Oleh :
WITA ERLINDA MUTIANINGSIH
NIM. 13DA277053
INTISARI
iv
THE IDENTIFICATION OF SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) EGG
BY USING FLOTASI METHOD AT THE LETTUCE AND CABBAGE
THAT IS PROVIDED BY THE STREET SELLERS AT CIAMIS TOWN
SQUARE IN 20161
ABSTRACT
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit cacingan sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan di daerah tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini terutama
disebabkan oleh nematoda usus yang ditularkan melalui tanah atau
sering disebut Soil Transmitted Helminth (STH), di antaranya yaitu
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (ada dua
spesies, yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) serta
Strongyloides stercoralis (Natadisastra, 2009).
Telur Soil Transmitted Helminth dikeluarkan bersamaan dengan
tinja orang yang terinfeksi. Daerah yang tidak memiliki sanitasi yang
memadai, telur ini dapat mencemari tanah dengan cara telur melekat
pada sayuran dan tertelan jika sayuran tidak dicuci dan dimasak
dengan hati-hati. Tidak ada transmisi langsung dari orang ke orang,
atau infeksi dari kotoran segar, karena telur yang dikeluarkan
bersama tinja membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk matang
dalam tanah sebelum menjadi bentuk infektif (WHO, 2015).
Angka kejadian tertinggi penyakit cacingan terdapat di kawasan
sub-Sahara Afrika, Amerika, China dan Asia Timur (WHO, 2015).
Prevalensi STH di Indonesia mencapai 28,12% pada tahun 2013
(Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2014). Prevalensi infeksi
cacingan di Propinsi Jawa Barat tahun 2005 mencapai 40-60%
(Depkes, 2005).
Tingginya angka kejadian penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu memakan sayuran mentah yang tidak dicuci bersih
seperti selada dan kol yang sering dijadikan lalapan, dan rendahnya
tingkat sanitasi pribadi seperti tidak mencuci tangan sebelum makan
dan setelah buang air besar, tidak menjaga kebersihan kuku, buang
air besar sembarangan, perilaku jajan di sembarang tempat juga
1
2
Artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada
Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. Al-Maidah :
88).
Berdasarkan surat Al-Maidah ayat 88 di atas, Allah SWT
menyuruh untuk memakan makanan yang halal dan baik. Makanan
yang baik yaitu makanan yang banyak mengandung gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh dan makanan yang terbebas dari kotoran,
bakteri, parasit dan mikroorganisme lain. Sebab makanan yang
terlihat baik dan bersih belum tentu benar-benar bersih, mungkin saja
masih terkontaminasi oleh mikroorganisme yang dapat menyebabkan
penyakit. Untuk menghidari hal tersebut makanan yang akan
dikonsumsi haruslah makanan yang bersih dan higienis.
Sayuran yang dapat terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted
Helminth yaitu selada dan kol (kubis). Selada dan kol merupakan
sayuran yang sering dijadikan sebagai lalapan yang dikonsumsi
secara mentah, dan merupakan sayuran yang tingginya dekat dengan
tanah sehingga dapat kontak langsung dengan tanah. Keadaan ini
memungkinkan telur STH akan mudah menempel pada daun selada
3
terutama pada bagian terluar dan ujung selada. Kol atau kubis
memiliki permukaan daun yang berlekuk-lekuk sehingga
memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya meskipun sudah
dicuci.
Menurut penelitian Verdira dkk tahun 2013, ditemukan telur STH
sebesar 73% pada lalapan selada (Lactuca sativa) yang dijual di
pasar tradisional dan pasar modern di kota Padang. Jenis STH
terbanyak yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides dan telur
cacing tambang. Sedangkan menurut penelitian Wardhana dkk tahun
2013, ditemukan telur STH sebesar 26,19% pada lalapan kubis/kol
(Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.
Jenis telur cacing yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides
(14,28%), telur Trichiuris trichiura (7,14%), dan 4,76% lalapan kubis
yang terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini. Menurut penelitian
Rahayu Astuti dan Siti Aminah, ditemukan telur STH sebesar 13,3%
pada lalapan kubis yang dijual pedagang kaki lima di kawasan
Simpang Lima Kota Semarang. Jenis telur cacing yang ditemukan
yaitu telur Ascaris lumbricoides.
Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi dasar peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai identifikasi telur Soil Transmitted
Helminth pada lalapan selada dan kol yang dijual pedagang kaki lima
di Alun-alun Ciamis. Selada dan kol sebagai lalapan banyak disajikan
oleh pedagang kaki lima seperti pedagang pecel lele, ayam goreng,
ayam bakar, bebek goreng, nasi goreng, pedagang kebab dan
sebagainya.
Alun-alun Ciamis merupakan pusat kota Ciamis yang sering
ramai didatangi pengunjung dan banyak terdapat pedagang kaki lima
seperti pedagang pecel lele, bebek goreng, ayam bakar, ayam
goreng, kebab, nasi goreng dan sebagainya, terutama pedagang
yang menyediakan lalapan selada, kol atau keduanya. Proses
pencucian lalapan selada dan kol harus diperhatikan sebab daun
4
B. Rumusan Masalah
Masalah penyakit cacingan yang berkaitan dengan infeksi Soil
Transmitted Helminth (STH) masih banyak ditemukan. Dampak yang
ditimbulkan akibat infeksi cacing ini sangat merugikan. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa angka kontaminasi (STH) pada sayuran
masih cukup tinggi. Proses pencucian sayuran mentah siap makan
yang kurang baik akan mempermudah masuknya telur STH ke
manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui Apakah lalapan selada dan kol yang disajikan
pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis terkontaminasi telur Soil
Transmitted Helminth?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui ada tidaknya telur Soil Transmitted Helminth
(STH) pada lalapan selada dan kol/kubis yang disajikan pedagang
kaki lima di Alun-Alun Ciamis.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan
keterampilan di bidang Parasitologi terutama tentang
pemeriksaaan telur Soil Transmitted Helminth (STH).
5
2. Bagi Pembaca
a. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
aspek-aspek yang berhubungan dengan infeksi Soil
Transmitted Helminth (STH), sehingga dapat dilakukan
pencegahan terjadinya infeksi.
b. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
pentingnya menjaga kebersihan sayuran terutama sayuran
yang dikonsumsi secara mentah, sehingga dapat mencegah
terjadinya infeksi cacing.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Nida (2015) di STIKes Muhammadiyah Ciamis yang
berjudul Gambaran Telur Soil Transmitted Helminth (STH) pada
Lalapan Selada (Lactuca sativa L.) yang Disajikan di Rumah Makan
yang Berada di Sepanjang Jalan A.H Nasution Mangkubumi Kota
Tasikmalaya Tahun 2015. Sedangkan penelitian ini berjudul
Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminth (STH) dengan Metode
Flotasi pada Lalapan Selada dan Kol/kubis yang Disajikan Pedagang
Kaki Lima Di Alun-Alun Ciamis. Perbedaannya dari segi sampel yang
digunakan, peneliti sebelumnya hanya menggunakan lalapan selada
saja, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan lalapan selada
dan kol/kubis. Selain itu metode yang digunakan juga berbeda,
peneliti sebelumnya menggunakan metode sedimentasi, sedangkan
penelitian ini menggunakan metode flotasi. Serta tempat
penelitiannyapun berbeda, penelitian sebelumnya dilakukan di
sepanjang jalan A.H Nasution Kota Tasikmalaya, sedangkan
penelitian ini dilakukan di Alun-alun Ciamis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
1. Epidemiologi Penyakit Cacingan
Penyakit cacingan adalah penyakit cacingan usus yang
ditularkan melalui tanah atau sering disebut Soil Transmitted
Helminths (STH). Jenis cacing utama yang dapat menginfeksi
yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk
(Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus) (WHO, 2015).
Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24 % dari populasi dunia,
terkena infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. Infeksi
tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan angka
terbesar terjadi di sub - Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia
Timur (WHO, 2015).
Prevalensi STH di Indonesia mencapai 28,12% pada tahun
2013 (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2014). Prevalensi
infeksi cacingan di Propinsi Jawa Barat tahun 2005 mencapai 40-
60% (Depkes, 2005). Angka tersebut menunjukan prevalensi STH
yang merupakan manifestasi dari penyakit kecacingan merupakan
masalah kesehatan masyarakat.
Konteks epidemiologi penyakit kecacingan terjadi karena
adanya interaksi faktor lingkungan, faktor host, dan faktor agent.
