Anda di halaman 1dari 16

Archipel

Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra


Sunda
Oleh Liang Li Ji

Citer ce document / Cite this document :

Liang Li Ji Oleh. Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra Sunda. In: Archipel, volume 34, 1987. pp. 165-
179;

doi : https://doi.org/10.3406/arch.1987.2379

https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1987_num_34_1_2379

Fichier pdf généré le 21/04/2018


LIANG Liji

Sastra peranakan Tionghoa dan

kehadirannya dalam sastra Sunda

Merari
angkatan
modern
sebagai
Dan
Balai
modern.
Pada
yang
Pustaka
Siregar
pencatat
dimulai
Semua
satu
mula-mula
mudamasa
dipandang
atau
karya
dengan
dengan
halaman
orang
Siti
menjadi
sastra,
angkatan
Nurbaya
sastra
sebagai
pertama
tidak
baik
tema
Balai
meragukan
pembina
isinya
oleh
tua
pokoknya
dariPustaka.
dalam
Marah
sejarah
maupun
dan
lagi
adalah
soal
Rusli,
pengarah
Azab
sastra
bahasanya,
bahwa
adat
itulah
pertentangan
dan
Indonesia
dan
sastra
yang
Sengsara
kawin
harus
Indonesia
dianggap
modern.
antara
même-
paksa.
oleh

nuhi kriterium Balai Pustaka yang sesuai dengan kebijaksanaan pemerin-


tah Hindia Belanda, kalau tidak dianggap sebagai «bacaan liar» yang mem-
bahayakan dan tidak diakui sebagai hasil sastra, sehingga sama sekali tidak
diberi tempat dalam sejarah sastra Indonesia modern. Walhasil orang ter-
kesan, bahwa ruang lingkup sastra Indonesia modern di masa permulaannya
sangat sempit, dan jangkauannya hanya sampai pada persoalan adat dan
kawin paksa saja. Tapi apakah memang begitu kenyataan sebenarnya, men-
gapa gerakan nasional Indonesia yang sedang memuncak pada masa itu
dan peristiwa-peristiwa yang menggemparkan masyarakat kolonial pada
masa itu tidak tergarap dan tersorot dalam karya-karya Indonesia? Ini tentu
menjadi pertanyaan orang dan jawabannya rupanya hanya dapat dicari
dalam sastra di luar sastra Balai Pustaka, yaitu apa yang disebut «sastra
liar», yang karena diabaikan dan diremehkan orang telah sebegitu lama
terbenam sebagai «harta karun».
166

Syukurlah belakangan ini berkat usaha giat dan ketekunan dari


sastrawan dan peneliti sastra dalam dan luar negeri seperti John B. Kwee, Pra-
moedya Ananta Toer, Claudine Salmon, Faizah Soenoto, W.V. Sykorsky,
C.W. Watson dll., «harta karun» dari kesusastraan Indonesia itu mulai ter-
gali keluar dan dipamerkan di hadapan umum. Orang segera ditakjubkan
oleh kayanya dan luasnya isi «harta karun» itu. Ternyata jauh sebelum mun-
culnya sastra Balai Pustaka, sudah banyak pengarang pribumi dan non pri-
bumi Indonesia menciptakan karya-karya sastra yang bukan hanya mutunya
cukup baik, tapi juga lebih luas mencerminkan hakekat masyarakat kolo-
nial dan semangat zaman kebangkitan nasional Indonesia. Kita mulai men-
dusin bahwa sastra Indonesia modern pada masa permulaannya jauh lebih
kaya dan beragam daripada yang sudah ditulis orang. Sebetulnya pengga-
lian «harta karun» itu baru permulaan, begitu juga penelitiannya. Kita yakin,
nanti kalau sudah semakin banyak «harta karun» yang tergali dan sema-
kin dalam penelitian yang dilakukan, kita tentu akan sampai kepada ting-
kat pengertian yang lebih obyektif tentang sejarah sastra Indonesia modern.
Sebahagian besar dari «harta karun» itu adalah sastra peranakan Tiong-
hoa, yang oleh Pramoedya Ananta Toer digolongkan sebagai «sastra assi-
milatif». Sastra peranakan Tionghoa itu mulai mendapat perhatian besar
di kalangan sastrawan dan peneliti sastra dalam dan luar negeri terutama
setelah diterbitkan buku hasil penelitian ilmiah yang berbobot oleh Cl.
Salmon (!). Fakta-fakta dan argumentasi yang dikemukakan dalam buku ter-
sebut begitu meyaMnkan sehingga orang tidak bisa menutup mata dan men-
ganggap sepi lagi terhadap sastra peranakan Tionghoa itu. Prof. Dr. A.
Teeuw dalam sebuah tulisannya telah memberikan tanggapannya, antara
lain dikatakan beliau :«Buku tersebut telah memberi landasan yang baik
bagi kritik sastra yang sangat diperlukan untuk memajukan lebih lanjut
penelitian sejarah sastra Indonesia modern, sesuai dengan alasan-alasan
yang diajukan oleh Salmon, yang tak terbantahkan dan yang meyakinkan,
untuk melepaskan tanggapan a priori bahwa sastra Indonesia yang awal
dan manifestasi satu-satunya sebelum perang dunia kedua adalah novel
Balai Pustaka. Dengan buku tersebut orang tak akan banyak ragu lagi,
bahwa sastra peranakan Tionghoa merupakan mata rantai yang pokok dari
rantai perkembangan sastra menuju ke sastra Indonesia sekarang...» (2)
Memang tepat sekali tanggapan Prof. A. Teeuw itu apabila kita mau lebih
ilmiah dan obyektif dalam meneliti dan menilai sejarah sastra Indonesia
sejak awal abad ini hingga sekarang. Sastra peranakan Tionghoa itu
memang perlu dipandang sebagai salah satu mata rantai dari rantai
sejarah perkembangan sastra Indonesia modern, bukan hanya karena ia
ditulis dalam bahasa Melayu umum, tapi juga karena ia lahir di tengah-tengah
masyarakat Indonesia dan mencerminkan realitas dari kehidupan masya-
167

rakat Indonesia pada masanya, sedangkan pengarang-pengarangnya pada


umumnya telah menjadi warganegara Indonesia setelah Indonesia merdeka.

