Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA DALAM LANSKAP LINGUISTIK DI

TEBET ECO PARK, JAKARTA

Dyra Daniera (2006587000)


Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Surel: dyra.daniera@ui.ac.id

ABSTRAK
Tulisan ini membahas lanskap linguistik di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan dan bertujuan
menguraikan bahasa-bahasa apa saja yang ditemukan dalam berbagai objek linguistik di Tebet
Eco Park, bagaimana sikap bahasa pembuat objek linguistik yang tercermin dari lanskap
linguistik Tebet Eco Park dan seperti apa kaitan penggunaan bahasa di Tebet Eco Park dengan
identitas pembuat tanda-tanda umum dan pembaca tanda-tanda umum di Tebet, Jakarta Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data secara
observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mendominasi
lanskap linguistik di Tebet Eco Park. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia tercermin dari
kesetiaan penggunaan bahasa Indonesia. Akan tetapi sikap negatif terlihat dari kurangnya
kesadaran akan norma berbahasa Indonesia, salah satunya banyaknya ditemukan campur kode.
Bahasa Inggris digunakan di TEP sebagai penamaan tempat wisata dan delapan zona di TEP
karena membawa kebanggaan dan prestise. Selain itu, juga karena menyesuaikan identitas
masyarakat Jakarta Selatan yang memiliki jumlah WNA terbanyak di DKI Jakarta. Saran untuk
pengelola TEP adalah menghadirkan papan informasi dwibahasa secara keseluruhan (bahasa
Indonesia-bahasa Inggris) supaya mencapai visi TEP sebagai ruang terbuka yang inklusif.

Kata kunci: lanskap linguistik, Tebet Eco Park, sikap bahasa, identitas, campur kode

ABSTRACT
This paper discusses the linguistic landscape in Tebet Eco Park, South Jakarta and aims to
describe what languages are found in various linguistic objects in Tebet Eco Park, how are the
language attitudes of the creators of linguistic objects that display from the linguistic landscape
of Tebet Eco Park and what is the relationship between usage language in Tebet Eco Park with
the identity of the maker of public signs and reader of public signs in Tebet, South Jakarta. This
research is a qualitative descriptive research with data collection techniques by observation and
documentation. The results of the study show that the Indonesian language dominates the
linguistic landscape in Tebet Eco Park. A positive attitude towards the Indonesian language
reflects loyalty to the use of Indonesian. However, a negative attitude can be seen from the lack
of awareness of Indonesian language norms, one of which is found to be code mixing. English is
used in TEP as the naming of tourist attractions and the eight zones in TEP because it brings
pride and prestige. Apart from that, it is also due to adjusting the identity of the people of South
Jakarta who have the largest number of foreigners in DKI Jakarta. Suggestions for TEP
managers are to present bilingual information boards in full (Indonesian-English) in order to
achieve TEP's vision as an inclusive open space.

Keywords: linguistic landscape, Tebet Eco Park, language attitude, identity, code mixing

