Anda di halaman 1dari 6

Pola Komunikasi Untuk Penanggulangan Bencana Pada Fase

Mitigasi Bencana

Fatma Wardy Lubis1, Mazdalifah2, Raras Sutatminingsih3


Universitas Sumatera Utara
fatma.wardy@usu.ac.id

Abstrak
Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilakukan dengan tujuan untuk memberi pengetahaun
dan keterampilan dasar mengenai komunikasi bencana pada warga di dua desa yang saat ini
lokasinya paling dekat dengan Gunung Sinabung, yaitu Desa Payung Kecamatan Payung,
dan Desa Kutarayat di Kecamatan Namanteran. Kegiatan pengabdian menyasar dua
kategori kelompok rentan yaitu lansia dan anak-anak, serta kelompok pemuda di kedua desa
tersebut. Metode yang digunakan oleh adalah penyuluhan, pelatihan kesukarelawanan,
pengenalan senam mitigasi bencana, serta permaian untuk anak. Hasil dari kegiatan
pengabdian adalah terdistribusnya senam mitigasi bencana sebagai sarana pengenalan
mitigasi bencana, terjadi peningkatan kesadaran masyarakat tentang resiko bahaya erupsi,
adanya panduan untuk perilaku publik pada fase mitigasi benana melalui senam mitigasi
bencana, memberikan peringatan publik terhadap potensi bencana, serta meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai upaya mengurangi resiko bencana selama fase mitigasi.
Kata kunci: Komunikasi Bencana, Mitigasi Bencana, Erupsi Gunung Sinabung

1
Pendahuluan
Gunung Sinabung puncak tertinggi kedua di Sumatera Utara adalah gunung dengan
jenis stratovolkano. Letusan pertama Sinabung terjadi pada 27 Agustus 2010, setelah ‘diam’
selama 400 tahun sejak tahun 1600. Aktivitas vulkanik yang terjadi pada 2010 memaksa dua
belas ribu penduduk di sekitar lerengnya mengungsi ke delapan titik pengungsian. Setelah
itu, Gunung Sinabung sempat diam selama 2 tahun dan kembali meletus pada September
2013 dan masih erupsi hingga saat ini meskipun dalam skala lebih kecil. Aktivitas Gunung
Sinabung terus bergolak secara fluktuatif. Status ‘awas’ pernah diberlakukan selama 23
November 2013 hingga 8 April 2014 dan setelah itu turun menjadi “siaga”. Saat ini tercatat
letusan Gunung Sinabung terakhir kalinya pada tanggal 6 September 2019 dengan tinggi
kolom abu mencapai 7.000 meter di atas puncak. Letusan ini juga tercatat sebagai letusan
tertinggi sejak status Sinabung telah di turunkan dari Awas (level IV) menjadi level Siaga
(Level III) pada tanggal 20 Mei 2019 lalu.
Efek paling besar dari bencana ini adalah ditutupnya tiga desa terdekat dengan
Gunung Sinabung, yaitu Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah yang kemudian
masyarakat di pindahkan ke desa Siosar yang dimana awalnyadesa ini merupakan kawasan
hutan lindung. Sebagian kawasan ini kemudian dialih fungsikan sebagai kawasan relokasi
pengungsi Sinabung. Pemerintah membangun perumahan, menyediakan lahan pertanian,
menyediakan pupuk, hingga pelatihan kerja bagi pemuda desa tersebut. Pasca
dipindahkannya warga beberapa desa terdekat,masih banyak desa yang sampai sekarang
masih terkena imbas erupsi Gunung Sinabung. Hal ini dikarenakan masih seringnya terjadi
erupsi dalam skala kecil seperti keluarnya abu vulkanik dan awan panas, meskipun dalam
frekuensi yang lebih kecil. Hal ini ditambah lagi dengan masih belum jelasnya pola erupsi
Gunung Sinabung sehingga gunung api ini masih menjadi ancaman bagi warga sekitar.
Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa belum cukup ada kesadaran dari
masyarakat mengenai pentingnya komunikasi bencana. Hal ini dikarenakan dalam banyak
narasi yang dikembangkan tentang Indonesia, wacana yang diangkat tentang alam yang
subur, serta sumber daya alam yang banyak dan indah. Padahal, tanah yang subur tersebut
tetap mengandung bahaya bagi masyarakat sekitarnya.
Situasi ini menggambarkan persoalan kebencanaan yang dipaparkan oleh Ahmad
Arif, seorang jurnalis Kompas dalam bukunya “Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme”.
Dalam bukunya Arif menyebutkan bahwa gambaran tentang negeri zamrud khatulistiwa
yang dikaruniai alam nan subur harus pula dilengkapi dengan kisah tentang negeri bencana
yang dijalin oleh untaian cincin api Pasifik, tempat terjadinya sekitar 90 persen gempa bumi
di dunia (Arif, 2010: 24). Cincin api, berdasarkan pemaknaan ilmu kebumian, adalah
rangkaian titik gunung api yang menggelegak dan siap meledak. Ledakan kadang diiringi
gempa dan jika ledakan kuat terjadi di laut, terkadang disusul tsunami.
Penanganan bencana memiliki 4 fase utama, yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap
darurat, dan pemulihan. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kesiapsiagaan menurut Undang-undang RI No.
24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
tepat guna dan berdaya guna. Tanggap darurat adalah tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi atau mengeliminasi akibat dari bencana, baik akibat yang akan terjadi, sedang
terjadi, atau yang telah terjadi. Fase terakhir adalah fase pemulihan. Pemulihan melingkupi

