Anda di halaman 1dari 67

[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

BAB I.
PENDAHULUAN

a. PERMASALAHAN SAPI POTONG DI INDONESIA SECARA UMUM

Upaya untuk memajukan sapi potong di Indonesia telah banyak


dilakukan baik oleh pemerintah, peneliti, maupun pengusaha dan pemerhati
bidang peternakan. Teknologi juga telah banyak dihasilkan oleh perguruan
tinggi, LIPI, Balitbang Pertanian maupun indigenous technology yang dimiliki
oleh peternak mulai dari sektor hulu, on farm dan off farm seperti IB, embrio
transfer, teknologi pakan, hijauan unggul, pasca panen produk dan beberapa
rekayasa lainnya (Hasan,2013). Sumber daya manusia yang terlibat dan
tersedia untuk mengembangkan sapi potong di Indonesia sudah memadai mulai
dari SDM peternak, SDM penyuluh dan SDM peneliti. Dukungan infrastruktur
usaha dari swasta dan pemerintah sangat memadai seperti ketersediaan rumah
potong hewan, pengolahan hasil ternak, ketersediaan sarana IB dan
sebagainya. Dukungan kelembagaan pemerintah dari pusat sampai
kabupaten/kota melalui instansi teknis sangat memadai dengan beragam
program seperti penyelamatan betina produktif, gerakan optimalisasi sapi, IB
mandiri, pusat perbibitan rakyat, dan beberapa program lainnya.
Namun demikian, upaya tersebut belum berjalan optimal. Upaya untuk
meningkatkan populasi dan bahkan swasembada daging sapi masih jauh dari
harapan. Hal ini dapat dilihat pada indikator pertumbuhan populasi sapi potong
setiap tahunnya yang tidak sesuai dengan harapan. Pada tahun 2013, populasi
sapi potong di Indonesia berkisar 16.607.000 atau meningkat 35,7% dalam 5
tahun terakhir (sejak tahun 2008). Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan
Indonesia untuk swasembada yaitu dibutuhkan sekitar 60 juta ekor sapi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat 250 juta orang dengan konsumsi perkapita 3
kg. Diperlukan upaya keras dan strategi yang lebih maju lagi agar populasi
ternak sapi di Indonesia dapat meningkat dan dapat dicapai dalam jangka
waktu yang tidak terlalu lama.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 1
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Tantangan terbesar dalam meningkatkan populasi sapi potong di


Indonesia ada pada pelaku utama usaha sapi potong yaitu peternak. Posisi
peternak sebagai subyek atau pelaku utama usaha peternakan sangat penting
dalam meningkatkan populasi ternak di Indonesia karena 99% usaha
peternakan di Indonesia dikelola oleh usaha peternakan rakyat. Selama ini,
kemampuan peternak dalam memelihara ternak sapi potong hanya berkisar 2-3
ekor per peternak sehingga populasi sapi di Indonesia hanya berkisar 15-16
juta ekor. Jika kapasitas peternak memelihara ternak sapi dapat ditingkatkan
menjadi 5 ekor, maka populasi ternak akan meningkat drastis menjadi 28 juta
ekor dan bahkan jika kapasitas peternak meningkat menjadi 10 ekor, maka
total populasi ternak sapi potong di Indonesia mencukupi kebutuhan populasi
dasar untuk swasembada yaitu 56 juta ekor.

Gambar 1. Pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia

Dibutuhkan sebuah usaha/program yang tepat sehingga peternak dapat


meningkatkan kemampuannya dalam memelihara ternak sapi. Program yang
dibangun harus mengeliminir semua faktor pembatas bagi peternak dalam
meningkatkan kapasitasnya memelihara ternak. Selain itu, program tersebut
harus mengakomodasi posisi ternak sapi potong sebagai usaha sampingan bagi
peternak, keterbatasan waktu peternak dalam mengelola usahatani ternaknya,
keterbatasan sumber daya lahan, keterbatasan akses teknologi dan berbagai
situasi yang menempatkan peternak pada posisi yang sangat sulit dalam
meningkatkan kapasitasnya dalam memelihara ternak.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 2
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

b. PERMASALAHAN SAPI POTONG DI KALIMANTAN TIMUR

Permasalahan perkembangan peternakan sapi potong di Kalimantanh


Timur dapat ditinjau dari beberapa perspektif seperti yang dijelaskan pada
bahsan sebelumnya. Selanjutnya, permasalahan usaha sapi potong yang ada di
daerah seperti yang ada di Kalimantan Timur dapat dikaitkan dengan
permasalahan menurut perspektif peternak sebagai pelaku utama usaha
peternakan di Indonesia. Peternak dengan segala tanggung jawab yang dimiliki
menjadi tulang punggung pengembangan usaha peternakan sapi potong di
Kalimantan Timur. Beberapa fenomena yang dapat diamati pada perilaku
peternak sapi potong yang menyebabkan usaha sapi potong sangat sulit
ditingkatkan skala usahanya di level peternak adalah:
1. Usaha tani sapi potong ditempatkan peternak sebagai usaha sampingan.
Konsekuensinya, curahan waktu, curahan biaya serta investasi untuk usaha
peternakan tidak menjadi perhatian utama peternak. Ketika bertemu antara
kepentingan usaha tanaman pangan (biasanya sebagai usaha pokok) dengan
kepentingan usaha sapi potong, maka usaha tanaman pangan lebih di
prioritaskan. Peternak biasanya menjual ternak untuk membiayai usaha
tanaman pangan akan tetapi, sangat sedikit peternak yang menjual tanaman
pangan untuk membiayai usaha sapi potong.
2. Terkait dengan fenomena nomor satu, alokasi waktu peternak untuk usaha
sapi potong hanya berkisar 2-3 jam per harinya. Jika sudah melebihi waktu
tersebut, maka peternak lebih rela mengurangi jumlah ternaknya dibanding
mempertahankannya dengan mengorbankan waktu yang lebih banyak.
Peternak mempunyai tanggung jawab lain yaitu untuk tanaman pangan,
sebagai suami atau istri, tanggung jawab sosial yang kesemuanya
membutuhkan waktu peternak yang sangat terbatas.
3. Kemampuan peternak memelihara ternak sangat terbatas. Menurut data
statistik, skala usaha sapi potong hanya 2-3 ekor utamanya untuk sistem
pemeliharaan non landbased. Jika jumlah ternak ditingkatkan, maka peternak
sudah tidak mampu lagi yang ditandai dengan sapi yang kurus ataupun

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 3
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

kesehatan ternak yang tidak terjamin lagi. Faktor pembatasnya adalah lahan,
tenaga kerja, pakan dan waktu kerja.
4. Jika peternak mampu meningkatkan skala usahanya lebih dari 3 ekor, maka
limbah feses menjadi masalah, utamanya bagi tetangga peternak. Peternak
belum mampu mengelola feses menjadi pupuk organik sebagai salah satu
cabang usaha yang menguntungkan. Demikian pula teknologi biogas belum
optimal diadopsi oleh peternak. Kalaupun digunakan oleh peternak masih
terbatas pada uji coba.
5. Akses teknologi peternak secara menyeluruh yang terbatas. Peternak sudah
banyak mengetahui cara fermentasi jerami maupun silase jagung, namun,
belum banyak peternak yang mengetahui bagaimana menyiasati
penyediaannya sepanjang tahun sehingga kebutuhan ternak dapat terpenuhi.
Demikian pula pembuatan pupuk organik dari limbah ternak sudah banyak
diketahui oleh peternak, namun pengetahuan untuk membuatnya dalam sistem
produksi yang menguntungkan belum diketahui oleh peternak sehingga tidak
dapat dioperasionalkan pada level usahatani petani.

Gambar 2. Pola peternakan rakyat ternak sapi potong di Kalimantan Timur.

c. STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS


PETERNAKAN RAKYAT di KALIMANTAN TIMUR

Pembangunan peternakan merupakan salah satu bagian dari 13 (tiga


belas) program prioritas unggulan pembangunan Kalimantan Timur, yaitu
terkait dengan program pembangunan swasembada pangan (termasuk asal
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 4
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

ternak) dan penciptaan lapangan kerja baru. Pembangunan peternakan


diarahkan dalam rangka (1) kemandirian dan kedaulatan pangan asal ternak
baik kuantitas maupun kualitas, (2) turut berperan dalam mendorong terhadap
peningkatan kualitas sumber daya manusia dari sisi pemenuhan gizi melalui
penyediaan konsumsi protein hewani asal ternak yaitu daging, telur dan susu,
serta (3) mendorong tumbuhnya ekonomi yang berkerakyatan sehingga dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
Menindaklanjuti hari pangan sedunia yang dilaksanakan di Provinsi
Sumatera Barat, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berkeinginan bahwa
Kalimantan Timur tidak lagi sebagai pasar komoditas peternakan tetapi ke
depan akan menjadi produsen komoditas peternakan. Atas dasar tersebut,
maka diperlukan program strategis Pembangunan Peternakan, melalui
pengembangan dua juta ekor sapi. Kunci utama membangun dan
mengembangkan peternakan adalah bagaimana dapat mendorong dan
menggerakkan serta mensinergikan para stakeholder pembangunan
peternakan yang meliputi Akademisi, Bisnismen dan Pemerintah/Government
(ABG) untuk mengembangkan sistem agribisnis peternakan dari hulu sampai
hilir dengan memanfaatkan peluang pasar dan sumber daya yang ada secara
optimal, untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat.

Gambar 3. Diagram pola ABG (akademisi, Bussines, dan Government) dalam


mengembangkan peternakan di Kalimantan Timur.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 5
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Upaya untuk itu harus disusun rencana aksi yang fokus (action oriented)
sehingga bisa dilaksanakan, sasarannya jelas, siapa berbuat apa, kemudian
sinerginya seperti apa, dan yang penting adalah implementasinya. Yang harus
dilakukan disamping jalur konvensional, harus ada upaya untuk memobilisasi
sumber daya seperti kepastian lahan, modal finansial, aplikasi
teknologi, transportasi, irigasi dan sumber daya lain. Dengan langkah-
langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi yang nyata, bukan
sekedar naik tetapi dengan target tertentu sehingga Indonesia memiliki self
confidence (percaya diri)
Upaya memajukan peternakan di Kalimantan Timur tidak boleh
mengabaikan peran peternakan rakyat. Di Kalimantan Timur dengan total
penduduk 3.250.125 (2012) tidak sampai 1% yang bergerak di bidang
peternakan sapi dengan total populasi sapi potong sebesar 101.743 ekor ternak
sehingga masih sangat potensial untuk dikembangankan sektor peternakan
yang ada. Sekitar 99% lebih dalam bentuk usaha peternakan rakyat dengan
skala usaha hanya 2-3 ekor. Peningkatan populasi dengan memanfaatkan
potensi peternakan rakyat berpeluang meningkatkan populasi sapi potong. Bisa
dibayangkan jika kemampuan peternak dalam memelihara ternak ditingkatkan
menjadi 10 ekor, maka populasi ternak akan meningkat menjadi 2 juta ekor
yang berarti swasembada daging sapi secara daerah di Kalimantan Timur (Kal-
Tim) akan dicapai. Olehnya itu, model pengembangan peternakan di Kal-Tim
harus berbasis pada fenomena dan permasalahan yang dihadapi oleh
peternakan rakyat yang berjumlah tidak sampai 1% penduduk di Kal-Tim.
Peternakan merupakan salah satu bagian yang penting dari
pengembangan sub sektor pertanian. Peternakan adalah kegiatan
membudidayakan ternak untuk dipelihara dan mendapatkan keuntungan dari
kegiatan tersebut. Sektor peternakan terbagi menjadi ternak besar, yaitu sapi,
kerbau, dan kuda, dan ternak kecil terdiri dari kambing, domba dan babi serta
ternak unggas (ayam, itik, dan burung puyuh). Tingginya tingkat konsumsi
produk olahan peternakan oleh masyarakat merupakan suatu peluang usaha
tersendiri untuk dikembangkan ditengah kondisi ekonomi yang sekarang
berkembang di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya permintaan akan
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 6
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

protein terutama asal hewani dari tahun ke tahun maka pembangunan pada
sektor peternakan terus ditingkatkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan
protein juga untuk meningkatkan jumlah pendapatan petani peternak dengan
melaksanakan diversifikasi ternak dan meningkatkan populasi ternak.
Dalam 5 (lima) tahun terakhir ini populasi ternak keseluruhan di provinsi
Kalimantan Timur terjadi peningkatan. Perkembangan populasi ternak
berdasarkan di provinsi Kalimantan Timur disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan populasi ternak di Kalimantan Timur


Tahun 2010 – 2014.
Jenis TAHUN
No
Ternak 2010 2011 2012 2013 2014
1 Sapi 83.729 83.611 91.728 95.085 101.743
2 Sapi Perah 32 43 47 48 77
3 Kerbau 6.386 6.636 6.783 5.513 5.908
4 kambing 54.721 51.339 51.640 50.072 55.259
5 Domba 894 379 487 229 239
6 Babi 55.853 56.858 59.108 61.478 64.214
7 Kuda 78 79 75 47 57
8 Ayam 4.528.415 4.705.019 5.078.888 5.616.679 4.287.075
Buras
9 Ayam 1.169.644 1.296.078 1.554.349 1.195.743 686.278
Petelur
10 Ayam 33.779.261 35.450.418 37.149.438 43.802.742 46.553.307
Pedaging
11 Itik 169.263 157.888 150.168 153.107 198.371
12 Kelinci - - 10.004 9.413 12.672
13 Puyuh - - 6.500 7.500 52.511
14 Merpati - - 1.057 1.194 3.687
15 Itik Manila - - 740 3.707 19.408
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2015).

Dalam pengembangan ternak di Kalimantan Timur banyak yang


dibudidayakan dengan berbagai bangsa ternak dan persilangannya. Namun
demikian, di setiap wilayah pengembangan ternak ternak perlu disesuaikan
dengan karakter spesifik dari lokasi pengembangan atas dasar basis ekologinya
yang dominan. Di provinsi Kalimantan Timur memiliki basis ekologi yang
beragam mulai dari pantai hingga hutan, namun lebih didominasi oleh lahan
kering, sehingga pengembangan ternakpun diarahkan kepada ternak yang

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 7
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

berbasis ekologi lahan kering. Karena daerah tersebut relatif lembab, maka
hanya tiga jenis ternak ruminansia yang memiliki potensi untuk dikembangkan,
yaitu sapi potong, kerbau, dan kambing. Dari ketiga jenis ternak tersebut, sapi
potong merupakan ternak yang paling banyak dipelihara, selanjutnya diikuti
kambing dan kerbau. Berdasarkan hasil kajian dinyatakan bahwa kapasitas
tampung untuk pengembangan sapi potong di Kalimantan Timur sebanyak 2
juta ST (satuan ternak) atau 3.071.168 ekor.
Upaya untuk mengembangkan program 2 juta ekor ternak sapi potong
Kalimantan diperlukan beberapa pendekatan yang nantinya menjadi dasar
dalam mengembangkan program peteranakan di Kalimantan Timur. Beberapa
pendekatan yang harus dilakukan untuk program tersebut seperti yang terlihat
pada Gambar 4 dibawah ini.

PENGEMBANGAN PETERNAKAN DI KALIMANTAN TIMUR

Pendekatan Kawasan /Wilayah/Cluster

Pendekatan Kesisteman (hulu - on farm - hilir, penunjang)

Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat secara Partisipatif

Pendekatan Komoditas

Gambar 4. Program strategi pengembangan peternakan sapi potong di


Kalimantan Timur.

Berdasarkan Gambar 4 di atas, beberapa program yang membantu untuk


mengembangkan ternak sapi potong di Kal-Tim, antara lain :
1. Pendekatan wilayah/cluster/kawasan .
Pengembangan peternakan diarahkan pada pengembangan kawasan
baik kawasan yang sudah ada maupun kawasan baru dan potensial, yaitu :
Kawasan agribisnis berbasis peternakan, memerlukan legalitas tata ruang yang
jelas. Misalnya :
 Integrasi ternak dengan tanaman perkebunan (kelapa, kelapa sawit,
kakao, karet dll) ----> Kawasan “BUN-NAK”;

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 8
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

 Integrasi ternak dengan padi sawah, tanaman pangan lain dan


hortikultura --- Kawasan “FOOD ESTATE”
 Integrasi ternak sapi dengan hutan tanaman industri -- Kawasan HTI –
NAK
 Kawasan peternakan eks tambang -- Kawasan “ESKTAM-NAK”
Selain program diatas, terdapat juga upaya untuk mewujudkan Pewilayahan
pusat pengembangan ternak, jenis dan rasnya sehingga nantinya berkembang
menjadi wilayah sumber bibit ataupun menjadi satu kawasan “Village Breeding
Centre” bagi ternak sapi di Kalimantan Timur.
2. Pendekatan kesisteman, seperti upaya untuk mewujudkan peternakan yang
berbasis agribisnis sehingga terbentuk suatu pola industri hulu dan hilir (hulu --
--on farm------ hilir) sehingga peternakan dianggap suatu bisnis yang potensial
di amsyarakat Kalimantan Timur. Skema pendekatan ini seperti terlihat pada
Gambar 5.

