Sastra Cina Peranakan
Sastra Cina Peranakan
Liang Li Ji Oleh. Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra Sunda. In: Archipel, volume 34, 1987. pp. 165-
179;
doi : https://doi.org/10.3406/arch.1987.2379
https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1987_num_34_1_2379
Merari
angkatan
modern
sebagai
Dan
Balai
modern.
Pada
yang
Pustaka
Siregar
pencatat
dimulai
Semua
satu
mula-mula
mudamasa
dipandang
atau
karya
dengan
dengan
halaman
orang
Siti
menjadi
sastra,
angkatan
Nurbaya
sastra
sebagai
pertama
tidak
baik
tema
Balai
meragukan
pembina
isinya
oleh
tua
pokoknya
dariPustaka.
dalam
Marah
sejarah
maupun
dan
lagi
adalah
soal
Rusli,
pengarah
Azab
sastra
bahasanya,
bahwa
adat
itulah
pertentangan
dan
Indonesia
dan
sastra
yang
Sengsara
kawin
harus
Indonesia
dianggap
modern.
antara
même-
paksa.
oleh
Tjoe Tiong yang setia dan jujur itu kini sedang bercintaan dengan Tjin
Nio, seorang gadis cantik yang berbudi halus tapi tabah, tidak diterang-
kan asalnya, cuma disebut ayahnya seorang penjudi berat. Kemudian ada
seorang milyoner muda bernama Ban Joe, juga sangat tertarik pada Tjin
Nio. Milyoner muda ini pun tidak dijelaskan asalnya, nampaknya orang
Shanghai totok. Ia dengan siasat meminjamkan uang kepada si ayah yang
penjudi itu mencoba menggaet Tjin Nio, tapi tidak berhasil.
170
Kemudian kembali kepada cerita Tjin Nio yang melarikan diri itu,
akhirnya ia tertangkap kembali dan dikeram di Nantao (13) yang Mni sedang
menjadi sasaran Jepang. Sebelum tempat pengeramannya musnah, Tjin
Nio sudah keburu dilepaskan oleh seorang penjaga yang menaruh kasihan,
tetapi disangka Ban Joe Tjin Nio sudah mati akibat dosanya, maka Ban
Joe sangat menyesal dan mulai sadar akan kewajiban untuk membela tanah
air.
Agresi imperialis Jepang telah membangkitkan bangsa Tionghoa di
dalam dan di luar negeri, mereka pada melancarkan aksi untuk menyokong
Tiongkok dengan mengumpulkan uang dan mengirim barisan Palang
Merah. Dalam novel ini diceritakan :
« Indonesia juga tidak ketinggalan daripada prihal gerakan Roode Kruis, selu-
ruh per s Indonesia... mengumumkan dan menganjurkan supaya semua bangsa
Hoakiao di Indonesia pada suka menunjang dengan harta dan tenaga untuk
menyelenggarakan Roode Kruis fonds untuk Tiongkok, malah menurut pengu-
muman dari Hoofdcomitenya jumlah uang yang sudah dikirimkan ke Tiongkok
sampai sudah mencapai tiga empat juta.
Belum lama berselang, comité di Indonesia kalau tidak salah pada tanggal
10 Oktober 1937 telah mengirimkan ambulansnya yang terdiri dari 9 prahoto
keluaran General Motors Tanjung Priok (14), lengkap dengan segala barang
keperluannya, malah dokternya pun lebih dari dua» C15)
172
Alhasil Tjoe Tiong tidak mati, masih tertolong jiwanya. Sepasang mer-
pati itu bertemu kembali di medan perang melawan Jepang, dan setelah
menunaikan kewajibannya bersama-sama pergi ke Pilipina, kemudian
melangsungkan perkawinan dengan cara Islam. Setelah habis berbulan
madu mereka akan kembali lagi ke Indonesia, tentu ke Cilacap. Hok Sioe
pun berpasangan dengan Lan Hwa dan berjanji akan kembali menetap di
Betawi seusai perang. Sedangkan Ban Joe akhirnya gugur sebagai pem-
bela tanah air.