Faktor lingkungan meliputi penyediaan air bersih dan kepemilikan
jamban. Sedangkan faktor host di antaranya higiene personal
meliputi kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memakai alas kaki,
kebiasaan memotong kuku, kebiasaan mengkonsumsi makanan
mentah. Faktor agent melibatkan tiga jenis cacing yaitu Ascaris
6
7
2) Morfologi
A. lumbricoides merupakan cacing terbesar di antara
nematode usus lainya, berwarna putih kekuning-kuningan
sampai merah muda, berbentuk silinder dengan ujung yang
meruncing. Ukuran cacing jantan 15-30 cm dan lebar 3-5
mm, bagian posterior melengkung ke depan. Cacing betina
berukuran 22-35 cm dan lebar 3-6 mm. Seekor cacing
betina dapat bertelur sebanyak 200.000 butir perhari,
berlangsung selama hidupnya, kira-kira 6-12 bulan
(Natadisastra, 2009).
3) Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja penderita, telur cacing
yang telah dibuahi jika jatuh pada tanah yang lembab dan
suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi telur
infektif, yang mengandung larva cacing.
Infeksi pada manusia terjadi dengan tertelannya telur
cacing yang infektif bersama makanan atau minuman yang
tercemar tanah yang mengandung tinja penderita
10
b. Trichuris trichiura
1) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes definitif dari Trichuris
trichiura. Penyakit yang disebabkannya yaitu Trichuriasis.
2) Morfologi
Cacing dewasa panjangnya 35-55 mm, dua per lima
bagian posterior gemuk menyerupai pegangan cambuk dan
tiga per lima bagian anterior kecil panjang seperti cambuk.
Cacing jantan panjangnya 4 cm, ekornya melingkar dan
memiliki sebuah specula. Cacing betina panjangnya 5 cm,
ekornya sedikit melengkung dan ujungnya tumpul
(Pusarawati, 2014).
Telur cacing ini berukuran 50-54 x 22-23 mikron,
bentuknya seperti tong anggur atau lemon shape dan pada
kedua ujungnya terdapat dua buah mucoid plug (sumbat
yang jernih). Dinding telur berwarna coklat dari warna
empedu, kedua ujungnya berwarna bening (Pusarawati,
2014).
3) Siklus hidup
Telur mengalami pematangan dan menjadi infektif di
tanah dalam waktu 3-4 minggu. Jika telur cacing yang
infektif ini tertelan manusia, maka di dalam usus halus
dinding telur pecah dan larva keluar menuju sekum lalu
berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu
bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing
telah menjadi dewasa dan cacing betina sudah mulai
mampu bertelur. Trichuris trichiura dewasa dapat hidup
beberapa tahun di dalam usus manusia (Soedarto, 2011).
3) Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja, dalam 24-48 jam dan
dengan suhu optimal 23-330C telur akan matang lalu
menetas, keluar larva rhabditiform. Larva ini mulutnya
terbuka dan aktif memakan sampah organik atau bakteri
18
d. Strongyloides stercoralis
1) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes definitif dari Strongyloides
stercoralis. Penyakit yang disebabkannya yaitu
Strongiloidiasis.
2) Morfologi
Cacing betina berukuran 2,2 x 0,04 mm, tidak
berwarna, semi transparan dengan kutikula yang bergaris-
garis. Cacing ini mempunyai rongga mulut yang pendek dan
esofagus yang ramping, panjang dan silindris. Cacing
betina memiliki badan yang licin, lubang kelamin terletak di
perbatasan antara dua per tiga badan. Cacing jantan
mempunyai ekor yang melengkung (Irianto, 2013).
Larva rabditiform berukuran 225 x 16 mikron,
sedangkan larva filariform ramping dan berukuran 630 x 16
mikron. Telur berbentuk lonjong, dinding tipis dan berukuran
50-54 x 30-34 mikron (Muslim, 2009).
3) Siklus hidup
Telur Strongyloides stercoralis disimpan di dalam
mukosa usus, lalu menetas menjadi larva rhabditiform,
menembus sel epitel dan lewat ke lumen usus, lalu keluar
bersama tinja. Strongyloides stercoralis memiliki 3 macam
siklus hidup, diantaranya adalah :
a) Siklus Langsung
Larva rhabditiform bertukar kulit menjadi larva
filariform yang panjang, ramping, tidak makan dan
infeksius dalam waktu 2-3 hari. Larva filariform ini
menembus kulit manusia, lalu masuk ke sirkulasi vena
melewati jantung kanan sampai ke paru-paru dan
menembus ke alveoli. Dari paru-paru naik ke glottis,
tertelan, sampai ke usus halus dan menjadi dewasa.
