Anda di halaman 1dari 213

HALAMAN JUDUL

DETERMINASI PETROLEUM SYSTEM TERHADAP


KARAKTERISTIK BATUAN INDUK DAN REMBESAN
MINYAK BERDASARKAN DATA BIOMARKER DI SUB-
CEKUNGAN BANYUMAS

SKRIPSI

Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana


Program Studi Sarjana Teknik Geologi
Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti

Oleh
Asy’ari Alfin Giovany
072001800054

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
2023
TITTLE PAGE
DETERMINATION THE PETROLEUM SYSTEM TO THE
CHARACTERISTIC OF SOURCE ROCK AND OIL SEEPAGE
BASED ON BIOMARKER DATA IN THE BANYUMAS SUB-
BASIN

FINAL ASSESMENT

Submitted as a requirement to obtain Undergraduate in study program of


Geology, Faculty of Earth Technology and Energy

By
Asy’ari Alfin Giovany
072001800054

GEOLOGY DEPARTMENT
FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY
TRISAKTI UNIVERSITY
2023
LEMBAR PENGESAHAN
DETERMINASI PETROLEUM SYSTEM TERHADAP
KARAKTERISTIK BATUAN INDUK DAN REMBESAN
MINYAK BERDASARKAN DATA BIOMARKER DI SUB-
CEKUNGAN BANYUMAS

SKRIPSI

Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana


Program Studi Sarjana Teknik Geologi
Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti

Oleh
Asy’ari Alfin Giovany
072001800054

Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(Dr. Ir. Dewi Syavitri, M.Sc.) (Dr. Ir. Yarra Sutadiwiria, M.Si.)
NIK: 1977/USAKTI NIK: 3621/USAKTI

Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Teknik Geologi

(Dr. Suherman Dwi Nuryana, S.T., M.T.)


NIK: 2959/USAKTI

i
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Asy’Ari Alfin Giovany


NIM : 072001800054
Program Studi : Teknik Geologi
Fakultas : Teknologi Kebumian dan Energi
Jenis : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Trisakti Hak Bebas Royalti Non ekslusif (Non-exclusive-Royalty-Free-
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Determinasi Petroleum System terhadap Karakteristik Batuan Induk dan Rembesan
Minyak Berdasarkan Data Biomarker di Sub – Cekungan Banyumas beserta
perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini
Universitas Trisakti berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan menyebarkan skripsi saya
sesuai aturan, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan
sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Jakarta, 27 Januari 2023


Yang membuat pernyataan

Asy’Ari Alfin Giovany

ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya Mahasiswa Program Studi Sarjana Teknik Geologi Fakultas Teknologi


Kebumian dan Energi, Usakti yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Asy’ari Alfin Giovany


NIM : 072001800054

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul: “Determinasi


Petroleum System terhadap Karakteristik Batuan Induk dan Rembesan Minyak
Berdasarkan Data Biomarker di Sub – Cekungan Banyumas” Adalah benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya dari orang
lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara
penulisan karya ilmiah yang berlaku.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam skripsi
ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Jakarta, 27 Januari 2023


Yang membuat pernyataan

Asy’Ari Alfin Giovany

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur serta terima kasih dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
dengan baik. Tugas akhir yang berjudul “Determinasi Petroleum System
terhadap Karakteristik Batuan Induk dan Rembesan Minyak Berdasarkan
Data Biomarker di Sub – Cekungan Banyumas” ini dapat selesai dengan baik
dan tepat waktu.
Pada kesempatan ini, penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kelancaran.
2. Kedua orangtua penyusun yang selalu mendukung dan memberikan
semangat kepada penyusun dalam kegiatan penelitian.
3. Ibu Dr. Ir. Dewi Syavitri, M.Sc. dan Dr. Ir. Yarra Sutadiwiria, M.Si.
selaku pembimbing skripsi yang telah mengajarkan, memotivasi,
mendukung dalam kegiatan penelitian ini
4. Bapak Dr. Suherman Dwi Nuryana, S.T., M.T. sebagai dosen wali
akademik dan Ketua Jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti
5. Bapak Andy Livsey yang telah mengajarkan materi dan ilmu baru untuk
berdiskusi mengenai kegiatan penelitian.
6. Bapak Dr. Eko Bayu P. ST., M.Si selaku Dosen Universitas Jendral
Soedirman yang telah memberikan banyak referensi dan membimbing
penyusun dalam kegiatan penelitian.
7. Bapak Dr. Ir. Moeh. Ali Jambak, M.T., Bapak Dr. Ir. Imam Setiaji
Ronoatmojo, Bapak M.T., Rendy S.T., M.Eng dan Ibu Mira Meirawaty,
S.T., M.T. yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan
memperbolehkan penyusun untuk hadir kembali dalam kuliah beliau
untuk menanyakan beberapa materi terkait kegiatan penelitian.
8. Dosen Program Studi Teknik Geologi Universitas Trisakti atas
bimbingan dan ilmu ketika waktu kuliah.
9. Bapak Sani Gunawan selaku perwakilan dari PT. Geoservices yang telah
bersedia untuk berdiskusi dengan penyusun mengenai kegiatan

iv
penelitian.
10. Farhan Ryandi Nugraha, Yudhistira Irvanda Putra, Kenny Megaputra, M.
Nabil Ihsani, Wira Kresna Rinanda, Ramzul, Nibras Khairunnisa selaku
kerabat dekat penyusun untuk mendukung dan memotivasi dalam
kegiatan penelitian.
11. Geraldi Atma Rae Tarigan, Putu Deva Ananta Adistanaya, Herlienda
Elizabeth Gagola, Zefanya Gian Aginta Kembaren, Aditya Henri, Maria
Renata Melania Letto, Zuhadaffa Irvanishera, Fransiskus Deni, Nabil
Suharsana, Nicolas Saputra Samosir, Hapsari Nurhaniya, Deyana
Akmalia Putri, Zarah Rachmayanti, Alya Shafira dan Dylan Mahesa
selaku kerabat dekat penyusun yang telah meluangkan waktu untuk
berdiskusi dan bekerja sama dalam kegiatan penelitian.
12. Antonio Jobeam Gereeth Mangimbulude, Muhammad Yusril Izha
Mahendra, Bagas Saputra, Kevin Gerald Senduk, Rizki Arya Putra,
Mochammad Salsabila, Deni, Sutrisman Simandjuntak, Anil yang telah
memberikan ilmu dan materi ketika waktu diskusi.
13. Keluarga Geologi Universitas Trisakti yang telah membantu penyusun
untuk berdiskusi mengenai kegiatan penelitian.

v
ABSTRAK
DETERMINASI PETROLEUM SYSTEM TERHADAP KARAKTERISTIK
BATUAN INDUK DAN REMBESAN MINYAK BERDASARKAN DATA
BIOMARKER DI SUB-CEKUNGAN BANYUMAS

Asy'ari Alfin Giovany


072001800054

Program Studi Sarjana Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan


Energi, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia

Cekungan Banyumas merupaka cekungen sedimen berumur Tersier terletak


di Jawa Tengah bagian selatan yang berpotensi sebagai cekungan minyak dan gas.
Kehadiran rembesan minyak di Sub - Cekungan Banyumas mengindikasikan
petroleum system bersifat aktif dan terdapatnya batuan induk yang matang sehingga
bermigrasi ke permukaan. Fokus penelitian ditujukan untuk menginterpretasikan
kejadian geologi dan menentukan petroleum system di Sub-Cekungan Banyumas
terhadap karakteristik batuan induk dan rembesan hidrokarbon untuk mengetahui
mekanisme sedimentasi, rekonstruksi burial modelling untuk mengetahui sumber
fasies material, tingkat kematangan dan karakteristik antara batuan induk dan
hidrokarbon. Keterdapatan sembilan elemen berupa source rock, reservoir rock,
seal rock, trap, migration, overburden rock, oil generation, migration, preservation
dan critical moments.Kemudian, terdapat sembilan fase sejarah geologi dimulai
dari Late Early Miocene - Recent yang mempengaruhi potensi hidrokarbon di Sub-
Cekungan Banyumas. Karakteristik batuan induk berupa satuan perselingan
batupasir batulempung dengan nilai TOC 0.64 dan tingkat kematangan immature
to mature dengan material darat sebagai penyusun. Sedangkan, rembesan
hidrokarbon memiliki karakteristik unsaturated hydrocarbon dengan tingkat
kematangan immature dengan material open marine to transition sebagai penyusun.
Korelasi antara batuan induk dan rembesan hidrokarbon bersifat negatif sehingga
diinterpretasikan hidrokarbon sudah mengalami migrasi primer.

Kata Kunci : Sub-Cekungan Banyumas, Petroleum System, Potensi


Hidrokarbon

vi
ABSTRACT
DETERMINATION THE PETROLEUM SYSTEM TO THE
CHARACTERISTIC OF SOURCE ROCK AND OIL SEEPAGE BASED ON
BIOMARKER DATA IN BANYUMAS SUB-BASIN

Asy'ari Alfin Giovany


072001800054

Study Program of Geological Engineering Faculty of Earth Technology and


Energy, Trisakti University, Jakarta, Indonesia

The Banyumas Basin is a Tertiary sedimentary basin located in the southern


part of Central Java which has the potential as an oil and gas basin. The presence
of oil seeps in the Banyumas Sub-Basin indicates that the petroleum system is active
and there is mature source rock that migrates to the surface. The research focus is
aimed at interpreting geological events and determining the petroleum system in
the Banyumas Sub-Basin on the characteristics of source rock and carbon seepage,
knowing the mechanism of sedimentation, reconstruction of burial modeling to
determine the source of material facies, maturity level, and characteristics between
source rock and carbon. There are nine elements in the form of source rock,
reservoir rock, cover rock, trap, migration, cover rock, oil generation, migration,
preservation, and critical moment. Then, there are nine phases of geological history
starting from the Late Early Miocene - Resent which affect the potential
hydrocarbon in the Banyumas Sub-Basin. The characteristic of the source rock is
sandstone interbedded with claystone which a value of TOC around 0.64 and the
maturity is immature to mature and was formed with terrestrial material. According
to oil seeps have the characteristics of unsaturated hydrocarbons with immature
maturity levels with open marine to transition materials as material compounds.
The correlation between source rock and carbon seeps is negative, so it is
interpreted that hydrocarbon has undergone primary migration.

Keywords: Banyumas Sub-Basin, Petroleum System, Hydrocarbon Potential

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. 1


TITTLE PAGE ....................................................................................................... 2
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................... ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR FOTO ................................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
I.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
I.2. Rumusan Masalah....................................................................... 1
I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................. 2
I.4. Batasan Masalah ......................................................................... 2
I.5. Manfaat Penelitian ...................................................................... 3
I.6. Peneliti Terdahulu....................................................................... 5
BAB II TINJAUAN UMUM ................................................................................ 6
II.1. Geologi Regional ......................................................................... 6
II.1.1. Fisiografi Regional ........................................................ 7
II.1.2. Stratigrafi Regional .................................................... 10
II.1.3. Struktur Geologi Regional ......................................... 11
II.1.4. Sejarah Geologi ........................................................... 16
II.1.5. Cekungan Banyumas .................................................. 22
II.2. Teori Dasar ................................................................................ 25
II.2.1. Petroleum System ......................................................... 25

viii
II.2.2. Biostratigrafi ............................................................... 33
II.2.3. Mekanisme Lingkungan Pengendapan Turbidit ..... 39
II.2.4. Pemodelan Penguburan (Burial Modelling) ............. 49
II.2.5. Karakteristik Sampel Rembesan Hidrokarbon ....... 50
II.2.6. Karakteristik Batuan Induk ...................................... 51
II.2.7. Komponen Senyawa Geokimia Biomarker ............... 56
II.2.8. Bagan Sistem Waktu Minyak dan Gas Bumi
(Petroleum System Event Chart) ................................. 64
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 66
III.1. Metodologi Penelitian ............................................................... 66
III.2. Jadwal Penelitian ...................................................................... 69
III.3. Prosedur Kerja .......................................................................... 69
III.4. Analisis Laboratorium .............................................................. 70
III.4.1. Analisis Sayatan Tipis Petrografi .............................. 70
III.4.2. Analisis Mikropaleontologi ........................................ 71
III.4.3. Analisis Struktur Geologi ........................................... 72
III.4.4. Analisis Mekanisme Pengendapan ............................ 73
III.4.5. Analisis Geokimia ....................................................... 74
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 81
IV.1. Pengamatan Data Lapangan Lokasi Penelitian ..................... 81
IV.2. Stratigrafi Lokasi Penelitian .................................................... 84
IV.2.1. Korelasi Satuan Litologi ............................................. 84
IV.2.2. Analisis Stratigrafi Lokasi Penelitian ....................... 87
IV.2.3. Satuan Perselingan Batupasir dan Batulempung .... 89
IV.2.4. Satuan Batupasir......................................................... 99
IV.2.5. Satuan Perselingan Batupasir dan Batulempung
Tufaan ........................................................................ 111
IV.3. Analisis Struktur Geologi Lokasi Penelitian ........................ 124
IV.3.1. Struktur Geologi Lipatan Antiklin Besuki ............. 125
IV.3.2. Struktur Geologi Sesar Geser Mengiri Parungkamal
..................................................................................... 126
IV.4. Analisis Laju Sedimentasi (Sedimentation Rate) Lokasi

ix
Penelitian.................................................................................. 128
IV.5. Analisis Burial Modelling Lokasi Penelitian ......................... 131
IV.6. Analisis Geokimia Hidrokarbon Lokasi Penelitian ............. 136
IV.6.1 Karakteristik Geokimia Batuan Induk................... 136
IV.6.2 Karakteristik Geokimia Rembesan Hidrokarbon . 151
IV.6.3 Korelasi Karakteristik Geokimia Batuan Induk dan
Rembesan Hidrokarbon ........................................... 154
IV.7. Sejarah Geologi Lokasi Penelitian......................................... 159
IV.8. Penentuan Petroleum System Event Chart Sub-Cekungan
Banyumas ................................................................................. 162
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 166
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 168
LAMPIRAN ....................................................................................................... 178

x
DAFTAR TABEL

Tabel I. 1 Peneliti Terdahulu................................................................................... 5


