saypule@gmail.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk paham sekularisme yang
termuat dalam novel Lalita karya Ayu Utami dan perwujudan perilaku tokoh-
tokoh yang terdapat dalam novel tersebut. Penelitian ini menggunakan
pendekatansosiologi sastra Ian Watt dengantitik fokus sastra sebagai cerminan
masyarakat. Penelitian ini mengungkap terdapat kesamaan konsep antara
sekularisme di dalam novel dengan kehidupan nyata di masyarakat. Dari
penelitian ini diperoleh lima bentuk paham sekularisme: skeptis terhadap agama,
menjunjung tinggi hedonisme, materialisme, rasionalisme, dan buddhisme. Selain
itu ada empat bentuk perilaku tokoh yaitu: bersikap skeptis terhadap agama,
beribadah seminimal mungkin atau tidak sama sekali, materialistis dan praktik
seks bebas.
1
PENDAHULUAN
Sekularisme dalam penelitian ini akan dikaji dari sudut pandang sosiologi sastra.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) bagaimanakah bentuk paham
sekularisme dalam novel Lalita karya Ayu Utami, dan 2) bagaimanakah perwujudan
perilaku sekularisme dalam novel Lalita karya Ayu Utami. Berkaitan dengan rumusan
masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk paham
sekularisme dalam novel Lalita karya Ayu Utami dan bentuk perilaku sekularisme yang
termuat dalam novel Lalita karya Ayu Utami.
Secular berasal dari bahasa Latin yaitusaeculum yang berarti satu abad lebih
sedikit. Menurut Harvey Cox berarti this present ago (abad sekarang). Pengertian
sekularisasi adalah pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan kemudian
metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya. Ada juga yang mendefinisikannya
sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan
kebudayaan yang terlepas dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol keagamaan
(Praja 2005).
Sekularisasi menunjuk pada suatu proses yang terjadi dalam pikiran seseorang
dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sekularisme menunjuk kepada suatu aliran,
paham, pandangan hidup, sistem atau sejenisnya yang dianut oleh individu atau
2
masyarakat. H.M. Rasjidi mendefinisikan sekularisme sebagai nama sistem etika plus
filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan
manusia tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian.
Agama dalam paham sekularisme adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Prinsip
sekularisme dalam hal ini ialah bahwa theisme dan atheisme sama-sama tidak bisa
dibuktikan dengan pengalaman, dengan begitu ia berada di luar pemikiran sekularisme.
Theologi memberikan interpretasi tentang dunia yang tidak dikenal sedangkan
sekularisme tidak mau sama sekali tentang dunia seperti ini serta interpretasinya.
Ian Watt (dalam Damono 1979) dalam esainya yang berjudul Literature an
Society dengan catatan, pengertian yang digunakan Watt lebih positif. Esai itu
membicarakan tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
secara keseluruhan.
Dilihat dari konteks sosial pengarang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai
seorang perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang harus
diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya: apakah ia
menerima bantuan dari pengayom (patrom, atau dari masyarakat secara langsung, atau
dari kerja rangkap), (b) prosionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang itu
menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat sasaran pengarang;
hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting, sebab macam
masyarakat yang dituju menentukan bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sampai sejauh mana sastra dapat
dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat. Fokus perhatian ini adalah (a) sastra
mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis (b)
sifat-sifat lain dari seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu
kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat (d) sastra yang berusaha
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa
dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya yang sama
sekali tidak dimaksudkan untuk mengambarkan masyarakat secara teliti barangkali
3
masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat.
Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra
sebagai cermin masyarakat.
METODE PENELITIAN
4
1. Skeptis Terhadap Agama
Sikap skeptis atau ragu-ragu terhadap agama ini ditunjukkan oleh tokoh Baruch.
Baruch Eibenschutz adalah ayah Anshel Eibenschutz yang merupakan kakek
Lalita.Baruch memiliki pandangan skeptis terhadap agama, ia mengatakan bahwa
agama tidak boleh mendominasi keluarganya. Dalam novel, secara implisit juga
disebutkan bahwa Baruch adalah seorang yang skeptis terhadap agama. Ia bahkan
tak mengakui eksistensi agama Yahudi, agama nenek moyangnya, dan lebih suka
menyebutnya sebagai tradisi. Berikut kutipannya.
Ia suka mencuri baca atau dengar, dalam pertemuan keluarga besar, tentang
kabala dan gematria. Tetapi ayahnya tidak ingin agama mendominasi
kehidupan keluarga itu. Ayahnya seorang yang skeptis. Mereka beribadah
seminimal mungkin, atau tidak sama sekali. Ayahnya lebih suka mengatakan
bahwa Yahudi adalah tradisi ketimbang ras atau agama. (Lalita: 100)
2. Hedonisme
Hedonisme merupakan paham yang menganggap kesenangan dan kenikmatan
materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Salah satu kenikmatan materi dalam
hedonisme adalah kenikmatan seksual. Tokoh Yuda dalam novel diceritakan sudah
berkali-kali berhubungan seks bebas dengan banyak perempuan tanpa ada ikatan
pernikahan. Para hedonis yang selalu meletakkan kenikmatan dunia di atas semua
hal dan tidak pernah mempertimbangkan aspek agama atau moral sosial. Sesuatu
yang paling penting adalah kenikmatan duniawi.Berikut kutipannya.
