Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL PENELITIAN

EFEKTIVITAS PEMAKAIAN PENGAWET ASAM SITRAT DAN


NATRIUM KLORIDA PADA RENDAMAN DAUN PACAR KUKU
TERHADAP KUALITAS SEDIAAN TELUR CACING
SOIL TRANSMITED HELMINTHS

Oleh :
FITRI LARA SINTIA
NIM : 1813353017

PROGRAM STUDI
SARJANA TERAPAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Proposal : Efektivitas Pemakaian Pengawet Asam Sitrat dan


Natrium Kloria Pada Rendaman Daun Pacar Kuku
Terhadap Kualitas Sediaan Telur Cacing Soil
Transmitted Helminth
Nama Mahasiswa : Fitri Lara Sintia
NIM ; 1813353017

Proposal ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan dihadapan dalam ujian
Proposal Skripsi, yang merupakan salah satu syarat menyelesaikan Pendidikan
Sarjana Terapan Teknologi Laboratorium Medis pada Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Perintis Indonesia.

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Suraini, M.Si


NIDN : 1020116503
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing golongan nematoda usus

yang penularannya melalui tanah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan

tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

menjadi infektif (Natadisastra, 2009). Berdasarkan data dari World Heath

Organization (WHO) tahun 2014, Spesies cacing yang sering menyebabkan infeksi

pada manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus

dan Ancylostoma duodenale.

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah


kesehatan masyarakat dan berhubungan erat dengan kondisi lingkungan. Penyebaran
kecacingan ini melalui kontaminasi tanah oleh tinja yang mengandung telur cacing.
Telur tumbuh dalam tanah, dengan suhu optimal ± 30° C. lnfeksi cacing terjadi bila
telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang
tercemar atau melalui tangan yang kotor (Permenkes, 2017)

Infeksi cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang sangat erat dengan
kebiasaan defekasi (buang air besar/BAB) sembarangan, tidak mencuci tangan
sebelum makan serta anak-anak yang bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki
dan kebiasaan memakan tanah (geophagia). Kebiasaan BAB sembarangan
menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing.

Populasi yang sering terkenak penyakit kecacingan yaitu golongan orang yang
kurang mampu, pekerjaan yang berhubungan tanah sebagai bahan baku utamanya.
Masyarakat yang seringkali berhubungan dengan tanah, antara lain; anak usia sekolah
dasar (7-12 tahun), petani, nelayan, pekerja perkebunan, dan pekerja pertambagan
(Kemenkes, 2009).

