Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi Berat lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang mempunyai ukuran tubuh
kecil pada saat dilahirkan. Becker, dkk. (1991) dan Cifuentes, dkk. (2001)
mengkategorikan BBLR sebagai bayi yang dilahirkan dengan berat badan 501
gram sampai 2500 gram. Dan Sedangkan di Indonesia BBLR adalah semua bayi
yang lahir dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram.

BBLR seringkali disertai dengan immaturitas pada organ tubuh. Imaturitas


organ yang dapat ditemukan pada BBLR antara lain imaturitas organ pernapasan,
kardiovaskuler, perkemihan, hematologi, metabolik, dan imun tubuh (Perlman,
2001). Imaturitas pada semua organ tubuh mengakibatkan kesulitan bagi BBLR
untuk beradaptasi dengan lingkungan di luar rahim ibu dan rentan terhadap stress
yang merupakan faktor resiko kesakitan dan kematian

Data kematian BBLR secara internasional sangat bervariasi. Negara Cuba


mempunyai angka kematian BBLR yang sangat tinggi dibandingkan dengan
negara lainnya baik yang terjadi pada periode neonatal, bayi, dan kanak- kanak.
Kematian pada BBLR ini disebabkan karena prematuritas dan retardasi
pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim. Sedangkan peneliti di California
melaporkan bahwa kematian BBLR pada masa 28 hari dan sesudah 28 hari
kelahiran yang masih dirawat sejak tahun 1990 sampai dengan 2000 di rumah
sakit yang mempunyai fasilitas Neonatal Intensive Care Unit (NICU) adalah
sekitar 22,8% dari seluruh kematian yang terjadi di rumah sakit (Phibbs, dkk.
2007). Menurut laporan dari United Nation Childrens Fund (UNICEF) pada
tahun 2007, BBLR menyumbang 9% (404.550) dari total kelahiran hidup per
tahun (4.495.000) di Indonesia. Angka kematian neonatal di Indonesia adalah
2

18% dari total kematian neonatal yang terjadi per tahun termasuk BBLR.
Namun belum diketahui secara pasti berapa angka kematian BBLR per tahun.

Menurut profil dinas kesehatan provinsi Riau angka kejadian BBLR pada
tahun 2015 tercatat sebesar 257 kasus BBLR dan 722 BBLR dari 1680 persalinan
(RSUD Arifin Ahcmad ,2015). Data yang didapat dari RSAB Panam diruang
Perinatologi sepanjang tahun 2019 didapatkan prematuritas disertai berat badan
lahir rendah adalah penyebab kematian kedua terbanyak setelah asfiksia yaitu
mencapai 62,5% sementara aspiksia 0,75% akibat lahir akibat lahir ibu yang
mengalami ketuban pecah dini dan Caesar (Rekam medis RS Awalbros Panam).

Semua kondisi BBLR tidak stabil secara fisiologis dan memiliki keterbatasan
kemampuan pengaturan diri dalam menghadapi stimulus yang berlebihan dari
lingkungan (Cattlet & Holditch-Davis, 1990; Liaw, 2000). Karena keterbatasan di
atas, BBLR memiliki faktor resiko tinggi menderita penyakit komplikasi seperti
penyakit paru kronis, henti napas, bradikadi, transient hypothyroxinemia,
hiperbilirubinemia, kejang, distress pernapasan dan hipoglikemia (Perlman,
2001). Semua penyakit komplikasi di atas menyebabkan kerusakan langsung pada
otak. Sistem saraf pusat yang imatur dan kerusakan langsung pada otak pada
periode neonatus mengakibatkan neonatus dengan riwayat BBLR mengalami
masalah perkembangan, seperti gangguan daya ingat, pada kehidupan yang akan
datang (Briscoe, Gathercole, & Marlow, 2001). Apabila BBLR tersebut tidak
mendapatkan pelayanan keperawatan yang tepat, maka kondisi kesehatan BBLR
akan mengalami perburukan yang berujung pada kematian

Akibat immaturitas sistem organ tubuh, BBLR membutuhkan ruang


perawatan yang khusus yang disebut NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Di
NICU, BBLR dirawat dalam inkubator untuk mempertahankan suhu tubuh
normal dan mencegah terjadinya hipotermi. Selain inkubator, NICU juga
dilengkapi dengan fasilitas perawatan yang canggih lain seperti alat monitor
3

pernapasan, denyut nadi, saturasi oksigen, alat bantu pernapasan, dan infusion
pump. Semua alat-alat tersebut ditujukan untuk mempertahankan kondisi
kesehatan dan membantu kelangsungan hidup BBLR. Keberhasilan pemanfaatan
NICU dan fasilitasnya selama lebih dari dua dekade terakhir telah memberikan
kontribusi positif terhadap pengurangan kematian dan riwayat kesakitan pada
BBLR yang pernah dirawat diruang rawat tersebut. Fasilitas NICU yang lengkap
terutama di negara maju telah berhasil menurunkan angka kematian dan kesakitan
pada BBLR sekaligus menimbulkan isu-isu kesehatan lain dikemudian hari.

NICU yang dilengkapi berbagai fasilitas ternyata masih sangat kontras


dengan situasi lingkungan intrauterin yang redup, tenang dan hangat dan
memberikan sentuhan-sentuhan yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Selain itu,
perilaku perawatan di NICU tidak menunjang proses adaptasi dan maturasi dari
organ sistem tubuh. Kedua kondisi ini mengakibatkan cedera otak yang dapat
mengakibatkan ketidakmampuan BBLR berespon sesuai dengan rangsangan yang
berasal dari lingkungan. Ketidakmampuan berespon dengan tepat tersebut akan
menimbulkan respon-respon fisiologis yang negatif seperti penurunan saturasi
oksigen, hipoksia, bradikardi yang berulang (Shogan & Shcumann, 1993).
Berkembangnya respon-respon negatif ini akan memperberat kondisi fisiologis
BBLR yang belum matur tersebut.

