Anda di halaman 1dari 18

Ideologi dan Nilai Ketuhanan Dalam Novel Atheis Karya Achdiat K.

M:
Kajian Sosiologi Sastra

Ideology and Value Of God in The Novel Atheis By Achdiat K. M:


Literature Sociology Study

Asep Mardianto
Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak Abstract

Ideologi dan nilai ketuhanan menjadi sebuah The ideology and divine values become an
kajian menarik dalam telaah novel. Di interesting study in the study of novels. It
dalamnya terdapat makna dan gejolak contains the meaning and ideological turmoil
ideologi yang dialami tokoh utama. Metode experienced by the main character. The
penelitian yang digunakan adalah metode research method used is descriptive
kualitatif deskriptif. Teknik peneliti meliputi qualitative method. Research techniques
membaca, menghayati, memahami, mencatat include reading, living, understanding, taking
dan mengidentifikasi ideolog serta nilai notes and identifying ideologies and divine
ketuhanani. Adapun hasil dari penelitian values. The results of the study are as
adalah sebagai berikut. Pertama, pengaruh follows. First, the influence of Atheism
ideologi Ateisme pada tokoh utama. Kedua, ideology on the main character. Second, the
nilai ketuhanan religiusitas di dalam novel divine value of religiosity in the Atheist
Atheis. Ketiga, perubahan ideologi yang novel. Third, the ideological changes
dialami tokoh utama. Pada akhirnya, tokoh experienced by the main character. In the
utama mengalami gejolak ideologi yang end, the main character experiences
membuat nilai ketuhanan tidak dipercayainya ideological fluctuations that make divine
lagi, kemudian mulai kembali mempercayai values no longer trusted by him, then begins
nilai ketuhanan dan religiusitas setelah to return to believing in divine values and
mengalami koflik rumah tangga. Penelitian religiosity after experiencing household
ini diharapkan sebagai sarana Pendidikan conflicts. This research is expected as a
karakter dan Pendidikan agama dalam means of character education and religious
kehidupan bermasyarakat agar selalu education in social life so that it always
menjunjung tinggi nilai ketuhanan. upholds divine values.

Kata Kunci: Ideologi, Religiusitas, Ateisme, Key Word: Ideology, Religiosity, Atheism,
Ketuhanan Deity