Sastra peranakan Tionghoa memang merupakan jenis sastra yang san-


gat khusus yang mungkin hanya terdapat di Indonesia saja, tapi bukanlah
sesuatu yang tidak berdasar. Munculnya sastra ini juga adalah suatu kewa-
jaran dari sejarah perkembangan masyarakat jajahan di Indonesia.
Sastra peranakan Tionghoa itu umumnya langsung mengambil bahan
ceritanya dari peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam masyarakat,
di bawah judulnya sering tercantum kalimat :«Satoe tjerita yang soenggoe-
soenggoe soedah terdjadi di...». Ini tampaknya telah menjadi tradisi baik
yang membuat sastra peranakan Tionghoa lebih bersifat realistis dan tak
terpisah dari kehidupan masyarakatnya. Mula-mula tema yang digarapnya
memang agak terbatas pada lingkungan kehidupan masyarakat peranakan
Tionghoa, tapi kemudian setelah kebangkitan nasional Indonesia, terutama
sesudah memasuki tahun 20-an, tema yang digarapnya telah meluas ke
masyarakat pribumi, dan tidak sedikit karya-karya yang langsung
mengambil tempat, tokoh, kejadian dari masyarakat pribumi sebagai pokok
ceritanya (3). Karena adanya tradisi seperti yang disebut di atas, karya-karya
dari sastra peranakan Tionghoa itu lebih gesit dan lebih berani menimba
bahan-bahan kreasinya dari peristiwa-peristiwa yang sedang bergolak di
tengah masyarakat, sehingga tema yang digarapnya, bidang yang diso-
rotnya, masalah yang digubrisnya lebih luas daripada sastra Balai Pustaka.
Peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan masyarakat kolonial seperti
pemberontakan 1926, pembuangan ke Boven Digul, aksi pemogokan kaum
buruh dan sebagaimana ditabukan oleh sastra Balai Pustaka, sehingga
dalam karya-karyanya sedikit pun tidak tercermin, tapi bagi sastra
peranakan Tionghoa itu semua menjadi sumber inspirasi dan bahan kreasinya
yang menghasilkan sejumlah novel seperti Drama di Boven Digoel oleh
Kwee Tek Hoay (1929-32), Darah dan air mata di Boven Digoel oleh Oen
Bo Tik (1931), Antara idoep dan mati atawa boeroen oleh Boven Digoel oleh
Wiranta (1931), Mer ah oleh Lim Khing Hoo (1937) dll. Yang terutama patut
dicatat di sini adalah Drama di Boven Digoel oleh Kwee Tek Hoay, roman
ini mulai dimuat sebagai feuilleton dalam majalah Panorama (seluruhnya
180 nomor), begitu hangat sambutannya dari kalangan pembaca sehingga
pada tahun 1938 perlu diterbitkan kembali dalam bentuk buku empat jilid
denganjumlahhalamannyamencapai718halaman - sebuah roman besar
yang tak pernah dicapai sastra Balai Pustaka pada masa itu! Ya, tentu yang
penting bukan hanya tebalnya saja, tapi juga isinya yang sangat kaya dan
luas, merangkul macam-macam masalah penting seperti politik, percintaan,
filsafat, keagamaan sampai ke masalah kreasi sastra dan bahasa. Yang tak
kurang menarik adalah kritik si pengarang melalui tokoh-tokoh ceritanya
168

terhadap bahasa baku Balai Pustaka. Dikatakannya bahwa bahasa Melayu


Riau yang kukuh dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda itu ada-
lah bahasa «yang asing dan sabagian besar tidak tjotjok dengan kabiasaan
kita», bahwa «styl dan atoerannya Melajoe Riouw tida bisa dipake boeat
loekisan pikiran satjara atoeran Barat yang sifatnya terang dan ringkes»,
maka itu «styl yang dipake dalam boekoe-boekoe dari Volkslectuur ada jelek,
tida menoeroet natuur, hingga waktoe menoetoerkan orang bitjara, atawa
meloekiskan orang poenja tabeat dan tingkah lakoe, tidak tjotjok dengan
kaadaaan sabenarnja», dengan demikian buku-buku Balai Pustaka, terma-
suk yang ditulis oleh beberapa pengarang yang termasyur «samoea bersi-
fat entjer, tida ada rasanja apa-apa» (4).
Kritiknya cukup tajam, tapi bukan sama sekali tidak beralasan. Soal
bahasa, justru itulah yang dijadikan salah satu dalih untuk menggencet dan
meremehkan sastra peranakan Tionghoa. Harus diakui, bahwa dalam per-
kembangan bahasa Indonesia, sastra peranakan Tionghoa pun telah mem-
berikan sumbangannya. Bahasa yang dipakainya adalah bahasa Melayu
umum yang lebih mementingkan kepraktisan sehingga lebih lincah, luwes
dan hidup daripada bahasa baku Balai Pustaka, dan dalam proses perkem-
bangannya juga menuju ke bahasa Indonesia sekarang.
Ternyata sastra peranakan Tionghoa itu jauh lebih kaya, lebih luas dan
lebih bermutu daripada yang disangka orang semula. Tapi sebegitu jauh
yang telah digali dan diperbincangkan orang agaknya hanya terbatas pada
sastra Melayunya saja. Bagaimana dengan sastra bahasa daerah lainnya,
apakah tidak ada andilnya juga dari sastra peranakan Tionghoa itu? Men-
gingat eratnya hubungan dan asimilasi yang sudah lama berjalan antara
golongan peranakan Tionghoa dengan penduduk pribumi di tiap daerah,
jawabannya tentu positif, buktinya dalam sastra Jawa dan sastra Makasar
misalnya (5) orang sudah lama mengenal adanya karya-karya sastra yang
ditulis oleh pengarang peranakan Tionghoa. Tapi dalam sastra Sunda,
rupanya masih belum ada orang yang pernah menyinggungnya. Apakah
juga ada pengarang peranakan Tionghoa yang menghasilkan karya sastra
dalam bahasa Sunda? Sekarang agaknya sudah boleh diberi jawaban yang
pasti.