Ketersediaan developmental care keperawatan yang ditujukan untuk penataan


pemberian asuhan keperawatan suportif dapat menghasilkan pengaruh positif
terhadap perkembangan dan perbaikan status kesehatan BBLR yang dirawat di
rumah sakit terutama di NICU (Paneth, dkk. 1982; Stainton, dkk. 2001;
Vandenberg, 1997). Pengelolaan lingkungan development care tersebut meliputi
pemberian penutup inkubator untuk meminimalkan pencahayaan, pengaturan
posisi fleksi untuk mendukung regulasi diri dan mempertahankan normalitas
batang tubuh, pemberian nesting yang bertujuan mengatur posisi nyaman bayi,
serta menampung pergerakan yang berlebihan dan. Selain ini, beberapa bentuk
4

intervensi lainnya yang dilakukan dalam development care adalah minimalisasi


tindakan membuka dan menutup inkubator seperlunya saja, mengadakan jam
tenang, fasilitasi ikatan orang tua-anak berupa kunjungan orangtua dan perawatan
metode kanguru (Lissauer & fanoroff, 2015).

Nesting adalah salah satu bentuk developmental care yang coba di terapkan
di beberapa negara maju untuk mendukung pertumbuhan bayi prematur. Di
Indonesia memang penggunaannya belum menyeluruh di semua daerah, hanya
hasil pengematan di beberapa Rumah Sakit di Indonesia sudah diterapkan
dengan harapan bahwa nesting ini akan membantu pertumbuhan fisiologis
dan perilaku bayi prematur .

Nesting adalah suatu alat yang digunakan di ruang perinatologi terbuat dari
bahan phlanyl dengan panjang sekitar 121cm–132cm, dapatdisesuaikan dengan
panjang badan bayi yang diberikan pada bayi prematur/BBLR. Nesting ditujukan
untuk meminimalkan pergerakan neonatus sebagai salah satu bentuk konversi
energi yang merupakan salah satu bentuk intervensi keperawatan (Wong, D.L.,
Eaton, M, H., Wilson, D., Winkelstein, L, M & Schwartz, P.2019). Nesting ini
berbentuk oval dan terbuat dari kain (bisa menggunakan gulungan selimut)
dan diletakan di dalam inkubator (Ferrari et all, 2017)

Menurut penelitian Horner, (2010) mengatakan bahwa bayi menerima


tindakan developmental care di ruang NICU akan cepat pulih dan memiliki hasil
yang lebih baik secara jangka pendek maupun jangka panjang jika dibandingkan
dengan hasil bayi prematur yang tidak mendapatkan tindakan developmental care.
Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk beberapa bayi, posisi yang
baikdapat membantu perkembangan bayi, diantaranya positioningdapat
melindungi kulit bayi , meningkatkan kualitas tidur, membantu bayi
menstabilkan detak jantung dan pernapasan, menghemat energi , membantu
bayi dalam belajar koordinasigerakan tanganke mulut, membantu bayi merasa
5

lebih aman dan mendorong bayi untuk rileks (BLISS, 2016). Indrian Sari, A
tahun 2011 melakukan studi penelitian tentang pengaruh development care
terhadap fungsi dan prilaku tidur terjaga bayi di RS Fatmawati Jakarta, dari hasil
penelitian yang dilakukan pada 15 sampel BBLR didapatkan ada pengaruh
signifikan dengan penerapan developmental care terhadap prilaku terjaga dan
tidur bayi tenang serta penurunan denyut nadi.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

apakah ada pengaruh penggunaan Nesting terhadap perubahan fungsi fisiologis

dan perilaku Bayi BBLR yang dirawat dalam inkubator diruang

Perinatologi/NICU RS Awalbros Panam?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh penggunaan Nesting terhadap perubahan fungsi

fisiologis dan perilaku Bayi BBLR yang dirawat dalam inkubator di ruang

perinatologi/NICU RSAB Panam

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui penggunaan Nesting terhadap BBLR

b. Mengetahui perubahan fungsi fisiologis (pernafasan, denyut nadi dan

saturasi oksigen) bayi sebelum dan sesudah menggunakan nesting


6

c. Mengetahui perubahan perilaku bayi sebelum dan sesudah menggunakan

nesting

d. Mengetahui pengaruh penggunaan Nesting terhadap perubahan fungsi

fisiologis dan perilaku Bayi BBLR yang dirawat dalam inkubator diruang

perinatologi/NICU Panam

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Ruangan Perinatologi

Hasil penelitian ini dapat digunakan dan diaplikasikan kepada bayi BBLR

yang dirawat dalam inkubator diruang perinatology/ NICU Panam

2. Manfaat Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman RS dalam

memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas dan mendukung

pertumbuhan dan perkembangan bayi serta penggunaan Nesting sebagai salah

satu standar operasional prosedur tindakan diruang perinatologi.


7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. NESTING

1. Pengertian Nesting

Nesting berasal dari kata nest yang berarti sarang. Filosofi ini
diambil dari sangkar burung yang dipersiapkan induk burung bagi
anak-anaknya yang baru lahir, ini dimaksudkan agar anak burung
tersebut tidak jatuh dan induk mudah mengawasinya sehingga posisi
anak burung tetap tidak berubah (Bayuningsih, 2011).