2
perbaikan, rekonstruksi, ataupun mengumpulkan kembali apa-apa yang telah hilang selama
masa bencana.
Pasca dipindahkannya warga Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah,
beberapa desa yang masing ditinggali warga diantaranya adalah desa Payung dan Desa Kuta
Rakyat. Desa payung berjarak sekitar 3.5 km dari Gunung Sinabung dan Desa Kuta Rakyat
berjarak 5 km dari kaki gunung.Warga desa ini sudah beberapa kali mengungsi setiap kali
erupsi.Erupsi yang cukup besar pada Februari 2018 bahkan membuat dua desa ini tertutup
debu.Selain itu hujan kerikil kecil juga masih sering terjadi.
Dengan kondisi ini masih diperlukan penanganan mitigasi bencana dalam konteks
komunikasi bencana untuk penguatan dan pelatihan kemampuan antisipasi bencana bagi
warga. Diperlukan upaya menumbuhkan komunitas mitigasi mandiri dari warga yang akan
mendapat pelatihan mitigasi komunikasi bencana secara berkelanjutan.

Metode
Terdapat beberapa metode yang dilaksanakan dalam kegiatan ini yaitu:
1. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan metode yang berupaya untuk mengisi aspek kognisi bagi
audiens.
2. Training of Trainee
Training of trainee dilakukan untuk membantu pembentukan komunitas mitigasi
bencana di desa tersebut. Komunitas ini nantinya akan menjadi relawan yang
membantu tim dalam pelaksanaan mitigasi bencana.
3. Permainan
Metode komunikasi mitigasi bencana yang juga akan dilakukan adalah melalui
permainan dan kuis.

No. Target khalayak Metode


1. Pemuda 1.Penyuluhan
2. Pendampingan Kesukarelawanan
2. Kelompok Usia Rentan, berusi Penyuluhan
tua
3. Kelompok usia rentan, siswa Penyuluhan
sekolah Permainan
Tabel 1
Metode Pelaksanaan Kegiatan Sesuai Target Khalayak

Hasil dan Output


Kegiatan pengabdian masyarakat di dua desa yaitu Desa Payung dan Desa Kutarayat
telah dilaksanakan pada bulan Juli 2019. Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini melalui
beberapa fase, yaitu:
Pra Pengabdian (24-25 Juni 2019)
Pada fase ini tim pelaksana melakukan kunjungan awal ke kedua desa. Kunjungan
dilakukan tanggal 24-25 Juni 2019. Kunjungan ini bertujuan untuk melakukan koordinasi
dengan pihak aparat desa mengenai kebutuhan dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini.

