Anda di halaman 1dari 4

Nama : Anesty Sphragis Purba

Nim : 7212443007

Prodi : Pendidikan Bisnis B 2021

Matkul : Aspek Hukum Dan Etika Bisnis

Dosen : Danny Ajar Baskoro S.E., S.Pd., M.Pd

Tugas : Kasus Pelanggaran Hak Atas Perlindungan Konsumen Di Media Massa

KASUS 1

Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut
mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam
benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan
pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis
produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara
waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.

Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera
memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan
masalah terkait produk Indomie itu. Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus
Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya
zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.

A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung
di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah
bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini
umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.

Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi
manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung
nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut, tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut
Kustantinah.

Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius


Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi
mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec.
Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan
karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

Analisis kasus berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen

Kasus penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen
indomie mengandung bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl P-
Hydroxybenzoate pada produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus barberque.

Hal ini disanggah oleh Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang
berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan,
produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen
Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak
berbahaya.

Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang
berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:

 Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Dalam kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen
indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan
tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalam hal ini Indonesia memakai standart
BPOM dan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional.

Berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie
menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari
Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan
Indomie tidak berbahaya.
Link : Mengandung Pengawet Terlarang, Indomie Ditarik di Taiwan - Dunia Tempo.co

KASUS 2

Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan sebagai
daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah diperiksa di
laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi Pengawasan dan
Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat, Pangihutan Manurung, Senin,
5 Mei 2014.

Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di


Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo,
55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan.

Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan
untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas
Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan
menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng.

Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman mengaku
membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di Cengkareng,
Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan Sutiman.

Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh
Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung
dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak
dikonsumsi," katanya.

Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan.


Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku
sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses
pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan berterus terang kepada pembeli,"
kata Pangihutan.

Analisis Kasus :
Dapat kita lihat di kasus ini terjadi dimana penjual daging ini tidak mengatakan kepada
konsumennya bahwa daging yang dia buat menjadi bakso itu adalah daging celeng. Kita harus
ketahui bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang atau jasa. Dan konsumen akan sangat dirugikan sekali bila mereka
mengetahui bahwa daging yang dibelinya itu tidak sesuai dengan kemasannya yang tertulis
daging sapi.

Dan sebagai pelaku usaha seharusnya penjual daging ini memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang dijualnya. Pelaku telah melakukan
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dimana ketidaksesuaiaannya isi barang dengan
label kemasannya yang dituliskan daging sapi padahal didalamnya daging celeng.

Seperti yang dikatakan berita diatas, pelaku terjerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasal ini berisikan bahwa :

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf
e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Link : Farrel Febrinal Ramadhan Putra: Contoh Kasus Perlindungan Konsumen

Anda mungkin juga menyukai