Anda di halaman 1dari 12

DIPLOMACY AND DOMESTIC POLITICS:

THE LOGIC OF TWO-LEVEL GAMES


ROBERT D. PUTNAM

PENDAHUALUAN : Keterlibatan Politik Domestik dan Politik Internasional

Politik dalam negeri atau domestik dan hubungan internasional seringkali memiliki
keterkaitan satu sama lain. Belum ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan apakah politik
domestik benar-benar mempengaruhi hubungan luar negeri atau sebaliknya, hubungan luar
negeri mempengaruhi politik domestik. Salah satu contoh bagaimana diplomasi dan politik
domestik saling terkait dapat dilihat dari KTT Bonn tahun 1978. Pertengahan tahun 1970-
an, sebuah program yang terkoordinasi untuk mengatasi inflasi mata uang global, yang
dipimpin oleh ahli ekonomi “lokomotif” seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, yang
telah mengusulkan untuk mendorong pemulihan negara Barat dari oil shock yang pertama.
Usulan ini mendapat dorongan yang kuat dari pemerintah Carter serta mendapatkan
dukungan yang hangat dari negara-negara yang lebih lemah, serta dukungan dari
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan banyak pengusaha
lainnya. Hal ini dilakukan untuk mengatasi ketidakseimbangan pembayaran internasional
dan kecepatan pertumbuhan di sekitarnya.

Pada Bonn Summit 1978, Helmut Schmidt setuju untuk memberikan stimulus fiskal
tambahan sebesar 1 persen dari GNP, Jimmy Carter berkomitmen untuk mengontrol harga
minyak dalam negeri pada akhir tahun 1980, sedangkan Takeo Fukuda berjanji untuk
mencapai 7 persen tingkat pertumbuhan negara. Element sekunder di Bonn: persetujuan
Perancis dan Inggris dalam negosiasi Putaran Tokyo; usaha Jepang untuk mendorong
pertumbuhan impor dan menahan ekspor negaranya, dan janji Amerika untuk melawan
inflasi. KTT Bonn menghasilkan kesepakatan yang seimbang dengan lebar spesifisitas
yang tak tertandingi. Lebih luar biasa, hampir semua bagian dari perencanaan akhirnya
terlaksana.
Tekanan Internasional merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk mengadakan
pergeseran kebijakan. Di sisi lain, tanpa resonansi domestic, tekanan internasional tidak
hanya cukup untuk menghasilkan kesepakatan. Namun secara umum, kesepakatan Bonn
telah berhasil menyatukan tekanan domestik dan internasional.

DOMESTIC-INTERNATIONAL ENTANGLEMENTS: The State of The Art

 James Rosenau merupakan salah seorang ahli yang pertama memperhatikan bidang
ini, namun taksonomi rumit yang dimilikinya tentang “hubungan politik”
menghasilkan penelitian kumulatif.

 Aliran kedua yang relevan dimulai dengan karya Karl Deutsch dan Ernst Haas
dalam integrasi regional. Haas, secara khusus menekankan dampak dari pihak-pihak
dan kelompok kepentingan terhadap proses integrasi Eropa , serta gagasan tentang
“spillover”.

 Pengikutnya, Joseph Nye dan Robert Keohane, menekankan pada saling


ketergantungan dan transnasionalisme. Namun peran faktor domestik tampaknya
terabaikan, karena konsep rezim internasional datang mendominasi.

 Petrus Katzenstein dan Stephen Krasner menunjukkan pentingnya faktor-faktor


domestik dalam kebijakan ekonomi. Katzenstein merumuskan suatu esensi masalah:
Tujuan utama dari semua strategi kebijakan ekonomi luar negeri adalah untuk
membuat kebijakan domestik kompatibel dengan ekonomi politik internasional.
Keduanya menekankan bahwa pusat pengambil keputusan (negara) harus
memperhatikan baik itu tekanan domestik dan internasional.

Proposisi utama dari tulisan ini adalah bahwa negara memperoleh kepentingan dari
pendukung kebijakan yang konsisten dengan sistem internasional di sepanjang waktu dan
dalam semua keadaan. Faktanya, di hampir semua isu penting mengenai “pusat pengambil
keputusan” tidak setuju tentang permintaan konteks kepentingan nasional dan internasional.