Baru-baru ini dalam suatu kesempatan kami diperlihatkan sebuah novel


bahasa Sunda yang menurut dugaan kami ada kemungkinan besar hasil
karya seorang peranakan Tionghoa (6), judulnya Tjin Nio atawa istri sa-
djati di medan perang Tiongkok-Japan (1938), pengarangnya A.S. Tamoe-
wiredja. Baiklah sekarang kita tinjau novel ini sekedarnya. Kami sajikan
dulu ringkasan isinya.
Ceritanya mula-mula terjadi di kota Shanghai menjelang perang
Tiongkok-Jepang pada tahun 1937. Ma Tjoe Tiong adalah seorang maha-
169

Gambar kulit buku karangan


A.S. Tanoewiredja : Tjin
Nio di medan perang (oleh
Williams Tan)

siswa peranakan dari Indonesia yang sedang meneruskan studinya di


Shanghai. Mengenai tabeat dan wataknya diceritakan demikian.
« Tatkala masih di Jawa, malah sewaktu masih sekolah di T.H.H.K. Cilacap,
Tjoe Tiong sudah dikenal sebagai orang yang tak pernah berubah dari apa yang
sudah dikatakannya, setia pada janjinya, tidak terlepas dari perjanjian, dan mem-
punyai tabiat jujur pada kemauannya..., ia tak mau kembali lagi ke Pulau Jawa
jika belum bisa menunjukkan kecintaannya kepada negeri leluhurnya,
Tiongkok» (7)...»

Tjoe Tiong yang setia dan jujur itu kini sedang bercintaan dengan Tjin
Nio, seorang gadis cantik yang berbudi halus tapi tabah, tidak diterang-
kan asalnya, cuma disebut ayahnya seorang penjudi berat. Kemudian ada
seorang milyoner muda bernama Ban Joe, juga sangat tertarik pada Tjin
Nio. Milyoner muda ini pun tidak dijelaskan asalnya, nampaknya orang
Shanghai totok. Ia dengan siasat meminjamkan uang kepada si ayah yang
penjudi itu mencoba menggaet Tjin Nio, tapi tidak berhasil.
170

Sekali peristiwa, seorang matros Jepang terbunuh di Shanghai, serdadu


Jepang memperkuat penjaganya. Tjoe Tiong yang sedang berjalan seorang
diri kepergok serdadu Jepang, lantas ditembak hingga luka dan dirawat
di rumah sakit. Tjin Nio datang menengok kekasihnya, waktu pulang ter-
jebak oleh orang Ban Joe lalu dibawa lari ke Danao Taihu (di kota Wuxi
di sebelah barat Shanghai) dan dikeram di suatu villa. Kemudian Tjin Nio
berhasil menarik simpati babu tua dan melarikan diri.
Tjoe Tiong yang berbaring di rumah sakit sangat gelisah karena
kekasihnya tak datang menengoknya lagi. Maka begitu keluar dari rumah sakit

Pemuda-pemuda Tiongkok yang berdarah panas pada menggabungkan diri


ke dalam tentara untuk membela tanah air. Pada waktu yang sama di kalan-
gan peranakan Tionghoa juga muncul perasaan dan semangat berbakti
seperti yang diceritakan dalam kutipan berikut :.
« Demikian juga Tjoe Tiong, meskipun tanah kelahirannya sebenarnya adalah
tanah Jawa, namun karena Tiongkok merupakan tanah leluhurnya, dan lagi pikir-
pikir sambil menunggu-nunggu 'kebetulan' bisa bertemu kembali dengan Tjin
Nio, maka terus menghadap pembesar militer ingin dilatih jadi vliegenier, juru
terbang (9), tapi karena tubuhnya tidak memenuhi ukuran yang diten-
tukan, terpaksa ia menjadi prajurit biasa di pasukan Jenderal Chen
Chien» dû).

Selanjutnya oleh si pengarang diadakan pengexposan dan pengecaman


yang keras terhadap kekejaman dan kesewenang-wenangan tentara agre-
sor Jepang di Shanghai melalui sepucuk surat panjang dari seorang wanita
Jepang yang menikah dengan orang Tionghoa. Surat itu ditulis untuk orang
tuanya yang di Jepang, penuh dengan rasa peri kemanusiaan. Baiklah kami
kutip juga beberapa bagian sebagai contoh.
« Keadaan di daerah Shanghai dan sekitarnya pada waktu ini tak terkirakan
tidak amannya, karena juru-juru terbang yang menerima perintah di tanah air
anakanda sudah melakukan kesewenang-wenangan. Mereka sudah membom-
bardir sekena-kenanya, menyerang yang tidak punya dosa, tak pilih bulu, baik
laki dan perempuan maupun tua dan anak, di mana mereka lihat ada yang
bergunduk-gunduk lantas dijatuhkan bom, sampai mengorbankan ribuan nyawa.
Ayahanda bersama semua yang tidak ada di sini, tidak akan mengetahui keja-
dian yang teramat menyedihkan. Umpamanya ayahanda menyaksikan sendiri,
ayahanda tentu bakal amarah dan merasa sedih, apalagi jika melihat serdadu-
serdadu Mta yang tidak tahu arti kemanusiaan sudah melempar-lemparkan gra-
nat, sampai di sepanjang jalan terlihat pemandangan yang menyedihkan orang,
di mana seorang ibu yang lagi menyusui anaknya sudah tidak bernyawa lagi,
di sana sini bergeletakan mayat-mayat anak kecil dengan seluruh badannya ber-
lumuran darah. Keadaan yang seperti ini tentu merupakan sesuatu yang paling
171

hina dalam buku sejarah.


