Anda di halaman 1dari 6

KBI XII Tahun 2023

Tema : Literasi Bahasa dan Sastra Indonesia


Subtema : Pemartabatan Bahasa Negara di Ruang Publik

Meninjau Martabat Bahasa Indonesia di Ruang-Ruang Publik

Oleh:
Yohan Fikri Mu’tashim, S. Pd (*)
(*)
Anggota Ikatan Duta Bahasa Jawa Timur 2023

Eksistensi bahasa Indonesia di ruang publik menjadi sebuah permasalahan


yang penting untuk disorot kembali. Sebab, masyarakat penutur bahasa Indonesia
dewasa ini cenderung meyakini bahwa bahasa asing, kerap kali dipandang lebih
adiluhung dibandingkan bahasa nasional mereka sendiri. Berbagai markah yang
bertebaran di ruang-ruang publik—baik di ruang nyata maupun maya—seperti
perintah untuk menarik dan mendorong pintu atau biasa ditulis pull dan push di
toko komersial atau pusat-pusat perbelanjaan, imbauan untuk membayar secara
tunai di tempat atau lebih karib disebut cash on dellivery di laman niaga-el, perintah
memindai kode batang atau scan barcode hanyalah segelintir dari paradigma
masyarakat dalam pemakaian bahasa Indonesia menuju arah yang ironis. Berbagai
fenomena kebahasaan di ruang publik tersebut mengesankan bahwa bahasa
Indonesia adalah bahasa yang kurang memadai untuk mengistilahkan sesuatu hal.
Secara sederhana, ruang publik atau yang sering dikenal dengan public
space merupakan sebuah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat luas dalam
rangka memenuhi kebutuhannya (Isharyanto, 2018). Jenis ruang publik pun
terbilang beragam, antara lain pusat-pusat belanja, lembaga pendidikan, kantor
pemerintahan, alun-alun kota, taman, dan lain sebagainya. Dalam konteks
pemartabatan bahasa Indonesia, ruang publik kini menjadi lahan percaturan
kontestasi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
Segala fenomena yang telah dipaparkan di atas setidaknya menunjukkan
bahwa pola pikir masyarakat penutur bahasa Indonesia mulai tersungkup oleh
bahasa asing. Tersungkupnya alam pikiran masyarakat penutur bahasa sebetulnya
tidak hanya dialami oleh bahasa Indonesia. Hal tersebut ditengarai oleh banyak
faktor, terutama adanya situasi kontak yang menjadi keniscayaan sebab gempuran
era disrupsi. Situasi yang demikian ini, jika terus-menerus dibiarkan tanpa adanya
sikap yang tegas untuk menegakkan martabat bahasa Indonesia, bukan tidak
mungkin akan melahirkan marjinalisasi terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.
Di tengah derasnya arus kontak antara bahasa Indonesia dengan bahasa
asing di ruang publik, menegakkan martabat bahasa Indonesia menjadi upaya yang
penting digencarkan. Terutama, di kota-kota kontemporer di mana situasi tutur yang
multilingual relatif lebih masif. Begitu pula di ruang publik maya yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Dalam perkembangannya, kedua wilayah tersebut menjelma
lanskap linguistik di mana situasi kebahasaan yang beragam ditampilkan sekaligus
diperebutkan. Hal tersebut menjadi mungkin, sebab—sebagaimana asumsi dasar
yang disampaikan oleh Gorter (2013), bahwa lanskap linguistik berkontribusi pada
konstruksi konteks sosiolinguistik karena orang memroses informasi visual yang
datang kepada mereka. Pada saat yang sama, pemarjinalan terjadi sebab bahasa di
mana tanda ditulis dapat memengaruhi persepsi status bahasa yang berbeda dan
memengaruhi perilaku linguistik.
Menegakkan kembali martabat bahasa Indonesia di ruang-ruang publik
tentu saja bukanlah sebuah perkara yang semudah mengetuk palu persidangan.
Namun, upaya tersebut juga bukanlah sekadar angan-angan kosong selagi seluruh
elemen masyarakat dari mulai lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh-tokoh masyarakat seperti pemuka
agama, generasi muda, sampai lapisan akar-rumput lainnya turut berkontribusi.
Sebuah upaya memberdayakan masyarakat penutur bahasa Indonesia menjadi
penutur bahasa Indonesia yang bermartabat tidak akan tercapai, manakala tidak