Nesting adalah suatu alat yang digunakan diruang


NICU/Perinatologi yang terbuat dari bahan phlanyl dengan panjang
sekitar 121 cm-132 cm, dapat disesuaikan dengan panjang badan bayi
yang diberikan pada bayi prematur atau BBLR. Nesting ditujukan
untuk meminimalkan pergerakan pada neonatus sebagai salah satu
bentuk konservasi energi merupakan salah satu bentuk intervensi
keperawatan (Bayuningsih, 2011). Neonatus yang diberikan nesting
akan tetap pada posisi fleksi sehingga mirip dengan posisi seperti
didalam rahim ibu. Posisi terbaik pada bayi BBLR adalah dengan
melakukan posisi fleksi karena posisi bayi mempengaruhi banyaknya
energi yang dikeluarkan oleh tubuh, diharapkan dengan posisi ini bayi
tidak banyak mengeluarkan energi yang sebenarnya masih sangat
dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Pemberian
nesting atau sarang untuk menampung pergerakan yang berlebihan dan
memberi bayi tempat yang nyaman, pengaturan posisi fleksi untuk
mempertahankan normalitas batang tubuh dan mendukung regulasi
dini (Kenner & McGrath, 2004).
8

Pemasangan nesting atau sarang harus mengelilingi bayi, dan


posisi bayi fleksi, sesuai dengan perilaku bayi berat lahir rendah atau
prematur yang cenderung pasif dan pemalas (Indriansari, 2011).
Ekstermitas yang tetap cenderung ekstensi dan tidak berubah sesuai
pemosisian merupakan perilaku yang dapat diamati pada bayi berat
lahir rendah atau prematur (Wong et all., 2009), ini tentu berbeda
sengan bayi yang cukup bulan yang menunjukan perilaku normal
fleksi dan aktif, sehingga nesting merupakan salah satu asuhan
keperawatan yang dapat memfasilitasi atau mempertahankan bayi
dalam posisi normal fleksi. Posisi fleksi merupakan posisi terapeutik
karena posisi ini bermanfaat dalam mempertahankan normalitas batang
tubuh dan mendukung regulasi dini karena melalui posisi ini bayi
difasilitasi untuk meningkatkan aktivitas tangan kemulut dan tangan
mengenggam (Kenner & McGrath, 2004).

Gambaran bahwa bayi mampu mengorganisir perilakunya dan


menunjukan kesiapan bayi untuk berinteraksi dengan lingkungan
terlihat dari adanya kemampuan regulasi diri (Wong et al., 2009).
Menurut Bobak (2005) bahwa sikap fleksi pada bayi baru lahir diduga
untuk mengurangi pemajanan permukaan tubuh pada suhu lingkungan
sehingga posisi ini berfungsi sebagai pengaman untuk mencegah
kehilangan panas, karena bayi baru lahir berisiko tinggi untuk
mengalami kehilangan panas, tubuh bayi baru lahir memiliki rasio
permukaan tubuh besar terhadap berat badan.

2. Tujuan Penggunaan Nesting


Untuk meminimalkan pergerakan bayi, memberikan rasa
nyaman, dan meminimalkan stress.
9

3. Manfaat penggunaan Nesting

Manfaat penggunaan nesting pada neonatus diantaranya adalah:

a. Memfasilitasi perkembangan neonatus


b. Memfasilitasi pola posisi hand to hand dan hand to mouth
pada neonatus sehingga posisi fleksi tetap terjaga
c. Mencegah komplikasi yang disebabkan karena pengaruh
perubahan posisi akibat gaya gravitasi
d. Mendorong perkembangan normal neonatus
e. Dapat mengatur posisi neonatus
f. Mempercepat masa rawat neonatus

4. Kriteria
a. Neonatus (usia 0-28 hari)
b. Prematur atau BBLR

5. Cara membuat nesting

Buat gulungan dari 3 bedongan kemudian ikat kedua ujungnya


sehingga didapatkan 2 gulungan bedongan dari 6 bedongan yang
dipersiapkan. Gunakan selotip untuk merekatkan sisi gulungan
bedongan, 1 gulungan bedong tersebut dibuat setengah lingkaran, jadi
dari 2 gulungan bedongan tersebut terlihat seperti lingkaran,
kemudian bayi diletakkan didalam nest dengan posisi fleksi diatas
kaki dibuat seperti penyangga dengan menggunakan kain bedongan
10

B. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


11

1. Pengertian BBLR

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat
badannya saat lahir 2500 gram atau kurang tanpa memperhatikan usia
kehamilan (Syafrudin & Hamidah, 2009). Acuan lain dalam pengukuran
BBLR juga terdapat pada Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat
(PWS) gizi. Pedoman tersebut mengatakan bayi berat lahir rendah
(BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram
diukur pada saat lahir atau sampai hari ke tujuh setelah lahir (Triana,
2015).

2. Etiologi
Berikut adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan bayi BBLR
secara umum yaitu sebagai berikut :

a. Faktor Ibu
1) Penyakit

a) Hipertensi: Dapat mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan


janin dalam kandungan atau IUGR (Intra Uterin Growth
Retardation ) dan kelahiran mati.Hal ini disebabkan karena
hipertensi pada ibu akan menyebabkan terjadinya perkapuran di
dalam plasenta,sedangkan bayi memperoleh makanan dan
oksigen yang masuk ke janin berkurang.

b) pre eklamsi : dapat mengakibatkan IUGR dan kelahiran


mati,karena pada preeklamsi/eklamsi akan terjadi perkapuran
pada plasenta ( proses sama dengan hipertensi )
12

c) Anemia dan Gangguan Gizi :dapat menyebabkan IUGR


sehingga bayi lahir dengan BBLR ( Syafrudin,M.Kes, 2009 : h.
242 ).

d) TORCH: dapat menyebabkan kejadian BBLR

 Toxoplasma : dapat menyebabkan bayi mengalami


anemia yang menjadikan IUGR kemudian terjadinya
BBLR.

 Rubella : dapat menyebabkan bayi mengalami kematian


janin dalam kandungan atau IUFD (Intra Uterin Fetal
Death ), IUGR,gangguan berat pada organ
jantung,mata,telinga dan lain –lain.

 Cytomegalovirus : dapat menyebabkan bayi mengalami


IUFD,apnea kejang,ikterus,kelainan saraf pusat.

 Herpes Simplek : menyebabkan abortus,persalinan


premature ( Sarwono, 2007 : h. 552 ).

 Siphilis : dapat menyebabkan bayi mengalami


IUFD,hepatitis neonatal,ikterus,kelainan susunan saraf
pusat,persalinan premature ( Sarwono, 2007 : h. 551 ).