Tabel II. 1 Fungsi, Kelebihan dan Kekurangan Analisis Biostratigrafi Pada Fosil
Foraminifera (Deny, 2021) ................................................................... 34
Tabel II. 2 Biostratigrafi Mikrofosil Kala Neogen di Daerah Tropis (Kennet dan
Srinivasan, 1983) .................................................................................................. 37
Tabel II. 3 Klasifikasi Lingkungan Pengendapan (Selley, 2000) ......................... 39
Tabel II. 4 Klasifikasi Tipe Rembesan Hidrokarbon (Hunt, dkk., 1979).............. 50
Tabel II. 5 Klasifikasi Rembesan Minyak Berdasarkan Kondisi Geologi (Link,
1952) ..................................................................................................................... 51
Tabel II. 6 Tabel Klasifikasi Total Karbon Organik (Peters dan Cassa, 1994) .... 52
Tabel II. 7 Tabel Parameter Tingkat Kematangan Berdasarkan Reflektansi Vitrinit
(VR) dan Suhu Maksmimum (T0Max) ................................................................. 56
Tabel III. 1 Jadwal Kegiatan Penelitian (Giovany, 2022)..................................... 69
Tabel IV. 1 Kolom Korelasi Komposit Log Lokasi Penelitian............................. 86
Tabel IV. 2 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian.................................................. 88
Tabel IV. 3 Komposit Log Satuan Perselingan Batupasir Batulempung .............. 90
Tabel IV. 4 Komposit Log Satuan Batupasir ...................................................... 100
Tabel IV. 5 Komposit Log Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaan 112
Tabel IV. 6 Data Struktur Kekar Rata - Rata Lokasi Penelitian ......................... 127
Tabel IV. 7 Data Laju Sedimentasi Satuan Litologi di Lokasi Penelitian .......... 128
Tabel IV. 8 Data Analisis TOC dan REP Lokasi Penelitian ............................... 132
Tabel IV. 9 Analisis Data Kualitatif Batuan Induk ............................................. 142
Tabel IV. 10 Data Komponen Senyawa Ekstraksi Batuan Induk ....................... 148

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar II. 1 Peta Topografi beserta Data Peta Geologi Regional Daerah Lembar
Lembar Majenang (Kastowo dan N. Suwarna, 1996), Lembar Purwokerto
dan Tegal (Djuri M.H., dkk. 1996), Lembar Banyumas (Asikin S., dkk.
1992) dan Lembar Pangandaran (Simandjuntak T.Q., dkk. 1992). .......... 6
Gambar II. 2 Daerah Lokasi Penelitian berdasarkan Peta Fisiografi Regional Jawa
Tengah (Van Bemmelen, 1949 yang didigitasi oleh Giovany, 2022)....... 8
Gambar II. 3 Stratigrafi Regional Sub-Cekungan Banyumas (Lemigas, 2005) yang
didigitasi oleh Giovany (2022) ............................................................... 11
Gambar II. 4 Pola Tektonik Kawasan Asia Tenggara (Simandjuntak dan Barber,
1996) ....................................................................................................... 13
Gambar II. 5 Kontrol Struktur Geologi pada Pulau Jawa yaitu Sesar Geser Mengiri
Muria - Kebumen dan Sesar Geser Menganan Pamanukan - Cilacap
(Satyana dan Purwaningsih, 2002) ......................................................... 14
Gambar II. 6 Peta Gravitasi Regional Pulau Jawa dengan Kontrol utama Struktur
Geologi dan Menunjukkan Cekungan Banyumas serta Cekungan
Bobotsari (Armandita, dkk., 2009) yang didigitasi oleh Giovany (2022)
................................................................................................................. 15
Gambar II. 7 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Kapur Akhir -
Eosen Tengah (Purwasatriya, dkk., 2019) .............................................. 17
Gambar II. 8 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Eosen Tengah -
Oligosen Akhir (Purwasatriya, dkk., 2019) ............................................. 18
Gambar II. 9 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Oligosen Akhir
- Miosen Awal (Atas) dan Ilustrasi Jenis Cekungan Banyumas yang
merupakan Flexure Basin (Bawah) (Purwasatriya, dkk., 2019) ............. 19
Gambar II. 10 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Miosen Awal -
Miosen Tengah (Purwasatriya, dkk., 2019) ............................................ 20
Gambar II. 11 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Miosen Tengah
- Pliosen (Purwasatriya, dkk., 2019)....................................................... 21
Gambar II. 12 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Pliosen -
Plistosen (Purwasatriya, dkk., 2019) ...................................................... 22

xii
Gambar II. 13 Peta Dasar Geologi Banyumas dan Sekitarnya (Purwasatriya, 2019)
yang didigitasi oleh Giovany (2022)....................................................... 24
Gambar II. 14 Peta Anomali Gravitasi Regional Cekungan Banyumas yang
membagi Dua Sub-Cekungan: Sub-Cekungan Banyumas dan Sub-
Cekungan Purbalingga (Purwasatriya, dkk., 2019) yang didigitasi oleh
Giovany (2022) ....................................................................................... 25
Gambar II. 15 Klasifikasi Material Organik (Organic Materials) (Peters dan Cassa,
1994) ....................................................................................................... 27
Gambar II. 16 Klasifikasi Porositas (Koesoemadinata, 1980) .............................. 29
Gambar II. 17 Progadari Sesar Anjak (Thrust Fault) di Jawa Barat yang
Berkembang di Cekungan Banyumas (Armandita, dkk., 2009) ............. 31
Gambar II. 18 Data Penampang Seismik (Seismic Line) yang Menunjukkan Jebakan
Struktur Drag Fold (Noeradi, dkk., 2006)............................................... 32
Gambar II. 19 Penampang Seismik (Seismic Line) 91-BMS-05 Terdapatnya
Patahan sebagai Jalur Migrasi Hidrokarbon Menuju Sayap Antiklin (Lunt,
dkk., 2008) .............................................................................................. 33
Gambar II. 20 Indikator Paleoenvironment Berdasarkan Mikrofosil Foraminifera
Bentik (Kadar Adi, P., 1996) .................................................................. 38
Gambar II. 21 Rumus Kecepatan Laju Sedimentasi (Sedimentation Rate) .......... 38
Gambar II. 22 Model Fasies Batupasir Formasi Halang di Cekungan Banyumas
(Hayes, 2005) .......................................................................................... 41
Gambar II. 23 Model Fasies Sekuan Kipas Bawah Laut (Sub-Marine Fan) (Walker,
1976) ....................................................................................................... 44
Gambar II. 24 Model Kipas Bawah Laut (Walker dan Mutti, 1973) .................... 46
Gambar II. 25 Pola Struktur Sedimen Pada Endapan Turbidit (Boggs, 2006) ..... 47
Gambar II. 26 Model Fasies Endapan Turbidit (Bouma, A. H., 1962)................. 48
Gambar II. 27 Ilustrasi Pemodelan Sejarah Pembebanan (Burial History Modelling)
suatu Cekungan Sedimen (Pertamina, 2013) .......................................... 50
Gambar II. 28 Jenis Kerogen Berdasarkan Material Organik (NExT, 2008) ....... 54
Gambar II. 29 Struktur Senyawa Monoterpena .................................................... 57
Gambar II. 30 Struktur Senyawa Terpana Trisiklik ............................................. 57
Gambar II. 31 Struktur Senyawa Hopana ............................................................. 58

xiii
Gambar II. 32 Struktur Senyawa Lupana ............................................................. 59
Gambar II. 33 Struktur Senyawa Hopana ............................................................. 60
Gambar II. 34 Struktur Senyawa Oleanana .......................................................... 61
Gambar II. 35 Struktur Ikatan Komponen Sterol Reguler C27-C29 ....................... 62
Gambar II. 36 Struktur Ikatan Komponen Sterol Reguler C30 .............................. 63
Gambar II. 37 Struktur Komponen Senyawa Diasterana ..................................... 64
Gambar II. 38 Bagan Sistem Waktu Minyak dan Gas Bumi (Petroleum System
Event Chart) yang digunakan untuk mempresentasikan Play Fairway dan
Proses pada Cekungan Hidrokarbon (Evenick, Jonathan C. 2022) ........ 65
Gambar III. 1 Diagram Alir Metode Penelitian (Giovany, Yarra Sutadiwiria dan
Dewi Syavitri., 2023) .............................................................................. 68
Gambar III. 2 Tahapan Analisis Mikropaleontologi ............................................. 72
Gambar III. 3 Tahapan Analisis Struktur Geologi ................................................ 73
Gambar III. 4 Tahapan Analisis TOC (Total Organic Carbon) ........................... 75
Gambar IV. 1 Kondisi Lokasi Penelitian Berdasarkan Titik Pada Peta…… ……82
Gambar IV. 2 Jenis Sampel Rembesan Hidrokarbon Daerah Penelitian Berdasarkan
Klasifikasi Peneliti .................................................................................. 84
Gambar IV. 3 Persebaran Litologi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung .. 91
Gambar IV. 4 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung ........................................................................................... 93
Gambar IV. 5 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung ........................................................................................... 94
Gambar IV. 6 Ilustrasi Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Batulempung .... 95
Gambar IV. 7 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung ........................................................................................... 98
Gambar IV. 8 Persebaran Litologi Satuan Batupasir .......................................... 101
Gambar IV. 9 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Batupasir ........... 103
Gambar IV. 10 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Batupasir ......................... 104
Gambar IV. 11 Ilustrasi Batimetri Satuan Batupasir .......................................... 105
Gambar IV. 12 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Batupasir............. 110
Gambar IV. 13 Persebaran Litologi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
Tufaan ................................................................................................... 113

xiv
Gambar IV. 14 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Perselingan
Batupasir Batulempung Tufaan ............................................................ 115
Gambar IV. 15 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Tufaa ............................................................................... 117
Gambar IV. 16 Ilustrasi Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Tufaan .......... 118
Gambar IV. 17 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Tufaan ............................................................................. 123
Gambar IV. 18 Orientasi Tegasan Utama yang Bekerja di Lokasi Penelitian .... 124
Gambar IV. 19 Analisis Struktur Geologi Lipatan Lokasi Penelitian ................ 126
Gambar IV. 20 Pengamatan Data Struktur Geologi Kekar di Lokasi Penelitian 128
Gambar IV. 21 Grafik Kecepatan Laju Sedimentasi Litologi di Lokasi Penelitian
............................................................................................................... 131
Gambar IV. 22 Titik Lokasi Pengambilan di Lokasi Penelitian ......................... 133
Gambar IV. 23 Burial Modelling Sedimentasi di Lokasi Penelitian .................. 136
Gambar IV. 24 Titik Lokasi Pengamatan Sampel .............................................. 138
Gambar IV. 25 Crossplotting Data Analisis Kuantitas Hidrokarbon ................. 141
Gambar IV. 26 Identifikasi Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen ..... 144
Gambar IV. 27 Diaram Maturitas Batuan Induk Berdasarkan Suhu Maksimum
(T0Max) ................................................................................................. 145
Gambar IV. 28 Crossploting Data Analisis Bulk Batuan Induk ......................... 146
Gambar IV. 29 Crossplotting Data Analisis Senyawa Fraksinasi Batuan Induk 150
Gambar IV. 30 Data Analisis Biomarker Batuan Induk ..................................... 151
Gambar IV. 31 Crossplotting Data Analisis Bulk Rembesan Hidrokarbon ....... 152
Gambar IV. 32 Data Analisis Biomarker Rembesan Hidrokarbon ..................... 154
Gambar IV. 33 Korelasi Data Biomarker Batuan Induk (LP 11) terhadap Rembesan
Hidrokarbon (LP 1) ............................................................................... 156
Gambar IV. 34 3D Modelling Korelasi Data Pada Lokasi Penelitian ................ 158
Gambar IV. 35 Ilustrasi Block Modelling Sejarah Geologi Lokasi Penelitian ... 162
Gambar IV. 36 Petroleum System Chart Analysis Sub-Cekungan Banyumas ... 165

xv
DAFTAR FOTO

Foto III. 1 Alat Untuk Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen ............... 78
Foto III. 2 Alat Untuk Analisis REP (Rock - Eval Pyrolysis) (Gheamarsa, 2015) 79
Foto III. 3 Alat Untuk Analisis Fraksi Hidrokarbon (GC dan GC-MS) ............... 80
Foto IV. 1 Kondisi Sampel Rembesan Hidrokarbon di Lokasi Pengamatan LP1
83