1
LATAR BELAKANG

Dalam tatanan kehidupan masyarakat urban, kebutuhan akan ruang publik sebagai bentuk
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat untuk bersosialisasi dan berinteraksi semakin besar.
Keanekaragaman sosial yang ada pada masyarakat perkotaan menuntut terciptanya ruang publik
yang inklusif dan mampu mengakomodasi ragam kebutuhan masyarakat, sehingga penting untuk
melihat bagaimana kota mampu merespons kebutuhan tersebut (Trancik, 1986). Dengan
demikian dibangun fasilitas publik untuk memenuhi gaya hidup masyarakatnya seperti pusat
perbelanjaan, bioskop, hotel, dan restoran. Akan tetapi, banyak kota-kota besar di Indonesia
kurang memperhatikan terciptanya ruang publik yang hijau dan terbuka.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menanggapi permasalahan tersebut dengan
menghadirkan sebuah ruang publik terbuka di Jakarta Selatan, yaitu Tebet Eco Park. Tebet Eco
Park yang diresmikan pada April 2022 mengusung konsep tempat bermain yang mengedepankan
ruang ekologi, sosial, edukasi, dan rekreasi, untuk mengakomodasi aktivitas warga Tebet dan
sekitarnya. Untuk menjalankan fungsinya sebagai ruang publik yang merupakan tempat wisata,
Tebet Eco Park haruslah menyampaikan informasi kepada para pengunjung secara efektif. Hal
itu dapat dilihat melalui papan informasi, reklame, dan tanda jalan, yang terpasang di sana.
Sebagai hasil revitalisasi, Tebet Eco Park menampilkan citra baru yang ceria, segar, dan
bergengsi. Selain dapat dilihat dari arsitektur dan desain visual yang ditampilkan, citra tersebut
juga hadir melalui penggunaan bahasa Inggris dalam penamaan kawasan-kawasan di tebet Eco
Park. Padahal, kebijakan penggunaan bahasa di ruang publik telah diatur secara saksama dan
legal.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Pasal 36 dan Pasal 38, bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi negara wajib digunakan untuk penamaan gedung, rambu umum,
dan fasilitas umum. Lebih-lebih, khusus untuk wilayah DKI Jakarta, disusun pula Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan
Reklame. Pada pasal 10 Perda tersebut, disebutkan empat butir yang mewajibkan penyelenggara
reklame harus menyusun naskah reklame dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar
menggunakan huruf latin. Tetapi, papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan naskah
Reklame dapat memakai bahasa asing yang harus ditulis di bagian bawah bahasa Indonesia,
dengan huruf latin yang kecil. Peraturan daerah dan implementasinya yang tidak selalu sejalan,
sebagaimana terjadi di Tebet Eco Park, memantik pertanyaan bagaimana penggunaan bahasa
dalam lanskap linguistik di Tebet Eco Park, Jakarta.
Sejak tahun 1998, keberadaan bahasa dalam tanda luar ruang dikenal dengan nama
lanskap linguistik (Landry & Bourhis, 1997). Menurut Landry dan Bourhis, lanskap linguistik
merupakan bahasa yang terdapat pada rambu-rambu, jalan umum, papan iklan, nama jalan, nama
tempat, tanda toko komersial, dan papan informasi publik di gedung-gedung pemerintah yang
bergabung membentuk lanskap linguistik suatu wilayah atau aglomerasi perkotaan tertentu
(1997: 25). Kajian lanskap linguistik merupakan cabang dari kajian sosio-onomastika yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi hubungan sistematis tentang kehadiran
dan ketidakhadiran suatu bahasa di ruang publik untuk menggali motif, tekanan, kelas
masyarakat, ideologi, politik, identitas, dan keputusan aktor pembuat tanda (Shomamy, 2012:
538). Lanskap linguistik mencerminkan banyak kepentingan yang ada di masyarakat.
Kepentingan tersebut berkompetisi dan bernegosiasi untuk muncul dalam ruang publik. Ruang

2
publik atau public space adalah tempat terbuka yang memberikan akses kepada masyarakat, dan
dapat dibedakan menjadi ruang publik fisik dan virtual. Dalam suatu ruang publik, terdapat
tanda-tanda publik atau public signs yang mengungkapkan informasi dan menjadi simbol-simbol
pemegang kekuasaan dan status komunitas yang tinggal di daerah tertentu (Nash, 2016). Public
signs dibagi menjadi dua kategori, yakni top-down signs yang mengacu pada tanda yang
dikeluarkan oleh pemerintah, dan bottom-up signs yang mengacu pada tanda yang dikeluarkan
instansi swasta, perusahaan maupun perorangan (Cenoz & Gorter, 2006: 71)
Lanskap linguistik erat kaitannya dengan sikap bahasa. Menurut Kridalaksana (2001:
197), sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang
lain. Sikap terhadap bahasa dan sikap berbahasa diwujudkan dalam perilaku positif atau negatif
yang diperlihatkan secara jelas. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga
komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Sementara itu, menurut Garvin dan
Matthiot (Fishman, 1972), dapat dirumuskan dalam tiga ciri sikap, yaitu kesetiaan bahasa
(language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), dan kesadaran adanya norma bahasa
(awareness of the norm). Kesetiaan bahasa mewujudkan sikap mempertahankan bahasa;
kebanggaan bahasa mewujudkan sikap mengembangkan dan menggunakan bahasa; dan
kesadaran akan adanya norma bahasa mewujudkan sikap menggunakan bahasa dengan cermat,
baik, benar, dan santun.
Penelitian lanskap linguistik kini sudah semakin berkembang, dan beberapa penelitian di
Jakarta sudah pernah dilakukan. Anna Marietta da Silva melalui penelitiannya yang berjudul
Exploring The Language Choice of The Non-Commercial Signs in Jakarta (2017)
mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia masih dominan dalam tanda-tanda
nonkomersial yang dikeluarkan pemerintah. Akan tetapi, terdapat juga penggunaan kata-kata
berbahasa Inggris karena memiliki fungsi sebagai lingua franca, statusnya yang lebih prestisius,
dan peran bahasa Inggris dalam penerbangan internasional. Selain itu, sudah diadakan pula
penelitian di tempat-tempat wisata di Jakarta, salah satunya yang dilakukan Saefu Zaman dengan
judul Lanskap Linguistik Kawasan Kota Tua Jakarta: Kajian Sikap Bahasa (2021). Hasil
penelitian ini mengungkapkan bahwa kawasan Kota Tua sudah menunjukkan sikap positif
terhadap bahasa Indonesia, ditinjau dari penamaan museum-museum yang semuanya berbahasa
Indonesia. Sementara itu, sikap kurang positif tampak dari penggunaan bahasa pada papan-papan
petunjuk/fasilitas umum dan papan informasi yang masih ada yang hanya menggunakan bahasa
asing. Belum ada penelitian lanskap linguistik yang dilakukan di Tebet Eco Park, sehingga objek
tersebut patut dieksplorasi.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah
penggunaan bahasa dan sikap bahasa yang tercermin dalam lanskap linguistik di Tebet Eco Park,
Jakarta. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dipandu oleh pertanyaan
penelitian sebagai berikut: (1) Apa saja bahasa yang ditemukan dalam lanskap linguistik Tebet
Eco Park? (2) Bagaimana sikap bahasa yang tercermin dalam lanskap linguistik Tebet Eco Park?
(3) Bagaimana kaitan penggunaan bahasa di Tebet Eco Park dengan identitas masyarakat Tebet
dan Jakarta Selatan? Tujuan penelitian ini ialah menguraikan bahasa-bahasa apa saja yang
ditemukan dalam berbagai objek linguistik di Tebet Eco Park, bagaimana sikap bahasa pembuat
objek linguistik yang tercermin dari lanskap linguistik Tebet Eco Park dan seperti apa kaitan
penggunaan bahasa di Tebet Eco Park dengan identitas pembuat tanda-tanda umum dan pembaca
tanda-tanda umum di Tebet, Jakarta Selatan.