1. Pendahuluan
Karya sastra adalah sebuah bentuk seni yang merangkai kata-kata menjadi sebuah tulisan yang
indah. Karya sastra tidak hanya sebatas pada seni yang menghibur. Akan tetapi, ada aspek
kehidupan dan moral di dalamnya. Sebuah cipta sastra mengung-kapkan masalah-masalah
manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-
penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala yang dialami
manusia (Mursal Esten, 1990:8). Novel adalah salah satu karya sastra yang berbentuk prosa.
Novel termasuk karangan prosa yang panjang dan mengandung rangkaian cerita kehidupan.
Menurut Taine (dalam Anwar, 2010: 20) novel secara analog adalah sebuah cermin kecil yang
dapat dibawa ke mana-mana. Cermin tersebut cocok untuk merefleksikan segala aspek
kehidupan dan alam. Dengan membaca novel mengantarkan pembacanya untuk berefleksi
tentang masyarakat dengan menampilkan dan membicarakan kehidupan masyarakat.
Novel sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Novel juga merupakan
karya yang lahir dan hidup di tengah masyarakat. Walaupun novel dianggap sebagai karya
kreatif yang imajinatif, novel tetap menggambarkan kondisi sosial masyarakat. Hal ini
dikarenakan novel dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena novel merupakan hasil cipta
seorang pengarang yang bagian dari masyarakat. Sebuah novel tidak jarang
menginterpretasikan realitas sosial. Salah satu realitas sosial yang sering terjadi gesekan
adalah ideologi dan agama. Ideologi dan agama sering menimbulkan gejolak sosial diantara
penganutnya. Contoh permasalahan ideologi dan agama ditampilkan dalam novel Atheis karya
Achdiat Karta Miharja yang terbit pada tahun 1949.
Dibalik judulnya yang kontroversi novel ini menyajikan cerita tragedi dan ideologis
yang sangat kental. Novel Atheis menarik untuk dikaji karena isi dan makna yang terkandung
di dalamnya. Novel ini menampilkan jalan cerita yang mempertemukan dua kepercayaan serta
ideologi yang berbeda. Novel Atheis dapat menampilkan konflik yang menunjukkan
perubahan keyakinan pada diri seseorang. Bahkan novel ini dapat membuat pembaca
berspekulasi akan keterkaitan tokoh utama dan penulis dalam novel tersebut.
Novel ini bercerita tentang tokoh bernama Hasan. Hasan pada awal cerita digambarkan
sebagai sosok yang taat beragama. Hal ini dikarenakan kedua orang tuanya sangat erat
memegang kepercayaan agama Islam. Keyakinannya mulai goyah ketika ia mengenal tokoh
Kartini yang membuatnya jatuh cinta. Pada akhirnya Hasan meninggalkan kepercayaannya
dan menikahi Kartini. Di akhir cerita tampak rumah tangganya dan keluarga hancur. Hasan
harus meninggal dengan penyesalan yang mendalam. Novel Atheis kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh R.J Maguire dan Achdiat Karta Miharja. Selain itu, novel ini
sudah diterbitkan oleh Universitas of Queensland Press, Australia. Novel ini diterbitkan pula
dalam seri Asian and Pasific Writing dan diterima dalam Indonesia Series of Translation
Collection of the UNESCO. Di samping itu, tahun 1974 Sjuman Djaya mengangkat novel
Atheis ini ke dalam film layar lebar.
Dari gambaran novel Atheis diketahui aspek ideologi dan nilai ketuhanan
mempengaruhi isi di dalam novel tersebut. Ideologi dan adalah cerminan dari masyarakat.
Dari perspektif mimetis sastra dimaknai sebagai tiruan atau cerminan masyarakat. Hal ini
sejalan dengan pendapat Goerge Lukacs sebuah novel tidak hanya mencerminkan ‘realitas’
tetapi lebih lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin
melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena
idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak
mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk
khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas
secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden,
1991:27).
Hubungan antara karya sastra dengan masyarakat termasuk ke dalam kajian sosisologi
sastra. Dalam hal ini, sosiologi sastra melihat sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial
masyarakat (Damono dalam Rokhmansyah, 2014: 147). Sosiologi sastra merupakan
pendekatakan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan.
Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam sosiologi sastra adalah sosiologi sastra
Marxis. Teori Marxis atau Marxisme sebenarnya merupakan teori tentang ekonomi, sejarah,
masyarakat, dan revolusi sosial. Namun dalam perkembangannya, Marxisme sering digunakan
sebagai dasar analisis sastra, sehingga dikenal istilah Sosiologi Sastra Marxis. Dibandingkan
dengan teori sosial lainnya, teori sosial Marxis menduduki posisi yang dominan dalam segala
diskusi mengenai sosiologi sastra (Hall dalam Faruk, 2015: 6). Hal ini sejalan dengan
pendapat Alfian Rokhmansyah (2014: 54) bahwa pendekatan sosiologi sastra yang paling
terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme.
Ideologi dalam karya sastra menurut Marx merupakan kesadaran, keyakinan, ide, dan
gagasan yang dipercaya masyarakat yang berkaitan bentuk aktivitas material masyarakat. Di
sinilah karya sastra kemudian ditempatkan sebagai sistem produksi ideologi suatu kelas
tertentu. Namun dengan melihat sastra sebagai artefak yang dideterminasi oleh aktivitas
material, maka sebelum sastra sebagai produksi ideologi, sastra sebenarnya adalah representasi
ideologi kelas sosial pengarang sebagai anggota masyarakat (Kurniawan, 2011:44-46).
Ideologi merupakan gagasan yang dipaksakan oleh suatu kelompok dominan kepada
kelompok minor atau terkuasa. Ideologi dipandang sebagai cara pandang dalam berfikir,
memahami diri, bertindak dan memahami hubungan dengan masyarakat.
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan
tuhan dan dewi-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Ideologi Ateisme dan komunisme
tentu berbeda. Ateisme adalah keyakinan tentang tidak percaya terhadap tuhan, sedangkan
komunisme adalah paham ekonomi yang menganggap alat produksi dimiliki bersama dengan
intervensi negara, sehingga tidak ada sistem kelas dalam sistem tersebut. Namun, keduanya
memiliki pehamanan yang hampir sama tentang agama. Kedua ideologi tersebut menentang
adanya agama dalam proses bermasyarakat. Dalam ateime terdapat beberapa jenis yang sering
digunakan oleh penganutnya. Pada novel Atheis Salah satu jenis yang dianutnya adalah
Ateisme praktis. Dalam Ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apAteisme,
individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan
paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat
dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan
hidup, ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk Ateisme praktis dengan
implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalism metodologis, yaitu pengambilan
asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa
secara penuh menerima atau memercayainya.
Ateisme praktis dapat berupa:
 Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan
moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
 Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan
tindakan praktis;
 Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama;
dan
 Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa
Atheis sering menggunakan logika dan skeptisisme untuk membenarkan pemikiran
mereka. Jika pola pikir Anda menggunakan ayat-ayat Tuhan dan bahkan tidak masuk akal,
sudah pasti Anda akan menjadi sasaran atheis dalam diskusi. Atheis tidak percaya pada Tuhan
karena orang percaya percaya pada Tuhan dan agama. Tuhan dan agama yang ada untuk ateis
saat ini adalah keajaiban dan absurditas yang luar biasa. Bagi para ateis, Tuhan dan alam
semesta dan manusia adalah mukjizat bagi mereka yang tidak dapat mereka tanggapi. Atheis
suka berdiskusi dengan para atheis lainnya dan juga dengan mereka yang percaya pada
keberadaan agama untuk memperkuat dan memuaskan dahaga intelektual dan logis mereka.
Atheis sangat senang ketika mereka dapat berdebat dengan para atheis dan ketika mereka
melihat bahwa para atheis tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan logis dari para atheis,
kehausan akan keunggulan intelektual terpadamkan.
Sastra dikatakan sebagai media refleksi sosial. Karya sastra adalah dokumen sosio
budaya yang dapat digunakan untuk melihat suatu fenomena yang terjadi pada suatu
masyarakat dan pada masa tertentu. Selain itu, dengan melakukan pembacaan secara cermat
terhadap karya satra akan diketahui apa yang terjadi pada masyarakat tersebut (Laurenson, D.
& Alan S., 1972:13). Releksi pada masyarakat Indonesia tidak lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Nilai ketuhanan ini ada karena dasar ideologi Pancasila yang dipakai Indonesia. Di mana
ideologinya menyatakan diri sebagai negara ketuhanan dan menjunjung tinggi agama yang
dianut setiap orang. Problematika sosial yang tengah dihadapi masyarakat juga telah
dituangkan ke dalam proses penciptaan beberapa novel yang bertemakan religiusitas. Novel
tersebut merupakan suatu karya imajinasi pengarang yang menggambarkan masyarakat secara
jelas melalui fenomena-fenomena sosialnya. Endraswara (2013: 22) menyatakan bahwa karya
sastra tidak jauh berbeda dengan fenomena manusia yang bergerak, fenomena alam yang
kadang-kadang ganas, dan fenomena apapun yang ada di dunia dan akhirat.
Nilai ketuhanan ini kemudian salah satu aspek yang mendukung regigiusitas yang ada
di masyarakat. Dalam religius ini terdapat pesan spiritual di dalamnya. Berbicara tentang
pesan-pesan spiritual, tentu saja kita juga mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang mengutamakan nilai spiritualnya biasanya merasa dekat dan takut pada Sang
Pencipta, dekat dengan alam, dan merasa dekat dengan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan
atau sosok transenden (di luar akal manusia) (Ginanti, 2015). Spiritual juga berarti kejiwaan,
rohani, batin, mental, moral (Doe, Mimi dan Walch, 2001). Dalam nilai-nilai ketuhanan
pemahaman religius adalah ketaatan seseorang dalam menjalankan ibadah. Aspek religius
digambarkan oleh tokoh utama yang tidak pernah meninggalkan ibadahnya serta ada
keinginan untuk membuat orang yang tidak beragama menjadi beragama. Tokoh utama
berusaha mengaplikasikan ajaran agamanya dalam keadaan apapun. Namun, realitas
masyarakat atau orang-orang sekitarnya merubah semuanya.
Penulis menemukan beberapa penelitian yang serupa. Temuan yang pertama yaitu
artikel jurnal Hildan Udayana dan Bambang Indiatmoko pada tahun 2017 dengan judul
Ekspresi Cinta dan Citra Religius dalam Novel Atheis karya Achdiat Kartamiharja. Selain itu,
temuan kedua juga pada artikel jurnal Candra Rahma Wijaya Putra tahun 2018 dengan judul
Cerminan Zaman Dalam Puisi (Tanpa Judul) Karya Wiji Tukul: Kajian Sosiologi Sastra. Pada
artikel yang pertama terdapat persamaan antara objek yang diteliti yaitu novel Atheis karya
Achdiat Karta Miharja. Hanya saja pada artikel tersebut tidak menggunakan pendekatan
sosiologi sastra. Selain itu, topik atau masalah yang diangkat berbeda. Jurnal kedua memiliki
objek yang berbeda tetapi kajian atau pendekatan penelitian sama, yaitu sosiologi sastra.
Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah pada penelitian
ini yaitu sebagai berikut. (1) Bagaimana pengaruh ideologi Ateisme terhadap tokoh utama
dalam novel Atheis? (2) Bagaimana nilai Ketuhanan Religius dalam novel Aheis? Dan (3)
Bagaimana Perubahan ideologi tokoh dalam novel Atheis?