Anakanda juga, ayahanda, cinta pada negara anakanda, punya rasa kema-
nusiaan, namun ayahanda... apa itu kemanusiaan? Anakanda sampai jadi gelap,
tak mengerti. Serdadu kita di negeri kita semuanya pada menjalankan hukum
kemanusiaan. Begitu juga waktu anakanda masih duduk di bangku sekolah, tiap
hari oleh guru dinasehati harus mengindahkan kemanusiaan, sejak kecil kita
dididik mesti begitu, namun sekarang yang anakanda saksikan dengan mata
sendiri adalah bahwa anakanda sedang menjalankan pembunuhan yang tak kenal
kasih sayang, jelas sekali kalau begitu bahwa anakanda telah diberi pengajaran
yang sebaliknya» (11).
Setelah membantah segala fitnahan dan propaganda imperialis Jepang
terhadap rakyat Tiongkok, wanita Jepang itu mengakhiri suratnya
dengan seruan :
« Ayahanda, mudah-mudahan ayahanda sudi menasehatkan kepada bangsa kita
supaya hentikan nafsu membunuh. Juga kepada sanak saudara anakanda mohon
diterangkan keadaan yang sebenarnya, supaya jangan mau menjalankan
kesewenang-wenangan yang melanggar peri kemanusiaan yang tentu hanya jadi
perkaras kaum militer...?? Bersama ini anakanda pun mengharapkan supaya
mereka dicegah jangan datang ke Tionghok, menyerang kota yang sekarang
ditinggali oleh kakaknya, yaitu anakanda» (12)

Kemudian kembali kepada cerita Tjin Nio yang melarikan diri itu,
akhirnya ia tertangkap kembali dan dikeram di Nantao (13) yang Mni sedang
menjadi sasaran Jepang. Sebelum tempat pengeramannya musnah, Tjin
Nio sudah keburu dilepaskan oleh seorang penjaga yang menaruh kasihan,
tetapi disangka Ban Joe Tjin Nio sudah mati akibat dosanya, maka Ban
Joe sangat menyesal dan mulai sadar akan kewajiban untuk membela tanah
air.
Agresi imperialis Jepang telah membangkitkan bangsa Tionghoa di
dalam dan di luar negeri, mereka pada melancarkan aksi untuk menyokong
Tiongkok dengan mengumpulkan uang dan mengirim barisan Palang
Merah. Dalam novel ini diceritakan :
« Indonesia juga tidak ketinggalan daripada prihal gerakan Roode Kruis, selu-
ruh per s Indonesia... mengumumkan dan menganjurkan supaya semua bangsa
Hoakiao di Indonesia pada suka menunjang dengan harta dan tenaga untuk
menyelenggarakan Roode Kruis fonds untuk Tiongkok, malah menurut pengu-
muman dari Hoofdcomitenya jumlah uang yang sudah dikirimkan ke Tiongkok
sampai sudah mencapai tiga empat juta.
Belum lama berselang, comité di Indonesia kalau tidak salah pada tanggal
10 Oktober 1937 telah mengirimkan ambulansnya yang terdiri dari 9 prahoto
keluaran General Motors Tanjung Priok (14), lengkap dengan segala barang
keperluannya, malah dokternya pun lebih dari dua» C15)
172

Malah diceritakan bahwa tidak sedikit orang Indonesia pribumi yang


juga ikut menyumbangkan tenaga :
« Jika bangsa Tionghoa berlumba-lumba menjadi pegawai ambulans, itu sudah
sewajarnya, sebab mereka ingin menyumbangkan tenagaya demi keperluan
negara dan bangsanya. Tapi anehnya bangsa Indonesia pun tidak sedikit yang
minta diterima iadi pegawai ambulans. Wartawan Sunda di Bandung Bakrie
Soeraatmadja (^6) sampai menyatakan pandangannya supaya orang Indonesia
yang tidak ada pekerjaan atas kemauannya sendiri diterima untuk keperluan
ambulans yang dikirim ke medan perang» (17)

Dalam barisan Palang Merah yang dikirim dari Indonesia ke Tiongkok


itu, ikut seorang pemuda peranakan Tiongkoa dari Jakarta, namanya Hok
Sioe. la sudah putus arang dengan tunangannya, maka ingin mengorban-
kan jiwa di medan perang. Ketika barisan Palang Merah itu sudah di
Shanghai, datang seorang juru rawat sekatan yang bernama Ang Hoa. Hok Sioe
yang lagi patah hati akhirnya tertarik pada gadis cantik ini. Satu keane-
han dari tingkah laku gadis ini ialah tiap datang prajurit luka yang baru
mesti diamat-amati dulu mukanya, seolah-olah ada seseorang yang sedang
dicarinya. Pada suatu hari datang seorang letnan muda yang luka parah.
Ang Hoa merawatinya dengan teliti dan sepenuh hati. Letnan itu tak lain
ialah Ban Joe. la merasa heran melihat wajah Ang Hoa yang mirip sekali
dengan Tjin Nio, disangkanya saudaranya, maka ia semakin menyesal atas
dosanya dulu kepada Tjin Nio. Belum sembuh betul ia sudah minta kem-
bali ke medan untuk berbakti lagi.
Ang Hoa itu tak salah ialah Tjin Nio, ia merasakan Hok Sioe semakin
mendekatinya. Untuk menjaga supaya jangan sampai melukai hatinya lagi,
Tjin Nio alias Ang Hoa meninggalkan Hok Sioe dan pergi mencari Tjoe
Tiong setelah mendapat kabar dari Lan Hwa, seorang juru rawat yang baru
datang dari rumah sakit militer. Setelah menempuh banyak susah payah,
Tjin Nio akhirnya dapat mengejar pasukan Jenderal Chen Chien sampai
ke Tingyuan (satu kota di propinsi Anhui). Kemudian dalam menjalankan
tugas-penolongan di medan pertempuran, tak tersangka-sangka Tjin Nio
menemukan Tjoe Tiong sedang tergolek tak berkutik di tanah. Tjin Nio
segera merangkulnya dan menangisinya dengan amat sedih sebab disangka
sudah gugur. Tangisan Tjin Nio itu dicurahkan dalam dua kuplet sajak. Baik
juga kiranya dikutip satu kuplet disini :

(Tangisannya si cantik) (Nangisnya noe geulis)


Tobat hamba lahir batin, Tobat abdi lahir batin,
Ya Allah tobat Pangeran, Ja Allah tobat Pangeran,
Rela pasrah ke nasib yang dipastiin Lillah pasrah ka papasten,
Aduhai abang tunggulah hamba, Daeh engkang abdi antosan,
Ke mana juga hamba ikuti, Ka mana oge ngiringan,
173
Meski mati jangan ditinggalkan, Nadjan poepoes oelah ngantoen
Tak sudi disisakan seorang diri. Narah dikantoen sorangan (hal. 75).

Alhasil Tjoe Tiong tidak mati, masih tertolong jiwanya. Sepasang mer-
pati itu bertemu kembali di medan perang melawan Jepang, dan setelah
menunaikan kewajibannya bersama-sama pergi ke Pilipina, kemudian
melangsungkan perkawinan dengan cara Islam. Setelah habis berbulan
madu mereka akan kembali lagi ke Indonesia, tentu ke Cilacap. Hok Sioe
pun berpasangan dengan Lan Hwa dan berjanji akan kembali menetap di
Betawi seusai perang. Sedangkan Ban Joe akhirnya gugur sebagai pem-
bela tanah air.
Kami sengaja menceritakannya sedikit panjang dengan disertai agak
banyak kutipan, maksudnya agar bisa mendapat suatu kesan yang agak
lengkap dan konkrit tentang isi novel ini, karena mungkin sebelumnya tidak
pernah ada yang memperkenalkan karya sastra semacam ini.
Tema mengenai perang Tiongkok- Jepang memang banyak digarap oleh
sastra peranakan Tionghoa dalam tahun 30-an. Misalnya Bataillon Setan
oleh Monsieur d'Amour (alias Njoo Cheong Seng), Shanghai 1937 oleh Chung
Kuo Yin dll (18), semuanya bertemakan perang melawan agresi imperialis
Jepang. Ini sebagai manifestasi dari semangat yang sedang berkobar-kobar
di kalangan peranakan Tionghoa pada masa itu. Jika kita balik-balik surat
kabar atau majalah peranakan Tionghoa pada tahun 1937, ambillah
mingguan Sin Po sebagai contoh, akan kita jumpai tiap nomor ada berita dan
reportase panjang tentang peperangan yang sedang berkobar di Shanghai
dan kegiatan-kegiatan fonds amal Tiongkok di Indonesia. Perang Tiongkok-
Jepang sudah menjadi pusat perhatian Hoakiao dan peranakan Tiongkoa,
maka menjadi tema yang banyak digarap sastra peranakan Tionghoa, itu
memang sesuai dengan tradisinya. Tapi sekarang nyata kepada kita, bahwa
tema itu tidak hanya digarap oleh mereka yang memakai bahasa Melayu
umum, tapi juga oleh yang memakai bahasa Sunda dan mungkin juga oleh
mereka yang memakai bahasa daerah lainnya.
Dari ringkasan isi yang disajikan di atas, ternyata bahwa TjinNio walau-
pun sebuah fiksi khayalan namun bukan tidak bersumber pada kenyataan.
Kejadian yang sehubungan dengan kegiatan peperangan kebanyakan diang-
kat dari sumber-sumber yang dimuat dalam surat kabar dan majalah,
sehingga ceritanya tidak jauh dari yang sebenarnya, misalnya tentang keke-
jaman dan kebiadaban tentara Jepang di Shanghai, tentang pengiriman
barisan Palang Merah dengan ambulansnya ke Tiongkok, bahkan tentang
ikutnya orang pribumi Indonesia dalam kegiatan menyokong Tiongkok,
bukanlah isapan jempol belaka. Mingguan Sin Po misalnya pernah memuat
berita sbb :«Bestuur Comité fonds amal Tiongkok bangsa Indonesia di Sin-
dang Laoet (Cheribon) lagi mendjoeal djamoe dan bedak dengan barang-
barang dibawa sendiri oleh Commissaris 4 Bajon dengan bergantian. Dalam
174

ini perdjoealan ada diganggoe oleh oedjan, pendapetannja f 16.03 soeda


di stort pada Sin Po» (19). Dan berita semacam ini bukan satu dua saja. Di
samping itu si pengarang juga ada menyebut nama KengPo, Central News
Agency dll sebagai sumber beritanya. Sedangkan kejadian yang sehubun-
gan dengan percintaan rupanya khayalan si pengarang belaka, yang dibuat
romantis dan dramatis untuk menarik pembaca. Tapi di sini yang penting
bukan soal kenyataan atau khayalan, melainkan pemaduan keduanya untuk
mewujudkan ide pokok yang hendak disampaikan si pengarang, yaitu men-
gobarkan semangat perlawanan terhadap agresi Jepang, menganjurkan
setiap bangsa Tionghoa menyumbangkan tenaganya untuk membela tanah
air atau tanah leluhurnya, dan mereka yang berbuat demikian akan men-
dapatkan bahagia. Tjin Nio akhirnya bertemu kembali dengan kekasihnya
Tjoe Tiong justru di medan pertempuran. Juga Hok Sioe yang sudah patah
hati menemukan cintanya kembali dalam pembaktian kepada tanah lelu-
hur. Sedangkan Ban Joe jang mula-mula tampil sebagai tokoh jahat juga
mendapat pemaafan dan penghargaan setelah gugur sebagai pembela tanah
air.
Dilihat dari teknik pengolahannya novel ini sudah cukup modern dan
maju. Komposisinya cukup padat dan plot ceritanya pun tidak melurus datar
tapi banyak liku-likunya (2°). Tentang tokoh-tokohnya ada beberapa hal
yang cukup menarik. Pertama, nama-nama tokoh ciptaan, meski tokohnya
bukan peranakan, semua pakai ejaan dialek Fujian sebagaimana yang lazim
berlaku di kalangan peranakan di Indonesia, tapi kalau nama tokoh yang
sesungguhnya ada dalam perang pakai ejaan bahasa nasional Tiongkok
dengan dieja cara Inggeris. Misalnya Jenderal Chen Chien, rupanya memang
seorang jenderal yang sesungguhnya ada di masa perang berkecamuk.
Kedua, selain Tjoe Tiong dan Hok Sioe yang jelas peranakan, tokoh-tokoh
lainnya pun tetap memperlihatkan sifat-sifat keperanakan, walaupun mung-
kin tokoh itu adalah bangsa totok. Maka kalau diambil masalah percin-
taannya saja tanpa melihat tempat kejadian dan latar belakang perang
Tiongkok-Jepang, orang tidak merasakan bahwa itu kejadian di luar
Indonesia. Ketiga, tokoh utamanya Tjoe Tiong bukan seorang peranakan yang
biasa tapi yang sudah berasimilasi dan mungkin yang dudah memeluk
agama Islam.
Dalam cerita ada keterangan sbb :«Karena Ma Tjoe Tiong adalah
seorang pemuda Tionghoa yang amat saleh, tambahan lagi sangat paham akan
hal agama Islam, apa saja yang kena pada dirinya, dia tidak berkata apa-
apa, tetap saja mengharap-harapkan kepada Tuhan Yang Maha Suci,
mohonkan pertolongan sambil pegang imam bahwa segala sesuatu tergan-
tung bagaimana Kemauan Yang Maha Suci juga» (21). Bahkan Tjin Nio yang
tidak jelas asalnya pun berbicara seperti orang penganut Islam yang banyak
Eulis TJARIOS ROMAN EULIS