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Rencana Lintasan Lokasi Penelitian ....................................... 179


Lampiran 2. Peta Geologi Lokasi Penelitian....................................................... 180
Lampiran 3. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Bagian Top ................................................................................... 181
Lampiran 4. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Bagian Bot .................................................................................... 182
Lampiran 5. Data Tabulasi Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung .. 183
Lampiran 6. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Batupasir Bagian Top .......... 184
Lampiran 7. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Batupasir Bagian Bot ........... 185
Lampiran 8. Data Tabulasi Fosil Satuan Batupasir............................................. 186
Lampiran 9. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Bagian Top ................................................................................... 187
Lampiran 10. . Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Bagian Bot .................................................................................... 188
Lampiran 11. Data Tabulasi Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
Tufaan ................................................................................................................. 189
Lampiran 12. Peta Orientasi Kelurusan Struktur Geologi .................................. 190
Lampiran 13. Data Pengukuran Struktur Geologi Kekar Lokasi Penelitian ....... 191
Lampiran 14. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 26 dan LP 30 ............. 192
Lampiran 15. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 34 dan LP 38 ............. 193
Lampiran 16. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 8 dan LP 63 ............... 194

xvii
BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Cekungan Banyumas merupakan suatu cekungan sedimen berumur


Tersier yang terletak di daerah selatan, Jawa Tengah, Indonesia. Cekungan
Banyumas diketahui menghasilkan suatu rembesan minyak dan telah
dilakukan kegiatan eksplorasi pengeboran yaitu: sumur Cipari-1, sumur
Gunung Wetan-1, sumur Karang Gedang-1, sumur Karang Nangka-1 dan
sumur Jati-1. Kelima sumur tersebut dikategorikan belum terbilang
ekonomis tetapi berpotensi memiliki cadangan hidrokarbon dengan
kenampakkan terdapatnya rembesan hidrokarbon sebagai sebagai minyak
dangkal. Kehadiran rembesan hidrokarbon merupakan kenampakkan
indikasi minyak dan gas yang keluar dari jebakan reservoir dalam jumlah
sedikit di permukaan. Kehadiran rembesan hidrokarbon mengindikasikan
kematangan batuan induk pada petroleum system cekungan yang aktif dan
berada pada kedalaman yang dangkal di bawah permukaan dan
kehadirannya terjadi karena beberapa faktor yaitu kontrol struktur geologi
dan faktor proses erosi yang menggerus lapisan jebakan hidrokarbon.
Indikasi rembesan hidrokarbon memicu peneliti merekonstruksi geologi dan
menetapkan sistematika peristiwa petroleum system yang terdapat di Sub –
Cekungan Banyumas. Kemudian, penentuan karakteristik untuk
menentukan kualitas hidrokarbon dan tingkat kematangan hidrokarbon.
Konsep penentuan petroleum system chart bertujuan untuk
menginterpretasikan keberadaan hidrokarbon dengan menganalisis aspek –
aspek geologi dan geokimia untuk untuk mengevaluasi komponen –
komponen dalam kegiatan eksplorasi.

I.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diambil dan akan dibahas melalui paparan


latar belakang penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana karakteristik litologi pembentuk petroleum system

1
di Sub - Cekungan Banyumas?

2. Bagaimana mekanisme sedimentasi yang terjadi dan rentang


waktu yang dibutuhkan sehingga terdapat rembesan
hidrokarbon di Sub - Cekungan Banyumas?

3. Bagaimana karakteristik, tingkat kematangan dan sumber fasies


material pada batuan induk dan rembesan hidrokarbon?

4. Bagaimana rekontruksi peristiwa geolologi dan analisis


petroleum system chart pada petroleum system aktif di Sub -
Cekungan Banyumas?

I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini digunakan untuk mengetahui konsep


geologi yang terjadi sehingga menimbulkan potensi rembesan hidrokarbon
pada daerah penelitian menggunakan beberapa analisis yaitu: pemetaan
geologi, analisis stratigrafi, analisis mekanisme pengendapan, analisis fosil
foraminifera planktonik dan bentonik, analisis laju sedimentasi dan burial
modelling, analisis sejarah geologi untuk merekonstruksi peristiwa geologi.
Tujuan dari penelitian untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
keterdapatan rembesan hirdokarbon, karakteristik dan kualitas hidrokarbon,
tingkat kematangan hidrokarbon dan menentukan elemen – elemen
petroleum system chart untuk menilai evaluasi potensi Sub – Cekungan
Banyumas dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas.

I.4. Batasan Masalah

Ruang lingkup atau batasan masalah yang akan dibahas dari penelitian
ini akan dibatasi dengan batasan masalah:

1. Analisis pemerian litologi dilakukan berdasarkan pengamatan di


lapangan dan data petrografi untuk menjelaskan karakteristik
litologi.

2
2. Analisis fosil foraminifera digunakan untuk menentukan variasi
umur dan zona batimetri selama proses pengendapan litologi.

3. Korelasi satuan batuan ini dilakukan berdasarkan beberapa


lintasan yang telah dibuat dan digabungkan untuk mengetahui
hubungan kontak antara satuan litologi.

4. Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan berdasarkan


analisis korelasi litostratigrafi dan pembuatan komposit log dari
setiap satuan geologi untuk mengetahui variasi lateral secara
vertikal persebaran batuan untuk mengetahui mekanisme fasies
sedimentasi.

5. Analisis laju sedimentasi dan burial modelling menejelaskan


proses kecepatan sedimentasi selama skala waktu geologi untuk
mempegaruhi tingkat kematangan hidrokarbon.

6. Analisis geokimia hidrokarbon biomarker digunakan untuk


mengetahui karakteristik, tingkat kematangan dan sumber fasies
material pada batuan induk dan rembesan hidrokarbon.

7. Korelasi antara batuan induk terhadap rembesan hidrokarbon


untuk mengetahui keterkaitan sumber asal material organik dan
kondisi lingkungan pembentukan

8. Rekonstruksi geologi dan determinasi petroleum system


bertujuan untuk menginterpretasikan keterkaitan antara peristiwa
geologi pembentuk hidrokarbon dan potensi rembesan
hidrokarbon terhadap petroleum system yang aktif di Sub –
Cekungan Banyumas

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian diharapkan dapat menjelaskan dan


menggambarkan beberapa aspek – aspek keadaan geologi berdasarkan data
yang ada di lapangan secara detil. Kemudian, dapat memaparkan
karakteristik batuan induk dan rembesan hidrokarbon menggunakan

3
beberapa parameter analisis geokimia secara valid. Sehingga, hasil
penelitian ini dapat dipergunakan oleh praktisi sebagai bahan acuan untuk
pengembangan lapangan eksplorasi hidrokarbon dalam industri minyak dan
gas dan akademisi sebagai bahan acuan data pustaka untuk penelitian lebih
lanjut pada Sub – Cekungan Banyumas.

4
I.6. Peneliti Terdahulu
Tabel I. 1 Peneliti Terdahulu
Peneliti dan Tahun
No Judul dan Lokasi Penelitian Metodologi Hasil
Penelitian
Studi literatur,
Pembuatan Model Geologi Bawah Interpretasi Pemodelan
Pengambilan data
Purwasatriya dan Permukaan dengan Metode Geolistrik Dan Geologi Bawah
1 Lapangan, Analisis
Gentur Waluyo, 2011 Studi Stratigrafi pada Rembesan Gas Di Permukaan Cekungan
Geolistrik, Interpretasi
Jatilawang, Banyumas Banyumas
Stratigrafi

Studi Potensi Minyak Dangkal dengan


Purwasatriya dan Studi Literatur dan Potensi Minyak Dangkal
2 Pendekatan Metode Statistik Berdasar Data
Gentur Waluyo, 2012 Pemetaan Geologi dengan Data Statistik
Geologi Permukaan Di Cekungan Banyumas

Tinjauan Kembali Potensi Hidrokarbon Peninjauan Potensi


3 Purwasatriya, 2014 Cekungan Banyumas Berdasarkan Data Studi Literatur Hidrokarbon Cekungan
Geologi dan Data Geofisika Banyumas

Oligocene-Pleistocene Paleogeography Studi Literatur dan Implikasi Potensi


Purwasatriya, dkk.,
4 within Banyumas Basin and implication to Pemetaan Geologi Petroleum System
2017
petroleum potential Permukaan Cekungan Banyumas

Observasi Lapangan, Data Tektonostratigrafi


Tectonostratigraphy of Banyumas Basin
5 Purwasatriya, 2018 Pengukuran Data dan Korelasi Potensi
and Its Correlation to Petroleum Potential
struktur, Petroleum

Analisis Peta Geologi


Permukaan, Peta Geologi
Sejarah Geologi Pembentukan Cekungan
Purwasatriya, dkk., Bawah Permukaan
6 Banyumas Serta Implikasinya Terhadap Pemetaan Geologi
2019 menggunakan Data
Sistem Minyak dan Gas Bumi
Sekunder dan Interpretasi
Cekungan Banyumas

Proses Mekanisme
Analisis Fasies Turbidit dan Potensi
Endapan Fasies Turbidit
Grace Khatrine Reservoir Sedimen Laut dalam Formasi
7 Pemetaan Geologi dan Stratigrafi
Mewengkang, 2020 Halang Cekungan Banyumas, Kabupten
menggunakan Metode
Banyumas, Provinsi Jawa Tengah
Stratigrafi Terukur

Sedimentologi dan Tektonostratigrafi Stratigrafi dan Facies


Purwasatriya, dkk., Formasi Halang di Cekungan Banyumas Lingkungan Pengendapan
8 Pemetaan Geologi
2021 serta Potensinya untuk Reservoir Formasi Halang di
Hidrokarbon Cekungan Banyumas

Interpretasi Struktur Geologi Bawah


Permukaan Berdasarkan Updating Data Analisis data Gaya Analisis Struktur Bawah
9 Hidayat, dkk., 2020
Gaya Berat Cekungan Banyumas, Jawa Berat Permukaan
Tengah

Hubungan Antara Sampel


Analisis Biomarker dari Sampel Rembesan
Minyak dan Sampel
10 Anil, 2021 Minyak dan Sampel Batuan pada Sub- Pemetaan Geologi
Batuan dari Rembesan
Cekungan Banyumas
Minyak Daerah Cipari

Studi Literatur dan


Karakteristik Rembesan
Hadimuljono dan Desi Heavy Oil Seepage Characteristic in Pengambilan Sampel
11 Minyak dan Gas Cipari,
Yensusnimar, 2022 Cipari Area, Banyumas Central Java Rembesan Minyak
Cekungan Banyumas
dan Gas

5
BAB II TINJAUAN UMUM

Bab ini mencakup beberapa studi literatur dari peneliti terdahulu yang
membahas mengenai fisiografi, stratigrafi regional, tektonik regional, struktur
daerah, sejarah geologi dan sistem minyak dan gas bumi pada sub-Cekungan
Banyumas, Jawa Tengah dan teori dasar yang digunakan dalam penelitian tugas
akhir ini.
II.1. Geologi Regional

Geologi regional daerah penelitian mengacu kepada Peta Geologi


Regional Lembar Majenang (Kastowo dan N. Suwarna, 1996), Peta Geologi
Regional Lembar Purwokerto dan Tegal (Djuri M.H., dkk. 1996), Peta
Geologi Regional Lembar Banyumas (Asikin S., dkk. 1992) dan Peta
Geologi Regional Lembar Pangandaran (Simandjuntak T.Q., dkk. 1992)
(Gambar II.1). Lokasi penelitian berada di empat formasi batuan yaitu:
Formasi Pemali (Tmp), Formasi Rambatan (Tmr), Anggota Batupasir
Formasi Halang (Tmhs) dan Formasi Halang (Tmph).

Gambar II. 1 Peta Topografi beserta Data Peta Geologi Regional Daerah Lembar Lembar

6
Majenang (Kastowo dan N. Suwarna, 1996), Lembar Purwokerto dan Tegal (Djuri M.H.,
dkk. 1996), Lembar Banyumas (Asikin S., dkk. 1992) dan Lembar Pangandaran
(Simandjuntak T.Q., dkk. 1992).

II.1.1. Fisiografi Regional

Secara umum letak fisiografi daerah penelitian memiliki suatu


morfologi perbukitan dan lembah dengan orientasi baratlaut - tenggara
yang tersusun atas litologi batupasir, batulempung dan breksi.
Berdasarkan bentuk fisiografi regional Pulau Jawa (Bemmelen, 1949)
Provinsi Jawa bagian Tengah terbagi atas enam zona fisiografi, yaitu:

1. Zona Gunung Api Kuarter

2. Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa

3. Zona Pegunungan Serayu Selatan

4. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara Kendeng

5. Zona Pegunungan Selatan Jawa

6. Zona Depresi Jawa Tengah

Berdasarkan zona fisiografi Jawa Tengah dengan bentuk morfologi


bentang alam maka daerah lokasi penelitian berada pada Zona Pengunungan
Serayu Selatan dan Zona Depresi Jawa Tengah (Gambar II.2). Secara
umum bentuk morfologi daerah penelitian menunjukkan bentuk
pegunungan dan lembah dengan orientasi tenggara – baratlaut.

