ukuran potongan jeroan ikan

B1 : 2 cm ukuran potongan jeroan ikan

B2 : 3 cm ukuran potongan jeroan ikan

C1 : 2 cm ukuran potongan jeroan ikan

C2 : 3 cm ukuran potongan jeroan ikan


20

E. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak plastik,

toples plastik, sendok plastik, bio ball, kain, karet,talang, gunting,

timbangan, penggaris, kertas, tutup botol.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah maggot, lalat

BSF, jeroan ikan, bungkil singkong, air, daun kering.

F. Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian melalui beberapa tahapan yaitu tahapan penyiapan

alat dan bahan, analisis pengolahan limbah ikan dan bungkil singkong oleh

Hermetia illucens dan perkembangan imago. Adapun rincian tahapan-tahapan

observasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pembuatan media

Media yang digunakan pada penelitian ini adalah jeroan ikan dan bungkil

singkong. Jeroan ikan diambil dari tempat pelelangan ikan yang biasanya

masih baru dan belum di hinggapi oleh lalat hijau. Pada penelitian ini,

digunakan ukuran untuk jeroan ikan yaitu ukuran 2 cm dan 3 cm sebagai

perbandingan. Bungkil singkong yang digunakan diambil dari pabrik PT.

Mayora. Pada penelitian ini digunakan perbandingan jumlah bungkil

singkong yang digunakan yaitu 100 gram, 120 gram, dan 140 gram.

2. Aplikasi larva pada media


Pada pengaplikasian larva pada media setelah jeroan ikan dan bungkil

singkong di ukur dan dan ditimbang sesuai perbandingan yang diberikan

yaitu pada media 30%, 40%, dan 50% lalu larva atau maggot di tabur ke

media sebanyak 400 ekor.

3. Pengambilan Pupa

Larva yang telah berumur 17 hari dan sudah mulai berwarna coklat

kehitaman di ambil atau dipisahkan sebanyak 30 ekor dari setiap perlakuan

untuk dikembangkan menjadi pupa untuk tahap imago selanjutnya.

4. Perkembangan imago

Setelah dari fase pupa di ambil sepasang pupa jantan dan betina lalu di

masukkan kedalam toples plastik yang telah diberi label sesuai perlakuan untuk

dikembangkan hingga kawin dan menghasilkan telur.

5. Fekunditas dan Viabilitas

Untuk mengamati fekunditas dengan menimbang telur yang dihasilkan

oleh lalat betina dan untuk pengamatan viabilitas, telur yang dihasilkan di

tunggu hingga menetas beberapa hari kemudian di hitung jumlah telur tersebut.

G. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini berupa Perbandingan formulasi pakan untuk

mengukur fekunditas dan viabilitas telur BSF. Data diperoleh dengan cara

mengukur fekunditas dan viabilitas dari setiap lalat dewasa yang

dikembangkan dengan pelakuan yang berbeda.


22

H. Teknik Analisis Data

Analisis data yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh formulasi

pakan terhadap fekunditas induk dan viabilitas telur BSF dilakukan dengan

menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solutions)


DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, L. 2012. A Dissertation: The Role of Black Soldier Fly, Hermetia


illucens (L.) (Diptera: Stratiomyidae) ni Sustainable Management in
Northern Climates. University of Windsor. Ontario. Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi.

Andriani, R., Muchdar, F., Juharni, J., Samadan, G. M., Abjan, K., & Margono,
M. T. (2020). Teknik Kultur Maggot (Hermetia illucens) pada Kelompok
Budidaya Ikan di Kelurahan Kastela. Altifani Journal: International
Journal of Community Engagement, 1(1)
Barros-Cordeiro KB, Nair Báo S, Pujol-Luz JR. 2016. Intrapuparial development
of the Black Soldier Fly, Hermetia illucens. J Insect Sci. 14(1)
Fahmi, M. R., S. Hem dan I. W. Subamia. 2018. Potensi Maggot Sebagai Sumber
Protein Alternatif. Prosiding Nasional Perikanan II, Loka Riset Budidaya
Ikan Hias Air Tawar. 125-130.

Gobbi, P., A. Martinez-Sanchez, dan S. Rojo, 2016. The Effects of Larval Diet on
Adult Life-History Traits of The Black Soldier Fly, Hermetia Illucens
(Diptera: Stratiomyidae). Eur J Entomol. 110

Harlystiarini. 2017. Pemanfaatan Tepung Larva Black Soldier Fly (Hermetia


illucens) sebagai Sumber Protein Pengganti Tepung Ikan pada Ransum
Puyuh Petelur (Cortunix cortunix japonica). Ilmu Nutrisi dan Pakan :
Institut Pertanian Bogor.

Hardini, S.Y.P. dan Gandhy, A. Budidaya Lele Menggunakan Pakan Tambahan


Maggot. Malang: Ahlimedia Press.

Jintasataporn, O. 2017. Production performance of broiler chickens fed with


silkworm pupa (Bombyx mori). Journal of Agricultural Science and
Technology. 2: 505-510.

Kahar., Busyairi., sariyadi., Hermanto., Ristanti. 2020. Bioconversion of


Munipical Organic Waste Using Black Soldier Fly Larvae Into Compost.
Konversi. Vol. 9. No. 2

Morales-Ramos JA, Rojas MG, Shapiro-Ilan DI. 2014. Mass Production of


Beneficial Organism Invertebrates and Enthomopathogens. Cambridge
(US): Academic Press

Pangestu, Widya., Agus Prasetya., Rochim Bakti. 2017. Pengolahan Limbah Kulit
Pisang dan Nangka Muda Menggunakan Larva Black Soldier Fly
(Hermetia Illucens). Jurnal. Magister Teknik Sistem. Vol. 8. No.1

22
Rachmawati, Buchori D, Hidayat P, Hem S, Fahmi MR. 2015. Perkembangan dan
kandungan nutrisi larva Hermetia illucens (Linnaeus) (Diptera:
Startiomyidae) pada bungkil kelapa sawit. J Entomol Indones. 7:28- 41.
Suciati, R dan H. Faruq. 2017. Efektifitas Media Pertumbuhan Maggots Hermetia
Illucens (Lalat Tentara Hitam) Sebagai Solusi Pemanfaatan Sampah
Organik. Jurnal Biologi Dan Pendidikan Biologi.1(2)

Sunny, Wangko. 2014. Hermita illucens Aspek Forensik kesehatan dan ekonomi.
Jurnal Biomedik(JMD), Vol. 6, No. 1

Tomberlin JK, Sheppard DC. 2016. Factors influencing mating and oviposition of
Black Soldier Flies (Diptera: Stratiomyidae) in a colony. J Entolomogy Sci.
37:345-352.

Veldkamp TG, Van Duinkerken A, Van Huis A, Lakemond CMM, Ottevanger E,


Bosch G, Van Boekel. 2012. Insects as a suistanable feed ingredient in pig
and poultry diets-a feasibility study. Wageningen (Netherlands):
Wageningen UR Livestock Research.

Wardhana, A. H. 2016. Black Soldier Fly (Hermetia Illucens) Sebagai Sumber


Protein Alternatif Untuk Pakan Ternak. Wartazoa. 26(2).

Yuwono, A.S dan Mentari. P.D. 2018. Penggunaan Larva (Maggot) Black soldier
Fly (BSF) Dalam Pengolahan Limbah Organik. Bogor: Seameo Biotrop

Anda mungkin juga menyukai