Kaloear saban
Tasikmalaja
sasih sanomer. Kaloear 6aban sasih saban nomer
tjariosna tamat.
APRIL 1938 No. 1

Pangaos langgaoan
Sakwartaal (3 nomer) f l.~
TJIN NIO atawa Istri Sadjati di
Pangaos Advertentie
Medan Perang
1/1 pagina f 2.50
TIONGKOK - JAPAN
1/2 f 1.50
Dina omslag tambib 50 pCt.
Langganan tiasa mirab.
111

ADMINISTRATE WEULIS"
M TmHtummlmjm. Tasikmalaja.

menyebut nama Tuhan sebagaimana yang terlihat dalam sajak tangisannya.


Di bawah ini kami kutip ucapan syukur Tjoe Tiong dan Tjin Nio ketika Tjoe
Tiong terhindar dari bahaya maut pertama :
« 'Eulis!' kata Tjoe Tiong pada Tjin Nio yang ketika itu datang menengok, sung-
guh untung, Tuhan masih melindungi nyawa abang. Sedang kalau pelurunya
mengenai kepala abang atau bagian lain dari tubuh abang, sudah habis sega-
lanya. Maka itu kita berdua harus sujud kepada Tuhan Allah yang sudah
melindungi kita dari bahaya yang sebegitu hebatnya...»
«Ya, betul, Tuhan Allah seolah-olah telah melindungi keinginan kita berdua,
karena jika abang mati, saya pun tak sanggup hidup lagi seumpamanya tidak
didampingi abang» (22)

Perkawinan mereka yang dilangsungkan dengan cara Islam lebih mem-


perkuat lagi kesan tentang ke-Islaman mereka. Ini agak sedikit istimewa,
kami duga pengarangnya mungkin seorang peranakan Tionghoa yang sudah
memeluk agama Islam. Nama A.S. Tamoewiredja mungkin nama samaran
atau nama Sundanya setelah masuk Islam <23). Kami memang tidak men-
getahui sesuatu apa tentang riwayat atau keadaan pengarang ini, tapi
bahwa ia adalah seorang pengarang peranakan Tionghoa rupanya tidak
banyak meragukan lagi. Kita lihat sikap dan pendiriannya terhadap perang
Tiongkok-Jepang, boleh dikatakan seluruhnya mewakili sikap dan pendi-
176

rian golongan peranakan Tionghoa pada tahun 30-an. Mereka memandang


Tiongkok sebagai negeri leluhurnya dengan tidak melupakan tanah tum-
pah darahnya Indonesia dan setelah menunaikan kewajibannya tetap akan
kembali ke Indonesia. Rasa kecintaan akan tanah leluhur dan rasa berke-
wajiban untuk membelanya dari bahaya luar, rasa kebenciannya terhadap
tentara agresor Jepang dan rasa kebanggaannya terhadap keberanian dan
keperwiraan tentara Tiongkok dalam melakukan perlawanan juga hanya
terdapat pada golongan peranakan Tiongkoa yang merasa berkepentingan.
Juga perhatian yang besar dan pengetahuan yang banyak mengenai situasi
perang di Tiongkok umumnya hanya ada pada pengarang peranakan
Tionghoa pula. Maka sampai sekarang belum pernah kita lihat ada pengarang
pribumi Indonesia yang menggarap tema ini, yang memperlihatkan sikap,
pendirian dan perasaan yang sama.
Walaupun baru sebuah novel bahasa Sunda yang sempat ditemukan dan
dibicarakan, namun dari isi dan mutu novel ini agaknya kita sudah bisa mem-
peroleh kesan bahwa sastra peranakan Tionghoa dalam sastra Sunda telah
mencapai suatu tingkat yang lumayan. Dan kenyataan bahwa novel Tjin
Nio ini cepat terjual habis sehingga perlu segera dicetak ulang membukti-
kan bahwa sambutannya cukup baik dan pembacanya tidak sedikit. Kami
kira jumlah karyanya tidak akan terlalu sedikit, karena di Tasikmalaya saja
ada penerbitan majalah Tjarios Roman Eulis yang «kaloear saban sasih
saban nomer tjarios tamat», yaitu setiap bulan menerbitkan satu nomor
dengan sebuah novel lengkap. Ini berarti hanya Eulis saja tiap tahun bisa
menerbitkan 12 judul novel. Tapi sayang kami tidak mempunyai keteran-
gan apapaun tentang majalah itu kecuali nama pencetaknya ialah
Djoen(g)djoenan (24). Kapan mulai diterbitkannya, sudah hidup berapa lama,
apakah Tjin Nio yang tercatat terbitan April 1938 N° 1 merupakan nomor
pertamanya, semua masih gelap, sehingga hanya bisa menduga-duga saja.
Ada tiga hal yang kiranya bisa dijadikan bahan pertimbangan : pertama
dalam majalah ini ada dimuat harga langganan untuk triwulan (3 nomor)
dan harga advertensi; kedua, ada dimuat perkenalan isi novel yang berju-
dul Satahoen di djero harem, «Setahun di dalam Haram», karangan Aurora
Nilsson (25), sebagai novel yang bakal terbit; ketiga, banyak juga yang
pasang advertensi, sampai-sampai ada yang datang dari Jakarta dan Cire-
bon (26). Jadi tidak mustahil kalau majalah Eulis itu mendapat sambutan
dan sudah hidup untuk beberapa waktu lamanya, dan berdasarkan tradisi
sastra peranakan Tionghoa mungkin bisa diharapkan adanya penggarapan
tema yang lebih luas dan yang lebih langsung mencerminkan realitas kehi-
dupan masyarakat Sunda di novel-novel lainnya.
Tapi sebaiknya kita menunggu penggalian dan penemuan lebih lanjut,
karena yang akhirnya berbicara adalah fakta objektif . Cuma sayang sam-
177

pai sekarang sastra peranakan Tionghoa dalam sastra Sunda masih belum
diperhatikan dan dijamah orang, malah masih jarang diketahui orang.
Sastra peranakan Tionghoa dalam bahasa mana pun mestinya dipandang seba-
gai satu bagian dari khazanah kesusastraan Indonesia umumnya. Maka
segala hasil penggalian dan penemuan atas sastra ini tidak akan berarti
lain kecuali memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia sendiri. Mudah-
mudahan «harta karun» yang masih diabaikan ini bisa menarik lebih banyak
sastrawan dan peneliti sastra untuk menggalinya.