7
Gambar II. 2 Daerah Lokasi Penelitian berdasarkan Peta Fisiografi Regional Jawa Tengah
(Van Bemmelen, 1949 yang didigitasi oleh Giovany, 2022)

Pembagian zona fisiografi (Bemmelen, 1949) dapat dijelaskan secara


singkat sebagai berikut:
II.1.1.1. Zona Gunung Api Kuarter

Zona Gunung Api Kuarter di Jawa tengah terdiri atas


Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung
Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Slamet, Gunung Dieng, dan
Gunung Muria. Produk dari letusan gunung api ini memiliki
komposisi andesit basaltik (Nichols, 1980). Teori mengenai proses
subduksi dan gunung api antara Lempeng Samudera Hindia
terhadap Pulau Jawa yang menyatakan bahwa ini menghasilkan
sumber magma untuk aktivitas vulkanisme di daerah ini. Gunung
api ini diperkirakan berumur Kuarter sekitar 2.6 juta tahun lalu
dengan aktivitas vulkanisme terjadi pada kala Miosen Akhir
(Soeria, 1994). Persebaran orientasi gunung api berarah barat ke

8
timur dan dinyatakan Pulau Jawa telah terdapat aktivitas
vulkanisme pada 10 juta tahun lalu.
II.1.1.1. Zona Dataran Aluvial Pantai Jawa Bagian Utara

Zona dataran aluvial Pantai Jawa bagian utara terdiri atas


endapan aluvial dengan orientasi persebaran utara ke selatan
dengan perkiraan lebar maksimum 40 km dan persebaran
menyempit ke arah timur sekitar 20 km.
II.1.1.2. Zona Pegunungan Serayu Selatan

Zona Pegunungan Serayu Selatan memiliki morfologi kubah


dengan letak pegunungan beradara di antara Zona Depresi Jawa
Tengah. Terdapa antiklinorium di bagian barat Pegunungan Serayu
Selatan dengan orientasi timur ke barat. Pegunungan ini terletak di
daerah Kabupaten Cilacap Utara, Kabupaten Banjarnegara Selatan,
Kabupaten Banyumas Selatan, Kabupaten Wonosobo Selatan,
Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Purworejo.
II.1.1.3. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng

Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial


Jakarta yang berasal dari lapisan Neogen yang terlipat akibat
adanya pengaruh struktur geologi yang kuat dan pengaruh dari
zona intrusi. Kemudian, Zona Kendeng memiliki singkapan batuan
tertua yang berumur Oligosen hingga Miosen Awal yang
terwakilkan oleh Formasi Pelang dengan lokasi persebaran di
daerah perbatasan antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar
Purwodadi. Pada bagian selatan Tegal, Zona Kendeng ditutupi oleh
produk gunung api berumur Kuarter yang diperkirakan berasal dari
sumber Gunung Slamet. Pada bagian tengah zona ini ditutupi oleh
produk vulkanik gunung api kuarter yang diperkirakan berasal dari
Gunung Rogojembangan, Gunung Ungaran, dan Gunung Dieng.
Persebaran zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor
dengan perbatasan terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga
Ajibarang dengan lebar sekitar 30 - 50 km.

9
II.1.1.4. Zona Pegunungan Jawa Bagian Selatan

Zona Pegunungan Jawa bagian selatan memilik morfologi


pantai terjal dengan orientasi di sepanjang pantai di bagian selatan
Jawa. Zona ini terputus di Provinsi Jawa bagian tengah oleh
Depresi Jawa Tengah sehingga tidak menampakkan bentuk
morfologi tersebut.
II.1.1.5. Zona Depresi Jawa Tengah

Zona Depresi Jawa Tengah memiliki orientasi persebaran di


bagian selatan hingga tengah dengan lebar 10 - 25 km yang
memutus morfologi pantai terjal di daerah Jawa bagian selatan.

II.1.2. Stratigrafi Regional

Secara stratigrafi regional sub-Cekungan Banyumas memiliki


urutan stratigrafi dari umur tertua ke muda menurut Lemigas (2005) yang
dimodifikasi oleh Giovany (2022) (Gambar II.3) sebagai berikut:
II.1.2.1. Formasi Pemali

Formasi Pemali memiliki umur Miosen Tengah dengan


litologi napal globigerina yang memiliki warna kelabu kehijauan dan
kelabu muda dengan sisipan batugamping pasiran, batupasir kasar,
dan batupasir tufaan. Keterdapatan struktur sedimen perlapisan
sejajar, silang - siur dan gelembur gelombang.
II.1.2.2. Formasi Rambatan

Formasi Rambatan memiliki umur Miosen Tengah dengan


litologi batupasir gampingan sisipan napal, serpih, breksi,
batulempung dengan struktur sedimen turbidit.
II.1.2.3. Formasi Halang

Formasi Halang memiliki umur Miosen Akhir - Pliosen Awal


dengan litologi endapan turbidit yang terdiri dari perselingan
batupasir, batu lempung, dan napal. Keterdapatan struktur sedimen
perlapisan sejajar, laminasi silang siur, perlapisan bergelombang.

10
Gambar II. 3 Stratigrafi Regional Sub-Cekungan Banyumas (Lemigas, 2005)
yang didigitasi oleh Giovany (2022)

II.1.3. Struktur Geologi Regional

Secara tektonik Pulau Jawa merupakan suatu Busur Sunda yang


merupakan bagian dari busur gunung api berumur Tersier - Kuarter.
Pembentukan busur gunung api merupakan hasil penunjaman di Pulau
Jawa bagian selatan yaitu penunjamana antara Lempeng Samudera
Hindia terhadap Lempeng Benua Eurasia. Penunjaman ini mengalami

11
perkembangan mendekat dan menjauh dari daratan tetapi posisi dari
busur relatif tetap dan menghasilkan suatu aktivitas vulkanisme dengan
posisi tumpang - tindih (superimposed volcanism). Menurut Minster dan
Jordan (1978) fisiografi dan konfigurasi tektonik Indonesia terbentuk
akibat interaksi dari tiga lempeng utama, yaitu Lempeng Indo-Australia
yang bergerak ke arah utara - timurlaut, Lempeng Laut Filipina yang
bergerak ke arah utara - baratlaut dan Lempeng Eurasia yang bergerak
relatif lambat ke arah tenggara.

Sistem tektonik Pulau Jawa terjadi akibat suatu tumbukan


Lempeng India - Australia dengan Lempeng Eurasia yang menghasilkan
tatanan geologi yang kompleks dengan rangkaian aktivitas geologi
berupa pemecahan kontinen, penunjaman, penumbukkan, dan pergeseran
antar lempeng yang menyebabkan Lempeng Mikro Sunda membentuk
suatu zona subduksi pada Kapur Akhir (Asikin, 1974). Kemudian,
aktivitas ini menghasilkan tatanan tektonik berupa busur depan, busur
luar non-vulkanik, busur gunung api, cekungan belakang busur dan
palung. Menurut Hamilton (1979) jalur subduksi terbentuk pada Eosen
dengan ditemukan suatu jalur magmatik pada umur Eosen Akhir - Miosen
Awal (Soeria atmadja, dkk., 1979). Jalur subduksi mempengaruhi suatu
pola struktur geologi dan pola sedimentasi pada Pulau Jawa. Menurut
Simandjuntak dan Barber (1996) susunan kerak bumi di wilayah
Indonesia berdasarkan karakteristik geologi dan geofisika memiliki asal
usul berbeda yang terbagi menjadi lima daerah yaitu (Gambar II.4):

1. Lempeng Samudera Filipina di bagian timurlaut

2. Lempeng Eurasia atau Kraton Sunda di bagian tenggara

3. Lempeng Samudera Hindia di bagian baratdaya

4. Kerak Benua Australia yang tersebar sampai bagian Papua

5. Wilayah transisi atau wilayah interkasi antar Lempeng di


Sumatera bagian Barat, Bali, Jawa bagian Selatan, Lombok,

12
Sulawesi, Busur Banda hingga Papua bagian utara, dan
Maluku hingga Filipina bagian Mindano.

Gambar II. 4 Pola Tektonik Kawasan Asia Tenggara (Simandjuntak dan


Barber, 1996)

Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994) perkembangan pola


struktur geologi di Pulau Jawa menghasilkan tiga jenis pola antara lain
Pola Meratus, Pola Sunda dan Pola Jawa. Perkembangan pola struktur di
Jawa Barat adalah Pola Meratus yang dicirikan oleh Sesar Cimandiri
dengan orientasi bearah timur laut. Lalu, perkembangan pola struktur di
Sunda umumnya berkembang di Jawa Barat bagian barat. Kemudian,
perkembangan pola struktur di Jawa dicirikan oleh pola sesar - sesar naik.
Pola kelurusan ini dengan orientasi timur - barat pada pola jawa berupa
sesar naik ke arah utara yang merupakan suatu hasil dari interaksi zona
konvergen pada umur Tersier Awal selama waktu Tersier Akhir yang
terdapat di sepanjang Pulau Jawa dengan keterlibatan batuan sedimen
yang berumur Tersier.

Lokasi Pulau Jawa berada di bagian margin aktif (active margin)


yang merupakan hasil interaksi antara Lempeng Samudera Hindia yang
menabrak Lempeng Benua Eurasia pada Kapur Akhir. Terdapat dua
struktur geologi utama berupa sesar mendatar di beberapa bagian jalur

13
utama yang mengapit lekukan Jawa Tengah bagian utara. Kedua struktur
geologi ini diinterpretasikan sebagai sesar geser menganan Pamanukan -
Cilacap dengan orientasi baratlaut - tenggara dan sesar geser mengiri
Muria – Kebumen dengan orientasi timurlaut – baratdaya (Gambar II.5).
Hal ini disebabkan oleh pengangkatan Geantiklin di Pulau Jawa bagian
selatan yang menghasilkan sumber material sedimen dan berasosiasi
dengan batuan karbonat (Satyana dan Armandita, 2004).

Gambar II. 5 Kontrol Struktur Geologi pada Pulau Jawa yaitu Sesar Geser
Mengiri Muria - Kebumen dan Sesar Geser Menganan Pamanukan - Cilacap
(Satyana dan Purwaningsih, 2002)

Kontrol struktur geologi ini menyebabkan pembentukan


morfologi Tinggian Majalengka - Banyumas dengan orientasi baratlaut -
tenggara dan memisahkan Cekungan Banyumas di bagian baratdaya
tinggian dan Cekungan Bobotsari di bagian timurlaut tinggian
(Purwasatriya, dkk., 2012) (Gambar II.6). Menurut Katili (1989) terjadi
evolusi tektonik penunjaman di wilayah Indonesia bagian Barat pada
umur Kapur - Resen. Evolusi ini berhubungan dengan perkembangan
tektonik, struktur geologi dan aktivitas vulkanik di Indonesia bagian
barat. Pada Pulau Jawa dan Jawa bagian selatan telah terjadi tiga periode
penunjama, yaitu: Kapur, Tersier dan Resen. Persebaran batuan yang
berumur Kapur di Pulau Jawa sangat terbatas sehingga diinterpretasikan
periode dan pola tektonik terjadi tidak signifikan. Tetapi, Persebaran

14
batuan yang berumur Tersier - Kuarter di Pulau Jawa sangat luas dan
diinterpretasikan periode dan pola tektonik terjadi signifikan.

Gambar II. 6 Peta Gravitasi Regional Pulau Jawa dengan Kontrol utama Struktur
Geologi dan Menunjukkan Cekungan Banyumas serta Cekungan Bobotsari
(Armandita, dkk., 2009) yang didigitasi oleh Giovany (2022)

II.1.3.1. Fase Tektonik pra-Neogen Pulau Jawa

Evolusi tektonik penunjaman modern di Pulau Jawa terjadi


tidak lebih muda dari Oligosen Akhir. Kenampakkan singkapan
litologi pra-Neogen di daerah Pulau Jawa bagian tengah dan baratdaya
sangat terbatas sebagai zona bancuh (zona campur aduk) yang
berumur Kapur Akhir - Paleogen Awal. Kemudian, di bagian atas
terendapkan batuan sedimen yang berumur Eosen Akhir - Oligosen.
Batuan sedimen terdiri atas batuan klastik kuarsaan dan batuan
karbonat air dangkal pada Paleogen Akhir.
II.1.3.2. Fase Tektonik Neogen Pulau Jawa

Menurut Djuri (1975) evolusi tektonik mempengaruhi suatu


litologi Tersier Tengah mengalami suatu perlipatan terbuka di Pulau
Jawa dengan pengaruh deformasi yang melemah dan berorientasi ke
arah menjauh dari aktivitas magmatisme dan membentuk struktur
geologi yang berpola konsentris. Menurut Hamilton (1989) kontrol

15
dari deformasi ini disebabkan oleh pemekaran gravitasional dapur
magma pada Eosen Awal - Miosen Awal. Pemekaran ini terjadi pada
Selat Makassar yang dipengaruhi akibat pergerakan kerak Benua
Australia yang mendekat. Kemudian, hal ini menyebabkan terjadinya
pengurangan laju Lempeng Indo-Australia dan merubah orientasi pola
tektonik atau struktur geologi dari baratdaya - timurlaut menjadi barat
- timur pada Paleogen (Sudrajat, 2007).