diiringi dengan prinsip kerja sama dan partisipasi yang solid, baik dari pihak yang
menginisiasi maupun pihak yang menjadi sasaran itu sendiri. Jika kesadaran akan
pentingnya memartabatkan bahasa Indonesia di ruang publik dimiliki oleh segenap
elemen masyarakat dari lapisan atas sampai bawah, maka akan terwujud sebuah
gugur-gunung nasional yang dapat dimaknai sebagai sumbangsih demi mencapai
hajat bersama tersebut.
Pada dasarnya, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 juga telah mengatur kedudukan bahasa
Indonesia bersama dengan bendera, lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai
sarana pemersatu bangsa, identitas, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Secara spesifik, penggunaan bahasa Indonesia di ranah publik dirincikan dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 36 ayat 1, 37 ayat 1, 38 ayat 1, dan
39 ayat 1. Pasal 36 ayat 1 menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan
untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau pemukiman,
perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga
pendidikan, organisasi yang didirikan atau yang dimiliki oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia. Selain itu, pada pasal 37 ayat 1 juga
dijelaskan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang
produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di
Indonesia. Selanjutnya, pasal 38 ayat 1 dan 39 ayat 1 menjelaskan bahwa bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum,
spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum, serta berbagai
informasi di media massa. Adapun penggunaan bahasa daerah disusul kemudian
bahasa asing, baru boleh digunakan apabila terdapat konteks yang secara jelas
melatarbelakangi penggunaannya, seperti nilai sejarah, budaya, adat-istiadat,
keagamaan, dan keperluan, tujuan, atau menyangkut sasaran yang sifatnya khusus.
Kendati penggunaan bahasa Indonesia di ruang-ruang publik telah diatur
sedemikian rinci sebagaimana telah dijabarkan di atas, tetapi fakta di lapangan
menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat penutur bahasa Indonesia yang
tidak tertib dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik di ruang publik.
Penjenamaan menggunakan bahasa asing pada berbagai luaran komersial, markah
jalan atau papan-papan reklame dinilai lebih menjual daripada menggunakan
bahasa Indonesia. Ketidaktertiban tersebut adalah indikasi yang kuat tentang
rendahnya kompetensi dan kesadaran masyarakat kita sebagai pengguna bahasa
Indonesia.
Oleh sebab itu, selain pentingnya kesadaran dari segenap elemen
masyarakat untuk mengaktualisasikan pemartabatan bahasa Indonesia di ruang
publik, dibutuhkan juga sebuah ketegasan hukum. Kedua hal tersebut merupakan
dua aspek yang memiliki hubungan resiprokal. Kesadaran akan terbentuk seiring
dengan adanya sebuah ketegasan dalam menegakkan hukum yang telah ditetapkan.
Demikian halnya hukum akan bisa ditegakkan ketika kesadaran masyarakat
berangsur terbentuk.
Sejalan dengan kesadaran dan ketegasan hukum, pemutakhiran dalam
pengindonesiaan istilah asing juga menjadi faktor yang penting untuk disoroti. Kita
tentu tahu, sejauh ini pengindonesiaan berbagai istilah asing sebenarnya sudah
gencar dilakukan. Mulai yang sering kita dengar seperti smartphone menjadi
“telepon pintar” atau gadget menjadi “gawai”, hingga yang asing ditelinga sekaliber
mouse menjadi “tetikus”, effective menjadi “mangkus” dan efficient menjadi
“sangkil” menyiratkan bahwa ikhtiar memberdayagunakan bahasa Indonesia sejauh
ini bukanlah omong-kosong. Kendati demikian, pemakaian berbagai istilah asing
yang sudah ditetapkan padanan katanya sejauh ini masih dijalankan setengah-
setengah. Diakui atau tidak, beberapa padanan kata asing memang kadang terkesan
belum mampu mewakili makna yang dikehendaki. Di sisi yang sama, kita
memanggul tuntutan untuk menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik.
