Anda di halaman 1dari 2

ARTI DAN MAKNA SASTRA BUGIS SECARA LISAN MAUPUN TULISAN

Kita mengambil definisi sastra Bugis adalah karya sastra yang ditulis dalam
bahasa daerah Bugis maka tentulah karya-karya sastra yang berlatar belakang
kebudayaan Bugis tapi ditulis dalam bahasa Kalau Indonesia ini bukanlah sastra
Bugis, melainkan karya sastra Indonesia yang bermutan lokal.
Sastra Lisan Masyarakat Bugis adalah warisan budaya dalam masyarakat
Bugis. Sebagai warisan budaya, Sastra Lisan Masyarakat Bugis digunakan sebagai
media ekspresi seni untuk menyampaikan berbagai hal tentang kehidupan
manusia Bugis, termasuk pesan-pesan kemanusian yang sangat fundamental
tentang pentingnya penegakan hak asasi manusia. Sastra Lisan Bugis juga
berfungsi sebagai media hiburan rakyat.
Sastra Bugis memang belum banyak ditulis. Di tengah konstelasi sastra
nasional sastra Bugis seolah-olah berhenti pada periode sastra klasik. Setelah itu
tak ada generasi yang melanjutkan tradisi  bersastra dari para empu atau
bujangga ‘anonim’ yang pernah menciptakan Pau-Pau Rikadong, atau menyusun
kembali Sureq Meong Palo Karellae, atau syair-syair lagu (yang juga boleh disebut
sastra) seperti Bulu Alau’na Tempe, Indo Logo, Ongkona Sidenreng dan
sebagainya. Lagu-lagu Bugis klasik itu juga dikarang oleh para empu ‘anonim’ .
Satu-satunya karya sastra Bugis klasik yang dapat disebut memiliki identitas
yang jelas adalah I La Galigo karena ia sempat diselamatkan oleh Colliq Pujie,
sehingga Colliq Pujie hampir identik dengan penyusun I La Galigo. Sebagai ‘empu’
sastra Colliq Pujie konon memiliki beberapa karya sastra lagi yang semuanya
dapat disebut sebagai sastra klasik Bugis. Tapi karya-karya tersebut tenggelam di
bawah kemilau dan kepopuleran I La Galigo sebagai karya ‘saduran’ Colliq Pujie.
Tentu karena beberapa sebab, antara lain I La Galigo menjadi kajian sastra klasik
Bugis, sedang karya-karya (asli dan saduran) Colliq Pujie yang lain seperti “Sureq
Baweang”, “Lontarak Bilang”, “La Toa”, “Sejarah Tanete” jarang ada yang
membicarakannya.
Rata-rata anak Bugis yang menjadi sastrawan (penyair atau penulis prosa)
tidak menulis dalam bahasa daerah Bugis(Makassar). Sehingga demikianlah sastra
Bugis (Makassar) adalah sastra yang tidak berkembang atau dapat disebut sebagai
sastra yang tetap ketinggalan zaman. Sastra Bugis (Makassar) tidak mengikuti
perkembangan sastra modern dan kebanggaan kita pada sastra Bugis (Makassar)
adalah kebanggaan mengelap-ngelap barang antik. Sastra Bugis (Makassar) yang
sudah ada dianggap sebagai sebuah artefak atau barang antik yang harganya
mahal sehingga harus tersimpan di sebuah bufet antik berwarna gelap dan
menjaganya sepanjang zaman tanpa upaya penulisan kembali secara historiografi,
rekonstruksi, atau reinterpretasi. Kita menerima sastra Bugis/Makassar sebagai
warisan, sebagai sebuah tradisi yang biasanya tidak disertai dengan pemikitan
kritis. Padahal sesungguhnya warisan budaya—termasuk sastra—mestinya
diterima secara terbuka dan disertai dengan sikap kritis terutama pada
pemaknaan secara sosio-kultural
Pada kenyataannya sastra Bugis itu adalah stereotip sastra lama yang
pernah ditulis oleh para empu sastra Bugis zaman dahulu. Tak ada puisi bugis
modern yang ada adalah elompugi (Catatan: Chaeruddin Hakim telah memulai
menulis sastra Bugis tapi masih tak berani keluar dari pola-pola sastra Bugis klasik
yang disebut ‘Kelong’), tak ada cerpen Bugis maupun Makassar modern yang ada
adalah “Pau-Pau ri Kadong” (dongeng), demikian pula tak ada novel Bugis
modern. Yang dimaknai oleh kebanyakan orang sebagai karya sastra Bugis adalah
karya-karya sastra modern seprti puisi, cerpen dan novel yang mengambil
“setting” atau latar belakang kebudayaan Bugis; nama-nama Bugis, adat istiadat
Bugis, upacara-upacara Bugis, mitologi Bugis yang ditulis dalam langgam bahasa
dan sastra Indonesia modern. Kalau kita mengambil definisi sastra Bugis adalah
karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah Bugis maka tentulah karya-karya
sastra yang berlatar belakang kebudayaan Bugis tapi ditulis dalam bahasa
Indonesia ini bukanlah sastra Bugis, melainkan karya sastra Indonesia yang
bermutan lokal. Atau karya sastra Indonesia kontekstual: yang merujuk pada
konteks budaya daerah.

Anda mungkin juga menyukai