II.1.4. Sejarah Geologi

Cekungan Banyumas merupakan suatu cekungan sedimen yang


terletak di Pulau Jawa Tengah bagian selatan, Indonesia. Peristiwa
sejarah geologi dalam pembentukan Cekungan Banyumas dikaitkan
terhadap evolusi tektonik dari Pulau Jawa yang merupakan hasil dari
penunjaman Lempeng Samudera Hindia terhada Lempeng Benua
Eurasia. Lokasi Pulau Jawa sebagai bagian dari margin aktif (active
margin) terdapat kontrol struktur geologi utama berupa sesar mendatar
yang diinterpretasikan sebagai sesar geser menganan Pamanukan -
Cilacap dengan orientasi baratlaut - tenggara dan sesar geser mengiri
Muria – Kebumen dengan orientasi timurlaut – baratdaya (Gambar II.5).
Kemudian, terjadinya suatu pemisahan Cekungan Banyumas di bagian
baratdaya tinggian dan Cekungan Bobotsari di bagian timurlaut tinggian
(Purwasatriya, dkk., 2012.) (Gambar II.6). Proses pembentukan
Cekungan Banyumas ini berkaitan terhadap pembentukan suatu batuan
sedimen dan mekanisme pengendapan serta lingkungan pengendapan
tersebut. Menurut Purwasatriya, dkk (2019) Pembentukan Cekungan
Banyumas mengalami enam tahap berdasarkan kala umur geologi:
II.1.4.1. Kapur Akhir - Eosen Tengah

Cekungan Banyumas terbentuk akibat penunjaman pada


zona subduksi antara Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng
Benua Eurasia. Pada kala waktu geologi ini diinterpretasikan
bahwasannya lingkungan pengendapannya adalah laut dalam dengan

16
jenis endapannya berupa kompleks melange yang terbentuk akibat
adanya suatu aktivitas tektonik yang sangat aktif. Cekungan
Banyumas diinterpretasikan sebagai ruang akomodasi
(accommodation space) suplai sedimen karena berada di lingkungan
laut dalam tetapi belum terlihat secara jelas batas cekungannya.

Terjadinya suatu proses penumbukkan mikro-kontinen Jawa


Timur pada kala Paleosen yang menghasilkan jalur subduksi Meratus
dengan orientasi baratdaya - timur laut menjadi tidak aktif. Kemudian,
terjadinya suatu pembentukan jalur subduksi yang baru di Pulau Jawa
dengan orientasi relatif berarah barat - timur. Lapisan dasar (basement
layer) suatu Cekungan Banyumas terdiri dari lempeng samudera
dengan jenis endapannya berupa endapan zona subduksi. Posisi busur
magmatik (magmatic arc) berada di utara lokasi penunjaman dan lebih
tepatnya di Pulau Kalimantan (Gambar II. 7).

Gambar II. 7 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Kapur


Akhir - Eosen Tengah (Purwasatriya, dkk., 2019)

II.1.4.2. Eosen Tengah - Oligosen Akhir

Orientasi jalur subduksi baru di Pulau Jawa yang relatif


berarah barat - timur terjadi pada kala waktu geologi ini. Di samping
itu terjadinya suatu proses subduksi lain di daerah Karangsambung

17
dengan indikasi kenampakkan Gunung Dakah sehingga
diinterpretasikan bahwa di Pulau Jawa bagian selatan terjadi proses
subduksi ganda (double subduction). Proses terjadinya subduksi
ganda ini akibat pengaruh lempeng samudera yang patah dan
Cekungan Banyumas terendapkan suatu batuan sedimen lempung
hitam laut dalam yang diindikasikan sebagai pembentuk olistostrom
pada Formasi Karangsambung. Batulempung hitam laut dalam
tersebut diinterpretasikan sebagai lapisan dasar dari Cekungan
Banyumas sebelum terdapatnya busur gunung api di cekungan ini
(Gambar II.8).

Gambar II. 8 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Eosen


Tengah - Oligosen Akhir (Purwasatriya, dkk., 2019)

II.1.4.3. Oligosen Akhir - Miosen Awal

Pegunungan selatan (southern mountain) terbentuk di Pulau


Jawa bagian selatan yang membatasi Cekungan Banyumas dan
sebagai faktor pembentuk cekungan ini. Jenis Cekungan Banyumas
merupakan island flexure basin yang merupakan hasil dari
penunjaman subduksi tersebut dengan lapisan dasar (basement layer)
berupa lempeng samudera dengan bentuk melengkung (flexure) akibat
kontrol dari orogenik di pegunungan selatan (Gambar II.9).

18
Proses suplai sedimen vulkanik terjadi berupa material
piroklastik dan vulkaniklastik yang terendapkan di Cekungan
Banyumas. Terjadinya dua mekanisme pengendapan antara material
vulkanik dan material sedimen laut dalam sehingga terjadinya kontak
litologi menjemari (fingering) (Gambar II.9). Material vulkanik
tersebut berupa tuff, breksi dan lava yang termasuk ke dalam Formasi
Gabon, Formasi Jampang dan Formasi Nusakambangan. Ketiga
formasi tersebut merupakan suatu produk material vulkanik
pegunungan selatan (southern mountain) yang memiliki perbedaan
fasies.

Gambar II. 9 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Oligosen

19
Akhir - Miosen Awal (Atas) dan Ilustrasi Jenis Cekungan Banyumas yang
merupakan Flexure Basin (Bawah) (Purwasatriya, dkk., 2019)

II.1.4.4. Miosen Awal - Miosen Tengah

Proses aktivitas vulkanik terdapat di busur magmatik


(magmatic arc) pada kala Oligosen - Miosen sudah mulai mereda
dengan adanya indikasi material sedimen karbonat yang tumbuh di
tinggian vulkani yang terendapkan sebagai Formasi Kalipucang.
Proses suplai material sedimen laut dalam dari arah utara mengisi
Cekungan Banyumas dan terendapkan sebagai Formasi Pemali.
Pengaruh dari endapan sedimen berbutir kasar di sekitar tubuh
vulkanik terjadi akibat pengaruh dari faktor erosi pada daerah tinggian
vulkanik yang tidak terendam oleh air laut (Gambar II.10).

Gambar II. 10 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Miosen


Awal - Miosen Tengah (Purwasatriya, dkk., 2019)

II.1.4.5. Miosen Tengah – Pliosen

Proses pembentukan jalur magmatik berada di tengah


Cekungan Banyumas pada kala Miosen - Pliosen. Jalur magmatik
disebut sebagai zona tengah (central zone) yang menyuplai material
berupa breksi, lava dan intrusi sill. Pada zona proksimal terendapkan
material batupasir tufaan dengan sisipan batulanau tufaan dan

20
batulempung tufaan secaran dominan. Pada zona distal terendapkan
material perselingan batulanau tufaan dan batulempung tufaan dengan
sisipan tuff dan napal secara dominan. Terjadinya proses erosi pada
tinggian yang tersingkap mempengaruhi suatu proses suplai material
pada daerah selatan berupa batupasir, konglomerat dan batuan
karbonat klastik yang merupakan hasil rombakan material reef pada
Formasi Kalipucang pada kala Oligosen - Miosen akibat pengaruh
busur magmatik di bagian selatan yang sudah tidak aktif. Kemudian,
terdapat proses sedimentasi endapan sedimen laut dari arah utara ke
Cekungan Banyumas dan terjadi kontak litologi menjari (fingering)
dengan sedimen vulkaniklastik tersebut (Gambar II.11).

Gambar II. 11 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Miosen


Tengah - Pliosen (Purwasatriya, dkk., 2019)

II.1.4.6. Pliosen - Plistosen

Terjadinya pembentukan busur magmatik (magmatic arc)


yang berumur Pliosen - Plistosen yang terletak di utara busur
magmatik (magmatic arc) yang berumur Miosen - Pliosen (Gambar
II.12) akibat adanya suatu penunjaman zona subduksi yang semakin
ke utara. Posisi busur magmatik (magmatic arc) yang lebih muda
terletak sangat dekat dengan busur magmatik (magmatic arc) yang

21
lebih tua. Kemudian, dapat diinterpretasikan suatu busur magmatik
yang baru terbentuk dari cabang dapur magma busur magmatik
(magmatic arc) yang berumur Miosen - Pliosen.

Gambar II. 12 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Pliosen


- Plistosen (Purwasatriya, dkk., 2019)

II.1.5. Cekungan Banyumas

Cekungan merupakan suatu zona depresi sebagai tempat


terakumulasinya endapan sedimen. Faktor pembentukan cekungan dapat
dikaitkan terhadap mekanisme pembebanan (subsidence) dan proses
evolusi tektonik yang membentuk suatu cekungan. Cekungan Banyumas
yang berada di Pulau Jawa bagian selatan merupakan jenis cekungan
fleksur (island flexure basin) karena akibat pengaruh dari penunjaman
zona subduksi pada bagian selatan dan orogenik pegunungan selatan.
Lapisan dasar (basement layer) merupakan lempeng samudera dengan
bentuk melengkung (flexure) sebelum terjadi proses thrusting antara
Sunda shelf dan volcanic arc dan cekungan ini merupakan bagian dari
lereng selatan dari pungunggan jawa (southern slope of axial ridge of
java) (Purwasatriya, dkk., 2019). Menurut Purwasatriya, dkk (2012)

22
terdapat pengaruh kontrol struktur geologi dari sesar geser menganan
Pamanukan - Cilacap dengan orientasi baratlaut - tenggara dan sesar
geser mengiri Muria – Kebumen dengan orientasi timurlaut – baratdaya
yang mempengaruhi bentuk morfologi tinggian Majalengka - Banyumas
dengan orientasi baratlaut - tenggara dan memisahkan Cekungan
Banyumas di bagian baratdaya tinggian dan Cekungan Bobotsari di
bagian timurlaut tinggian. Cekungan Banyumas ini mencakup suatu
batasan daerah secara administratif meliputi: Kabupaten Banyumas dan
Cilacap, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Kebumen. Berdasarkan morfologinya Cekungan Banyumas ini memiliki
beberapa batasan seperti (Gambar II.13):

1. Bagian Utara: Gunung Slamet

2. Bagian Timur: Tinggian Karangsambung

3. Bagian Selatan: Perbukitan Karangbolong Nusakambangan

4. Bagian Barat: Gunung Kumbang dan Tinggian Jampang

23
Gambar II. 13 Peta Dasar Geologi Banyumas dan Sekitarnya (Purwasatriya, 2019)
yang didigitasi oleh Giovany (2022)

II.1.5.1. Sub – Cekungan Banyumas

Daerah lokasi penelitian penulis berada di Desa Besuki,


Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.
Penulis melakukan digitasi ulang suatu peta dasar topografi yang
ditumpang tindih dengan peta anomali gravitasi regional Cekungan
Banyumas (Purwasatriya, dkk., 2019) untuk melakukan kegiatan
pengambilan data dengan ukuran kavling peta 3 km x 2 km dan skala
1:12.500. Lokasi penelitian ditentukan di daerah tersebut dikarenakan
adanya suatu indikasi rembesan minyak dan gas (oil seepage).
Mengacu pada hasil hasil interpretasi Purwasatriya, dkk (2019)

24
didapatkan suatu delineasi batas dari Cekungan Banyumas
menggunakan data gravitasi satelit topex. Delineasi ini menentukan
batas cekungan dan menginterpretasikan terdapatnya dua sub-
Cekungan Banyumas yang terdiri dari sub-Cekungan Banyumas di
bagian barat dan sub-Cekungan Purbalingga di bagian timur (Gambar
II.14).

