Anda di halaman 1dari 6

Kamis, 03 Maret 2016, 04:03 WIB

Monumen Laskar Tionghoa dan Kisah Geger Cina 1742


Rep: hasanul rizqa/ Red: Muhammad Subarkah
Republika/Rakhmawaty La'lang
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/03/o3f2ym385-monumen-laskar-tionghoa-dan-kisah-geger-cina-1742

Monumen perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa melawan VOC atau lebih dikenal sebagai prasasti
GegerPecinan di Taman Budaya Tionghoa,Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Monumen Laskar Tionghoa berlokasi di Taman Budaya


Tionghoa Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, diresmikan oleh
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 14 November 2015 lalu. Prasasti
peresmiannya terpampang di tengah batu pualam yang berbentuk balok setinggi satu
meter.

Belakangan monumen tersebut menuai perhatian khalayak secara luas. Banyak orang yang
salah sangka bila monumen itu terkait Laskar Pao An Tui (PAT). Di samping itu, beberapa
kalangan juga mengkritik pendirian monumen karena dibuat berdasarkan garis etnis.

Namun, apakah benar bila monumen itu ada kaitannya dengan kisah PAT? Untuk
menjawabnya, seperti ditegaskan Kepala Kantor Taman Budaya Tionghoa Indonesia
TMII, Musiyati Tessa, bahwa tidak ada hubungan di antara keduanya karena selang
waktunya terlalu jauh. Dia menuturkan, hal itu bisa dilihat dari nama lengkap monumen
tersebut, yakni “Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC
1740-1743”. Sedangkan, PAT baru berdiri sekitar tahun 1945.
Menurut Musiyati, monumen tersebut dibuat untuk menggambarkan perjuangan
komunitas Cina dan Jawa pada masa Kerajaan Mataram diperintah Paku Buwono II, atau
sebelum sekitar dua abad PAT didirikan.

“Jadi, memang ada beda dua ratus tahun dari PAT. Lagi pula Pao An Tui kan hansip. Kalau
(monumen) ini kan kaitannya dengan Keraton Surakarta, Mangkunegara, Pangeran
Samber Nyawa,” kata Musiyati Tessa di kantornya, Kompleks TMII, Jakarta, Rabu (2/3).

Dia menegaskan, pendirian monumen tersebut diilhami oleh buku sejarah Geger
Pecinan karya RM Daradjadi yang terbit pada 2013. Buku buah tangan keturunan
Mangkunegara ini menjelaskan kisah pembantaian massal orang Cina (lebih dari 10.000
orang--Red) di Batavia pada 1740 oleh Belanda. Dan, buku itu berisi kisah perlawanan
dari pemimpin komunitas Cina bersama-sama dengan tentara Jawa yang berbalik
menyerang pasukan VOC hingga meletuslah perang.

Geger Pecinan
Terkait Kisah Geger Pacinan

Seperti yang dimaklumatkan pada monumen tersebut, perang yang populer dengan nama
Geger Pecinan itu berlangsung selama 1740-1743.

Di salah satu prasasti pada monumen tersebut, dikutip sebuah tulisan dari Daradjadi,
sosok yang menggagas pendirian monumen itu.

“Atas perintah Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier, pada bulan Oktober tahun
1740, dilakukan pembantaian semena-mena terhadap sekitar 10.000 orang Tionghoa di
Batavia. Mereka dianiaya dengan dalih telah melanggar peraturan keimigrasian dan
perpajakan. Sedang tujuan yang sesungguhnya untuk memeras dan merampas harta
benda orang-orang Tionghoa.

Di tengah kerusuhan seorang yang bernama Souw Phan Ciang, alias Khe Panjang atau
Sepanjang bertempat di Gandaria, wilayah pinggiran Batavia membentuk suatu laskar
untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Mereka menyerang pos-pos pertahanan VOC
di sekitar Batavia hingga Cirebon, yang akhirnya pada tahun 1741 memasuki wilayah
kerajaan Mataram, yang beribu kota di Kartasura.

Kedatangan mereka disambut oleh laskar-laskar Tionghoa lokal di bawah pimpinan Tan Si
Ko alias Singseh, Oey Ing Kiat/Raden Tumenggung Widyaningrat/Bupati Lasem, Tan Kee
Wie, dan lain-lainnya. Raja Mataram waktu itu, Pakubuwono II membangun persekutuan
dengan Laskar Tionghoa tersebut dan menyerang pertahanan VOC di seluruh Jawa
Tengah dan Jawa Timur.

Santri di Jawa.
Kisah Sunan Kuning

Perang antara pasukan laskar Tionghoa – Jawa melawan VOC makin bertambah dahsyat,
setelah Pakubuwono II diganti oleh Raden Mas Garendi yang bergelar Amangkurat V. Di
samping tokoh-tokoh seperti : Bupati Grobogan Martopuro, Patih Notokusumo, Pangeran
Mangkubumi, muncul tokoh-tokoh muda dengan nama Raden Mas Said, Raden Panji
Margono dan lain sebagainya.