Gambar 5. Pola agribisnis peternakan yang dikembangkan di Kalimantan Timur.

3. Pemberdayaan Masyarakat secara Partisipasif


Pola gaduhan ternak skala ekonomis yang banyak diterapkan oleh
peternak di Kalimantan Timur merupakan sebagai upaya pengentasan
kemiskinan. Misalnya pada peternak sapi, kepemilikan ternak: 4 - 5 ekor / KK
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 9
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

(kepala keluarga), sedangkan model Pemeliharaan ternak berkelompok , 1


kelompok terdiri 20 – 30 KK. Selain melibatkan pemerintah (Dinas) hal lain
yang perlu dilibatkan adalah peran penyuluh di lapangan hal ini akan
mendorong/memfasilitasi para petani/kelompok melakukan pengembangan
teknologi baik di tingkat hulu, budidaya, hilir (pengolahan dan pemasaran hasil)
. Hal lain adalah petani dilibatkan dalam usaha mendorong berkembangnya
agribisnis peternakan untuk meningkatkan nilai tambah, baik pada proses
budidaya (penggemukan swasta) maupun pengolahan hasil. Hal terakhir yang
dilibatkan adalah peran aktif para pengusaha. Mendorong pengusaha sapi
potong antar pulau untuk bermitra dengan kelompok melakuka usaha
penggemukan ternak sapi sebelum dipotong, dalam rangka meningkatkan nilai
tambah dan pendapatan peternak.
4. Pendekatan Komoditas

Komoditi peternakan yang memiliki prospek yang sangat baik untuk


dikembangkan antara lain sapi potong, kerbau, kambing, dan ayam. Hal ini
karena didukung oleh karakteristik produknya yang dapat diterima oleh semua
masyarakat Indonesia. Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu daerah
otonom yang memiliki berbagai sumber daya baik keadaan alam, anggaran
daerah serta sumber daya mausia yang dapat dikembangkan untuk mencapai
tujuan utama dari pembangunan ekonomi, yaitu meningkatkan jumlah dan jenis
peluang kerja untuk masyarakat daerah agar terwujud kesejahteraan
masyarakat lebih merata. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, pemerintah
harus mampu mengembangkan sektor perekonomian yang potensial agar
berkembang sebagai sektor unggulan. Dengan harapan bahwa sektor tersebut
mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian, selain memiliki nilai efisiensi
yang tinggi sebagai usaha ekonomi yang produktif. Di Kalimantan Timur,
pelaksanaan usaha sektor peternakan juga dilakukan secara mandiri dan
dengan pola kemitraan, misalnya dengan telah mendorong masyarakat untuk
menjalankan usaha tersebut. Hal ini karena masyarakat menyadari bahwa
setiap usaha peternakan memiliki peluang ekonomi yang cukup baik di wilayah
ini karena permintaan akan daging asal ternak relatif tinggi.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 10
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Gambar 6. Distribusi persentase populasi ternak berdasarkan daerah sentra


ternak sapi di Kalimantan Timur Tahun 2014.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 11
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

BAB II.
REGULASI PENGEMBANGAN PETERNAKAN DI KALIMANTAN TIMUR

Untuk mendukung Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,


lembaga Legislatif di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR-RI) periode tahun 2009-2014 telah merevitalisasi peraturan perundang-
undangan dalam bentuk: (a) membuat undang-undang yang diperlukan untuk
keberhasilan RPPK, (b) mengamandemen undang-undang pertanian, pangan,
perikanan dan kehutanan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan
lingkungan strategis, (c) mendorong pemerintah untuk menyesuaikan berbagai
peraturan pemerintah yang terkait erat dengan pembangunan sektor pertanian,
pangan, perikanan dan kehutanan. Tiga aspek yang memerlukan dasar hukum
yang menjadi substansi RUU peternakan dan kesehatan hewan yaitu: (a)
pengaturan sumber daya lahan dan air, (b) pengaturan sarana produksi
khususnya perbibitan, (c) pengaturan kewenangan pemerintah oleh
propinsi/kabupaten. Target swasembada daging tahun 2014 membutuhkan
rencana kerja anggaran minimal Rp. 15 triliun untuk empat tahun. Tetapi
kenyataannya APBN Ditjen Peternakan tahun 2012 hanya ± 444 milyar. Oleh
sebab itu, disarankan target swasembada daging 2014 hanya 80% agar
program ketahanan pangan secara nasional dapat berjalan.

Gambar 7. Potensi perkembangan ternak di Indonesia.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 12
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Jika Pemerintah telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan


dan Kehutanan (RPPK), maka peranan Legislatif mendukung komitmen tersebut
dengan juga merevitalisasi peraturan perundang-undangan di sektor pertanian,
pangan, perikanan dan kehutanan (P3K) dan mendorong terciptanya kebijakan
Fiskal dan Anggaran Belanja yang kondusif dan optimal. Upaya merevitalisasi
peraturan perundangundangan tersebut adalah dalam bentuk: a) membuat
undang-undang yang diperlukan untuk berhasilnya RPPK tersebut, b)
mengamendemen undang-undang di sektor pertanian, pangan, perikanan dan
kehutanan, untuk mengantisipasi perubahan-perubahan lingkungan strategis, c)
mendorong pemerintah untuk menyesuaikan berbagai peraturan pemerintah
yang terkait erat dengan pembangunan sektor pertanian, pangan, perikanan
dan kehutanan. Hingga saat ini terdapat beberapa UU yang menjadi landasan
hukum di sektor P3K yaitu:
1. Undang-Undang No. 41/2014 Perubahan UU. No.18/2009 tentang
KETENTUAN POKOK PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN;
2. Undang-Undang No. 5/1990 tentang KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
HAYATI DAN EKOSISTEMNYA;
3. Undang-Undang No. 12/1992 tentang SISTEM BUDIDAYA TANAMAN;
4. Undang-Undang No. 16/1992 tentang KARANTINA HEWAN, IKAN DAN
TUMBUHAN;
5. Undang-Undang No. 7/1996 tentang PANGAN;
6. Undang-Undang No. 23/1997 tentang PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP;
7. Undang-Undang No. 41/1999 tentang KEHUTANAN;
8. Undang-Undang No. 29/2000 tentang PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN;
9. Undang-Undang No. 18/2004 tentang PERKEBUNAN;
10.Undang-Undang No. 31/2004 tentang PERIKANAN;
11.Undang-Undang No. tentang SUMBER DAYA AIR
12.Undang-Undang No. 1/2006 tentang SUMBER DAYA GENETIKA.
Terdapat beberapa pengaturan yang penting menjadi substansi RUU
Peternakan dan Kesehatan Hewan antara lain: Pertama : Pengaturan
Sumberdaya Lahan dan Air, Kedua : Pengaturan Sarana Produksi, khususnya

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 13
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Perbibitan, Ketiga : Pengaturan Kewenangan Pemerintah dan


Propinsi/Kabupaten.
Pertama : Pengaturan sumber daya lahan dan air. Program untuk
mempertahankan dan bahkan meningkatkan produksi padi maka kita harus
menyediakan lahan sawah irigasi teknis dan irigasi semi teknis secukupnya.
Demikian pula halnya dengan peningkatan produksi ternak, bahwa harus
tersedia sumber daya lahan sebagai kawasan pengembalaan umum dan
kawasan tanaman pakan ternak. Dalam RUU Penataan Ruang telah dirumuskan
agar setiap Propinsi mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dengan
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Selanjutnya Propinsi
harus menyusun Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Propinsi (RTRKSP)
melalui Peraturan Gubernur. Diharapkan agar dalam penyusunan RTRKSP
setiap daerah Propinsi dan Kabupaten, harus mengalokasikan sejumlah areal
yang mempunyai fungsi ruang untuk budidaya, pengembalaan umum dan
kawasan tanaman pakan ternak. Terkait dengan kawasan tersebut, harus
diupayakan sumber daya air cukup tersedia untuk kebutuhan air minum hewan
ternak tersebut. Bagi ternak kerbau, sangat dibutuhkan kawasan untuk
berkubang. Untuk mendukung pengembangan peternakan skala besar,
Departemen Kehutanan perlu untuk mengeluarkan kebijakan Hak Pengusahaan
Hutan untuk Peternakan, sebagaimana kebijakan lainnya, misalnya Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, atau Ijin konversi untuk kawasan
perkebunan. Pada keluasan tertentu, kawasan ini dapat digunakan oleh pihak
swasta untuk usaha peternakan dengan seijin pemerintah dalam bentuk Hak
Pengusahaan Hutan Usaha Peternakan (HPH-UP) dengan masa konsesi
maksimal 30 tahun.
Kedua: Pengaturan perbibitan. Usaha Perbibitan adalah jenis usaha
Hightech, High Risk, Low Return, sehingga tidak menarik bagi investor swasta.
Oleh karena itu, Pemerintah harus terlibat langsung (intervensi) dalam usaha
perbibitan. Namun, perlu diarahkan agar institusi yang terlibat dalam perbibitan
dapat dikelola dengan manajemen yang lebih tangguh dan profesional. Oleh
karena itu sangat dibutuhkan Kebijakan Sistem Perbibitan Nasional. Terdapat
minimal 2 opsi dalam penguatan institusi usaha perbibitan yaitu:
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 14
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

(1) Seluruh UPT Pusat yaitu BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) dan BIB
(Balai Inseminasi Buatan) dikonsilidasikan dan memfokuskan Tupoksi untuk:
(a) Menghasilkan semen beku untuk IB;
(b) Importir dan distributor utama semen beku;
(c) Menghasilkan sapi/kerbau bakalan (pedet)
(d) Importir dan distributor utama sapi bakalan;
(e) Importir dan distributor bibit induk/ sapi betina produktif;
(f) Jasa konsultan pakan ternak dan pupuk organik;
(g)Jasa konsultan uasha peternakan dan industri kecil pengolahan hasil
ternak.
UPT Pusat tidak perlu melakukan kegiatan penelitian dan pengkajian untuk
menghasilkan bibit dasar unggul, namun cukup dilakukan oleh Puslitbang/Balai
Besar Penelitian Ternak. Puslitbang/ Balitnak dapat memanfaatkan fasilitas
BPTU untuk penelitian pengembangan plasma nutfah lokal.
(2) Seluruh UPT Pusat yaitu BPTU dan BIB di merger dan ditransformasi
menjadi BADAN LAYANAN UMUM (BLU) (dibentuk berdasar UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah
RI No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum),
dengan kegiatan fokus sebagaimana point 1 tersebut di atas. BLU diberi
tanggung jawab dalam mengimplementasikan Kebijakan Sistem Perbibitan
Nasional (Sisbitnas). BLU ini akan membina hubungan yang terpadu dengan
UPTD, Puslitbang/Balitnak, Perguruan Tinggi, dan masyarakat umum. Sebagai
BLU Perbibitan, tidak dibebankan pungutan pajak dan masih dalam tanggung
jawab Deptan RI.
Kebijakan anggaran subsidi pemerintah atau PSO akan difokuskan pada
BLU tersebut, sehingga Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based
Budgetting) dan Medium Term Expenditure Framework dapat diterapkan di
subsektor peternakan. Hingga saat ini kinerja subsidi dan bantuan pemerintah
di subsektor peternakan masih sulit diukur, bahkan cenderung terjadi banyak
inefisiensi.
Ketiga: Pengaturan kewajiban daerah UPT Daerah saat ini banyak
terlibat sebagai pelaku langsung usaha peternakan, baik dalam usaha
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 15
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

pemerahan susu maupun usaha penggemukan sapi potong. Sebaiknya UPTD


adalah difokuskan TUPOKSInya untuk: (a) Menjadi agen (retailer) dari UPT
Pusat dengan kegiatan sebagaimana ruang lingkup usaha tersebut di atas.
Dana Perbantuan Pusat atau DAK untuk UPTD digunakan untuk memperbanyak
pasukan salesman semen beku, kendaraan bermotor, tabung semen beku dan
alat-alat IB yang memadai. UPTD masih bisa diharapkan menghasilkan PAD jika
bertindak sebagai agen dari UPT Pusat, tanpa terlibat sebagai pelaku langsung.
(b) Menampung dan membeli semua sapi betina produktif dan bunting di setiap
RPH. Sapi bunting dirawat dan setelah melahirkan bersama betina produktif
“disalurkan” kepada peternak-peternak untuk menjadi akseptor IB atau
Transfer Embrio.
Dana Pembantuan dan Dekonsentrasi dialokasikan terutama untuk
kegiatan operasional tersebut. Pengendalian anggaran Dana Dekonsentrasi dan
Pembantuan akan memperkokoh Linkage dan sinergi UPT Pusat dan Daerah.
Dinas Peternakan memfokuskan tugasnya dalam regulasi lokal usaha budidaya
peternakan, penguatan kelembagaan peternak sapi potong dan perah, dan
pelayanan dan pengawasan kesehatan hewan, serta pembinaan UPTD. Oleh
karena itu, diperlukan perubahan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Propinsi/Kabupaten/Kota di sektor peternakan.

a. REGULASI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DI


KALIMANTAN TIMUR

Sebagai bagian untuk mendorong dan menarik minat para investor


dalam agribisnis peternakan di Kalimantan Timur, di dalam Tata Ruang Wilayah
masing-masing kab/kota perlu menetapkan adanya kawasan pengembangan
agribisnis peternakan. Untuk optimalisasi pengembangan integrasi ternak
dengan tanaman, khususnya pengembangan ternak sapi potong di Perkebunan
Kelapa Sawit, maka perlu adanya regulasi Pemerintah yang mewajibkan setiap
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit untuk mengembangkan ternak sapi di
areal perkebunannya, setiap 1 ha, 3 ekor sapi.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 16
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Selain itu diperlukan juga regulasi yang menyatakan bahwa setiap usaha
perdagangan sapi potong yang memasukan ternak potong tidak seluruhnya
masuk RPH untuk dipotong, tetapi sekitar 25% nya berupa bakalan yang harus
digemukkan dengan bekerjasama dengan peternak Kaltim. Sehingga nilai
tambah ada di Kaltim. Hal yang lain adalah meningkatkan kerjasama dengan
instansi terkait yang secara langsung mendukung pembangunan peternakan,
yang telah dilakukan dengan Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas
Pertambangan, Lembaga Perbankan, CSR dll. Secara sinergi bersama instansi
terkait meningkatkan produksi “terutama penghasil bahan utama dan by
product” sumber pakan, untuk bersama-sama menangkap peluang pasar yang
saling menguntungkan.
Dukungan Gubernur terhadap pengembangan sektor peternakan
disampaikan pada Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 23
Nopember 2013 di halaman Kantor Dinas Peternakan Prov. Kaltim, dan
dipertegas lagi pada setiap kesempatan pertemuan dengan stakeholder
termasuk para pengusaha terutama perusahaan perkebunan sawit dan
pertambangan. Sasaran pendanaan sebagaimana arahan Gubernur Kalimantan
Timur adalah melalui APBN/APBD I, APBD II, Perbankan (Bank Kaltim dan BRI),
Perusahaan Pertambangan, Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan
perusahaan lainnya (investor). Pola usaha peteranakan yang dikembangkan
adalah : pola Usaha Sambilan, Cabang Usaha, Usaha Pokok dan Usaha Industri.
Salah satu prioritas kebijakan pembangunan yang tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Kalimantan Timur adalah
kemandirian dan kedaulatan pangan, sehingga program dan kegiatan
pembangunan pertanian dalam arti luas termasuk di dalamnya pembangunan
peternakan menjadi sangat strategis. Pembangunan peternakan di Kalimantan
Timur (Kal-Tim) selalu mendapat dukungan dari pemerintah daerah bahkan
pemerintah provinsi melalui Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur
yang mencanangkan target pengembangan 2 (dua) juta ekor sapi tahun 2018
dengan program pengembangan lahan di Kal-Tim seperti lahan pasca tambang
dan pengembangan integrasi sapi sawit.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 17
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Gambar 8. Potensi perkebunan sawit di Kalimantan Timur.