Gambar II. 14 Peta Anomali Gravitasi Regional Cekungan Banyumas yang


membagi Dua Sub-Cekungan: Sub-Cekungan Banyumas dan Sub-
Cekungan Purbalingga (Purwasatriya, dkk., 2019) yang didigitasi oleh
Giovany (2022)

II.2. Teori Dasar


II.2.1. Petroleum System

Cekungan Banyumas yang berlokasi di Jawa Tengah bagian


selatan merupakan jenis cekungan fleksur (island flexure basin) karena
akibat pengaruh dari penunjaman zona subduksi pada bagian selatan dan
orogenik pegunungan selatan dan merupakan sedimen yang termasuk ke
dalam jenis cekungan busur muka di bagian selatan (South Java Fore Arc
Basin). Cekungan Banyumas mengandung cukup banyak rembesan
minyak dan gas (oil seepage dan gas seepage). Kegiatan penelitian terus

25
berlangsung dilakukan untuk mengamati cadangan minyak yang
ekonomis untuk dilakukan kegiatan eksplorasi dan dianalisis mengenai
identifikasi karakteristik dari suatu rembesan tersebut terhadap litologi
penyusun di Cekungan Banyumas. Keterdapatan rembesan
menginterpretasikan bahwa terdapatnya suatu petroleum system dari
suatu cekungan yang masih aktif. Rembesan tersebut dipergunakan
sebagai penanda bahwa adanya suatu batuan induk (source rock) yang
telah matang dan bermigrasi ke atas permukaan. Petroleum system
memiliki lima komponen penyusun utama yang terdiri dari:
II.2.1.1. Batuan Induk (Source Rocks)

Batuan induk merupakan suatu batuan sedimen dengan


butiran halus dan mengandung komponen material organik yang
berlimpah sehingga dapat mengalami generasi hidrokarbon apabila
terdapat pengaruhnya derajat geotermal. Berdasarkan stratigrafi
batuan induk di Cekungan Banyumas berasal dari Formasi Pemali
dengan umur kala Miosen Tengah dan Formasi Halang bagian bawah
dengan umur kala Miosen Akhir. Masing – masing formasi ini tersusun
atas litologi lapisan tipis batulempung yang mengandung material
organik dan diindikasikan sangat berpotensi untuk menghasilkan
hidrokarbon. Formasi Karangsambung dengan umur kala Eosen yang
tersusun atas litologi batulempung hitam terkersikkan dan
mengandung kelimpahan material organik dan diindikasikan sangat
potensial untuk menghasilkan hidrokarbon karena dipengaruhi oleh
proses sedimentasi yang cepat dengan lapisan tebal berlangsung
selama umur kala Miosen. Derajat gradien geotermal dan keterdapatan
aktivitas magmatisme pada busur magmatik (magmatic arc) serta
lapisan sedimen vulkaniklastik yang tebal dan kedalaman cekungan
mempengaruhi suatu tingkat kematangan hidrokarbon. Suatu nilai
TOC (Total Organic Carbon) dapat diketahui tingkat potensial
berdasarkan klasifikasi material organic (organic materials) (Peters
dan Cassa, 1994) (Gambar II.15).

26
Gambar II. 15 Klasifikasi Material Organik (Organic Materials) (Peters dan
Cassa, 1994)

Kemudian, data analisis menunjukkan rembesan minyak (oil


seepage) tersebut berkorelasi terhadap batuan induk (source rocks)
pada Formasi Karangsambung yang terendapkan di lingkungan laut
dangkal dengan umur kala Eosen. Hasil korelasi tersebut
diinterpretasikan bahwa sampel rembesan minyak (oil seepage)
berasal dari batuan induk (source rocks) yang berumur Paleogen.
Berdasarkan lokasi Cekungan Banyumas berada di cekungan intra-
busur (intra-arc basin) dengan pengaruh derajat gradien geotermal
yang tinggi kemungkinan rembesan tersebut diindikasikan dapat
berasal dari batuan induk yang berumur kala Neogen. Faktor pengaruh
dari gradien geotermal dapat meningkatkan kematangan suatu
material organik untuk mencapai batas oil window. Noerardi, dkk
(2006) melakukan studi analisis pada batuan induk di Cekungan
Banyumas dengan menargetkan dua formasi di daerah Bumiayu dan
Majenang yaitu Formasi Halang dan Formasi Pemali. Hasil analisis
didapatkan nilai persentase TOC (Total Organic Carbon) di bawah
0.5% dan nilai persentase HI (Hydrogen Index) di bawah 200. Hasil
ini diinterpretasikan bahwa kedua formasi tersebut kurang potensial
untuk dijadikan sebagai batuan induk (source rocks). Dapat ditelusuri
batuan induk mungkin berasal dari litologi yang berumur lebih tua
yaitu Paleogen.

Subroto, dkk (2007) melakukan studi analisis pada sampel


rembesan minyak (oil seepage) sumur Jati-1, sampel batuan induk
empat formasi seperti: Formasi Rambatan, Formasi Halang, Formasi
Karangsambung dan Formasi Pemali. Hasil analisis didapatkan nilai
persentase TOC (Total Organic Carbon) sekitar 0.2% - 0.9% (poor -

27
fair). Berdasarkan hasil persentase TOC (Total Organic Carbon)
diinterpretasikan bahwa Formasi Pemali dengan umur Kala Miosen
Tengah - Miosen Akhir sangat berpotensi sebagai batuan induk
(source rocks). Kontrol dua struktur geologi sesar geser di Pulau Jawa
Tengah bagian selatan mempengaruhi posisi Cekungan Banyumas
yang berada di busur vulkanik (volcanic arc) bergeser ke arah utara
dan berlokasi di cekungan intra-busur (intra arc basin). Sehingga
faktor derajat gradien geotermal berperan meningkatkan kematangan
Formasi Pemali tersebut untuk menghasilkan hidrokarbon. Kemudian,
data kromatogram biomarker rembesan minyak (oil seepage)
diinterpretasikan memiliki karakteristik yang sebanding dengan
Formasi Halang tetapi dengan umur yang lebih tua atau Formasi
Wungkal dengan umur Kala Eosen. Dengan analisis digram segitiga
sterana (triangle of sterane) (Huang, W.Y. dan Meinschein, W.G.,
1979) diinterpretasikan lingkungan pengendapan sampel rembesan di
estuarin (estuarine) atau danau dangkal (shallow lacustrine) yang
merupakan zona lingkungan transisi. Berdasarkan Sujanto dan
Sumantri (1977) menyatakan Cekungan Banyumas berlokasi di zona
turbidit vulkanik (volcanic turbidite) akibat kaki gunung api yang
terendam oleh air laut dengan pengaruh kemiringan lereng gunung
tersebut sehingga mekanisme endapan turbidit terjadi di lingkungan
laut dangkal dan zona transisi.
II.2.1.2. Batuan Reservoir (Reservoir Rocks)

Batuan reservoir adalah batuan yang berpotensi menyimpan


dan mengalirkan fluida hidrokarbon karena memiliki poristas dan
permeabilitas. Batuan reservoir di Cekungan Banyumas berasal dari
Formasi Rambatan dengan litologi batupasir yang berumur Miosen
Tengah dan Formasi Halang dengan litologi batupasir yang berumur
Miosen Akhir - Pliosen. Menurut studi analisis yang tertulis di dalam
karya ilmiah Purwasatriya (2014) pengukuran nilai porositas beberapa
sampel Formasi Halang digunakan metode uji berat dan SEM
(Scanning Electron Microscope). Kemudian, didapatkan hasil nilai

28
persentase porositas sebesar 19 - 21% dan mengacu kepada klasifikasi
Koesoemadinata (1980) (Gambar II.16) nilai porositas tersebut
dikatakan baik - sangat baik. Dengan hasil nilai tersebut Formasi
Halang berpotensi sebagai batuan reservoir hidrokarbon.

Gambar II. 16 Klasifikasi Porositas (Koesoemadinata, 1980)

Batuan reservoir diindikasikan berasal dari Formasi Tapak


dan anggota Formasi Halang. Material vulkanik pada Formasi Halang
mengalami diagenesis yang dapat berubah menjadi mineral lempung
sehingga kualitas porositas dan permeabilitas suatu reservoir akan
berkurang. Kontrol struktur geologi pada evolusi tektonik pada kala
Pliosen – Plistosen akan menghasilkan suatu rekahan (fracture) pada
litologi batupasir Formasi Halang dan litologi batupasir berselingan
dengan napal Formasi Tapak dan dapat meningkatkan nilai persentase
porositas dan permeabilitas suatu reservoir. Anggota batugamping
Formasi Tapak yang berumur kala Pliosen Tengah diperkirakan
sebagai batuan reservoir walaupun belum terdapat indikasi pada
analisis seismik yang menjelaskan terjadinya penimbunan suatu
material karbonat di bawah permukaan.
II.2.1.3. Batuan Penyekat (Seal Rocks)

Batuan penyekat adalah batuan yang memiliki lapisan kedap


(impermeable layer) dan berfungsi sebagai penyekat migrasi
hidrokarbon. Batuan penyekat di Cekungan Banyumas adalalah napal
atau batulempung dari Formasi Halang yang berumur Kala Miosen
Akhir - Pliosen Awal dengan jenis penyekatnya adalah
intraformasional (intraformational seal). Kelimpahan litologi napal
dan batulanau yang cukup tebal di Formasi Halang dan Formasi Tapak

29
mengalami suatu proses interkalasi. Proses ini pada sisipan
batulempung dan napal dengan butiran sangat halus berfungsi sebagai
penyekat batuan reservoir. Formasi Tapak dengan litologi batupasir
berselingan dengan napal yang berumur kala Pliosen - Plistosen
diindikasikan sebagai batuan penyekat tetapi penyebarannya tidak
terlalu luas.
II.2.1.4. Perangkap (Trap)

Jebakan merupakan suatu kondisi dimana hidrokarbon


tertampung dan kemudian disekat oleh lapisan kedap (impermeable
layer) sehingga tidak dapat bermigrasi. Jenis jebakan di Cekungan
Banyumas secara tektonostratigrafi berupa jebakan struktur
(structural trap) seperti patahan, antiklin dan lipatan tarik (dragfold),
inverted horst block, antiklin karena pengaruh sesar naik (thrust fault
dependent anticline) serta antiklin yang tidak tergantung oleh patahan
dan jebakan stratigrafi (stratigraphy trap). Proses suplai sedimentasi
yang cepat dan berlimpah serta terdapatnya sisipan terumbu (reef)
menghasilkan suatu onlap, jebakan diapirik (diaphiric trap) dan
lapisan membaji (pinch-out).

Armandita, dkk (2009) menyatakan jebakan struktur seperti


antiklin merupakan hasil dari tektonik kompresi selama kala Pliosen -
Plistosen dan memodifikasi gambar Martodjojo (1994) mengenai
struktur anjak (thrust fault) dari Cikalong hingga ke Baribis. Sesar
anjak (thrust fault) merupakan reaktivasi suatu sesar turun
sebelumnya karena pengaruh gaya kompresi pada kala Pliosen -
Plistosen (Gambar II.17). Perkembangan sesar anjak (thrust fault)
terjadi di Cekungan Banyumas sehingga jebakan struktur (structural
trap) dan lipatan tarik (drag fold) sangat potensial.

30
Gambar II. 17 Progadari Sesar Anjak (Thrust Fault) di Jawa Barat yang
Berkembang di Cekungan Banyumas (Armandita, dkk., 2009)

Noeradi, dkk (2006) menginterpretasikan penampang


seismik (seismic line) terdapat jebakan struktur lipatan tarik (drag
fold) sebagai pembentuk struktur antiklin dan anomali pendekatan
(closure anomaly) sebagai perangkap yang potensial (Gambar II.18).
Purwasatriya (2014) menginterpretasikan Cekungan Banyumas
merupakan cekungan intra-busur (intra arc basin) sehingga
kedalaman hidrokarbon yang terakumulasi termasuk dangkal.
Cekungan intra-busur (intra arc basin) memiliki derajat geotermal
lebih tinggi dibandingkan dengan cekungan busur muka (fore arc
basin) sehingga batuan induk (source rocks) mengalami generasi
kematangan lebih tingi di kedalaman yang lebih dangkal. Kemudian,
bermigrasi melalui rekahan atau patahan dan terakumulasi di batuan
reservoir lebih dangkal.

31
Gambar II. 18 Data Penampang Seismik (Seismic Line) yang Menunjukkan
Jebakan Struktur Drag Fold (Noeradi, dkk., 2006)

II.2.1.5. Migrasi Hidrokarbon (Hydrocarbon Migration)

Migrasi merupakan waktu kritis yang diperlukan


hidrokarbon untuk berpindah dari batuan induk (source rocks) menuju
batuan reservoir (reservoir rocks). Material organik yang terkandung
di dalam batuan induk (source rocks) akan mengalami suatu proses
kematangan akibat derajat gradien geotermal. Kemudian, material
organik tersebut mengalami proses regenerasi kematangan menjadi
hidrokarbon yang dapat bermigrasi melalui zona rekahan dan patahan
yang dipengaruhi oleh kontrol struktur geologi serta lapisan pembawa
(carrier beds). Kontrol struktur geologi membentuk suatu antiklin dan
zona rekah yang mempegaruhi migrasi. Cekungan Banyumas
dipengaruhi oleh jalur struktur patahan yang bersifat tidak mengikat
(sealing) sehingga migrasi hidrokarbon tidak terperangkap secara
efektif. Lunt, dkk (2008) menganalisis data penampang seismik 91-
BMS-05 yang mengindikasian migrasi hidrokarbon terjadi dari batuan
induk (source rocks) dan terperangkap pada sayap antiklin (Gambar
II.19).

32
Gambar II. 19 Penampang Seismik (Seismic Line) 91-BMS-05 Terdapatnya
Patahan sebagai Jalur Migrasi Hidrokarbon Menuju Sayap Antiklin (Lunt,
dkk., 2008)

Keterdapatan patahan struktur karena pengaruh evolusi


tektonik pada fase ekstensional, kemudian terjadinya fase
kompresional pada kala Pliosen - Plistosen yang membentuk lipatan
tarik (drag fold) sebagai jebakan potensial. Migrasi primer ekspulsi
terjadi dan bergerak menuju lapisan pembawa (carrier beds) karena
tekanan batuan telah melebihi tingkat kekuatan batuan. Kemudian,
migrasi sekunder akan terjadi ketika suatu struktur patahan dan
rekahan tidak terdapat lapisan penyekat (sealing) dan akan
terperangkap di lapisan reservoir yang berada di atasnya.