3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lanskap linguistik dengan ancangan deskriptif
kualitatif. Data penelitian diperoleh dari objek-objek linguistik di Tebet Eco Park, Jakarta.
Sumber data penelitian ini berupa 1) papan nama (bangunan, ruangan, dan alat/mesin); 2)
penunjuk arah dan informasi (papan tiang, berdiri, tempel, videotron, dan spanduk); dan 3)
larangan dan peringatan (papan berdiri, stiker). Metode pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan teknik observasi dan dokumentasi. Observasi dilakukan sebagai teknik awal untuk
mengamati fenomena lanskap linguistik yang terdapat pada objek penelitian. Kemudian
dokumentasi dilakukan secara pribadi oleh peneliti pada sumber data penelitian menggunakan
alat berupa kamera ponsel pada tanggal 24 Desember 2022. Setelah data dikumpulkan, data akan
diklasifikasikan berdasarkan bahasa yang digunakan, apakah ekabahasa, dwibahasa, atau
multibahasa. Beberapa sampel data kemudian dideskripsikan dan dianalisis untuk memperoleh
gambaran sikap bahasa dan kaitannya dengan identitas sosial masyarakat yang melingkupi Tebet
Eco Park.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tebet Eco Park, Jakarta Selatan

Tebet Eco Park (TEP) merupakan taman kota di daerah Tebet, Jakarta Selatan, Provinsi DKI
Jakarta, yang didedikasikan untuk masyarakat dan lingkungan. Taman seluas 7,3 hektare ini
mulai dibangun sejak bulan Juni 2021 dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies
Baswedan, pada April 2022. Sebelumnya, taman ini terpisah, yakni Taman Tebet Utara dan
Taman Tebet Selatan, yang kemudian direvitalisasi supaya dapat lebih dimaksimalkan
potensinya. Ruang terbuka hijau ini ditujukan untuk menciptakan ruang untuk beraktivitas yang
ramah lingkungan dan inklusif terutama kepada empat kelompok dasar masyarakat, yakni
anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, dan ibu hamil. Tebet Eco Park merupakan proyek
Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, bersama pengembang PT Award
Global Infinity yang merupakan anak perusahaan dari PT Astra Land Indonesia.
Sebelum diresmikan sebagai Tebet Eco Park, taman ini sempat direncanakan dengan
nama Tebet Eco Garden. Akan tetapi, Anies Baswedan menyatakan bahwa kata ‘park’ lebih
cocok digunakan1. Dalam bahasa Inggris, ‘garden’ digunakan untuk merujuk daerah ditanamnya
tumbuhan dan bunga-bungaan sebagai bahan tontonan saja, sehingga banyak larangan seperti
dilarang menginjak rumput supaya tetap terawat. Sementara itu, kata ‘park’ memiliki arti ruang
terbuka hijau untuk rekreasi, sehingga para pengunjung yang datang dapat bebas beraktivitas,
mulai dari berolahraga, piknik, membuat acara komunitas, bersantai, dan berinteraksi langsung
dengan alam.