 HIV/AIDS :dapat mengalami BBLR karena melalui


penularan transplasenta antibody HIV terjadi selama
kehamilan,dengan antibody yang didapat secara pasif pad
bayi baru lahir turun ke kadar yang tidak dapat dideteksi
pada usia 15 bulan dan mengakibatkan BB ibu juga
turun drastic sehingga nutrisi yang ke janin juga
berkurang ( Linda,2008 :h 436 ).
13

2) Ibu

a) Angka kejadian prematuritas tinggi adalah kehamilan pada usia <


20 tahun atau lebih dari 35 tahun

b) Kehamilan ganda ( multi gravida ) dapat menyebabkan BBLR


karena pada kehamilan ganda kenaikan berat badan lebih kecil,
mungkin karena regangan yang berlebihan menyebabkan
peredaran darah plasenta mengurang sehingga suplei darah ke
janin kurang ( Sarwono, 2007 : h. 390 – 391 ).

c) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek ( kurang dari 1


tahun )

d) Ketuban pecah dini dapat menyebabkan terjadinya BBLR


dikarenakan apabila ketuban pecah pada umur kehamilan yang
masih preterm yang diharuskan untuk diakhiri persalinannya
kemungkinan besar dapat melahirkan bayi dengan BBLR
( Sarwono, 2008 : h. 678 ).

e) Polihidramnion dapat menyebabkan BBLR karena apabila terjadi


pada permulaan kehamilan akan menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya
( Sarwono, 2007 : h. 775 )

C. Adaptasi Fisiologis Bayi Prematur

Bayi prematur (preterm) adalah bayi yang lahir sebelum akhir usia
gestasi 37 minggu, tanpa memperhitungkan berat badan lahir (Wong, 2009).
Sebagian bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram adalah bayi
14

prematur. Ada juga yang mendefinisikan bayi premature adalah bayi yang
lahir sebelu minggu ke 37, dihitung dari mulai hari pertama menstruasi
terakhir, dianggap sebagai periode kehamilan memendek. (Nelson, 2000).

Saat inspeksi, bayi prematur sangat kecil dan tampak kurus (dismatur,
kecil untuk masa kehamilan, asymetris, malnutrisi fetal) dikarenakan
memiliki sedikit deposit lemak subkutan atau bahkan dalam beberapa kasus
prematuritas sangat kurang. Kepala bayi prematur secara proporsional
tampak lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya. Warna kulit bayi merah
muda terang dan terkadang transparan, hal ini tergantung pada derajat
imaturitasnya. Kulit halus dan mengkilat dengan pembuluh darah kecil yang
tampak di bawah epidermis yang tipis. Lanugo sangat banyak di seluruh
tubuh dengan penyebaran yang tidak merata. Kartilago telinga lunak dan
dapat dilipat. Garis minimal pada telapak tangan dan telapak kaki sehingga
tampak halus. Tulang tengkorak dan rusuk terasa lunak, dan mata masih
tertutup palpebra edema. Pada bayi laki-laki memiliki sedikit rugae pada
skrotum dan testisnya belum turun (desenden testicular negatif). Sedangkan
pada bayi perempuan tampak labia dan klitoris masih menonjol (Wong et al,
2009).

Selama masa janin, plasenta melaksanakan tugas fisiologis penting


berupa pertukaran gas, nutrisi, pembuangan produk sisa, dan aspek sirkulasi
tambahan. Dalam beberapa menit setelah lahir, bantuan plasenta ini terhenti
sehingga sistem kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, ginjal, dan
metabolik bayi itu harus berfungsi secara independen. Sehingga bayi perlu
beradaptasi dengan lingkungan ekstrauterin. Sebagian besar kematian bayi
terjadi dalam masa neonatus (28 hari pertama) (Bernal et al, 1993) dan hal
ini berkaitan dengan tidak memadainya perkembangan fungsi fisiologis
neonatus.
15

D. Perilaku Bayi BBLR


Yang dianggap perilaku Bayi atau “newborn behavior” adalah perilaku
yang dapat diamati oleh orangtua atau pemeriksa yang bermakna dalami
fungsi integritas syaraf bayi dan hubungan terhadap sistem bayi-orangtua
(Brazelton, 2004).

Status perilaku bayi dapat diukur dengan menggunakan berbagai cara.


Salah satunya adalah dengan menggunakan Anderson Behavioral State
Scale (ABSS) yang digunakan pertama kali oleh Parmelee dan Stern pada
tahun 1972 (Gill, dkk, 1988). Skala perilaku ini terdiri dari 12 rangkaian
perilaku bayi yaitu menangis keras (12), menangis (11), meringis (10),
bangun, sangat gelisah (9), bangun, tenang (8), bangun, gelisah (7), ngantuk
(6), tenang dengan beberapa gerakan tubuh (5), tidur sangat gelisah (4),
tidur, gelisah (3), tidur, tenang (2), tidur sangat tenang (1). Cara
penggunaan alat ukur ini adalah dengan mengidentifikasi perilaku bayi
dengan skor tertinggi dalam rentang waktu 30 menit. Ke-12 karakteristik
perilaku tersebut mencerminkan aktivitas yang berhubungan dengan
penggunaan energi pada bayi BBLR.

E. Nesting Sebagai Aspek Penerapan Developmental Care


Developmental care merupakan asuhan yang memfasilitasi
perkembangan bayi melalui pengelolaan lingkungan perawatan dan
observasi perilaku sehingga bayi mendapatkan stimulus lingkungan yang
sesuai untuk menunjang stabilisasi fisiologis tubuh dan penurunan stress
(Mc Grat et all 2002). Tujuan dari developmental care adalah
meminimalisasi potensi terjadinya komplikasi jangka pendek dan jangka
panjang sebagai akibat hospitalisasi di ruang perawatan intensive. Metode
16

nesting atau sarang yang mengelilingi bayi dan posisi fleksi merupakan
salah satu aspek dari pengelolaan lingkungan perawatan dalam
developmental care. Perilaku bayi berat badan rendah dan premature
cenderung pasif dan malas.