Selama migrasi dalam tubuh inang, larva
mengalami 2 kali pergantian kulit untuk menjadi dewasa
muda. Cacing betina dewasa menghasilkan telur 28 hari
setelah infeksi.
b) Siklus Tidak Langsung
Larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing
jantan dan betina bentuk bebas. Setelah pembuahan,
cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi
larva rabditiform. Larva ini dapat menjadi larva filariform
yang infeksius dalam beberapa hari dan masuk ke
dalam hospes baru atau larva rabditiform tersebut
mengulangi fase hidup bebas.
Siklus tidak langsung ini terjadi apabila keadaan
lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas
parasit ini.
23
c) Autoinfeksi
Larva rabditiform seringkali menjadi larva filariform
di usus atau di daerah sekitar anus (perianal). Jika larva
filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal,
maka terjadi siklus perkembangan di dalam hospes.
Autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis
menahun pada penderita yang hidup di daerah non-
endemik (Sutanto, 2008).
8) Pencegahan
Tidak buang air besar disembarang tempat,
membiasakan memakai alas kaki bila keluar rumah, dan
tidak memupuk sayuran dengan tinja manusia (Rosdiana,
2010).
yang ada dalam tinja (Natadisastra, 2009). Jadi pada metode ini
berat jenis larutan yang digunakan harus lebih besar dari berat
jenis telur cacing.
Larutan jenuh merupakan larutan yang mengandung zat
terlarut dalam jumlah maksimal pada suhu tertentu. Ciri bahwa
suatu larutan sudah jenuh yaitu dengan terbentuknya endapan.
Natrium klorida (NaCl) merupakan garam yang berbentuk kristal
berwarna putih yang larut dalam air dan tidak dapat larut dalam
alkohol (Mulyono, 2012).
4. Sayuran Selada
Selada termasuk dalam family Compositae yang dalam
pertumbuhan dan budidayanya harus memperhatikan musim,
sebab tidak semua musim dapat menghasilkan selada yang baik.
Kegunaan utamanya adalah sebagai salad (Wijayanto, 2015).
Daun selada memiliki tampilan yang sangat menarik dan
dapat menggugah selera makan. Oleh sebab itu kini daun selada
juga banyak digunakan sebagai salah satu sayuran pelengkap
untuk berbagai macam masakan seperti gado-gado, tahu campur,
rujak cingur, burger, kebab, dan lain-lain.
Warna selada ada yang merah dan juga hijau (Saparinto,
2013). Berbeda dengan sayuran lainnya, selada tidak pernah
dimasak karena rasanya menjadi agak liat dan sulit dicerna
(Sunarjono, 2015).
a. Klasifikasi Selada
Kedudukan selada dalam sistematika tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermathophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
27
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae/Compositae
Genus : Lactuca
Spesies : Lactuca sativa L (Saparinto, 2013)
b. Morfologi Selada
Selada memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut.
Akar serabut menempel pada batang dan tumbuh menyebar
kesemua arah pada kedalaman 20-50 cm atau lebih. Daun
selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang beragam
tergantung varietasnya. Tinggi tanaman selada daun berkisar
antara 30-40 cm dan tinggi tanaman selada kepala berkisar
antara 20-30 cm (Saparinto, 2013).
c. Jenis-Jenis Selada
1) Selada mentega atau selada telur, kropnya bulat, tetapi
mudah lepas. Rasanya lunak dan enak, sehingga paing
banyak digemari. Kelebihan selada mentega ini
dibandingkan dengan jenis selada lainnya ialah tidak
mudah rusak, sehingga dapat dikirim ke tempat yang jauh.
2) Selada tutup, kropnya bulat agak padat, dan rasanya
renyah.
3) Selada potong, ropnya lonjong atau bulat panjang, rasanya
enak tetapi agak liat (Sunarjono, 2015).
28
d. Manfaat Selada
Selada mengandung zat besi yang membantu
mengurangi lemak dengan cepat, mengandung beta karoten
yang berfungsi memerangi kanker (kolon dan rektum), penyakit
jantung dan penuaan dini. Vitamin B kompleks untuk
mempertahankan kesehatan rambut, kuku, dan kulit. Selada
juga mengandung serat dan mengandung kalium, kalsium.