Salah satu dukungan pemerintah provinsi terhadap perkembangan


peternakan di Kalimantan Timur antara lain dengan adanya Peraturan
Gubernur (Pergub) Kalimantan Timur Nomor 17 Tahun 2015 tentang
Penataan Pemberian Izin dan Non perizinan serta Penyempurnaan Tata Kelola
Perizinan di Sektor Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di
Provinsi Kalimantan Timur yang isinya mensyaratkan kepada setiap perusahaan
pertambangan yang akan mengajukan perpanjangan ijin eksplorasi maka harus
mendukung usaha peternakan khususnya ternak sapi yaitu pada Pasal 6 Ayat 3
Poin C, dan untuk perpanjangan ijin perusahaan perkebunan diwajibkan
melakukan integrasi dengan sapi yaitu Pasal 7 Ayat 1 Poin C. Disamping
Pergub tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kal-Tim juga melakukan
arahan untuk menghimbau kepada Pemerintah Kabupaten melalui Surat
Gubernur Kal-Tim No.524/2813/EK Tanggal 13 Mei 2015 tentang
Pencadangan lahan untuk Kawasan Peternakan ke Bupati/Walikota se Kal-Tim
dengan alokasi per daerah sebagai berikut :
-. Kabupaten Berau : 15.000 Ha
-. Kabupaten Kutai Timur : 15.000 Ha
-. Kabupaten Paser : 7.000 Ha
-. Kabupaten Kutai Kartanegara : 15.000 Ha
-. Kabupaten Kutai Barat : 8.000 Ha
-. Kabupaten Mahakam Ulu : 2.000 Ha
-. Kabupaten penajam Paser Utara : 8.000 Ha
Total : 70.000 Ha
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 18
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Gambar 9. Lahan pasca tambang yang ada di Kalimantan Timur.

Disamping peranan pemerintah dalam melakukan regulasi tentang


perkembangan peternakan di Kal-Tim, dukungan yang lain adalah peran
kelompok tani/peternak dalam pengembangan peternakan juga sangat besar
karena populasi ternak secara umum di Kal-Tim khususnya ternak sapi adalah
lebih dari 95 % adalah peternakan rakyat yang artinya ternak yang dipelihara
oleh perorangan peternak yang tergabung dalam suatu wadah yang disebut
kelompok tani. Di lain itu, pola budidaya peternakan yang dikelola oleh
rakyat/peternak ini menimbulkan beberapa kelemahan yang bisa menjadi faktor
penghambat perkembangan peternakan di Kal-Tim, antara lain kondisi
permodalan peternak yang kecil, jumlah kepemilikan ternak yang masih kecil
(rata-rata 2 ekor/per orang), usahanya masih bersifat sampingan dan tersebar,
produktifitas ternak yang masih rendah, serta teknologi tepat guna yang
diberikan pemerintah masih kurang dipahami sehingga perlunya waktu, dana,
dukungan serta fasilitas yang diberikan pemerintah.
Terkait dengan pembangunan agribisnis peternakan di hilir, Pemerintah
Provinsi (Pemprov) melalui Dinas Peternakan ikut melakukan pengawalan dan
pembinaan serta memfasilitasi penanganan pasca panen, pengolahan hasil
(agroindustri) dan pemasaran hasil peternakan yang disertai pula bagaimana
menghasilkan produk peternakan yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH)
serta berdaya saing. Pembangunan agribisnis di hilir meliputi pembangunan
pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil peternakan serta kesehatan
masyarakat veteriner (Kesmavet) adalah membangun sistem dan usaha-usaha

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 19
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

di bidang pasca panen peternakan yang meliputi kegiatan-kegiatan penanganan


pasca panen seperti di Rumah Pemotongan Hewan (RPH), Rumah Pemotongan
Unggas (RPU) dan unit usaha lainnya menghasilkan produk segar; di bidang
pengolahan produk yang menghasilkan produk olahan utama, produk ikutan
dan produk limbah; di bidang pemasaran dan promosi meliputi pengembangan
sarana prasarana fisik maupun kelembagaan pemasaran, jaringan pemasaran,
dan informasi pasar serta promosi produk peternakan. Sedangkan di bidang
kesmavet yaitu sebagaimana diamanatkan dalam Undang–Undang No.41/2014
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Peraturan Pemerintah No.
95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), bahwa pangan
asal hewan yang beredar harus memenuhi persyaratan Aman, Sehat, Utuh dan
Halal (ASUH) dalam rangka menjamin kesehatan dan ketenteraman bathin
masyarakat.

Gambar 10. Rumah Potong Hewan yang ada di Kalimantan Timur.

Melalui pembangunan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil


peternakan serta kesehatan masyarakat veteriner, diharapkan dapat:
Meningkatkan dan memberdayakan para pelaku usaha pasca panen, agrobisnis
agar mampu mengakses teknologi pasca panen, pengolahan hasil serta
jaringan pasar; Meningkatkan penyediaan, mutu dan daya saing pangan asal
ternak/hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dalam menjamin
ketentraman bathin masyarakat.
Menumbuh kembangkan industri pengolahan hasil peternakan di
pedesaan dalam upaya meningkatkan daya saing dan nilai tambah sub sektor

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 20
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

peternakan, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan


masyarakat; Meningkatkan volume, nilai dan keragaman produk olahan hasil
peternakan; Meningkatkan Pangsa Pasar Produk Peternakan.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui dana APBD maupun
pemerintah pusat melalui dana APBN selalu mendukung terhadap
pembangunan Peternakan baik hulu maupun hilir. dimana dari hilirnya saat ini
mempunyai maksud dan tujuan membangun kelembagaan pasar ternak dan
jaringan pemasaran yaitu : Mendorong terbangunnya pasar ternak di daerah
sebagai sentra produksi peternakan sehingga dapat memiliki fasiltas yang
memadai untuk menunjang pelaksanaan pasar ternak secara modern. Untuk
menciptakan berkembangnya pasar ternak yang di kelola secara propesional
yang memiliki kelembagaan / manajemen pasar ternak. Meningkatkan
pelayanan pemasaran dan transaksi jual-beli melalui pasar ternak berfasilitas
memadai yang di kelola secara propesional. Meningkatkan pendapatan dan
kesejatraan bagi petani ternak dan pelaku usaha di bidang peternakan. Untuk
dapat memberikan informasi kepada publik terhadap produk atau hasil
peternakan, sehingga masyarakat dapat mengetahui terhadap biaya/ harga
setiap saat.
Pembangunan sarana dan prasarana pasar ternak yang ada di
Kabupaten / kota yang sudah terbangun yaitu di Kabupaten Paser, Kabupaten
Kutim, Kota Samarinda dan pada tahun ini 2015 telah di bangun di Kabupaten
Kutai Kartenagara dengan sumber dana APBN Satker Dinas Peternakan dengan
adanya sarana dan prasarana tersebut di harapkan dapat di optimalkan /
bermanfaat dan berguna untuk transaksi jual beli masyarakat peternak di
daerah.
Dalam kesempatan yang baik ini, Dinas Peternakan mengingatkan
kembali bahwa Pemerintah melalui APBN dan APBD dengan kemampuan dana
yang terbatas telah memfasilitasi sarana prasarana mulai dari kegiatan
agribisnis peternakan hulu sampai hilir. Sebagai contoh di agribisnis hilir adalah
memfasilitasi RPH RPU, Pasar Hewan/Ternak, peralatan pengolahan hasil,
supaya dimanfaatkan dan difungsikan sebagaimana mestinya agar dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat,
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 21
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

dapat meningkatkan nilai tambah dan dapat meningkatkan pendapatan


masyarakat. Setiap usulan proporsal perlu dikaji dengan sebaik-baiknya secara
”holistik ” (menyeluruh), utuh dengan sharing pembiayaan yang jelas antara
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Masyarakat (Kelompok Usaha
Peternakan).
Dengan rekomendasi pengembangan aspek teknis dan teknologi di atas,
bila target peningkatan jumlah populasi sapi 200.000-350.000 ekor/tahun maka
komponen tersebut mampu mendukung program 2 juta ekor ternak sapi di Kal-
Tim yang terdiri atas penyelamatan sapi betina produktif, tunda potong,
memperpendek jarak beranak, dan pengembangan IB. Untuk mencapai target
tersebut, dalam kurun waktu 5 tahun, target tahunan harus dicapai sesuai
rekomendasi dengan didukung beberapakegiatan sebagai berikut :
1. Pengembangan Model Integrasi
Daya dukung pakan ternak terus menurun akibat perkembangan
populasi ternak serta persaingan dalam pemanfaatan lahan untuk usaha ternak
(padang penggembalaan) dengan pengembangan tanaman pangan,
perkebunan, dan perumahan. Kondisi demikian menuntut adanya terobosan,
antara lain pengembangan sistem integrasi ternak dan tanaman (crop livestock
system/CLS). Pola tersebut merupakan salah satu upaya efisiensi usaha untuk
meningkatkan pendapatanpetani dengan usaha multikomoditas (ternak dan
tanaman). CLS mampu menekan input produksi dengan prinsip mengurangi
risiko usaha melalui diversifikasi sehingga kelestarian sumber daya lahan lebih
terjaga (Diwyanto dan Handiwirawan 2004). Dalam konsep CLS, peternak
diharapkan mampu memanfaatkan limbah pertanian/perkebunan sebagai bahan
baku pakan ternak yang murah dan mudah diperoleh di lokasi sehingga
menekan biaya produksi usaha ternak. Sebaliknya, kompos dari kotoran ternak
dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman untuk menekan biaya produksi tanaman.
Pola ini telah berkembang pada sapi, seperti integrase padi-ternak (Haryanto et
al. 2002; Yusran dan Soleh 2004) dan sapi-sawit dan sangat potensial dalam
pengembangan peternakan spesifik lokasi. Pola integrasi akan meningkatkan
daya dukung pakan dengan sentuhan inovasi teknologi dalam pengolahan
limbah tanaman untuk memperbaiki nilai gizi pakan.
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 22
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Gambar 11. Model integrasi sapi dan sawit di Kalimantan Timur


2. Pengembangan Kelembagaan
Pengembangan usaha ternak sapi potong perlu didukung kelembagaan
di tingkat peternak maupun di tingkat institusi (koordinasi program) selain
permodalan. Salah satu program pengembangan kelembagaan adalah Program
Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) oleh Badan Litbang Pertanian
yang memasukkan komponen sapi potong sebagai model integrasi untuk
merehabilitasi lahan pertanian. Program tersebut didukung oleh pengembangan
kelembagaan permodalan, yakni Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT),
yang mengarah pada penumbuhan, penguatan, dan pemantapan kelompok
tani. Dalam pengembangan kelembagaan peternakan sapi potong, kelompok
diposisikan sebagai: 1) target pembinaan, yakni peternak sebagai subjek
pembinaan dalam pengembangan inovasi teknologi, 2) target pengembangan
sarana dan prasarana, misalnya alsintan untuk pengolahan pakan dan kompos,
sebagai langkah efisiensi dengan mengoptimalkan kemampuan olah, jumlah
pengguna, dan jangkauan wilayah, secara berkelanjutan, 3) pemenuhan target
produksi dalam suatu kawasan (target produksi ternak) terkait dengan
pemasaran hasil secara kontinu, dan 4) wahana untuk menghimpun modal
kelompok sehingga mampu berperan sebagai penjamin dalam penggalangan
dana untuk pengembangan usaha ternak. Dengan adanya kelompok yang
mantap maka akan terbentuk usaha yang berorientasi bisnis yang mampu
meningkatkan posisi tawar produk yang dihasilkan. Melalui upaya ini diharapkan
usaha ternak dapat berkelanjutan dan mengarah pada usaha agribisnis berbasis
peternakan (Saragih 2000).
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 23
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Gambar 12. Peranan kelembagaan peternak, dinas dan akademisi dalam


pendampingan peternakan di Kalimantan Timur.
Aspek Kebijakan
Salah satu kebijakan Pemprov Kal-Tim yang sangat mendukung
perkembangan peternakan adalah program perkembangan 2 juta ekor teranak
sapi potong di Kal-Tim. Hal ini memiliki tantangan yang berat dalam
implementasi di lapangan, baik yang menyangkut aspek teknis pelaksanaan di
tingkat peternak maupun pengusaha swasta (usaha penggemukan). Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan yang terkait langsung dengan
kinerjampengembangan sapi potong di tingkat nasional. Kebijakan tersebut
dilakukan oleh pemerintah sebagai komponen penunjang dalam konsep usaha
agribisnis dengan meminimalkan persaingan antara usaha peternakan rakyat
dan pengusaha bermodal besar.

Gambar 13. Pencangan Program Pengembangan 2 juta ekor ternak sapi di


Kalimantan Timur.

Kebijakan Pembatasan lmpor Daging Sapi.


Kebijakan impor daging sapi awalnya dilakukan untuk menutup
kekurangan pasokan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan penelitian Priyanto
(2003) yang menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi daging sapi nasional
akan meningkatkan impor daging dan sapi bakalan. Impor daging sapi pada

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 24
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

tahun 2012 mencapai 45.708,5 ton dan cenderung meningkat dari tahun ke
tahun dengan laju 37,58%/tahun (tahun 2008−2012). Impor daging sapi beku
dan segar mencapai 35% dari kebutuhan daging sapi nasional (Dirjen PKH
2012). Sedangkan di Kal-Tim, harga daging impor jauh lebih rendah
dibandingkan harga daging lokal. Harga daging impor hanya Rp
85.000−Rp95.000/kg, sedangkan daging lokal Rp 100.000−Rp 120.000/kg.
Maraknya impor daging juga didukung oleh UU No 41 Tahun 2014, yang
membuka izin impor daging sapi dari Australia, setelah sebelumnya dari Brasil.
Impor daging yang berlebihan sangat menguntungkan importir, namun
berdampak buruk pada usaha peternakan rakyat sehingga menyebabkan
terjadinya kelesuan (Direktur Eksekutif Apfindo dalam Rayana 2009).
Priyanto (2003) menyatakan, peningkatan harga sapi lokal tidak
mendorong pertumbuhan peternakan rakyat karena usaha ternak bersifat
tradisional. Sebaliknya, penurunan harga daging sapi dari peternakan rakyat
cenderung menurunkan suplai daging lokal sehingga melemahkan usaha
peternakan rakyat, yang salah satunya mengakibatkan terjadinya persaingan
impor daging yang tidak terkendali. Peneliti Indonesia Research Strategic
Analysis (IRSA) (Adiprigandari dalam Rayana 2009) menyatakan, pembukaan
kran impor daging sebesar-besarnya akan menekan usaha peternakan rakyat
karena harus bersaing untuk memperoleh pasar dalam negeri. Hal tersebut
bertentangan dengan Permentan No. 20/2009 tentang pemasukan dan
pengawasan peredaran karkas, daging, dan jeroan dari luar negeri yang
cenderung membuka peluang impor. Permentan tersebut menunjukkan adanya
perubahan pola pikir dari ketahanan pangan menjadi liberalisasi program
(Rayana 2009). Oleh karena itu, kebijakan pembatasan impor daging perlu
dilakukan secara bertahap untuk menjamin pertumbuhan peternakan rakyat
sebagai langkah proteksi serta memacu pengembangan usaha ternak dalam
negeri.
Kebijakan Pengaturan Impor Sapi Bakalan.
Impor sapi bakalan meningkat tajam dengan laju 40,2%/tahun.
Indonesia merupakan pengimpor terbesar sapi hidup dari Australia, yang
mencapai 75% dari total ekspor sapi hidup Australia ke pasar dunia. Total nilai
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 25
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

impor Indonesia mencapai 19 juta dolar Australia. Meat and Livestock Australia
(MLA), yaitu perusahaan yang menjadi mitra industry peternakan dan
pemerintah Australia, menyatakan Indonesia merupakan Negara tujuan ekspor
dan mitra dagang penting (Pukesmaveta 2009).
Impor sapi bakalan yang tinggi merupakan pemborosan devisa negara
dan perlu dihindari karena program swasembada adalah mencukupi kebutuhan
berbasis sumber daya dari dalam negeri. Impor sapi bakalan mencapai 570.100
ekor pada tahun 2008. Menurut Kadin, kebutuhan daging di Indonesia
mencapai 400.000 t/tahun, yang setara dengan 2 juta ekor sapi. Jadi impor
sapi bakalan mendukung kebutuhan swasembada daging 114.000 ton
(570.000/2000.000 x 400.000 ton), atau 28,50%, yang kontroversi dengan
swasembada. Impor sapi bakalan sebesar itu sudah jauh dari sasaran program
swasembada (target impor 5−10%). Impor sapi bakalan akan menekan harga
sapi lokal karena sapi impor dikelola oleh pihak swasta (padat modal),
sebaliknya usaha peternakan rakyak dikelola oleh peternak dengan sistem
padat tenaga kerja sehingga sulit bersaing tanpa ada proteksi (kebijakan)
pemerintah. Bahkan pada tahun 2015 ini, hampir 15.000 ribu ekor sapi bakalan
akan diimpor dari Australia dalam rangka program pengembangan pembibitan
sapi di Indonesia. Hal ini akan menyebabkan banyaknya masuk ternak dari luar
yang nantinya akan menambah populasi ternak secara nasional.

Gambar 14. Bakalan sapi Brahman cross yang diimpor dari Australia.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 26
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

BAB III.
MANAJEMEN DAN KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK
DI KALIMANTAN TIMUR

Kebutuhan masyarakat Indonesia akan daging sebagai salah satu


sumber protein hewani, khususnya di Kalimantan Timur sangat besar, baik
untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, baik kebutuhan rumah tangga, rumah
makan maupun industri. Sekitar 60 % kebutuhan daging di Kalimantan Timur
masih dipenuhi dari wilayah lain seperti Kalimantan Selatan bahkan dari Pulau
Jawa. Keterbatasan populasi ternak merupakan salah satu penyebab utama
kurangnya pasokan daging baik ternak sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik.
Sapi merupakan salah satu ternak penghasil daging utama di Indonesia.
Konsumsi daging sapi mencapai 19% dari jumlah konsumsi daging nasional
(Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, sementara pemenuhan kebutuhan akan konsumsi daging
dalam negeri masih banyak diimpor. Permintatan daging sapi cenderung
meningkat seirama dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan
ekonomi, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat
pendididkan masyarakat di Indonesia. Saat ini rata-rata konsumsi daging
penduduk Indonesia masih sangat rendah (<2 kg/kapita/tahun), dan akan
terjadi peningkatan permintaan diduga mencapai sekitar 3 kg/kapita/tahun
dalam dasawarsa mendatang. Peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan
rata-rata konsumsi tersebut memerlukan tambahana pasokan sapi potong
sangat besar,yaitu 1,5 juta ekor/tahun. Ketergantungan pada impor sapi
potong harus dikurangi, dilain pihak pemenuhan permintaan daging sapi bila
hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi lokal, maka dapat berakibat terjadi
pengurasan populasi sapi lokal, karena terjadi pemotongan terhadap sapi muda
yang ukurannya masih kecil dan terhadap sapi betina produktif Usaha
peternakan adalah suatu usaha produksi yang di dasarkan pada proses biologis
dari pertumbuhan ternak. Dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia, maka
manusia melakukan campur tangan langsung untuk mengendalikan dan
menguasai pertumbuhan hewan ternak (Cyriilia dan Ismail, 1988).

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 27
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Laju peningkatan jumlah penduduk, yang diikuti dengan perbaikan taraf


hidup dan perubahan selera konsumen telah mengubah pola konsumsi yang
mengarah pada protein hewani asal ternak. Daging, telur, dan susu merupakan
komoditas pangan berprotein tinggi, yang umumnya memiliki harga yang lebih
mahal dibanding bahan pangan lainnya (Soedjana 1997). Daging sapi sebagian
besar dihasilkan oleh usaha peternakan rakyat. Kebutuhan daging sapi
meningkat dari tahun ke tahun, demikian pula impor terus bertambah dengan
laju yang makin tinggi, baik impor daging maupun sapi bakalan.

Gambar 15. Jumlah produksi daging per kabupaten di Kalimantan Timur


tahun 2014.

Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah yang menjadi importir


produk peternakan, termasuk daging sapi. Kondisi demikian menuntut para
pemangku kepentingan (stakeholders) menetapkan suatu strategi
pengembangan peternakan sapi potong nasional untuk mengurangi
ketergantungan pada impor, dan secara bertahap mampu berswasembada
dalam menyediakan kebutuhan daging nasional. Program pengembangan 2
juta ekor sapi telah dicanangkan selama satu periode (5 tahunan)
kepemimpinan Gubernur Awang Faroek sejak tahun 2013, dan terakhir
ditargetkan tercapai pada 2018 melalui berbagai terobosan, namun upaya
tersebut masih diragukan keberhasilannya jika tidak didukung oleh banyak
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 28
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

pihak. Menurut Yusdja et al. (2004), ketidakberhasilan program ketahanan


pangan misalnya program peningkatan populasi suatu daerah bisa saja gagal
jika 1) kebijakan program tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci
dan kegiatan riil di lapangan, 2) program bersifat top down dan berskala kecil
dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, 3) strategi implementasi
program disamaratakan dengan tidak memprioritaskan wilayah unggulan, tetapi
berorientasi pada komoditas unggulan, 4) implementasi program tidak
memungkinkan untuk mengevaluasi dampak program, dan 5) program tidak
secara jelas memberikan dampak pada pertumbuhan populasi ternak secara
nasional. Sebagai tindak lanjut dengan dicanangkannya program
pengembangan 2 juta ekor ternak sapi yang memanfaatkan lahan pasca
tambang dan integrasi kelapa sawit dan sapi yang diharapkan dicapai pada
tahun 2018. Program tersebut didukung oleh berbagai terobosan dalam inovasi
teknologi, kelembagaan, dan kebijakan. Strategi program ini yang dicanangkan
Pemprov juga didukung oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan kementerian Pertanian RI (Ditjennak) dengan dilakukan melalui
kegiatan teknis, yang meliputi 1) pengembangan sentra perbibitan dan
penggemukan, 2) revitalisasi kelembagaan dan SDM di lapangan, dan 3)
dukungan sarana dan prasarana, serta kegiatan nonteknis seperti dukungan
finansial dan pengembangan wilayah.

a. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA DAN POPULASI SAPI POTONG di


KALIMANTAN TIMUR

Pemenuhan kebutuhan daging sapi ditentukan oleh beberapa faktor


yang terkait dengan data dukung yang tersedia dan peluang dalam menarik
kebijakan ke depan. Populasi penduduk sebagai faktor utama dalam
pemenuhan kebutuhan daging cenderung meningkat dengan laju 1,2%/tahun
sementara laju peningkatan populasi sapi potong mencapai 5,3%. Laju
pemotongan ternak sapi mencapai 4,9% dan laju produksi daging 3,1%
(Ditjennakeswan 2012). Laju peningkatan produksi daging tersebut tidak
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 29
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

mampu memenuhi permintaan karena berbagai faktor, yaitu: 1) penyediaan


daging pada awalnya masih tidak sesuai dengan permintaan yang masih terjadi
excess demand, 2) meningkatnya pendapatan rumah tangga yang cenderung
mengubah pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak,
termasuk daging sapi, dan 3) perubahan selera masyarakat yang cenderung
mengarah pada konsumsi daging sapi (steak dan produk olahan lainnya).
Peningkatan konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi oleh peningkatan
produksi dalam negeri, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga terjadi
jurang yang semakin besar antara permintaan dan penawaran (Subagyo 2009).
Kondisi ini tercermin pada impor sapi bakalan maupun daging yang cenderung
meningkat. Impor sapi bakalan mencapai 570.100 ekor pada tahun 2008 dan
meningkat 40,84%/tahun.
Penyediaan daging sapi nasional bahkan daerah di Kal-Tim berasal dari
tiga sumber utama, yakni: 1) usaha peternakan rakyat, 2) industri
penggemukan sapi dengan melakukan impor sapi bakalan, dan 3) impor daging
sapi. Usaha ternak sapi potong rakyat umumnya berupa usaha pembibitan
(produksi anak) atau pembesaran anak dengan biaya rendah (low external
input). Manajemen usaha dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan
sumber daya lokal (padat tenaga kerja), tidak berorientasi pada keuntungan
karena mengandalkan tenaga kerja keluarga, dan diusahakan dalam skala kecil.
Usaha pembibitan kurang menarik minat investor karena efisiensinya rendah
dan jangka pengembalian modal panjang. Suplai daging berasal dari sapi
betina afkir atau dewasa, sapi jantan lokal, sapi perah afkir, dan anak sapi
perah jantan. Peternak menjual sapi berdasarkan kebutuhan. Sapi jantan
umumnya dijual ke pemilik modal untuk digemukkan. Impor sapi bakalan
dilakukan oleh importir yang kemudian dikelola oleh feedloter untuk
digemukkan, biasanya selama 3−4 bulan atau sampai siap potong. Impor sapi
bakalan dilakukan karena sulitnya mendapat sapi bakalan lokal, di samping
harga sapi lokal yang lebih mahal dibanding sapi bakalan impor. Volume impor
sapi bakalan menunjukkan trend yang semakin tinggi, yaitu 40,2% (Ditjennak
2009), dan berperan penting dalam mendukung penyediaan daging nasional.
Usaha penggemukan sangat menguntungkan walaupun dengan input tinggi
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 30
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

karena merupakan usaha padat modal dan dalam jangka waktu pendek
investasi dapat kembali. Oleh karena itu, usaha penggemukan cukup
berkembang. Di satu sisi, impor sapi bakalan berpotensi mendukung suplai
daging nasional, namun di lain pihak merupakan pesaing bagi usaha
peternakan rakyat.
Berikut ini akan dijelaskan tentang beberapa faktor kritis yang bisa
menjadi permasalahan dalam mencapai strategi pengembangan sumber daya
dan populasi ternak sapi potong di Kalimantan Timur :
i). Aspek Teknis
Upaya dalam pencapaian program 2 juta ekor ternak sapi potong ini
akan menghadapi permasalahan antara lain adalah sapi lokal Indonesia
memiliki bobot potong relatif rendah (sapi bali, sapi madura, sapi PO, sapi aceh,
sapi pesisir) dibandingkan dengan sapi Bos taurus akibat terjadinya persilangan
dalam (inbreeding). Dengan kondisi seperti ini, untuk memenuhi kebutuhan
daging secara daerah diperlukan jumlah individu sapi lokal yang lebih banyak.
Hal ini berbeda dengan sapi lokal hasil persilangan dengan Bos taurus yang
dapat mencapai bobot badan lebih tinggi. Produktivitas sapi lokal yang rendah
juga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang belum efisien dan tingkat
kematian ternak yang tinggi, terutama kematian pedet yang mencapai 20 -
40% dan induk berkisar antara 10 - 20%, terutama akibat kekurangan pakan
dan air pada musim kemarau.
Produktivitas sapi lokal yang rendah berkaitan dengan kondisi
peternakan sapi potong di Indonesia yang lebih dari 90% berupa peternakan
rakyat yang memiliki ciri sebagai berikut: 1) skala usaha relative kecil, berkisar

tradisional, 4) ternak sering digunakan sebagai sumber tenaga kerja, dan 5)


ternak sebagai penghasil pupuk kandang dan tabungan yang memberikan rasa
aman pada musim paceklik (Muladno 1999; Eni et al. 2006).
Masalah lain yang juga sering muncul dalam usaha ternak sapi potong
rakyat adalah kawin berulang (S/C > 2) dan rendahnya angka kebuntingan (<
60%) sehingga jarak beranak (calving interval) menjadi panjang (> 18 bulan).
Kondisi ini akan berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 31
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

per tahun dan menurunnya pendapatan petani dari usaha ternak. Rendahnya
perkembangan populasi sapi potong juga berkaitan dengan manajemen
perkawinan yang tidak tepat, seperti 1) pola perkawinan kurang benar, 2)
pengamatan berahi dan waktu kawin tidak tepat, 3) rendahnya kualitas atau
kurang tepatnya pemanfaatan pejantan dalam kawin alam, 4) kurang
terampilnya petugas inseminasi buatan (IB), dan 5) rendahnya pengetahuan
peternak tentang IB. Pada perkawinan alami, peternak sulit memperoleh
pejantan, apalagi yang berkualitas, sehingga pedet yang dihasilkan bermutu
rendah, bahkan terindikasi terjadi kawin keluarga (inbreeding) terutama di
wilayah padang penggembalaan. Kesulitan peternak dalam memperoleh
pejantan unggul antara lain disebabkan belum tersedianya pusat perbibitan
nasional sebagai sumber bibit unggul. Oleh karena itu, perbibitan sapi secara
nasional maupun daerah yang terpadu perlu dibangun. Pemerintah dapat
mendorong pihak swasta untuk pengembangannya karena usaha perbibitan
sapi potong memerlukan investasi tinggi dan berjangka panjang.
ii). Aspek Ekonomi
Kondisi ekonomi pasar sapi domestik tidak stabil dan berpola acak
karena adanya pengaruh pasar sapi dan daging luar negeri dan variabel-
variabel pasar lainnya. Pasar sapi dalam negeri juga dipengaruhi oleh fluktuasi
nilai tukar rupiah terhadap dolar. Hal ini terjadi karena volume impor sapi dan
daging Indonesia mencapai 30% dari total kebutuhan pasar dalam negeri.
Kebutuhan daging yang tidak seimbang dengan pasokan mengakibatkan harga
daging menjadi tidak menentu. Secara umum harga sapi di Indonesia
ditentukan berdasarkan kondisi fisik ternak hidup dan perkiraan jumlah daging,
serta ongkos perdagangan yang diperhitungkan berdasarkan kesepakatan
antara penjual dan pembeli. Masyarakat umumnya lebih menyukai daging sapi
impor yang harganya lebih murah. Selain itu, harga sapi lokal hidup yang lebih
murah dibandingkan dengan harga sapi persilangan mendorong peternak untuk
melakukan persilangan sapi asli dengan sapi ras lain tanpa terprogram. Kondisi
ini terus berjalan seiring dengan tuntutan swasembada daging sapi di setiap
daerah. Persilangan sapi lokal asli dengan sapi Bos taurus dapat dipahami dari
sudut pandang bisnis karena sangat menguntungkan. Namun, apabila dibiarkan
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 32
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

tanpa ada kebijakan pemuliabiakan, kondisi ini dapat mengancam plasma


nutfah sapi asli Indonesia.
iii). Aspek Kelembagaan
Permasalahan yang terkait dengan kelembagaan dalam upaya
swasembada daging sapi/kerbau adalah: 1) eksekusi beberapa program seperti
penyelamatan sapi betina produktif serta penanganan reproduksi dan
kesehatan hewan masih menghadapi masalah di lapangan, 2) kebutuhan
ekonomi harian yang bersifat pokok masih merupakan masalah sentral di
pedesaan, 3) ketersediaan bahan baku pakan perlu diatasi secara lintas
sektoral, karena sebagian besar persoalan bahan baku pakan berada di luar
otoritas Kementerian Pertanian, seperti Kementerian Perdagangan dan
Kementerian Perindustrian, dan 4) peternakan sapi sebagian besar dilakukan
oleh peternak skala kecil, yang tergabung dalam kelompok peternak yang
belum terstruktur sebagai suatu badan usaha (Sunari et al. 2010).
Berikut ini akan dijelaskan tentang beberapa solusi mengatasi faktor
kritis diatas yang akan membantu pencapaian strategi pengembangan sumber
daya dan populasi ternak sapi potong di Kalimantan Timur :
1). Penyebaran Sapi Potong
Berdasarkan hasil sensus ternak dan pendataan ternak oleh Dinas
Peternakan, populasi sapi potong di Kal-Tim pada tahun 2014 tercatat 101.743
ekor. Sebagian besar populasi sapi potong terdapat di Kabupaten
Memperhatikan 4 kabupaten terpilih dalam sentra pengembangan sapi potong
di provinsi Kalimantan Timur, yaitu kabupaten Paser, Kutai Kartanegara, Kutai
Timur, dan Berau, terdapat 2 kabupaten yang mengalami peningkatan populasi
cukup besar dalam periode 5 tahun, yaitu kabupaten Paser dan Kutai
kartanegara, sedangkan kabupaten Kutai Timur dan Berau, karena pernah
mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2011, maka peningkatannya
relatif kecil, bahkan di kabupaten Kutai Timur hanya mengalami peningkatan
yang sangat kecil pada tahun 2014.
Kesenjangan antara permintaan dan produksi daging sapi lokal terjadi
tiap tahun akibat konsumsi yang terus meningkat. Konsumsi daging sapi
meningkat dari 1,95 kg/kapita (2007) menjadi 2 kg/kapita (2008) dan 2,24 kg/
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 33
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