Dalam indentifikasi infeksi cacing perlu adanya pemeriksaan, baik dalam


keadaan cacing yang masih hidup atau yang telah di pulas. Cacing akan diperiksa
tergantung dari jenis parasitnya. Pemeriksaan telur cacing Nematoda Usus yang
paling sederhana adalah Metode Natif menggunakan reagen Eosin 2%.
Metode sediaan langsung menggunakan Eosin merupakan bahan kimia yang
sering digunakan untuk pemerikaan feses, dan sisa dari pewarnaan bisa mencemari
lingkungan,Oleh sebab itu dibutuhkan pewarnaan alternatif yang berfungsi sama
tetapi memungkinkan untuk melihat morfologi telur cacing dan memiliki sifat
pewarna seperti Eosin. Ada beberapa tumbuh tumbuhan dapat digunakan sebagai
alternatif pewarnaan alami yaitu daun pacar kuku atau (Lawsonia inermis l.).
Tumbuhan pacar kuku atau (Lawsonia inermis l.) adalah tumbuhan berbunga
dari spesies tunggal genus Lawsonia dari family Lythraceae (Arun eta.,2010).
Tumbuhan daun pacar kuku ini memiliki batang perdu dan daunnya ini sering
dimanfaatkan sebagai pewarna kuku dan hiasan kulit pengantin wanita diacara
pernikahan. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli tropis dan subtropis (Lasmin,
2016).
Pacar kuku(Lawsonia inermis l.) adalah tumbuhan belukar mempunyai
cabang- cabang kecil berduri dengan ukuran tinggi 2 sampai 6 meter, memiliki daun
yang lonjong saling berhadapan, bertangkai pendek dengan ukutan antara 1,5- 5,0
cm x 0.2-2 cm dan memiliki urat pada permukaan belakangnya. Pohon pacar
kuku (Lawsonia inermis l.) ketingiannya dapat mencapai 8 sampai 10 kaki dan biasa
digunakan untuk pagar, memiliki subtansi zat warna yang bervariasi mulai dari
merah, kuning tua, coklat, kemerahan sampai coklat dan tanaman perdu ini juga
banyak ditanam sebagai tanaman hias (Nawangsari, 2006).
Penelitian dengan menggunakan bahan alami telah dikembangkan oleh Oktari
dan Ahmad tahun 2017 dari air perasan buah merah (Pandanus. sp) sebagai
pewarnaan alternatif pada pemeriksaan telur cacing. Hasil penelitian menunjukan
bahwa konsentrasi perbandingan air perasahan buah merah dan aquadest (1:2) dapat
dijadikan alternatif penganti reagen Eosin 2% untuk mewarnai telur cacing.
Sedangkan untuk pemanfaatan daun pacar kuku (Lawsonia inermis l.) sebagai
alternatif pewarnaan belum ada dilaporkan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti telah
melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Kualitas Sediaan Telur Cacing Soil
Transmitted Helminth antara pewarnaan alternatif Daun Pacar Kuku (Lawsonia
inermis l. )dengan pewarnaan eosin sebagai kontrol”.
Asam sitrat merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan
buah tumbuhan genus sitrus (jeruk-jerukan). Senyawa ini merupakan bahan pengawet
yang baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa asam pada makanan
dan minuman ringan. Dalam biokimia, asam sitrat dikenal sebagai senyawa antara
dalam siklus asam sitrat, yang penting dalam metabolisme makhluk hidup. Asam
sitrat dapat juga digunakan sebagai zat pembersih yang ramah lingkungan dan
sebagai antioksidan. Asam sitrat terdapat pada berbagai jenis buah dan sayuran,
namun ditemukan pada konsentrasi yang tinggi, yang dapat mencapai 8% bobot
kering pada jeruk, lemon, dan limau (Harsanti, 2016)
Demikian pula, asam sitrat digunakan untuk memulihkan bahan penukar ion
yang digunakan pada alat 3 penghilang kesadahan dengan menghilangkan ion - ion
logam yang terakumulasi pada bahan penukar ion tersebut sebagai kompleks sitrat
(Dalimunthe, 2016).
Natrium klorida atau juga dikenal sebagai sodium klorida adalah unsur
elektrolit yang memiliki fungsi mengontrol kadar air yang ada dalam tubuh. NaCl
atau natrium klorida merupakan nama kimia dari garam.Natrium klorida juga tersedia
dalam sediaan obat medis yang digunakan untuk mencegah serta mengatasi masalah
kehilangan sodium dalam darah yang disebabkan oleh kekurangan jaringan tubuh
(dehidrasi) dan juga keringat berlebih (Harsanti, 2016).
1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada efektivitas pemakaian pengawet asam sitrat dan natrium klorida
pada rendaman daun pacar kuku terhadap kualitas sediaan telur cacing Soil
Transmitted Helminths.
1.3 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh efektivitas pemakaian pengawet asam sitrat dan
natrium klorida pada rendaman daun pacar kuku terhadap kualita sediaan telur cacing
Soil Transmitted Helminths.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui hasil setelah pemakaian pengawet asam sitrat dan natrium
klorida pada rendaman daun pacar kuku (Lawsonia inermis L).
b. Untuk mengetahui pengawet apa yang bagus untuk daun pacar kuku
(Lawsonia inermis L).

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan serta pengalaman dalam
pengembangan mata kuliah Parasitologi mengenai pengawetan pada perasan daun
pacar kuku (Lawsonia inermis L.) pengawet yang paling baik digunakan untuk daun
pacar kuku ini.
1.4.2 Bagi Institusi pendidikan
Sebagai bahan tambahan referensi bagi akademik dan informasi mengenai
pemakaian pengawet asam sitrat dan natrium klorida pada perasan daun pacar kuku
(Lawsonia inermis L.)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil Transmitted Helminths


2.1.1 Definisi dan Epidemiologi

Soil Transmiteed Helminths adalah cacing golongan nematode yang


memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infeksinya. Di Indonesia golongan
cacing yang menyebabkan masalah kesehatan masyarakat adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang yaitu : Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Masalah kesehatan yang di timbulkan akibat kecacingan
adalah anemia, obstruksi saluran empedu, radang pancreas, usus buntu, alergi, dan
diare, penurunan fungsi kognitif (kecerdasan), kurang gizi, gangguan pertumbuhan,
dan radang paru-paru (Widjaja et al, 2014).

