Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PERUANGAN DI TANAH JAWA

Latar Belakang Perang Jawa (1741-1743)

Perang Jawa dari tahun 1741 sampai 1743 adalah konflik bersenjata antara
gabungan tentara Tionghoa dengan Jawa melawan pemerintah kolonial
Belanda yang meletus di Jawa tengah dan timur. Belanda berhasil
memenangkan perang ini, yang mengakibatkan jatuhnya Kesultanan
Mataram dan secara tidak langsung mengakibatkan berdirinya Kasunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Setelah tentara Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa


di Batavia (sekarang Jakarta), beberapa ribu orang pasukan Tionghoa dari
Batavia yang selamat yang dipimpin oleh Khe Pandjang pergi ke Semarang.
Meskipun telah diperingati bahwa pemberontakan akan segera meletus,
kepala militer Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Bartholomeus
Visscher mengabaikan nasihat yang masuk dan tidak menyiapkan bala
bantuan. Seiring perkembangan situasi, keraton Pakubuwono II, Sunan
Mataram, memilih mendukung orang Tionghoa untuk sementara waktu sambil
berpura-pura membantu Belanda.

Setelah korban pertama berjatuhan pada 1 Februari 1741 di Pati, para


pemberontak Tionghoa menyebar ke seluruh Jawa tengah. Orang Jawa turut
membantu orang Tionghoa sembari berpura-pura bertempur melawan mereka
agar orang Belanda mengira didukung orang Jawa. Tipu daya ini menjadi
semakin jelas dan tentara Tionghoa terus mendekati Semarang, alhasil
Visscher menjadi tidak stabil secara mental.

Setelah merebut Rembang, Tanjung, dan Jepara, tentara gabungan


mengepung Semarang pada Juni 1741. Visscher kemudian memerintahkan
untuk menghabisi semua orang Tionghoa di Jawa. Pangeran Cakraningrat IV
dari Maduramenawarkan bantuan, dan dari Madura ke arah barat ia
membantai semua orang Tionghoa yang dapat ditemui dan memadamkan
pemberontakan di Jawa timur.

Pada akhir tahun 1741, pengepungan Semarang berhasil dipatahkan setelah


tentara Pakubuwono II melarikan diri karena tentara Belanda, dengan bala
bantuan mereka, memiliki senjata api yang lebih unggul. Kampanye militer
Belanda selama tahun 1742 memaksa Pakubuwono II untuk menyerah dan
beralih keberpihakan; namun beberapa pangeran Jawa ingin meneruskan
perang, sehingga pada 6 April Pakubuwono II tidak diakui oleh para
pemberontak dan keponakannya, Raden Mas Garendi, dipilih sebagai
penggantinya.

Begitu Belanda berhasil merebut kembali semua kota di pantai utara Jawa,
para pemberontak menyerang ibu kota Pakubuwono II di Kartosuro, sehingga
dia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya. Cakraningrat IV merebut
kembali kota tersebut pada Desember 1742, dan pada awal 1743
pemberontak Tionghoa terakhir telah menyerah. Setelah perang ini berakhir,
Belanda semakin menancapkan kekuasaan yang lebih besar di Jawa melalui
perjanjian dengan Pakubuwono II.

Berikut ini terdapat beberapa jalannya perang jawa, yaitu sebagai berikut:

1. Konflik Perang Pada Tahun 1741


Pada 1 Februari 1741, Kopral Claas Lutten dibunuh di rumahnya di Pati oleh
37 pemberontak Tionghoa yang bersenjatakan pedang, tombak, dan garu;
kelompok tersebut kemudian menjarah rumahnya. Para pemberontak tersebut
dikejar oleh sekelompok pasukan Jawa atas perintah Bupati Kudus. Meskipun
sebagian besar pemberontak berhasil melarikan diri, satu orang ditangkap
dan dibunuh dengan kepalanya dipenggal lalu disulakan pada sebuah tiang di
tengah Semarang sebagai peringatan untuk orang-orang lain yang ingin
memberontak.