CATATAN
1. Literature in Malay by the Chinese ofIndonesia - A Provisional Annotated Bibliography,
Paris, Etudes Insulindiennes- Archipel 3, Editions de la Maison des Sciences de l'Homme,
1981.
2. Bijdragen tot de TaaU, Land- en Volkenkunde, deel 140, 4e aflevering, 1984, hal. 538.
3. Lihat C. Salmon, «Masyarakat pribumi Indonesia di mata penulis turunan Cina
(1920-19412)», suatu makalah yang dibentangakan pada Hari Sastra 85, Pulau Pinang
28 November- 1 Desember 1985.
4. Drama di Boven Digoel, Tjitjoeroeg, Moestika, 1938, hal. 322.
5. Lihat Archipel 26 (1983), hal. 179-210.
6. Kami dipijamkan cerita ini oleh Claudine Salmon yang memperolehnya dari Myra Sidharta,
untuk mana kami mengucapkan terima kasih.
7. «Ti keur di Java keneh Ma Tjoe Tiong, malah ti keur sakola keneh di T.H.H.K. Tjilatjap,
geus kabejakeun sok tara robah tina ketjapna noe geus dikedalkeun, tingin kana djandji,
tara poekah tina soebaja sarta manehna boga bakat djoedjoer kana pakerepanana..., henteu
hajang balik deui ka poelo Djawa, lamoen tatjan bisa nembongkeun kanjaahna ka nagara
loeloehoerna, Tiongkok» (hal. 18).
8. Peristiwa Jembatan Marco Polo pada tanggal 7 Juli 1937 yang mengakibatkan perang
total antara Tiongkok dan Jepang.
9. Menurut surat kabar pada waktu itu memang tidak sedikit pemuda Tionghoa peranakan
yang sudah menjadi juru terbang seperti Nio Tiam Seng (m. 1939) dari Bandung yang
pada tanggal 10 Oktober 1936 «soedah loeloes dari examen panerbangan jang diadaken
oleh pemerintah Nationaal di Nanking dan telah diangkat djadi luitnant vliegenier... la
asal kaloearan T.H.H.K. Bandoeng, tadinja ia beladjar Marine, kamoedian masoek beladjar
di sekolah terbang di Hangchow. Toean Nio koerang lebih baroe beroesia 25 taon» (Ming-
guan Sin Po, 9 Januari 1937, hal. 7). Dalam satu nomor lain dari majalah tersebut (27
Februari 1937, hal. 20) kami diberi tahu bahwa ada seorang pemuda dari Cilacap, namanya
Souw Kiauw Ho, yang baru berangkat ke Tiongkok «boeat beladjar terbang di Hangchow».
Beberapa bulan berselang juga dilaporkan bahwa Oey Tik Hie, bekas murid sekolah
T.H.H.K. Cilacap sedang «beladjar terbang dalam sekola terbang militair di Tiongkok»
(idem, 13 November 1937, hal. 13).
10. Jenderal Chen Ch'ien (yang juga ditulis Cheng Ch'ien) pada bulan Juli 1937, diangkat
sebagai Komandan «Daerah Perang Kesatu», bermarkas di Chengchow dan memimpin
operasi di sepanjang jalan kereta api Peiping-Hankou.
178