2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang sepenuhnya memberikan
penjabaran terhadap analisis dari kedua karya sastra yang telah dipilih. Penelitian ini
menggunakan teori komparatif, yang mana untuk menjaga jalannya penelitian ini secara
sistematis, terstruktur dan terkontrol, maka metode pengumpulan data, pendekatan, dan model
penyajian data akan dijelaskan sebagai berikut:
2.1 Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini bersumber dari beberapa karya sastra tragedi sebagaimana telah disebutkan
terlebih dahulu. Beberapa prosedur dan metode pengumpulan data ditetapkan sebagai berikut:
1. Melakukan pembacaan pada novel Atheis Karya Achdiat Karta Miharja secara berulang-
ulang dengan cermat dan teliti.
2. Setelah melakukan pembacaan, kemudian melakukan identifikasi dan menandai data
dengan cara mencatat kutipan-kutipan yang terkait dengan idiologi dan nilai ketuhanan
yang ada dalam novel Atheis Karya Achdiat Karta Miharja.
Setelah melakukan pengumpulan data, Peneliti melakukan analisis data. Pertama, data
yang telah dikumpulkan diidentifikasi dengan perspektif sosiologi Sastra Marxis. Fokus dalam
penelitian adalah idiologi dan nilai ketuhanan yang ada dalam novel Atheis Karya Achdiat
Karta Miharja, maka peneliti mengidentifikasi hal-hal yang menunjukkan ideologi dan nilai
ketuhanan yang berhubungan dengan paham atheisme dan religius. Kedua, peneliti
mengklasifikasikan data agar mempermudah analisis data selanjutnya. Ketiga, Peneliti
kemudian melakukan interpretasi data yaitu dengan menafsirkan data yang telah diidentifikasi
ke dalam bentuk paparan kebahasaan. Keempat, menyimpulkan hasil penelitian.