Perilaku ini dapat diamati dari ekstermitas yang tetap cenderung ektensi

dan tidak berubah sesuai dengan pemosisian (Wong, et all, 2009).

Perilaku ini ternyata berbeda dengan bayi yang lahir cukup bulan yang

menunjukan perilaku normal fleksi dan aktif. Oleh karenanya, nesting

sebagai salah satu aspek dalam developmental care , merupakan asuhan

yang memfasilitasi atau mempertahankan bayi berada dalam posisi

normal fleksi. Hal ini dikarenakan nesting dapat menopang tubuh bayi

dan juga sekaligus member bayi tempat yang nyaman (Lissauer &

Fanaroff, 2009). Posisi fleksi sendiri merupakan posisi terapeutik karena

posisi ini bermanfaat dalam mempertahankan normalitas batang tubuh

(Kenner & McGrath, 2004) dan mendukung regulasi diri karena melalui

posisi fleksi, bayi difasilitasi untuk meningkatkan aktifitas tangan ke

mulut dan tangan mengenggam (Kenner & McGrath, 2004; Wong et all,

2009). Adanya kemampuan regulasi diri ini merupakan cerminan bahwa

bayi mampu mengorganisir perilakunya dan menunjukan kesiapan bayi

untuk berinteraksi dengan lingkungan (Wong, et all, 2009; Lissauer &

Fanaroff, 2009). Penggunaan nesting ini bertujuan untuk menstabilkan

postur tubuh bayi. Ketika berbaring di nesting, bayi lebih sering


17

menampilkan postur fleksi dengan adduksi bahu dan siku, pinggul dan

lutut fleksi, dan kepala berada di garis tengah. Nesting juga dikaitkan

dengan peningkatan gerakan pergelangan tangan yang elegan dan

gerakan menuju garis tengah serta mengurangi gerakan tiba-tiba dari

anggota gerak badan bayi (Fferrari et all, 2007). Strategi pengelolaan

lingkungan yang dapat dilakukan untuk menurunkan stress sebagai

akibat stimulus lingkungan perawatan yang berlebihan ini salah satunya

adalah dengan asuhan perkembangan (development care). Stimulus

lingkungan yang adekuat menyebabkan terjadinya peningkatan stabilitas

fisiologis tubuh dan penurunan stress (Coughlin et al, 2009; Lissauer &

Fanaroff, 2009)

F. Strategi developmental care

Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam upaya mengelola

lingkungan perawatan dalam developmental care yaitu:

1. Minimal handling

Minimal handling dilakukan untuk memberikan waktu istirahat

dan tidur bagi bayi tanpa adanya gangguan dari aktivitas pengobatan,

perawatan, dan pemeriksaan lainnya dengan cara sedikit mungkin

memberikan penanganan pada bayi atau memungkinkan penanganan

bayi untuk beberapa tindakan dalam satu waktu. Adapun contoh


18

tindakan minimal handling ini adalah tindakan reposisi dan

pengaturan jadwal pemberian obat dalam periode waktu yang

besamaan, minimalisasi tindakan membuka dan menutup inkubator

untuk hal yang tidak perlu, dan pemberian jam tenang (Maguire et al.,

2008; Bredmeyer,2008; Hockenberry & Wilson., 2009).

2. Fasilitas ikatan atau interaksi orang tua - anak

Fasilitas ikatan atau interaksi orang tua anak juga merupakan

bagian dari pengelolaan lingkungan perawatan intensif ini. Fasilitas

ikatan atau interaksi orang tua-anak dapat berupa kunjungan orang tua

yang tidak dibatasi dan skin to skin contact atau yang dikenal juga

dengan perawatan metode kanguru, dimana keduanya sangat penting

untuk mendukung proses adaptasi bayi dan orang tua terhadap

kehadiran dan penerimaan satu sama lain (Maguire et al., 2008;

Hockenberry & Wilson., 2009).

3. Pengaturan posisi dengan pemasangan nesting.

Pemasangan nesting atau sarang yang mengelilingi bayi dan

posisi fleksi juga merupakan aspek lain dari pengelolaan lingkungan

perawatan dalam development care. Nesting adalah suatu alat yang

digunakan pada bayi prematur atau BBLR yang terbuat


19

dari bahan phlanyl dengan panjang 121-132 centimeter sesuai

panjang badan bayi untuk meminimalkan pergerakan bayi (Priya &

Biljlani, 2005). Seperti diketahui bahwa perilaku bayi BBLR dan

premature cenderung pasif dan malas. Perilaku ini dapat diamati dari

ekstremitas yang tetap cenderung ekstensi dan tidak berubah sesuai

dengan bayi yang lahir cukup bulan yang menunjukkan perilaku

normal fleksi dan aktif.

Nesting sebagai salah satu strategi dalam development care,

merupakan asuhan yang memfasilitasi atau mempertahankan bayi

berada dalam posisi normal fleksi. Nesting dapat menopang tubuh

bayi dan juga sekaligus memberi bayi tempat yang nyaman (Lissauer

& Fanaroff, 2009). Posisi fleksi sendiri merupakan posisi terapeutik

karena posisi ini bermanfaat dalam mendukung regulasi diri karena

melalui posisi ini, bayi difasilitasi untuk meningkatkan aktivitas

tangan ke mulut dan tangan menggenggam (Hockenberry & Wilson.,

2009).

Kemampuan regulasi diri ini merupakan cerminan bahwa bayi

mampu mengorginisir perilakunya dan menunjukkan kesiapan bayi

untuk berinteraksi dengan lingkungan (Hockenberry & Wilson.,

2009.; Lissauer & Fanaroff, 2009). Posisi fleksi bayi baru lahir

diduga berfungsi sebagai sistem pengaman untuk mencegah


20

kehilangan panas karena sikap ini mengurangi pemajangan

permukaan tubuh pada suhu lingkungan (Bobak, dkk. 2005). Bayi

baru lahir memiliki risiko permukaan tubuh besar terhadap berat

badan sehingga berisiko tinggi untuk mengalami kehilangan panas.