II.2.2. Biostratigrafi

Menurut Salvador (2013) biostratigrafi merupakan suatu ilmu


stratigrafi berdasarkan konsep paleontologi yang bertujuan untuk untuk
mengelompokkan suatu lapisan batuan yang memiliki unit fosil yang
terkandung di dalam suatu batuan tersebut. Konsep biostratigrafi ini tidak
bergantung pada susunan lapisan batuan kecuali apabila susunan lapisan
batuan ditemukan kandungan jenis fosil. Satuan biostratigrafi ini
menginterpretasikan perubahan evolusioner skala waktu geologi
terhadap fase waktu dan lingkungan pengendapan litologi. Konsep

33
biostratigrafi lebih difokuskan kepada skala waktu geologi dan
paleobatimetri dalam penyusunan lapisan batuan (Tabel II.1).

Tabel II. 1 Fungsi, Kelebihan dan Kekurangan Analisis Biostratigrafi Pada Fosil
Foraminifera (Deny, 2021)

Unit fosil yang digunakan dalam konsep biostratigrafi dinamakan


fosil indeks dengan jenis fosil foraminifera. Distribusi fosil foraminifera
sangat bergantungan terhadap ekologi dan fasies di lingkungan laut
(marine). Pengenalan unit biostratigrafi diidentifikasi berdasarkan ciri -
ciri fosil yang bergantung terhadap taksonomi, fitur morfologi, variasi
morfologi dan kelimpahan suatu fosil dalam stratigrafi litologi.
Penentuan umur suatu batuan berdasarkan konsep biostratigrafi
menargetkan kepada penentuan umur batuan secara relatif yang
menggunakan unit mikrofosil seperti: foraminifera, nannoplankton,
polen, dinoflagellate, ostracoda dan radiolaria.

Beberapa faktor pengaruh lingkungan pengendapan yang


mempengaruhi kehidupan mikroorganisme adalah (Pringgoprawiro,
Harsono dan Rubiyanto Kapid, 2000):

1. Suhu Air Laut: Suhu air berperan sangat penting sebagai


tempat hidup mikroorganisme dan proses pembentukan fosil.
Menurut Stone (1956) faktor suhu mempengaruhi jumlah
populasi dan ukuran cangkang mikrofauna. Suhu air
berkaitan dengan tingkat salinitas, sinar matahari dan tingkat

34
kedalaman pada zona lingkungannya. Sinar matahari
berperan untuk kelangsungan hidup mikroorganisme dan
mempengaruhi ukuran dan bentuk fitur mikroorganisme.

2. Salinitas: Mikrofauna umumnya hidup dengan tingkat


salinitas yang normal sehingga dapat berkembang dengan
pesat dan bertahan hidup.

3. Zona Kedalaman: Tingkat kedalaman dapat mempengaruhi


kehidupan mikrofauna. Menurut Bignot (1982) terdapatnya
hubungan antara kedalaman air laut dan kelompok
foraminifera. Tingkat kedalaman ini dapat mempengaruhi
jenis dinding cangkang foraminifera. Pada zona dangkal
diindikasikan terdapat variasi individu dan spesies yang
berlimpah. Sedangkan, pada zona kedalaman yang semakin
dalam diindikasikan tedapat perubahan variasi jenis
cangkang mikrofauna. Jenis cangkang aglutin akan
berkembang lebih banyak karena memiliki ketahanan yang
cukup baik terhadap tekanan air daripada cangkang
gampingan. Daya tahan jenis cangkang foraminifera dan
tekanan air berkaitan terhadap tingkat kedalaman yang
disebut zona CCD (Carbonate Compensation Depth).

4. Tingkat Kekeruhan Air: Proses mekanisme pengendapan


zona turbidit akan berpengaruh terhadap kehidupan
mikrofauna. Suplai sedimen dan material longsoran dari
massa sedimen akan menimbulkan tingkat kekeruhan air
karena pengaruh tercampurnya massa air (fluida) dengan
partikel batuan yang bergerak.

5. Gelombang dan Arus: Proses alam yang menghasilkan


gelombang air laut akan menyebabkan arus turbulensi pada
air laut. Arus turbulensi yang terdapat di dasar lautan yang
dangkal akan menimbulkan kekeruhan seperti proses
turbidit. Di samping itu, arus laut yang dihasilkan oleh

35
perpindahan dan pergerakan massa air laut yang disebut arus
air laut akan menghasilkan tingkat kekeruhan pada fluida.
Hal ini akan menyebabkan faktor perubahan suhu air laut,
jumlah oksigen terlarut dan jumlah makanan mikrofauna
tersebut.
II.2.2.1. Foraminifera Planktonik

Foraminifera planktonik merupakan mikroorganisme yang


hidup dominannya di lingkungan akuatik dengan cara melayang,
mengambang dan bergerak bergantungan terhadap arus di permukaan
laut. Mikrofosil ini dapat digunakan sebagai fosil penunjuk untuk
mengokerelasi lapisan litologi berdasarkan skala waktu pengendapan
geologi karena memiliki umur relatif (Tabel II.2) dan menentukan
lingkungan pengendapan. Sistematika yang digunakan berdasarkan
datum dengan kemunculan di awal dan di akhir suatu fosil indeks
sebagai penanda batasan masing - masing zona satuan litologi.
Kelebihan mikrofosil ini karena memiliki tingkat keakurasian yang
tinggi dan preparasi yang relatif murah (Pringgoprawiro, Harsono dan
Rubiyanto Kapid, 2000).

36
Tabel II. 2 Biostratigrafi Mikrofosil Kala Neogen di Daerah Tropis (Kennet
dan Srinivasan, 1983)

II.2.2.2. Foraminifera Bentik

Foraminifera bentik merupakan mikroorganisme yang hidup


di lingkungan dasar perairan dengan cara merayap, sesil dan menggali
lubang. Mikrofosil ini dapat digunakan sebagai penentuan lingkungan
pengendapan purba (Gambar II.20) dan beberapa dari spesies ini
dapat menentukan umur lapisan litologi. Hal ini didasarkan mengenai
keterdapatan foraminifera planktonik di batuan sedimen sehingga
menggunakan foraminifera bentiksebagai penunjuk penentuan umur
tersebut. Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan karena
mikroorganisme ini hidup di daerah lumpur, pasir, batuan dan karang
yang sudah mati sehingga tepat dilakukan interpretasi tersebut
menggunakan fosil indeks dengan mengamati kelimpahan fosil dan
rasio antara foraminifera planktonik dan foraminifera bentik (Deny,
2021).

37
Gambar II. 20 Indikator Paleoenvironment Berdasarkan Mikrofosil
Foraminifera Bentik (Kadar Adi, P., 1996)

II.2.2.3. Laju Sedimentasi

Laju sedimentasi merupakan analisis untuk


menginterpretasikan kecepatan proses sedimentasi suatu litologi. Laju
sedimentasi dapat diperkirakan menggunakan grafik kecepatan
sedimentasi / grafik umur vs grafik kedalaman. Kecepatan proses
sedimentasi ditentukan berdasarkan umur fosil indeks yang ditemukan
pada setiap batas satuan litologi. Data yang digunakan dalam analisis
laju sedimentasi yaitu: data rekonstruksi penampang geologi untuk
mengetahui ketebalan dan ketinggian vertikal litologi secara
keseluruhan dan data tabulasi fosil untuk menentukan batas umur
absolut setiap satuan litologi. Lajut kecepatan sedimentasi dihitung
menggunakan rumus (Gambar II.21).

Gambar II. 21 Rumus Kecepatan Laju Sedimentasi (Sedimentation Rate)

38
II.2.3. Mekanisme Lingkungan Pengendapan Turbidit

Menurut Sam Boggs (2006) pembentukan lingkungan


pengendapan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: fisika, biologi dan
kimia serta sudut pandang geometri. Faktor tersebut berperan dalam
mengakomodasi suatu sedimen yang terendapkan dengan keterkaitan
terhadap unit geomorfik yang memiliki ukuran dan geometri tertentu
(Boggs, 1987). Selley (2000) membagi klasifikasi secara umum menjadi
tiga bagian yaitu (Tabel II.3):

Tabel II. 3 Klasifikasi Lingkungan Pengendapan (Selley, 2000)

KLASIFIKASI LINGKUNGAN PENGENDAPAN (SELLEY, 2000)


Glasial
Terrestrial
Gurun
Gua
Darat
Lakustrin
Berair (Aqueous )
Sungai (Fluvial)
Rawa - Rawa
Laguna
Estuarin
Transisi
Intertidal
Delta
Paparan (Shelf )
Terumbu
Laut (Marine )
Lereng (Slope )
Dataran Abisal (Abyssal Plain )

Kontrol struktur geologi dalam pembentukan Cekungan


Banyumas berperan dalam mempengaruhi terbentuknya struktur sedimen
yang terdapat di daerah penelitian. Struktur sedimen tersebut
diinterpretasikan untuk mengidentifikasi mekanisme dan skala waktu
geologi saat proses pengendapan litologi. Struktur tersebut terbentuk
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pengendapan dan mekanisme
pembentukannya. Cekungan Banyumas merupakan suatu cekungan
intra-busur (intra arc basin) dan terdapatnya pengaruh aktivitas vulkanik
sehingga diinterpretasikan sebagai zona turbidit vulkanik (volcanic
turbidite) karena cekungan ini berada di lereng kaki gunung api yang

39
terendam oleh air laut. Penentuan lingkungan pengendapan
diinterpretasikan berdasarkan korelasi litostratigrafi pada lintasan yang
dibuat untuk mengamati perubahan litostratigrafi.

Menurut Purwasatriya dkk. (2021) batupasir Formasi Halang


yang diinterpretasikan sebagai potensi reservoir di Cekungan Banyumas
terbentuk oleh mekanisme endapan turbidit dengan kemungkinan berada
di fasies proksimal dan medial. Mekanisme pengendapan ini terbentuk di
kipas gunung api laut (sub-volcano fan) dengan umur gunung api
berkisar kala Miosen - Pliosen. Mekanisme pengendapan dipengaruhi
oleh gelombang laut yang kuat (wave dominated submarine volcano fan)
dan menghasilkan pola progading sand ridges. Proses pembentukan pola
sand ridges yang berselingan dengan batulempung terbentuk akibat
gelombang arus laut yang menyapu sedimen yang berasal dari
distributary channel ke arah samping. Suplai sedimen vulkaniklastik
yang berlimpah dan membentuk kipas gunung api laut (sub-volcano fan)
(Gambar II.22).

Sedimen vulkaniklastik yang terendapkan berasal dari proses


erosi Pegunungan Selatan yang terbentuk pada kala Oligosen - Miosen
dan transportasi ke arah laut dengan mekanisme arus gravitasi selama
pengendapan (Martodjojo, 1984, Djuhaeni dan Martodjojo, 1989).

40
Gambar II. 22 Model Fasies Batupasir Formasi Halang di Cekungan
Banyumas (Hayes, 2005)

II.2.3.1. Model Fasies Walker (1976)

Menurut Walker (1976) mekanisme dan fasies lingkungan


pengendapan kipas bawah laut (sub-marine fan) suatu batuan sedimen
dapat diidentifikasi berdasarkan asosiasi fasies (facies association)
atau beberapa asosiasi fasies. Terdapartnya lima kelompok fasies
tersebut (Gambar II.23):
II.2.3.1.1. Ckassical Turbidite (CT)

Classical Turbidite (CT) merupakan asosiasi fasies yang


tersusun atas selang-seling batupasir dan batulempung secara
monoton (monotous alternation) dan terlihat kontak secara tegas
antara lapisan pasir dengan batulempung. Lapisan batupasir dapat
diinterpretasikan dengan model fasies Sekuen Bouma. Penamaan
classical turbidite berdasarkan lapisan batupasir yang mudah
diidentifikasi sebagai mekanisme turbidit. Pada fasies ini terdapat
dua komponen utama yaitu thick-bedded turbidite dan thin-bedded
turbidite. Komponen thin-bedded turbidite memiliki karakteristik
berupa struktur sedimen current ripple, ripple, climbing ripple dan

41
convolute dengan ukuran butiran berupa pasir hingga lempung.
Pada bagian bawah terdapat struktur erosi dengan ukuran butir
lapisan batupasir berupa pasir hingga kerikilan dan terjadinya
proses penghalusan ke atas pada ukuran butir (coarsening upward).
Fasies turbidit klasik (classical turbidite) (CT) berasosiasi di
lingkungan kipas bagian bawah (lower fan) hingga dasar cekungan
(basin floor) di bagian distal turbidit.
II.2.3.1.2. Massive Sandstone (MS)