3. Hasil dan Pembahasan


Pengaruh ideologi Atheisme dan nilai ketuhanan dalam novel Atheis karya Achdiat Karta
Mihardja sangat kental. Pengaruh kedua kepercayaan yang bertolak belakang ini membuat
tokoh utama mengalami gejolak batin. Gejolak batin membuat tokoh utama yang bernama
Hasan yang pada awalnya penganut agama Islam yang kuat kemudian berubah menjadi
pengikut Atheisme. Pengaruh ideologi yang terdapat dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta
Mihardja Termuat dalam uraian berikut.
3.1 Ideologi Ateisme
Sebagai paham atau kepercayaan yang tidak meyakini keberadaan Tuhan, Ateisme menjadi
salah satu alasan perubahan kepercayaan dan gejolak batin yang dialami tokoh utama.
Sebaliknya, Islam adalah sebuah agama yang keyakinannya berbasis pada adanya Tuhan,
malaikat, dan jin. Islam menjadikan kepercayaan itu sebagai rukun iman. Wujud ideologi
Islam ini terlihat jelas pada aktivitas yang dilakukan oleh Hasan. Hasan adalah seorang
pemuda yang saleh yang senantiasa mengingat Allah Swt melalui ibadah-ibadah yang
dilakukannya seperti salat dan zikir. Salat dan zikir merupakan media untuk berhubungan
dengan Allah Swt yang gaib dan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Meskipun Allah
Swt tidak dapat dilihat, didengar, diraba dan dirasa, kaum muslimin meyakini keberadaannya
di alam semesta ini.
“Dalam pada itu aku sudah bertekun sambil bersila di atas pelampikan, mencoba lagi
memusatkan seluruh jiwa robani ke hadirat Yang Esa. Aku bertawaduh. Seperti biasa
kututupi seluruh panca-indra, sedang lidah kulipatkan, seakanakan kata hati bisa
bungkem juga dengan akal begitu. Demikian pula mata kupejamkan erat-erat, seakan-
akan mata khayalku akan menjadi buta juga karenanya.” (Mihardja, 2011, hlm.75).
Ideologi Islam yang terwakili oleh tokoh Hasan dalam mempercayai alam gaib ini
mendapat tantangan yang hebat dari tokoh Parta dan Anwar yang merupakan aktivis ideologi
Marxis Komunisme. Parta dan Anwar sangat tidak percaya dengan adanya alam gaib yang
dengan sendirinya juga tidak memercayai adanya Tuhan beserta para malaikat dan jin.
Ketidakpercayaan Parta dan Anwar itu diperlihatkan kepada Hasan dengan cara memberikan
pemahaman tentang tidak adanya Tuhan.
“Tuhan itu tidak ada. Yang ada ialah teknik. Dan itulah Tuhan kita! Sebab tekniklah
yang memberikan kesempatan hidup kita.” Begitulah kata Bung Parta menegaskan
lagi uraiannya. “Tidak!” seru Anwar tiba-tiba. “Tidak! Teknik itu cuma alat.”
Kawan-kawan pada kaget mendengar suara itu.” (Mihardja, 2011, hlm. 121)
Pada kutipan tersebut diperlihatkan bagaimana sosok Anwar secara terang-terangan
menolak akan adanya Tuhan. Pada Ateisme praktis wujud kepercayaan terhadap akal pikiran
dan cara pandang hidup yang tidak mempercayai Tuhanlah yang mengatur jalannya
kehidupan, melainkan manusia itu sendiri. Mereka mempercayai bahwa tuhan adalah sebuah
cara atau teknik yang digunakan oleh manusia. Kekuasaan atas teknik tersebut ditentukan oleh
manusia itu sendiri. Selain tidak mempercayai Tuhan, penganut Ateisme tidak percaya adanya
alam gaib. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
“Nyi Emeh sangat aneh matinya. Ia mati, karena diminta kawin oleh Embah
Jambrong. Embah Jambrong itu adalah dedemit atau hantu yang berkuasa di kuburan
Garawangsa.” Begitulh cerita Pak Artasan.
“Ah, bohong itu!” kata Anwar. “Tidak ada dedemit atau hantu!”
“Sungguh mati, Raden!” Pak Artasan menjawab dengan suara yang tidak
kalah yakinnya dengan suara Anwar. “Itu bukan dongeng!” “Memang itu bukan
bohong, Raden!” kata Pak Ahim seolah-olah mau turut meyakinkan Anwar. “Bukan
dongeng!”
“Ya, Ahim pernah melihatnya!” “Memang, saya pernah melihatnya. Dan
bukan saya saja, tapi banyak lagi kawan-kawaan di kampung ini yang sudah melihat
Embah Jambrongitu.”
“Ah, bohong itu! Bohong! Aku tidak percaya! Tidak! Tidak mau percaya!”
(Mihardja, 2011, hlm. 153-154).
Kepercayaan terhadap yang gaib merupakan kepercayaan yang dipegang teguh
penganut Islam bahkan seluruh agama yang ada. Tokoh Anwar secara terang-terangan
menolak konsep tersebut dan menganggap bahwa cerita tentang dedemit atau hantu adalah
kebohongan saja. Secara lantang dan keras tokoh Anwar sangat menolak konsep tersebut.
Meskipun sudah diberi penjelasan oleh teman-teman kerjanya, seperti dari pemaparan teori
bahwa orang ateis hanya senang dan mau berdiskusi dengan orang ateis lagi. Sesuatu yang
gaib tidak dapat diterima akal sehat. Sementara paham Ateisme selalu menggunakan akal dan
pikiran dalam sudut pandangnya.
Kemudian dalam Ateisme praktis tindakan moral atau tindakan sehari-sehari tindak
berlandaskan dari prinsip ketuhanan. Orang-orang ateis tidak meyakini adanya karma atau
balasan atas tindakan yang dilakukannya. Mereka hanya meyakini pada atas pola pikir salah
dan benar. Namun, tidak berpegang teguh dan termotivasi untuk menjaga moral.
“Jadi kau tidak mencintai dia, Tin?” Suaraku harap-harap cemas. Harap-
harap cemas seperti seorang pengarang muda menunggu putusan redaksi. Kartini
tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke dalam wajahku dengan sinar mata yang
mesra. Seolah-olah berkata hatinya: Mengapa belum juga mengerti engkau?! Maka
berdegap-deguplah lagi hatiku seperti tadi. Makin lama, makin keras…dan dengan
tidak terinsyafi lagi olehku, maka badan yang lampai itu tiba-tiba kurentakkan,
sehingga jatuhlah ke dalam pelukanku. Bibir sama bibir bertemu dalam kecupan yang
mesra. Dan melekat panas dalam pelukan yang erat. “Lindungilah daku,” bisiknya,
meletakkan kepalanya di atas dadaku” (Mihardja, 2011, hlm. 131-132).
Kutipan di atas adalah bentuk kebebasan dalam bertindak tanpa memperhatikan nilai
ketuhanan khususnya dalam ajaran agama Islam. Dalam Islam bahkan pertemuan antara lelaki
dan perempuan muhrim dan hanya berduaan termasuk mengundang zina. Tindakan Hasan
yang tergoda dengan Kartini sehingga melupakan ajaran Islam tentang diharamkannya
sepasang laki-laki dan perempuan saling bersentuhan. Tokoh Kartini pada novel Atheis
memang memegang perasanan yang sangat penting. Bukan hanya mengubah pandangan
Hasan dengan tradisi berpikir, Kartini mengubah Hasan dengan rayuan dan pendekatan