Perang yang mempunyai cakupan daerah terluas dengan korban besar yang dihadapi VOC
ini, berakhir pada tahun 1743. Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning tertangkap di
Surabaya dan dibuang ke Sri Lanka, menyusul Patih Notokusumo yang telah tertangkap
sebelumnya. Tan Sin Ko dan Tan Kee Wie gugur dibunuh serdadu VOC.

Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said atau Mangkunegoro
I tetap melakukan perjuangan di daerah Jawa Tengah. Kelak keduanya oleh pemerintah
RI diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sedangkan Sepanjang meneruskan
perlawanannya ke arah timur. Ia terlihat di Pulau Bali pada tahun 1758.

Abdi dalem Kraton Solo di sekitar area Alun-Alun Utara Solo


Monumen Didirikan Paguyuban Warga Lasem

"Monumen ini didirikan oleh Paguyuban Warga Lasem sebagai bentuk penghargaan
kepada para pahlawan – pejuang bangsa yang telah memberikan pengorbanan dan dharma
baktinya untuk tercapainya kemerdekaan bangsa.” Demikian sambungan tulisan
Daradjadi.

Di prasasti monumen itu, dikutip pula sebuah kalimat pidato mendiang Bung Karno :
Bangsa besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.”

Monumen ini menampilkan adegan baku tempur antara pihak VOC di sisi kiri dan pihak
etnis Cina serta Jawa di sisi kanan. Kedua kubu tampil berhadap-hadapan. Pematung
seakan mencoba menampilkan kegigihan kubu Cina-Jawa, tak gentar melawan VOC. Di
kompleks ini, tak dicantumkan nama seniman pematung.

Ada empat patung di atas balok pualam setinggi satu meter itu yang menggambarkan
sosok-sosok kunci VOC dalam pertempuran Geger Pecinan. Mereka adalah serdadu
(tanpa nama) pembawa bendera VOC, Kapten Nathaniel Steinmetz, Mayor Gerrit Mom,
dan Mayor Baron van Hohendorff.

Kemudian, berhadapan dengan mereka, ada tujuh patung yang menampilkan sosok-sosok
pejuang dari etnis Cina dan Jawa. Mulai dari yang terdepan menghadap patung pasukan
VOC, yakni Singseh/Tan Sin Ko (Welahan), Sepanjang/Souw Phan Ciang, Raden Mas
Said/Mangkunegoro I (Kartasura), Raden Tumenggung Widyaningrat/ Oey Ing Kiat
(Bupati Lasem), Raden Panji Margono (Lasem), Tan Kee Wie (Lasem), dan Bupati
Martopuro (Grobogan).

Pualam setinggi satu meter yang merupakan panggung adegan “pertempuran" itu,
dikelilingi kolam kecil selebar 50 cm. Kompleks monumen ini pun tak jauh dari patung
berwarna putih setinggi kira-kira tiga meter. Patung filsuf Cina klasik, Khong Hu Cu, itu
berdiri dalam sunyi.

Kampung Pecinan Solo tahun 1949


Hasil Sumbangan 63 Donatur

Pendirian monumen “Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC
1740-1743” ditaja oleh 63 donator, baik atas nama perorangan, keluarga, maupun
komunitas arisan. Nama-nama mereka tercantum dalam prasasti di sisi kanan monumen,
yakni tempat di bawah berdirinya tujuh sosok patung dari laskar Cina-Jawa.
Musiyati menjelaskan, monumen ini didirikan dengan dana dari perhimpunan etnis Cina
yang didominasi komunitas Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Namun, ia mengaku tak tahu
berapa rupiah besarannya.

“Dananya dari Paguyuban Lasem. Itu kan gagasannya dari Mangkunegaran,” ucap Musiyati.

Di sebelah kiri prasasti peresmian monumen ini, ada prasasti yang memaklumkan ucapan
terima kasih kepada pihak-pihak penggagas dan pendukung. Terdapat nama-nama
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ketua Paguyuban Hanebu Sauyun Himpunan
Kerabat Mangkunagaran Suryasumirat GR Ay Retno Roosati Kadarisman.

Kemudian, Pembina Yayasan Harapan Kita Suhardjo Soebardi, Direktur Utama TMII AJ
Bambang Soetanto, Ketua Paguyuban Warga Lasem Tamtana, KRM H Daradjadi
Gondodiprodjo sebagai penggagas, dan pengurus Taman Budaya Tionghoa TMII.

Kompleks Taman Budaya Tionghoa Indonesia sendiri luasnya 4,5 hektare dan diresmikan
pada 8 November 2006 lalu oleh bekas presiden RI, Soeharto. Namun, dalam prasasti di
pintu masuk kompleks ini, pemimpin Orde Baru itu dikatakan sebagai Ketua Yayasan
Harapan Kita.

Anda mungkin juga menyukai