4. Tutup telinga

Kebisingan lingkungan perawatan berkontribusi terhadap

peningkatan kadar hormone stress pada bayi BBLR. Strategi

development care untuk menurunkan stress pada bayi yang bersumber

dari kebisingan ruang perawatan ini adalah pemasangan penutup

telinga

5. Pengaturan pencahayaan

Pengaturan pencahayaan juga menjadi bagian penting dari

pengelolaan lingkungan perawatan dalam development care.

Pengelolaan lingkungan perawatan terkait pencahayaan ini adalah

dengan memberikan penutup incubator dan menurunkan pencahayaan

ruang perawatan (Hockenberry & Wilson., 2009).

G. Pengaruh developmental care terhadap pernafasan, saturasi oksigen

dan denyut nadi bayi BBLR

Stimulasi berlebihan dari ruang perawatan mengakibatkan stress pada

bayi. Manifestasi stres pada bayi dapat berupa stress autonomic,


21

perubahan keadaan umum dan perubahan tingkah laku. Stress autonomic

dapat dilihat dari perubahan warna kulit (pucat, berbercak, sianosis),

tremor, terkejut, denyut jantung cepat tidak teratur, terdapat jeda respirasi,

gasping dan takipneu (Hockenberry & Wilson, 2007).

Dua sistem tubuh yang berperan dalam kondisi stress yaitu system saraf

otonom dan hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Respon sistem

saraf otonom terhadap stress dapat berupa perubahan pada pola

pernafasan, denyut nadi, perfusi jaringan, keseimbangan sistem saraf, dan

fungsi sistem pencernaan.

Stress dan nyeri dapat mengaktifkan HPA axis, mengakibatkn peningkatan

sekresi kortisol. Bayi yang mengalami prosedur perawatan yang

menyakitkan mengalami peningkatan hormon kortisol dan bahkan sampai

saat pulang dari rumah sakit (Mitchell, et al, 2012). Peningkatan kadar

hormon kortisol pada bayi BBLR berhubungan dengan kejadian kesakitan

dan kematian pada bayi BBLR (Bowen, 2009).

Pencahayaan yang berlebihan merupakan salah satu sumber stress pada

bayi yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan fisiologis pada bayi.

Perubahan denyut nadi, saturasi oksigen, tekanan darah dan pergerakan

tubuh merupakan reaksi neonatus terhadap stimulasi berlebihan dari ruang

perawatan (Als, 1982; Lotas, 1992; Gibbins et al, 2008). Bayuningsih


22

(2011) meneliti tentang pengaruh developmental care terhadap saturasi

oksigen dan denyut nadi pada bayi prematur, intervensi developmental

care yang diberikan yaitu pemberian posisi prone dan pemakaian nesting,

dengan hasil didapatkan pengaruh bermakna terhadap saturasi oksigen

namun tidak didapatkan pengaruh signifikan terhadap denyut nadi.

Deswita (2012) meneliti pengaruh salah satu strategi developmental care

yaitu perawatan metode kangguru terhadap suhu tubuh, saturasi oksigen

dan denyut jantung dimana didapatkan pengaruh bermakna perawatan

metode kangguru terhadap perubahan fisiologis bayi BBLR, diantaranya

peningkatan suhu tubuh kearah normal, denyut jantung kearah normal dan

saturasi oksigen meningkat kearah normal.

Indriansari (2011) meneliti pengaruh developmental care terhadap fungsi

fisiologis bayi BBLR dengan hasil terdapat pengaruh bermakna

developmental care terhadap perilaku tidur terjaga bayi BBLR, dimana

terjadi peningkatan tidur tenang, penurunan tidur aktif, penurunan denyut

jantung, tetapi tidak ada perbedaan bermakna pada kadar saturasi oksigen.

H. Pengaruh developmental care terhadap pernafasan, saturasi oksigen

dan denyut nadi bayi BBLR

Stimulasi berlebihan dari ruang perawatan mengakibatkan stress pada

bayi. Manifestasi stres pada bayi dapat berupa stress autonomic,


23

perubahan keadaan umum dan perubahan tingkah laku. Stress autonomic

dapat dilihat dari perubahan warna kulit (pucat, berbercak, sianosis),

tremor, terkejut, denyut jantung cepat tidak teratur, terdapat jeda respirasi,

gasping dan takipneu (Hockenberry & Wilson, 2007).

Dua sistem tubuh yang berperan dalam kondisi stress yaitu system saraf

otonom dan hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Respon sistem

saraf otonom terhadap stress dapat berupa perubahan pada pola

pernafasan, denyut nadi, perfusi jaringan, keseimbangan sistem saraf, dan

fungsi sistem pencernaan.

Stress dan nyeri dapat mengaktifkan HPA axis, mengakibatkn peningkatan

sekresi kortisol. Bayi yang mengalami prosedur perawatan yang

menyakitkan mengalami peningkatan hormon kortisol dan bahkan sampai

saat pulang dari rumah sakit (Mitchell, et al, 2012). Peningkatan kadar

hormon kortisol pada bayi BBLR berhubungan dengan kejadian kesakitan

dan kematian pada bayi BBLR (Bowen, 2009).

Pencahayaan yang berlebihan merupakan salah satu sumber stress pada

bayi yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan fisiologis pada bayi.

Perubahan denyut nadi, saturasi oksigen, tekanan darah dan pergerakan

tubuh merupakan reaksi neonatus terhadap stimulasi berlebihan dari ruang

perawatan (Als, 1982; Lotas, 1992; Gibbins et al, 2008). Bayuningsih


24

(2011) meneliti tentang pengaruh developmental care terhadap saturasi

oksigen dan denyut nadi pada bayi prematur, intervensi developmental

care yang diberikan yaitu pemberian posisi prone dan pemakaian nesting,

dengan hasil didapatkan pengaruh bermakna terhadap saturasi oksigen

namun tidak didapatkan pengaruh signifikan terhadap denyut nadi.