kepadanya. Sehingga Hasan tergoda dan mulai meyakini ajaran atheisme. Selain perbuatan
zina antara Hasan dan Kartini aspek tidak pedulinya terhadap moral dapat dilihat dari
pergaulan antaran tokoh Rusli dan Kartini. Hasan sebagai orang yang didik oleh ajaran Islam
yang kental merasa bingung dengan perilaku Rusli dan Kartini yang merasa bebas saja untuk
melakukan sebuah perbuatan yang menurut Islam dikategorikan tidak patut, yaitu seorang
gadis memasuki kamar seorang bujangan secara sembarang saja. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut.
“Di kamarku ada kaca besar,” kata Rusli. “Boleh saya?” tanya Kartini
bangkit. “Tentu saja, kenapa tidak boleh! Tak usah kuhantarkan toh?”
“Aku sudah besar. Tahu jalan. Jangan takut, takkan tersesat!” jawab Kartini
tertawa sambil menghilang ke dalam kamar.
Aku tercengang-cengang saja melihat semua itu. Ia masuk ke kamar. Kamar
seorang laki-laki bujangan. Mimpikah aku? Atau bagaimana ini?…..Sungguh bebas
ia! Terlalu bebas, menurut ukuranku” (Mihardja, 2011, hlm. 38).
Sikap Hasan yang tercengang melihat kelakuan Kartini merupakan perwujudan
pemahamannya terhadap ajaran Islam yang telah dilanggar Kartini. Tidak patut seorang wanita
memasuki kamar seorang laki-laki yang tidak mempunyai hubungan mahram dengannya. Dari
kacamata agama Islam tentu hal yang dilakukan Kartini bisa menjadi sumber fitnah. Karena
ajaran Islam menjunjung tinggi pembatas antara laki-laki dan perempuan.
Aspek dan pemahaman selanjutnya adalah mempercayai bahwa manusialah yang telah
menciptakan Tuhan. Tokoh Anwar melakukan penelusuran secara intelek dan tindakan praktis
mengenai pemahaman dan kehadiran Tuhan di masyarakat. Penelusuran inteleknya terdapat
pada kutipan berikut.
“Ia membiarkan aku mencari jawaban lagi. Tapi tak lama kemudian ia sendiri
lagi yang menjawab. Katanya, ‘Tahu’ adalah berarti, bahwa kebenarannya tidak
bertentangan dengan akal dan pikiran. Di luar itu adalah ‘pengetahuan tambahan’.
Aku maksudkan begini: Sifat manusia itu adalah mau tahu semua. Kalau ia tidak tahu,
semua dibikinnya sendiri ‘kira-kira’; dibikin khayal; dibikinnya hypothese kalau
menurut istilah ilmu pengetahuan atau dibikinnya kepercayaan seperti hal-hal yang
gaib dalam agama. Dan kira-kira khayal, hypothese dan kepercayaan itu adalah
hanya “penambah” semata-mata kepada pengetahuannya yang terbatas itu.
Penambah yang dibikinnya sendiri. Penambah untuk menentramkan nafsunya ingin
125 tahu semua itu. Itulah maka manusia itu maha pencipta. Maha pencipta juga dari
maha pencipta yang dianggapnya Maha Pencipta. Mengerti ?! (menatap ke dalam
wajahku seperti seorang guru). Kumaksudkan, juga pencipta dari Tuhan. Tegasnya,
Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, yang diptakannya sebagai tambahan
kepada pengetahuannya yang terbatas itu. Mengerti?!” (menatap lagi seperti guru).”
(Mihardja, 2011, hlm. 165).
Melalui tradisi berpikir Anwar berusaha meyakinkan Hasan bahwa tuhan adalah
ciptaan manusia yang bersumber dari rasa ingin tahu manusia tentang penciptaan alam
semesta. Meskipun konsep-konsep yang diajarkan masih terlalu kurang untuk mendukung
penelusurannya, tapi itu sudah cukup untuk membuat Hasan bertanya-tanya tentang
keberadaan Tuhan dan kebenaran atas keyakinan yang dianutnya,
3.2 Nilai Ketuhanan Religius
Sebagai seseorang yang dibesarkan di dalam keluarga yang memegang erat agama Islam, tentu
tokoh utama pada awal cerita digambarkan sebagai sosok yang religius. Nilai religius ini
berkaitan dengan kepercayaan terhadap tuhan. Religius ini memiliki hubungan yang erat
dengan Tuhan. Wujudnya adalah berdoa kepada Tuhan. Aspek religi ini sudah ditanamkan
tokoh Ayah kepada Hasan agar selalu beribadah kepada Tuhan. Tentu pemahaman ini
dilakukan sejak Hasan masih kecil. Nilai ketuhanan ini adalah nilai yang selalu ditanamkan
orang tua kepada anaknya untuk beribadah. Sebagai dukungan tokoh utama belajar dengan
guru spiritual. Oleh karena itu Hasan dalam menjalankan ajaran islam tidak dibangun
berdasarkan tradisi berpikir, melainkan hanya mengikuti rutinitas yang diajarkan orang tua
dan guru spiritualnya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
“Pada suatu pertemuan di rumah salah satu seorang ihwan yang sebagai biasa
sengaja diadakan sesudah bersama-sama melakukan sembahyang maghrib dan isa,
untuk menguraikan soalsoal agama (tidak jarang pula disertai dengan mengejek
orangorang yang berpendirian lain), maka ada juga beberapa pertanyaan yang
kuajukan kepada guru itu, tetapi selalu dapat jawaban begini, “Insya Allah,”
begitulah katanya selalu, “nanti pun akan terbuka rahasia yang sekarang masih gelap
itu. Bekerja sajalah yang rajin untuk ilmu kita itu, perbanyaklah berzikir,
perbanyaklah bertawaduk, perbanyaklah berpuasa dan kurangi tidur. Insya Allah
nanti pun segala-gala akan menjadi terang.” (Mihardja, 2011, hlm 23).
Pada kutipan di atas digambarkan sosok Hasan yang mengikuti rutinitas ajaran
agama Islam tanpa ada diskusi atau tradisi berpikir di dalamnya. Pada kutipan tersebut
guru spiritualnya menanamkan nilai keyakinan terhadap tuhan dan berserah diri
kepada tuhan. Selain itu, memperbanyak amalan ibadah menjadi salah satu
pembelajaran yang diterima Hasan. Tentu Hasan yang menginginkan jawaban dari
hasil tradisi berpikir tidak akan puas dengan jawaban dari guru spiritualnya. Kedua
orang tua Hasan juga digambarkan sebagai sosok yang saleh dan rajin beribadah.
“Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan alim. Sudah sedari kecil
jalan hidup ditempuhnya dengan tasbih dan mukena. Iman Islamnya sangat tebal.
Tidak ada yang lebih nikmat dilihatnya daripada orang yang sedang bersembahyang,
seperti tidak ada pula yang lebih nikmat bagi penggemar film daripada menonton film
bagus” (Mihardja, 2011, hlm. 1).
Dari kutipan di atas dijelaskan bahwa latar belakang orang tua Hasan sangat taat
kepada ajaran agama Islam. Kenikmatan sembahyang bahkan disamakan seperti kenikmatan
menonton film. Tokoh orang tua Hasan adalah tokoh yang memegang teguh nilai ketuhanan
dan memiliki reguilitas yang tinggi. Sama seperti Hasan kedua orang tuanya sudah belajar
agama sejak kecil. Karena latar belakang orang tuanyalah Hasan menjadi pribadi yang
