Anda di halaman 1dari 6

“BERTAHAN DI TENGAH GEMPURAN BUDAYA MASSA” : SEHIMPUN ESAI

LOKALITAS DARI PELAKU BUDAYA

Oleh Badaruddin Amir

Sebuah esai pada hakikatnya adalah sebuah pengakuan. Namun sudah tentu ia bukan
sesuatu yang hanya merekam hal-hal yang bersifat otobiografis saja, demikian Goenawan
Mohammad pada prakata kumpulan esainya berjudul “Potret Panjang Seorang Penyair sebagai
si Malin Kundang” (PT. Nusa Agung, 2005). Gunawan memang tidak meneruskan bahwa pada
esai ada muatan-muatan sosiokultural yang sangat penting diketahui. Itulah “muatan” dari esai,
selain dari bentuknya yang ringan dan bebas.

Demikian halnya dengan kumpulan esai “Bertahan di Tengah Gempuran Budaya Massa”
yang ditulis oleh Andi Oddang to Sessungriu ini. Nilai-nilai sosiokultural yang otobiografis itu –
yang kemudian dalam pembahasan ini kita sebut sebagai nilai-nilai lokalitas menjadi warna
cerah yang eksklusif lantaran hampir semua esai dalam buku ini membicarakan masalah
lokalitas budaya Bugis yang memang jarang diungkap.

Melalui kumpulan esai “Bertahan di Tengah Gempuran Budaya Massa” kita dapat
membaca bahwa Andi Oddang to Sessungriu (penulis) tidah berperan sebagai ahli “budaya”.
Juga dalam posisinya sebagai penulis esai ia bukan seorang akademisi yang menerapkan sebuah
teori atau pendekatan tertentu; semisal analisis strukturalisme ala Levi-Strauss yang melihat
kaitan-kaitan tetap antara satu gelaja (nilai) budaya dengan gejala budaya lainnya berdasarkan
observasi penelitian. Atau mencoba mengaitkan satu tanda (sign) yang muncul dari sebuah
peristiwa budaya yang lebih luas dengan tanda atau gejala budaya lainnya, dikaitkan dengan
penerimaan masyarakat dalam sebuah metode yang lazin disebut sebagai analisis semiotika.
Saya melihat Andi Oddang to Sessungriu lebih berposisi sebagai seorang pelaku budaya – yang
dalam kapasitas tersebut bertutur tentang kebudayaannya sendiri, sebuah kebudayaan
1
eksklusif Bugis yang tentu saja eksotis pula, lantaran memiliki daya tarik yang khas,
kontekstual, dan belum banyak dikenal .

Budaya Bugis memang sudah banyak ditulis dan diteliti oleh para ahli budaya dan telah
banyak dibicarakan oleh para budayawan di berbagai seminar. Sebutlah nama-nama
budayawan Bugis yang pandangannya dapat dijadikan referesi ilmiah seperti Prof. Dr.
Mattulada, Prof. Dr. Abu Hamid, Prof.Dr. Rahman Rahim, Prof.Dr. Fahruddin AE, Prof. Dr.
Nurhayati Rahman sampai kepada pakar budaya berkebangsaan asing seperti Christian Pelras,
telah menulis tentang budaya Bugis. Akan tetapi pada umumnya para ahli dan budayawan
meletakkan Budaya Bugis sebagai “objek” penelitian. Karena itu kajian-kajian atau analisis
mereka pun dapat disebut sebagai kajian ilmiah. Kajian mereka disusun secara sistematis,
kompleks, logis, empirik, dan replikatif dalam artian harus dapat diuji kembali untuk
memperoleh hasil yang sama dan akurat. Mereka menganut pola tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan prosedur penalaran induktif. Logika menjadi kata kunci dari
hasil kajian ilmiah mereka.

Berbeda dengan hasil penelitian karya ilmiah tentang Budaya Bugis, sebuah esai tentang
kebudayaan akan memandang kebudayaan tidak sebagai “objek”, melainkan sebagai “subjek”.
Subjeklah yang menggerakkan daya-daya kreatif sang penulis sehingga sebuah esai tidak
memerlukan lagi prosedur studi ilmiah, metode penelitian, pendekatan atau apalah namanya.
Karena itu sifat sebuah esai budaya seperti kata-kata Arif Budiman dalam esainya tentang esai,
bahwa sebuah esai bukanlah studi ilmiah yang baku, penuh kehati-hatian dan tanggung jawab
ilmiah yang menekan. Sebuah esai hanya mempermasalahkan sesuatu “sepanjang merangsang
hati penulisnya”. Karena itulah sebuah esai –esai tentang apapun juga-- kadang-kadang terasa
sangat subjektif dan bahkan banyak pula yang ditulis dalam gaya naratif-prosais seperti cerpen :
lengkap dengan unsur-unsur intrinsik seperti, plot, setting, dan dialog para pelaku.

2
“Bertahan di Tengah Gempuran Budaya Massa” pun demikian. Sebagai buku kumpulan
esai, buku ini telah memiliki syarat esai yang baik: berbentuk prosa yang menghindari gaya
penulisan ilmiah, memiliki style sebagai gaya pembeda yang khas penulisnya, selalu tidak utuh
dalam artian penulis hanya mengupas segi-segi yang penting saja namun tetap memiliki
kesatuan seperti pendahuluan, isi dan penutup. Di samping itu ditulis dengan singkat;
maksudnya setiap esai dapat dibaca dengan santai dalam satu kesatuan waktu yang singkat
(sekali duduk) dan tidak memiliki hubungan kausalitas dengan esai-esai lainnya meskipun dalam
buku ini memiliki tema yang sama sebagai benang merah yang menghubungkannya.

Menyangkut ciri khas pribadi dari penulis esai ini, dapat dijelaskan dalam ilustrasi
sebagai berikut:

Saya tidak mengenal sebelumnya Andi Oddang to Sessungriu, juga belum pernah
membaca tulisan-tulisannya sebelumnya. Akan tetapi setelah saya membaca tiga dari 24
esainya yang terkumpul dalam buku “Bertahan di Tengah Gempuran Budaya Massa” ini saya
telah menemukan titimangsa gaya pribadi beliau dalam menuis semua esainya yang ada pada
buku ini. Ada sesuatu yang khas dalam ungkapan maupun susunan kalimatnya yang tak dapat
saya jelaskan dengan teori. Seperti dalam tutur kata, kita mengenal dieksis persona dalam
wacana lisan, sehingga kita segera mengenali siapa yang bertutur walaupun orangnya tak kita
lihat. Dan saya sekarang dapat mengenali itu jika saya membaca esai lain dari Andi Oddang to
Sessungriu meskipun namanya dihilangkan atau ditutup. Seperti itu juga saat kita membaca
esai-easai yang ditulis oleh Goenawan Mohammad, Budi Darma, Emha Ainun Najib, Umar
Kayam, Asrul Sani, Iwan Simatupang dan lain-lain meskipun tak lagi melihat nama penulisnya.

***

Jika kita menganut pandangan klasik seperti yang diperkenalkan oleh Wellek and
Warren dalam buku sucinya “Theory of Literature”, tiap tulisan (sastra) memang dapat dinilai
pada dua segi. Yang pertama segi “bentuk” yaitu bagaimana esai itu ditulis. Syarat-syarat esai
yang baik yaitu ringan, menggunakan bahasa yang sederhana yang sedapat mungkin
menghindari bahasa figuratif, hanya membicarakan hal-hal yang penting saja, dan terutama

3
memiliki ciri khas kepenulisan. Dan yang kedua segi “isi” yaitu apa yang menjadi muatan dari
esai itu.

Pada buku “Bertahan di Tengah Gempuran Budaya Massa” ini isinya sangat jelas
bermutan nilai-nilai lokalitas budaya Bugis yang eksklusif, eksotis dan kontekstual. Sebuah
muatan esai yang belum banyak diungkap oleh penulis lain. Budaya Bugis memang sudah
banyak diungkapkan dalam tulisan-tulisan ilmiah, tetapi “sadda ininnawa” (demikian
diistilahkan oleh Andi Oddang) belum banyak disuarakan oleh penulis lain sebelumnya.

Menyuarakan “Sadda Ininnawa” dari budaya Bugis ini memang tidak cukup hanya
dengan penelitian atau studi yang menjadikan Budaya Bugis sebagai “objek”, karena “Sadda
Ininniwa” memang selayaknya keluar dari suara “subjek”. Andi Oddang to Sessungriu seperti
yang disebutkan sebelumnya bukanlah ahli budaya, tetapi pelaku budaya. Dalm biografinya
disebutkan bahwa ia adalah salah seorang anggota Dewan Adat 12 (Ade’ Seppulo Dua) termuda
di Kedatuan Luwu, selaku Opu Matoa Cendana. Menjadi anggota di Dewan Adat ini tentu saja
syarat-syaratnya tidak umum. Tetapi eksklusif, yaitu hanya orang-orang yang memiliki garis
keturunan raja-raja di Kedatuan Luwu saja yang dapat menjadi anggota. Artinya hanya para
pelaku budaya lokalitas itu saja yang menjadi anggota, seperti juga keanggotaan organisasi
“abdi dalem” di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan demikian Sebagai “subjek” dari budaya lokalitas Bugis, khususnya menyangkut
silsilah keturunan raja-raja, strata sosial, gender, adat-istiadat, busana dalam panggadereng
(pakaian adat), etika moral, sampai kepada bentuk-bentuk sastranya yang kita kenal dengan
nama ‘lagaligo’ sebagai sebuah tradisi, penulis Andi Oddang to Sessungriu sudah
mengalaminya secara ontologis maupun epistemologis, tanpa perlu lagi didukung oleh
serangkaian penelitian, studi dan sebagainya. Dan ketika ia telah mengalami pula serangkaian
pendidikan sastra modern maka semuanya dengan enteng dapat pula dituturkannya kembali
dalam bentuk esai, meski dalam biografinya Andi Oddang to Sessungriu pun disebutkan bahwa

4
beliau juga menulis “dongeng” sebagai bentuk ekspresi sastra tradisional (sastra lama),
sebagaimana kerja sastra para “empu” dari sejarah sastra masa silam yang biasanya bersifat
kraton sentris.

Saya tidak mengupas secara detil dan tuntas isi kumpulan esai ini karena saya kira tak
ada yang memerlukan “jembatan” untuk sampai kepada pemahaman dari muatan esai yang
dituturkannya. Andi Oddang telah menuturkannya dengan gamblang dalam gaya bahasa yang
tak pelik dan mengerutkan dahi. Semua esai dalam buku ini telah ditulis dalam gaya “bertutur”
yang sebebas-bebasnya, yang gurih dibaca tanpa perlu sebuah ulasan lagi. Bahkan pengantar
dari penerbit buku ini pun hanya akan terasa sebagai basa-basi setelah kita membaca seluruh
esai di buku ini secara tuntas. Hanya saja kita memang perlu memahami apa yang diungkap
oleh YM, OPT, Datu Luwu XI pada sambutannya bahwa mendalami dan mengkaji buku ini,
sama halnya dengan merevitalisasi khasanah kebudayaan Bugis dari masa lampau yang
dikontekskan dengan perkembangan budaya pada masa kini. Arus globalisasi demikian kencang
di era teknologi informasi dan kita memang harus membangun sebuah benteng pertahanan
Budaya jika tidak ingin terbawa arus modernisasi yang kadang-kadang menggerus nilai-nilai
kegotong-royongan, sipakatau, sipakalebbi berasaskan siri na pacce. Nilai-nilai budaya Bugis ini
harus tetap bertahan di dalam benteng kebudayaan Bugis dengan tidak menafikan hal-hal yang
bermanfaat dari kebudayaan luar (asing).

Saya ingin mengatakan bahwa buku ini memang sebuah tuturan seorang “subjek”
tentang lokalitas budaya Bugis yang eksklusif, eksotis dan kontekstual yang tidak semua etnis
perlu memahaminya. Ada hal-hal yang sifatnya hanya perlu dipahami oleh kalangan etnis Bugis
saja sehingga tidak perlu dieksploatasi keluar jika hanya sebagai sebuah kebanggaan identitas.
Esai terakhir dari buku ini berjudul “Cinta dan Kearifan” cukup mengesankan. Ia bertutur
tentang “Hikayah Kalilah wa Dumnah”, yang alegoris untuk menunjukkan bagaimana
sebenarnya memelihara budaya Bugis dengan Cinta (dengan C besar) dan kecerdasan
(kearifan). Cinta tanpa kecerdasan hanya akan membuat malu sebuah keluarga besar. Seperti
juga cerita tentang seorang kakak dan adik yang bertengkar bagaimana memasak “kapurung”

5
(makanan khas orang Luwu). Semestinya sang kakak mengajari sang adik dengan rasa Cinta dan
kecerdasan dan bukannya mengadu ke pihak luar (kepada polisi), yang dapat membuat malu
orang tua. Karena hal-hal yang demikian mestinya diselesaikan dalam dapur saja.

Demikianlah esai-esai yang ditulis oleh Andi Oddang -- seorang turunan Raja Luwu
dengan gelar “to Sessungriu” -- yang bebas, jauh dari tekanan ilmiah, subjektif, gurih dibaca,
dan cerdas, tetapi tetap otentik dan dapat menjadi percikan awal dari penelitian lanjutan
tentang nilai-nilai Budaya lokalitas Bugis. Sebagai esai yang bebas, sebagaimana juga
pembahasan yang bersifat esais ini, semuanya memang perlu sebuah kata penutup, yaitu
“Wallahua’lamu bissawab”. Dan itulah pula yang menjadi ciri khas kata penutup dari semua esai
dalam buku ini.

Barru, Maret 2020

Buku, simbol dan Lencana Kerajaan Luwu yang diberikan oleh Dewan “Ade Seppulo Dua”
termuda di Kedatuan Luwu, Andi Oddang to Sessungriu kepada saya, usaih membedah bukunya
di Parepare.

Anda mungkin juga menyukai