Yuda dan Lalita mencapainya ketika di sofa, dalam keintiman; bukan di meja
alumunium, dalam kekerasan. Mereka melakukannya dalam apa yang kemudian
dinamai pemuda itu sebagai dialog seksual yang utuh. Ia harus mengakui, ia
belum pernah mengalaminya dengan kekasihnya, Marja. Apalagi dengan
perempuan-perempuan sebelumnya. (Lalita: 33)
3. Materialisme.
Materialisme adalah pandangan yang mendasarkan hidup pada segala hal yang
bersifat materi atau kebendaan. Dalam novel, Lalita digambarkan sebagai seorang
yang materialistis. Ia adalah sosok ideal materialis. Perhatikan kutipan di bawah ini:
5
Pemain baru ini mengendarai BMW marun, memakai tanktop ketat ungu, kaki
berjinjit pada stileto Christian Louboutin 12cm, juga ungu, tas Luois Vuitton,
dan dengan make-up panggung tahan hujan. Lonceng di kaki. Lebih
menjengkelkan lagi, perempuan ungu ini bukan perempuan dungu yang hanya
mengandalkan dandanan. Ia seorang kurator dan art dealer, memiliki galeri di
Singapura dan Hongkong, berbahasa Inggris sangat fasih dan sedikit Prancis,
membaca sastra dan filsafat. Lalita Vistara sangat canggih. (Lalita: 24)
4. Rasionalisme
Sekularisme memiliki hubungan erat dengan rasionalisme. Jika sekularisme
mengesampingkan agama dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, maka
rasionalisme mengesampingkan unsur spiritual keagamaan dan menjunjung tinggi
akal pikiran.
5. Buddhisme
Buddhisme mengajarkan hidup berbudi luhur berdampingan satu sama lain, dengan
tanpa adanya pembenaran mutlak dan saling menyalahkan kepercayaan lain.
Buddhisme tidak memiliki konsep Tuhan yang personal sehungga Buddhisme sering
disebut atheis oleh beberapa kalangan.
Buddhisme tidak mengajarkan Tuhan yang bersifat personal. Tak ada nama-
nama bagi Tuhan. Tidak ada Tuhan pencemburu maupun yang penyayang.
(Lalita: 137)
Bentuk Perwujudan Perilaku Sekularisme dalam Novel Lalita karya Ayu Utami
Konsep sekularisme yang terdapat dalam novel Lalita karya Ayu Utami juga
diwujudkan dalam pola perilaku para tokoh. Pola pergaulan dan sikap tingkah laku yang
mengandung nilai-nilai sekularisme yang terdapat dalam novel merupakan pola
6
pergaulan yang pada zaman sekarang yang mudah ditemui di lingkungan sekitar kita.
Dalam pemaparan berikut ini, konsep sekularisme di bab sebelumnya dipaparkan secara
eksplisit di masing-masing subbab.
Tapi ia ingin Lalita baik-baik saja. Jika ia bisa berdoa ia ingin berdoa. Tapi ia
tidak bisa. Ketidaktahuan akan nasib wanita itu setelah perampokan dan
pemerkosaan terkadang menyiksa batinnya. (Lalita: 215)
Sebetulnya Anshel tertarik para spiritualitas. Ia suka mencuri baca atau dengar,
dalam pertemuan keluarga besar, tentang kabala dan gematria. Tetapi ayahnya
tidak ingin agama mendominasi kehidupan keluarga itu. Ayahnya seorang yang
skeptis. Mereka beribadah seminimal mungkin, atau tidak sama sekali. Ayahnya
lebih suka mengatakan bahwa Yahudi adalah tradisi ketimbang ras atau agama.
(Lalita: 100)
3. Materialistis
Lalita merupakan sosok yang selalu menampilkan dandanan yang mencolok.
Meskipun usianya di atas 40 tahun, namun dengan modal make up tebal yang selalu
menghiasi wajahnya membuatnya tampak selalu bisa menarik perhatian kaum
Adam.
7
Bibir wanita itu sepenuhnya adalah lukisan, terbentuk dari pensil dan lipstik.
Matanya dikelilingi bulu-bulu lentik dan pelbagai sepuhan rona ungu tembaga,
seperti sepasang bulu merak menempel di bawah alis-alis. Semua pada wajah
itu dilukis dan dibubuhkan dengan sangat rapi sehingga kau merasa melihat
sebentuk topeng cantik (Lalita: 8).
8
PENUTUP
Dalam novel Lalita karya Ayu Utami, penulis menemukan lima bentuk paham
sekularisme yaitu skeptis terhadap agama, menjunjung tinggi hedonisme, materialisme,
menjunjung tinggi rasionalisme dan sekularisme yang sesuai dengan konsep
Buddhisme.
Mengenai perwujudan perilaku sekularisme yang terdapat dalam novel Lalita
penulis menemukan empat bentuk utama yaitu bersikap skeptis terhadap agama,
beribadah seminimal mungkin atau tidak sama sekali, materialistis dan praktik seks
bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Depdikbud.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Caps.