Deswita (2012) meneliti pengaruh salah satu strategi developmental care

yaitu perawatan metode kangguru terhadap suhu tubuh, saturasi oksigen

dan denyut jantung dimana didapatkan pengaruh bermakna perawatan

metode kangguru terhadap perubahan fisiologis bayi BBLR, diantaranya

peningkatan suhu tubuh kearah normal, denyut jantung kearah normal dan

saturasi oksigen meningkat kearah normal.

Indriansari (2011) meneliti pengaruh developmental care terhadap fungsi

fisiologis bayi BBLR dengan hasil terdapat pengaruh bermakna

developmental care terhadap perilaku tidur terjaga bayi BBLR, dimana

terjadi peningkatan tidur tenang, penurunan tidur aktif, penurunan denyut

jantung, tetapi tidak ada perbedaan bermakna pada kadar saturasi oksigen.
25

BAB III

Metode Penelitian

A. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen

Variabel Dependen
Perubahan fisiologis :
 frekuensi nadi
 frekuensi napas
 satuasi oksigen

Penggunaan Nesting selama 30


menit saat bayi tenang, tidak
kencing, 5 menit sesudah minum.

Perubahan perilaku

B. Jenis dan Desain Penelitian


26

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan


menggunakan desain penelitian quasi experiment. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui variable independent dan pengaruhnya terhadap variable
dependen. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah post with
control test yaitu melakukan suatu perlakuan dengan pengambilan nilai
sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dan kelompok
control.

Rancangan Penelitian

Subjek penelitian Bayi


BBLR
Q1 Q2
Fase Non Nesting Fase Nesting

Keterangan :

Q1 : Pengukuran frekuensi nadi, frekuensi napas, saturasi oksigen, berat


badan dan perilaku bayi prematur dalam keadaan bebas sebelum
penggunaan nesting

Q2 : Pengukuran frekuensi nadi, frekuensi napas, saturasi oksigen, berat


badan dan perilaku bayi prematur dalam keadaan bebas setelah
penggunaan nesting .
27

Y: Perbedaan pengukuran pada variabel dependen antara fase “non-


nesting” dan “nesting”
28

C. Definisi Operasional

Definisi Operasioal Penelitian

NO Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala


1 Variabel independen : Nesting adalah suatu alat yang Observasi 0 : Bayi prem Nominal
Penggunaan nesting digunakan di ruang Perinatologi atur tidak meng
berupa shell berbentuk yang gunakan
diberikan pada bayi prematur nesting
yang dibuat dengan menempatkan 1 : Bayi prem
dua selimut berupa pernel yang atur meng guna
digulung dalam bentuk oval yang kan nesting
disesuaikan dengan ukuran
bayi.Bayi akan diletakan dalam
nesting dengan posisi miring
kanan. Penggunaan protokol ini
berlangsung selama setengah jam
(30 menit)
2. Variabel dependent : Jumlah frekuensi napas dalam Instrumen Frekuensi Interval
a. Frekuensi napas satuan menit. Pengukuran pengukuran napas dalam
frekuensi napas ini dilakukan pada frekuensi napas angka
30menit tanpa menggunakan adalah stetoskop (x/menit)
nesting dan 30 menit pada saat yang digunakan di
penggunaan nesting ruang rawat
29

b. Frekuensi nadi Jumlah denyut nadi dalam satu Instrumen Frekuensi Interval
menit. pengukuran denyut nadi ini pengukuran napas dalam
dilakukan selama 30 menit pada frekuensi nadi angka
saat bayi tidak menggunakan adalah oksimetry (x/menit)
nesting dan 30 menit pada saat nadi yang
bayi menggunakan nesting digunakan di ruang Saturasi
rawat oksigen dalam
angka (%)
c. Saturasi oksigen Saturasi oksigen adalah satuan Instrumen Interval
konsentrasi oksigen di dalam pengukuran saturasi
darah bayi prematur dengan aksigen adalah
menggunakan alat oksimetri. oksimetry nadi
Pengukuran dilakukan selama 30 yang digunakan di
menit pada saat bayi tidak ruang rawat
menggunakan
30

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan diruang Perinatologi/NICU RS Awal Bros


Panam

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian mulai dari bulan Februari hingga April 2021

E. Populasi dan Sample

1. Populasi Penelitian

semua bayi premature/BBLR yang sedang dan dirawat di ruang


Perinatologi/NICU RSAB Panam

2. Sample Penelitian

Sampel dalam penelitian ini akan diambil dengan memilih responden


berdasarkan

dari kriteria inklusi dan ekslusi

kriteria inklusi meliputi :

 bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram

 suhu badan bayi dalam rentang 36,5 0C – 37,5 0C


31

 frekuensi nadi bayi dalam rentang 120 x/menit – 160 x/menit

 bayi prematur yang tidak mengalami masalah respiratori

 bayi prematur / BBLR yang dirawat dalam inkubator.

kriteria eklusi, yaitu:

 bayi prematur yang menderita syndrom neurologis kelainan


kongenital menurut catatan medik

 Bayi BBLR yang mendapat obat sedasi

 Bayi BBLR yang demam dan kejang

Kriteria Ekslusi

 Bayi BBLR dengan kerusakan syaraf

 Bayi BBLR yang mendapat obat sedasi

 Bayi BBLR yang demam dan kejang

F. Alat Pengolahan Data

1. Editing

Editing data merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa apakah


alat pengumpulan data sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten. Dalam
penelitian ini, tahapan kegiatan editing dilakukan untuk menilai
kelengkapan data penelitian yang telah diperoleh.
32

2. Coding

Coding data merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengubah data


penelitian dari data yang berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk
bilangan untuk mempermudah dan mempercepat saat entery dan analisis
data dilakukan. Dalam penelitian ini coding dilakukan berdasarkan
rencana hasil ukur yang telah disusun dalam definisi operasional.