Sementara itu, di sekitar Demak dan Grobogan, etnis Tionghoa berkumpul


dan memilih pemimpin baru, Singseh, dan berupaya untuk membentuk
negara mereka sendiri. Keberhasilan tentara Jawa dalam meredam
pemberontakan membuat tenang Visscher, meskipun Yong Khoo
menyarankan agar ia waspada.

Pada saat itu, Visscher beserta pasukannya hanya berjumlah 90 orang


Belanda dan 208 orang Indonesia tanpa bala bantuan dan menerima saran-
saran yang saling berlawanan dari Yong Khoo dan pamannya, Kapten Kwee
Ang Khoo. Untuk mengamankan posisinya, Visscher mengirim permohonan
ke bupati-bupati dan pemimpin-pemimpin setempat untuk menangkap dan
membunuh seluruh etnis Tionghoa yang mencurigakan; meskipun beberapa
dari antara mereka langsung menaatinya dengan bukti tiga kepala yang
diberikan kepada Visscher beberapa hari kemudian, yang lainnya
(seperti Sunan Pakubuwono II dari Mataram) bertindak lebih berhati-hati dan
berkata bahwa mereka merasa tidak pasti dengan keetisan perintah tersebut.

Selama periode pertimbangan yang berlangsung dari akhir tahun 1740 hingga
bulan Juli 1741, Pakubuwana II dan para penasihatnya berdebat tentang
keuntungan bergabung dengan Tionghoa atau bertahan dan menyelamatkan
orang-orang Belanda agar hubungan mereka menjadi lebih baik.
Pakubuwono II kemudian secara diam-diam memberikan 2.000 real kepada
Mas Ibrahim untuk memulai serangan terhadap VOC dan aset-asetnya; serta
memerintahkan para bangsawan seniornya, Jayaningrat dan Citrasoma, untuk
menjadi pihak netral dalam konflik tersebut dan membiarkan sebanyak
mungkin orang Tionghoa melarikan diri. Mertopuro dari Grobogan, salah satu
pendukung yang lebih vokal mengenai perlawanan aktif, ditugaskan untuk
memanas-manasi orang Tionghoa di wilayahnya.

Di dalam ibu kota Pakubuwono II di Kartosuro, dia memerintahkan


pemugaran Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan; sekarang disebut Sasana
Hinggil) di selatan keratonnya untuk menjadi alasan pada Belanda bahwa dia
tidak memiliki tenaga kerja yang tersisa. Meskipun Visscher menerima
intelijen mengenai kesepakatan Pakubuwono II, dia tetap memercayainya
karena kesetiaannya pada VOC sebelumnya.

 a) Ketidakstabilan Visscher dan kekalahan-


kekalahan awal
Ketika pasukan Tionghoa (yang berjumlah 1.000 orang dan membahayakan
jalur persediaan ke Semarang) tiba di Tanjung pada April 1741, Visscher
meminta agar bupati mengirim pasukan untuk menghadapinya. Namun,
pasukan bupati menolak pindah sampai mereka mendapat hadiah berupa
beras bermutu tinggi. Setelah Yong Khoo mengirimkan beras, pasukan bupati
pergi ke Tanjung, berdiri di luar jangkauan para pemberontak, lalu
melepaskan tembakan dan pergi. Para pemberontak kemudian menduduki
pabrik gula di sana.

Artikel Terkait:  Isi Perjanjian Giyanti

Di Grobogan, Mertopuro (yang dipersenjatai dengan senjata dari komando


militer Belanda) melakukan serangan terhadap para pemberontak Tionghoa,
dan dalam serangan tersebut para tentara Jawa melepaskan tembakan pada
orang Tionghoa sebelum Belanda datang. Begitu Belanda tiba, Mertopuro
menunjukkan luka peluru pada kuda (yang ditimbulkan oleh pasukannya
sendiri) sebagai bukti bahwa dia telah bertempur.

