Anda di halaman 1dari 37

IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTH

(STH) DENGAN METODE FLOTASI PADA LALAPAN


SELADA DAN KOL YANG DISAJIKAN PEDAGANG
KAKI LIMA DI ALUN-ALUN CIAMIS
TAHUN 2016

KARYA TULIS ILMIAH


Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan
Pada Program Studi D3 Analis Kesehatan

Oleh :
WITA ERLINDA MUTIANINGSIH
NIM. 13DA277053

PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH)
DENGAN METODE FLOTASI PADA LALAPAN SELADA DAN KOL
YANG DISAJIKAN PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-ALUN CIAMIS
TAHUN 20161

Wita Erlinda Mutianingsih2Atun Farihatun3Firda Yanuar Pradani4

INTISARI

Soil Transmitted helminth (STH) adalah nematoda usus yang


ditularkan melalui tanah, dalam siklus hidupnya tanah dibutuhkan untuk
proses pematangan dari bentuk yang tidak infektif menjadi bentuk infektif.
Kelompok cacing ini terdiri dari beberapa spesies yaitu Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (ada dua spesies, yaitu
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) serta Strongyloides
stercoralis.
Daun selada (Lactuca sativa) dan kol (Brassica oleracea) ialah
sejenis sayuran berwarna hijau yang biasa dijadikan lalapan sebagai
sayuran pelengkap yang dikonsumsi secara mentah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur Soil
Transmitted helminth (STH) pada lalapan selada dan kol yang disajikan
pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis dengan metode flotasi
menggunakan NaCl jenuh.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Sampel didapat dari 16 pedagang
kaki lima di Alun-Alun Ciamis, yang terdiri dari 7 sampel lalapan selada
dan 9 sampel kol. Sampel dibawa ke Laboratorium Parasitologi STIKes
Muhammadiyah Ciamis untuk dilakukan pemeriksaan dengan metode
flotasi menggunakan larutan NaCl jenuh.
Hasil penelitian terhadap 7 sampel selada dan 9 sampel kol yang
disajikan pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis menunjukkan tidak
ditemukan Telur Soil Transmitted helminth (STH) pada semua sampel.

Kata Kunci : Soil Transmitted helminth (STH), lalapan selada, kol


Kepustakaan : 22, 2005 2015
Keterangan : 1 judul, 2 nama mahasiswa, 3 nama pembimbing I,
4 nama pembimbing II

iv
THE IDENTIFICATION OF SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) EGG
BY USING FLOTASI METHOD AT THE LETTUCE AND CABBAGE
THAT IS PROVIDED BY THE STREET SELLERS AT CIAMIS TOWN
SQUARE IN 20161

Wita Erlinda Mutianingsih2Atun Farihatun3Firda Yanuar Pradani4

ABSTRACT

Soil Transmitted helminth (STH) is nematode intestines that spreads


by the soil, in its life cycle the soil is needed to make the process of
maturating from the disinfective form to become infective form. The worms
consist of some species that are Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
hookworm (there are two species, Necator americanus and Ancylostoma
duodenale) and Strongyloides stercoralis.
The leaf of lettuce (Lactuca sativa) and cabbage (Brassica oleracea)
is kind of green vegetable that can be made as dish of raw and can be
consumed uncooked.
The aim of the research is to know the existence of Soil Transmitted
Helminth (STH) egg at the lettuce and cabbage that is provided by the
street sellers at Ciamis town square by using flotasi method with saturated
NaCl.
This is a descriptive research. Sample of the research is 16 street
sellers at Ciamis town square, that consist of 7 samples of the lettuce and
9 samples of cabbage. The samples are brought to the Parasitology
Laboratory STIKes Muhammadiyah Ciamis for investigating by using
flotasi method with saturated NaCl.
The result of the research to the 7 samples of the lettuce and 9
samples of the cabbage that is provided by the street sellers at Ciamis
town square shows that there is no Soil Transmitted Helminth (STH) egg
from all over the samples.

Keywords : Soil Transmitted Helminth (STH), lettuce, cabbage


Bibliography : 22, 2005 2015
Information : 1 Title, 2 name of student, 3 name of supervisor I,
4 name of supervisor II

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit cacingan sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan di daerah tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini terutama
disebabkan oleh nematoda usus yang ditularkan melalui tanah atau
sering disebut Soil Transmitted Helminth (STH), di antaranya yaitu
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (ada dua
spesies, yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) serta
Strongyloides stercoralis (Natadisastra, 2009).
Telur Soil Transmitted Helminth dikeluarkan bersamaan dengan
tinja orang yang terinfeksi. Daerah yang tidak memiliki sanitasi yang
memadai, telur ini dapat mencemari tanah dengan cara telur melekat
pada sayuran dan tertelan jika sayuran tidak dicuci dan dimasak
dengan hati-hati. Tidak ada transmisi langsung dari orang ke orang,
atau infeksi dari kotoran segar, karena telur yang dikeluarkan
bersama tinja membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk matang
dalam tanah sebelum menjadi bentuk infektif (WHO, 2015).
Angka kejadian tertinggi penyakit cacingan terdapat di kawasan
sub-Sahara Afrika, Amerika, China dan Asia Timur (WHO, 2015).
Prevalensi STH di Indonesia mencapai 28,12% pada tahun 2013
(Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2014). Prevalensi infeksi
cacingan di Propinsi Jawa Barat tahun 2005 mencapai 40-60%
(Depkes, 2005).
Tingginya angka kejadian penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu memakan sayuran mentah yang tidak dicuci bersih
seperti selada dan kol yang sering dijadikan lalapan, dan rendahnya
tingkat sanitasi pribadi seperti tidak mencuci tangan sebelum makan
dan setelah buang air besar, tidak menjaga kebersihan kuku, buang
air besar sembarangan, perilaku jajan di sembarang tempat juga

1
2

dapat menjadi faktor penyebab penyakit cacingan. Sebagai seorang


muslim harus memperhatikan kebersihan terutama kebersihan
makanan agar terhindar dari penyakit ini. Sebagaimana firman Allah
pada surat Al-Baqarah ayat 222 dan surat Al-Maidah ayat 88 yang
berbunyi :
....
Artinya : .......... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(QS. Al-Baqarah : 222)

Artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada
Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. Al-Maidah :
88).
Berdasarkan surat Al-Maidah ayat 88 di atas, Allah SWT
menyuruh untuk memakan makanan yang halal dan baik. Makanan
yang baik yaitu makanan yang banyak mengandung gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh dan makanan yang terbebas dari kotoran,
bakteri, parasit dan mikroorganisme lain. Sebab makanan yang
terlihat baik dan bersih belum tentu benar-benar bersih, mungkin saja
masih terkontaminasi oleh mikroorganisme yang dapat menyebabkan
penyakit. Untuk menghidari hal tersebut makanan yang akan
dikonsumsi haruslah makanan yang bersih dan higienis.
Sayuran yang dapat terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted
Helminth yaitu selada dan kol (kubis). Selada dan kol merupakan
sayuran yang sering dijadikan sebagai lalapan yang dikonsumsi
secara mentah, dan merupakan sayuran yang tingginya dekat dengan
tanah sehingga dapat kontak langsung dengan tanah. Keadaan ini
memungkinkan telur STH akan mudah menempel pada daun selada
3

terutama pada bagian terluar dan ujung selada. Kol atau kubis
memiliki permukaan daun yang berlekuk-lekuk sehingga
memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya meskipun sudah
dicuci.
Menurut penelitian Verdira dkk tahun 2013, ditemukan telur STH
sebesar 73% pada lalapan selada (Lactuca sativa) yang dijual di
pasar tradisional dan pasar modern di kota Padang. Jenis STH
terbanyak yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides dan telur
cacing tambang. Sedangkan menurut penelitian Wardhana dkk tahun
2013, ditemukan telur STH sebesar 26,19% pada lalapan kubis/kol
(Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.
Jenis telur cacing yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides
(14,28%), telur Trichiuris trichiura (7,14%), dan 4,76% lalapan kubis
yang terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini. Menurut penelitian
Rahayu Astuti dan Siti Aminah, ditemukan telur STH sebesar 13,3%
pada lalapan kubis yang dijual pedagang kaki lima di kawasan
Simpang Lima Kota Semarang. Jenis telur cacing yang ditemukan
yaitu telur Ascaris lumbricoides.
Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi dasar peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai identifikasi telur Soil Transmitted
Helminth pada lalapan selada dan kol yang dijual pedagang kaki lima
di Alun-alun Ciamis. Selada dan kol sebagai lalapan banyak disajikan
oleh pedagang kaki lima seperti pedagang pecel lele, ayam goreng,
ayam bakar, bebek goreng, nasi goreng, pedagang kebab dan
sebagainya.
Alun-alun Ciamis merupakan pusat kota Ciamis yang sering
ramai didatangi pengunjung dan banyak terdapat pedagang kaki lima
seperti pedagang pecel lele, bebek goreng, ayam bakar, ayam
goreng, kebab, nasi goreng dan sebagainya, terutama pedagang
yang menyediakan lalapan selada, kol atau keduanya. Proses
pencucian lalapan selada dan kol harus diperhatikan sebab daun
4

selada dan kol memiliki bagian yang berlekuk dan kemungkinan


terjadi kontaminasi pada saat selada dan kol masih berada di
perkebunan. Pada umumnya pedagang kaki lima tersebut berjualan di
pinggir jalan raya sehingga memungkinkan terkontaminasi oleh debu.
Oleh karena itu masih ada kemungkinan terjadi kontaminasi telur
Soil Transmitted Helminth pada makanan tersebut terutama lalapan
selada dan kol. Hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk
menentukan ada tidaknya telur cacing pada lalapan selada dan
kol/kubis.

B. Rumusan Masalah
Masalah penyakit cacingan yang berkaitan dengan infeksi Soil
Transmitted Helminth (STH) masih banyak ditemukan. Dampak yang
ditimbulkan akibat infeksi cacing ini sangat merugikan. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa angka kontaminasi (STH) pada sayuran
masih cukup tinggi. Proses pencucian sayuran mentah siap makan
yang kurang baik akan mempermudah masuknya telur STH ke
manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui Apakah lalapan selada dan kol yang disajikan
pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis terkontaminasi telur Soil
Transmitted Helminth?

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui ada tidaknya telur Soil Transmitted Helminth
(STH) pada lalapan selada dan kol/kubis yang disajikan pedagang
kaki lima di Alun-Alun Ciamis.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan
keterampilan di bidang Parasitologi terutama tentang
pemeriksaaan telur Soil Transmitted Helminth (STH).
5

2. Bagi Pembaca
a. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
aspek-aspek yang berhubungan dengan infeksi Soil
Transmitted Helminth (STH), sehingga dapat dilakukan
pencegahan terjadinya infeksi.
b. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
pentingnya menjaga kebersihan sayuran terutama sayuran
yang dikonsumsi secara mentah, sehingga dapat mencegah
terjadinya infeksi cacing.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Nida (2015) di STIKes Muhammadiyah Ciamis yang
berjudul Gambaran Telur Soil Transmitted Helminth (STH) pada
Lalapan Selada (Lactuca sativa L.) yang Disajikan di Rumah Makan
yang Berada di Sepanjang Jalan A.H Nasution Mangkubumi Kota
Tasikmalaya Tahun 2015. Sedangkan penelitian ini berjudul
Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminth (STH) dengan Metode
Flotasi pada Lalapan Selada dan Kol/kubis yang Disajikan Pedagang
Kaki Lima Di Alun-Alun Ciamis. Perbedaannya dari segi sampel yang
digunakan, peneliti sebelumnya hanya menggunakan lalapan selada
saja, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan lalapan selada
dan kol/kubis. Selain itu metode yang digunakan juga berbeda,
peneliti sebelumnya menggunakan metode sedimentasi, sedangkan
penelitian ini menggunakan metode flotasi. Serta tempat
penelitiannyapun berbeda, penelitian sebelumnya dilakukan di
sepanjang jalan A.H Nasution Kota Tasikmalaya, sedangkan
penelitian ini dilakukan di Alun-alun Ciamis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
1. Epidemiologi Penyakit Cacingan
Penyakit cacingan adalah penyakit cacingan usus yang
ditularkan melalui tanah atau sering disebut Soil Transmitted
Helminths (STH). Jenis cacing utama yang dapat menginfeksi
yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk
(Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus) (WHO, 2015).
Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24 % dari populasi dunia,
terkena infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. Infeksi
tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan angka
terbesar terjadi di sub - Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia
Timur (WHO, 2015).
Prevalensi STH di Indonesia mencapai 28,12% pada tahun
2013 (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2014). Prevalensi
infeksi cacingan di Propinsi Jawa Barat tahun 2005 mencapai 40-
60% (Depkes, 2005). Angka tersebut menunjukan prevalensi STH
yang merupakan manifestasi dari penyakit kecacingan merupakan
masalah kesehatan masyarakat.
Konteks epidemiologi penyakit kecacingan terjadi karena
adanya interaksi faktor lingkungan, faktor host, dan faktor agent.
Faktor lingkungan meliputi penyediaan air bersih dan kepemilikan
jamban. Sedangkan faktor host di antaranya higiene personal
meliputi kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memakai alas kaki,
kebiasaan memotong kuku, kebiasaan mengkonsumsi makanan
mentah. Faktor agent melibatkan tiga jenis cacing yaitu Ascaris

