Anda di halaman 1dari 9

SEKULARISME DALAM NOVEL LALITA

KARYA AYU UTAMI


Saiful Anwar* dan Agus Nuryatin**
Sastra IndonesiaFakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang Indonesia

saypule@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk paham sekularisme yang
termuat dalam novel Lalita karya Ayu Utami dan perwujudan perilaku tokoh-
tokoh yang terdapat dalam novel tersebut. Penelitian ini menggunakan
pendekatansosiologi sastra Ian Watt dengantitik fokus sastra sebagai cerminan
masyarakat. Penelitian ini mengungkap terdapat kesamaan konsep antara
sekularisme di dalam novel dengan kehidupan nyata di masyarakat. Dari
penelitian ini diperoleh lima bentuk paham sekularisme: skeptis terhadap agama,
menjunjung tinggi hedonisme, materialisme, rasionalisme, dan buddhisme. Selain
itu ada empat bentuk perilaku tokoh yaitu: bersikap skeptis terhadap agama,
beribadah seminimal mungkin atau tidak sama sekali, materialistis dan praktik
seks bebas.

Kata kunci:sekularisme dan sosiologi sastra.


Abstrac
The purpose of this study is to describe the form of secularism that is contained
in the novel Lalita works embodiment Ayu Utami and behavior. This study
utilizes sociological approach to literature Ian Watt with the focal point of
literature as a reflection of society. The research reveals there are similarities
between the concept of secularism in the novel with real life in the community.

Keywords:secularism and sociology literature

* Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia


** Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

1
PENDAHULUAN

Sekularisme merupakan konsep berpadangan bahwa agama harus dipisahkan


dari kehidupan duniawi. Dalam hal ini, agama hanya menjalankan ajaran pokok-pokok
saja seperti praktik beribadah dan konsep ketuhanan, sedangkan kehidupan
bermasyarakat harus berdiri sendiri dengan berpedoman pada konsep moralitas alamiah.

Konsep sekularisme sebenarnya menjadi perbincangan hangat di berbagai


kalangan intelektual agama. Menurut beberapa intelektual muslim, Indonesia yang
mayoritas berpenduduk muslim dan mengakui beberapa agama sangat cocok jika
sekularisme diterapkan karena dapat menghindari benturan-benturan agama dalam
masyarakat.Di lain pihak, sekularisme diterjemahkan sebagai konsep yang tidak
mengakui agama atau atheis (tidak mengakui keberadaan Tuhan atau zat yang mengatur
alam semesta). Konsep ini dianggap berbahaya bagi eksistensi agama karenasemakin
lama ajaran agama akan semakin tergerus oleh kesekuleran para pemeluknya.

Sekularisme dalam penelitian ini akan dikaji dari sudut pandang sosiologi sastra.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) bagaimanakah bentuk paham
sekularisme dalam novel Lalita karya Ayu Utami, dan 2) bagaimanakah perwujudan
perilaku sekularisme dalam novel Lalita karya Ayu Utami. Berkaitan dengan rumusan
masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk paham
sekularisme dalam novel Lalita karya Ayu Utami dan bentuk perilaku sekularisme yang
termuat dalam novel Lalita karya Ayu Utami.

Secular berasal dari bahasa Latin yaitusaeculum yang berarti satu abad lebih
sedikit. Menurut Harvey Cox berarti this present ago (abad sekarang). Pengertian
sekularisasi adalah pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan kemudian
metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya. Ada juga yang mendefinisikannya
sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan
kebudayaan yang terlepas dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol keagamaan
(Praja 2005).
Sekularisasi menunjuk pada suatu proses yang terjadi dalam pikiran seseorang
dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sekularisme menunjuk kepada suatu aliran,
paham, pandangan hidup, sistem atau sejenisnya yang dianut oleh individu atau

2
masyarakat. H.M. Rasjidi mendefinisikan sekularisme sebagai nama sistem etika plus
filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan
manusia tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian.

Agama dalam paham sekularisme adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Prinsip
sekularisme dalam hal ini ialah bahwa theisme dan atheisme sama-sama tidak bisa
dibuktikan dengan pengalaman, dengan begitu ia berada di luar pemikiran sekularisme.
Theologi memberikan interpretasi tentang dunia yang tidak dikenal sedangkan
sekularisme tidak mau sama sekali tentang dunia seperti ini serta interpretasinya.

Ian Watt (dalam Damono 1979) dalam esainya yang berjudul Literature an
Society dengan catatan, pengertian yang digunakan Watt lebih positif. Esai itu
membicarakan tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
secara keseluruhan.