Kami sengaja menceritakannya sedikit panjang dengan disertai agak
banyak kutipan, maksudnya agar bisa mendapat suatu kesan yang agak
lengkap dan konkrit tentang isi novel ini, karena mungkin sebelumnya tidak
pernah ada yang memperkenalkan karya sastra semacam ini.
Tema mengenai perang Tiongkok- Jepang memang banyak digarap oleh
sastra peranakan Tionghoa dalam tahun 30-an. Misalnya Bataillon Setan
oleh Monsieur d'Amour (alias Njoo Cheong Seng), Shanghai 1937 oleh Chung
Kuo Yin dll (18), semuanya bertemakan perang melawan agresi imperialis
Jepang. Ini sebagai manifestasi dari semangat yang sedang berkobar-kobar
di kalangan peranakan Tionghoa pada masa itu. Jika kita balik-balik surat
kabar atau majalah peranakan Tionghoa pada tahun 1937, ambillah
mingguan Sin Po sebagai contoh, akan kita jumpai tiap nomor ada berita dan
reportase panjang tentang peperangan yang sedang berkobar di Shanghai
dan kegiatan-kegiatan fonds amal Tiongkok di Indonesia. Perang Tiongkok-
Jepang sudah menjadi pusat perhatian Hoakiao dan peranakan Tiongkoa,
maka menjadi tema yang banyak digarap sastra peranakan Tionghoa, itu
memang sesuai dengan tradisinya. Tapi sekarang nyata kepada kita, bahwa
tema itu tidak hanya digarap oleh mereka yang memakai bahasa Melayu
umum, tapi juga oleh yang memakai bahasa Sunda dan mungkin juga oleh
mereka yang memakai bahasa daerah lainnya.
Dari ringkasan isi yang disajikan di atas, ternyata bahwa TjinNio walau-
pun sebuah fiksi khayalan namun bukan tidak bersumber pada kenyataan.
Kejadian yang sehubungan dengan kegiatan peperangan kebanyakan diang-
kat dari sumber-sumber yang dimuat dalam surat kabar dan majalah,
sehingga ceritanya tidak jauh dari yang sebenarnya, misalnya tentang keke-
jaman dan kebiadaban tentara Jepang di Shanghai, tentang pengiriman
barisan Palang Merah dengan ambulansnya ke Tiongkok, bahkan tentang
ikutnya orang pribumi Indonesia dalam kegiatan menyokong Tiongkok,
bukanlah isapan jempol belaka. Mingguan Sin Po misalnya pernah memuat
berita sbb :«Bestuur Comité fonds amal Tiongkok bangsa Indonesia di Sin-
dang Laoet (Cheribon) lagi mendjoeal djamoe dan bedak dengan barang-
barang dibawa sendiri oleh Commissaris 4 Bajon dengan bergantian. Dalam
174
Kaloear saban
Tasikmalaja
sasih sanomer. Kaloear 6aban sasih saban nomer
tjariosna tamat.
APRIL 1938 No. 1
Pangaos langgaoan
Sakwartaal (3 nomer) f l.~
TJIN NIO atawa Istri Sadjati di
Pangaos Advertentie
Medan Perang
1/1 pagina f 2.50
TIONGKOK - JAPAN
1/2 f 1.50
Dina omslag tambib 50 pCt.
Langganan tiasa mirab.
111
ADMINISTRATE WEULIS"
M TmHtummlmjm. Tasikmalaja.
pai sekarang sastra peranakan Tionghoa dalam sastra Sunda masih belum
diperhatikan dan dijamah orang, malah masih jarang diketahui orang.
Sastra peranakan Tionghoa dalam bahasa mana pun mestinya dipandang seba-
gai satu bagian dari khazanah kesusastraan Indonesia umumnya. Maka
segala hasil penggalian dan penemuan atas sastra ini tidak akan berarti
lain kecuali memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia sendiri. Mudah-
mudahan «harta karun» yang masih diabaikan ini bisa menarik lebih banyak
sastrawan dan peneliti sastra untuk menggalinya.