Untuk menanggulangi tekanan dari pemberontak Tionghoa yang semakin


menguat, Visscher mengirim perintah ke benteng kompeni di seluruh pantai
utara untuk mempekerjakan sebanyak mungkin tentara bayaran pribumi non-
Jawa yang dapat ditemukan; dia juga memerintahkan para bupati di
Pati, Jepara, Kudus, dan Cekalsewu (yang saat itu sedang berada di
Semarang untuk sebuah pertemuan militer) untuk mengirim pasukan untuk
memutus jalur pelarian pemberontak.
Para bupati yang setia dengan Pakubuwono IImengirim 540 tentara ke
Tanjung, lalu diam-diam berangkat ke Kartosuro. Namun, saat pasukan tiba
mereka pura-pura menyerang, lalu mundur kembali ke Semarang. Ketika
Visscher menyadari bahwa para bupati sudah raib, Pakubuwono
II mengatakan kepadanya bahwa dia akan mengirim mereka kembali dengan
6.000 tentara tambahan, dan meminta agar Visscher bisa menjamin
kompensasi dari kantor pusat kompeni di Batavia.

Berita segera menyebar mengenai ribuan pemberontak Tionghoa yang


bersatu dengan pasukan dengan orang Jawa di Grobogan. Pada tanggal 1
Mei, Visscher dipanggil oleh Kapten Rudolph Carel von Glan, seorang
pemimpin satuan, menanyakan mengapa Visscher tidak melakukan apa pun
untuk mengatasi pemberontakan tersebut. Visscher dengan panas menjawab
bahwa itu bukan urusan Glan.

Keesokan harinya, setelah diinterogasi oleh jaksa Jeronimus Tonnemans Jr.,


Yong Khoo, dan Ang Khoo, Visscher menjadi semakin marah, memecahkan
meja menjadi dua dan meneriaki penasihat Tionghoa-nya. Ketika Yang Khoo
menghilang setelah pertemuan tersebut, Anko mengatakan pada Visscher
bahwa dia telah bergabung dengan orang Tionghoa yang memberontak.

Hal ini menyebabkan Visscher, yang telah banyak berinvestasi pada Yong
Khoo dan telah meninggalkan sejumlah besar uang bersamanya,
mengeluarkan keretanya dan berteriak kepada penduduk Semarang untuk
melarikan diri saat masih memungkinkan. Ini berlanjut sampai dia menabrak
tembok kota. Para penduduk melarikan diri dari Semarang dengan panik,
meninggalkan delapan meriam berisi di luar tembok kota.

Sehari setelahnya, Visscher menyerahkan kekuasaan militer kepada Glan.


Tidak lama kemudian, berita sampai kepadanya bahwa Yong Khoo tidak
bergabung dengan pemberontak namun telah dirampok, menghabiskan
malam di makam anaknya di Peterongan dalam depresi. Hal ini merevitalisasi
Visscher, yang merebut kembali komando militer pada 4 Mei dan
memerintahkan semua orang untuk kembali ke rumah mereka. Beberapa hari
setelahnya, empat bupati – Suradiningrat dari Tuban, Martapura dari
Grobogan, Suradimenggala dari Kaliwungu, dan Awangga dari Kendal – tiba
di Semarang melaporkan bahwa 6.000 tentara yang dijanjikan sedang dalam
perjalanan.

Meskipun telah diberi tahu bahwa dia akan berada dalam bahaya jika dia
melawan kompeni, pada 11 Mei Pakubuwono II meminta agar semua bupati
pesisir berjanji setia kepadanya. Dia melakukan hal yang sama untuk para
anggota keratonnya pada 13 Mei.