6
7

lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Sutanto,


2008).

2. Soil Transmitted Helminth (STH)


Soil Transmitted Helminth (STH) adalah nematoda usus
yang ditularkan melalui tanah, dalam siklus hidupnya tanah
dibutuhkan untuk proses pematangan dari bentuk yang tidak
infektif menjadi bentuk infektif. Kelompok cacing ini terdiri dari
beberapa spesies yaitu Ascaris lumbricoides menimbulkan
ascariasis, Trichuris trichiura menimbulkan trichuriasis, cacing
tambang (ada dua spesies, yaitu Necator americanus
menimbulkan Necatoriasis dan Ancylostoma duodenale
menimbulkan ancylostomiasis) serta Strongyloides stercoralis
menimbulkan strongyloidosis atau strongyloidiasis (Natadisastra,
2009).
Cara infeksi pada manusia adalah dengan bentuk infektif
yang ditemukan dan berkembang di tanah (Margono, 2011).
Infeksi umumnya melalui media tanah yang terkontaminasi feses
yang mengandung telur cacing (Soil Transmitted Helminths),
misalnya Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing
tambang. Dalam siklus hidupnya, cacing nematoda usus
membutuhkan kondisi lingkungan yang mempunyai temperatur
dan kelembapan yang sesuai. Lingkungan yang dibutuhkan
Ascaris lumbricoides sama dengan Truchuris trichiura, dan cacing
tambang sama dengan Strongyloides stercoralis (Muslim, 2009).
a. Ascaris lumbricoides
1) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris
lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut
ascariasis.
8

2) Morfologi
A. lumbricoides merupakan cacing terbesar di antara
nematode usus lainya, berwarna putih kekuning-kuningan
sampai merah muda, berbentuk silinder dengan ujung yang
meruncing. Ukuran cacing jantan 15-30 cm dan lebar 3-5
mm, bagian posterior melengkung ke depan. Cacing betina
berukuran 22-35 cm dan lebar 3-6 mm. Seekor cacing
betina dapat bertelur sebanyak 200.000 butir perhari,
berlangsung selama hidupnya, kira-kira 6-12 bulan
(Natadisastra, 2009).

Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides (makroskopik)


Sumber: Pusarawati Atlas Parasitologi Kedokteran, 2014

A. lumbricoides memiliki tiga bentuk telur, yaitu telur


yang dibuahi, berukuran 60 x 45 mikron, bulat atau oval,
dengan dinding telur yang kuat, terdiri dari tiga lapisan.
Lapisan luar terdiri atas lapisan albuminoid dengan
permukaan tidak rata, bergerigi, berwarna kecoklat-coklatan
yang disebabkan oleh pigmen empedu. Lapisan tengah
merupakan lapisan chitin, terdiri atas polisakarida. Lapisan
dalam terdapat membran vitellin yang tipis, tetapi kuat
sehingga telur dapat tahan sampai satu tahun dan terapung
di dalam larutan garam jenuh (pekat). Telur yang
mengalami dekortikasi adalah telur yang dibuahi, akan
tetapi kehilangan lapisan albuminoidnya karena proses
9

mekanik. Telur dekortikasi dapat terapung pada larutan


garam jenuh (pekat). Telur yang tidak dibuahi, dihasilkan
oleh cacing betina yang tidak subur atau terlalu cepat
dikeluarkan oleh betina yang subur. Telur ini berukuran 90 x
40 mikron, berdinding tipis, akan tenggelam dalam larutan
garam jenuh (Natadisastra, 2009).

Gambar 2.2 telur Ascaris Gambar 2.3 telur Ascaris


Lumbricoides dibuahi lumbricoides tidak dibuahi
(Pembesaran 200x) (Pembesaran 400x)

Gambar 2.4 telur Ascaris lumbricoides berembrio


(Pembesaran 400x)
Sumber: Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2010

3) Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja penderita, telur cacing
yang telah dibuahi jika jatuh pada tanah yang lembab dan
suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi telur
infektif, yang mengandung larva cacing.
Infeksi pada manusia terjadi dengan tertelannya telur
cacing yang infektif bersama makanan atau minuman yang
tercemar tanah yang mengandung tinja penderita
10

ascariasis. Di dalam usus halus bagian atas dinding telur


akan pecah kemudian larva keluar, menembus dinding usus
halus dan memasuki vena porta hati yang kemudian
bersama aliran darah menuju jantung, paru-paru, lalu
menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli dan
masa migrasi larva berlangsung sekitar 15 hari (Soedarto,
2011).
Larva cacing masuk ke bronki, trakea dan laring, dan
selanjutnya masuk ke faring, esofagus, lalu turun ke
lambung dan akhirnya sampai ke usus halus. Selanjutnya
larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Migrasi larva cacing dalam darah yang mencapai organ
paru tersebut disebut lung migration (Soedarto, 2011).

Gambar 2.5 Siklus Hidup Ascaris lumbricodes


Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2008

4) Patologi dan Gejala Klinis


Gejala klinik ascariasis tergantung dari beberapa hal
yaitu, beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya
11

tahan dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing.


Pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor
cacing, sering tidak timbul gejala yang dirasakan oleh
hospes, baru dapat diketahui setelah melakukan
pemeriksaan tinja rutin (Natadisastra, 2009).
Penyakit ascariasis menimbulkan gejala yang
disebabkan oleh stadium larva dan stadium dewasa.
Stadium larva, yaitu kerusakan paru-paru yang
menimbulkan gejala yang disebut Sindroma Loffler yang
terdiri dari batuk-batuk, eosinofil dalam darah meningkat,
dan dalam rontgen foto thorax terlihat bayangan putih halus
yang merata di seluruh lapangan paru yang akan hilang
dalam waktu 2 minggu.
Gejala dapat ringan dan dapat menjadi berat pada
penderita yang rentan atau infeksi berat. Stadium dewasa,
biasanya terjadi gejala usus ringan. Pada infeksi berat,
terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi yang
memperberat malnutrisi karena perampasan makanan oleh
cacing dewasa. Bila cacing dewasa menumpuk dapat
menyebabkan penyumbatan pada lumen usus (Rosdiana,
2010).
5) Epidemiologi
Infeksi pada manusia terjadi karena tertelannya telur
cacing yang mengandung larva infektif melalui makanan
dan minuman yang tercemar. Sayuran mentah yang
mengandung telur cacing yang berasal dari pupuk kotoran
manusia merupakan salah satu media penularan. Vektor
serangga seperti lalat juga dapat menularkan telur pada
makanan yang tidak disimpan dengan baik. Penyakit ini
dapat menyerang anak-anak, terutama anak prasekolah
(usia 3-8 tahun). Bayi mendapatkan penyakit ini dari tangan
12

ibunya yang tercemar larva infektif. Askariasis banyak


dijumpai pada daerah tropis (Widoyono, 2011).
6) Diagnosis
Diagnosis askariasis dapat ditegakkan melalui
beberapa cara:
a) Dengan menemukan telur A. lumbricoides pada sediaan
basah apusan tinja penderita infeksi sedang sampai
berat. Pada infeksi ringan sebaiknya digunakan metode
konsentrasi formalin-etil asetat.
b) Dengan menemukan cacing dewasa yang keluar melalui
anus, mulut (muntah) atau hidung.
c) Dengan menemukan larva pada sputum atau aspirat
gastric selama parasit mengalami migrasi paru-paru.
7) Pengobatan
Obat untuk askariasis adalah Ascarzan (Mecosin),
Askamex (Konimex), Combantrin (Pfizer), Gavox, Helben,
Ketrax, Konvermex, Medikomtrin, Piraska 125, Pyrantin,
Trivexan, Upixon, dan Vermox 500 (Purwanto, 2008).
Pengobatan alternatif untuk cacingan dapat
menggunakan obat-obat alami di antaranya Antanan Geude
(Centella asiatica), Putri Malu (Mimosa pudicaI), Jawer
Kotok (Coleus scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea),
biji pinang, kulit buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus
carota) dan kelapa (Anas, 2013).
8) Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan dengan menjaga
hygiene dan sanitasi, tidak buang air besar disembarang
tempat, melindungi makanan dari pencemaran kotoran,
mencuci bersih tangan sebelum makan, dan tidak memakai
tinja sebagai pupuk tanaman, serta menghindari sayuran
13

yang mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu (Rosdiana,


2010).

b. Trichuris trichiura
1) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes definitif dari Trichuris
trichiura. Penyakit yang disebabkannya yaitu Trichuriasis.
2) Morfologi
Cacing dewasa panjangnya 35-55 mm, dua per lima
bagian posterior gemuk menyerupai pegangan cambuk dan
tiga per lima bagian anterior kecil panjang seperti cambuk.
Cacing jantan panjangnya 4 cm, ekornya melingkar dan
memiliki sebuah specula. Cacing betina panjangnya 5 cm,
ekornya sedikit melengkung dan ujungnya tumpul
(Pusarawati, 2014).
Telur cacing ini berukuran 50-54 x 22-23 mikron,
bentuknya seperti tong anggur atau lemon shape dan pada
kedua ujungnya terdapat dua buah mucoid plug (sumbat
yang jernih). Dinding telur berwarna coklat dari warna
empedu, kedua ujungnya berwarna bening (Pusarawati,
2014).

Gambar 2.6 Cacing Trichuris Gambar 2.7 Telur


trichiura Trichuris trichiura
Pembesaran 400x
Sumber : Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2010
14

3) Siklus hidup
Telur mengalami pematangan dan menjadi infektif di
tanah dalam waktu 3-4 minggu. Jika telur cacing yang
infektif ini tertelan manusia, maka di dalam usus halus
dinding telur pecah dan larva keluar menuju sekum lalu
berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu
bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing
telah menjadi dewasa dan cacing betina sudah mulai
mampu bertelur. Trichuris trichiura dewasa dapat hidup
beberapa tahun di dalam usus manusia (Soedarto, 2011).

Gambar 2.8 Siklus Hidup Trichuris trichiura


Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2008

4) Patologi dan Gejala Klinis


Cacing ini sering menyerang anak usia 1-5 tahun,
infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Pada infeksi berat,
cacing tersebar ke seluruh colon dan rectum kadang-
kadang terlihat pada mukosa rectum yang prolaps akibat
sering mengejan pada waktu defekasi.
15

Infeksi kronis menunjukkan gejala-gejala anemia


berat, Hb rendah dapat mencapai 3 g%, karena seekor
cacing setiap harinya menghisap darah kurang lebih 0,005
cc. Diare dengan tinja sedikit dan mengandung sedikit
darah. Sakit perut, mual, muntah serta berat badan
menurun, dan disertai sakit kepala dan demam.
Infeksi Trichuris trichiura kadang-kadang terjadi
bersama infeksi parasit usus lain yang menyertainya yaitu
A. lumbricoides, dan cacing tambang (Natadisastra, 2009).
5) Epidemiologi
Tercatat 80% penduduk positif di daerah tropis,
sedangkan diseluruh dunia tercatat 500 juta yang terkena
infeksi. Infeksi banyak terdapat di daerah curah hujan
tinggi, iklim subtropis dan pada tempat yang banyak
populasi tanah.
Anak-anak lebih mudah terserang daripada orang
dewasa. Infeksi berat terhadap anak-anak yang suka
bermain di tanah dan mereka mendapat kontaminasi dari
pekarangan yang kotor. Infeksi terjadi karena menelan telur
yang telah berembrio melalui tangan, makanan, atau
minuman yang telah terkontaminasi, langsung melalui debu,
hewan rumah atau barang mainan (Irianto, 2013).
6) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur
pada pemeriksaan tinja secara langsung atau dengan cara
konsentrasi (sedimentasi dan flotasi) (Pusarawati, dkk.,
2014).
7) Pengobatan
Obat untuk Trichuriasis yaitu Gavox, Helben,
Quantrel, Trivexan, dan Vermox 500 (Purwanto dkk, 2008).
Pengobatan alternatif untuk cacigan dapat menggunakan
16

