Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH SEJARAH

GURU PEMBIMBING

Syamsul ma’arif Kom

Disusun Oleh

Handika Dimas Permata

XII IIS 1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini bertopikkan “Lahirnya Deklarasi Djuanda 1957 Memperkokoh
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ”. Makalah ini disusun agar
dapat memberi pengetahuan bagi pembaca dan terutama bagi saya sendiri.
Ucapan terima kasih kepada Guru , teman-teman dan semua pihak yang
telah terlibat dan memberikan bantuan dalam bentuk moril maupun materil
dalam proses penyusunan makalah ini, sehingga dapat selesai tepat pada
waktunya.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
perlu bagi saya kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan berguna serta bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta,3 Januari 2023

Handika Dimas P
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A.    Latar Belakang .............................................................................................. 1

B.    Rumusan Masalah ......................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 3

BAB II. PEMBAHASAN ..................................................................................... 4

A.   Pengertian Wawasan Nusantara .................................................................... 4

B.    Lahirnya Deklarasi Djuanda ......................................................................... 7

C.    Deklarasi Djuanda ....................................................................................... 9


D. Tujuan dan Manfaat Deklarasi Djuanda ....................................................... 13

BAB III. PENUTUP ........................................................................................... 14

A.    Kesimpulan .................................................................................................. 14

B. Saran ............................................................................................................ 14

  DAFTAR PUSTAKA  ........................................................................................ 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara keanekaragaman pendapat,


kebudayaan kesenian, kepercayaan, memerlukan suatu perekat agar
bangsa yang bersangkutan bersatu guna memelihara keutuhan negaranya.
Suatu bangsa dalam menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari
pengaruh lingkungannya, kondisi sosial masyarakat, kebudayaan dan
tradisi, kepercayaan, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah.

Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa, yaitu wawas (mawas) yang
artinya melihat, memandang. Jadi kata wawasan dapat di artikan sebagai
cara melihat atau cara memandang.

Kehidupan negara senantiasa dipengaruhi perkembangan lingkungan


strategi sehingga wawasan harus mampu memberi inspirasi pada suatu
bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan.

Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah
wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui.
Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.Deklarasi Djuanda adalah
pernyataan kepada dunia, bahwa laut Indonesia adalah termasuk
laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu
kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi itu dicetuskan pada 13 Desember
1957 oleh Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Djuanda Kartawidjaja.

B. Rumusan Masalah

Pada penjabaran latar belakang diatas, maka saya mencoba membuat


beberapa perumusan analisis permasalahan dalam bentuk pertanyaan-
pertanyaan dibawah ini :
1. Pengertian Wawasan Nusantara?
2. Apa yang melatarbelakangi lahirnya Deklarasi Djuanda 1957?
3. Apa saja tujuan, manfaat beserta keuntungan dari Deklarasi Djuanda
bagi bangsa Indonesia?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memperoleh gambaran bagaimana cara pandang bangsa


Indonesia terhadap wawasan nusantara.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari Deklarasi Djuanda
terhadap bangsa Indonesia.
3. Menambah wawasan dan pengetahuan bangsa Indonesia terhadap
pentingnya Wawasan Nusantara terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wawasan Nusantara

Kata wawasan berasal dari kata “wawas” ( bahasa Jawa ) yang


berarti melihat atau memandang. Jika ditambah dengan akhiran –an maka
secara harfiah berarti cara penglihatan, cara tinjau, cara pandang.
Nusantara adalah sebuah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa
Kuno yakni nusa yang berarti pulau, dan antara artinya lain.
Berdasarkan teori-teori tentang wawasan, latar belakang falsafah
Pancasila, latar belakang pemikiran aspek kewilayahan, aspek sosial
budaya dan aspek kesejarahan, terbentuklah satu wawasan nasional
Indonesia yang disebut dengan Wawasan Nusantara.
Berdasarkan Ketetapan MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN,
Wawasan Nusantara yang merupakan wawasan nasional yang bersumber
pada Pancasila dan berdasarkan UUD 1945adalah cara pandang dan sikap
bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah
dalam menyelengarakan kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Sebagai bangsa yang majemuk yang telah menegara, bangsa Indonesia
dalam membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan
nasionalnya, baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamanan rakyat semestanya, selalu mengutamakanpersatuan
dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah. Untuk itu pembinaan dan
dan penyelenmggaraan tata kehidupan bangsa dan negaraIndonesia
disususn atas dasara hubungan timbal balik antara falsafah, cita-cita dan
tujuan nasional, serta kondisi social budaya dan pengalaman sejarah yang
menumbuhkan kesadaran tentangkemajemukan dan
kebhinekaannyadengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
nasional.Gagasan untuk menjamin persatuan dan kesatuan dalam
kebhinnekaan tersebut dikenal dengan Wasantara, singkatan dari
Wawasan Nusantara.

Bangsa Indonesia menyadari bahwa bumi, air, dan dirgantara di atasnya


serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena
itu, dengan konsep wawasan nusantara bangsa Indonesia
bertekad mendayagunakan seluruh kekayan alam, sumber daya
serta seluruh potensi nasionalnya berdasarkan kebijaksanaan
yang terpadu, seimbang, serasi dan selaras untuk mewujudkan
kesejahteraan dan keamanan segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah dengan tetap memperhatikan kepentingan daerah
penghasil secara proporsional dalam keadilan.

Untuk itulah, mengapa Wawasan Nusantara perlu. Ini karena


Wawasan Nusantara mempunyai fungsi sebagai pedoman, motivasi,
dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan,
keputusan, tindakan dan perbuatan bagi penyelenggara Negara di tingkat
pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain fungsi, Wawasan
Nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala
aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan
nasional daripada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku
bangsa atau daerah. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan
kepentingan-kepentingan individu . kelompok, golongan, suku bangsa
atau daerah. Kepentingan-kepentingan tersebut tetap dihormati, diakui
dan dipenuhi, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Sebagai cara pandang dan visi nasional Indonesia, wawasan


Nusantara harus dijadikan arahan, pedoman, acuan dan tuntunan bagi
setiap individu bangsa Indonesia dalam membangun dan memelihara
tuntutan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu,
implementasi atau penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada
pola piker, pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan
kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.daripada
kepentingan pribadi atau kelompok sendiri.
1.      Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan politik akan
menciptakan iklim penyelenggaraan Negara yang sehat dan dinamis. Hal
tersebut nampak dalam wujud pemerintahan yang kuat, aspiratif dan
terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
2.      Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan ekonomi akan
menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan
dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan
adil. Di samping itu, mencerminkan tanggungjawab pengelolaan sumber
daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antardaerah secara
timbale balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
3.      Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan social budaya
akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima
dan menghormati segala bentuk perbedaan atau kebhinekaan sebagai
kenyataan hidup sekaligus sebagai karunia Sang Pencipta. Implementasi
ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun
dan bersatu tanpa membeda-bedakan suku, asal-usul daerah, agama atau
kepercayaan, serta golongan berdasarkan status sosialnya.
4.      Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan hankam akan
menumbuh-kembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih
lanjut akan membentuk sikap bela negara pada setiap warga negara
Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela
negara ini akan menjadi modal utama yang akan menggerakkan
partsisipasi setiap warga negara Indonesia dalam menanggapi setiap
bentuk ancaman, seberapapun kecilnya dan darimanapun datangnya atau
setiap gejala yang membahayakan keselamatan bangsa daqn kedaulatan
Negara.
Dalam pembinaan seluruh aspek kehidupan nasional, Wawasan
Nusantara harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada setiap strata di seluruh wilayah
negara. Di samping itu, Wawasan Nusantara dapat diimplementasikan ke
dalam segenap pranata sosial yang berlaku di masyarakat dalam nuansa
kebhinekaan sehingga mendinamiskan kehidupan social yang akrab,
peduli, toleran, hormat dan taat hukum. Semua itu menggambarkan sikap,
paham, dan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi sebagai
identitas atau jati diri bangsa Indonesia.

Jadi,Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa


Indonesia diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

B. Lahirnya Deklarasi Djuanda

Perairan Indonesia merupakan perairan yang memiliki banyak


potensi. Potensi itu terlihat dengan jelas melalui banyak sumber daya
yang beraneka ragam dalam  perairannya. Seiring perkembangan dalam
sejarah Indoneisa, perairan Indonesia menjadi salah satu hal yang sangat
vital dalam berbagai kegiatan. Berbagai kegiatan itu berupa kegiatan
perdagangan, transportasi, mata pencaharian, hiburan, dan sebagainya.
Dari berbagai kegiatan tersebut, terciptalah potensi-potensi yang
istimewa. Potensi-potensi  ini mempengaruhi bangsa lain sehingga ada
keinginan dari mereka untuk menguasai daerah kedaulatan.
Dalam wilayah kedaulatan yang dimiliki Indonesia, terutama untuk
perairan, tentu hal ini menjadi sesuatu yang penting. Kita mengetahui
bahwa bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda dengan waktu yang tidak
sebentar. Selama penjajahan tersebut, banyak sekali pergolakan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan mulai dari organisasi hingga
pemberontakan yang melimpahkan tumpah darah rakyat Indonesia.
Pemerintah Belanda yang pada akhirnya tergantikan oleh pemerintah
Jepang harus menelan pil pahit bahwa kekuasaan berganti. Namun,
tokoh-tokoh pergerakan tetap melawan adanya imperialisme tersebut
dengan cara berjuang baik secara diplomasi maupun aksi kolektif
terhadap pemerintah. Ketika rakyat merebut kemerdekaan pada 17
Agustus 1945, masih ada perlawanan terhadap para penjajah. Belanda
masih ingin merebut wilayah kedaulatan Indonesia dengan strategi-
strategi yang mereka gunakan karena masih merasa wilayah Indonesia
masih dikuasai Belanda. Hal ini menuntut rakyat Indonesia untuk
melawan dalam bentuk diplomasi dan aksi secara fisik. Perjuangan
tersebut terus berlangsung hingga terjadinya perebutan wilayah Irian
Barat. Perebutan Irian Barat antara Indonesia dangan Belanda membuat
hubungan antara kedua negara tersebut menjadi renggang, bahkan putus.
Oleh karena itu, Indonesia harus mempertahankan wilayah dan
kedaulatan negara demi terwujudnya Indonesia yang bebas dari penjajah.

Indonesia mendapatkan ancaman dari dalam dan luar.[1] Ancaman dari


dalam adalah ancaman berupa pemberontakan-pemberontakan.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut bersifat sparatis. Ancaman dari
luar adalah sengketa antara Belanda dengan Indonesia tentang Irian Jaya.
Hal ini sungguh membuat prihatin Indonesia dalam situasi dan
kondisinya. Belum lagi, suasana perang dingin antara AS dan US yang
pada saat itu sedang marak mempengaruhi jalannya deklarasi tersebut.
AS menolak deklarasi, sedangkan US mendukungnya.

Dalam mempertahankan wilayah dan kedaulatan tersebut, Indoneisia


harus memiliki kekuatan wilayah yang kuat dan pengakuan dari dunia
internasional tentang Indonesia itu sendiri. Penguatan kedaulatan dapat
diperkuat dari sisi hukum, sedangkan penguatan wilayah dapat dilakukan
dengan perluasan batas-batasnya. Indonesia memiliki pulau besar dan
kecil sejumlah 18000. Oleh karena itu, penting sekali jika wilayah
perairan diprioritaskan.Untuk mempertahankan hal itu wilayah negara
Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu
Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO
1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di
wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau
hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini
berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan
pulau-pulau tersebut.
C. Deklarasi Djuanda

Pada awal kemerdekaan Indonesia, persoalan wilayah (teritorial)


menjadi salah satu isu strategis.Dimana masih diberlakukannya
Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme
Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) Perdebatan yang terjadi di
dalam BPUPKI ketika pembahasan wilayah republik menjadi buktinya.
Akan tetapi, beragam pendapat yang muncul terbatas pada soal wilayah
daratan. Muhammad Yamin salah satu tokoh republik pada waktu itu
yang menyinggung pentingnya wilayah lautan.Melalui pernyataannya
“Tanah air Indonesia ialah terutama daerah lautan dan mempunyai pantai
yang panjang. Bagi tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau, maka
semboyan mare liberum (laut merdeka) menurut ajarah Hugo Grotius itu
dan yang diakui oleh segala bangsa dalam segala seketika tidak tepat
dilaksanakan dengan begitu saja, karena kepulauan Indonesia tidak saja
berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, tetapi juga
berbatasan dengan beberapa lautan dan beribu-ribu, selat yang luas atau
yang sangat sempit. Di bagian selat dan lautan sebelah dalam, maka dasar
“laut merdeka” tidak dapat dijalankan, dan jikalau dijalankan akan sangat
merendahkan kedaulatan negara dan merugikan kedudukan pelayaran,
perdagangan laut dan melemahkan pembelaan negara. Oleh sebab itu,
maka dengan penentuan batasan negara, haruslah pula ditentukan daerah,
air lautan manakah yang masuk lautan lepas. Tidak menimbulkan
kerugian, jikalau bagian Samudea Hindia Belanda, Samudera Pasifik dan
Tiongkok Selatan diakui menjadi laut bebas, tempat aturan laut merdeka.
Sekeliling pantai pulau yang jaraknya beberapa kilometer sejak air
pasang-surut dan segala selat yang jaraknya kurang dari 12 km antara
kedua garis pasang-surut, boleh ditutup untuk segala pelayaran di bawah
bendera negara luaran selainnya dengan seizin atau perjanjian negara
kita.”

Melihat kondisi geografis Indonesia yang unik, banyaknya wilayah


laut dibanding darat, menyadarkan pemerintah bahwa persoalan wilayah
laut merupakan faktor penting bagi kedaulatan negara. Mochtar
Kusumaatmadja, saat itu menjadi salah satu tim penyusun RUU Laut
Teritorial dan Lingkungan Maritim, bahwa tim tersebut telah berhasil
menyusun lebar laut teritorial seluas 12 mil sesuai dengan perkembangan
yang terjadi dalam hukum internasional. Kemudian Chaerul Saleh
(Menteri Veteran) mendatangi beliau dan tidak setuju dengan usulan tim
penyusun. Alasannya adalah jika aturan diterapkan maka terdapat laut
bebas antara pulau-pulau di Indonesia sehingga kapal-kapal asing bisa
bebas keluar masuk. Hal tersebut jelas dapat “mengganggu” kedaulatan
Indonesia yang masih berumur muda. Saran dari Chaerul Saleh adalah
untuk menutup perairan dalam (Laut Jawa) sehingga tidak ada kategori
laut bebas didalamnya. Mochtar lantas menjawab tidak mungkin karena
tidak sesuai dengan hukum internasional saat itu dan berjanji untuk
mendiskusikanya dengan tim.

Hari Jumat 13 Desember 1957, tim RUU Laut Teritorial menghadap


kepada perdana menteri Djuanda. Beliau meminta untuk dijelaskan
perihal hasil rancangan tim. Mochtar Kusumaatmadja sebagai ahli hukum
internasional (hukum laut) tampil ke depan untuk menjelaskan. Fakta di
atas memunculkan tiga aktor penting hingga dikeluarkanya Deklarasi
Djuanda, yaitu; Djuanda, Mochtar Kusumaatmadja dan Chaerul Saleh.
Satu hal yang pasti ialah deklarasi Djuanda merupakan keputusan
Djuanda karena posisi dia saat itu sebagai pengambil kebijakan.

Secara prinsip Deklarasi Djuanda menyatakan hal hal dibawah ini :

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai


corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu
kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah
keutuhan wilayah Indonesia

Prinsip-prinsip dalam Deklarasi Djuanda ini kemudian dikukuhkan


dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960, yang isinya sebagai
berikut :
-Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayh, dan kesatuan ekonominya
ditarik garis-garis pngkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar
dari kepulauan terluar.
-Termasuk dasar laut dan tanah bawahnya maupun ruang udara di atasnya
dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
-Jalur laut wilayah laut territorial selebar 12 mil diukur dari garis-garis
lurusnya.
-Hak lintas damai kapal asing melalui perairan nusantara (archipelagic
water) dijamin tidak merugikan kepentingan negara pantai, baik
keamanan maupun ketertibannya.

D. Tujuan dan Manfaat Deklarasi Djuanda


Dalam Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut
prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State), sehingga laut-laut
antar pulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia, dan bukan
kawasan bebas dan dari situlah negara Indonesia disebut negara
kepulauan.
Deklarasi itu mendapat tentangan dari beberapa negara, namun
pemerintah Indonesia meresmikan deklarasi itu menjadi UU No.
4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Wilayah Negara RI yang semula
luasnya 2.027.087 km2 (daratan) bertambah luas lebih kurang menjadi
5.193.250 km2 (terdiri atas daratan dan lautan). Ini berarti bertambah
kira-kira 3.106.163 km2 atau kita-kira 145%.Manfaat dari Deklarasi
Djuanda ini berlanjut kepada bertambah besarnya perairan laut
Indonesia,disamping itu juga perairan laut indonesia yang kaya akan hasil
laut menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang kaya akan hasil
laut.Sesuai data Konferensi Hukum Laut yang baru telah ditandatangani
oleh 130 negara dalam UNCLOS III (Konferensi Hukum Laut) di teluk
Montenegro, Kingston, Jamaica, pada tanggal 6 - 10 Desember 1982,
yang memutuskan beberapa ketentuan untuk wilayah kelautan di
Indonesia:

- Batas laut territorial selebar 12 mil.

- Batas zona bersebelahan adalah 24 mil.

- Batas ZEE adalah 200 mil.

- Batas landas benua lebih dari 200 mil.

Dan ada beberapa tujuan dari lahirnya Deklarasi Djuanda,yaitu :

1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang


utuh dan bulat.
2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara
Kepulauan.
3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin
keamanan dan keselamatan NKRI.

Selama 25 tahun yang secara resmi Negara Indonesia mendapat


pengakuan resmi dari Internasional.Pengakuan resmi asas Negara
Kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan
satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember
1957, dan Wawasan Nusantara yang menjadi dasar perwujudan bagi
kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial
budaya dan pertahanan keamanan. Kemudian, setelah Indonesia
meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut III (UNCLOS III) tahun
1982 melalui UU Nomor 17 tahun 1985, PBB resmi mengakui Indonesia
sebagai negara kepulauan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas kita dapat simpulkan Secara umum bahwa


Wawasan Nusantara adalah keutuhan nusantara/nasional, dalam
pengertiannya yaitu cara pandang yang menyeluruh terhadap bangsa
Indonesia.

Tujuan dari wawasan nusantara tersebut yaitu mewujudkan nasioanalisme


yang tinggi disegala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih
mengutamakan kepentingan nasioanal dari pada kepentingan individu,
kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah (kepentingan individu,
kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah tetap dihargai selama tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat
banyak.

Seperti halnya Deklarasi Djuanda yang mencirikan atas wawasan


nasional bangsa Indonesia terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan juga memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan terhadap
bangsa Indonesia.Tepat pada 13 Desember diperingati Hari Nusantara.

B. Saran

Agar tercapainya tujuan negara Indonesia sangat perlu dan penting


sekali bagi kita seluruh rakyat indonesia untuk mengetahui,menjaga dan
melindungi segenap wilayah dan lingkungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Disamping itu agar terciptanya rasa persatuan dan kesatuan
wilayah dan juga agar terselenggaranya kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
SEJARAH PEMINATAN

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penelitian Negara Vietnam merupakan salah satu negara yang ada di Asia
Tenggara yang memiliki sejarah panjang dalam usaha meraih dan
mempertahankan kemerdekaannya. Sejarah panjang tersebut dimulai dari upaya
memperoleh kemerdekaan atas Perancis. Politik yang dijalankan oleh Perancis
itu mengakibatkan terjadinya perlawanan rakyat Vietnam untuk mengusir
Perancis dari wilayahnya. Namun perlawanan-perlawanan tersebut dilakukan
tanpa adanya kekompakan karena kejelian dari Perancis yang melakukan politik
divide and rule untuk memecah belah perlawanan serta perjuangan merebut
kemerekaan tersebut terpecah kedalam 2 kelompok besar yaitu kelompok
nasionalis dan kelompok komunis yang sulit untuk disatukan. Namun pada
perkembangan selanjutnya kelompok komunis lah yang menjadi pemimpin
gerakan kemerdekaan Vietnam (Sardiman, 1983: 7).

Dalam usaha untuk merebut kemerdekaan dari Perancis, maka dibentuklah


suatu organisasi yang merupakan wadah perjuangan bersama sebagai Liga
Kemerdekaan Vietnam yang disebut Viet Minh (Sardiman, 1983: 14).
Organisasi tersebut tidak hanya bergerak dalam bidang nasionalisme, namun
juga berusaha untuk mengembangkan pengaruh komunis. Namun organisasi
tersebut lebih dikenal oleh rakyat karena pemimpin gerakan ini yaitu Ho Chi
Minh yang mengedepankan nasionalisme. Vietnam berhasil mengusir dan
memperoleh kemerdekaan dari Perancis setelah benteng terkuat Perancis yaitu
Dien Bien Phu berhasil dikuasai oleh pasukan Viet Minh pada 7 Mei 1954.
Pemimpin pasukan ini ialah Jenderal Vo Nguyen Giap yang terkenal dengan
taktik gerilyanya yang berhasil memporak-porandakan pertahanan Perancis
akibat serangan besar-besaran sebelum dilaksanakannya Konferensi di Jenewa
yang membahas mengenai 2 permasalah di Korea dan Vietnam. Pertempuran
terakhir ini memakan waktu 55 hari, 55 malam yang ditandai dengan
kemenangan dari pihak Viet Minh.

Hasil dari Konferensi Jenewa membuat Ho Chi Minh selaku pemimpin dari
Viet Minh tidak setuju dengan adanya pembagian Vietnam menjadi dua bagian
yaitu Vietnam Utara (Republik Vietnam) dan Vietnam Selatan. Pembagian
tersebut membawa dampak kepada pertentangan ideologi serta campur tangan
asing. Hal tersebut memaksa Vietnam kembali menghadapi situasi perang untuk
mengusir intervensi asing yaitu dari RRC dan Uni Soviet di Vietnam Utara
karena sesama negara komunis serta Amerika Serikat di Vietnam Selatan. Maka
pecah lah perang saudara atau perang Vietnam yang terjadi dari tahun 1957-
1975 (Sudharmono, 2012: 190).

Hasil dari Konferensi Jenewa yang salah satunya yaitu akan diadakannya
pemilihan umum untuk memilih pemimpin yang berkuasa atas Vietnam. Namun
sampai tahun 1961, hal tersebut belum dapat direalisasikan (Lee, 1961: 136).
Hal tersebut memicu terjadinya pemberontakan dari pihak Ho Chi Minh yang
beranggapan bahwa apabila Vietnam belum bersatu, berarti Vietnam belum
merdeka.

Perang Vietnam yang terjadi antara tahun 1957-1975 dilatarbelakangi adanya


intervensi asing yaitu dari Amerika Serikat di Vietnam Selatan. Dalam perang
ini, Vietnam Utara dibantu oleh RRC dan Uni Soviet sebagai sesama negara
komunis. Setelah adanya dua kubu yang bereselisih tersebut, di Vietnam Selatan
muncul gerakan yang bernama Gerakan Front Pembebasan Nasional Vietnam
Selatan (FPNVS) atau yang biasa disebut Viet Cong (Sardiman, 1983: 35).
Gerakan ini bertujuan untuk melawan rezim saigon yang dikuasai oleh Amerika
Serikat untuk mewujudkan suatu pemerintahan di Vietnam yang satu dan bebas
dari intervensi asing. Dengan begitu, Amerika Serikat terdesak karena harus
berhadapan dengan Vietnam Utara pimpinan Ho Chi Minh dan pasukan Viet
Cong di Vietnam Selatan. Akhirnya pada tahun 1975, peperangan pun berakhir
ditandai dengan kemengan Vietnam dan ditandatanganinya perjanjian di Paris
1973 yang 3 isinya Amerika Serikat menyerah tanpa syarat dan Ho Chi Minh
menguasai seluruh Vietnam.

Namun berakhirnya perang tersebut tidak berarti menjadikan Vietnam benar-


benar aman. Dampak dari Perang Vietnam terasa setelah terjadinya pergolakan
di kalangan masyarakat Vietnam yang merasa kehidupan mereka terancam,
antara lain karena memburuknya situasi ekonomi sehingga hari depan tidak
menentu serta adanya re-edukasi (semacam indoktrinasi) oleh pihak yang
menang dan rasa ketakutan karena bekerja sama dengan rezim Vietnam Selatan
(Ismayawati, 2013: 1). Sedangkan menurut Ricklefs (2008: 653) dampak
setelah Perang Vietnam ialah adanya invasi Vietnam kepada Kamboja. Hal
tersebut bertujuan untuk menyebarluaskan pengaruh komunis Vietnam serta
adanya permintaan dari penguasa Kamboja untuk menggulingkan pemerintahan
Pol Pot yang pada saat itu berkuasa atas Kamboja. Hal itu menyebabkan
terjadinya arus pengungsian ke wilayahwilayah Asia Tenggara.

Orang Vietnam yang melakukan pengungsian, selain rasa ketakutan akan


keselamatan mereka yang terancam, mereka juga mengungsi untuk mencari
kehidupan yang lebih baik di negara lain. Dalam mewujudkan keinginan
mereka tersebut, para pengungsi menggunakan perahu yang tersedia yang
menimbulkan arus pengungsi Vietnam yang mengarah ke negara Asia Tenggara
seperti Filippina, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Ismayawati,
2013: 2). Karena para pengungsi tersebut menggunakan perahu sebagai alat
transportasinya sehingga mereka lebih dikenal dengan boat people (manusia
perahu).
Awal kedatangan dari para pengungsi dari Vietnam ini mendapat respon yang
kurang baik dari beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Filippina,
Malaysia, Singapura dan Indonesia sebelum UNHCR sebagai badan PBB yang
mengurusi masalah pengungsi. Hal tersebut terkadi karena Vietnam merupakan
negara komunis yang menginginkan wilayahwilayah sekitar khususnya Asia
Tenggara berada dalam pengaruh komunis Vietnam. Hal itu sesuai dengan cita-
cita Ho Chi Minh. Ketakutan negara- 4 negara Asia Tenggara tersebut berkaitan
dengan teori domino yang dikemukakan oleh John Foster Dulles yang
beranggapan bahwa kemenangan komunis di Vietnam mau tidak mau
menimbulkan kekhawatiran dari negaranegara tetangga akan adanya ekspansi
dari Vietnam untuk menyebarkan pengaruh komunis (Moertopo, 1976: 311).

Namun, pada akhirnya negara-negara tersebut menerima para pengungsi


Vietnam karena semua beban dan biaya ditanggung oleh UNCHR selaku badan
PBB yang mengurusi masalah pengungsi (Ismayawati, 2013: 80). Status
pengungsi Vietnam ini yaitu mendapat perlindungan dari UNHCR dan
kesempatan untuk dicari penyelesaian terhadap permasalahan pengungsi,
dikembalikan secara sukarela ke negara asal atau dikirim ke negara dunia
ketiga. Kebijakan UNHCR tersebut dilakukan untuk mengatasi situasi darurat
demi menyelamatkan manusia perahu dari negara-negara Asia Tenggara yang
kewalahan mengatasi permasalahan pengungsi Vietnam. Hal ini menyebabkan
UNHCR bekerja lama di Asia Tenggara dalam penyelesaian masalah manusia
perahu.

Khusus untuk Indonesia, dalam menangani permasalahan pengungsi Vietnam,


dihadapkan pada prinsip yang melihat suatu kerja sama regional maupun
internasional demi peningkatan ketahanan nasional dan ketahanan regional, dan
melalui kerja sama ini ikut menciptakan perdamaian dunia pada umumnya dan
perdamaian di Asia Tenggara pada khususnya yang disebut ZOPFAN (Zone, of
Peace Freedom and Neutrality) (Moertopo, 1976: 76). Dari prinsip tersebut,
jelas bahwa Indonesia menerima para pengungsi Vietnam dan
mengesampingkan permasalahan ideologi yang dibawa oleh para pengungsi
tersebut. Indonesia ingin menciptakan suatu perdamaian khususnya di Asia
Tenggara dan berusaha untuk menyelesaikan permalasahan yang terjadi
Vietnam yaitu invasi Vietnam ke Kamboja.

Usaha yang pertama dilakukan oleh Indonesia ialah mencari tempat untuk
penampungan para pengungsi Vietnam (Ismayawati, 2013: 15-16). Syarat
utama yang menjadi acuan dalam pemilihan tempat sementara untuk pengungsi
yaitu wilayahnya cukup luas, mudah untuk menyalurkan ke negara 5 ketiga,
mudah memisahkan antara penduduk setempat dengan pengungsi dan mudah
dicapai untuk bantuan logistik demi kelancaran pembangunan kamp pengungsi
serta berdekatan dengan negara tetangga yang menerima pengungsi seperti
Singapura, Malaysia, Thailand dan Flipina. Pencarian itu akhirnya menetapkan
Pulau Galang yang merupakan suatu Pulau kosong dengan sedikit penduduknya
sebagai tempat tinggal untuk para pengungsi. Penetapan Pulau Galang sebagai
tempat penampungan karena telah memenuhi persyaratan yaitu mudah untuk
menyalurkan pengungsi ke negara ketiga, cukup luas untuk menampung
pendirian kamp pengungsi bagi minimal 10.000 orang. Penduduknya pun
sedikit sehingga mudah memisahkan antara pengungsi dengan penduduk
setempat. Pulau Galang juga mempunyai akses yang mudah dicapai demi
kelancaran pembangunan kamp dan dukungan logistik pengungsi serta letak
Pulau Galang yang strategis yaitu berdekatan dengan negara tetangga yang juga
menerima pengungsi dari Vietnam ini. Sehingga Pulau Galang lah yang menjadi
tempat kamp pengungsian para pengungsi Vietnam tersebut.

Setelah apa yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan kebijakan politiknya
dalam ASEAN (ZOPFAN) dan politik bebas aktif yang berlaku pada masa
presiden Soeharto, yang menjadi pertanyaan dalam benak peneliti dan menjadi
ketertarikan peneliti adalah alasan mendasar mengapa Indonesia bersedia
menerima para pengungsi Vietnam yang merupkan negara komunis serta
langkah-langkah dari pemerintah Indonesia untuk menangani permasalahan
pengungsi Vietnam ini. Kemudian yang menjadi ketertarikan selanjutnya adalah
ketika para pengungsi diterima dan ditempatkan di pulau khusus untuk
penampungan pengunsi yaitu di Pulau Galang. Kemudian bagaimana proses
sosialisasi dan interaksi yang dilakukan antar sesama pengungsi selama berada
di kamp pengungsian serta bagimana proses sosialisasi dan interaksi para
pengungsi dengan penduduk setempat. Hal-hal itulah yang menarik ketertarikan
peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai dampak dari Perang Vietnam yang
mengakibatkan pengungsian yang dilakukan oleh rakyat Vietnam.

Alasan peneliti memilih tahun 1979 untuk awal kajian penulisan ini karena pada
tahun tersebut merupakan awal dipusatkannya para pengungsi yang sebelumnya
tersebar di beberapa Pulau di Indonesia, kemudian dipindahkan ke Pulau
Galang. Kemudian pemilihan tahun 1996 sebagai akhir kajian yaitu karena pada
tahun 1996 tersebut Pulau Galang telah kosong dari para pengungsi.
Pengosongan Pulau Galang sesuai dengan sidang Internasional di Jenewa yang
menyebutkan bahwa pada tahun 1995 Pulau Galang tersebut harus kosong,
namun pada kenyataannya pada 1996 baru dapat dikosongkan. Hal tersebut
dikarenakan para pengungsi berkeinginan untuk dikirim ke negara ketiga.
Namun, dalam proses pengiriman pengungsi ke negara ketiga tidak semua
pengungsi memiliki kesempatan untuk dikirim. Pengungsi yang dikirim ialah
para pengungsi yang mengungsi dari negaranya karena faktor politik bukan
ekonomi. Hal tersebut menjadikan permasalahan yang harus diselesaikan oleh
pemerintah Indonesia. Akhirnya, pada tahun 1996 Pulau Galang akhirnya dapat
dikosongkan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pemaparan di latar belakang, maka peneliti membuat
batasan masalah yaitu “Bagaimana keadaan pengungsi Vietnam di Pulau
Galang 1979-1996 ?”. Untuk memfokuskan permasalahan yang dikaji lebih
jelas dan terarah, maka peneliti mengkajinya dalam beberapa pokok permasalan
yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Apa yang melatarbelakangi munculnya manusia perahu Vietnam ?

2. Bagaimana peran UNHCR (United Nation High Commissioner For


Refugee) termasuk Indonesia dalam menanggulangi permasalahan para
pengungsi Vietnam ?

3. Bagaimana gambaran kehidupan para pengungsi selama berada di


camp pengungsian Pulau Galang ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk memperoleh informasi mengenai latar belakang munculnya


manusia perahu Vietnam yang memasuki negara-negara Asia Tenggara
termasuk Indonesia

2. Untuk mengkaji peran UNHCR termasuk Indonesia terhadap para


pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1979-1996

3. Untuk memperoleh informasi mengenai gambaran kehidupan para


pengungsi selama berada di camp pengungsian Pulau Galang

1.4 Metode Penelitian

Dalam melakukan proses penelitian khususnya dalam penelitian sejarah,


peneliti menggunakan metode historis yaitu suatu proses pengkajian, penjelasan
dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa
lampau (Sjamsuddin, 2007: 17-19). Adapun langkah-langkah yang digunakan
dalam melakukan penelitian sejarah ini terbagi menjadi empat tahap, yaitu:
Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah heuristik yaitu pengumpulan
sumber-sumber yang relevan dengan tema penelitian yang akan diteliti baik itu
berupa sumber primer maupun sumber sekunder.

Tahapan kedua adalah kritik. Kritik dalam metode historis ini ada dua
yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik eksternal merupakan upaya
melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber
sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132). Dalam kritik eksternal ini juga menilai
kelayakan dari sumber-sumber yang telah ditemukan sebagai bahan acuan
dalam penulisan skripsi. Kritik eksternal juga dilakukan klasifikasi terhadap
buku-buku yang digunakan baik itu dari segi latar belakang penulis buku,
penerbit dan tahun penerbitan. Sehingga buku-buku tersebut dapat digunakan
dan relevan untuk penulisan skripsi.

Sedangkan kritik internal merupakan penilaian terhadap aspek “dalam”


yaitu isi dari sumber sejarah yang digunakan oleh peneliti setelah sebelumnya
disaring melalui kritik eksternal (Sjamsuddin, 2007: 143). Dalam melakukan 8
kritik internal peneliti berusaha untuk menyaring dan mengkritisi sumbersumber
yang telah didapatkan dalam tahapan heuristik.

Tahapan ketiga yaitu interpretasi. Pada tahapan ini, peneliti memberikan


penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Penafsiran ini
dilakukan dengan menafsirkan fakta dan data dengan konsepkonsep dan teori-
teori yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Fakta dan data yang telah
ditemukan tersebut selanjutnya disusun, ditafsirkan dan dihubungkan satu sama
lain. Kemudian fakta dan data tersebut dijadikan kerangka berpikir dalam
penulisan skripsi ini.

Tahapan yang terakhir atau keempat yaitu historiografi. Pada tahap ini,
peneliti berusahan merumuskan masalah apa yang akan dibahas dalam
merekonstruksi peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang didapat dan kemudian
ditulis kedalam tulisan.

1.5 Manfaat Penelitian

Secara umum manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan menambah pengetahuan mengenai
dampak dari perang Vietnam dan Indocina dan kehidupan sosial para pengungsi
di pulau Galang pada tahun 1979-1996.

Adapun secara khusus manfaat penelitian ini dapat bermanfaat bagi


banyak pihak diantaranya:

1. Bagi peneliti dengan adanya tulisan ini semoga bisa memberikan


pengalaman berharga dalam melakukan penelitian dan merupakan aplikasi dari
perkuliahan yang telah didapat sebelumnya. Selain itu, tulisan ini diharapkan
dapat memberikan tambahan informasi bagi semua orang yang ingin
memperoleh informasi mengenai sejarah Vietnam.

2. Bagi Jurusan Pendidikan Sejarah dengan adanya ada tulisan ini dapat
memperkaya penelitian sejarah terutama yang berkaitan tentang sejarah
kawasan Asia Tenggara.

3. Bagi Mahasiswa dengan adanya tulisan ni dapat menjadi salah satu


tambahan sumber belajar yang dapat memperluas pengetahuan mengenai
sejarah kawasan terutama kawasan Asia Tenggara.

1.6 Struktur Organisasi Skripsi

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan secara rinci mengenai


latar belakang belakang penelitian yang menjadi alasan ketertarikan untuk
mengkaji dan meneliti mengenai Kehidupan Sosial Pengungsi Vietnam di Pulau
Galang 1979-1996. Kemudian peneliti mencantumka rumusan dan batasan
masalah agar penelitian ini dapat dikaji secara lebih khusus. Pada bab ini juga
terdapat tujuan, metode dan manfaat penelitian.

Bab II Kajian Pustaka, dalam bab ini menguraikan mengenai


sumbersumber yang relevan dengan penelitian yang dikaji yaitu sumber yang
berkaitan dengan Kehidupan Sosial Pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1979-
1996. Selain itu pada bab ini juga, peneliti menjelaskan mengenai konsep dan
teori yang relevan dengan judul yang dikaji.

Bab III Metode Penelitian, dalam bab ini peneliti menguraikan mengenai
metodelogi penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian. Peneliti
menguraikan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam menyelesaikan penelitian
yang berisi langkah-langkah penelitian, dimulai dari persiapan sampai langkah
terakhir dalam menyelesaikan penelitian ini. Pada tahapan ini peneliti
menggunakan langkah-langkah penelitian sejarah yang meliputi heuristik, kritk,
interpretasi dan historiografi mengenai Kehidupan Sosial Pengungsi Vietnam di
Pulau Galang 1979-1996.

Bab IV Manusia Perahu: Suatu Kajian Teori mengenai Kehidupan


Pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1979-1996, dalam bab ini merupakan isi
dari penelitian. Permasalahan-permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya
diuraikan dan dijelaskan pada bab ini serta jawaban-jawaban yang terdapat
dalam rumusan masalah. Permasalahn tersebut ialah kebijakan Indonesia
terhadap pengungsi Vietnam, latar belakang pemilihan pulau Galang sebagai
tempat sementara bag pengungsi, peranan UNHCR sebagai 10 lembaga PBB
yang menangani masalah pengungsian dan kehidupan para pengungsi selama
berada di pulau Galang.

Bab V Simpulan dan Saran, dalam bab terakhir ini peneliti memberikan
kesimpulan dari hasil pembahasan yang berisi jawaban terhadap masalah
mengenai dan interpretasi peneliti terhadap data-data penelitian.

Anda mungkin juga menyukai