kapita (2009) sehingga kebutuhan daging sapi dan jeroan meningkat dari
455.755 ton pada tahun 2008 menjadi 516.603 ton pada tahun 2009 (BPS dan
Statistik Peternakan 2009). Kebutuhan daging sapi yang terus meningkat dan
produksi daging sapi lokal yang masih berfluktuasi mendorong pemerintah
untuk mengimpor daging dan sapi bakalan. Impor daging dan sapi bakalan
-rata 10,6% dan pada tahun
2009 menurun 5% dibanding tahun 2008.
2). Pengaruh Pasar
Daging sapi merupakan sumber protein hewani yang menyumbang 18%
terhadap konsumsi daging nasional, sehingga ketersediaan daging sapi dengan
harga yang terjangkau harus menjadi perhatian pemerintah. Kebijakan impor
sapi bakalan dan daging sapi dikeluarkan pemerintah pada tahun 1980-an
untuk menyediakan daging murah sehingga konsumsi daging masyarakat
meningkat. Namun, pada saat ini proporsi daging sapi impor telah mencapai
30% dari kebutuhan daging sapi nasional sehingga dikhawatirkan dapat
mengganggu kedaulatan dan ketahanan pangan. Upaya ketahanan pangan
bidang peternakan sangat relevan untuk ketahanan pangan dengan
mengurangi impor sampai 90% dari kebutuhan. Impor daging dimaksudkan
untuk mengisi kekurangan pasokan agar harga daging terjangkau oleh
masyarakat. Penetapan harga tertinggi bertujuan untuk melindungi konsumen,
namun di sisi lain dapat menjadi disinsentif bagi peternak untuk memelihara
sapi. Tingginya peningkatan konsumsi daging sapi setiap tahun perlu diikuti
dengan upaya peningkatan produksi daging antara lain dengan
mengembangkan usaha peternakan sapi.
Tatang et al. (2006) menyatakan bahwa intervensi pemerintah pada sisi
penawaran daging sapi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1)
meningkatkan jumlah daging yang ditawarkan di sepanjang kurva penawaran,
dan 2) meningkatkan penawaran dengan menggeser kurva penawaran ke
kanan bawah. Upaya pertama dapat dilakukan dengan meningkatkan harga
daging sapi di pasar domestik, sedangkan upaya kedua dapat ditempuh melalui
perbaikan teknologi, rekayasa kelembagaan, dan lain-lain.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 34
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

3). Peningkatan Populasi Sapi Lokal


Untuk meningkatkan populasi sapi potong, pemerintah sudah seharusnya
melakukan fasilitasi untuk menarik pihak swasta guna menanamkan investasi
pada usaha peternakan. Jika selama ini pemerintah dapat memberikan konsesi
penggunaan lahan untuk usaha perkebunan, hal yang sama perlu dilakukan
pada usaha peternakan sapi (Suharyanto 2011). Kebijakan ini ditujukan untuk
meningkatkan populasi sapi nasional secara signifikan melalui langkah
terobosan yang belum dilakukan pada sapi potong, namun telah berhasil untuk
komoditas lain. Hambatan dalam meningkatkan populasi sapi potong berkaitan
dengan penyediaan bibit, pakan, dan lahan serta pengendalian penyakit.
Keempat komponen tersebut harus diupayakan penyelesaiannya melalui
beberapa program, antara lain: 1) pengembangan peternakan pada pulau-
pulau kecil dan 2) pengembangan kawasan industri terpadu sapi potong.
Terkait dengan penetapan perwilayahan perbibitan ternak, Muladno
(1999); Dwiyanto dan Priyanti (2008) menyatakan ada beberapa hal penting
yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) daya dukung lahan pengembangan ternak
bibit berdasarkan kondisi alam (topografi lahan) dan lokasi peternakan, 2)
ketersediaan pakan dari aspek kuantitas dan kualitas, 3) sumber daya peternak,
4) kultur masyarakat, dan 5) pengendalian dan pencegahan penyakit.
Penentuan wilayah bebas penyakit khususnya yang menular, harus
diprioritaskan untuk keberhasilan usaha perbibitan sapi.
4). Substitusi Daging Sapi
Kebijakan mendorong substitusi konsumsi daging sapi diharapkan dapat
memberikan alternatif pangan murah yang proses produksinya tidak
memerlukan waktu lama, seperti ayam (terutama ayam buras), kambing, dan
domba. Program ini diharapkan dapat mengurangi laju pemotongan sapi.
Sehubungan dengan hal ini, perlu kebijakan dan strategi yang tepat melalui
berbagai program sebagai berikut: 1) peningkatan populasi ayam lokal melalui
intensifikasi kawasan pengembangbiakan ayam lokal, village poultry farming,
integrasi padi-ayam buras, program sarjana membangun desa, pembangunan
rumah potong ayam dan penstrukturan usaha peternakan ayam lokal melalui
konsep agribisnis, 2) peningkatan populasi kambing dan domba di Kalimantan
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 35
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Timur, hal ini akan mendorong terjadinya peningkatan konsumsi daging


ruminansia kecil, kambing dan domba, merupakan salah satu strategi dalam
penganekaragaman sumber pangan daging dan perbaikan gizi masyarakat.
Selain dua program tersebut, juga diperlukan pengembangan sistem
pemasaran dan pasar ternak yang tidak dimonopoli oleh pengusaha besar, dan
membangun kerja sama pemasaran ternak dengan pedagang lokal maupun
pedagang antarpulau, seperti kerja sama rintisan ekspor perdana sapi potong
hidup untuk memenuhipermintaan daging segar di dalam maupun di luar
negeri.

Gambar 16. Struktur konsumsi hasil ternak-daging di Kalimantan Timur


Tahun2013

b. STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG MENDUKUNG


PROGRAM 2 JUTA EKOR TERNAK DI KALIMANTAN TIMUR

Pelaksanaan program perkembangan 2 juta ekor ternak sapi di


Kalimantan Timur ini relatif singkat, yakni 5 tahun(2013-2018), sehingga perlu
program terobosan yang mampu mendongkrak produksi daging dengan
mempertimbangkan kemudahan implementasi dan efisiensi usaha. Untuk
mendukung program ini, beberapa program yang dapat dilaksanakan diuraikan
berikut ini.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 36
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

1. Pengembangan Sentra Produksi Sapi Potong Berbasis Wilayah


Pengembangan sapi potong memerlukan pengelompokan basis wilayah
yang disesuaikan dengan daya dukung (carrying capacity) sebagai model
pengembangan ke depan. Terdapat 10 Kabupaten/Kota yang terdapat di
Kalimantan Timur yang berfungsi dan berpotensi sebagai daerah utama
produsen daging, meskipun mengalami pergeseran dari tahun ke tahun
(Gambar 12).

Gambar 17. Persentase produksi komoditi hasil peternakan di provinsi


Kalimantan Timur Tahun 2014.

Pada tahun 2014, produsen daging utama adalah Samarinda, Balikpapan


dan Kutai Kartanegara. Samarinda sebagai ibukota provinsi dan pusat
konsumen daging sapi merupakan sentra pemotongan ternak terbesar. Pola
usaha umumnya berupa usaha penggemukan, selain pembibitan dengan pola
intensif, dengan basis pengembangan usaha difokuskan pada industry hilir.
Potensi pakan terintegrasi dengan tanaman pangan, perkebunan, dan
kehutanan dan sudah mengarah pada usaha semikomersial. Inovasi teknologi
ke arah komersialisasi pengembangan produk lebih diutamakan. Pemetaan
wilayah pengembangan usaha (sumber pertumbuhan baru) dengan pola
pembibitan maupun penggemukan diperlukan untuk mendukung peningkatan
populasi ternak. Usaha pembibitan disesuaikan dengan daya dukung padang

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 37
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

penggembalaan. Wilayah yang potensial untuk pengembangan usaha


pembibitan adalah Kutai Kartanegara, Paser, Penajam Paser Utara (PPU), Kutai
Timur dan Berau. Sampai saat ini, belum ada investor yang tertarik pada
usaha pembibitan sapi potong, usaha pembibitan hanya dilakukan oleh
peternakan rakyat dengan mengandalkan sumber daya lokal. Pengembangan
dan pemanfaatan padang penggembalaan masih sangat kurang. Oleh karena
itu, kebijakan penyelamatan betina produktif dipandang tepat. Ilham (2006)
menyatakan, faktor yang mendorong pemotongan sapi betina produktif adalah:
1) peternak memerlukan dana tunai untuk kebutuhan hidupnya sehingga
menjual sapi betina yang dimiliki, 2) harga sapi betina lebih murah dibanding
sapi jantan, padahal harga jual dagingnya sama sehingga menarik pembeli, 3)
adanya pemotongan di luar rumah potong hewan (RPH) pemerintah, dan 4)
banyak RPH yang hanya berorientasi keuntungan sehingga melakukan
pemotongan sapi betina produktif. Faktor ekonomi merupakan alasan utama
peternak menjual sapi betina produktif.
2. Tunda potong untuk penggemukan
Data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menunjukkan, setiap tahun
Indonesia membutuhkan 350.000−400.000 ton daging sapi, yang setara
dengan pemotongan sapi 1,7−2 juta ekor. Pada tahun 2007, populasi sapi
potong mencapai 11.514.671 ekor dengan populasi sapi induk 42,03% (Rayana
2009). Bila jarak beranak 16 bulan dan mortalitas 2% (Ditjennak 2008), dalam
satu tahun akan dihasilkan anak 3.557.117 ekor. Dengan kondisi tersebut maka
target pemotongan 2 juta ekor sapi untuk swasembada daging dapat dicapai,
dengan asumsi bobot seekor sapi 200 kg (400.000 ton daging). Namun, target
produksi daging tiap ekor sapi tersebut menjadi permasalahan karena sapi lokal
yang tercatat dalam populasi relatif kecil atau dipotong saat belum mencapai
bobot optimal sehingga target bobot karkas per ekor (masih rendah) tidak
tercapai. Oleh karena itu, rekomendasi tunda potong merupakan salah satu
alternatif dalam mendukung pertambahan bobot potong dan bobot daging yang
dihasilkan. penggembalaan merupakan alternative pendukung mempercepat
pencapaian swasembada daging sapi, khususnya pembibitan yang dikelola oleh
masyarakat(pemeliharaan secara ekstensif). Meles (2009) menyatakan,
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 38
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

pengembangan sapi potong perlu mempertimbangkan potensi sumber daya


yang dimiliki daerah, seperti area penggembalaan atau area pertanian, populasi
ternak, sumber daya manusia, teknologi tepat guna, sarana pendukung, dan
potensi pasar.
3. Pengembangan Aspek Teknis dan Teknologi
Pengembangan usaha sapi potong berdasarkan aspek teknis dan
teknologi didasarkan pada pembelajaran kasus yang terjadi di lapangan, yakni
faktor penghambat dan alternatif pemecahannya melalui introduksi teknologi
dan kelembagaan, serta sarana pendukung lainnya.
4. Penyelamatan sapi betina produktif
Walaupun sudah ada undang-undang yang melarang pemotongan sapi
betina produktif, fakta di lapangan menunjukkan kasus tersebut masih banyak
terjadi. Sekitar 200.000 ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya
(Rayana 2009). Jika 200.000 ekor sapi betina produktif tersebut dapat
diselamatkan maka akan diperoleh tambahan anak 147.000 ekor/ tahun atau
menambah produksi daging 14.700 t/tahun bila satu ekor sapi setara dengan
100 kg daging.
Dengan target swa-Ternak lokal di Kalimantan Timur, maka sudah
sangat tidak jarang lagi bahwa betina produktif umumnya dipotong saat belum
mencapai bobot optimal atau dipotong pada usia muda, dengan bobot hidup
300−350 kg sehingga menghasilkan karkas atau daging yang rendah.
Penundaan pemotongan melalui penggemukan akan meningkatkan produksi
karkas dan daging. Apabila 50% anak yang dilahirkan adalah jantan maka
program tunda potong akan menambah produksi daging 30 kg/ekor, atau
meningkatkan produksi daging per tahun sebesar 1.724.112 x 30 (tambahan
bobot daging) atau 551.723,36 ton, yang dapat mendukung program
swasembada daging 12,93%. Upaya tersebut dapat dilakukan bekerja sama
dengan usaha penggemukan melalui kemitraan yang saling menguntungkan.
Kerja sama peternakan rakyat dengan usaha penggemukan dapat mendukung
program tunda potong dengan memanfaatkan sapi bakalan lokal.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 39
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

5. Memperpendek jarak beranak


Jarak beranak sapi peranakan ongole (PO) cukup panjang, masing-
masing 503 dan 505 hari (sekitar 16 bulan) di Kabupaten Gunung Kidul dan
Kulonprogo. Dengan proporsi induk 42,03% dari total populasi dan jarak
beranak 16 bulan akan diperoleh anak sebanyak 3.629.712 ekor/tahun
(4.839.616 x 0,75). Jika jarak beranak dapat diperpendek menjadi 12 bulan
maka anak yang dihasilkan meningkat 1.209.904 ekor menjadi 4.839.616
ekor/tahun. Dengan asumsi produksi daging tiap ekor sapi 100 kg maka
produksi daging akan meningkat 120.990,40 ton atau menyumbang 30,24%
dari target swasembada. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan: 1)
menyediakan pejantan karena telah terjadi kelangkaan pejantan unggul di
lapangan karena memelihara pejantan dianggap tidak menguntungkan, 2)
mempertepat deteksi berahi pada usaha ternak intensif (dikandangkan)
sehingga dapat memperpendek jarak beranak, dan 3) melakukan penyuluhan
sistem perkawinan sehingga peternak mampu mengawinkan ternak tepat
waktu, baik dengan perkawinan alami maupun melalui IB.
6. Pengembangan teknologi inseminasi buatan (lB)
IB bertujuan untuk membentuk bangsa baru ternak melalui persilangan
dengan pejantan unggul (Toelihere 1981). Dengan teknologi IB akan dihasilkan
pedet yang lebih besar dengan laju pertumbuhan yang cepat sehingga dapat
diperoleh bobot potong yang tinggi. Priyanto (2003) menyatakan, penerapan
teknologi IB tidak berpengaruh terhadap penyediaan daging di Indonesia, yang
diprediksi berdasarkan distribusi semen beku tahunan. Kondisi tersebut terjadi
karena tidak seimbangnya distribusi semen beku dan angka kelahiran. Pada
tahun 1997−2000, rasio rata-rata kelahiran pedet dibanding realisasi distribusi
semen hanya mencapai 38,26% atau tergolong rendah. Namun, pada wilayah
kantong ternak sapi potong, teknologi IB dapat meningkatkan produktivitas sapi
dengan bobot badan yang tinggi (keturunan Limousin dan Simental), seperti di
Daerah Istimewa Yogyakarta (Setiadi et al. 1997). Sebagai ilustrasi, realisasi
distribusi semen beku pada tahun 1997−2000 mencapai 1.211.206 straw
dengan angka kelahiran 38,26% dan hasil pedet 463.407 ekor (Priyanto 2003).
Dengan asumsi pertambahan bobot daging sapi hasil IB dibanding sapi lokal
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 40
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

100 kg/ekor maka suplai daging akan bertambah 46.340,7 ton atau memberi
kontribusi 11,58% dari target swasembada.
Teknologi IB diminati peternak sapi perah maupun sapi potong. Untuk
efektivitas IB, semen sebaiknya tidak didistribusikan secara merata pada semua
wilayah, tetapi selektif pada wilayah dengan pola pemeliharaan intensif,
khususnya sumber bibit sapi potong. Tidak efektifnya distribusi semen
menyebabkan persentase kelahiran rendah akibat tingginya service per
conception (SC) dan rendahnya conception rate (CR). Keberhasilan IB
ditentukan oleh beberapa faktor, yakni SDM peternak, keterampilan
inseminator, dan sarana pendukung (peralatan) (Sitepu et al. 1997).

c. UPAYA PENCAPAIAN PROGRAM 2 JUTA EKOR TERNAK SAPI


POTONG

Berdasarkan tinjauan permasalahan dalam peningkatan populasi sapi


potong provinsi Kalimantan Timur, maka upaya pencapaian swasembada
daging sapi/kerbau dapat dilakukan melalui berbagai langkah sebagai berikut.
1. Model Perbibitan dan Pemuliabiakan Sapi
Kebijakan perbibitan dan pemuliabiakan sapi provinsi ditujukan pada dua
hal penting, yaitu pemurnian sapi lokal asli Indonesia (seperti sapi bali, madura,
Peranakan Ongole, Sumba Ongole) untuk sumber bibit unggul dan
penggemukan. Terkait dengan hal itu, beberapa alternative program perbibitan
nasional perlu dilakukan, antara lain:
1) Perluasan padang pangonan melalui integrasi tanaman ternak,
2) Perubahan peraturan perundangan tentang kewenangan pemerintah pusat
terkait dengan pengaturan mutu genetik ternak, pelestarian kawasan sapi
lokal, dan kewenangan Komisi Nasional Plasma Nutfah,
3) Revitalisasi peran Balai Pembibitan Ternak Unggul dengan menghidupkan
kembali “ladang ternak”,
4) Penelitian dampak persilangan terhadap produktivitas ternak dan sumbangan
ekonominya (Hardjosubroto 2004).