memegang teguh ajaran Islam. Oleh karena itulah Hasan sempat memiliki keinginan untuk
membawa teman-temannya kepada ajaran Islam. Namun, setiap kali ia mengajak mereka
mudah membatah paham-paham yang ajaran Islam denga tradisi berpikirnya.
Selain itu, Tokoh Hasan menganggap dimensi transenden tersebut sebagai alam
semesta. Jadi, ia merasa perlu adanya pemikiran bahwa manusia berhubungan dengan alam
semesta (dimensi transenden) yang menurutnya hanya bisa dirasakan ketika manusia berada di
alam bawah sadarnya. Menurutnya, dengan manusia berada di alam bawah sadarnya, manusia
tersebut dapat memahami alam semesta raya ini karena alam semesta luas dan tidak berbatas.
Islam mengajarkan tujuan akhir yang harus dicapai melalui daya upaya yang dilakukan
oleh diri sendiri. Tujuan akhir tersebut adalah pembebasan diri dari kelekatan, dan mencapai
kesadaran diri. Hal inilah yang menjadi kekuatan besar dalam Islam. Dalam Islam tidak
mengenal konsep makhluk adikuasa yang melimpahkan keselamatan bagi umat manusia.
Bahkan seorang Nabi yang dipercaya oleh umatnya tidak pernah mengatakan bahwa dialah
yang menganugerahkan tujuan akhir tersebut pada umatnya. Dia hanya mengaku bahwa dia
adalah semata-mata guru yang menunjukkan jalan bagi para pengikutnya. Hasan memegang
erat keyakinan tersebit sebagai ukuran bahwa takdir memang Tuhan yang menentukan, tapi
nasib manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Menurut Islam, sosok transenden adalah pembebasan bagi diri dari kelekatan dan
kembali pada kekuatan alam yang paling besar.
“Asan, anakku, berhati-hatilah engkau dalam laku hidupmu, lebih-lebih oleh karena
sekarang sudah memeluk suatu ilmu yang sungguh luhur, yang suci, yang murni.
Janganlah engkau berbuat sesuatu yang bertentangan atau melanggar
ajaranajarannya. Ingatlah akan akibat-akibatnya dunia akherat!” (Mihardja, 2011,
hlm 12)
Dari kutipan tersebut, tokoh Hasan berpikir bahwa dimensi transenden yang dipuja
oleh umat Nabi berbeda dari dimensi transenden yang diyakini umat lain. Sosok transenden
yang ada dalam pikirannya bukanlah Tuhan yang memiliki sifat-sifat tertentu. Ia menganggap
bahwa Islam membawa manusia pada pencerahan diri. Dimensi transenden yang dipercaya
oleh Hasan adalah dimensi yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri kepada pencerahan
yang merupakan sumber kekuatan yang ada pada alam semesta ini. Karena rasa pencerahan
diri itulah yang membuat hasan sering bertanya kepada gurunya. Dan gurunya hanya
memerintahkan hasan untuk lebih giat beribadah. Kenyataannya Hasan adalah sosok yang
menyukai tradisi berpikir sehingga jawaban atas pertanyaan dirasa belum memuaskan
keingintahuannya.
Karena itulah berulang kali Hasan berusaha mencari kebenaran tentang hal tersebut.
Gurunya yang memang tidak mengajar agama Islam secara tradisi berpikir sulit diterima oleh
Hasan. Meskipun demikian, Hasan tetap melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama Islam.
Namun, dalam beberapa ajaran agama islam konsep berpikir selalu diajarkan. Seperti
cara berpikir Nabi Ibrahim untuk mencari siapa tuhannya. Dia menggunakan akal pikirannya
untuk menemukan tuhannya. Dengan akal dan pikiran akhirnya ia mengetahui siapa tuhannya.
Selain itu, banyak para ahli yang telah membuktikan ayat-ayat Al-Quran benar adanya dan
berkaitan dengan teori-teori serta penemuan yang ditemukan ilmuan. Salah satunya contohnya
adalah tentang penciptaan alam semesta. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori Big Bang.
Karena memiliki religiusitas yang tinggi, Hasan tampak terkejut dengan pergaulan
yang ditampakkan oleh Rusli dan Kartini, Hasan yang meyakini bahwa laki-laki dan
perempuan yang belum muhrim berada dalam satu kamar adalah hal yang mengejutkan
baginya. Hasan yang biasa tinggal di desa tidak pernah menemukan hal tersebut. Alasan lain
juga adalah karena ia sangat rajin dalam beribahs sehingga hal tersebut tidak diketahui ada di
kota-kota besar. Dalam ajaran agama Islam perilaku tersebut dapat memicu adanya fitnah atau
prasangka buruk. Bukan hanya ajaran Islam masyarakat di desanya juga akan menganggap
perbuatan tersebut melanggar moral dan norma-norma sosial yang ada di masyarakat.
“Di kamarku ada kaca besar,” kata Rusli. “Boleh saya?” tanya Kartini
bangkit. “Tentu saja, kenapa tidak boleh! Tak usah kuhantarkan toh?”
“Aku sudah besar. Tahu jalan. Jangan takut, takkan tersesat!” jawab Kartini
tertawa sambil menghilang ke dalam kamar.
Aku tercengang-cengang saja melihat semua itu. Ia masuk ke kamar. Kamar
seorang laki-laki bujangan. Mimpikah aku? Atau bagaimana ini?…..Sungguh bebas
ia! Terlalu bebas, menurut ukuranku” (Mihardja, 2011, hlm. 38).
Pada saat itu nilai ketuhanan yang dimiliki Hasan membuatnya keheranan
dengan tingkah laku kedua tokoh tersebut. Hasan menganggap bahwa semua ini tidak
lazim dan cenderung perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama Islam. Bahkan Hasan
sangat terkejut dengan peristiwa yang baru saja dilihatnya itu. Ia berpikir bahwa
kejadian tersebut hanya mimpi. Bahkan Hasan menganggap bahwa hal tersebut terlalu
bebas untuk dilakukan.
Meskipun pada akhirnya Hasan mengubah arah jalan hidupnya menjadi seorang
ateis dan menenang Ayah dan Ibunya, Hasan kembali lagi kepada Ayahnya. Setelah
menikah dengan Kartini rumah tangga mereka tidak berjalan dengan lancar. Sehingga
munculah pertengakaran yang membuat keduanya harus berpisah. Batin Hasan kembali
diguncang ketka harus melihat ayahnya meninggal dunia. Pada akhirnya Hasan
menyesali segala tindakannya tesebut. Ucapan takbir sempat terucap dari bibir Hasan
ketika mendekati ajalnya.
“Badan yang lemah itu terguling-guling sebentar di atas aspal,
bermandi darah. Kemudian dengan bibir melepas kata “Allahu Akbar”, tak
bergerak lagi…” (Mihardja, 2011, hlm 249)
Dari kata yang diucapkan tersebut dapat disimpulkan walaupun sempat
mempunyai keraguan atas ajaran agama Islam bahkan berubah keyakinan, tetap
Pendidikan religiusitas dan nilai-nilai ketuhanan masih melekat pada diri Hasan.
Walaupun diakhir cerita Hasan harus meninggal secara tragis tanpa lebih mendekatkan
diri kepada yang kuasa.
dapat hidup bersama. Cinta sepasang kekasih tersebut terhalang oleh hambatan
eksternal