3. Processing

Kegiatan memasukan data penelitian ke dalam paket program


komputer.yaitu program analisis statistik.

4. Cleaning

Cleaning data merupakan kegiatan meneliti apakah data yang sudah


dimasukan memiliki kesalahan atau tidak, dengan cara mengetahui
missing data (tidak ada data yang hilang), mengetahui variasi data, dan
mengetahui konsistensi data.

G. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat untuk menggambarkan karakteristik data demografi


responden dan frekuensi napas, nadi, saturasi oksigen , dan perilaku bayi
prematur sebelum dan sesudah intervensi yang ditampilkan dalam mean,
median, standar deviasi, nilai maksimum minimum.
33

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan skor frekuensi


napas, denyut nadi, saturasi oksigen dan perilaku bayi prematur antara
sebelum dan setelah intervensi. Dalam penelitian ini menggunakan uji T
dan wilcoxon.
34

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Analisis Univariat

1. Fisiologis Bayi Prematur

Fungsi fisiologis bayi prematur pada fase non nesting dan fase
nesting adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1

Distribusi Frekwensi Napas , Frekwensi Nadi, dan Saturasi


Oksigen Pada Fase Nesting dan Non Nesting Di Perinatologi
RSAB Panam

februari-Maret 2021 (n=15)

Variabel Rata- Median Standar Terendah Tetinggi 95%


Rata Deviasi CI
Frekwensi 53.2 54 3.12 48 58 5.938
Napas
Fase Non
Nesting
Frekwensi 45.8 45 2.27 42 50 8.862
Napas
Fase
Nesting

Frekwensi 128.47 126 5.423 122 140 1.034


Nadi Fase
Non
Nesting
Fase
35

Nesting 123.47 125 4.882 110 129 8.966


Saturasi 95.8 96 1.26 94 98 -3.01
Oksigen
Fase Non
Nesting 98.7 99 0.79 97 100 -2.16
Fase
Nesting

2. Perilaku Bayi Prematur

Perilaku bayi prematur pada saat fase non nesting dan fase nesting
adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2:

Distribusi Perilaku Fase Nesting dan Non Nesting

Di Perinatologi RSAB Panam

februari-Maret 2021 (n=15)

Variabel Rata- Median Standar Terendah Tetinggi 95%


rata Deviasi CI
Perilaku 9.07 8 1.53 7 12 3.028
Fase Non
Nesting
Fase 4.93 5 2.15 1 7 5.238
Nesting
36

3. Analisa Bivariat

Tabel 4.3

Analisa Pengaruh Penggunaan Nesting Terhadap Perubahan


Fisiologis Frekwensi Napas Bayi Prematur Di Perinatologi
RSAB Panam

februari-Maret 2021 (n=15)

Variabel n Rerata SD Z P value


Frekwensi 15 53.2 3.12
Napas Fase
-3.4 0.001
Non Nesting
Fase Nesting 15 45.8 2.27

Rata-rata frekwensi napas pada fase non nesting adalah 53.2


x/menit dengan standar deviasi 3.12 x/menit. Pada fase nesting
didapat rata-rata frekwensi napas adalah 45.8 x/menit dengan
standar deviasi2.27 x/menit. Hasil uji statistik didapatkan nilai P
value 0.001 (<0.05) maka disimpulkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara frekwensi napas fase non nesting dan fase
nesting.
37

Tabel 4.4

Analisa Pengaruh Penggunaan Nesting Terhadap Perubahan


Fisiologis Frekwensi Nadi Bayi Prematur Di Perinatologi
RSAB Panam

februari-Maret 2021 (n=15)

Variabel n Rerata SD Z P value


Frekwensi 15 128.47 5.423
Nadi Fase Non
-2.54 0.011
Nesting Fase
Nesting 15 123.47 4.882

Rata-rata frekwensi nadi pada fase non nesting adalah 128.47


x/menit dengan standar deviasi 5.423 x/menit. Pada fase nesting
didapat rata-rata frekwensi nadi adalah 123.47 x/menit dengan
standar deviasi 4.882 x/menit. Hasil uji statistik didapatkan nilai P
value 0.011 (<0.05) maka disimpulkan ada perbedaan yang
signifikan antara frekwensi nadi fase non nesting dan fase nesting.

Tabel 4.5

Analisa Pengaruh Penggunaan Nesting Terhadap Perubahan


Fisiologis Saturasi Oksigen Bayi Prematur Di Perinatologi
RSAB Panam

februari-Maret 2021 (n=15)

Variabel n Rerata SD Z P value


Saturasi 15 95.8 1.26
Oksigen Fase
-3.318 0.001
Non Nesting
Fase Nesting 15 98.7 0.79
38

Rata-rata saturasi oksigen pada fase non nesting adalah 95.8


dengan standar deviasi 1.26. Pada fase nesting didapat rata-rata
saturasi oksigen adalah 98.7 dengan standar deviasi 0.79. Hasil uji
statistik didapatkan nilai P value 0.001 (< 0.05) maka disimpulkan
ada perbedaan yang signifikan antara saturasi oksigen fase non
nesting dan fase nesting.

Tabel 4.6

Analisa Pengaruh Penggunaan Nesting Terhadap Perubahan


Perilaku Bayi Prematur Di Perinatologi RSAB Panam

februari-Maret 2021 (n=15)

Variabel n Rerata SD Z P value


Perilaku Bayi Fase 15 9.07 1.53
Non Nesting
-3.42 0.001
Fase Nesting 15 4.93 2.15

Rata-rata perilaku bayi pada fase non nesting adalah 9.07 dengan
standar deviasi 1.53 Pada fase nesting didapat rata-rata perilaku
bayi adalah 4.93 dengan standar deviasi 2.15 Hasil uji statistik
didapatkan nilai P value 0.001 (<0.05) maka disimpulkan ada
perbedaan yang signifikan antara perilaku bayi pada fase non
nesting dan fase nesting.

Anda mungkin juga menyukai