1
Berdasarkan video yang diunggah di kanal Youtube Anies Baswedan berjudul “Minggu Pagi di Tebet Eco Park
#DariDekat”, tanggal 16 Januari 2022.

4
Gambar 1. Suasana Tebet Eco Park, Jakarta Selatan

Terdapat delapan zona di TEP yang merepresentasikan alam di tengah kota yang tersebar
di dua bagian TEP, yaitu sisi utara dan selatan. Pada sisi utara taman, terdapat zona Plaza yang
merupakan landmark area utara TEP yang menyambut kedatangan pengunjung dari pintu utara.
Kemudian ada zona Thematic Garden yang berada di sebelah sungai untuk instalasi seni seniman
lokal dan spot berfoto dengan latar tanaman yang harum. Di sisi paling ujung utara, terdapat
zona Community Lawn yang merupakan ruang eksterior terbuka yang lebar untuk
mengakomodasi kegiatan publik yang intim dan berkelompok-kelompok. Sementara itu di sisi
selatan taman, terdapat zona Community Garden yang mewadahi aktivitas komunitas lokal
bercocok tanam dan edukasi berkebun. Lalu, ada zona Forrest Buffer untuk pengunjung
berjalan-jalan di bawah pohon rindang. Zona ini berfungsi meredam suara bising kendaraan yang
masuk ke taman. Berikutnya terdapat zona Wetland Boardwalk yang merupakan sistem natural
pengendali banjir dan meningkatkan kualitas air dengan tanaman pendukung. Selanjutnya ada
zona Children Playground yang terdiri atas beberapa area permainan anak. Untuk
menghubungkan sisi utara dan selatan TEP yang sebelumnya terpisah Jalan Tebet Timur,
dibangun jembatan ikonik berwarna oranye yang diberi nama Infinity Link Bridge.

5
Gambar 2. Zona Children Playground

Analisis Kebahasaan

Ditemukan 93 objek linguistik di Tebet Eco Park. 93 objek yang diamati tersebut akan
diklasifikasikan ke dalam tiga ketegori, yaitu 1) papan nama (bangunan, ruangan, zona); 2)
penunjuk arah dan informasi (papan tiang, videotron, spanduk, peta); 3) larangan dan peringatan
(papan, stiker). Dari ketiga kategori tersebut, yang paling banyak muncul ialah papan berisi
larangan dan peringatan. Satu jenis larangan dapat ditemukan beberapa kali di sekitar TEP,
misalnya larangan untuk menduduki patung dan peringatan bahwa anak-anak wajib dalam
pengawasan orang tua saat melintasi area tertentu. Banyaknya larangan di TEP masuk akal
mengingat area ini terbuka untuk umum dan gratis, sehingga penting untuk mengingatkan
pengunjung untuk berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap diri masing-masing juga fasilitas
publik. Kebanyakan papan informasi dikeluarkan langsung oleh pengelola TEP dengan ciri khas
latar berwarna oranye dan hijau tosca, diikuti tulisan dan gambar yang berwarna putih. Papan
resmi ini ditempelkan secara permanen pada tiang. Akan tetapi, ada pula stiker-stiker umum
yang dapat dibeli dibeli toko, papan yang dicetak pada kertas, dan peringatan yang ditulis tangan.
Pemilihan bahasa yang digunakan dalam lanskap linguistik Tebet Eco Park dapat dilihat
melalui tabel berikut.

6
Tabel 1. Bahasa yang Digunakan di Tebet Eco Park
Kategori Total Jumlah Bahasa Bahasa Bahasa Bahasa
Data Indonesia Inggris Indonesia- Indonesia-
Inggris Latin-Inggris