3.3 Perubahan Ideologi pada diri Hasan


Pada awalnya Hasan tetap teguh dengan pendiriannya sebagai pemuluk agama Islam.
Pendiriannya itu kemudian berubah semenjak Hasan mengenal Kartini. Sosoknya
berhasil membuat Hasan jatuh hati sehingga bukan hanya hatinya yang dibuka untuk
wanita itu, tapi juga ideologinya berubah. Hasan yang memiliki latar belakang
keluarga yang memegang teguh ajaran Islam berubah menjadi seseorang yang tidak
mempercayai adanya Tuhan. Bahkan pernikahannya sempat dilarang oleh ayahnya.
Namun, Hasan tetap bersikeras menikahi Kartini.
Pada uraian tersebut dapat terlihat bahwa sastra adalah cerminan dari
masyarakat dengan jelas penulis menujukan fenome-fenome sosial yang kerap terjadi
di masyarakat hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan teori bahwa sastra adalah hasil
dari fenome-fenome sosial yang terjadi di masyarakat . Endraswara (2013: 22). Fenome
itu adalah maraknya yang berpindah keyakinan karena cinta dan pernikahan. Meskipun pada
beberapa agama itu menjadi baik, hanya saja akan terlihat buruk apabila seseorang
meninggalkan kepercayaan umat Islam. Pada kasus ini Hasan mengubah pandangan hidupnya
atau ideologi. Dengan demikian, Hasan telah menjadi seseorang yang berideologi Ateisme.
Sehingga menurut ajaran Islam Hasan tidak mungkin kembali menjadi umat Islam
Hal ini diperjelas pada akhir dari novel tersebut. Hasan tampak menyesali tindakannya
tersebut dan berusaha kembali kepada kepercayaan agama Islam. Akan tetapi, Hasan harus
tewas dengan tragis dan memilikan. Perubahan ini juga terjadi karena hubungan rumah
tangganya dengan Kartini telah rusak, Hasan yang merasa ditipu oleh Anwar berusaha
membalas dendam, tetapi Hasan tidak berhasil. Di akhir cerita juga penulis memperlihatkan
tragedi yang terjadi pada Hasan ketika harus menerima kenyataan bahwa ayahnya telah
meninggal dunia.
Secara keseluruhan perubah yang terjadi terhadap Hasan adalah kurangnya keilmuan
dalam bidang agama Islam sehingga tradisi berpikir yang tidak ia peroleh dalam ajaran Islam
menjadi alasan pokok ia meninggalkan ajaran tersebut. Cinta juga bisa menjadi salah satu
alasan membuat Hasan buta akan hidup dan sangat menyukai gaya hidup bebas yang
ditunjukan oleh Rusli dan Kartin. Dalam novel ini penulis berusaha memberikan pesan bahwa
pentingnya mencari guru dan berguru kepada guru yang tepat. Meskipun guru spiritual Hasan
sudah mengajarkan agama Islam dengan tepat. Akan tetapi, rasa kaingin tahuannya atau tradisi
berpikirnya sulit dipenuhi. Untuk itu penting untuk mencari guru yang mengerti akan hal yang
diinginkan oleh Hasan. Sehingga agama Islam dapat diartikan secara tradiri berpikir.