Namun, beberapa pemimpin, termasuk garis takhta yang kedua, Pangeran


Ngabehi Loringpasar, Pangeran Tepasana abang Pakubuwono II, dan ibunya,
Ratu Amangkurat, menentang suatu revolusi; Kapten Johannes van Velsen,
residen di Kartasura, melaporkan kepada Visscher bahwa Sunan telah dibujuk
melawan pemberontak. Namun, Pakubuwono II menjadi semakin yakin bahwa
dia akan bergabung dengan orang Tionghoa.

Pada 23 Mei, sekitar 1.000 orang Tionghoa meninggalkan Tanjung dan


menuju ke timur, menyerang 15 orang pengawal luar Juwana, serta satunya
lagi di Rembang. Meskipun residen Belanda dan lima lainnya melarikan diri,
Belanda mencatat jumlah korban yang besar, dengan laporan kanibalisme.
Penduduk di Demak, mendengar desas-desus ini dan dengan 3.000 orang
Tionghoa di luar tembok, meminta izin untuk mengundurkan diri ke Semarang.

Mengingat Demak merupakan kunci untuk pertahanan kota, Visscher


menolak, malah mengirim 80 sampai 100 tentara pribumi sebagai bala
bantuan. Penduduk Demak akhirnya dipanggil kembali ke Semarang,
meninggalkan pertahanan benteng kepada Mertopuro. Rembang jatuh pada
27 Juli, beserta kejatuhan Jepara empat hari kemudian.

 b) Pengepungan Semarang dan kekalahan Belanda


Orang Tionghoa dari Tanjung segera tiba di Semarang dan mengepung,
dibantu oleh tentara yang sebelumnya dikirim untuk menghancurkan mereka.
Visscher, karena takut pasukannya tidak cukup, meminta bala bantuan
dari Pakubuwono II. Pakubuwono II bersedia mengirim satuan artileri, tetapi
dilakukan secara diam-diam yang dimaksudkan untuk memperkuat orang-
orang Tionghoa.

Dengan ekspedisi militer dari orang Tionghoa dan Jawa yang mencapai
tembok kota, pada awal Juni Visscher memerintahkan suatu ekspedisi militer
balasan, berjumlah 46 orang Eropa dan 146 orang Indonesia dan dibantu oleh
tentara Jawa di bawah Gubernur Semarang Dipati Sastrawijaya. Ekspedisi
militer ini dikirim melawan orang Tionghoa dan Jawa yang berkumpul di luar
perbukitan Bergota.

Artikel Terkait:  Prasasti Peninggalan Kerajaan Singasari

Di luar tembok, orang Jawa segera pergi setelah merusak persediaan artileri
yang ada, dengan kelompok pribumi lainnya meninggalkan ekspedisi militer
pada kontak pertama dengan orang Tionghoa. Setelah membunuh beberapa
orang Tionghoa, tentara Belanda kembali ke benteng tersebut.

Pada hari berikutnya, Belanda menyita seluruh rumah orang Tionghoa,


termasuk rumah Ang Khoo. Ketika senjata dan amunisi ditemukan di
rumahnya, Ang Khoo menyatakan bahwa barang-barang tersebut adalah
sisa-sisa dari perang sebelumnya pada 1718. Tidak memercayai Ang Khoo,
Belanda menangkapnya dan Yanko, lalu memerintahkan mereka dirantai dan
dipenggal; Visscher kemudian memerintahkan eksekusi semua etnis
Tionghoa. Pada tanggal 14 Juni, Visscher memerintahkan permukiman orang-
orang Tionghoa di luar benteng untuk diratakan dengan tanah. Meskipun
orang Tionghoa unggul dalam jumlah, mereka tidak mencoba serangan
terakhir.

Dengan semakin banyaknya pemberontakan yang terjadi di Jawa bagian


timur, kompeni didekati oleh Pangeran Cakraningrat IV dari Madura, yang
menawarkan diri untuk bersekutu dengan Belanda jika mereka mendukung
upayanya untuk mendirikan kerajaannya sendiri di wilayah
tersebut; akraningrat IV, yang dulunya adalah pejuang yang hebat bagi
Mataram, telah tersinggung karena ditinggalkan dari musyawarah perang
sebelumnya dari Pakubuwono II dan siap untuk melancarkan perangnya
sendiri melawan pasukan Sunan.

