dikatakan berseberangan. Istilah growth mindset vs fixed mindset pertama kali dicetuskan
oleh peneliti di Universitas Stanford yaitu Carol Dweck dalam bukunya yang
berjudul Mindset: The New Psychology of Success. Dalam penelitiannya, ia mencoba untuk
menjelaskan bahwa manusia memiliki keyakinan berbeda dan percaya pada karakter masing-
masing yang akhirnya menghasilkan pola pikir berbeda juga. Sebelumnya, perlu kita selaraskan
dulu pemahaman mengenai pola pikir, yakni persepsi atau self theory yang diyakini seseorang
tentang diri sendiri.
Salah satu hal yang paling sering dianggap klise dan diabaikan orang adalah fakta bahwa
cara pandang atau pola pikir akan mempengaruhi cara kita menjalani hidup. Pola pikir growth
mindset vs fixed mindset dapat mempengaruhi berbagai aspek psikologis yang akhirnya bisa
mengubah hidup seseorang. Faktanya, kesuksesan pun tidak hanya dipengaruhi oleh bakat dan
kemampuan, tetapi juga oleh pola pikir.
Lalu, bagaimana persisnya pola pikir growth mindset VS fixed mindset dapat mempengaruhi cara
seseorang menjalani hidup? Simak terus!
Pola pikir digital bukan mengenai seberapa canggih seseorang mengoperasikan alat-alat digital,
tetapi lebih merupakan sikap dan perilaku yang berorientasi pada pemanfaatan teknologi digital di
dalam melakukan berbagai aktivitas.
Pertanyaannya adalah faktor apa saja yang membentuk pola pikir digital? Menurut Benke (2013)
terdapat empat faktor yang membentuk pola pikir digital, yaitu pola pikir pertumbuhan (growth
mindset), kolaborasi (collaboration), kegesitan pembelajaran (learning agility), dan
kepribadian (personality).
GROWTH MINDSET, atau pola pikir pertumbuhan, adalah cara pandang bahwa kemampuan
individu dapat dikembangkan melalui dedikasi dan kerja keras (Dweck, 2015). Orang yang
memiliki pola pikir pertumbuhan meyakini bahwa tidak ada yang tidak bisa, semua mungkin.
Terdapat lima dimensi yang membentuk growth mindset ini, yaitu sikap terhadap tantangan,
hambatan, upaya, kritik dan keberhasilan orang lain.
Tantangan. Orang yang memiliki growth mindset melihat tantangan sebagai sesuatu yang
menarik, bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari.
Hambatan. Orang yang memiliki growth mindset selalu berpikir tidak ada masalah yang tidak
dapat diatasi.
Upaya. Orang yang memiliki growth mindset memandang upaya sebagai cara untuk
meningkatkan pengetahuan atau keterampilan.
Kritik. Orang yang memiliki growth mindset melihat kritik sebagai sarana untuk memperbaiki
diri. Sebaliknya, orang yang memiliki fixed mindset (kebalikan dari growth mindset), melihat
kritik sebagai sesuatu yang menyerang.
Keberhasilan orang lain. Orang yang memiliki growth mindset mampu belajar dari keberhasilan
orang lain. Mereka adalah orang yang senang melihat orang berhasil, bukan orang yang senang
melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
COLLABORATION, merupakan faktor yang selalu muncul dalam literatur digital mindset.
“Breaking the silo” selalu disebut-sebut dalam kaitannya dengan digital mindset.
Apa itu kolaborasi? Kolaborasi adalah keterlibatan antara dua orang atau lebih dalam upaya
koordinasi untuk menyelesaikan masalah bersama, ditandai dengan adanya tujuan bersama,
interaktivitas, dan saling membutuhkan (Lai, 2011; Ofstedal & Dahelberg, 2009). Kolaborasi lebih
dari sekadar teamwork, karena di dalamnya sudah ada mutual engagement. Dalam kolaborasi
semua pihak menjalankan perannya dengan sungguh-sungguh..
Aspek interpersonal berkaitan hubungan dengan orang lain dalam kolaborasi yang meliputi
kontribusi, memecahkan masalah bersama, dan bagaimana saling mendukung satu sama lain.
Aspek intrapersonal lebih menekankan pada kemampuan dalam diri individu untuk
berkolaborasi, yang mencakup manajemen waktu, kesiapan, dan fleksibiltas.
LEARNING AGILITY, menurut Lombardo dan Hinger (Lombard& Eichninger, 2000), learning
agility adalah kemampuan dan kemauan seseorang untuk belajar dari pengalaman, dan kemudian
menerapkannya untuk berhasil di bawah kondisi baru. Jadi pengertian agility di sini lebih dari
sekadar beradaptasi, tetapi bagaimana mengambil sesuatu yang pernah dialami kemudian
menerapkannya pada situasi yang akan datang.
Dimensi learning agility mancakup mental agility, people agility, change agility, result agility,
dan self-awareness.
Apa itu mental agility? Untuk lebih mudahnya kita mengambil contoh Jack Ma, pendiri Alibaba.
Dalam suatu wawancara, dia menceriterakan bagaimana bisa mendapatkan ide mendirikan sebuah
marketplace. Dia melihat ada orang yang memiliki barang, tetapi tidak tahu menjualnya ke mana.
Dia paham ada toko yang tidak tahu mengambil barang dari mana dan menjual ke mana. Dia juga
melihat ada orang yang membutuhkan barang, tetapi tidak tahu membelinya ke siapa. Jadi, Jack
Ma melihat ada beberapa titik (pemilik barang, pembeli barang, penjual) dan menghubungkan
kebutuhan mereka dengan memberikan solusi.
People agility adalah untuk memahami bahwa setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda.
Kita bisa ambil contoh perusahaan multinasional yang hendak menerapkan suatu kebijakan.
Kebijakan yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu berhasil diterapkan di negara lain.
Mengapa? Karena orang di negara yang satu memiliki cara pandang dan budaya yang berbeda
dengan di negara lain.
Result agility adalah sikap untuk memberikan hasil di atas rata-rata. Kalau seseorang diberi
pekerjaan untuk dapat menyelesaikan dalam 10 hari, dia menargetkan untuk dapat
menyelesaikannya dalam 8 hari.
Self awareness adalah kesadaran seseorang mengenai kondisi diri sendiri, mengenai kekuatan dan
kelemahannya, kondisi dirinya, pengaruh lingkungan yang dirasakan dan sebagainya.
PERSONALITY. Variabel terakhir yang mempengaruhi digital mindset adalah personality. Ini
menarik karena personality merupakan kombinasi antara nature dengan nurture. Ada faktor
genetik di dalamnya, tetapi juga ada pengaruh lingkungan.