TWO-LEVEL GAMES: A Metaphor for Domestic-Internasional interactions


Lebih dari dua dekade yang lalu Richard E. Walton dan Robert B. McKersie
menawarkan”behavioral theory” dalam negosiasi sosial yang berlaku untuk konflik
internasional serta kerjasama internasional. Politik dalam negosiasi internasional bisa
dibayangkan sebagai permainan dua-tingkat (Two-Level Games). Pada tingkat nasional,
kelompok-kelompok dalam negeri mengejar kepentingan mereka dengan menekan
pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang menguntungkan mereka, dan politisi mencari
kekuasaan dengan membangun koalisi dengan kelompok tersebut. Pada tingkat
internasional, pemerintah nasional berusaha untuk memaksimalkan kemampuan mereka
sendiri untuk memenuhi tekanan-tekanan domestik, dan meminimalkan konsekuensi yang
merugikan pembangunan luar negeri.

Setiap pemimpin politik nasional muncul pada kedua jenis papan permainan. Kompleksitas
Two-Level Games ini adalah bahwa yang bergerak secara rasional bagi pemain pada satu
papan (seperti menaikkan harga energi, mengakui wilayah, atau otomatis membatasi impor)
mungkin tidak layak bagi pemain yang sama di papan yang lainnya. Walaupun demikian,
terdapat suatu bentuk insentif yang kuat untuk mewujudkan konsistensi antara dua games
ini.

Kompleksitas politik bagi pemain dalam Two-Level Games cukup mengejutkan. Setiap
pemain kunci di meja internasional yang tidak puas dengan hasilnya bisa marah, dan
sebaliknya, setiap pemimpin yang gagal untuk memuaskan sesama pemain, berisiko diusir
dari kursinya. Pada suatu kesempatan, pemain yang cukup piawai dan pintar akan terlihat
bergerak pada satu papan yang akan memicu penyusunan kembali pada papan yang lain,
memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan yang tampaknya sulit untuk dicapai.

Metafora bukanlah sebuah teori. Analisis formal dari permainan dengan aturan, pilihan,
hadiah, pemain, dan informasi yang jelas, namun masih terdapat campuran-campuran motif
permainan yang tidak memiliki solusi tertentu. Untuk mendapatkan analisis solusi untuk
Two-Level Games mungkin akan menjadi sebuah tantangan yang sulit.

TOWARDS A THEORY OF RATIFICATION: The Importance of “Win-Sets”

Untuk saat ini, kita akan beranggapan bahwa masing-masing pihak diwakili oleh pemimpin
tunggal atau biasa disebut kepala negosiator, dan bahwa individu ini tidak memiliki
preferensi kebijakan yang bebas, tetapi berusaha untuk mencapai kesepakatan yang akan
akan berguna bagi konstituennya.

Hal ini dapat dianalisis untuk menguraikan proses tersebut menjadi dua tahap:

Tawar-menawar antara negosiator, mengarah ke perjanjian yang bersifat sementara (disebut


Level I)

Diskusi yang terpisah dalam masing-masing grup tentang bagaimana meratifikasi sebuah
perjanjian (disebut Level II).

Dekomposisi ini berguna untuk tujuan eksposisi, meskipun secara deskriptif tidak akurat.
Dalam prakteknya, efek expectational akan sangat penting. Ada prioritas untuk
berkonsultasi serta melakukan tawar menawar pada Level II untuk menekan posisi
negosiasi Level I. Sebaliknya, kebutuhan ratifikasi Tingkat II adalah untuk mempengaruhi
tawar menawar Tingkat I. Bahkan, penolakan di Tingkat II dapat membatalkan negosiasi di
Tingkat I tanpa adanya tindakan formal pada Level II. Dalam banyak negosiasi, Two-Level
Process mungkin iterative, dimana negosiator mencoba kesepakatan yang memungkinkan
dan kemudian menyelidiki pandangan–pandangan para konstituen. Pada akhirnya,
merupakan suatu persyaratan bahwa setiap perjanjian Tingkat I diratifikasi oleh Tingkat II
dengan membebankan link teoritis antara kedua tingkat tersebut.
Pengesahan atau ratifikasi mungkin memerlukan prosedur voting yang formal pada Tingkat
II, seperti suara dua pertiga konstitusional yang diperlukan dari Senat AS untuk
meratifikasi perjanjian. Tingkat II diperlukan untuk mendukung atau menerapkan
perjanjian Tingkat I, baik itu secara formal maupun informal. Para aktor di Tingkat II dapat
mewakili lembaga birokrasi, kelompok kepentingan, kelas sosial, atau bahkan opini publik.