Setelah Belanda setuju, Cakraningrat IV memutuskan hubungannya dengan


Mataram, mengembalikan istrinya (saudari Pakubuwono II) ke Kartosuro.
Sepanjang bulan Juni dan Juli, pasukan Cakraningrat IV berupaya untuk
membunuh seluruh etnis Tionghoa, pertama dimulai di Madura kemudian
menyebar ke Tuban, Surabaya, Jipang, dan Gresik. Pada 12 Juli, seluruh
orang Tionghoa di wilayah Surabaya dan Gresik telah melarikan diri atau
dibunuh.

Pada 9 Juli, Pakubuwono II memerintahkan eksekusi Pangeran Tepasana


dan adik laki-laki lainnya, yang dituduh sebagai informan Velsen; keluarga
mereka, termasuk putra praremaja Tepasana, Raden Mas Garendi,
diasingkan. Pakubuwono II segera setelah itu, secara terbuka menunjukkan
dukungannya bagi pemberontakan orang Tionghoa pada bulan Juli dengan
serangan tiba-tiba.

Pasukannya memasuki garnisun Belanda di kota, dengan berpura-pura


membantu mempersiapkan serangan terhadap orang Tionghoa, pada 20 Juli.
Begitu masuk, tentara Jawa melepaskan tembakan, mengejutkan Belanda;
meskipun tidak sadar dan kehilangan tiga puluh lima orang dalam serangan
awal, Belanda berhasil bertahan selama tiga minggu.

Namun, setelah orang Tionghoa bergabung dalam pertempuran tersebut,


garnisun itu segera jatuh, Velsen dihukum mati dan tentara lainnya yang
masih hidup diberi pilihan (atau dipaksa) untuk pindah agama ke Islam atau
dibunuh. Mereka menyunat orang Belanda dan orang Jawa menangkap anak-
anak dan perempuan Belanda sebagai rampasan perang setelah
mengeksekusi pemimpin Belanda. Sementara itu, pasukan Khe Pandjang
keluar dari Bekasi dan bergabung dengan 1.000 prajurit di bawah pimpinan
Kapten Ismail untuk merebut Tegal.

Pada 25 Juli, pengganti Visscher, Abraham Roos, dikirim pada akhir Juni
karena Visscher dianggap tidak stabil secara mental—tiba di Semarang
dengan 170 orang, melihat bahwa kompeni hanya mengendalikan benteng,
permukiman Eropa, dan tumpuan pantai. Setelah kedatangan Roos,
pemerintah Belanda mulai mengirim lebih banyak bala bantuan, yang pada
akhirnya berjumlah sedikitnya 1.400 tentara Belanda dan 1.600 tentara
Indonesia.

Per November 1741, benteng-benteng kompeni di Semarang dikepung oleh


3.500 tentara Tionghoa dan 20.000 tentara Jawa, yang dipersenjatai dengan
30 meriam, dibandingkan dengan 3.400 tentara Belanda dan tentara loyalis.
Dengan keunggulan senjata api dan taktik Belanda menyebabkan
pasukan Pakubuwono II bercerai-berai, pengepungan tersebut akhirnya gagal
dan sebuah ekspedisi militer dapat merebut kembali Jepara.

2. Konflik Perang Pada Tahun 1742–1743


Berikut ini terdapat dua (2) konflik perang pada tahun 1742-1743, yaitu
sebagai berikut:

 a) Kejatuhan Kartosuro
Pada awal 1742, Pakubuwono II menyerah kepada Belanda. Pada Maret,
tujuh pria Belanda yang dipimpin oleh Kapten Johan Andries, Baron van
Hohendorff, tiba di Kartosuro untuk mengatur syarat-syarat penyerahan
dirinya. Meski awalnya Belanda menuntut putra mahkota muda, Pangeran
Loringpasar, putra sulung Pangeran Notokusumo, dan Pangeran Pringgalaya
sebagai sandera, Loringpasar digantikan oleh Ratu Amangkurat karena dia
terlalu sakit untuk melakukan perjalanan.

Karena tidak mau membiarkan orang Belanda membawa anaknya,


Notokusumo, yang kemudian mengepung Semarang, melakukan serangan
palsu terhadap orang Tionghoa, di mana korban yang sakit atau terluka
dikorbankan sementara yang sehat diizinkan melarikan diri, untuk memberi
kesan kesetiaan. Dia kemudian pergi ke Kartosuro untuk mencoba
menyelamatkan putranya, tetapi diperintahkan untuk mengosongkan jalan ke
Demak oleh pejabat Belanda di sana.

Setelah mengulur-ulur waktu, Notokusumo bersedia melakukannya, pertama-


tama melakukan perjalanan ke Semarang. Namun, ketika dia tiba di
Semarang, dia ditangkap oleh pimpinan pasukan yang baru, Hugo Verijsel,
dengan restu dari Pakubuwono II. Verijsel kemudian mengerahkan 300
prajurit Belanda dan 500 pribumi untuk membersihkan wilayah di sekitar
Kartosuro, tetapi dihentikan di Salatiga ketika dia dan pasukannya diserang
oleh pasukan dari tiga temenggung; Verijsel mundur ke Ampel.
Artikel Terkait:  Peninggalan Kerajaan Demak

Karena melakukan kesepakatan dengan Belanda, pada 6 April Pakubuwono


II ditolak oleh para pangeran yang masih bertempur dan pemberontak
Tionghoa. Para pemimpin pemberontak memilih Garendi sebagai sunan baru;
Garendi memakai gelar Sunan Kuning. Pada 19 Juni, dikabarkan bahwa
pasukan Notokusumo, yang berada di bawah komando Kyai Mas
Yudanagara, telah meninggalkan Kartosuro untuk mendudukkan Sunan
Kuning di atas takhta.

Pada 30 Juni, mereka tiba di Kartosuro bersama dengan pasukan Khe


Pandjang dan menyerang kota tersebut. Pasukan Pakubuwono II, yang
berjumlah 2.000 orang, berada di belakang pertempuran
tersebut, Pakubuwono II, keluarganya, dan Belanda melarikan diri dengan
berkuda serta mencari perlindungan dengan melintasi Bengawan
Solo. Pakubuwono II kemudian berjanji akan menyerahkan wilayah pesisir
dan membiarkan Belanda memilih patih, atau menteri utama, jika Belanda
membantunya merebut kembali takhtanya.

 b) Kembalinya kekuasaan Belanda


Pada awal Juli, Verijsel mengerahkan 360 pasukan Ambon, yang dipimpin
oleh Kraeng Tanate, untuk membantunya mempertahankan Semarang. Pada
21 Juli, Kapten Gerrit Mom datang dari Sulawesi dengan 800 pasukan yang
bertugas sebagai bala bantuan. Mom dan Tanate kemudian dikirim untuk
menaklukkan kembali Demak, yang diduduki oleh 4.000 pemberontak di
bawah kepemimpinan jenderal Tionghoa Singseh dan jenderal Jawa Raden
Suryakusuma. Pertempuran berikutnya terjadi selama beberapa hari dan
akhirnya berhasil dimenangkan oleh Belanda.

Pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Kudus; di kota tersebut,


diperkirakan terdapat 2.000 prajurit Tionghoa yang menunggu kedatangan
bantuan dari Kartosuro. Dengan bantuan tambahan dari pasukan yang
dipimpin oleh Ngabehi Secanegara dari Jepara dan Kapten Hendrik Brule dari
Semarang, Mom dan Tanate merebut kembali kota tersebut tanpa perlawanan
pada 28 Agustus. Setelah merebut kembali Demak dan Kudus, bupati yang
tersisa mulai menyerah, dan mereka sendiri telah dijanjikan pengampunan
oleh Pakubuwono II.