Dilihat dari konteks sosial pengarang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai
seorang perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang harus
diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya: apakah ia
menerima bantuan dari pengayom (patrom, atau dari masyarakat secara langsung, atau
dari kerja rangkap), (b) prosionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang itu
menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat sasaran pengarang;
hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting, sebab macam
masyarakat yang dituju menentukan bentuk dan isi karya sastra.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sampai sejauh mana sastra dapat
dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat. Fokus perhatian ini adalah (a) sastra
mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis (b)
sifat-sifat lain dari seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu
kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat (d) sastra yang berusaha
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa
dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya yang sama
sekali tidak dimaksudkan untuk mengambarkan masyarakat secara teliti barangkali

3
masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat.
Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra
sebagai cermin masyarakat.

Ketiga, fungsi sosial sastra. Di sini kita terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan


seperti seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosialdan seberapa besar nilai
sastra dipengaruhi nilai sosial. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang harus
diperhatikan: (a) sudut pandangan ekstrim kaum Romantik, anggapan bahwa sastra
harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak, (b) sudut kata lain dikatakan bahwa
sastra bertugas sebagai penghibur belaka; gagasan seni atau seni tak ada bedanya
dengan praktik komersialisasi untuk mencapai best seller, dan (c) semacam kompromi
dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu
dengan cara menghibur (Damono 1979)

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatansosiologi


sastra Ian Watt dengan titik fokus sastra sebagai cerminan masyarakat. Sasaran utama
dalam penelitian ini adalah bentuk paham atau konsep sekularisme serta perwujudan
perilakunya yang termuat dalam novel Lalita karya Ayu Utami. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini yakni teknik dokumentasi. Teks-teks dalam novel yang
dianggap mencerminkan konsep sekularisme dan bentuk perwujudannya dalam perilaku
dikutip untuk kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bentuk Paham Sekularisme dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami

Sekularisme merupakan paham yang menganggap agama harus dipisahkan dari


perkara duniawi. Segala hal yang bersifat keagamaan harus dipisahkan dari urusan
dunia seperti pemerintahan, budaya dan moralitas. Sekularisme menolak memandang
suatu hal dari sudut pandang spiritualitas yang cenderung keagamaan. Meskipun ada
kalanya sekularisme mengakui spiritualitas sebagai sikap budi yang terlepas dari
monoteisme. Terdapat lima bentuk sekularisme yang termuat dalam novel Lalita karya
Ayu Utama yaitu:

4
1. Skeptis Terhadap Agama
Sikap skeptis atau ragu-ragu terhadap agama ini ditunjukkan oleh tokoh Baruch.
Baruch Eibenschutz adalah ayah Anshel Eibenschutz yang merupakan kakek
Lalita.Baruch memiliki pandangan skeptis terhadap agama, ia mengatakan bahwa
agama tidak boleh mendominasi keluarganya. Dalam novel, secara implisit juga
disebutkan bahwa Baruch adalah seorang yang skeptis terhadap agama. Ia bahkan
tak mengakui eksistensi agama Yahudi, agama nenek moyangnya, dan lebih suka
menyebutnya sebagai tradisi. Berikut kutipannya.

Ia suka mencuri baca atau dengar, dalam pertemuan keluarga besar, tentang
kabala dan gematria. Tetapi ayahnya tidak ingin agama mendominasi
kehidupan keluarga itu. Ayahnya seorang yang skeptis. Mereka beribadah
seminimal mungkin, atau tidak sama sekali. Ayahnya lebih suka mengatakan
bahwa Yahudi adalah tradisi ketimbang ras atau agama. (Lalita: 100)

2. Hedonisme
Hedonisme merupakan paham yang menganggap kesenangan dan kenikmatan
materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Salah satu kenikmatan materi dalam
hedonisme adalah kenikmatan seksual. Tokoh Yuda dalam novel diceritakan sudah
berkali-kali berhubungan seks bebas dengan banyak perempuan tanpa ada ikatan
pernikahan. Para hedonis yang selalu meletakkan kenikmatan dunia di atas semua
hal dan tidak pernah mempertimbangkan aspek agama atau moral sosial. Sesuatu
yang paling penting adalah kenikmatan duniawi.Berikut kutipannya.