Satu-satunya kendala formal pada proses ratifikasi adalah bahwa perjanjian harus
diratifikasi oleh kedua belah pihak. Perjanjian tidak dapat diubah pada Tingkat II tanpa
membuka kembali Tingkat I. Dengan kata lain, ratifikasi akhir harus divoting, dan setiap
modifikasi yang dilakukan pada Tingkat I dapat dianggap sebagai penolakan, kecuali
modifikasi tersebut disetujui oleh semua pihak dalam agreement tersebut.

Untuk dua alasan yang berbeda, kontur win-set pada Tingkat II sangat penting untuk
memahami kesepakatan padaTingkat I. Yang pertama, win-set yang lebih besar pada
Tingkat I membuat perjanjian lebih memungkinkan. Setiap perjanjian harus berada dalam
win-set padaTingkat II dimana masing-masing memutuskan untuk sepakat. Dengan
demikian, kesepakatan hanya mungkin terjadi jika win-set tersebut saling tumpang tindih,
dan jika win-set lebih besar, semakin besar kemungkinan mereka saling tumpang tindih.
Sebaliknya, semakin kecil win-set , maka akan semakin besar juga risiko negosiasi akan
rusak.

Prospek untuk melakukan kerjasama internasional dalam dunia yang bersifat anarkis
dimana self-help menjadi karakter beberapa negara dalam berkerjasama sehingga para
pembuat kebijakan memiliki insentif untuk menipu. Jika para pembuat kebijakan dalam
sistem yang anarkis pada kenyataannya terus-menerus tergoda untuk menipu, beberapa fitur
yang terjadi pada 1978 akan sangat anomaly. Sebagai contoh, meskipun perjanjian Bonn
dinegosiasikan dengan sangat hati-hati, namun perjanjian ini tidak berisi ketentuan
mengenai keseimbangan yang sifatnya temporal, urutan, atau persyaratan sebagian yang
memungkinkan melindungi pihak-pihak dari pembelotan tak terduga.

Di sisi lain, dalam Two-Level Games, kredibilitas komitmen para pejabat mungkin rendah.
Hambatan untuk koordinasi ekonomi di Barat pada tahun 1985-1987 adalah kekhawatiran
Jerman bahwa pemerintahan Reagan secara politik tidak mampu melaksanakan komitmen
apapun yang ditujukan untuk memotong defisit anggaran AS, tidak peduliseberapa baiknya
kepemimpinan seorang presiden. Tidak seperti kekhawatiran tentang pembelotan yang
dilakukan secara sukarela, kekhawatiran tentang Deliver Ability merupakan elemen utama
dalam negosiasi Bonn. Presiden Carter menekankan bahwa “kita telah berhati-hati untuk
tidak menjanjikan lebih dari apa yang dapat kita berikan.

Dalam beberapa kasus, mungkin sulit, baik pihak lain atau pihak luar untuk membedakan
pembelotan yang dilakukan secara sukarela dan yang tidak, terutama karena strategi
negosiator yang berusaha untuk membalikkan suatu pembelotan sukarela sehingga tampak
sebagai sesuatu yang disengaja. Seperti dikenakan beberapa kendala yang beerkaitan
dengan reputasi sebuah negara. Kredibilitas (kemampuan untuk menyerang transaksi) pada
Tingkat I ditingkatkan dengan menunjukkan kemampuan negosiator untuk mendeliver
pada Level II. Pembelotan yang tidak disengaja hanya dapat dipahami dalam kerangka
Two-Level Games. Jadi, untuk kembali ke masalah win-set, semakin kecil win-set, maka
semakin besar risiko pembelotan yang dilakukan secara sukarela, dan karenanya lebih
berlaku dilemmas of collective action.

Alasan kedua mengapa ukuran win-set penting adalah bahwa ukuran relatif terhadap win-
set pada Tingkat II akan mempengaruhi distribusi keuntungan bersama dari tawar menawar
internasional. Semakin besar dirasakan win-set dari seorang negosiator, semakin mudah dia
ditekan oleh negosiator Level I lainnya. Sebaliknya, semakin kecil win-set dometik maka
akan mudah memperoleh keuntungan dalam tawar menawar.
Prinsip seperti ini dikemukakan oleh Thomas Schelling yang menyatakan bahwa “kekuatan
negosiator sering bersandar pada ketidakmampuan yang nyata dalam membuat konsesi dan
memenuhi tuntutan… Ketika Pemerintah Amerika Serikat melakukan negosiasi dengan
Pemerintahnya lainnya, jika eksekutif melakukan negosiasi di bawah otoritas legislatif…
dengan posisinya dibatasi oleh hukum… maka eksekutif memiliki posisi yang kokoh
sehingga terlihat oleh partner negosiasinya.” Menilik dari titik pandang strategi ini,
Schelling menekankan pada cara-cara di mana win-set dapat dimanipulasi, namun bahkan
ketika win-set sendiri berada di luar

kontrol negosiator, dia masih dapat mengeksploitasi pengaruhnya.