Papan nama 32 15 14 3 0

Penunjuk 28 7 5 12 4
arah dan
informasi

Larangan dan 33 20 0 13 0
peringatan

Jumlah data 93 42 19 28 4

Dari 93 objek linguistik, 61 di antaranya merupakan tanda ekabahasa atau menggunakan satu
bahasa saja. 42 papan menggunakan bahasa Indonesia saja dan 19 papan menggunakan bahasa
Inggris saja. Sementara itu, 28 tanda merupakan tanda dwibahasa atau menggunakan dua bahasa,
yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Terakhir, empat tanda merupakan tanda multibahasa
atau menggunakan lebih dari dua bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa
Latin.
Pada kategori papan nama, kontestasi antara papan yang menggunakan bahasa Indonesia
saja dan bahasa Inggris saja sangat ketat. Kebanyakan papan nama sebuah zona atau area ditulis
dengan bahasa Inggris lantaran kedelapan zona utama yang ada di Tebet Eco Park dinamai
dengan berbahasa Inggris, yaitu: Plaza, Infinity Link Bridge, Community Garden, Children
Playground, Community Lawn, Forrest Buffer, Thematic Garden, dan Wetland Boardwalk.
Delapan zona ini tidak disediakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia oleh pengelola TEP.
Ada pula beberapa area yang lebih kecil yang juga dinamakan dengan bahasa Inggris saja tanpa
disediakan terjemahan, di antaranya Water Playground, Barbeque Area, Pet Park, Pantry, dan
Trampoline in Ground. Bahkan, nama tempat wisata ini menggunakan bahasa Inggris, yaitu
Tebet Eco Park, tanpa disandingkan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu, di
area UMKM di mana berdiri banyak stan makanan, bagian kasir ditulis cashier saja dan terdapat
poster bertuliskan “Food Lounge at Plaza Utara. Calling for Tenants!” Berikut disajikan foto
dari papan nama berbahasa Inggris saja.

7
Gambar 3-5. PN1 (Pantry), PN2 (Thematic Garden), dan PN20 (Pet Park)

Akan tetapi, di samping itu, masih lebih banyak papan nama dengan bahasa Indonesia
saja, di antaranya ‘Toilet Disabilitas’, ‘Parkir Sepeda’, ‘Ruang Pengelola’, ‘Mushola’, dan
‘Wudhu Pria’. Sayangnya penulisan ‘Mushola’ dan ‘Wudhu’ belum tepat sesuai kaidah bahasa
Indonesia yang benar. Menurut KBBI, penulisan yang tepat ialah ‘musala’ dan ‘wudu’. Selain
itu, yang menarik dari penamaan fasilitas-fasilitas di taman bermain anak, ialah digunakannya
majas simile dalam bahasa Indonesia untuk membuat persamaan antara aktivitas permainan itu
dengan hewan yang berhubungan. Di antaranya, ‘Bergantung Seperti Kelelawar’, ‘Merangkak
Seperti Kriket’, dan ‘Memanjat Seperti Berang’. Hal ini bisa menjadi edukasi bagi anak-anak
untuk mengetahui bagaimana suatu hewan bergerak, juga memperkenalkan permainan bahasa.
Namun, penggunaan kata ‘kriket’ yang merujuk kepada hewan, merupakan adopsi dari bahasa
Inggris ‘cricket’, yang sebetulnya sepatutnya ditulis ‘jangkrik’ dan bukan ‘kriket’. Untuk papan
nama yang menggunakan dua bahasa, bahasa Indonesia diutamakan karena di tulis di bagian atas
papan, dan bahasa Inggris juga ditulis dengan benar karena dicetak miring. Salah satunya ialah
frasa “Pusat Informasi” ditulis di atas “Information Center”. Berikut adalah contoh papan nama
dwibahasa yang terdapat di Tebet Eco Park.

Gambar 6. PN4 (Pusat Informasi / Information Center)

8
Pada kategori papan arah dan informasi, mayoritas papan nama didominasi oleh papan
dwibahasa berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Beberapa papan nama dwibahasa merupakan
terjemahan seperti papan bertuliskan ‘Masuk / In’, dan ‘Titik Kumpul / Assembly Point’, dengan
tetap mengutamakan bahasa Indonesia. Akan tetapi kebanyakan papan nama dwibahasa di TEP
merupakan bentuk campur kode. Misalnya ‘Tangga Darurat Viewing Deck’ yang dibawahnya
diterjemahkan setengahnya menjadi ‘Viewing Deck Emergency Stair’. Atau kalimat ‘Scan disini
untuk informasi taman selengkapnya’. Tampak bahwa pengelola TEP tidak pernah menggunakan
padanan kata scan dalam bahasa Indonesia, yakni ‘pindai’. Dalam papan penunjuk arah menuju
zona tertentu, hampir semuanya menggunakan bahasa Inggris karena zona-zona tersebut dinamai
dengan bahasa Inggris, namun ada campuran bahasa Indonesia lantaran selalu terdapat kalimat
‘Scan disini untuk informasi taman selengkapnya’ di setiap papan penunjuk arah. Penulisan
‘disini’ di TEP juga selalu ditulis serangkai, padahal seharusnya dipisah karena ‘di’ dalam kata
tersebut berfungsi sebagai kata depan, sehingga seharusnya ditulis ‘di sini’. Berikut ditampilkan
beberapa papan arah dan informasi di TEP.