Yuda dan Lalita mencapainya ketika di sofa, dalam keintiman; bukan di meja
alumunium, dalam kekerasan. Mereka melakukannya dalam apa yang kemudian
dinamai pemuda itu sebagai dialog seksual yang utuh. Ia harus mengakui, ia
belum pernah mengalaminya dengan kekasihnya, Marja. Apalagi dengan
perempuan-perempuan sebelumnya. (Lalita: 33)

3. Materialisme.
Materialisme adalah pandangan yang mendasarkan hidup pada segala hal yang
bersifat materi atau kebendaan. Dalam novel, Lalita digambarkan sebagai seorang
yang materialistis. Ia adalah sosok ideal materialis. Perhatikan kutipan di bawah ini:

5
Pemain baru ini mengendarai BMW marun, memakai tanktop ketat ungu, kaki
berjinjit pada stileto Christian Louboutin 12cm, juga ungu, tas Luois Vuitton,
dan dengan make-up panggung tahan hujan. Lonceng di kaki. Lebih
menjengkelkan lagi, perempuan ungu ini bukan perempuan dungu yang hanya
mengandalkan dandanan. Ia seorang kurator dan art dealer, memiliki galeri di
Singapura dan Hongkong, berbahasa Inggris sangat fasih dan sedikit Prancis,
membaca sastra dan filsafat. Lalita Vistara sangat canggih. (Lalita: 24)

Lalita selalu mengenakan simbol-simbol kemewahan dapat dikatakan sebagai sosok


ideal sebagai seorang materialistis, seseorang yang selalu memandang suatu hal dari
sudut pandang materi.

4. Rasionalisme
Sekularisme memiliki hubungan erat dengan rasionalisme. Jika sekularisme
mengesampingkan agama dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, maka
rasionalisme mengesampingkan unsur spiritual keagamaan dan menjunjung tinggi
akal pikiran.

Ah. Ia bukan spiritualis atau mistikus. Lagipula, ia tidak dididik untuk


mengaitkan spiritualitas dengan seksualitas seperti itu. Baginya itu teori yang
aneh. seks tidak pernah dan tak akan pernah menghasilkan pencerahan. Seks
menghasilkan kenikmatan, dan kita harus menghargainya demikian. (Lalita: 34)

5. Buddhisme
Buddhisme mengajarkan hidup berbudi luhur berdampingan satu sama lain, dengan
tanpa adanya pembenaran mutlak dan saling menyalahkan kepercayaan lain.
Buddhisme tidak memiliki konsep Tuhan yang personal sehungga Buddhisme sering
disebut atheis oleh beberapa kalangan.
Buddhisme tidak mengajarkan Tuhan yang bersifat personal. Tak ada nama-
nama bagi Tuhan. Tidak ada Tuhan pencemburu maupun yang penyayang.
(Lalita: 137)

Bentuk Perwujudan Perilaku Sekularisme dalam Novel Lalita karya Ayu Utami

Konsep sekularisme yang terdapat dalam novel Lalita karya Ayu Utami juga
diwujudkan dalam pola perilaku para tokoh. Pola pergaulan dan sikap tingkah laku yang
mengandung nilai-nilai sekularisme yang terdapat dalam novel merupakan pola

6
pergaulan yang pada zaman sekarang yang mudah ditemui di lingkungan sekitar kita.
Dalam pemaparan berikut ini, konsep sekularisme di bab sebelumnya dipaparkan secara
eksplisit di masing-masing subbab.

1. Bersikap Skeptis Terhadap Agama


Berdoa adalah sebuah konsep agama. Seluruh agama memiliki konsep berdoa
masing-masing. Ketidakbisaan tokoh Yuda untuk berdoa merupakan sikap
skeptisnya terhadap agama. Ia barangkali tidak percaya bahwa berdoa dapat
membawa akibat yang sesuai dengan yang dimohonkannya. Berikut kutipannya.

Tapi ia ingin Lalita baik-baik saja. Jika ia bisa berdoa ia ingin berdoa. Tapi ia
tidak bisa. Ketidaktahuan akan nasib wanita itu setelah perampokan dan
pemerkosaan terkadang menyiksa batinnya. (Lalita: 215)

2. Beribadah Seminimal Mungkin atau Tidak Sama Sekali


Ayah Anshel, Baruch Eibenschutz adalah seorang keturunan Yahudi dan hidup di
kalangan keluarga Yahudi. Agama Yahudi hanya mengakui pemeluknya orang-
orang keturunan Yahudi. Meskipun Baruch ada di lingkungan keluarga Yahudi, ia
memiliki pemikiran yang lebih dominan akal budi. Pemikirannya tentang akal budi
membuatnya skeptis terhadap agama dan akhirnya beribadah sangat sedikit atau
bahkan tidak sama sekali.