obat-obat alami di antaranya Antanan Geude (Centella


asiatica), Putri Malu (Mimosa pudicaI), Jawer Kotok (Coleus
scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea), biji pinang, kulit
buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus carota) dan
kelapa (Anas, 2013).

c. Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator


americanus)
1) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes definitif dari cacing tambang.
Penyakit yang disebabkan oleh Necator americanus yaitu
Nekatoriasis, dan penyakit yang disebabkan oleh
Ancylostoma duodenale yaitu Ankilostomiasis.
2) Morfologi
Cacing dewasa Necator americanus berbentuk
silinder dengan ujung anterior melengkung tajam kearah
dorsal (seperti huruf S). Panjang cacing jantan 7-9 mm
dengan diameter 0,3 mm, sedangkan cacing betina
panjangnya 9-11 mm dengan diameter 0,4 mm. Pada
rongga mulut terdapat bentukan semilunar cutting plates
(yang membedakannya dengan Ancylostoma duodenale).
Pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa
copulatrix dengan sepasang spiculae. Ujung posterior
cacing betina runcing dan terdapat vulva.
Cacing dewasa Ancylostoma duodenale berbentuk
silindris dan relatif gemuk, lengkung tubuh seperti huruf
C. Panjang cacing jantan 8-11 mm dengan diameter 0,4-
0,5 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 10-13 mm
dengan diameter 0,6 mm. Dalam rongga mulut terdapat 2
pasang gigi ventral, gigi sebelah luar berukuran lebih besar.
17

Ujung posterior cacing betina tumpul dan yang jantan


mempunyai bursa copulatrix.
Telur Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale sukar dibedakan. Telur ini berukuran 50-60 x 40-
45 mikron. Bentuknya bulat lonjong, berdinding tipis. Antara
massa telur dan dinding telur terdapat ruangan yang jernih.
Pada tinja segar, telur berisi massa yang terdiri dari 1-4 sel
(Pusarawati, 2014).

Gambar 2.9 Cacing Necator Gambar 2.10 Cacing


americanus Ancylostoma duodenale
(makroskopik) (makroskopik)

Gambar 2.11 telur cacing tambang


(Pembesaran 400x)
Sumber: Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2008

3) Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja, dalam 24-48 jam dan
dengan suhu optimal 23-330C telur akan matang lalu
menetas, keluar larva rhabditiform. Larva ini mulutnya
terbuka dan aktif memakan sampah organik atau bakteri
18

pada tanah di sekitar tinja. Pada hari ke-5, berubah menjadi


larva yang lebih kurus dan panjang disebut larva filariform
yang infektif. Larva ini tidak makan, mulutnya tertutup,
esopagus panjang, ekor tajam, dapat hidup pada tanah
yang baik selama 2 minggu. Jika larva menyentuh kulit
manusia, biasanya pada sela antara 2 jari kaki, folikel
rambut, pori-pori kulit ataupun kulit yang rusak, larva secara
aktif menembus kulit masuk ke dalam kapiler darah,
terbawa aliran darah. Waktu yang diperlukan sampai ke
usus halus kira-kira 10 hari.
Cacing dewasa dapat hidup selama kurang lebih 10
tahun. Infeksi per oral jarang terjadi, tetapi larva juga dapat
masuk ke dalam badan melalui air minum atau makanan
yang terkontaminasi. Siklus hidup ini berlaku bagi ke dua
spesies cacing tambang (Natadisastra, 2009).

Gambar 2.12 Siklus Hidup Necator americanus


Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2008
19

4) Patologi dan Gejala Klinis


Infeksi cacing tambang merupakan infeksi menahun
sehingga sering tidak menunjukkan gejala akut. Kerusakan
jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva
maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit membentuk
maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang
hebat disebut ground itch. Waktu larva berada dalam aliran
darah dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif
dapat menimbulkan bronchitis atau bahkan pneumonitis.
Cacing dewasa melekat dan melukai mukosa usus,
menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual, dan diare.
Seekor cacing dewasa menghisap darah 0,2-0,3 ml sehari
sehingga dapat menimbulkan anemia hipokrom mikrositer.
Pada infeksi berat Hb dapat turun sampai 2 g%, penderita
merasa sesak napas waktu melakukan kegiatan, lemah,
pusing dan nadi cepat. Jika terjadi pada anak dapat
menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental
(Natadisastra, 2009).
5) Epidemiologi
Cacing tambang terdapat di daerah tropika dan
subtropika diantara 450 Lintang Utara dan 300 Lintang
Selatan, kecuali Ancylostoma duodenale terdapat di daerah
pertambangan Eropa Utara. Necator americanus tersebar di
separuh belahan bumi sebelah barat, Afrika Tengah dan
Selatan, Asia selatan, Indonesia, Australia dan di
Kepulauan Pasifik.
Penyebarannya disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu, pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di
tempat-tempat yang dilewati orang lain, tanah tempat
pembuangan kotoran yang merupakan medium yang baik,
20

suhu panas dan lembap, serta populasi yang miskin dengan


orang-orang tanpa sepatu.
Penyebaran di Cina terjadi karena pemakaian pupuk
dari kotoran manusia. Ankilostomiasis di Indonesia banyak
terdapat pada karyawan perkebunan karet (Irianto, 2013).
6) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur
pada pemerikaan tinja. Bila jumlah telur cacing sedikit,
sampel tinja di konsentrasi dengan teknik formol eter atau
flotasi dengan menggunakan garam jenuh atau ZnSO4
jenuh. Untuk membedakan kedua spesies tersebut,
diidentifikasi larva filariform yang diperoleh dari biakan tinja
(Pusarawati, dkk., 2014).
7) Pengobatan
Obat untuk Ankilostomiasisdan Necatoriasis yaitu
Askamex (Konimex), Combantrin, Gavox, Helben,
Konvermex, Medikomtrin, Piraska 125, Pyrantin, Quantrel,
Trivexan, dan Vermox 500 (Purwanto, dkk, 2008).
Pengobatan alternatif untuk cacigan dapat
menggunakan obat-obat alami di antaranya Antanan Geude
(Centella asiatica), Putri Malu (Mimosa pudicaI), Jawer
Kotok (Coleus scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea),
biji pinang, kulit buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus
carota) dan kelapa (Anas, 2013).
8) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan tidak
membuang tinja di sembarang tempat, membiasakan
memakai alas kaki bila keluar rumah, dan tidak memupuk
sayuran dengan tinja manusia (Rosdiana, 2010).
21

d. Strongyloides stercoralis
1) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes definitif dari Strongyloides
stercoralis. Penyakit yang disebabkannya yaitu
Strongiloidiasis.
2) Morfologi
Cacing betina berukuran 2,2 x 0,04 mm, tidak
berwarna, semi transparan dengan kutikula yang bergaris-
garis. Cacing ini mempunyai rongga mulut yang pendek dan
esofagus yang ramping, panjang dan silindris. Cacing
betina memiliki badan yang licin, lubang kelamin terletak di
perbatasan antara dua per tiga badan. Cacing jantan
mempunyai ekor yang melengkung (Irianto, 2013).
Larva rabditiform berukuran 225 x 16 mikron,
sedangkan larva filariform ramping dan berukuran 630 x 16
mikron. Telur berbentuk lonjong, dinding tipis dan berukuran
50-54 x 30-34 mikron (Muslim, 2009).

Gambar 2.13 Cacing Gambar 2.14 Larva


Strongyloides stercoralis rabditiform

Gambar 2.15 Larva filariform


Pembesaran 400x
Sumber : Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2008
22

3) Siklus hidup
Telur Strongyloides stercoralis disimpan di dalam
mukosa usus, lalu menetas menjadi larva rhabditiform,
menembus sel epitel dan lewat ke lumen usus, lalu keluar
bersama tinja. Strongyloides stercoralis memiliki 3 macam
siklus hidup, diantaranya adalah :
a) Siklus Langsung
Larva rhabditiform bertukar kulit menjadi larva
filariform yang panjang, ramping, tidak makan dan
infeksius dalam waktu 2-3 hari. Larva filariform ini
menembus kulit manusia, lalu masuk ke sirkulasi vena
melewati jantung kanan sampai ke paru-paru dan
menembus ke alveoli. Dari paru-paru naik ke glottis,
tertelan, sampai ke usus halus dan menjadi dewasa.
Selama migrasi dalam tubuh inang, larva
mengalami 2 kali pergantian kulit untuk menjadi dewasa
muda. Cacing betina dewasa menghasilkan telur 28 hari
setelah infeksi.
b) Siklus Tidak Langsung
Larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing
jantan dan betina bentuk bebas. Setelah pembuahan,
cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi
larva rabditiform. Larva ini dapat menjadi larva filariform
yang infeksius dalam beberapa hari dan masuk ke
dalam hospes baru atau larva rabditiform tersebut
mengulangi fase hidup bebas.
Siklus tidak langsung ini terjadi apabila keadaan
lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas
parasit ini.
23

c) Autoinfeksi
Larva rabditiform seringkali menjadi larva filariform
di usus atau di daerah sekitar anus (perianal). Jika larva
filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal,
maka terjadi siklus perkembangan di dalam hospes.
Autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis
menahun pada penderita yang hidup di daerah non-
endemik (Sutanto, 2008).

Gambar 2.16 Siklus Hidup Strongyloides stercolaris


Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2010

4) Patologi dan Gejala Klinis


Infeksi Strongyloides seringkali tidak menunjukkan
gejala klinis. Bila ada, gejala klinis dapat berupa gangguan
pencernaan, antara lain rasa sakit pada perut dan diare.
Selama migrasi ke paru-paru, larva dapat menimbulkan
gejala pada paru-paru. Manifestasi pada kulit berupa gatal-
gatal dan kemerahan.
24

Strongiloidiasis pada penderita imunosuppressed


(misalnya penderita HIV/AIDS) akan menyebabkan rasa
sakit dan kaku pada abdomen, syok, komplikasi pada paru-
paru dan saraf, serta sindroma hiperinfeksi yang fatal
(Pusarawati, 2014).
5) Epidemiologi
Cacing ini dalam perkembangannya di alam bebas
memerlukan suhu rata-rata sekurang-kurangnya 150C
dengan kelembaban tanah. Suhu optimal terletak antara
230C dan 300C, dengan demikian penyebarannya terdapat
di daerah tropis dan subtropis, serta di daerah
pertambangan. Penyebab utama penyebaran ini karena
pembuangan tinja di tanah (Irianto, 2013).
6) Diagnosis
Diagnosis strongiloidiasis ditegakkan melalui:
a) Penemuan larva rhabditiform atau larva filariform pada
pemeriksaan tinja.
b) Penemuan telur atau larva pada pemeriksaan cairan
duodenum, apabila pemeriksaan tinja hasilnya negatif.
c) Penemuan larva filariform atau cacing dewasa yang
hidup bebas pada biakan sediaan tinja dengan metode
Harada Mori atau media agar (agar plate).
7) Pengobatan
Obat untuk strongiloidiasis adalah Gavox, Helben,
Trivexan, Vermox 500 (Purwanto, dkk., 2008). Pengobatan
alternatif untuk cacigan dapat menggunakan obat-obat
alami di antaranya Antanan Geude (Centella asiatica), Putri
Malu (Mimosa pudicaI), Jawer Kotok (Coleus
scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea), biji pinang, kulit
buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus carota) dan
kelapa (Anas, 2013).
25

8) Pencegahan
Tidak buang air besar disembarang tempat,
membiasakan memakai alas kaki bila keluar rumah, dan
tidak memupuk sayuran dengan tinja manusia (Rosdiana,
2010).

3. Metode Flotasi (Pengapungan)


Metode flotasi merupakan salah satu teknik konsentrasi
yang digunakan apabila telur atau larva cacing, kista atau trofozoit
protozoa jumlahnya sangat sedikit. Teknik konsentrasi ada empat
macam, yaitu teknik flotasi dengan menggunakan larutan NaCl,
teknik sedimentasi formaldehid-eter, teknik sedimentasi
formaldehid-detergen, dan teknik sedimentasi untuk larva
Strongyloides stercoralis atau yang biasa disebut dengan metode
Harada-Mori (WHO, 2012).
Metode flotasi merupakan metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi telur cacing dengan menggunakan larutan
pengapung seperti larutan NaCl jenuh (BJ 1.20), Natrium Nitrat (BJ
1.18), Seng Sulfat (BJ 1.18), Larutan Sukrosa (BJ 1.20) (Soedarto,
2011).
Metode flotasi merupakan metode terbaik untuk
pemeriksaan telur cacing tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale), selain itu metode ini dianjurkan untuk
pemeriksaan A. lumbricoides, Trichuris trichiura, Taenia sp., dan
Hymenolepis nana. Metode flotasi ini tidak dianjurkan untuk
pemeriksaan trematoda dan Schistosoma sp., larva Strongyloides
stercoralis atau kista atau trofozoit protozoa (WHO, 2012).
Prinsip dari metode flotasi ini yaitu berdasarkan perbedaan
berat jenis telur yang lebih ringan dibandingkan dengan berat jenis
larutan yang digunakan, sehingga telur akan mengapung di
permukaan, selain itu untuk memisahkan partikel-partikel besar
26

yang ada dalam tinja (Natadisastra, 2009). Jadi pada metode ini
berat jenis larutan yang digunakan harus lebih besar dari berat
jenis telur cacing.
Larutan jenuh merupakan larutan yang mengandung zat
terlarut dalam jumlah maksimal pada suhu tertentu. Ciri bahwa
suatu larutan sudah jenuh yaitu dengan terbentuknya endapan.
Natrium klorida (NaCl) merupakan garam yang berbentuk kristal
berwarna putih yang larut dalam air dan tidak dapat larut dalam
alkohol (Mulyono, 2012).

4. Sayuran Selada
Selada termasuk dalam family Compositae yang dalam
pertumbuhan dan budidayanya harus memperhatikan musim,
sebab tidak semua musim dapat menghasilkan selada yang baik.
Kegunaan utamanya adalah sebagai salad (Wijayanto, 2015).
Daun selada memiliki tampilan yang sangat menarik dan
dapat menggugah selera makan. Oleh sebab itu kini daun selada
juga banyak digunakan sebagai salah satu sayuran pelengkap
untuk berbagai macam masakan seperti gado-gado, tahu campur,
rujak cingur, burger, kebab, dan lain-lain.
Warna selada ada yang merah dan juga hijau (Saparinto,
2013). Berbeda dengan sayuran lainnya, selada tidak pernah
dimasak karena rasanya menjadi agak liat dan sulit dicerna
(Sunarjono, 2015).
a. Klasifikasi Selada
Kedudukan selada dalam sistematika tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermathophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
27

Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae/Compositae
Genus : Lactuca
Spesies : Lactuca sativa L (Saparinto, 2013)
b. Morfologi Selada
Selada memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut.
Akar serabut menempel pada batang dan tumbuh menyebar
kesemua arah pada kedalaman 20-50 cm atau lebih. Daun
selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang beragam
tergantung varietasnya. Tinggi tanaman selada daun berkisar
antara 30-40 cm dan tinggi tanaman selada kepala berkisar
antara 20-30 cm (Saparinto, 2013).

Gambar 2.17 Selada


Sumber : Sunarjono Bertanam 36 Jenis Sayuran, 2015

c. Jenis-Jenis Selada
1) Selada mentega atau selada telur, kropnya bulat, tetapi
mudah lepas. Rasanya lunak dan enak, sehingga paing
banyak digemari. Kelebihan selada mentega ini
dibandingkan dengan jenis selada lainnya ialah tidak
mudah rusak, sehingga dapat dikirim ke tempat yang jauh.
2) Selada tutup, kropnya bulat agak padat, dan rasanya
renyah.
3) Selada potong, ropnya lonjong atau bulat panjang, rasanya
enak tetapi agak liat (Sunarjono, 2015).
28

d. Manfaat Selada
Selada mengandung zat besi yang membantu
mengurangi lemak dengan cepat, mengandung beta karoten
yang berfungsi memerangi kanker (kolon dan rektum), penyakit
jantung dan penuaan dini. Vitamin B kompleks untuk
mempertahankan kesehatan rambut, kuku, dan kulit. Selada
juga mengandung serat dan mengandung kalium, kalsium.
Selada memiliki banyak manfaat antara lain dapat
memperbaiki organ dalam, mencegah panas dalam,
melancarkan metabolisme, membantu menjaga kesehatan
rambut, mencegah kulit menjadi kering, dan dapat mengobati
insomnia serta dapat digunakan sebagai obat sembelit
(Supriati dan Herliana, 2014).

5. Sayuran Kubis/Kol
Kubis di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kol, akan
tetapi kubis juga disebut dengan kobis atau kobis bulat. Tanaman
dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. ini dimanfaatkan
daunnya untuk dimakan. Daun kubis tersusun rapat membentuk
bulatan, yang disebut krop, kop atau kepala. Nama kubis diambil
dari bahasa Perancis, yaitu chou cabus yang berarti kubis kepala.
Namun, kubis yang selama ini dikenalkan oleh sebagian orang
Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda adalah kol atau kool yang
diambil dari bahasa Belanda (Wijayanto, 2015).
Kubis juga termasuk jenis sayuran yang mudah dikonsumsi,
sebab selain digunakan sebagai sayur, kubis juga dapat dimakan
mentah sebagai lalapan, asinan, gado-gado, sop dan cap cay
(Wijayanto, 2015).
a. Klasifikasi Kol/Kubis
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
29

Kelas : Magnoliophyta
Ordo : Brassicales
Famili : Cruciverae (Brassicaceae)
Genus : Brassica
Spesies : Brassica oleracea .
b. Morfologi
Tanaman kubis berbatang pendek dan beruas-ruas,
berakar tunggang dengan akar sampingnya sedikit dangkal.
Daunnya lebar berbentuk bulat telur dan lunak. Daun yang
muncul terlebih dahulu menutup daun yang muncul berikutnya,
demikian seterusnya hingga membentuk krop daun bulat
seperti telur dan padat berwarna putih. Bunganya tersusun
dalam tandan dengan mahkota bunga berwarna kuning.
Buahnya bulat panjang menyerupai polong.
Polong muda berwarna hijau, setelah tua berwarna
kecoklatan dan mudah pecah. Bijinya kecil berbentuk bulat,
dan berwarna kecoklatan. Biji yang banyak menempel pada
dinding bilik tengah polong (Sunarjono, 2015).