Determinants of the win-set

Ada tiga faktor yang sangat penting yang mempengaruhi win-set:

1. Ukuran dari win-set tergantung pada distribusi kekuasaan, preferensi, dan koalisi
yang memungkinkan antara komponen-komponen dalam Tingkat II .

Setiap two-level theory yang teruji dalam negosiasi internasional harus berakar dari teori
politik dalam negeri (domestik), yaitu sebuah teori mengenai kekuasaan dan preferensi
(pilihan-pilihan) pelaku utama pada Level II. Misalnya, negosiasi persenjataan dapat
diinterpretasikan dalam istilah birokratik mode pada Level II, sedangkan kelas analisis atau
neokorporatisme kompatibel untuk menganalisis kerjasamamakroekonomi internasional.
Singkatnya, berdasarkan rincian politik pada Level II, bagaimanapun memungkinkan untuk
menguraikan prinsip-prinsip tertentu yang mengatur ukuran win-set. Misalnya, semakin
rendah harga “no-agreement” untuk konstituen, semakin kecil win-set tersebut. Beberapa
konstituen atau komponen-komponennya mungkin menghadapi biaya yang rendah dari
adanya kesepakatan, sedang yang lainnya tinggi.

Ukuran dari win-set tergantung pada ukuran relatif dari tekanan “isolasionis” (yang
menentang kerja sama internasional) dan “Internasionalis” (yang menawarkan dukungan
untuk semua tujuan). Dukungan untuk semua tujuan terhadap perjanjian internasional
mungkin lebih kecil, negara dependen dengan ekonomi yang lebih terbuka, jika
dibandingkan dengan negara mandiri seperti Amerika Serikat. Negara mandiri dengan win-
set yang lebih kecil harus membuat perjanjian internasional yang lebih sedikit dan
menangani masalah tawar-menawar lebih keras agar mereka mencapai apa yang ingin
mereka tuju. Dalam beberapa kasus, evaluasi no-agreement mungkin menjadi satu-satunya
ketidaksepakatan yang signifikan di antara para konstituen di Tingkat II, karena
kepentingan mereka yang relatif homogen.

Sifat khas seperti isu-isu “homogen” yang dilakukandengan membedakan mereka untuk
kasus-kasus di mana pilihan-pilihan konstituen lebih bersifat heterogen, sehingga setiap
kesepakatan atau persetujuan pada Tingkat I dikenakan merata pada mereka.

2. Ukuran dari win-set tergantung pada lembaga politik di Tingkat II.

Prosedur pengesahan (ratifikasi) jelas mempengaruhi ukuran win-set. Misalnya, jika dua-
pertiga suara diperlukan untuk ratifikasi, win-set hampir pasti akanlebih kecil dibandingkan
jika hanya memperoleh suara mayoritas yang sederhana. Karena kekuatan veto yang efektif
hanya terdiri dari sebuah kelompok kecil, banyak perjanjian penting yang ditolak,
sementara perjanjian-perjanjian yang sebelumnya tidak pernah dipertimbangkan dilakukan
diratifikasi.
Untuk memuaskan sensitivitas kongres, sistem rumit yang ditawarkan komite sektor swasta
didirikan untuk meningkatkan komunikasi antara para perunding di Tingkat I dan Tingkat
II, dimana berlaku coopting kelompok kepentingan dengan mengekspos mereka langsung
menuju implikasi di mana mereka dibutuhkan. Praktek politik dalam negeri lainnya juga
dapat mempengaruhi ukuran win-set. Kuatnya kedisiplinan dalam partai politik yang
memerintah, misalnya, akan meningkatkan win-set dengan pelebaran rentang perjanjian
yang disepakati.

Pembahasan mengenai “kekuatan negara” serta “otonomi negara” merupakan suatu hala
yang relevan saat ini. Semakin besar otonomi dalam pengambilan keputusan pusat dari
konstituen Tingkat II, maka semakin besar pula win-set mereka sehingga semakin besar
kemungkinan untuk mencapai kesepakatan internasional. Misalnya, isolasi yang
diberlakukan terhadap bank sentral dari tekanan politik domestik yang terjadi telah
meningkatkan win-set sehingga peluang untuk melakukan kerjasama moneter internasional,
dimana tawaran atau usulan terbaru untuk mewujudkan peningkatan peran bagi bankir
sentral dalam koordinasi kebijakan internasional. Namun, dua tingkat analisis juga
menunjukkan bahwa, ceterisparibus juga berlaku, di mana semakin kuat suatu negara dalam
hal otonomi dari tekanan dalam negeri, maka akan relatif lebih lemah posisi tawarnya
dalam internasional.

3. Ukuran dari win-set tergantung pada berbagai strategi negosiator di Tingkat I.

Setiap negosiator Tingkat I memiliki kepentingan tegas dalam memaksimalkan win-set


pihak lain, tetapi tetap menghormati win-set miliknya sendiri, dengan motivasi yang telah
terkombinasi. Semakin besar win-set-nya, maka semakin mudah dia dapat menyimpulkan
perjanjian, tetapi juga yang lebih lemah posisinya dalam tawar menawar dengan negosiator
lain. Hal ini sering menimbulkan dilema taktis. Sebagai contoh, salah satu cara efektif
untuk menunjukkan komitmen terhadap posisi tertentu pada tawar-menawar di Tingkat I
adalah untuk mengerahkan dukungan dari konstituen. Di sisi lain, taktik tersebut mungkin
memiliki efek ireversibel (tak dapat diubah) pada sikap konstituen, yang akhirnya
menghambat ratifikasi perjanjia berikutnya.

Namun demikian, mengabaikan dilema ini untuk saat ini dengan asumsi bahwa negosiator
ingin memperluas win-set-nya untuk mendorong ratifikasi perjanjian, dia dapat
mengeksploitasi kedua sisi konvensional, yaitu pada sisi pembayaran serta asas itikad baik.

Uncertainty and Bargaining Tactics

Negosiator pada Tingkat I sering salah sangka mengenai informasi terhadap


politik Tingkat II, terutama bagi mereka yang berada pada sisi berlawanan. Ketidakpastian
tentang ukuran win-set dapat menjadi perangkat dalam tawar menawar atau malah menjadi
batu sandungan dalam perundingan dua level. Negosiator memiliki insentif tersendiri untuk
mengecilkan ukuran win-set mereka. Transaksi dapat ditingkatkan jika kesepakatan
substantif tercapai, meskipun pemimpin kadang-kadang bisa mendapatkan keuntungan
domestik melalui tolakan keras dari kesepakatan internasional yang ditawarkan ditawarkan.

Di sisi lain, ketidakpastian tentang meningkatkan win-set lawan meningkatkan risiko


pembelotan secara paksa. Transaksi hanya dapat menyerang jika setiap negosiator yakin
bahwa kesepakatan yang diusulkan terletak win-set yang berlawanan di dalam nya dan
dengan demikian akan disahkan. Ketidakpastian tentang ratifikasi A menurunkan nilai yang
diharapkan perjanjian B, sehingga pihak B akan meminta pembayaran yang lebih murah
dari pihak A untuk memperoleh kepastian.

The Role of The Chief Negotiator


Dalam perundingan dua level, negosiator kepala merupakan satu-satunya link resmi antara
Tingkat I dan Tingkat II. Negosiator kepala tidak memiliki pandangan kebijakan yang
independen, tetapi hanya bertindak sebagai perantara yang jujur, atau lebih tepatnya
sebagai perwakilan atas nama konstituen.

Adapun motivasi dari negosiator kepala meliputi:

1) Meningkatkan kedudukannya di Tingkat II dengan meningkatkan sumber daya


politiknya atau dengan meminimalkan potensi kerugian.

2) Menggeser keseimbangan kekuasaan (balance of power) di Tingkat II dalam


mendukung kebijakan domestik. Negosiasi internasional pemimpin pemerintahan kadang-
kadang memungkinkan untuk melakukan apa yang mereka inginkan secara pribadi untuk
dilakukan, tetapi tidak berdaya untuk melakukan secara domestik.

3) Untuk mengejar konsepsi mengenai kepentingan nasional dalam konteks


internasional.

Merupakan hal yang wajar untuk menganggap, setidaknya dalam kasus tawar-menawar
internasional di dua level, bahwa negosiator kepala biasanya akan memberikan keutamaan
terhadap urusan dalam negerinya , jikapun pilihan harus dibuat, paling tidak karena jabatan
sendiri sering tergantung pada bagaimana berdirinya di Level II. Oleh karena itu, dia lebih
cenderung untuk menyajikan suatu perjanjian internasional untuk diratifikasi, sehingga
semakin besar politiknya maka semakin besar pula kemungkinan perjanjian tersebut
diratifikasi.

Anda mungkin juga menyukai