Sebetulnya Anshel tertarik para spiritualitas. Ia suka mencuri baca atau dengar,
dalam pertemuan keluarga besar, tentang kabala dan gematria. Tetapi ayahnya
tidak ingin agama mendominasi kehidupan keluarga itu. Ayahnya seorang yang
skeptis. Mereka beribadah seminimal mungkin, atau tidak sama sekali. Ayahnya
lebih suka mengatakan bahwa Yahudi adalah tradisi ketimbang ras atau agama.
(Lalita: 100)

3. Materialistis
Lalita merupakan sosok yang selalu menampilkan dandanan yang mencolok.
Meskipun usianya di atas 40 tahun, namun dengan modal make up tebal yang selalu
menghiasi wajahnya membuatnya tampak selalu bisa menarik perhatian kaum
Adam.

7
Bibir wanita itu sepenuhnya adalah lukisan, terbentuk dari pensil dan lipstik.
Matanya dikelilingi bulu-bulu lentik dan pelbagai sepuhan rona ungu tembaga,
seperti sepasang bulu merak menempel di bawah alis-alis. Semua pada wajah
itu dilukis dan dibubuhkan dengan sangat rapi sehingga kau merasa melihat
sebentuk topeng cantik (Lalita: 8).

4. Praktik Seks Bebas


Dewasa ini, praktik seks bebas sudah semakin menjadi hal semakin membudaya
di Indonesia. Perempuan hamil di luar nikah pada era globalisasi sudah bukan
fenomena luar biasa. Di seluruh media informasi, mulai dari koran, radio, televisi,
dan internet, fenomena seks bebas merupakan salah satu tema yang paling sering
dijadikan topik berita.
Dalam novel Lalita karya Ayu Utami, praktik pergaulan bebas atau seks bebas
terdapat pada sebagian besar teks novel tersebut. Praktik seks bebas dalam novel
dilakukan oleh Lalita, si tokoh utama, Yuda dan Marja. Lalita adalah seorang
perempuan cantik yang gemar berdandan menor dan sangat kaya yang usianya lebih
dari 40 tahun. Yuda adalah pacar Marja. Yuda diperkenalkan Lalita oleh Oscar,
temannya. Setelah saling mengenal, Yuda diminta Lalita untuk ke rumahnya. Di
rumah Lalita, Yuda dan Lalita melakukan persetubuhan untuk pertama kalinya.
Bagai seorang algojo, sang perempuan melakukan apa yang ia mau pada
tubuh lelaki muda itu tanpa melepaskan zirah kekuasaannya dan bunyi genta-
genta kecil. Dalam pakaian megahnya ia berada pada lelaki itu sambil
memacu dan berkata, kurang ajar kamu, jadi ini yang kamu mau bukan!
Ia membuat lelaki itu merintih.
Tapi pada suatu titik ia berhenti. Ia memandang anak muda itu dengan
semburat rasa bersalah. Lalu ia terkulai di dada si lelaki dan mulai terisak.
Lelaki muda terheran. Yuda mengelus rambut yang terurai di dadanya dan
bertanya ada apa. Lalita tidak menjawab. Ia hanya mencium lembut. Yuda
mendapati bau rokok bercampur aroma lipstik lumer. Masih belum ia
dapatkan bau keringatnya, dagingnya. Setelah itu mereka berpindah ke sofa.
Dan di sana Lalita memberi Yuda pengetahuan baru, yang tidak pernah ia
ketahui bersama Marja atau perempuan-perempuan sebelumnya. (Lalita: 31)

8
PENUTUP

Dalam novel Lalita karya Ayu Utami, penulis menemukan lima bentuk paham
sekularisme yaitu skeptis terhadap agama, menjunjung tinggi hedonisme, materialisme,
menjunjung tinggi rasionalisme dan sekularisme yang sesuai dengan konsep
Buddhisme.
Mengenai perwujudan perilaku sekularisme yang terdapat dalam novel Lalita
penulis menemukan empat bentuk utama yaitu bersikap skeptis terhadap agama,
beribadah seminimal mungkin atau tidak sama sekali, materialistis dan praktik seks
bebas.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Depdikbud.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Caps.

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori,


dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

Escaprit. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Praja, Juhaya S. 2005. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.

Soekanto, Soerjarno. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.
Utami, Ayu. 2012. Lalita. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai