Oleh:
ADERITA KURNIA
072104000039
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa semua bayi
harus mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif sejak lahir sedini mungkin
(satu jam setelah bayi lahir) sampai setidaknya bayi berusia 4 bulan dan bila
memungkinkan hingga bayi berusia 6 bulan. Pada tahun 2019 WHO melaporkan
bahwa pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-3 bulan hanya mencapai 48% dan
bahkan pada usia 4-5 bulan hanya 14%. Rata-rata lama pemberian ASI eksklusif
1,7 bulan (WHO, 2019). Berdasarkan data UNICEF (United Nation Childrens
Fund) tahun 2019 bahwa ibu yang memberikan ASI eksklusif hanya 3,5%
(UNICEF, 2019).
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017-2018
menunjukan bahwa cakupan ASI eksklusif pada bayi di bawah usia dua bulan
hanya 67%. Survey yang dilakukan Nutrition and Health Surveillance System
(NSS) tahun 2018 bekerjasama dengan Balitbangkes di 4 kota (Jakarta, Surabaya,
Semarang, Makasar) dan 8 pedesaan (Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Lampung, Banten, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan), menunjukan bahwa
cakupan ASI eksklusif usia 4-6 bulan di perkotaan 4-12% dan di pedesaan 4-25%.
Artinya hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya sampai enam bulan. Pemberian ASI yang tidak optimal memberi dampak
terhadap terjadinya kematian akibat infeksi neonatal 45%, kematian akibat diare
30%, dan akibat infeksi saluran pernafasan pada balita 18% (Kemenkes RI, 2019).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun 2021 menunjukan bahwa
cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi dalam tiga tahun terakhir mengalami
fluktuatif yaitu pada tahun 2018 sebesar 70,18%, tahun 2019 cakupan menurun
menjadi 68,10%, dan pada tahun 2020 cakupan meningkat kembali menjadi
71,32%. Cakupan tersebut masih kurang dari standar Nasional yang ditetapkan
yaitu sebesar 80% (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2021).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, menunjukkan
bahwa cakupan pemberian ASI ekslusif pada bayi dalam tiga tahun terakhir
mengalami kenaikan tapi belum memenuhi target Nasional yang diharapkan yaitu
2
80%. Pada tahun 2018 cakupan ASI eksklusif sebesar 64,25%, tahun 2019 sebesar
66,59% dan tahun 2020 terus meningkat menjadi 70,93% (Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Pandeglang, 2021).
Upaya agar ibu setelah melahirkan dapat memberikan ASI eksklusif pada
bayinya salah satunya adalah dengan cara mempersiapkan diri dari semenjak
memasuki kehamilan trimester III agar mempunyai kesiapan dalam menyusui.
Persiapan menyusui pada masa kehamilan merupakan hal penting, sebab dengan
persiapan yang baik maka ibu lebih siap untuk menyusui bayinya. Persiapan
tersebut meliputi pengetahuan dan dukungan psikologis untuk mempersiapkan
mental, dan pelayanan kesehatan untuk mempersiapkan keadaan fisik ibu. Dengan
persiapan yang baik maka ibu akan lebih yakin dan siap untuk memberikan ASI
eksklusif pada bayinya (Marzida et al., 2017). Penelitian Rinata (2019)
menyebutkan bahwa salah satu penyebab masih rendahnya ASI eksklusif karena
masih kurangnya persiapan ibu dalam menyusui pada masa kehamilan.
Persiapan ASI eksklusif merupakan upaya yang dilakukan ibu dan keluarga
untuk menunjang keberhasilan menyusui. Dalam penatalaksanaannya dapat dimulai
pada masa kehamilan, segera setelah persalinan dan pada masa menyusui.
Persiapannya dapat meliputi upaya pencarian informasi ASI eksklusif, perawatan
payudara, persiapan nutrisi, dan persiapan psikologis (Sadiman, 2014). Menurut
Harefa (2019), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan ibu hamil dalam
proses menyusui yaitu persepsi inisiasi menyusu dini (IMD), bounding attachment
dan dukungan suami.
Kegagalan seorang ibu dalam proses menyusui salah satunya disebabkan oleh
persepsi ibu sendiri terhadap IMD pada masa kehamilan. Dalam persiapan proses
menyusui dan pelaksanaan IMD sangat dibutuhkan persepsi yang positif dari
seorang ibu (Nurheti, 2018). Penelitian Trisnawati (2019) menyebutkan bahwa
persepsi negatif ibu terhadap pentingnya melakukan IMD pada bayi dapat
mempengaruhi kegagalan ibu dalam memberikan ASI eksklusif. Kegiatan
pembekalan yang baik tentang IMD dibutuhkan untuk meningkatkan persepsi ibu
hamil terhadap pentingnya IMD (Nuryanti, 2019). Penelitian Purwanti (2020)
menunjukkan hasil bahwa persepsi tentang IMD berhubungan dengan kesiapan ibu
ibu hamil trimester III dalam proses menyusui.
3
C. Urgensi Penelitian
Masih banyaknya ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Munjul yang tidak
memiliki kesiapan khusus untuk mempersiapkan diri memberikan ASI atau
menyusui bayinya setelah melahirkan, seperti tidak mengikuti kelas ibu hamil, tidak
menghadiri penyuluhan atau pembekalan dari petugas kesehatan terkait dengan
kehamilan, persalinan dan nifas. Hal ini didasarkan pada pengamatan peneliti
terhadap ibu hamil yang terdaftar di wilayah Puskesmas Munjul dan pada saat ada
kunjungan ibu hamil ke Puskesmas yang kemudian ditunjang dari hasil wawancara
pada saat survey pendahuluan. Peneliti meyakini bahwa persiapan menyusui pada
masa kehamilan merupakan hal penting, sebab dengan persiapan yang baik maka
ibu lebih siap untuk menyusui bayinya. Hal ini juga akan berdampak pada realisasi
cakupan pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Munjul.
Menurut peneliti, banyak faktor yang dapat menjadi penyebab seorang ibu
tidak memiliki kesiapan dalam proses menyusui antara lain persepsi ibu yang
negatif terkait IMD, pengetahuan ibu yang kurang tentang bounding attachment
dan kurangnya dukungan dari suami. Oleh karena itu, peneliti merasa sangat perlu
mengkaji dan menggali lebih dalam melalui penelitian ini, apakah ketiga faktor
tersebut benar-benar memiliki hubungan secara signifikan dengan kesiapan ibu
hamil dalam proses menyusui.