Makala H
Makala H
Perang Jawa dari tahun 1741 sampai 1743 adalah konflik bersenjata antara
gabungan tentara Tionghoa dengan Jawa melawan pemerintah kolonial
Belanda yang meletus di Jawa tengah dan timur. Belanda berhasil
memenangkan perang ini, yang mengakibatkan jatuhnya Kesultanan
Mataram dan secara tidak langsung mengakibatkan berdirinya Kasunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Begitu Belanda berhasil merebut kembali semua kota di pantai utara Jawa,
para pemberontak menyerang ibu kota Pakubuwono II di Kartosuro, sehingga
dia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya. Cakraningrat IV merebut
kembali kota tersebut pada Desember 1742, dan pada awal 1743
pemberontak Tionghoa terakhir telah menyerah. Setelah perang ini berakhir,
Belanda semakin menancapkan kekuasaan yang lebih besar di Jawa melalui
perjanjian dengan Pakubuwono II.
Berikut ini terdapat beberapa jalannya perang jawa, yaitu sebagai berikut:
Selama periode pertimbangan yang berlangsung dari akhir tahun 1740 hingga
bulan Juli 1741, Pakubuwana II dan para penasihatnya berdebat tentang
keuntungan bergabung dengan Tionghoa atau bertahan dan menyelamatkan
orang-orang Belanda agar hubungan mereka menjadi lebih baik.
Pakubuwono II kemudian secara diam-diam memberikan 2.000 real kepada
Mas Ibrahim untuk memulai serangan terhadap VOC dan aset-asetnya; serta
memerintahkan para bangsawan seniornya, Jayaningrat dan Citrasoma, untuk
menjadi pihak netral dalam konflik tersebut dan membiarkan sebanyak
mungkin orang Tionghoa melarikan diri. Mertopuro dari Grobogan, salah satu
pendukung yang lebih vokal mengenai perlawanan aktif, ditugaskan untuk
memanas-manasi orang Tionghoa di wilayahnya.
Hal ini menyebabkan Visscher, yang telah banyak berinvestasi pada Yong
Khoo dan telah meninggalkan sejumlah besar uang bersamanya,
mengeluarkan keretanya dan berteriak kepada penduduk Semarang untuk
melarikan diri saat masih memungkinkan. Ini berlanjut sampai dia menabrak
tembok kota. Para penduduk melarikan diri dari Semarang dengan panik,
meninggalkan delapan meriam berisi di luar tembok kota.
Meskipun telah diberi tahu bahwa dia akan berada dalam bahaya jika dia
melawan kompeni, pada 11 Mei Pakubuwono II meminta agar semua bupati
pesisir berjanji setia kepadanya. Dia melakukan hal yang sama untuk para
anggota keratonnya pada 13 Mei.
Dengan ekspedisi militer dari orang Tionghoa dan Jawa yang mencapai
tembok kota, pada awal Juni Visscher memerintahkan suatu ekspedisi militer
balasan, berjumlah 46 orang Eropa dan 146 orang Indonesia dan dibantu oleh
tentara Jawa di bawah Gubernur Semarang Dipati Sastrawijaya. Ekspedisi
militer ini dikirim melawan orang Tionghoa dan Jawa yang berkumpul di luar
perbukitan Bergota.
Di luar tembok, orang Jawa segera pergi setelah merusak persediaan artileri
yang ada, dengan kelompok pribumi lainnya meninggalkan ekspedisi militer
pada kontak pertama dengan orang Tionghoa. Setelah membunuh beberapa
orang Tionghoa, tentara Belanda kembali ke benteng tersebut.
Pada 25 Juli, pengganti Visscher, Abraham Roos, dikirim pada akhir Juni
karena Visscher dianggap tidak stabil secara mental—tiba di Semarang
dengan 170 orang, melihat bahwa kompeni hanya mengendalikan benteng,
permukiman Eropa, dan tumpuan pantai. Setelah kedatangan Roos,
pemerintah Belanda mulai mengirim lebih banyak bala bantuan, yang pada
akhirnya berjumlah sedikitnya 1.400 tentara Belanda dan 1.600 tentara
Indonesia.
a) Kejatuhan Kartosuro
Pada awal 1742, Pakubuwono II menyerah kepada Belanda. Pada Maret,
tujuh pria Belanda yang dipimpin oleh Kapten Johan Andries, Baron van
Hohendorff, tiba di Kartosuro untuk mengatur syarat-syarat penyerahan
dirinya. Meski awalnya Belanda menuntut putra mahkota muda, Pangeran
Loringpasar, putra sulung Pangeran Notokusumo, dan Pangeran Pringgalaya
sebagai sandera, Loringpasar digantikan oleh Ratu Amangkurat karena dia
terlalu sakit untuk melakukan perjalanan.
1. Kasunanan Kartasura
2. Singseh Pandjang
3. Pakubuwono II
4. Notokusumo
5. Bartholomeus Visscher
6. Hugo Verijsel
7. Cakraningrat IV
8. Pakubuwono II