Gambar 7-9. PAI25 (Tangga Darurat Viewing Deck), PAI11 (Arah Community
Lawn), dan PAI27 (Peta Taman)

Hal menarik yang ditemukan dalam kategori papan arah dan informasi, ialah
digunakannya bahasa Latin ketika menginformasikan nama ilmiah dari suatu pohon. Bahasa
Latin ditulis di bawah bahasa Indonesia dengan ukuran yang lebih kecil, tetapi tidak dicetak
miring. Papan-papan informasi nama pohon masuk dalam klasifikasi papan multibahasa karena
digunakan bahasa Indonesia, bahasa Latin, dan bahasa Inggris karena terdapat campur kode
dalam kalimat ‘Scan untuk informasi tanaman’. Berikut disajikan papan informasi nama
tumbuhan di TEP.

9
Gambar 10-12. PAI19, PAI20, PAI22 (Papan informasi nama tumbuhan)

Pada kategori larangan dan peringatan, penggunaan bahasa Indonesia lebih mendominasi,
tanpa disertakan terjemahan dalam bahasa Inggris. Misalnya, papan yang cukup banyak muncul
adalah papan bertuliskan ‘Anak-anak wajib dalam pengawasan orang tua saat melintasi area ini’,
‘Dilarang menduduki patung’ dan ‘Batas aman sungai, Dilarang melewati batas ini!’. Di samping
itu, tidak ditemukan larangan dalam bahasa Inggris saja. Dan untuk papan dwibahasa bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa Inggris hanya digunakan sebatas campur kode dan bukan
terjemahan sempurna. Hal ini lantaran beberapa kata berbahasa Inggris lebih familiar dan demi
efektivitas, misalnya seperti pada kalimat ‘Dilarang bermain skate board’, ‘Taman ini selalu
diawasi CCTV’, dan ‘Kapasitas max. 300 orang’.
Tetapi beberapa penggunaan bahasa Inggris digunakan secara tidak bijak padahal
padanan bahasa Indonesianya juga banyak digunakan, yaitu yang tampak pada papan ‘Perhatikan
meter air sungai. Segera evakuasi jika air sudah di warna orange’. Tentu, akan lebih baik jika
pengelola TEP menuliskan ‘oranye’ saja. Beberapa papan larangan juga banyak yang terhalang
tumbuhan seperti daun-daunan, maka akan lebih baik jika pengelola memangkas tumbuhan yang
menghalangi agar informasi tersampaikan kepada pembaca secara lebih jelas. Berikut disajikan
beberapa contoh papan larangan dan peringatan di TEP.

10
Gambar 13-15. LP 11, LP18, LP33 (Papan larangan dan peringatan)

Berikutnya, akan ditinjau sikap bahasa pembuat objek linguistik di Tebet Eco Park terhadap
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia yang mendominasi di Tebet Eco Park (45%)
merupakan suatu cerminan bahwa terdapat usaha kesetiaan bahasa dengan cara mempertahankan
bahasa Indonesia sejauh yang mereka dapat lakukan. Sebetulnya hampir seluruh papan informasi
menggunakan bahasa Indonesia saja, karena memang hanya sedikit sekali papan yang
menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, karena banyak kalimat yang
menyelipkan satu kata bahasa Inggris dalam kalimatnya, peneliti mengkategorikan kalimat
tersebut sebagai kalimat dwibahasa walaupun sekadar campur kode. Dalam hal ini, campur kode
ke bahasa Inggris dapat diasumsikan digunakan demi keefektifan penyampaian informasi karena
kata dalam bahasa Inggris itu lebih familiar dibanding padanannya dalam bahasa Indonesia, atau
bisa juga karena ketidaktahuan pengelola akan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dominasi
bahasa Indonesia juga menunjukkan sikap kebanggaan bahasa karena bahasa Indonesia
merupakan bahasa resmi yang dituturkan oleh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali masyarakat
Tebet, Jakarta Selatan.
Kendati demikian, kesadaran mengenai adanya norma bahasa dalam bahasa Indonesia di
TEP dinilai kurang. Hal ini lantaran masih banyaknya kesalahan penulisan dan ejaan, seperti
kesalahan penggunaan ‘di’ sebagai kata depan dan kata sambung, penggunaan tanda titik di akhir
butir aturan yang tidak konsisten, serta tentunya adanya banyak campur kode ke dalam bahasa
Inggris, namun kata asing tersebut tidak dicetak miring. Salah satu poster informasi yang
menunjukkan penggunaan bahasa Indonesia yang kurang cermat adalah sebagai berikut.