Gambar 2.18 Kol/Kubis


Sumber : Sunarjono Bertanam 36 Jenis Sayuran, 2015

c. Jenis-Jenis Kubis
1) Kubis krop (telur)
Kubis ini dikenal dengan nama kubis putih (Brassica
oleracea L. var. capitata L.), yang memiliki daun berbentuk
30

krop. Daun ini menutup satu sama lain hingga warna krop
menjadi putih. Krop kubis tersebut besar dan padat
sehingga tahan banting jika dikirim jauh.
2) Kubis tunas atau kubis babat
Kubis tunas (Brassica oleracea L. var. bullata Ds)
biasanya membentuk krop, bahkan tunas sampingnya pun
dapat membentuk krop kecil.
3) Kubis umbi (Brassica oleracea L. var. gongylodes L.)
Bagian dasar batang di bawah tanah atau di atas
tanah membesar sehingga merupakan umbi besar. Salah
satu varietasnya adalah kohlrabi yang diperbanyak dengan
biji, yaitu white Vienna.
4) Kubis bunga (Brassica oleracea L. var. botrytis L).
Kubis ini memiliki bunga yang mengembang dan
membentuk masa bunga. Bunga tersebut berbentuk kerucut
terbailik dan berwarna putih kekuning-kunigan. Contoh
varietasnya yaitu snowball dan snowspeak (Sunarjono,
2015).
d. Kandungan dan Manfaat Kubis/Kol
Kandungan yang terdapat dalam kol di antaranya vitamin
C, protein, riboflavin, niacin, folat, vitamin K, potasium,
magnesium, pantothenic acid, zat besi dan serat. Manfaat kol
yaitu sebagai antikanker, meningkatkan sistem pencernaan
dan untuk menjaga daya tahan tubuh, serta membantu
mengeluarkan toksin berbahaya dari tubuh dengan memicu
pelepasan enzim yang bertugas mendorong toksin untuk keluar
(Prasetio, 2013).
31

B. Kerangka Konsep Penelitian

Cacingan

Nematoda Usus

- Penggunaan pupuk
dengan tinja manusia Selada &
- Pencucian sayuran kol/kubis
(selada & kol)

Metode Metode
Flotasi Sedimentasi

Ditemukan Telur Tidak Ditemukan Telur


Soil Transmitted Soil Transmitted
Helminth (STH) Helminth (STH)

Jenis Telur Soil


Transmitted
Helmith

Keterangan :

: yang diteliti

: yang tidak diteliti


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Cordoba. (2012) Bandung : PT Cordoba Internasional Indonesia.

Badrunasar, Anas (2013) Keanekaragaman Tumbuhan Liar Berkhasiat


Obat. Ciamis : Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis.

Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI (2014) Profil Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

HAM, Mulyono. (2012) Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. Jakarta :


PT Bumi Aksara.

Irianto, Koes. (2013) Parasitologi Medis (Medical Parasitology). Bandung :


Alfabeta.

Muslim, H. M. (2009) Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Natadisastra, D. & Agoes. R. (2009) Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari


Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC.

Prasetio, Bambang (2013) Budidaya Sayuran di Pot. Yogyakarta : Lily


Publisher.

Prianto, Juni L.A (2010) Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama

Purwanto, dkk. (2008) Data Obat Indonesia Edisi 11. Jakarta : PT


Muliapurna Jayaterbit.

46
47

Pusarawati, Suhintam, dkk. (2014) Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta:


EGC.

Rahayu A, Siti A. (2013) Identifikasi Telur Cacing Usus pada Lalapan


Daun Kubis yang Dijual Pedagang Kaki Lima di Kawasan Simpang
Lima Kota Semarang. Semarang : Jurnal FKM UNIMUS.

Safar, Rosdiana. (2010) Parasitologi Kedokteran Protozologi,


Helmintologi, dan Entomologi. Bandung : Yrama Widya.

Saparinto, C. (2013) Grow Your Own Vegetables-Panduan Praktis


Menanam 14 Sayuran Konsumsi Populer di Pekarangan. Penebar
Swadaya : Yogyakarta.

Soedarto, Prof. Dr. DTM & H, PhD. (2011) Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Jakarta : CV Sagung Seto.

Staf Pengajar Bagian Parasitologi, FKUI. (2008) Parasitologi Kedokteran


Edisi Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Sunarjono, Drs. H. Hendro (2015) Bertanam 36 Jenis Sayuran. Depok :


Penebar Swadaya.

Supriati, Y. dan E. Herliana. (2014) 15 Sayuran Organik dalam Pot.


Jakarta : Penebar Swadaya.

Verdira A, dkk. (2013) Distribusi Frekuensi Soil Transmitted Helminth pada


Sayuran Selada (Lactuca sativa) yang Dijual di Pasar Tradisional
dan Pasar Modern di Kota Padang. Padang : Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
48

Wardhana, dkk. (2013) Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminth pada


Lalapan Kubis (Brassica oleracea) di Warung-Warung Makan
Universitas Lampung. Bandar Lampung : Jurnal Kesehatan
Universitas Lampung.

WHO. (2012) Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan.


Jakarta : EGC.

Widoyono, dr. MPH. (2011) Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,


Pencegahan & Pemberantasannya Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga.

Wijayanto, Ari (2015) Untung Selangit Budidaya 10 Sayuran Paling


Favorit. Yogyakarta : Araska.

Anda mungkin juga menyukai