CATATAN
1. Literature in Malay by the Chinese ofIndonesia - A Provisional Annotated Bibliography,
Paris, Etudes Insulindiennes- Archipel 3, Editions de la Maison des Sciences de l'Homme,
1981.
2. Bijdragen tot de TaaU, Land- en Volkenkunde, deel 140, 4e aflevering, 1984, hal. 538.
3. Lihat C. Salmon, «Masyarakat pribumi Indonesia di mata penulis turunan Cina
(1920-19412)», suatu makalah yang dibentangakan pada Hari Sastra 85, Pulau Pinang
28 November- 1 Desember 1985.
4. Drama di Boven Digoel, Tjitjoeroeg, Moestika, 1938, hal. 322.
5. Lihat Archipel 26 (1983), hal. 179-210.
6. Kami dipijamkan cerita ini oleh Claudine Salmon yang memperolehnya dari Myra Sidharta,
untuk mana kami mengucapkan terima kasih.
7. «Ti keur di Java keneh Ma Tjoe Tiong, malah ti keur sakola keneh di T.H.H.K. Tjilatjap,
geus kabejakeun sok tara robah tina ketjapna noe geus dikedalkeun, tingin kana djandji,
tara poekah tina soebaja sarta manehna boga bakat djoedjoer kana pakerepanana..., henteu
hajang balik deui ka poelo Djawa, lamoen tatjan bisa nembongkeun kanjaahna ka nagara
loeloehoerna, Tiongkok» (hal. 18).
8. Peristiwa Jembatan Marco Polo pada tanggal 7 Juli 1937 yang mengakibatkan perang
total antara Tiongkok dan Jepang.
9. Menurut surat kabar pada waktu itu memang tidak sedikit pemuda Tionghoa peranakan
yang sudah menjadi juru terbang seperti Nio Tiam Seng (m. 1939) dari Bandung yang
pada tanggal 10 Oktober 1936 «soedah loeloes dari examen panerbangan jang diadaken
oleh pemerintah Nationaal di Nanking dan telah diangkat djadi luitnant vliegenier... la
asal kaloearan T.H.H.K. Bandoeng, tadinja ia beladjar Marine, kamoedian masoek beladjar
di sekolah terbang di Hangchow. Toean Nio koerang lebih baroe beroesia 25 taon» (Ming-
guan Sin Po, 9 Januari 1937, hal. 7). Dalam satu nomor lain dari majalah tersebut (27
Februari 1937, hal. 20) kami diberi tahu bahwa ada seorang pemuda dari Cilacap, namanya
Souw Kiauw Ho, yang baru berangkat ke Tiongkok «boeat beladjar terbang di Hangchow».
Beberapa bulan berselang juga dilaporkan bahwa Oey Tik Hie, bekas murid sekolah
T.H.H.K. Cilacap sedang «beladjar terbang dalam sekola terbang militair di Tiongkok»
(idem, 13 November 1937, hal. 13).
10. Jenderal Chen Ch'ien (yang juga ditulis Cheng Ch'ien) pada bulan Juli 1937, diangkat
sebagai Komandan «Daerah Perang Kesatu», bermarkas di Chengchow dan memimpin
operasi di sepanjang jalan kereta api Peiping-Hankou.
178
11. «Kaajaan di wewengkon Shanghai sareng di sakoerilingna dina waktos ieu teu kinten
henteu amanna, margi djoeroe-djoeroe ngapoeng noe nampi parentah ti lemah tjai abdi,
geus ngadjalankeun sakawenang-wenang. Maranehanana parantos ngabombardeer
sakeuna keunana, njerangan ka noe henteu boga dosa, henteu pilih boeloe, lalaki, awewe,
kolot atawa boedak, di mana maranehanana nendjo aja noe ngagoendoek-goendoek toe-
loej bae diragragan bom, doegi ka ngorbankeun djiwa aja reboena.
Ama sareng sadajana noe henteu aja di dieu, moal tiasa ngoeninggaan koe andjeun kana
kadjadian noe teu kinten matak sedihna. Oepami ama ningali koe andjeun, ama tangtos
bakal harendeg sareng ngaraos sedih, soemawonten oepami katingali serdadoe-serdadoe
oerang noe teu ngarti naon hartosna kamanoesaan, parantos maledog-maledogkeun gra-
naat, doegi ka disapandjangna djalan katingal pamandangan noe matak sedih noe karan-
dapan koe hidji iboe noe keur njoesoean anakna henteu aja njawaaan, di ditoe di dieu
moenggah pabalatak majitna baroedak laleutik noe saloear awakna pinoeh koe getih.
Kaajaan noe saroepi kitoe, djanten hidji pangemoet-ngemoet anoe hina dina boekoe sadja-
rah» (hal. 37-38).
«Abdi ge ama, njaah ka nagara abdi teh, aja rasa kamanoesaan teh, namoeng ama...
naon atoeh kamanoesaan teh? Abdi doegi ke powek, henteu ngartos. Serdadoe bangsa
oerang di nagara oerang sagemblengna pada ngadjalankeun wet kamanoesaan. Kitoe deui
waktos abdi aja keneh dina bangkoe sakola, saban dinten sok diwoeroekan koe goeroe
kedah ngendahkeun kamanoesaan, ti alit oerang dididik kedah kitoe, namoeng ajeuna
koe abdi katingal koe panon abdi sorangan bangsa abdi ngadjalankeun peta maehan noe
teu aja ras-rasan, terang pisan oepami kitoe mah abdi teh dibere pangadjaran noe sawang-
soelna» (hal. 41).
12. «Ama, moegi ama kersa miwoeroek ka bangsa oerang, soepados ngeureunan napsoena
hajang maehan. Oge ka doeloer-doeloer abdi moegi koe ama diterangkeun kaajaan noe
saleresna soepados oelah daek ngadjalankeun sawenang-wenang noe ngalanggar wet
kamanoesaan, noe poegoeh mah moeng djadi pakakasna kaom militair..?? Sareng poen abdi
moegi diwagel oelah sina doengkap ka Tiongkok, njerang kota noe ajeuna ditjitjingan
koe lantjeukna, nja-eta koe' abdi» (hal. 43).
13. Menurut pengarang Nantao merupakan pintu kota Shanghai.
14. Tentang soal ambulans yang dikirim dari Jawa lihat antara lain mingguan Sin Po 5 Maret
1938 (hal. 5-10, 12-13) dan 5 November 1938 (hal. 5-7).
15. «Indonesia oge henteu tinggaleun tina perkara gerakan Roode Kruis mah, sakoemna pers
Indonesia... pada ngoemoemkeun sarta ngandjoerkeun soepaja sakabeh bangsa Hoakiaw
di Indonesia pada daek noendjang koe harta djeung tanaga pikeun ngabuktikeun Roode
Kruisfonds pikeun Tiongkok, malah noeroetkeun wawaran ti Hoofdcomitena djoemblahna
doeit noe geus dikirimkeun ka Tiongkok teh make geus aja tiloe-opat malioenna.
Tatjan lila comité di Indonesia, moen teu salah dina tanggal 10 Oktober 1937 geus ngi-
rimkeun ambulancena, dibangoen koe 9 vrachtwagens kaloearan General Motors Tand-
joeng Perioek, compleet djeung sagala roepa kaperloeanana, malah dokterna oge leuwih
ti doea» (hal. 54).
16. Bakrie Soeraatmadja dilahirkan pada 26 Juni 1895 dan wafat di Bandung pada 1 Juni
1971. Beliau sudah mendapat gelar Perintis Pers Indonesia sebagai penghargaan dari
pemerintah. Lihat I.N. Soebagijo, Jagat wartawan Indonesia, Jakarta, Gunung Agung,
1981, hal. 294-299.
17. «Noe djaradi pagawena eta ambulance teh geus sapantesna lamoen bangsa Tionghoa
paheula-heula, pada hajang korban tenaga keur kaperloean noesa djeung bangsana. Tapi
loetjoena bangsa Indonesier oge teu saeutik noe marenta kana pagawean dina ambulance
teh. Djrg Bakne Soeraatmadja, journalist Soenda di Bandoeng koengsi medarkeun paman-
dangana soepaja kaom nganggoer Indonesier noe daraekeun, bisa di tarima keur
kaperloean ambulance, kirimkeuneun ka medan perang» (hal. 55).
18. Untuk dapat daftar lengkap dari karya-karya yang mengandung tema perang Tiongkok-
Jepang, lihat Cl. Salmon (1981), hal. 58-59.
179
19. Sin Po (mingguan), 11 Dec. 1937, hal. 21. Nomor dari 25 sept. 1937, hal. 9 juga melapor-
kan tentang pertunjukan tonneel Indonesia buat Tiongkok : «Pertoendjoekan koempoe-
lan Indonesier «Monte Carlo» di Benkoelen pada 3.9. 1937».
20. Tentang bahasanya perlu diadakan penelitian khusus dengan mengadakan perbandingan
dengan karya-karya yang dikeluarkan pada masa yang bersamaan. Untuk sementara bisa
disebut bahasanya bersifat bahasa Simda umum yang bukan bahasa lisan campuran yang
berlaku di kalangan orang peranakan Tionghoa di Sunda.
21. «Boeboehan Ma Tjoe Tiong teh hidji nonoman Tionghoa noe katjida ajemna, katoeroeg-
toeroeg deuih paham pisan kana bagbagan agama Islam, naon-naon anoe toemiba kana
dirina teh henteu madjar koemaha, tetep bae neneda ka Goesti noe Maha Soetji njoe-
hoenkeun pitoeloeng bari iman kana tjetjek lana ana, jen sagala roepa oge koemaha ker-
sana noe Maha Soetji bae» (hal. 33).
22. «'Eulis'» tjeuk Tjoe Tiong ka Tjin Nio noe harita ngalongok, estoe oentoeng. Pangeran
nangtajoengan keneh kana njawa engkang tjatjakan lamoen pelor keunana ka engkang
teh meneram kana sirah atawa kana bagian awak noe sedjan, geus hamo teuing. Koe
kitoena oerang doeaan koedoe soedjoed sjoekoer ka Goesti Allah noe geus
nangtajoengan tina bahaja noe sakitoe hebatna...»
«Soemoehoen, Goesti Allah sasat nangtajoegan kana pakarepan oerang doeaan, da meu-
reun oepami engkang poepoes mah, abdi moal oentoepan tiasa hidoep oepami henteu disa-
rengan koe salira engkang..» (hal. 18-19).
23. Nama ini tidak disebut dalam buku karangan Ajip Rosidi KesiLsastraan Sunda dewasa
ini, Bandung, Tjupumanik, 1966.
24. Nama percetakan ini disebut dalam daftar percetakan yang disajikan dalam Catalogus
van Boeken en Tijdschriften uitgeven in Ned. Oost-Indie van 1870-1937, Batavia, G. Kolff ,
1940, karangan G.F. Ockeloen. Setahu kami majalah ini tidak disimpan dalam Perpusta-
kaan Nasional Jakarta dan perpustakaan-perpustakaan Europa lain. Mudah-mudahan kalau
ada yang sempat tahu sudi menyampaikan kepada kami.
25. Siapa pengarang ini sementara ini belum bisa diketahui; apakah nama samaran?
26. Iklan-iklan yang dimuat antara lain ada percetakan Perboe di Cirebon dan harian Peman-
dangan di Jakarta dan beberapa toko kepunyaan orang Tiongkoa di Tasikmalaya.