11
Gambar 16. PAI28

Kata ‘tunjukan’ seharusnya ditulis ‘tunjukkan’ karena berasal dari kata dasar ‘tunjuk’ dan
sufiks ‘kan’, penulisan ‘disini’ harusnya dipisah, kemudian menggunakan tanda koma untuk
memisahkan dua klausa, sehingga menjadi ‘Sebelum memasuki lokasi Tebet Eco Park,
tunjukkan bukti pendaftaran di sini.’ Pada poster tersebut juga masih banyak menggunakan
campur kode ke bahasa Inggris tanpa mencetak miring kata asing, yakni ‘online’, ‘scan’,
‘install’, ‘QR code’ dan ‘download’.
Di lain sisi, bahasa Inggris di Tebet Eco Park tidak sering digunakan, tetapi memainkan
peran yang besar karena bahasa Inggris digunakan sebagai nama tempat wisata ini, juga
kedelapan zona yang terdapat di Tebet Eco Park. Jika ditinjau sebagai objek lanskap linguistik
berjenis top-down, tentunya penggunaan bahasa Inggris sebagai nama taman kota di Jakarta
menunjukkan bahwa pemerintah kota tidak patuh terhadap peraturan daerah provinsinya sendiri
dalam hal wajib seharusnya menggunakan bahasa Indonesia untuk nama gedung dan fasilitas
umum di Jakarta.
Namun, pembangunan Tebet Eco Park juga melibatkan pengembang lain yang
merupakan Badan Usaha Milik Daerah yakni PT Astra Land Indonesia. Dengan demikian, ada
keinginan tentunya dari pihak pengembang untuk memasarkan dan mempromosikan TEP
sebagai tempat wisata favorit di Jakarta walaupun tidak ada tiket masuk yang berbayar. Oleh
karena itu, bahasa Inggris digunakan sebagai penamaan taman kota ini beserta zona-zonanya
karena bahasa Inggris dinilai memiliki prestise yang lebih tinggi dan bahasa Inggris juga
merupakan bahasa yang penting digunakan dalam ranah pariwisata karena berhubungan dengan
fungsinya sebagai lingua franca yang menjembatani masyarakat dunia. Selain itu, dapat

12
diasumsikan bahwa tidak disediakannya terjemahan ke dalam bahasa Indonesia adalah karena
tanpa terjemahan bahasa Indonesia pun, pengunjung diasumsikan dapat mengerti artinya.
Pengunjung juga bisa melihat langsung bahwa suatu zona merupakan taman bermain anak tanpa
harus diberi label ‘Taman Bermain Anak’, artinya hal tersebut sudah self-explanatory.
Lebih jauh, penggunaan bahasa Inggris sebagai nama tempat wisata dan kawasannya
akan dapat dipahami jika melihat identitas masyarakat kota Tebet yang mayoritas merupakan
penduduk dari kelas menengah ke atas yang berpendidikan. Dari 73 Pegawai Sipil di Kecamatan
Tebet, 55 merupakan lulusan sarjana, artinya mereka tentu paham bahasa Inggris. Selain itu,
Jakarta Selatan mempunyai jumlah penduduk berkewarganegaraan asing terbanyak di DKI
Jakarta yaitu 1751 jiwa. Banyaknya ekspatriat yang bermukim di Jakarta Selatan disebabkan
faktor lingkungan yang mendukung karena banyaknya pusat perbelanjaan, restoran, sekolah
internasional, dan hunian eksklusif. Bahkan di Tebet terdapat 16 hotel dan penginapan. Hal ini
menunjukkan adanya potensi pariwisata yang besar di Jakarta Selatan yang menyasar kebutuhan
rekreasi para WNA. Penggunaan nama Tebet Eco Park akan sangat memudahkan mereka dalam
memahami nama tempat wisata tersebut, di samping membuat mereka merasa diakui
keberadaannya. Hal ini membuat penggunaan bahasa Inggris di TEP relevan dan inklusif
terhadap penduduk sekitarnya. Dengan demikian, tentu akan lebih baik lagi jika papan informasi
dan larangan di TEP disediakan dalam bentuk dwibahasa agar pengunjung asing juga dapat
mengerti apa yang tertulis dalam papan informasi tersebut dan meningkatkan kepuasan mereka
saat berwisata.