3
Tim pengabdian mencari informasi mengenai sekolah mana saja yang akan dikunjungi,
kelompok pemuda mana yang menjadi target kegiatan, serta koordinasi mengenai
kelompok lansia yang akan mendapatkan penyuluhan.
Kelompok yang akan didampingi dalam kegiatan pengabdian di Desa Payung adalah
kelompok Karang Taruna. Untuk siswa SD adalah siswa SD Kelas VI di SDN 1 Payung, dan
kelompok lansia adalah peserta senam lansia yang didampingi oleh kader dan bidan desa.
Untuk Desa Kutarayat sendiri tidak jauh berbeda dengan Desa Payung. Kelompok yang akan
mendapat penyuluhan adalah kelompok Karang Taruna, Siswa SDN1 Kutarayat, serta
kelompok senam lansia yang menjadi dampingan kader dan bidan desa.
Pada fase pra pengabdian ini, tim pengabdian juga membuat koreografi untuk
Senam Mitigasi Bencana yang diberi tajuk Senam Penguin Mitigasi. Penamaan senam ini
disesuaikan dengan musik Senam Penguin yang sedang viral di media sosial.

Kunjungan 1: Pengabdian untuk Kelompok Lansia (7 – 10 Juli 2019)


Dalam kunjungan kepada kelompok lansia, tim melakukan penyuluhan mitigasi
bencana mengenai pencarian informasi dalam kondisi bencana, perlindungan pertama saat
terjadi erupsi, tatacara penyimpanan barang berharga dan dokumen penting agar mudah
diselamatkan saat terjadi erupsi, serta informasi kemana harus mencari bantuan ketika
terjadi bencana.

Kunjungan 2: Pengabdian untuk Kelompok Pemuda Fase 1 (30 Juni-3 Juli 2019)
Pada kunjungan kedua ini tim memfokuskan pada kegiatan penyuluhan mengenai
pentingnya peran kelompok pemuda untuk menjadi penggerak dalam mitigasi bencana.
Kelompok pemuda dibawah naungan Karang Taruna diharapkan dapat membantu proses
mitigasi bencana terutama untuk membantu kelompok rentan bencana.
Dalam kesempatan ini tim memperkenalkan informasi yang penting diketahui
berkaitan dengan mitigasi bencana. Informasi tersebut berupa materi perlindungan dasar
yang harus dilakukan saat terjadi erupsi, yaitu 1) Menggunakan masker saat terjadi erupsi;
2) Menggunakan kacamata untuk menghindari debu saat erupsi; 3) Mengenakan baju
lengan panjang agar mengurangi efek panas ketika erupsi terjadi; 4) Memakai celana
panjang; 5) Menggunakan pelindung kepala untuk mengurangi efek terkena benturan benda
keras; 6) Mendengarkan instruksi dari pihak berwenang; dan 7) Lihat arah angin untuk
memastikan arah pergerakan awan panas.

Kunjungan 3: Pengabdian untuk Kelompok Pemuda Fase 2 (14-17 Juli 2019)


Pada fase ini, kelompok pemuda yang sebelumnya sudah mengikuti kegiatan
penyuluhan kembali hadir untuk mengikuti training kesukarelawanan. Training ini
dimaksudkan untuk menguatkan jiwa kesukarelawanan bagi kelompok pemuda di kedua
desa tersebut. Kelompok pemuda menjadi harapan untuk menjadi pelopor pendamping bagi
masyarakat ketika terjadi bencana. Metode yang digunakan adalah permainan mitigasi dan
kesukarelawanan, serta pengenalan senam mitigasi bencana.

Kunjungan 4: Pengabdian untuk Kelompok Anak-anak Fase 1 (21-24 Juli 2019)


Fokus utama dalam kegiatan ini adalah penyuluhan mengenai aktivitas komunikasi
bencana dalam penanganan mitigasi bencana. Informasi yang disampaikan tidak jauh
berbeda dengan informasi untuk kelompok pemuda. Perbedaannya hanya pada tata cara
penyampaian yang lebih menggunakan bahasa anak-anak. Selain itu, dalam fase ini juga

4
anak-anak diajak untuk ikut serta dalam permainan mitigasi. Tujuan permainan mitigasi ini
adalah untuk memperkenalkan upaya-upaya penyelamatan diri saat terjadi erupsi maupun
gempa.

