Anda di halaman 1dari 2

6 Gelas Kopi Sehari

Suatu pagi tanggal 20 Desember 2013 lalu.

Hari ini aku akan berangkat ke Desa Cahaya Alam di Semende Darat Ulu. Jaraknya sekitar 40 km dari
Desa Cahaya Alam, atau 20 km dari Tenam Bungkuk. Tujuannya adalah untuk menemui salah
seorang tokoh masyarakat di sana yang kata Kak Ipul (sosok yang begitu banyak menemaniku selama
di Semende) memahami bagaimana sejarah Semende. Bagiku ini adalah hal penting, karena bisa
sekalian bernostalgia, sebab dulu aku KKN tahun 1996 silam di desa tersebut.

Pagi-pagi sekali, sesudah bangun tidur dan masih bergelung sarung, hidangan kopi panas sudah
tersedia. Hal yang lazim sebenarnya, karena selama seminggu di Semende ini, entah sudah berapa
kali aku minum kopi. Mungkin karena cuaca dingin, menyeruput kopi panas di pagi hari, selalu
menjadi sesuatu yang surprise.

Hari ini, aku berniat untuk menghitung berapa kali aku minum kopi sehari, sekaligus ingin melihat
bagaimana penerimaan orang Semende terhadap orang yang tak dikenalnya. Di tempat Kak Ipul, aku
bisa dengan mudahnya menolak tawaran minum kopi, jika sudah terlalu sering, karena aku sudah
akrab dengan keluarganya. Namun hari ini, aku akan pergi ke desa lain, sendirian, dan tentu saja
akan bertemu orang-orang baru. Kopi di rumah Kak Ipul pagi ini adalah gelas pertama.

Jam 8.00 pagi aku berangkat mengendarai motor. Cuaca agak mendung, kata Kak Ipul, bakal hujan
nanti ini (aku teringat pedoman pada kabut di bukit Balai dan Bukit Barisan , keterangan mengenai
kabut ini ada dalam kisah lain nantinya). Tapi aku jalan terus, sekalian pula ingin mencoba
bagaimana bisa mampir ke rumah orang yang tidak dikenal, sekedar untuk berteduh.

Betul saja, baru sekitar 10 menit berjalan, hujan sudah turun, tidak deras namun cukup mengganggu
karena udara jadi semakin dingin. Di simpang Desa Muara Tenang, persis di depan musholla yang
cukup megah, aku harus berteduh. Ada sebuah rumah dangau, karena posisinya dipinggir sawah di
sebelah jalan. Seorang bapak yang sudah cukup tua, tampak duduk di tangga dangaunya, agaknya
sedang berteduh sebelum ke sawah lagi. Motor kuparkirkan di bawah dangaunya yang berbentuk
panggung tersebut.

“Assalamualaikum ning (kakek), numpang berteduh kudai (sebentar),” teriakku di sela hujan.
“Walaikumsalam, Ao naiklah ke pucok (Ya naiklah ke atas),” sahutnya.

Aku belum kenal kakek itu, karena desa ini memang tidak jadi objek penelitian aku. Tapi aku
beranikan diri saja. Kamipun ngobrol dan saling berkenalan. Namanya Rustam, berusia 60 tahun.
Sambil ngobrol, ia sudah sibuk memanaskan air dan mengambil gelas. Kopi kedua hari ini.

Singkat cerita perjalanan dilanjutkan setelah hujan reda. Tak lama, di Desa Datar Lebar, sekitar 10
menit dari tempat berteduh pertama, aku harus berteduh lagi. Padahal tujuan aku ke Cahaya Alam
hanya tinggal 10 menit perjalanan lagi. Kali ini tempat berteduh adalah semacam warung
kelontongan, menjual kebutuhan sehari-hari. Terlihat di etalase yang terbuat dari jalinan kawat di
bawah rumah panggung, terpajang untaian shampo sachet, teh sachet, dan sebagainya. Yang duduk
disitu adalah seorang ibu-ibu berbadan sedikit gemuk, usianya sekitar 50-an tahun.