KESIMPULAN
Penelitian lanskap linguistik di Tebet Eco Park ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia
mendominasi objek linguistik di ruang publik di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan. Dari 93 objek
linguistik yang diamati, 42 menggunakan bahasa Indonesia saja, 19 menggunakan bahasa Inggris
saja, 28 menggunakan kombinasi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, serta 4 menggunakan
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Latin.
Sikap positif terhadap bahasa Indonesia tercermin dari kesetiaan penggunaan bahasa
Indonesia, terutama dalam penulisan di papan informasi dan larangan. Pengelola berupaya
menggunakan bahasa Indonesia di seluruh objek linguistik. Akan tetapi, pengelola TEP kurang
sadar akan adanya norma berbahasa Indonesia jika ditinjau dari kesalahan berbahasa yang masih
banyak dijumpai. Selain itu, bahasa Inggris digunakan di TEP sebagai penamaan tempat wisata
dan delapan zona di TEP karena membawa kebanggaan dan prestise. Bukan hanya itu,
penggunaan bahasa Inggris juga relevan dengan identitas masyarakat Jakarta Selatan, khususnya
Tebet, yang berasal dari kelas menengah ke atas, berpendidikan, dan banyaknya jumlah Warga
Negara Asing yang bermukim.
Penampilan papan-papan objek linguistik di Tebet Eco Park sudah menarik dari segi
desain dan warna, dan jelas untuk dibaca. Akan tetapi, saran untuk pengelola Tebet Eco Park
ialah lebih konsisten dalam penggunaan bahasa. Dapat dimulai dengan menjadikan seluruh objek
linguistik di TEP dwibahasa agar penutur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dapat mengerti
pesan yang ingin disampaikan, dan tentunya supaya mencapai visi TEP sebagai ruang terbuka
yang inklusif.

13
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Selatan. (2021, September 24). Kecamatan Tebet Dalam
Angka 2021. https://jakselkota.bps.go.id/publication/2021/09/24/
9c4880cf4000020f9a17aaea/kecamatan-tebet-dalam-angka-2021.html
Carmona, M., De Magalhaes, C., & Hammond, L. (2008). Public Space: The Management
Dimension. New York: Routledge Press.

Cenoz, J. & Gorter, D. (2006) Linguistic landscape and minority languages. The International
Journal of Multilingualism 3: 67-80.

Da Silva, A. M. (2017, September 22). Exploring The Language Choice of The Non-Commercial
Signs in Jakarta: Indonesian Journal of Applied Linguistics, 7(3), 467–475.

DPRD DKI Jakarta. (t.t.). PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME.
https://dprd-dkijakartaprov.go.id/wp-content/uploads/2016/01/PERDA-NOMOR-9-
TAHUN-2014-TTG-PENYELENGGARAAN-REKLAME.pdf

Fishman, J. (1968). Readings in the Sociology of Language. Berlin, Boston: De Gruyter Mouton.
https://doi.org/10.1515/9783110805376

Kridalaksana, H. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lambert, W. E. (1967, April). A Social Psychology of Bilingualism.


https://doi.org/10.1111/j.1540-4560.1967.tb00578.x

Landry, R., & Bourhis, R. Y. (1997). Linguistic Landscape and Ethnolinguistic Vitality: An
Empirical Study. Journal of Language and Social Psychology, 16(1), 23–49.
https://doi.org/10.1177/0261927X970161002

Nash, J. (2016). Is linguistic landscape necessary? Landscape Research. DOI:


10.1080/01426397.2016.1152356

Shohamy, E., & Ghazaleh-Mahajneh, M.A. (2012). Linguistic Landscape as a Tool for
Interpreting Language Vitality: Arabic as a ‘Minority’ Language in Israel.

Tebet Eco Park. (t.t.). Tentang Tebet Eco Park. https://tebetecopark.id/tentang

Trancik, R. (1986) Finding Lost Space; Theories of Urban Design. Van Nostrand Reinhold
Company, New York.

Zaman, S. (2021). Lanskap Linguistik di Kawasan Kota Tua Jakarta: Kajian Sikap Bahasa.
Prosiding Seminar Nasional Linguistik dan Sastra (SEMANTIKS) 2021, 666–673.
https://jurnal.uns.ac.id/prosidingsemantiks/article/view/53085/32948

14

Anda mungkin juga menyukai