Koalisi pemberontak Tionghoa dan Jawa, yang mulai berantakan, terus


mempertahankan Kartosuro hingga Desember 1742, tetapi kemudian terusir
dari kota tersebut akibat serangan Cakraningrat IV. Meskipun orang Jawa
diizinkan untuk melarikan diri, orang Tionghoa hanya bisa melarikan diri ke
Prambanan di dekatnya setelah terjadinya pertempuran di Asem.Dua bulan
kemudian, orang-orang Tionghoa yang didampingi oleh pemimpin Jawa yang
terkenal, Pakunegara, berupaya untuk bertahan, tetapi dikalahkan dan
terpaksa melarikan diri ke kaki bukit di sepanjang pesisir selatan.Maklumat
pengampunan kemudian diumumkan, dan Singseh menyerah di Surabaya.

Tokoh Perang Jawa


Berikut ini terdapat beberapa tokoh dalam perang jawa-Tionghoa melawan
belanda, yaitu sebagai berikut:

1. Kasunanan Kartasura
2. Singseh Pandjang
3. Pakubuwono II
4. Notokusumo
5. Bartholomeus Visscher
6. Hugo Verijsel
7. Cakraningrat IV
8. Pakubuwono II

Akhir Perang Jawa


Meskipun Pakubuwono II diangkat kembali oleh Belanda, pada awal 1743 ia
dipaksa untuk menandatangani sebuah perjanjian. Selain memindahkan
istananya ke sekitar Solo, Pakubuwono II menyerahkan dua pemimpin Jawa.
Sesuai dengan perjanjian tersebut, Pakubuwono II juga menyerahkan pantai
utara Jawa, Madura, dan Jawa bagian timur kepada Belanda; perjanjian
tersebut juga mewajibkannya untuk membayar 8.600 ton metrik beras sebagai
upeti setiap tahun dan melarang orang-orang Jawa berlayar ke luar Jawa,
Madura, dan Bali.

Pakubuwono II wafat pada 1749; ia sendiri sebenarnya adalah seorang


pemimpin tidak populer yang hanya dapat bertahan di tampuk kekuasaan
berkat perlindungan dari Belanda. Perselisihan terus berlanjut antara orang-
orang keraton setelah kematian Pakubuwono II, yang kemudian berujung
pada pembagian wilayah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan
Surakarta yang terletak di Solo di bawah kepemimpinan Pakubuwono
III dan Kesultanan Yogyakarta di kota dengan nama yang sama di bawah
kepemimpinan Mangkubumi.

Pangeran Cakraningrat IV tidak mendapatkan wilayah atau kekuasaan yang


dijanjikan, malah dikucilkan di Madura. Cakraningrat IV tidak mau menerima
apa yang dianggapnya sebagai pengkhianatan Belanda, alhasil ia bergabung
dengan pemberontakan lain pada 1745; setelah putranya menyerah kepada
Belanda; Cakraningrat IV melarikan diri ke Banjarmasin di Kalimantan, tetapi
ditangkap dan diasingkan di Tanjung Harapan pada 1746.

Meskipun sudah menguasai banyak wilayah pesisir, Perusahaan Hindia Timur


Belanda “sudah sangat lelah”. Menurut Merle Calvin Ricklefs, Sultan
Yogyakarta yang baru, Mangkubumi, kemudian menjadi “musuh paling
berbahaya” bagi pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-18.

Pemerintahan Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo


Kumolo mendirikan sebuah monumen untuk para korban pembantaian
Batavia 1740 dan orang Jawa dan Tionghoa yang bertempur melawan
Belanda dalam perang Jawa. Monumen yang berdiri di Taman Budaya
Tionghoa Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah tersebut diberi nama
lengkap Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC
1740–1743.

Anda mungkin juga menyukai