Si ibu bernama Siti ini mempersilahkanku duduk dibawah atap warungnya, di atas kursi kayu
panjang. Sembari berteduh aku ngobrol lagi dengannya. Tak lama ia ke belakang, dan kembali
dengan segelas kopi panas. Kopi ketiga sampai jam 10 pagi ini.
Kembali perjalanan dilanjutkan. Desa Cahaya Alampun sudah didepan mata. Tujuan pertama adalah
rumah Kepala Desa. Aku sudah kenal beliau, karena dulu pernah KKN disini dan beliau dulu juga
Kepala Desa. Salam-salaman dan bercerita berbagai kenanganpun meluncur. Tak menunggu lama,
gelas kopi yang keempat, sudah terhidang pula. Jarum di jam tanganku baru menunjukkan pukul
11.30 WIB. Aku meraba perut dan mencoba merasakan apakah ada gejala yang tidak enak.
Alhamdulillah masih kuat dan belum ada tanda-tanda apapun.

Rumah berikutnya yang kudatangi adalah rumah Kak Din. Dia ini adalah kakak angkat bagiku, karena
begitu akrabnya waktu KKN dulu. Sumringah sekali ia menyambut, begitu kangen dan hal yang sama
juga kurasakan. Karena hari sudah pukul 12.00, ia berujar pada istriya untuk memasak nasi dan
menyiapkan makan. Tentu tawaran yang menarik sekali, karena perut sudah keroncongan.

Tiba-tiba (sebenarnya sudah kuduga), sang Ayuk muncul kembali ke ruang tamu, membawakan
nampan berisi dua gelas kopi. “Ngopi kudai, Yen. Nasi mpai dimasak, lah lame kaba tu dide ngupi di
sini” ujarnya. Artinya kira-kira “Ngopi dulu, Yen. Nasi lagi dimasak, sudah lama kamu tu tidak ngopi
disini”. Akhirnya, ini gelas kelima sampai siang ini.

Sementara, hidangan nasi panas berasap mulai terjejer dihadapan, sambal teghung Belande, lalap
umbut rotan, dan ikan Nila kuah tanpa santan, sudah menitikkan selera. Udara dingin seakan
menghentakkan perutku untuk tak menyia-nyiakan kesempatan. Lupa akan kopi, nasi panas itupun
ludes.

Aku ngobrol-ngobrol dengan Kak Din. Ternyata ia juga paham soal seluk beluk adat Semende ini. Aku
juga dapat kabar bahwa tokoh adat yang akan kutuju sedang tidak dirumah. Ia lagi ke Muara Enim.
Akhirnya, dengan Kak Din lah aku tuntaskan semua keperluan data. Sampai pukul 16.00 sore aku
masih di tempat Kak Din, hujan juga masih rintik-rintik. Aku pamit karena masih ada keperluan di
Desa Pajar Bulan.

Di perjalanan pulang, aku dua kali pula harus berteduh. Hujan sepertinya tidak bersahabat. Satu kali
berteduh kembali di rumah warga. Sama seperti tadi, ia tak kukenal, hanya numpang berteduh
karena hujan mulai deras. Basa basi sedikit, dan … kopi gelas keenam pun ludes ke tenggorokan.

Saat motor kujalankan, hujan masih rintik-rintik, kutempuh saja, mengingat magrib sudah hampir
menjelang. Agas-agas kecil mulai mengganggu mata, sementara udara terasa makin menusuk. Saat
hujan makin terasa bulirnya, berteduh harus kulakukan. Tapi sekarang aku harus mencari tempat
”netral”. Untunglah ada musholla kecil di pinggir jalan. Setidaknya aku terhindar dari gelas kopi
ketujuh di hari ini. Sembari sholat dan menunggu hujan, aku merapatkan jaket ke sekujur badan.
Desa Tenam Bungkuk sudah dekat, bayang-bayang Tengkiang sudah tampak di sela-sela kabut
menjelang malam. Sepeda motor kupacu lebih cepat, tanjakan dari Desa Tanjung Raya yang cukup
tinggi kulalui. Dari kejauhan tampak titik-titik api dari dangau warga di kebun, tampak bagai kunang-
kunang. Semende memang mempesona, walau perutku rasanya sudah berontak. Semoga sudah tak
ada lagi kopi ketujuh di malam ini.

Dr. Yenrizal, M.Si

Anda mungkin juga menyukai