Selada memiliki banyak manfaat antara lain dapat
memperbaiki organ dalam, mencegah panas dalam,
melancarkan metabolisme, membantu menjaga kesehatan
rambut, mencegah kulit menjadi kering, dan dapat mengobati
insomnia serta dapat digunakan sebagai obat sembelit
(Supriati dan Herliana, 2014).
5. Sayuran Kubis/Kol
Kubis di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kol, akan
tetapi kubis juga disebut dengan kobis atau kobis bulat. Tanaman
dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. ini dimanfaatkan
daunnya untuk dimakan. Daun kubis tersusun rapat membentuk
bulatan, yang disebut krop, kop atau kepala. Nama kubis diambil
dari bahasa Perancis, yaitu chou cabus yang berarti kubis kepala.
Namun, kubis yang selama ini dikenalkan oleh sebagian orang
Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda adalah kol atau kool yang
diambil dari bahasa Belanda (Wijayanto, 2015).
Kubis juga termasuk jenis sayuran yang mudah dikonsumsi,
sebab selain digunakan sebagai sayur, kubis juga dapat dimakan
mentah sebagai lalapan, asinan, gado-gado, sop dan cap cay
(Wijayanto, 2015).
a. Klasifikasi Kol/Kubis
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
29
Kelas : Magnoliophyta
Ordo : Brassicales
Famili : Cruciverae (Brassicaceae)
Genus : Brassica
Spesies : Brassica oleracea .
b. Morfologi
Tanaman kubis berbatang pendek dan beruas-ruas,
berakar tunggang dengan akar sampingnya sedikit dangkal.
Daunnya lebar berbentuk bulat telur dan lunak. Daun yang
muncul terlebih dahulu menutup daun yang muncul berikutnya,
demikian seterusnya hingga membentuk krop daun bulat
seperti telur dan padat berwarna putih. Bunganya tersusun
dalam tandan dengan mahkota bunga berwarna kuning.
Buahnya bulat panjang menyerupai polong.
Polong muda berwarna hijau, setelah tua berwarna
kecoklatan dan mudah pecah. Bijinya kecil berbentuk bulat,
dan berwarna kecoklatan. Biji yang banyak menempel pada
dinding bilik tengah polong (Sunarjono, 2015).
c. Jenis-Jenis Kubis
1) Kubis krop (telur)
Kubis ini dikenal dengan nama kubis putih (Brassica
oleracea L. var. capitata L.), yang memiliki daun berbentuk
30
krop. Daun ini menutup satu sama lain hingga warna krop
menjadi putih. Krop kubis tersebut besar dan padat
sehingga tahan banting jika dikirim jauh.
2) Kubis tunas atau kubis babat
Kubis tunas (Brassica oleracea L. var. bullata Ds)
biasanya membentuk krop, bahkan tunas sampingnya pun
dapat membentuk krop kecil.
3) Kubis umbi (Brassica oleracea L. var. gongylodes L.)
Bagian dasar batang di bawah tanah atau di atas
tanah membesar sehingga merupakan umbi besar. Salah
satu varietasnya adalah kohlrabi yang diperbanyak dengan
biji, yaitu white Vienna.
4) Kubis bunga (Brassica oleracea L. var. botrytis L).
Kubis ini memiliki bunga yang mengembang dan
membentuk masa bunga. Bunga tersebut berbentuk kerucut
terbailik dan berwarna putih kekuning-kunigan. Contoh
varietasnya yaitu snowball dan snowspeak (Sunarjono,
2015).
d. Kandungan dan Manfaat Kubis/Kol
Kandungan yang terdapat dalam kol di antaranya vitamin
C, protein, riboflavin, niacin, folat, vitamin K, potasium,
magnesium, pantothenic acid, zat besi dan serat. Manfaat kol
yaitu sebagai antikanker, meningkatkan sistem pencernaan
dan untuk menjaga daya tahan tubuh, serta membantu
mengeluarkan toksin berbahaya dari tubuh dengan memicu
pelepasan enzim yang bertugas mendorong toksin untuk keluar
(Prasetio, 2013).
31
Cacingan
Nematoda Usus
- Penggunaan pupuk
dengan tinja manusia Selada &
- Pencucian sayuran kol/kubis
(selada & kol)
Metode Metode
Flotasi Sedimentasi
Keterangan :
: yang diteliti
46
47
Soedarto, Prof. Dr. DTM & H, PhD. (2011) Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Jakarta : CV Sagung Seto.