Kata mangkus dan sangkil sebagai padanan kata asing dari effective dan
efficient misalnya, cenderung tidak laku dibandingkan dengan serapan langsung
dari kedua kata asing tersebut, yaitu efektif dan efisien. Pun kita lebih merasa
nyaman menggunakan kata efektivitas atau efisiensi daripada kemangkusan atau
kesangkilan. Barangkali, keduanya lebih mewakili makna yang hendak ditegaskan.
Hal tersebut berkelindan dengan nilai rasa suatu bahasa. Kata “tetikus” sebagai
padanan kata mouse tentu saja tidak akan digunakan oleh sebuah toko yang menjual
piranti komputer sebab secara ekonomis, kata tersebut tak laku dipakai. Sebaliknya,
kata “fail” sebagai padanan kata dari file lebih lazim digunakan sebab padanan kata
tersebut tidak saja pas tetapi juga memenuhi aspek nilai rasa yang dikehendaki.
Maka, menjadi sebuah tanggung jawab bersama untuk memutakhirkan kembali
padanan kata asing yang tidak saja tepat secara leksikal, tetapi juga memenuhi nilai
rasa sehingga masyarakat tidak inkonsisten dalam menggunakannya, terutama di
ruang publik.
Chaer (2009) menyebutkan bahwa pemberian proses morfologi pada
kosakata bahasa asing menunjukkan bahwa sistem morfologis bahasa Indonesia
bersifat fleksibel. Jika dihubungkan dengan kesadaran dan ketegasan hukum
pemartabatan bahasa Indonesia di ruang publik, fleksibelitas tersebut dapat
dipandang sebagai sebuah keunggulan di satu sisi, sekaligus juga kelemahan di sisi
yang lain. Membentuk kesadaran masyarakat melalui penegakan hukum
perundang-undangan yang mengatur penggunaan bahasa di ruang publik berpotensi
terhambat sebab adanya fleksibelitas sistem morfologis tersebut. Hal ini semakin
runyam jika melihat berbagai lema baru dapat dimaksukkan dengan mudahnya ke
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Padahal, KBBI sejauh ini
merupakan rujukan yang paling karib di mata masyarakat kita. Oleh sebab itu,
KBBI idealnya tidak sewenang-wenang memasukkan lema baru tanpa
pertimbangan yang memadai, terutama bila menyangkut lema yang berpotensi
menggoyahkan eksistensi bahasa Indonesia di ruang publik.
Terakhir, dalam konteks pemartabatan bahasa Indonesia di ruang publik,
agaknya kita perlu mengutip gagasan yang dinyatakan oleh Sumarsono (2017),
bahwa pergeseran dan pemertahanan bahasa bagaikan dua sisi keping mata uang;
sebuah bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeser oleh bahasa.
Menurut Sumarsono, bahasa yang tergeser adalah bahasa yang tidak kuasa
memertahankan dirinya. Namun, ada yang luput dari pernyataan tersebut. Bahwa
bagaimanapun pergeseran bahasa adalah kenicayaan, tetapi kita tetap harus
meyakini bahwa segala yang kita sebut sebagai kepastian sejatinya belum
sepenuhnya terjadi. Bahwa di dalam sebuah kepastian, senantiasa ada variabel-
variabel yang mungkin.
Bertahan atau bergesernya sebuah bahasa bergantung kepada masyarakat
penuturnya. Demikian halnya dengan pemartabatan bahasa Indonesia di tengah
kondisi keanekabahasaannya. Oleh sebab itu, sinergitas setiap elemen masyarakat
untuk memertegas hukum tentang penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik
demi membentuk kesadaran masyarakat penutur bahasa Indonesia, serta upaya
untuk terus memutakhirkan pengindonesiaan berbagai kosakata asing menjadi
upaya yang penting untuk terus digaungkan ke depannya. Ketika kesadaran
berangsur terbentuk sebab terus ditempa dengan ketegasan hukum, maka
konsistensi dalam menggunakan berbagai padanan kata asing pun menjadi
mungkin. Dengan begitu, hajat bersama untuk memartabatkan bahasa Indonesia di
ruang publik tidak lagi jauh panggang dari api.

Daftar Rujukan
Chaer, A. (2009). Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Gorter, D. (2013). Linguistic Landscapes in a Multilingual World. Annual Review
of Applied Linguistics, 33, 190-212.
Sumarsono. (2017). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Anda mungkin juga menyukai