Kunjungan 5: Pengabdian untuk Kelompok Anak-Anak Fase 2 (1-4 Agustus 2019)


Dalam kunjungan ini, tim pengabdian melakukan pengenalan senam mitigasi
bencana kepada kelompok anak-anak sekolah di dua desa tersebut. Tujuan pengenalan
senam ini adalah membiasakan anak-anak untuk melakukan senam mitigasi bencana.
Gerakan dasar pada senam ini tetap menggunakan gerakan mitigasi seperti
)Menggunakan masker saat terjadi erupsi; 2) Menggunakan kacamata untuk menghindari
debu saat erupsi; 3) Mengenakan baju lengan panjang agar mengurangi efek panas ketika
erupsi terjadi; 4) Memakai celana panjang; 5) Menggunakan pelindung kepala untuk
mengurangi efek terkena benturan benda keras; 6) Mendengarkan instruksi dari pihak
berwenang; dan 7) Lihat arah angin untuk memastikan arah pergerakan awan panas.

Simpulan dan Saran


Simpulan
Dari kegiatan pengabdian yang telah dilakukan, beberapa kesimpulan yang
didapatkan adalah:
1. Kelompok lansia di dua desa tersebut merupakan kelompok yang sangat aktif dalam
aktivitas penyuluhan. Tingkat kehadiran kelompok lansia dalam kegiatan malah
melebihi target awal yang direncanakan. Peningkatan kehadiran peserta pada kategori
usia mencapai 200 persen.
2. Temuan kegiatan pengabdian menunjukkan adanya gap keaktifan kelompok pemuda
dibandingkan dengan kelompok lansia.
3. Pengaplikasian materi pada kelompok siswa sekolah cenderung lebih mudah karena
anak-anak mudah diorganisir. Begitupun kerjasama dengan pihak sekolah juga relatif
mudah. Sekolah sangat membantu dalam mengorganisir kegiatan pengabdian.
4. Masyarakat di dua desa tersebut sudah memiliki kesadaran mengenai bencana. Dari
diskusi yang diadakan, masyarakat tidak lagi mengalami trauma terhadap erupsi
Gunung Sinabung. Masyarakat sudah terbiasa dengan kondisi erupsi yang kerap terjadi.
Akan tetapi belum memiliki keterampilan untuk mengoptimalkan penyebaran informasi
mitigasi bencana.
5. Meskipun masyarakat sudah memiliki kesadaran akan bencana, kemampuan
komunikasi bencana dalam fase mitigasi bencana belum terorganisir dengan baik.
Saran
1. Kegiatan pengabdian lanjutan dapat lebih mengembangkan keterampilan kader desa
seperti kader TAGANA, ataupun bidan desa untuk mengoptimalkan pendampingan
untuk kelompok lansia.
2. Perlu pendampingan lebih intensif untuk membentuk kader desa yang berasal dari
kelompok pemuda. Selain itu diperlukan juga penggunaan media sosial sebagai
medium sosialisasi mitigasi bencana bagi kelompok pemuda yang melek media
social.
3. Universitas Sumatera Utara lebih banyak melakukan kegiatan penyuluhan maupun
pengkaderan di sekolah-sekolah, baik pada tingkat SD, SMP, maupun SMA.

5
4. Dibutuhkan pendampingan untuk meningkatkan keterampilan penyebaran informasi
mitigasi bencana melalui platform teknologi komunikasi.
5. Perlu pendampingan intensif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi bencana.
Aktivitas ini tidak cukup hanya melalui beberapa kunjungan atau penyuluhan. Tim
pengabdian harus melalukan pendampingan intensif melalui aktivitas “tinggal di
desa” untuk mengoptimalkan capaian pengabdian serta memastikan komunitas tadi
mampu mandiri.

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Ahmad. (2010). Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari Tanah
Bencana. Jakarta: Kompas Gramedia.
https://kumparan,com/@kumparannews/sejarah-letusan-gunung-sinabung (akses pada 18
september 2019, pukul 16.00 WIB)
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190609172049-20-401897/sinabung-erupsi-tinggi-
kolom-abu-capai-7000-meter (akses pada 18 september 2019, pukul 16.15 WIB)

Anda mungkin juga menyukai