Infeksi cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang sangat erat dengan
kebiasaan defekasi (buang air besar/BAB) sembarangan, tidak mencuci tangan
sebelum makan serta anak-anak yang bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki
dan kebiasaan memakan tanah (geophagia). Kebiasaan BAB sembarangan
menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing. Pada umumnya telur cacing bertahan
pada tanah yang lembab dan kemudian berkembang menjadi telur infektif. Telur
cacing infektif yang ada di tanah dapat tertelan masuk ke dalam pencernaan manusia
bila tidak mencuci tangan sebelum makan dan infeksi cacingan juga dapat terjadi
melalui larva cacing yang menembus kulit. Kepadatan telur cacing dapat ditentukan
dengan menggunakan metode kato katz dimana hal ini digunakan untuk mengetahui
berat ringannya infeksi kecacingan (Permenkes, 2017).
2.1.2 Etiologi
Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah cacing yang penularannya
dengan perantaraan tanah atau yang biasa disebut Soil Transmited Helminths (STH).
Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat kecacingan adalah anemia, obstruksi
saluran empedu, radang pankreas, usus buntu, alergi, dan diare, penurunan fungsi
kognitif (kecerdasan), Mal Nutrisi (kurang gizi), gangguan pertumbuhan, dan radang
paru-paru. Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan memakan sayuran dalam
bentuk lalapan untuk campuran makanan lain. Sayuran adalah salah satu bahan
makanan yang merupakan sumber vitamin, mineral bagi tubuh manusia. Tetapi
kebiasaan konsumsi sayuran mentah perlu hati-hati terutama jika dalam pencucian
kurang baik sehingga kemungkinan masih terdapat telur cacing pada sayuran tersebut.
Sebelum dimakan sayuran dicuci, kemudian dimasak lebih dahulu agar bakteri dan
parasit yang membahayakan kesehatan mati. Selama sayuran dimasak dengan panas
yang cukup tidak ada masalah. Kebiasaan makan sayuran mentah ini, sudah menjadi
kebiasan masyarakat di Indonesia sehingga kelihatannya sulit diubah. Prevalensi
cacing usus di beberapa tempat di Indonesia mencapai 80%, umumnya ditularkan
melalui makanan/minuman atau melalui kulit. Beberapa jenis sayuran yang biasa
dimakan mentah atau sering dijadikan lalapan antara lain: kacang panjang, kubis,
tomat dan kemangi. Walaupun jenis sayuran seperti ini dicuci sebelum dimakan,
kemungkinan pencemaran parasit masih tetap ada sebelum dimakan. Kemangi
sebagai lalapan banyak disajikan pada penjual makanan pedagang kaki lima seperti
penjual pecel lele, burung dara goreng, bebek goreng, ayam goreng dan ikan bakar
(Widjaja et al, 2014).
2.1.3 Patogenesis
Umumnya penyakit parasite akan berkembang menjadi penyakit yang
menahun atau kronis yang dapat menunjukan gejala atau keluhan ringan, oleh karna
itu diperlukan pengobatan yang efektif untuk mencegah penyakit terus berkembang
(Soedarto, 2016). Menurut Depkes, 2010. kerugian akibat kecacingan tidak terlihat
secara langsung. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, berat bayi lahir rendah,
gangguan ibu bersalin, lemas, mengantuk, malas belajar, IQ menurun, prestasi dan
produktifitas menurun.
2.1.4 Diagnosis Kecacingan
Perjalanan penyakit oleh parasit sering kali bersifat umum karena gejala dan
keluhan yang ditimbulkan mirip satu dengan yang lainnya, sehingga hanya dengan
gejala klinik saja sukar dijadikan pegangan menentukan jenis parasite yang menjadi
penyebab utama, dalam hal ini diperlukan pemeriksaan labaratorium untuk
menetapkan diagnosis pasti jenis parasite dan penyebab infeksi parasite (Soedarto,
2016).

2.2 Jenis-Jenis Soil Transmitted Helminths


2.2.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Ascaris lumbricoides adalah salah satu penyebab kecacingan pada manusia
yang disebut penyakit Aska riasis. Cacing dewasa mempunyai ukuran paling besar
diantara nematoda usus yang lain, bentuknya silinder dengan ujung yang meruncing.
Bagian anterior dilengkapi oleh tiga bibir yang tumbuh dengan sempurna
(Onggowaluyo, 2002). Menurut Putra, 2010. Cacing betina dewasa mempunyai
bentuk tubuh posterior yang membulat (conical), berwarna putih kemerah-merahan
dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina 24 mempunyai panjang
22-35 cm dan memiliki lebar 3-6 mm. sementara cacing jantan dewasa mempunyai
ukuran lebih kecil, dengan panjang 12-13 cm dan lebar 2-4 mm, juga mempunyai
warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung ke
arah ventral. kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau
dipanjangkan untuk memasukan makanan.

Infeksi Askariasis dapat terjadi melalu beberapa cara, yaitu telur infektifmasuk mulut
bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan yang kotor karna
tercemar tanah yang mengandung telur infektif, atau telur infektif terhirup melalui
udara bersama debu. Jika telur infektif masuk melalui saluran pernafasan, telur akan
menetas di mukosa jalan napas bagian atas, larva langsung menembus pembulu darah
dan beredar bersama aliran darah (Soedarto, 2016).

Gambar 2.2 : Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) (CDC,2009)

a. Morfologi Telur Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) memiliki 2 jenis telur, yaitu telur yang
sudah dibuahi dan telur yang belum dibuahi. Telur yang sudah dibuahi berbentuk
lonjong, berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron, mempunyai kulit telur yang tidak
berwarna. Kulit telur bagian luar tertutup oleh lapisan albumin yang permukaannya
berigi dan berwarna coklat. Sedangkan dibagian dalam kulit 25 telur terdapat
selubung vitelin yang tipis tetapi kuat sehingga telur cacing Ascaris lumbricoides
dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah. Telur yang telah dibuahi
mengandung sel ovum yang bersegmen, sedangkan kedua kutub telur terdapat rongga
udara yang tampak sebagai daerah yang terang seperti bulan sabit (Soedarto, 2016).
Telur yang tidak dibuahi dapat ditemukan jika di dalam usus penderita hanya terdapat
cacing betina saja. Telur yang tak dibuahi bentuknya lebih lonjong dan lebih panjang
dari ukuran telur yang sudah dibuahi sekitar 80 x 55 mikron, tidak mempunyai
rongga udara dikedua kutubnya (Soedarto, 2016).
Gambar 2.2 Telus Acaris Lumbricoides (Nadhiasari, 2014)

a. Siklus Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Gambar 2.3 : Siklus Hidup Cacing Gelang Ascaris lumbricoides (Putra,


2010)

Siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides mempunyai masa yang cukup


panjang, 2 bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan 3-
4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian, stadium ini
merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan
diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yang
bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap
hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Di daerah hiperendemik, anak-anak
terkena infeksi secara terus menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain
menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan
dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-mana,
menyebar melalui tanah, air ataupun melalui binatang. Maka apabila makanan atau
minumanyang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus
hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Larva cacing
ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun
melalui kontak langsung dengan kulit (Putra, 2010).
b. Patogenesis Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Akibat beredarnya cacing dewasa di dalam usus dan beredarnya larva cacing
didalam darah, akan terjadi perubahan patologis pada jaringan organ penderita. Larva
cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia pada penderita
dengan gejala klinis demam, batuk, sesak dan dahak yang berdarah (Soedarto, 2016).
Jika terjadi infeksi Askariasis yang berat, terutama pada anakanak dapat terjadi
gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga 27 penderita akan mengalami
gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kekurangan gizi (Soedarto, 2016).
Sejumlah besar cacing Ascaris lumbricoides dewasa yang terdapat di dalam
lumen usus juga dapat menimbulkan berbagai akibat mekanis, yaitu terjadinya
sumbatan atau obstruksi usus dan intususpensi. Cacing dewasa juga dapat
menimbulkan perforasi ulkus yang ada di usus (Soedarto, 2016).
2.2.2 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) dewasa
hidup didalam usus halus, terutama di jejunum dan duodenum dengan cara menggigit
membran mukosa menggunakan giginya, dan menghisap darah yang keluar dari luka
gigitan (Soedarto, 2016). Cacing tambang dewasa berbentuk silinder dengan warna
putih keabuan. Ukuran panjang betina antara 9 sampai 13 mm, sedangkan cacing
jantan berukuran panjang antara 5 sampai 11 mm (soedarto, 2016). Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale dewasa dapat dibedakan morfologinya
bedasarkan bentuk tubuh, rongga mulut, dan bentuk bursa kopulatriksnya. Dengan
pemeriksaan mikroskopis atas tinja, bentuk telur berbagai cacing tambang sukar
dibedakan (Soedarto, 2016).
a. Ancylostoma duodenale

Tubuh cacing Ancylostoma duodenale dewasa menyerupai huruf C. Rongga


mulutnya memliliki dua pasang gigi dan satu pasang tonjolan (Soedarto, 2016)

Gambar 2.4 : Bentuk cacing Ancylostoma duodenale (Nadhiasari, 2014)


b. Necator americanus
Ukuran tubuh Necator americanus dewasa lebih kecil dan lebih langsing
dibandingkan badan Ancylostoma duodenale. Tubuh bagiaan anterior cacing
melengkung berlawanan dengan lengkungan bagian tubuh lainya sehingga bentuk
tubuh menyerupai huruf S. Di bagian rongga mulut terdapat 2 pasang alat pemotong,
sedangkan Ancylostoma duodenale betina tidak memiliki pemotong (Soedarto, 2016).

Gambar 2.5 : Tubuh Cacing Necator americanus (Sungkar, 2010)


c. Morfologi Telur Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)
Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop cahaya bentuk telur berbagai
spesies cacing tambang mirip antara satu dengan yang lainya, sehingga sulit untuk
dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk lonjong, tidak berwarna, berukuran
sekitar 65x40 mikron. Telur cacing tambang yang berdinding tipis dan tembus sinar
ini mengandng embrio yang mempunyai empat blastomer (Soedarto, 2016).

Gambar 2.6 : Telur Cacing Tambang (Budiman, 2012)

d. Siklus Hidup Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma


duodenale)
Siklus hidup cacing tambang dimulai dari larva filariform menembus kulit
manusia, kemudian masuk ke kapiler darah berturut turut menuju ke jantung kanan,
paru-paru, bronkus, trakea, laring, dan terakhir kedalam usus halus sampai dewasa
(Onggowaluyo, 2000). Telur – Larva Rhabditiform – Larva Filariform – Menembus
Kulit – Kapiler Darah – Jantung Kanan – Paru – Bronkus – Trakea – Laring – Usus
Halus (Srisasi, 2006).
Gambar 2.7 : Siklus Hidup Cacing Tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale (CDC, 2009)
Keterangan :
1. Telur dikeluarkan oleh hospes bersama tinja
2. Setelah menetas dalam waktu 1-1.5 hari menjadi larva rhabditiform
3. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform
. 4. Larva filariform dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Larva filarform dapat
menembus kulit menginfeksi manusia.
e. Patogenesis Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)
Cacing tambang dewasa maupun larva cacing filriform dan larva yang
mengadakan lung migration dapat menimbulkan perubahan patologis pada jaringan
organ penderita. Cacing tambang yang berada di dalam usus terus menerus
menghisap darah penderita. Seekor cacing tambang dewasa dapat menyebabkan
hilangnya darah penderita sampai 0.1 cc per hari (Soedarto, 2016).

Pada larva filariform yang menembus kulit penderita, akan menimbulkan


dermatitis dengan gatal-gatal yang hebat sedangkan larva cacing tambang yang
beredar di dalam pembuluh darah akan menimbulkan bronkitis dan reaksi alergi
ringan (Soedarto, 2016). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh cacing tambang 31
dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, keadaan ini akibat dinding jaringan usus
terluka oleh gigitan cacing dewasa (Onggowaluyo, 2000).
2.2.3 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) mempunyai bentuk badan mirip
cambuk, sehingga cacing ini sering disebut sebagai cacing cambuk. Infeksi dengan
Trichuris trichiura disebut Trikuriasis. Cacing cambuk tersebar luas didaerah tropis
yang memiliki suhu panas dan lembab dan hanya dapat ditularkan dari manusia ke
manusia, Trichuris trichiura tidak golongan parasit zoonosis (Soedarto, 2016).
Bentuk tubuh cacing dewasa sangat khas, mirip cambuk, dengan tiga per lima
panjang tubuh dengan anterior berbentuk ramping seperti tali cambuk, sedangkan dua
per lima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk. Panjang cacing
jantan sekitar 4 cm sedangkan panjang cacing betina sekitar 5cm. Ekor cacing jantan
melengkung ke arah ventral, mempunyai satu spikulum retraktil yang berselubung.
Badan bagiam kaudal cacing betina membulat, tumpul berbentuk sepeti koma
(Soedarto, 2016).

Gambar 2.8 : Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) (Sungkar, 2010)

a. Morfologi Telur Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)


Bentuk telur Trichuris trichiura memiliki ciri-ciri yang khas, mirip biji melon
yang berwarna cokelat, berukuran sekitar 50x25 mikron dan mempunyai dua kutub
jernih yang menonjol (Soedarto, 2016).
Gambar 2.9 : Telur Cacing Trichuris trichiura (Nadhiasari, 2014)

b. Siklus Hidup Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Telur cacing ini mengalami pematangan dan menjadi infektif di tanah dalam
waktu 3-4 minggu. Jika manusia tertelan telur cacing infektif, maka di dalam usus
halus dinding telur pecah dan larva keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi
cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan dari masuknya telur infektif ke dalam mulut,
cacing telah menjadi dewasa dan cacing betina sudah mampu bertelur. Trichuris
trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia
(Soedarto, 2016).

Gambar 2.10 : Siklus Hidup Trichuris trichiura (Budiman, 2012)


c. Patogenesis Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Infeksi cacing cambuk dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis yang
gejala-gejala kliniknya menyerupai inflamatory bowel syndrome seperti rasa nyeri di
abdomen yang kronik, diare dan anemia (Suriptiastuti, 2006).

2.3 Pewarnaan pada telur cacing

2.3.1 Pewarnaan Eosin


Eosin adalah larutan yang sering digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik
sebagai usaha mencari protozoa dan telur cacing serta digunakan sebagai bahan
pengencer tinja (Gandasoebatra, 2007).
Telur cacing akan tampak lebih jelas apabila diberikan warna pada tinja
dengan menggunakan Eosin sebagai pengganti larutan NaCl fisiologis. Eosin yang
digunakan adalah Eosin. Eosin diperoleh dengan mencampurkan 2 gr Eosin bluish
dalam 100 ml sodium sitrat 2,9% atau aquades (Arifiyantini dkk, 2016).
Reagen yang digunakan dalam pemeriksaan telur cacing STH selama ini
dengan menggunakan reagen Eosin 2%. Reagen ini bersifat asam dan berwarna
merah jingga. Pewarnaan Eosin 2% dimaksudkan agar telur cacing dapat dengan jelas
dibedakan dengan kotoran disekitarnya. Eosin 2% juga memberikan latar belakang
merah terhadap telur yang berwarna kekuning-kuningan dan memisahkan feses
dengan kotoran (Oktari dan Ahmad, 2017).
2.3.2 Klasifikasi tanaman pacar kuku (Lawsonia inermis L.)
Klasifikasi ilmiah dari tanaman pacar kuku (Lawsonia inermis L.) sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Mrytales
Family : Lythraceace
Genus : Lawsonia
Spesies : (Lawsonia inermis L.)
(sumber : Borade et al., 2011).
2.3.3 Morfologi Tanaman Pacar Kuku (Lawsonia inermis L.)
Daun pacar kuku (Lawsonia inermis L.) adalah tanaman yang berasal dari
Afrika Timur Laut dan Asia Barat Daya. Termasuk Lythaceae. Ciri khasnya yaitu
semak belukar, batang tegak, sering rantingnya sering runcing. Bentuk daun
menghadap, jorong atau berbentuk lanset, panjang 1,5-5,0 cm. Perbungaan terdiri dari
mulai, tumbuh di ujung cabang dan di ketiak daun, panjang 4-20 cm; bunga kuning
muda, merah muda atau merah; sangat harum. Sedangkan buahnya terdiri dari bujur
sangkar, bulat atau pipih, dan memiliki diameter ± 0,5 cm (Anju, Kavita, Jugnu,
Munish, & Asha, 2012). Adapun gambar tanaman pacar kuku yaitu pada Gambar 1 di
bawah ini :

Gambar Tumbuhan pacar kuku (Lawsonia inermis l.)


(Sumber: Borade, A.S. et al., 2011)
Daun pacar kuku mengandung zat warna lawsone yang dapat diekstrak
sebagai kristal berwarna kuning jingga maupun warna orange yang sangat pekat saat
digunakan sebagai pewarna kulit, kuku, rambut, kain sutera dan wol. Lawsone (2-
hidroksi, 1,4 naftokuinon) merupakan kandungan pewarna utama daun pacar
kuku dengan konsentrasi 1,0-1,4%. Daun Lawsonia Inermis L. memiliki
substansi zat warna yang bervariasi mulai dari merah, burgundy, kuning tua,
coklat kemerahan sampai coklat (Shella Setiana, 2015).Selain lawsone, daunnya juga
mengandung tannin (± 4,5 %), digunakan untuk obat penghenti diare; serbuk daun
digunakan untuk obat luka. Bunga mengandung minyak atsiri yang berbau
seperti trimetil amina, digunakan dalam kosmetika. Biji mengandung minyak
(10,5%). Kayu kelabu, keras, digunakan untuk membuat barang-barang kecil dan
tusuk gigi (Shadily, Hassan.1984 dalam Wikipedia).
2.3.4 Pigmen Antosianin Pada Daun Pacar Kuku (Lawsonia inermis L.)
Banyak potensi pewarna alam yang dimanfaatkan sebagai
alternatifpewarna, salah satu contonya yaitu daun pacar kuku. Daun pacar kuku
(Lawsonia inermis L.) mengandung pewarna lawsone (2-hydroxy, 1,4
naphthoquinone) adalah kandungan pewarna utama daun kuku pacar dengan
komposisi 1,0-1,4%. Daun kuku henna memiliki zat yang bervariasi dari merah,
merah anggur, kuning tua, coklat kemerahan hingga coklat (Setiana, 2015). Pewarna
alami tergolong sebagai kelompok indigoid, antrakuinon, naftoquinon dan
benzokuinon, flavonoid, karotenoid,dan tanin. Salah satu pewarna flavonoid
adalah antosianin yang ditemukan pada bunga, buah, daun, batang, dan akar
tanaman (Yunilawati et al., 2018).
Antosianin adalah kelompok pigmen merah hingga biru yang tersebar luas
pada tanaman. Antosianin diklasifikasikan sebagai pigmen yang disebut flavonoid.
Senyawa flavonoid adalah senyawa polar dan dapat diekstraksi dengan pelarut
polar. Beberapa pelarut yang bertindak sebagai etanol, air dan etil asetat. Kondisi
asam akan mempengaruhi hasil ekstraksi. Semakin tinggi jumlah asam yang
ditambahkan, pH 1 akan meningkatkan jumlah pigmen antosianin sesuai dengan
bentuk kation flavilium atau oksonium yang diperkaya dan pengukuran absorbansi
akan meningkatkan jumlah anthocyanin yang lebih besar (Simanjuntak dan Sinaga.
Aktivitas antioksidan antosianin dipengaruhi oleh sistem yang digunakan
sebagai substrat dan kondisi yang digunakan untuk mengkatalisasi reaksi oksidasi.
Antosianin adalah amfoter yang memiliki kemampuan untuk bertindak baik dengan
asam maupun dalam basa. Media asam antosianin berwarna merah karena berada
dalam vakuola sel dan berubah menjadi ungu dan biru (Ariviani, 2018). Warna
ekstrak antosianin bervariasi tergantung pada pH media. Berdasarkan nilai pH,
diperlukan media asam merah, media basa biru, dan pada media netral bewarna ungu
( Lestario, 2017).

2.3.5 Metode Pemeriksaan Telur Cacing


Cara langsung (sediaan basah) adalah metode yang digunakan bertujuan untuk
mengetahui telur cacing pada tinja secara langsung dengan menggunakan larutan
Eosin 2% (dengan menggunakan kaca penutup). Pemeriksaan feses menggunakan
metode langsung merupakan pemeriksaan dengan mikroskop untuk mengetahui feses
yang positif mengandung telur cacing. Pemeriksaan feses secara langsung dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu dengan kaca penutup dan tanpa kaca penutup
(Fuad, 2012).
Cara kerja pembuatan sediaan langsung dengan metode penutup kaca adalah
sebagai berikut. Satu tetes cairan diletakkan di atas kaca objek kemudian feces
diambil dengan lidi (1-2 mm3) dan diratakan sampai homogen. Apabila terdapat
bahan yang kasar dikeluarkan dengan lidi, kemudian ditutup dengan kaca penutup.
Usahakan supaya cairan merata di bawah kaca penutup tanpa ada gelembung udara.
Sediaan dapat diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x atau 40x
(Fuad,2012).
Pembuatan sediaan langsung dengan metode tanpa kaca penutup diperoleh
dengan meletakkan satu tetes air pada kaca benda, kemudian feses diambil
menggunakan lidi (2-3 mm3) sediaan diratakan sampai homogen sehingga menjadi
lapisan tipis tetapi tetap basah, kemudian diperiksa menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 10x atau 40x (Fuad,2012).
2.4 Pengawet asam sitrat
Asam sitrat merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan
buah tumbuhan genus sitrus (jeruk-jerukan). Senyawa ini merupakan bahan pengawet
yang baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa asam pada makanan
dan minuman ringan. Dalam biokimia, asam sitrat dikenal sebagai senyawa antara
dalam siklus asam sitrat, yang penting dalam metabolisme makhluk hidup. Asam
sitrat dapat juga digunakan sebagai zat pembersih yang ramah lingkungan dan
sebagai antioksidan. Asam sitrat terdapat pada berbagai jenis buah dan sayuran,
namun ditemukan pada konsentrasi yang tinggi, yang dapat mencapai 8% bobot
kering pada jeruk, lemon, dan limau (Harsanti, 2016)
2.4.1 Manfaat asam sitrat
Asam sitrat adalah bahan pelekat, berbasmi bakteri,fungisida, antikoagulan,
pembersih bahan kimia, tidak Cuma itu,asam sitrat pun berfungsi sebagai pengawet
dalam banyak larutan pembersih.
2.4.2 Manfaat dan kegunaan asam sitrat untuk beragam kesehatan
Asam sitrat memiliki sejumlah manfaat untuk kesehatan. Beberapa di
antaranya, yaitu:

1. Memproses energi
Dalam tubuh, terdapat sebuah siklus yang disebut dengan siklus asam sitrat
atau reaksi Kreb. Reaksi kimia ini membantu tubuh dalam mengubah energi menjadi
energi siap pakai. Utamanya, manusia dan makhluk hidup lain mendapatkan energi
mereka dari siklus ini.Sitrat, molekul yang dekat dengan asam sitrat, merupakan
molekul yang pertama kali terbentuk dalam siklus asam sitrat.

2. Mempercepat penyerapan nutrisi


Asam sitrat yang dikombinasikan dengan mineral lain dapat ditemukan dalam
bentuk suplemen. Sebab, salah satu kelebihan asam sitrat adalah membantu tubuh
untuk mengoptimalkan nutrisi lain.Misalnya, suplemen kalsium sitrat dianggap lebih
baik daripada kalsium karbonat untuk orang dengan sedikit asam lambung. Sebab,
suplemen kalsium sitrat tidak membutuhkan asam lambung untuk
penyerapannya.Selain kalsium, suplemen magnesium sitrat juga dianggap diserap
lebih baik dibanding kawannya, seperti suplemen magnesium sulfat dan magnesium
oksida.

3. Berpotensi untuk menurunkan risiko batu ginjal


Asam sitrat yang dikonsumsi dalam bentuk suplemen kalium sitrat dilaporkan
dapat membantu mencegah pembentukan batu ginjal. Suplemen ini juga disebutkan
dapat memecah batu yang sudah terbentuk.Anda bisa rutin mengonsumsi buah sitrus
yang menjadi sumber asam sitrat. Apabila ingin mengonsumsi suplemen, pastikan
sudah berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

2.4.3 Adakah resiko dan efek samping asam sitrat?


Food and Drug Administration (FDA) yang merupakan badan pengawas obat
dan makanan Amerika Serikat menyebutkan bahwa suplemen asam sitrat aman untuk
dikonsumsi.Walau begitu, beberapa laporan menyebutkan efek samping seperti
alergi, nyeri otot dan sendi, dan napas pendek, setelah mengonsumsi makanan yang
mengandung asam sitrat.Walau begitu, diperkirakan efek tersebut berasal dari jamur
yang digunakan untuk memproduksi asam sitrat, bukan senyawa asam sitrat itu
sendiri.Penting juga untuk digarisbawahi, efek samping di atas datang dari konsumsi
asam sitrat dalam makanan olahan, bukan dari makanan sumbernya seperti
buah sitrus.
Gambar 2.4.3 : pengawet asam sitrat

2.4.4 struktur pengawet asam sitrat

Asam sitrat merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan


buah tumbuhan genus Citrus (jeruk-jerukan). Senyawa ini merupakan bahan
pengawet yang baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa masam pada
makanan dan minuman ringan.

Gambar 2.4.4: struktur pengawet asam sitrat

2.5 Pengawet natrium klorida


Natrium klorida juga dikenal dengan garam dapur,atau halit, adalah senyawa
kimia dengan rumus molekul NaCl,mewakili perbandingan 1:1 ion natrium dan
klorida.Dengan massa molar masing-masing 22,99 dan 35,45 g/mol, 100 g NaCl
mengandung 39,34 g Na dan 60,66 g Cl senyawa ini adalah garam yang paling
memengaruhi salinitas laut dan cairan ekstraselular pada banyak organisme
multiseluler. Sebagai komponen utama pada garam dapur,natrium klorida sering
digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan. Sejumlah besar natrium klorida
digunakan dalam banyak proses industri. Dan merupakan sumber utama senyawa
natrium dan klorin yang digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis kimia lebih
lanjut.Aplikasi utama kedua natrium klorida adalah untuk menghilangkan lapisan
jalan pada cuaca sub.beku.
2.6 Manfaat pengawet natrium klorida
Natrium klorida sebagai elektrolitadalah untuk mengontrol impuls
saraf,mengatur kadar air pada tubuh hingga kontraksi pada otots
2.7 Unsur yang terdapat dalam pengawet Natrium klorida
Unsur yang tergolong dalam logam alkali bersifat reaktif atau mudah bereaksi
dengan unsur lain,misalnya logam natrium yang bereaksi dengan klorida membentuk
natrium klorida.Dilansir dari Pubchem natrium klorida adalah senyawa lonik garam
anorganik yang terdiri dari ion natrium dan ion klorida. Natrium klorida berbentuk
Kristal berwarna putih yang memiliki rasa asin.Logam natrium dalam fase padat
berikatan dengan gas klorin dalam fase gas dengan reaksi sebagai berikut:

Gambar 2.7: pengawet natrium klorida

2.2.7 Skruktur pengawet natrium klorida


Unsur yang tergolong dalam logam alkali bersifat reaktif atau mudah bereaksi
dengan unsur lain. Misalnya logam natrium yang bereaksi dengan klorida membentuk
natrium klorida. Dilansir dari PubChem, natrium klorida adalah senyawa ionik garam
anorganik yang terdiri dari ion natrium dan juga ion klorida. Natrium klorida
berbentuk kristal berwarna putih yang memiliki rasa asin. Logam natrium dalam
fasepadat berikatan dengan gas klorin dalam fase gas dengan reaksi sebagai berikut:

Gambar 2.8 struktur senyawa natrium klorida


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis/Desain Penelitan

penelitian ini termasuk penelitian analitik dengan desain cross sectional.


Dalam penelitian ini variabel yang diamati adalah kejelasan tentang bentuk dan
warna telur cacing pada preparat yang menggunakan daun pacar kuku (Lawsonia
inermis L.) dengan konsentrasi 1:2 dan ditambahkan pengawet asam sitrat dan
natrium klorida.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari-Agustus 2022 di
Laboratorium Biomedik Universitas Perintis Indonesia (UPERTIS).

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi
Populasi pada peneliti ini adalah semua sampel feses positif (+) nematode
usus Soil Transmitted Helminth.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian in iadalah sampel feses positif parasit nematoda usus
Soil Transmitted Helminth

3.4 Rancangan Penelitian


Rancangan dalam penelitian ini menggunakan perlakuan pengawet asam
sitrat dan natrium klorida.

1. Pengawet Asam sitrat : 0,2 %


2. Pengawet Natrium klorida :0,9 %
3.5 Persiapan Penelitian
3.5.1 PersiapanAlat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : Mikroskop, Pipet
tetes,beaker glass, tabungreaksi, raktabung.
3.5.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : Aquadest, Larutan Eosin 2
%, Konsentrasi daun pacar kuku( Lawsonia inermis Linn ): Aquadest (1:1),
Konsentrasi daun pacar kuku ( Lawsonia inermis Linn ) : Aquadest (1:2), Konsentrasi
daun pacar kuku( Lawsonia inermis Linn) : Aquadest (1:3), Konsentrasi daun pacar
kuku ( Lawsonia inermis Linn ): Sampel Feses (+) Telur Cacing Soil Transmittied
Helminths dalam Formalin 10%, Object glass, Deck glass, Lidi, label, Kertas saring
dan Tissue.

3.6 Prosedur Penelitian


3.6.1 Proedur Pembuatan Eosin 2%
Serbuk Eosin di timbang 2 gram dan dilarutkan dalam 100 ml aquadest.
3.6.2 Pembuatan air perasan Daun Pacar Kuku ( Lawsonia inermis L.)
konsentrasi 1:2
Daun pacar kuku di timbang 100gram dan di haluskan kemudian dilarutkan
dalam 100 ml aquadest.
3.6.3 Pembuatan Larutan Daun Pacar Kuku ( Lawsonia inermis L.) konsentrasi
1.2
Dimasukan 10 tetes Daun Pacar Kuku ke dalam tabung reaksi dan 20 tetes
aquadest. Dicampur hingga homogen. Kemudian di tambahkan larutan pengawet
asam sitrat dan natrium klorida kemudian di simpan didalam kulkas suhu 14 dalam
rentang waktu 2,4 dan 6 hari.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data

1. Nilai (1) : Diberikan apabila: lapang pandang tidak kontras, telur cacing tidak
menyerap warna, bagian telur tidak jelas terlihat.
2. Nilai (2) : Diberikan apabila: lapang pandang kurang kontras, telur cacing kurang
menyerap warna, bagian telur kurang jelas terlihat.
3. Nilai (3) : Diberikan apabila lapang pandang kontras, telur cacing menyerap
warna, bagian telur cacing jelas terlihat.

Pengolahan data penelitian ini menggunakan Statistical Product and Service


Solutions (SPSS) versi 25 dengan analisa data menggunakan pengujian hipotesa
Kruskal-Wallis dan Mann-U Whitney.Untuk kriteria penilaian efektifitas dari hasil uji
penelitian ini diberi skor 1, 2 dan 3 dengan kriteria merujuk pada penelitian (Oktari
dan Mutamir, 2017) sebagai berikut.

Anda mungkin juga menyukai