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 41
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Model laboratorium lapang dan sekolah lapang pembibitan dan


penggemukan sapi potong (SL-LLPPSP) yang diterapkan oleh Litbang
Kementerian Pertanian dapat dijadikan contoh model perbibitan dan pemurnian
sapi PO. Kelompok ini juga dapat menjadi contoh pengembangan village
breeding center (VBC) dalam pengembangbiakan/perbibitan sapi PO karena
sudah menerapkan pencatatan, perkawinan menggunakan pejantan PO unggul,
seleksi terhadap anak pejantan (uji performa), dan penimbangan bobot lahir
anak. Pedet calon induk betina dan jantan dihargai sebagai bibit yang lebih
mahal daripada sapi biasa.
Contoh model pengembangan perbibitan dan penggemukan sapi potong
di Unit Usaha Integrasi Sawit-Sapi (UUISS) di PTPN VI Desa Muaro Sebo
Kabupaten Muaro Jambi dapat dijadikan model pengembangan perbibitan dan
penggemukan sapi potong pada BUMN berbasis perkebunan sawit. UUISS
dapat menjadi tempat pembelajaran (laboratorium lapang) bagi PTPN dan
perkebunan swasta atau perkebunan sawit rakyat yang akan mengembangkan
usaha perbibitan dan penggemukan sapi secara terintegrasi dengan
perkebunan kelapa sawit (Bahri et al. 2012).
2. Pengembangan Produktivitas Bangsa Sapi Bakalan/Penggemukan
Untuk memenuhi kebutuhan daging melalui peningkatan produksi dalam
negeri perlu dilakukan peningkatan (up grading) sapi lokal seperti PO (bukan
galur murni) melalui program persilangan dengan bangsa sapi asing (limosin,
simental, brahman). Persilangan dibatasi pada pengembangan turunannya di
luar provinsi konservasi sapi asli lokal Indonesia, namun dapat memberikan
arahan kepada pelaku usaha untuk mendapatkan final stock yang memiliki
produktivitas dan kualitas daging yang lebih baik daripada sapi lokal. Meski
telah ada Peraturan Menteri Pertanian No. 54/Permentan/OT.14011 012006
yang mengatur pengembangan bibit bangsa sapi, peraturan tersebut perlu
ditinjau dan disempurnakan dengan membuka peluang untuk melakukan
persilangan dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi lokal. Tujuan utama
persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang
semula terdapat dalam dua bangsa sapi ke dalam satu bangsa silangan
(Warwick et al. 1990). Secara genetik, persilangan menaikkan persentase
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 42
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

heterosigositas dan variansi genetik. Tujuan lain dari persilangan adalah: 1).
pembentukan bangsa baru, 2). Grading up, 3). pemanfaatan heterosis. Namun,
dalam melakukan persilangan harus betul-betul diperhatikan keunggulan dan
kelemahan dari kedua bangsa sapi yang akan disilangkan serta tujuannya untuk
apa. Selain itu, ada satu hal yang penting dalam melakukan persilangan, yaitu
menjaga kelestarian plasma nutfah. Adanya upaya masyarakat untuk
menyilangkan sapi lokal dengan sapi bangsa asing menunjukkan keinginan
masyarakat untuk mendapatkan sapi yang lebih produktif (mencapai bobot
potong lebih cepat).
Dalam melakukan persilangan beberapa hal perlu diperhatikan, contoh
kasus di Pulau Jawa, yaitu: persilangan dengan cara inseminasi buatan (IB). IB
adalah salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas sapi potong lokal
melalui pemanfaatan genetik sapi bibit unggul yang disilangkan dengan sapi
bibit lokal. Sapi Bos taurus yang digunakan sebagai sumber mani beku (straw)
terbiasa hidup di daerah berhawa dingin dengan tatalaksana pemeliharaan yang
teratur. Adanya darah Bos taurus pada sapi potong silangan di peternakan
rakyat, diduga menurunkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan
kondisi pakan di Pulau Jawa yang kurang baik menurunkan produksi dan
reproduksi sapi silangan. Penurunan kemampuan produksi dan reproduksi
menimbulkan keadaan tidak efisien dari keseluruhan sistem produksi sapi
potong nasional (Sumadi 2009). Dwiyanto (2002) menyatakan bahwa
penurunan produktivitas sapi silangan hasil IB tersebut diduga karena adanya
pengaruh genetic environmental interaction. Di samping itu, yang terjadi di
lapangan adalah anak betina (F1) hasil silangan dikawinkan lagi dengan bangsa
pejantannya sehingga terjadi silang balik ke arah bangsa pejantan dan
sekarang diduga sudah sampai silang balik yang kedua atau back cross kedua
sehingga keturunannya mengandung darah Bos Taurus sampai 87,5%.
Persilangan dengan IB pada sapi PO dengan straw dari Simmental dan Limousin
di peternakan rakyat tidak ada program dan tujuan yang jelas dari pemerintah
sehingga tidak ada catatan atau recording, dan diduga telah terjadi inbreeding.
Dua kejadian tersebut justru mengakibatkan semakin menurunnya kemampuan
adaptasi dengan kondisi dan lingkungan tropis. Sebagai contoh, sapi hasil
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 43
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

silangan baik SIMPO maupun LIMPO banyak yang tidak tahan panas yang
ditandai dengan banyaknya sapi yang infeksi di pojok mata bagian bawah dan
sering terengah-engah. Aryogi (2005) menyatakan bahwa karakteristik fisiologis
antara sapi PO dan sapi-sapi hasil silangan berbeda sangat nyata, yaitu sapi PO
lebih rendah secara fisiologis baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi.
Sapi SIMPO dan LIMPO di dataran tinggi lebih cocok daripada di dataran rendah
jika ditinjau dari karakter fisiologis dan pertumbuhan sampai umur 365 hari.
Sistem perkawinan inbreeding atau silang dalam adalah perkawinan antara dua
individu yang masih mempunyai hubungan keluarga 6 - 8 generasi ke atas dan
keturunannya disebut individu yang tersilang dalam (inbreed animal) (Warwick
et al. 1990). Secara genetic pengaruh silang dalam menaikkan persentase
homosigositas dominan atau resesif dan menurunkan persentase
heterosigositas. Jadi, berlawanan dengan pengaruh persilangan. Penurunan
produksi akibat silang dalam disebut depresi silang dalam (DF). Warwick et al.
(1990) menyatakan bahwa pada sapi potong setiap kenaikan 10% silang dalam
maka terjadi penurunan calf crop 5,9%, berat sapih 2,5 - 5 kg dan laju
kebuntingan 2%. Inbreeding juga dapat mengakibatkan kematian pada awal
kehidupan, efisien reproduksi yang rendah, pertumbuhan yang lambat, dan
dewasa tubuh yang kecil atau kerdil. Sebagai contoh, banyak sapi SIMPO atau
LIMPO hasil back cross dua atau peternak mengatakan F3, banyak yang kawin
ulang 3 - 5 kali, jarak beranak 20 - 24 bulan dan banyak sapi yang kerdil.
Kondisi ini diperparah dengan pemberian pakan yang jelek dan adanya
penyakit. Kejadian itu akibat dari peningkatan proporsi darah asal Bos taurus
dan dugaan terjadinya inbreeding pada sapisapi SIMPO dan LIMPO atau hasil
persilangan. Sumadi (2009) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat
ditawarkan untuk solusi masalah tersebut. Dari sisi pemerintah harus punya
program persilangan pada sapi potong dengan tujuan dan arah yang jelas dan
terkait dengan program breeding sapi potong secara nasional.
Peternak selaku pemilik dan pemelihara sapi potong memerlukan
pengetahuan dan pendampingan, sehingga para peternak memahami kelebihan
dan kelemahan persilangan sapi PO dengan Simmental dan Limousin dalam
jangka panjang. Selanjutnya, yang terakhir adalah sapi betina yang dipelihara
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 44
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

hasil dari back cross dua dengan komposisi darah Bos taurus mendekati 87,5%,
sebaiknya yang betina dikawinkan dengan pejantan dengan bangsa yang
berbeda, dilakukan IB dua kali dengan jarak waktu 12 - 24 jam dan cara
terakhir apabila terpaksa dilakukan kawin alam dengan bangsa yang berbeda.
Untuk jangka panjang sebaiknya semua stakeholder dan pemerintah
membuat suatu kesepakatan dalam persilangan pada sapi potong di Pulau Jawa
dengan sistem silang bolak-balik atau criss cross antara 2 - 3 bangsa, misalnya
PO dengan Simmental, atau PO, Simmental dan Limousin. Dalam hal ini, pada
generasi 3 - 4, proporsi darah dari bangsa-bangsa sapi tersebut mendekati
stabil dan punya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tropis, sebab
proporsi darah asal Bos taurus tidak lebih dari 62,5% jika criss cross 2 bangsa
dan sebaliknya.
Di samping itu, diperlukan program pemuliaan sapi potong yang bersifat
regional planning, artinya bersifat spesifik yang sesuai dengan situasi, kondisi
dan social budaya setempat. Program pemuliaan sapi potong ditekankan
dengan cara seleksi ke dalam populasi dan tetap melibatkan petani peternak
sapi potong sebagai pelaku utama dalam pengembangan dan peningkatan
produktivitas sapi potong, walaupun pemerintah tetap
harus ikut campur tangan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu
persilangan sapi lokal boleh dilakukan, tetapi dengan tetap melestarikan
kekayaan plasma nutfah sapi lokal, yang didasarkan pada data populasi,
struktur populasi, dan sebaran populasi yang betul. Kebijakan pengembangan
sapi bakalan antara lain bertujuan untuk menghindari terjadinya pengurasan
bibit sapi lokal, mencegah persilangan acak yang tidak terprogram, dan
menghindari ketergantungan pada impor sapi di masa mendatang. Apabila
Indonesia telah memiliki commercial breed yang produktif, maka usaha
perbibitan nasional akan lebih berkembang karena menguntungkan para pelaku
perbibitan berskala besar.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 45
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

d. PENDEKATAN KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK DI


KALIMANTAN TIMUR

Kelembagaan merupakan aspek nonteknis yang ikut menentukan


keberhasilan swasembada daging 2014. Oleh karena itu, penataan
kelembagaan yang terkait langsung dengan eksekusinya di masyarakat sangat
diperlukan. Kebijakan untuk memaksimalkan penyelamatan bibit dan sapi
betina produktif dapat ditempuh dengan strategi sebagai berikut: 1)
pembentukan Komite Penjaringan Sapi Betina Produktif dan Bibit Unggul, 2)
perluasan kelembagaan keuangan mikro di pedesaan untuk mendorong
ekonomi keluarga peternak, 3) penstrukturan usaha perbibitan sapi, dan 4)
penataan sistem koordinasi antarinstansi berdasarkan payung hukum yang
lebih tinggi seperti peraturan pemerintah. Sunari et al. (2010) menyatakan
perlu beberapa tindakan untuk mengatasi permasalahan kelembagaan. Hal ini
karena fasilitasi pemerintah dengan sistem pendanaan yang mengikuti pola
APBN/APBD kurang cocok dengan kondisi peternakan di lapangan, sehingga
sering terjadi kelambatan eksekusi yang berakibat sulitnya proses pemulihan
(recovery), padahal sebagian besar peternak kurang mampu keluar dari
masalah tersebut dengan modal sendiri sehingga menjual ternak menjadi
pilihan.
Sapi merupakan aset penting yang dapat menunjang perekonomian
keluarga untuk kebutuhan tahunan, bukan kebutuhan harian. Dengan skala
pemeliharaan hanya 2 - 3 ekor akan sulit bagi peternak untuk mengandalkan
usaha ternak sapi sebagai sumber penghasilan tetap. Untuk itu diperlukan
kelembagaan keuangan mikro yang dapat menjembatani (technical & finacial)
ekonomi keluarga peternak agar memiliki usaha lain yang menunjang usaha
ternak. Kelembagaan yang menaungi sistem koordinasi ini belum efektif
memanfaatkan peraturan yang berlaku. Peraturan setingkat keppres atau
perpres diperlukan terkait dengan penyediaan bibit dan perbibitan, lahan, dan
pakan. Untuk dapat akses pada pembiayaan komersial, perlu upaya penguatan
kelembagaan usaha dalam bentuk koperasi peternak.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 46
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan seluruh stakeholder


pembangunan peternakan yang terdiri dari 3 unsur “ABG” -- Academition,
Businessmen, Government. Semua pihak tersebut akan terlibat dalam
memfasilitasi kelompok pelaku usaha peternakan, baik di on farm – budidaya
maupun off farm – pengolahan dan pemasaran hasil. Selain itu, mendorong
perusahaan swasta dan BUMN menggunakan CSR nya untuk pengembangan
peternakan. Tujuan akhir dari proses kelembagaan ini adalah mendorong dan
memfasilitasi kelembagaan “Village Breeding Centre” ternak sapi sebagai
sumber bibit dan sumber bakalan untuk penggemukan/dipotong. Berikut
konsep kelembagaan yang mendukung program pengembangan ternak sapi
potong di Kal-Tim.

Gambar 18. Diagram kelembagaan dalam mendukung pengembangan ternak


sapi di Kalimantan Timur.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 47
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

BAB IV.
PEMBIAYAAN DAN INVESTASI PENGEMBANGAN TERNAK DI
KALIMANTAN TIMUR

a. PEMBIAYAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG


DI KALIMANTAN TIMUR

Usaha peternakan sapi (pembibitan, pembiakan dan penggemukan)


merupakan usaha yang belum menarik investor, baik dalam negeri maupun luar
negeri karena dianggap kurang menguntungkan dan memerlukan waktu yang
lama. Usaha peternakan sapi adalah usaha budi daya untuk menghasilkan bibit,
bakalan dan daging hasil ternak. Saat ini, sebagian besar usaha masyarakat
yang dikembangkan masih berupa usaha pemeliharaan ternak dengan konsep
pembiakan. Pembesaran dan penggemukan untuk meningkatkan populasi
ternak. Kalimantan Timur (Kal-Tim) yang mempunyai target meningkatkan
populasi sapi menjadi 2 juta ekor ternak sapi yang dimulai sejak tahun 2014
dan terakhir tahun 2018 untuk menjadikan kawasan Kal-Tim sebagai daerah
komoditas dan pemasok ternak di Kalimantan. Hasil yang diharapkan adalah
Kal-Tim menjadi salah satu daerah yang minimal memasok 10% kebutuhan
nasional dipenuhi serta menjadi salah satu lumbung ternak nasional. Blue Print
program 2 juta ekor ternak sapi ini sesuai dengan visi misi pembangunan
peternakan di Kal-Tim, seperti yang terlihat pada Gambar di bawah ini.