11. «Kaajaan di wewengkon Shanghai sareng di sakoerilingna dina waktos ieu teu kinten
henteu amanna, margi djoeroe-djoeroe ngapoeng noe nampi parentah ti lemah tjai abdi,
geus ngadjalankeun sakawenang-wenang. Maranehanana parantos ngabombardeer
sakeuna keunana, njerangan ka noe henteu boga dosa, henteu pilih boeloe, lalaki, awewe,
kolot atawa boedak, di mana maranehanana nendjo aja noe ngagoendoek-goendoek toe-
loej bae diragragan bom, doegi ka ngorbankeun djiwa aja reboena.
Ama sareng sadajana noe henteu aja di dieu, moal tiasa ngoeninggaan koe andjeun kana
kadjadian noe teu kinten matak sedihna. Oepami ama ningali koe andjeun, ama tangtos
bakal harendeg sareng ngaraos sedih, soemawonten oepami katingali serdadoe-serdadoe
oerang noe teu ngarti naon hartosna kamanoesaan, parantos maledog-maledogkeun gra-
naat, doegi ka disapandjangna djalan katingal pamandangan noe matak sedih noe karan-
dapan koe hidji iboe noe keur njoesoean anakna henteu aja njawaaan, di ditoe di dieu
moenggah pabalatak majitna baroedak laleutik noe saloear awakna pinoeh koe getih.
Kaajaan noe saroepi kitoe, djanten hidji pangemoet-ngemoet anoe hina dina boekoe sadja-
rah» (hal. 37-38).
«Abdi ge ama, njaah ka nagara abdi teh, aja rasa kamanoesaan teh, namoeng ama...
naon atoeh kamanoesaan teh? Abdi doegi ke powek, henteu ngartos. Serdadoe bangsa
oerang di nagara oerang sagemblengna pada ngadjalankeun wet kamanoesaan. Kitoe deui
waktos abdi aja keneh dina bangkoe sakola, saban dinten sok diwoeroekan koe goeroe
kedah ngendahkeun kamanoesaan, ti alit oerang dididik kedah kitoe, namoeng ajeuna
koe abdi katingal koe panon abdi sorangan bangsa abdi ngadjalankeun peta maehan noe
teu aja ras-rasan, terang pisan oepami kitoe mah abdi teh dibere pangadjaran noe sawang-
soelna» (hal. 41).
12. «Ama, moegi ama kersa miwoeroek ka bangsa oerang, soepados ngeureunan napsoena
hajang maehan. Oge ka doeloer-doeloer abdi moegi koe ama diterangkeun kaajaan noe
saleresna soepados oelah daek ngadjalankeun sawenang-wenang noe ngalanggar wet
kamanoesaan, noe poegoeh mah moeng djadi pakakasna kaom militair..?? Sareng poen abdi
moegi diwagel oelah sina doengkap ka Tiongkok, njerang kota noe ajeuna ditjitjingan
koe lantjeukna, nja-eta koe' abdi» (hal. 43).
13. Menurut pengarang Nantao merupakan pintu kota Shanghai.
14. Tentang soal ambulans yang dikirim dari Jawa lihat antara lain mingguan Sin Po 5 Maret
1938 (hal. 5-10, 12-13) dan 5 November 1938 (hal. 5-7).
15. «Indonesia oge henteu tinggaleun tina perkara gerakan Roode Kruis mah, sakoemna pers
Indonesia... pada ngoemoemkeun sarta ngandjoerkeun soepaja sakabeh bangsa Hoakiaw
di Indonesia pada daek noendjang koe harta djeung tanaga pikeun ngabuktikeun Roode
Kruisfonds pikeun Tiongkok, malah noeroetkeun wawaran ti Hoofdcomitena djoemblahna
doeit noe geus dikirimkeun ka Tiongkok teh make geus aja tiloe-opat malioenna.
Tatjan lila comité di Indonesia, moen teu salah dina tanggal 10 Oktober 1937 geus ngi-
rimkeun ambulancena, dibangoen koe 9 vrachtwagens kaloearan General Motors Tand-
joeng Perioek, compleet djeung sagala roepa kaperloeanana, malah dokterna oge leuwih
ti doea» (hal. 54).
16. Bakrie Soeraatmadja dilahirkan pada 26 Juni 1895 dan wafat di Bandung pada 1 Juni
1971. Beliau sudah mendapat gelar Perintis Pers Indonesia sebagai penghargaan dari
pemerintah. Lihat I.N. Soebagijo, Jagat wartawan Indonesia, Jakarta, Gunung Agung,
1981, hal. 294-299.
17. «Noe djaradi pagawena eta ambulance teh geus sapantesna lamoen bangsa Tionghoa
paheula-heula, pada hajang korban tenaga keur kaperloean noesa djeung bangsana. Tapi
loetjoena bangsa Indonesier oge teu saeutik noe marenta kana pagawean dina ambulance
teh. Djrg Bakne Soeraatmadja, journalist Soenda di Bandoeng koengsi medarkeun paman-
dangana soepaja kaom nganggoer Indonesier noe daraekeun, bisa di tarima keur
kaperloean ambulance, kirimkeuneun ka medan perang» (hal. 55).
18. Untuk dapat daftar lengkap dari karya-karya yang mengandung tema perang Tiongkok-
Jepang, lihat Cl. Salmon (1981), hal. 58-59.
179

19. Sin Po (mingguan), 11 Dec. 1937, hal. 21. Nomor dari 25 sept. 1937, hal. 9 juga melapor-
kan tentang pertunjukan tonneel Indonesia buat Tiongkok : «Pertoendjoekan koempoe-
lan Indonesier «Monte Carlo» di Benkoelen pada 3.9. 1937».
20. Tentang bahasanya perlu diadakan penelitian khusus dengan mengadakan perbandingan
dengan karya-karya yang dikeluarkan pada masa yang bersamaan. Untuk sementara bisa
disebut bahasanya bersifat bahasa Simda umum yang bukan bahasa lisan campuran yang
berlaku di kalangan orang peranakan Tionghoa di Sunda.
21. «Boeboehan Ma Tjoe Tiong teh hidji nonoman Tionghoa noe katjida ajemna, katoeroeg-
toeroeg deuih paham pisan kana bagbagan agama Islam, naon-naon anoe toemiba kana
dirina teh henteu madjar koemaha, tetep bae neneda ka Goesti noe Maha Soetji njoe-
hoenkeun pitoeloeng bari iman kana tjetjek lana ana, jen sagala roepa oge koemaha ker-
sana noe Maha Soetji bae» (hal. 33).
22. «'Eulis'» tjeuk Tjoe Tiong ka Tjin Nio noe harita ngalongok, estoe oentoeng. Pangeran
nangtajoengan keneh kana njawa engkang tjatjakan lamoen pelor keunana ka engkang
teh meneram kana sirah atawa kana bagian awak noe sedjan, geus hamo teuing. Koe
kitoena oerang doeaan koedoe soedjoed sjoekoer ka Goesti Allah noe geus
nangtajoengan tina bahaja noe sakitoe hebatna...»
«Soemoehoen, Goesti Allah sasat nangtajoegan kana pakarepan oerang doeaan, da meu-
reun oepami engkang poepoes mah, abdi moal oentoepan tiasa hidoep oepami henteu disa-
rengan koe salira engkang..» (hal. 18-19).
23. Nama ini tidak disebut dalam buku karangan Ajip Rosidi KesiLsastraan Sunda dewasa
ini, Bandung, Tjupumanik, 1966.
24. Nama percetakan ini disebut dalam daftar percetakan yang disajikan dalam Catalogus
van Boeken en Tijdschriften uitgeven in Ned. Oost-Indie van 1870-1937, Batavia, G. Kolff ,
1940, karangan G.F. Ockeloen. Setahu kami majalah ini tidak disimpan dalam Perpusta-
kaan Nasional Jakarta dan perpustakaan-perpustakaan Europa lain. Mudah-mudahan kalau
ada yang sempat tahu sudi menyampaikan kepada kami.
25. Siapa pengarang ini sementara ini belum bisa diketahui; apakah nama samaran?
26. Iklan-iklan yang dimuat antara lain ada percetakan Perboe di Cirebon dan harian Peman-
dangan di Jakarta dan beberapa toko kepunyaan orang Tiongkoa di Tasikmalaya.

Anda mungkin juga menyukai