4. Simpulan
Dari aspek ideologi atheisme novel Atheis karya Achdiat K. Miharja
menampilkan aspek-aspek kepercayaan Ateisme. Aspek-aspek tersebut ditampilkan
melaui dialog ataupun tindakan yang dilakukan tokoh yang ada di dalam novel
tersebut. Kepercayaan Ateisme pertama adalah tidak percayanya akan tuhan. Mereka
menganggap bahwa dalam kehidupan manusia, manusia itu sendirilah yang
menentukan hidupnya masing-masing. Dalam kehidupannya tidak ada campur tangan
dari Tuhan. Kemudian segala sesuatu yang gaib dianggap kebohongan. Para penganut
ateis menganggap bahwa segala sesuatu yang gaib adalah kebohongan saja. Hal ini
dikarenakan karena segala sesuatu yang gaib tidak dapat diterima oleh akal sehat
manusia. Segala sesuatu yang gaib ini berupa jin, setan, dewa dan lain sebagainya.
Selanjutnya paham Ateisme tidak memiliki motivasi terhadap moral, religi
ataupun bentuk tindakan-tindakan lainnya. Mereka tidak memperdulikan hubungan
antara laki-laki dan perempuan yang mendekati perbuatan zina jika dalam Islam. Di
dalam Islam perilaku memandang, bersentuhan, masuk keluar kamar lawan jenis
bahkan serumah dengan lawan jenis yang bukan mahrom dan muhrim merupakan hal
yang sangat dilarang. Perbuatan itu dikatakan zina dan akan menimbulkan fitnah
antara kedua. Sedangkan dalam keperayaan atheisme hal tersebut tidak berlaku kerena
mereka meyakini tidak adanya akhirat atau hari pembalasan atas segala tindakan yang
dilakukan
Kemudian paham Ateisme ini beranggapan bahwa Tuhan adalah ciptaan
manusia itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa Tuhan adalah cipaan rasa ingin tahu
manusia tentang pencipataan alam semestes. Sehingga pada akhirnya manusia mencari
Tuhan untuk disembah dan diyakini sebagai pencipta alam semesta. Para penganut
kepercayaan ini memegang teguh hal tesebur serta menolak bahwa manusia diciptakan
oleh Tuhan. Mereka berpikir sebaliknya, manusialah yang menciptakan Tuhan.
Selain menampilkan aspek-aspek kepercayaan Ateisme novel karya Achdiat
K. Miharja ini juga menampilkan nilai-nilai ketuhanan melalui religiusitas di
dalamnya. Nilai-nilai ketuhanan itu ditunjukkan oleh orang tua Hasan yang memegang
teguh ajaran agama Islam. Bahkan ajarannya itu ditanamkan sejak kecil kepada diri
Hasan. Sosok Hasan digambarkan sebagai penganut ajaran agama Islam yang
memahami Islam dalam kegiatan ibadah sehari-hari. Tokoh Hasan berpikir bahwa
dimensi transenden yang dipuja oleh umat Nabi berbeda dari dimensi transenden yang
diyakini umat lain. Selain itu, tokoh Hasan didukung oleh latar belakang kedua orang tuanya
yang menganut ajaran Islam bahkan sampai ke tingkat Islam tarekat. Sosok Hasan yang sangat
berpegang teguh pada ajaran Islam juga digambarkan dengan terkejutnya ia ketika melihat
laki-laki dan perempuan yang belum muhrim berada di rumah yang sama. Tentu Hasan
meyakini hal itu sangat ditentang oleh ajaran Islam. Diakhir cerita meskipun sempat
mengalami kegoyahan tokoh Hasan kembali mempercayai ajaran Islam meskipun ia harus
meninggal dengan tragis.
Secara keselurahan novel ini berisi perjalanan dan gejolak ideologi yang dialami tokoh
Hasan. Walaupun ia mempelajari dan meyakini ajaran Islam dari kecil, tanpa adanya tradisi
berpikir dalam pengajarannya menjadikan keyakinan Hasan goyah. Selain itu, lingkungan
pekerjaan dan teman-temannya yang terus mendorong Hasan untuk goyah terhadap keyakinan
yang dianutnya tersebut. Selain itu, factor ketertarikan Hasan terhadap Kartini membuatnya
lupa akan ajaran Islam yang selama ini ia anut. Bahkan kepercayaannya mulai goyah dan
meyakini paham-paham Ateisme tersebut. Namun, setelah mengalami masalah keluarga
Hasan berusaha kembali ke kepercayaan sebelumnya. Meskipun demikian, Hasan tampaknya
terlambat untuk berubah dan harus meninggal. Dari segi Pendidikan karakter dan Pendidikan
agama novel ini sangat bagus untuk dibaca. Fungsi dan tujuannya tentu mengajarkan
masyarakat untuk senantiasa memegang teguh kepercayaannya. Novel ini juga mengajar
manusia untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Karena ideologi negara
Indonesia adalah Pancasila dan bunyi sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Daftar Pustaka
Anwar, Ilham. (2010). Pengembangan Bahan Ajar. Bahan Kuliah Online. Direktori UPI.
Bandung
Doe,Mimi dan Marsha Walch. (2001). 10 Prinsip Spiritual Parenting: Bagaimana
Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak Anda. Bandung: Kaifa
Esten, Mursal. (1990). Kesusastraan (Pengantar, Teori, dan Sejarah). Bandung: Angkasa
Endraswara, Suwardi. (2013). Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: CAPS (Center For Academic Publishing Service).
Faruk. (2014). Pengantar Sosiologi Sastra. Edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, D. (2011). Pembelajaran Terpadu. Bandung: Pustaka Cendikia Utama.
Rokhmansyah. (2014). Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Selden, Raman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Swingewood, Alan and Diane Laurenson. (1972). The Sociology of Literature. Paladin:
University of Michigan.

Anda mungkin juga menyukai