Gambar 19. Visi dan misi pembangunan peternakan di Kalimantan Timur.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 48
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Pada program ini selain bertujuan untuk swasembada daging sapi


daerah, hal ini juga untuk memutus ketergantungan terhadap daerah lain untuk
memasok hasil ternak berupa daging di Kal-Tim. Suryana (2004) menyatakan
kemandirian atau ketahanan pangan dalam operasionalnya didefinisikan kondisi
dimana kebutuhan pangan nasional minimal 90% dipenuhi dari produksi dalam
negeri.
Kegiatan agroindustri sapi potong skala besar semakin menjurus pada
kegiatan hilir, seperti impor dan perdagangan, dengan perputaran modal yang
sangat cepat dan risiko yang lebih kecil. Aktivitas agroindustri sapi potong saat
ini belum terintegrasi dan bersinergi dengan sektor budi daya (seperti
penggemukan) yang merupakan usaha pengembangbiakan yang sebagian
besar dilakukan oleh peternak berskala usaha terbatas (skala kecil pada
lingkungan tertentu) dan margin yang kecil. Diperlukan peran pemerintah
dalam aktivitas agroindustri pada sektor budi daya sehingga dapat
meningkatkan skala usaha dan ketersediaan bakalan di dalam negeri yang
dapat mengurangi ketergantungan bakalan dari luar negeri.
Peran pemerintah provinsi dalam menciptakan tatanan iklim usaha
mampu mendorong pelaku usaha untuk bergerak dibidang peternakan sapi,
sedangkan pemerintah pusat membantu seperti penyediaan skim Kredit Usaha
Pembibitan Sapi (KUPS) dengan pola skim kredit dan subsidi bunga. Skim KUPS
yang dikeluarkan pada akhir tahun 2009 diharapkan dapat membantu
permasalahan akses peternak terhadap kredit permodalan perbankan.

Tabel 2. Sumber pembiayaan pengembangan ternak sapi potong di


Kalimantan Timur tahun 2014-2015.
Sasaran Pengembangan Sapi per Tahun (ekor)
No. Sumber Dana 2014 2015 2016 2017 2018 Total
100.000 475.000 475.000 475.000 475.000 2.000.000
1 APBD PROV 2.500 11.875 11.875 11.875 11.875 50.000
2 APBN 1.250 5.938 5.938 5.938 5.938 25.000
3 APBD KAB/KOTA 7.500 35.625 35.625 35.625 35.625 150.000
4 BANK KALTIM 12.500 59.375 59.375 59.375 59.375 250.000
5 BRI 7.500 35.625 35.625 35.625 35.625 150.000
6 PERUS. TAMBANG 12.500 59.375 59.375 59.375 59.375 250.000
7 PERUS. SAWIT 56.250 267.188 267.188 267.188 267.188 1.125.000
TOTAL 100.000 475.000 475.000 475.000 475.000 2.000.000
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 49
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Realisasi pembiayaan dimulai pada tahun 2014 dengan program


penyediaan bakalan induk sapi potong sampai dengan bulan Desember tahun
2015 sedangkan bantuan yang diterima dari pemerintah pusat adalah
penyediaan 11.000 ekor induk bakalan sapi Brahman Cross dari Australia. Oleh
karena itu, kebijakan pemerintah yang harus didukung adalah terkait dengan
pembiayaan pengembangan ternak sapi potong dalam upaya mewujudkan
populasi 2 juta ekor ternak sapi potong di Kal-Tim. Terdapat tiga hal yang
membantu terwujudnya program ini dan berjalan dengan lancar dan sukses.
Pertama, penyaluran dan penyerapan bantuan terhadap para
kelompok/peternak di Kal-Tim, sedangkan yang mengajukan program bantuan
ini banyak sehingga harus diseleksi terlebih dahulu kelompok/peternak
penerima. Kedua, faktor penghambat penyaluran dan penyerapan kredit yang
disediakan oleh beberapa lembaga keuangan/bank seperti Bank Pembangunan
Daerah (Bank Kaltim), maupun kredit yang dikeluarkan pemerintah pusat di
Bank BRI yaitu KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Ketiga, model
bantuan dari perusahaan swasta seperti dana CSR (Corporate Social
Responsbility) maupun kerjasama para Perusahaan Tambang dengan
Pemerintah daerah untuk mengembangkan lahan pasca tambang menjadi lahan
bermanfaat serta model kerjasama antara Perusahaan Perkebunan sawit
dengan Pemerintah dalam mengembangkan peternakan model integrasi.
Program pengembangan 2 juta ekor ternak sapi potong di Kalimantan
Timur merupakan salah satu program prioritas untuk mewujudkan ketahanan
pangan asal ternak berbasis sumber daya lokal. Pencapaian program ini
merupakan tantangan yang tidak ringan, karena pada tahun 2013-2014 terjadi
penurunan populasi ternak sapi di Kalimantan Timur. Volume impor ternak yang
berasal dari daerah luar tersebut terus meningkat menjadi ribuan ekor sapi
pada tahun-tahun mendatang. Hal ini menyebabkan kemandirian dan
kedaulatan pangan hewani, khususnya daging sapi, semakin jauh dari harapan
dan Kal-Tim masuk dalam daerah importer ternak.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 50
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Gambar 20. Pengembangan target 2 juta ekor ternak sapi potong per
kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014.

Hasil laporan perkembangan ternak sapi menunjukkan bahwa populasi


ternak sapi mencapai 101.743 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan
Timur,2014). Meskipun populasi tersebut dinilai belum memenuhi target,
beberapa persoalan masih harus mendapat perhatian dalam upaya
mewujudkan program 2 juta ekor ternak sapi antara lain: 1) usaha ternak sapi
masih dikelola secara tradisional dengan skala usaha 1 - 5 ekor, dan peternak
dapat dengan mudah menjual sapinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
tanpa mempertimbangkan keberlanjutan reproduksi dan populasi ternak dan 2)
pusat perbibitan nasional belum tersedia sehingga dapat mengancam
keberlangsungan populasi sapi dan menguras populasi sapi potong yang ada.
Sementara itu, kebutuhan daging yang terus meningkat mendorong terjadinya
pengurasan dan pemotongan sapi betina produktif yang diperkirakan mencapai
ribuan ekor per tahun. Hal ini menyebabkan stok bibit sapi di Kal-Tim semakin
berkurang yang pada gilirannya akan menghambat pertambahan populasi sapi
lokal.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 51
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Gambar 21. Sasaran pengembangan peternakan dan hasil ternak Provinsi


Kalimantan Timur Tahun 2014-2018.

Program ini, selain untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani asal


ternak berbasis sumber daya lokal, juga merupakan peluang untuk
mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti pada masa lalu. Oleh
karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi daging sapi
lokal, melalui: 1) pengaturan pengendalian impor, 2) perbaikan distribusi sapi
dari daerah produsen ke konsumen, 3) penyelamatan sapi betina produktif, 4)
optimalisasi rumah potong hewan, 5) optimalisasi inseminasi buatan dan kawin
alam, 6) penanganan gangguan reproduksi, dan 7) peningkatan produktivitas
melalui penerapan Good Farming Practices (GFP) dan tunda potong. Upaya ini
akan diharapkan berlangsung pada periode 2014-2018, terutama yang terkait
dengan peningkatan populasi ternak, pengetatan pengendalian impor,
perbaikan pascapanen untuk menghasilkan daging berkualitas, dan pengaturan
distribusi ternak antarwilayah. Berbagai faktor turut menentukan keberhasilan
program 2 juta ekor ternak sapi potong pada 2018. Oleh karena itu,pemerintah
menetapkan tiga skenario pencapaian program ini, yaitu pessimistic (pesimis),
most likely (sedang), dan optimistic (optimis).

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 52
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

b). PROSPEK INVESTASI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG


DI KALIMANTAN TIMUR

Pengembangan investasi komoditas ternak sapi potong di di wilayah


Provinsi Kalimantan Timur mempunyai prospek yang sangat besar, hal tersebut
terkait dengan tingginya permintaan produk daging segar ataupun olahan, dan
hasil ikutan lainnya, seirama dengan pertambahan penduduk dan
perkembangan perekonomian. Faktor utama penghambat pengembangan
investasi dibidang produksi sapi potong adalah tingginya importasi produk
ternak maupun bibit, yang cenderung terus meningkat dari tahun ketahun. Oleh
karena itu diperlukan suatu rancangan strategi dan analisa investasi dalam
upaya pengembangan budidaya komoditas ternak sapi potong di wilayah
Provinsi Kalimantan Timur khususnya. Sehingga strategi pengembangan dan
investasi dirancang serta disesuaikan dengan beberapa faktor-faktor internal
maupun eksternal yang nantinya dapat menjadi faktor penunjang bidang
produksi ternak sapi potong.
Secara umum populasi ternak Sapi Potong pada tahun 2014 mencapai
101.743 ekor. Namun dari target hal ini menunjukkan bahwa target tahun
2014 tidak tercapai disebabkan karena pengadaan sapi tahun 2014 masih
kurang, kematian ternak sapi 1,36% (1.289 ekor), pengeluaran sapi 25,59%
atau 24.337 ekor serta pemotongan sapi di Kaltim sebesar 58,66% atau
sebanyak 55.781 ekor yang banyak diambil dari sapi yang ada pada peternak di
Kaltim, sedangkan tingkat kelahiran dan pemasukan sapi belum sebanding
dengan tingkat pemotongan yang ada. Pada tahun 2013 populasi sapi
mencapai 95.085 ekor. Hal ini terlihat adanya peningkatan populasi dari tahun
2013 sebanyak 6.658 ekor atau sebesar 7,0% disebabkan karena angka
kelahiran ternak 14,59% atau sebanyak 13.870 ekor kelahiran dan pemasukan
sapi potong ke Kaltim sebesar 74.195 ekor atau sekitar 78,03%. Selain itu,
adanya dukungan anggaran melalui pengadaan ternak sapi yang bersumber
dana APBD sebesar 2.551 ekor dan dana APBN sebesar 977 ekor. Perhitungan
data populasi ternak Sapi selama ini berdasarkan laporan dari petugas lapangan
dan diverifikasi dengan penggunaan parameter kelahiran, kematian dan

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 53
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

pemotongan ternak untuk masing-masing jenis ternak. Data populasi ternak


sapi potong dari kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Populasi sapi potong di provinsi Kalimantan Timur menurut kabupaten
dan kota pada tahun 2010 sampai 2014.
Tahun
No. Kabupaten/Kota
2010 2011 2012 2013 2014
……………………. Ekor ………………….
Provinsi Kalimantan Timur 83.729 83.611 91.728 95.085 101.743
1. Paser 10.334 12.189 15.398 14.136 17.345
2 Kutai Barat 7.608 6.236 6.999 7.582 6.942
3 Kutai Kartanegara 20.857 23.464 25.467 25.640 26.198
4 Kutai Timur 18.312 15.022 15.983 17.177 17.406
5 Berau 10.972 8.426 9.763 11.573 12.580
6 Penajam Paser Utara 8.407 10.440 10.879 11.531 11.629
7 Mahakam Ulu 0 0 0 0 1.108
8 Balikpapan 1.418 1.652 2.944 2.962 3.398
9 Samarinda 5.525 5.681 3.671 3.772 4.266
10 Bontang 296 501 624 712 871
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2015).

Proses budidaya ternak sapi potong merupakan kegiatan agribisnis


dibidang peternakan yang sangat potensial dan memiliki prospek usaha yang
cukup menjanjikan. Upaya pengembangan budidaya ternak sapi potong adalah
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, yaitu berupa daging dan produk
olahannya.
Usaha yang ditawarkan dalam investasi peternakan untuk sapi potong
adalah usaha penggemukan sapi potong secara berkelompok. Satu kelompok
terdiri atas 10 orang peternak sehingga perorang memelihara 4 ekor sapi.
Siklus produksi sebanyak 3 kali dalam setahun. Asumsi dan parameter teknis
yang digunakan dalam perhitungan analisis keuangan usaha penggemukan sapi
adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Asumsi dan Parameter Teknis Perhitungan Finansial Usaha


Penggemukan Sapi Potong
No Asumsi Satuan Nilai
1 Proyeksi lama usaha penggemukan Tahun 3
2 Periode penggemukan bulan 4
3 Jumlah siklus/tahun kali 3
4 Jumlah sapi per siklus ekor 40
5 Jumlah bulan per tahun bulan 12
6 Jumlah hari per bulan hari 30
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 54
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

7 Beli bakalan
a. Jumlah bakalan Ekor/tahun 120
b. Harga bakalan Rp/Kg Bobot 35,500
c. Bobot bakalan kg/ekor
hidup 300
8 Harga Jual
a. Bobot jual kg/ekor 420
b. Harga jual Rp/Kg Bobot 35,500
c. Volume jual Ekor/tahun
hidup 120
9 Pertambahan bobot badan Kg/ekor/hari 1
10 Produk sampingan
a. Produksi pupuk Kg 5
b. Produksi pupuk Kg/tahun
kering/ekor/hari 72,000
c. Harga pupuk Rp/Kg 500
11 Mortalitas % -
12 Suku bunga % 14
13 Jangka waktu kredit
a. Kredit investasi tahun 2
b. Kredit modal kerja tahun 1
14 Proporsi pembiayaan
a. Kredit % 30
b. Modal sendiri % 70
15 Umur Proyek tahun 3

Pertambahan bobot badan harian (pbbh) akan menentukan tingkat


keuntungan dari usaha penggemukan sapi potong. Untuk sapi bakalan hasil
persilangan berkisar antara 0,8-1,2 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan
sapi yang digunakan dalam perhitungan ini yaitu 1,00 kg/ekor/hari.
Biaya Investasi yang dibutuhkan pada tahap awal usaha penggemukkan
sapi potong adalah pembuatan kandang, peralatan dan pembuatan kebun HMT.
Kebutuhan biaya investasi untuk usaha penggemukan sapi potong sebesar Rp
96.200.000,-.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 55
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Tabel 5. Biaya Investasi Usaha Penggemukan Sapi Potong Skala 40 ekor per
siklus

Harga satuan
No Uraian Jumlah Satuan Total (Rp)
(Rp)
1 Kandang (1.8m x 40 unit 1,800,000 72,000,000
2m)
2 Pompa air 1 unit 2,500,000 2,500,000
3 Peralatan kandang
a. Arit 10 buah 75,000 750,000
b. Ember 10 buah 20,000 200,000
c. Selang 10 M 100,000 1,000,000
d. Cangkul/garpu 10 buah 75,000 750,000
e. Serokan 10 buah 50,000 500,000
f.Lainnya 1 paket 500,000 500,000
4 Kebun HMT 1 unit 18,000,000 18,000,000
Jumlah Biaya 96,200,000
Investasi

Biaya operasional terdiri dari pembelian bakalan, upah mencari pakan dan
memelihara sapi, pakan konsentrat untuk penggemukan, dan biaya tetap untuk
pengelola, sewa lahan, listrik, pemeliharaan, dan biaya lainnya. Jumlah Biaya
operasional per siklus sebesar Rp 505.000.000,- atau Rp 1.515.000.000,- untuk
3 siklus dalam satu tahun.

Tabel 6. Biaya Operasional Penggemukan Sapi Potong

No Uraian Jumlah Satuan Harga Total Total Biaya


satuan Biaya per per tahun
(Rp) siklus (Rp) (Rp)
A Biaya
Variabel
1 Bakalan 40 Ekor 10,650,000 426,000,000 1,278,000,000
2 Upah TK 5 org/4 bln 2,000,000 10,000,000 30,000,000
3 Pakan 28,800 Kg 2,000 57,600,000 172,800,000
Konsentrat
4 Kesehatan 40 Rp/ekor/siklus 50,000 2,000,000 6,000,000
Jumlah Biaya 495,600,000 1,486,800,000
Variabel
B Biaya Tetap
1 Pengelola 1 Orang 1,800,000 7,200,000 21,600,000
2 Sewa Lahan 1,200,000 3,600,000
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 56
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

No Uraian Jumlah Satuan Harga Total Total Biaya


satuan Biaya per per tahun
(Rp) siklus (Rp) (Rp)
3 Listrik 1 Bulan 100,000 400,000 1,200,000
4 Pemeliharaan 1 bulan 100,000 400,000 1,200,000
kandang
5 Biaya lainnya 1 Bulan 50,000 200,000 600,000
Jumlah Biaya 9,400,000 28,200,000
Tetap
Total Biaya 505,000,000 1,515,000,000

Total biaya yang diperlukan dalam usaha budidaya sapi potong dengan
jumlah ternak sebanyak 40 ekor untuk setiap siklusnya adalah Rp 601.200.000.
Dengan asumsi awal yang ditetapkan 70% dari biaya tersebut diperoleh dari
modal sendiri dan 30% sisanya diperoleh dari kredit lembaga
keuangan/perbankan dengan suku bunga 14% per tahun.

Tabel 7. Komposisi Pembiayaan Usaha


No Uraian Nilai (Rp)
1 Kredit
Investasi 28,860,000
Modal kerja 151,500,000
2 Modal sendiri
Investasi 67,340,000
Modal kerja 353,500,000
Total Kebutuhan dana 601,200,000

Usaha budidaya sapi potong memerlukan biaya modal kerja sebesar Rp


505.000.000 per siklus penggemukan. sistem pembayaran angsuran setiap
bukan ke-4 atau pada akhir siklus penggemukan. Dalam pelaksanaannya
peternak akan mengambil kredit modal kerja sebanyak 2 kali, yaitu pada awal
tahun pertama (siklus ke-1) dan awal tahun kedua (siklus ke-4).
Produksi dan pendapatan usaha peternakan bergantung kepada (1)
bobot dan harga bakalan, (2) lama penggemukan, (3) pertambahan bobot
badan, serta (4) bobot dan harga sapi penggemukan. Proyeksi produksi dan
pendapatan usaha penggemukan sapi potong disajikan pada tabel berikut.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 57
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Tabel 8. Proyeksi produksi dan pendapatan usaha penggemukan sapi potong

No Uraian Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3


1 Sapi siap potong (ekor) 120 120 120
2 Pupuk (kg) 72,000 72,000 72,000
3 Harga Jual
a Sapi siap potong (ekor) 14,910,000 14,910,000 14,910,000
b Pupuk (kg) 500 500 500
4 Penjualan
a Sapi siap potong (ekor) 1,789,200,000 1,789,200,000 1,789,200,000
b Pupuk (kg) 36,000,000 36,000,000 36,000,000
5 Total Penerimaan 1,825,200,000 1,825,200,000 1,825,200,000

Usaha penggemukan sapi potong diproyeksikan dapat menghasilkan


rata-rata laba bersih (setelah pajak) sebesar Rp 196.723.830,-dengan asumsi
seluruh ternak hasil penggemukan dapat terjual. Dengan asumsiyang telah
ditetapkan sebelumnya yaitu adanya kepastian pasar, harga yangkonstan, dan
produk habis terjual.

Tabel 9. Analisis Laba-Rugi Usaha Penggemukan Sapi Potong

No Uraian Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Rata-rata


per tahun
A Penerimaan
1 Sapi 1,789,200,000 1,789,200,000 1,789,200,000 1,789,200,000
2 Pupuk 36,000,000 36,000,000 36,000,000 36,000,000
Total 1,825,200,000 1,825,200,000 1,825,200,000 1,825,200,000
penerimaan
B Pengeluaran
1 Biaya Tetap 28,200,000 28,200,000 28,200,000 28,200,000
2 Biaya 1,486,800,000 1,486,800,000 1,486,800,000 1,486,800,000
Variabel
3 Penyusutan 9,550,000 9,550,000 9,550,000 9,550,000
4 Angsuran
a Investasi 18,470,400 16,450,200 17,460,300
b Modal Kerja 172,710,000 172,710,000
5 Total 1,524,550,000 1,715,730,400 1,541,000,200 1,593,760,200
pengeluaran
6 Pendapatan 300,650,000 109,469,600 284,199,800 231,439,800
sebelum
pajak
7 Pajak 15% 45,097,500 16,420,440 42,629,970 34,715,970

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 58
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

No Uraian Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Rata-rata


per tahun
8 Pendapatan 255,552,500 93,049,160 241,569,830 196,723,830
setelah pajak
9 BEP
BEP Rupiah 152,100,000.00 152,100,000.00 152,100,000.00 152,100,000
BEP(ekor) 11 11 11 11

Pada usaha penggemukan sapi potong, aliran cash (cash flow) dalam
perhitungannya dibagi dalam dua aliran yaitu arus masuk (cash inflow) dan
arus keluar (cash outflow). Aliran arus masuk didapatkan dari total penjualan
ternak sapi potong yang telah dirawat selama 4 bulan, dimana siklus usaha
dilakukan selama 4 bulan sekali atau 3 kali siklus per tahun. Dengan
kemampuan pengembalian kredit selama 1 tahun maka proyeksi arus kas
disusun selama 3 tahun atau 9 siklus usaha. Proyeksi arus kas usaha
penggemukan sapi potong per tahun ditampilkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Proyeksi Arus Kas Usaha Penggemukan Sapi Potong

No Uraian Tahun ke-0 Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3


A INFLOW
1 Total Penjualan 1,825,200,000 1,825,200,000 1,825,200,000
2 Kredit
Investasi 28,860,000
Modal kerja 151,500,000 151,500,000
3 Modal sendiri
Investasi 67,340,000
Modal kerja 353,500,000
4 Total arus 601,200,000 1,825,200,000 1,976,700,000 1,825,200,000
masuk
Arus masuk - 1,825,200,000 1,825,200,000 1,825,200,000
untuk
menghitung IRR
OUTFLOW
1 Biaya Investasi 96,200,000 24,200,000
2 Biaya tetap 28,200,000 28,200,000 28,200,000
3 Biaya variabel 1,486,800,000 1,486,800,000 1,486,800,000
4 Angsuran
Investasi 18,470,400 16,450,200
Modal kerja 172,710,000 172,710,000
5 Pajak 45,097,500 16,420,440 42,629,970
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 59
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

No Uraian Tahun ke-0 Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3


6 Total arus keluar 96,200,000 1,751,277,900 1,744,780,640 1,557,629,970
7 Net inflow 505,000,000 73,922,100 231,919,360 267,570,030
Cashflow untuk (96,200,000) 73,922,100 80,419,360 267,570,030
menghitung IRR
8 DF 1.0000 0.8772 0.7695 0.6750
9 Present Value (96,200,000) 64,843,947 178,454,417 180,602,149
10 Cumulative (96,200,000) (31,356,053) 147,098,364 327,700,513

Pada usaha penggemukan sapi potong dengan asumsi usaha yang ada,
evaluasi profitabilitas rencana investasi dilakukan dengan menilai kriteria
investasi untuk mengukur kelayakan usaha penggemukan sapi potong yaitu
NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), dan Net B/C Ratio (Net
Benefit-Cost Ratio).

Tabel 11. Kriteria Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong

No Kriteria Kelayakan Nilai Justifikasi Kelayakan


1 IRR 93.92% IRR>suku bunga; Layak
2 B/C ratio 4.41 B/C ratio>1; layak
3 NPV 327,700,513 NPV>0; layak
4 PP 15 bulan PP< periode proyek; Layak

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha jika


ada perubahan terhadap komponen usaha seperti perubahan suku bunga,
harga sapronak, dan harga jual hasil produksi. Pada perhitungan ini dilakukan
penurunan terhadap penerimaan usaha sebesar 5% dan biaya operasional
sebesar 5%.

Tabel 12. Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan Sapi Potong

Biaya
Kriteria Penerimaan
No Operasional Justifikasi Kelayakan
Kelayakan Turun 5%
Naik 5%
1 IRR 15,20% 26,51% IRR>suku bunga; Layak
2 B/C ratio 2,25 2,58 B/C ratio>1; layak
3 NPV 120.007.312 151.836.887 NPV>0; layak
4 PP 24 bulan 22 bulan PP< periode proyek; Layak

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 60
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh bahwa usaha


penggemukan sapi potong masih layak dilaksanakan meskipun terjadi kenaikan
biaya operasional maupun penurunan penerimaan sebesar 5%. Usaha
penggemukan sapi potong lebih sensitif terhadap penurunan penerimaan
dibandingkan apabila terjadi kenaikan biaya operasional.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 61
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

BAB V.
PENUTUP

Program 2 juta ekor ternak sapi potong di Kalimantan Timur


dicanangkan tercapai pada tahun 2018, dengan target pemberdayaan sumber
daya peternakan rakyat dengan toleransi impor 5−10%. Untuk mewujudkan
target tersebut diperlukan strategi yang tepat dalam implementasi di lapangan.
Strategi dalam mendukung program ini meliputi beberapa program terobosan
sebagai berikut:
1) Pengembangan sentra-sentra produksi sapi potong dan penggalian
sumber daya dukung pakan murah, khususnya pada usaha pembibitan
(padang penggembalaan). Berdasarkan aspek teknis dan teknologi,
direkomendasikan beberapa kegiatan, yaitu penyelamatan sapi betina
produktif, tunda potong untuk mengoptimalkan bobot potong,
memperpendek jarak beranak, dan menerapkan teknologi IB. Keempat
kegiatan tersebut diharapkan mampu berkontribusi terhadap penyediaan
daging sapi sebesar 58,43% dari target swasembada 400.000 t/tahun.
Selain itu, diperlukan perbaikan manajemen usaha melalui pola integrasi
dan inovasi kelembagaan.
2) Pengendalian impor daging dan sapi bakalan untuk melindungi usaha
peternakan rakyat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat
menumbuhkembangkan usaha peternakan rakyat agar dapat bersaing
dengan pengusaha yang padat modal.
3) Koordinasi antarinstitusi dari tingkat pusat sampai daerah dalam
implementasi program di lapangan. Koordinasi tersebut meliputi
perencanaan dan implementasi program, keterkaitan dan tanggung jawab
masing-masing institusi, serta pemantauan dan evaluasi secara periodik.
Untuk mencapai 2 juta ekor populasi ternak sapi potong di Kalimantan
Timur pada tahun 2018 perlu dilakukan penetapan kawasan perbibitan sapi
daerah, yang meliputi model perbibitan dan pemuliabiakan sapi melalui
program pemurnian sapi lokal dan pengembangan bangsa sapi komersial
(bakalan), serta pengembangan kawasan industri terpadu sapi potong serta

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 62
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

wilayah baru peternakan di pulau-pulau kecil. Untuk menjamin ketahanan


pangan nasional, langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah 1)
pemberlakuan pemberdayaan peternak lokal di Kalimantan Timur, 2)
pembentukan institusi penyangga pembibitan daerah, 3) pengembangan sistem
kerja sama produksi antarwilayah yang memiliki banyak ternak tetapi tidak
didukung lahan untuk sumber pakan dan sebaliknya, 4) pengembangan zona
pemanfaatan lahan pasca tambang dan integrasi ternak tanaman, 5) pemetaan
dan revitalisasi padang penggembalaan di Kalimantan Timur dan wilayah
bukaan baru, 6) pengembangan sistem mekanisasi pakan, 7) subsidi harga bibit
ataupun insentif betina produktif, 8) strukturisasi tata niaga jual beli ternak
(bibit, bakalan, indukan dan pejantan), dan 9) pengembangan sistem informasi
ternak daerah yang terintegrasi secara nasional.
Kelembagaan ikut menentukan keberhasilan program 2 juta ekor ternak
sapi potong di Kalimantan Timur. Oleh karena itu, penataan kelembagaan yang
terkait langsung dengan eksekusinya di masyarakat serta koordinasi
antarsektor, antardaerah, dan antarpemangku kepentingan sangat diperlukan,
termasuk peraturan perundangan yang mendukung langsung upaya
peningkatan populasi sapi potong. Penganekaragaman sumber pangan daging
dapat memberikan alternatif pangan murah yang proses produksinya tidak
memerlukan waktu lama. Program ini diharapkan dapat mengurangi laju
pemotongan sapi.
Berdasarkan tujuan dan ouput yang diharapkan dari program analisis
investasi bidang peternakan di Provinsi Kalimantan Timur, maka sudah
semestinya program ini ditindaklanjuti dengan implementasi program di
lapangan. Aspek kelayakan lokasi, faktor produksi, dan kelayakan finansial serta
SDM yang berkualitas, menunjukkan bahwa program ini bisa diterapkan
sehingga menjadi salah satu sektor ekonomi yang menopang perekonoian
masyarakatdi Kalimantan Timur. Harapan ke depan, target pemerintah provinsi
yang menjadikan Kalimantan Timur sebagai daerah lumbung ternak di
Kalimantan bisa tercapai dengan adanya bantuan dari pihak swasta, salah
satunya dengan program integrasi antara sapi dan kelapa sawit. Selain itu
untuk mendukung program Pemerintah Pusat dibidang penyediaan pangan
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 63
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

hewani, yaitu swasembada daging terpenuhi dan masyarakat peternak dapat


diberdayakanserta menundukung program ketahanan pangan nasional,
pengembangan program peternakan di Kalimantan Timur sangat potensial jika
dilihat dari luas wilayah, topografi, kesuburan tanah dan kondisi sosial
masyarakatnya.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 64
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2009. Model Penerapan Teknologi Litbang Sapi


Potong Mendukung PSDS. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2009a. Estimasi Penduduk per Provinsi


2006−2010. BPS, Jakarta.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2009b. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta.

Briliantono, E. 2010. Sapi impor rusak harga sapi lokal di Jawa Tengah.
http:/net.bisnis. com/umum/indonesiahariini/1kd 191452. Di akses pada
tanggal 01 November 2015.

Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan) Kementerian


Pertanian RI. 2014. Statistik Peternakan. Ditjennak, Jakarta.

Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran litbang dalam mendukung


usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak. hlm. 63−80. Prosiding
Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Bekerja sama dengan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal Systems Research Network
(CASREN).

Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. 2014. Laporan Akuntabilitas


Kinerja Pegawai. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur.
Samarinda.

Endik. 2010. Post a Comments. Harga daging sapi impor lebih murah, kok bisa?
http: Udayrayana.blogspot. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2015.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Balai


Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal System Research
Network (CASREN).

Haryanto, B., I. Inounu, B. Arsana, dan K. Diwyanto. 2002. Panduan Teknis


Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta. 16 hlm.

Ilham, N. 2006. Analisis sosial ekonomi dan strategi pencapaian swasembada


daging 2010.

Meles, W. 2009. Strategi pencapaian swasembada daging sapi melalui


penanganan gangguan reproduksi dan pemanfaatan limbah pertanian.
Econ. Rev. (217): 56−67.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 65
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Priyanto, P. 2003. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi dalam Rangka Proteksi
Peternak Domestik: Analisis penawaran dan permintaan. Tesis Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pukesmaveta. 2009. Indonesia importir terbesar sapi hidup Australia.


http://www.mla.com.au/ general/page-net-found Diakses pada tanggal
29 Oktober 2015.

Sitepu, P., R. Dharsana, L.P. Gede, Soeripto, L.K. Sutama, T.P. Chaniago,
Nurcahyo, Tjahyowiyoso, T. Rohmat, B. Bakrie, Sukandar, dan T. Asril.
1997. Pengkajian Pemanfaatan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam
Usaha Peningkatan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Nasional di
Provinsi Lampung. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan P4N, Bogor.

Soedjana, T.D. 1997. Penawaran, permintaan dan konsumsi produk peternakan


di Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi 15(1 dan 2): 45−54.

Soentoro, M. Syukur, Sugiarto, Hendiarto, dan H. Supriyadi. 2002. Panduan


Teknis Pengembangan Usaha Agribisnis Terpadu. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta. 17 hlm.

Subagiyono, D. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan


perkebunan. Sistem integrasi tanaman ternak. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal System Research Network
(CASREN), Bali. hlm. 13−17.

Subagyo, L. 2009. Potret komoditas daging sapi. Econ. Rev. 217: 32−43.

Toelihere, M.R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa,


Bandung.

Winarso, Bambang. 2004. Prospek pengembangan usaha ternak sapi potong


di Kalimantan Timur. Icaserd working paper No.27. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Yusdja, Y., R. Sayuti, B. Winarso, L. Sadikin, dan C. Muslim. 2004. Pemantapan


Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Yusran, M.A. dan M. Soleh. 2004. Pemacuan usaha tani terpadu padi-sapi
potong induk secara swadaya. hlm. 203−210. Prosiding Sistem
Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bali dan Crop-Animal System Research Network (CASREN).

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 66
Kalimantan Timur) |
[ DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR]

Zaini, Z., I. Las, Suwarno, B. Haryanto, Suntoro dan E. Ananto. 2002. Pedoman
Umum Kegiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 24 hlm.

PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG (Upaya Mewujudkan 2 Juta Ekor Ternak Sapi Potong di 67
Kalimantan Timur) |

Anda mungkin juga menyukai