Massive Sandstone (MS) merupakan asosiasi fasies yang


mengalami perubahan gradasi pada thick-bedded turbidite dan
berkurangnya perselingan antara batupasir dan batulempung.
Ukuran butir batupasir akan bertambah kasar dan lapisan batupasir
akan semakin menebal dan terdapatnya proses erosi di lapisan ini.
Lapisan batupasir ini memiliki kesamaan dengan interval batupasir
masif Ta (massive to normal graded bedding) pada Sekuen Bouma.
Lapisan ini tidak menunjukkan struktur sedimen yang lain, kecuali
dish structure dan pillar structure yang menginterpretasikan
terdapat proses pelepasan fluida selama proses pengendapan.
Fasies batupasir masif (massive sandstone) (MS) berasosiasi pada
zona middle fan.
II.2.3.1.3. Pebbly Sandstone (PS)

Pebbly Sandstone (PS) merupakan asosiasi fasies


batupasir dengan ukuran butir kerikilan umumnya dengan bidang
kontak pada bagian bawah terlihat tegas dan tidak terdapatnya
asosiasi antara batupasir dan batulempung. Sehingga model fasies
Sekuen Bouma sudah tidak dapat digunakan pada model fasies ini
dikarenakan terdapatnya struktur imbrikasi yang
menginterpretasikan terjadinya suatu proses pen-channel-an dan
menggambarkan orientasi arah arus fragmen keririkilan akibat
kekuatan media fluida atau arah aliran yang besar. Struktur
sedimen yang mungkin terdapat di fasies ini adalah normal graded

42
bedding dengan ukuran butir kerikilan di bagian dasar hingga
bagian sedang dengan membentuk litologi batupasir
konglomeratan dan struktur sedimen dish structure. Fasies
batupasir (pebbly sandstone) (PS) berasosiasi pada zona middle fan
hingga upper fan.
II.2.3.1.4. Conglomerate (CGL)

Conglomerates (CGL) merupakan asosiasi fasies


batupasir dengan bentuk butiran konglomerat. Ukuran butir pebble
dan cobble dengan gradasi butiran yang buruk yang
menginterpretasikan jarak dan kekuatan arus fluida saat proses
transportasi cukup besar. Endpan berupa slump (SL) dan debris
flows (DF) terdapat di dalam fasies ini dan kenampakkan fragmen
batuan yang mengambang di dalam massa dasar batuan (matrix).
Walker (1978) menginterpretasikan apabila suatu transportasi
semakin ke arah laut bagian dalam maka batupasir dengan ukuran
butir kasar akan menghilang. Sehingga dapat ditemukan
kenampakkan struktur sedimen dalam model fasies Sekuen Bouma
(1962). Fasies conglomerates (CGL) berasosiasi pada zona upper
fan.
II.2.3.1.5. Pebbly Mudstone, Debris Flow, Slump dan Slide

Pebbly Mudstone, debris flow, slump dan slide


merupakan litologi batulempung kerikilan (pebbly mudstone).
Fragmen penyusunnya berupa klastika dengan ukuran butir pasir
hingga kerikilan dan didusun oleh material lanau atau lempung
sebagai massa dasar (matrix). Mekanisme pembentukan litologi ini
terjadi pada saat proses pengendapan yang cepat yang mana
material sedimen berupa debris flow dengan massa dasar berupa
lumpur melalui suatu endapan yang bersifat semi-rigid.
Sistematika debris flow mengerosi dan mengangkut lapisan semi-
rigid dan bercampur secara keseluruhan dan berasosiasi dengan
pebbly mudstone.

43
Gambar II. 23 Model Fasies Sekuan Kipas Bawah Laut (Sub-Marine Fan)
(Walker, 1976)

Hipotesis Walker (1978) menjelaskan beberapa pola


mekanisme pengendapan suatu sedimen seperti progadasi,
retrogradasi dan agradasi. Pola progadasi terbentuk saat kecepatan
pengendapan sedimen lebih besar terhadap kecepatan pembentukan
ruang akomodasi pada suatu cekungan. Sehingga terbentuknya suatu
stacking pattern coarsening upward dengan kondisi muka air laut
mengalami regresi. Pola retrogradasi terbentuk saat kecepatan
pengendapan sedimen lebih kecil terhadap kecepatan pembentukan
ruang akomodasi pada suatu cekungan. Sehingga terbentuknya suatu
stacking pattern fining upward dengan kondisi muka air laut
mengalami transgresi. Kemudian, pola agradasi terbentuk saat
kecepatan pengendapan sedimen sama dengan kecepatan

44
pembentukan ruang akomodasi pada suatu cekungan. Sehingga
terbentuknya suatu stacking pattern interbeded dan pola perselingan
(interbeded) ini dapat berupa normal graded atau reverse graded.
Model asosiasi fasies kipas bawah laut (sub-marine fan) Walker dan
Mutti (1973) dikategorikan menjadi empat zona yaitu (Gambar
II.24):

1. Lower fan merupakan zona kipas bawah laut bagian luar dengan
suksesi vertikal berupa penebalan ke atas (thickening upward)
dengan stacking pattern berupa coarsening upward yang terdiri
atas klasik turbidit (classical turbidite).

2. Smooth portion of suprafan lobes merupakan zona kipas bawah


laut tengah bagian bawah dengan suksesi vertikal berupa
penebalan ke atas (thickening upward) pada bagian batupasir
dengan stacking pattern berupa coarsening upward dan terdiri
atas klasik turbidit (classical turbidites) yang berasosiasi dengan
fasies batupasir massif (massive sandstone).

3. Channeled portion of suprafan lobes merupakan zona kipas


bawah laut tengah bagian atas dengan suksesi vertikal berupa
penebalan ke atas (thickening upward) pada bagian batupasir
dengan stacking pattern berupa fining upward yang terdiri atas
pebbly sandstone dan massive sandstone yang mana terdapat
struktur sedimen lapisan bersusun (graded bedding) pada litologi
konglomerat.

4. Upper fan merupakan zona kipas bawah laut bagian atas dengan
suksesi vertikal berupa penebalan ke atas (thining upward) pada
bagian batupasir dengan bentuk butiran konglomerat dan
terdapatnya fasies konglomerat, debris flow dan slump. Stacking
pattern pada fasies ini berupa fining upward dan tidak terdapatnya
struktur sedimen pada fasies ini.

45
Gambar II. 24 Model Kipas Bawah Laut (Walker dan Mutti, 1973)

II.2.3.2. Model Fasies Sekuen Bouma (1962)

Mekanisme arus turbidit membentuk endapan turbidit yang


kemudian dapat dimodelkan dengan Sekuen Bouma (1962). Menurut
Middelton dan Hampton (1973) endapan turbidit terbentuk di zona
longsoran bagian lereng karena pengaruh turbidity current. Zona
longsoran tersebut membentuk turbidity current dan tertransportasi
dengan kondisi sedimen lepas karena kohesi antara butirannya dan
terendapkan di bagian dasar cekungan. Kemudian, Friedman dan
Sanders (1978) mengatakan arus turbidit merupakan arus pekat yang
dihasilkan oleh massa butiran sedimen yang berada di dalam media
aliran tersebut. Empat jenis arus densitas yang dikelompokkan
berdasarkan gerak relatif antara butiran dengan jarak dari sumber
(Middelton dan Hampton, 1973) (Gambar II.25):

1. Aliran butiran (grain flow) adalah aliran yang terbentuk ketika


butiran pada kondisi belum lepas dan bergerak saling
bersentuhan.

46
2. Aliran arus keruh (turbidity current) adalah aliran yang terbentuk
ketika butiran pada kondisi lepas dan dikontrol oleh media atau
fluida yang mengangkutnya.

3. Aliran rombakan (debris flow) adalah aliran yang terbentuk ketika


butiran kasar didukung oleh material sedimen yang lebih halus
sebagai massa dasar (matrix) dan media air.

4. Aliran sedimen terfluidasi (fluidized sediment flow) adalah aliran


yang terbentuk ketika butiran lepas didukung oleh fluida yang
terperas ke atas antara butiran dan butiran masih dalam kondisi
bersentuhan.

Gambar II. 25 Pola Struktur Sedimen Pada Endapan Turbidit (Boggs, 2006)

47
Terdapat lima interval pada Sekuen Bouma yang
menjelaskan skema mekanisme endapan turbidit (Bouma, 1962)
(Gambar II.26):

Gambar II. 26 Model Fasies Endapan Turbidit (Bouma, A. H., 1962)

1. Interval Ta lapisan masif dan bergradasi normal (massive sand


and normal graded) merupakan lapisan terbawah pada model
fasies ini dengan tekstur butirannya adalah pasiran kadang -
kadang, kerikilan atau kerakalan. Kondisi struktur sedimennya
umumnya masif dan bergradasi normal dari pasiran hingga
butiran. Kemudian, kondisi struktur lainnya minim terbentuk
karena proses pengendapan yang cepat tanpa transportasi traksi.

2. Interval Tb lapisan laminasi sejajar di bagian bawah (plane


parallel laminae) merupakan lapisan laminasi sejajar di bagian
bawah model fasies ini yang terbentuk akibat perselingan antara
batupasir dengan batulempung atau serpih dan dipengaruhi oleh
mekanisme transportasi traksi dari aliran atas di dataran dasar.

3. Interval Tc lapisan laminasi arus di bagian tengah (ripples, wavy,


climbing ripples and convoluted laminae) merupakan laminasi
arus yang terbentuk di bagian tengah model fasies ini yang
terbentuk karena adanya pengaruh arus turbidit dan membentuk
strukur sedimen riak arus, bergelombang atau membelit (ripples,
wavy or convoluted laminae).

48
4. Interval Td lapisan laminasi sejajar di bagian Atas (upper parallel
laminae) merupakan lapisan laminasi sejajar di bagian atas di
model fasies ini yang terbentuk karena adanya pengaruh arus
turbidit dan membentuk struktur laminasi pada perselingan antara
batupasir dengan batulempung atau serpih dan kenampakkan
bidang kontak sentuh dengan interval di bagian bawah terlihat
sangat jelas.

5. Interval Te pelitik (pellitic) merupakan interval dengan ukuran


butir sedimen berupa lempungan dan tidak terlihat jelas untuk
kenampakkan struktur sedimen karena pada interval ini material
pasir berkurang dan ukuran butirannya semakin menghalus.
Bidang kontak dengan interval di bagian bawah berangsur dan di
bagian atas interval ini terdapatnya suatu lapisan dengan
karakteristik napalan.

II.2.4. Pemodelan Penguburan (Burial Modelling)

Pemodelan pembebanan merupakan analisis yang bertujuan


untuk menggambarkan proses sejarah sedimentasi dan subdsiden sebuah
cekungan pada kondisi geologi karena kondisi penurunan atau subsiden
dengan faktor akumulasi sedimen, kompaksi, denudasi, perubahan
geodinamik, pengangkatan. Penerapan grafik pembebanan dapat
menginterpretasikan geologi sejarah suatu cekungan dengan data
ketebalan satuan geologi yang didapat dengan rekonstruksi data
penampang geologi. Kurva pembebanan diamati pada urutan lapisan
satuan geologi yang terakumulasi secara terus-menerus di suatu
cekungan. Rekonstruksi kurva pembebanan ini dapat mengetahui tingkat
faktor kematangan dan hubungan litologi yang terjadi akibat proses
sedimentasi selama waktu geologi (Gambar II.27). Pemodelan kurva
pengendapan ini membutuhkan suatu rekonstruksi data kedalaman setiap
urutan lapisan geologi dan analisis data geokimia untuk

49
menginterpretasikan karakteristik litologi sehingga dapat mengamati
potensi batuan induk di suatu cekungan daerah lokasi penelitian.

Gambar II. 27 Ilustrasi Pemodelan Sejarah Pembebanan (Burial History Modelling)


suatu Cekungan Sedimen (Pertamina, 2013)

II.2.5. Karakteristik Sampel Rembesan Hidrokarbon

Rembesan hidrokarbon yang terdapat di lapangan memiliki jenis


klasifikasi yang digunakan untuk mengetahui tipe rembesan tersebut.
Klasifikasi rembesan minyak menurut (Hunt, dkk., 1979) ditujukan untuk
menginterpretasikan tipe rembesan yang ada di lokasi penelitian (Tabel
II.4).
Tabel II. 4 Klasifikasi Tipe Rembesan Hidrokarbon (Hunt, dkk., 1979)

Keterdapatan rembesan hidrokarbon di lokasi penelitian dapat


diinterpretasikan berdasarkan kondisi geologi yang berpengaruh selama

50
skala waktu geologi berlangsung. Menurut Link (1952) rembesan
hidrokarbon dapat dibagi berdasarkan jenis kondisi geologi yang bekerja
(Tabel II.5).
Tabel II. 5 Klasifikasi Rembesan Minyak Berdasarkan Kondisi Geologi (Link,
1952)

II.2.6. Karakteristik Batuan Induk


II.2.6.1. Analisis Kuantitatif Material Organik

Analisis total karbon organik (TOC) merupakan metode


kuantitatif untuk menentukan persentase karbon organik yang
terendapkan di dalam batuan sedimen sebagai zat organik. Jenis
batuan induk dapat diketahui berdasarkan perbandingan nilai
persentase total karbon organik terhadap klasifikasi Peter dan Cassa
(1994) (Tabel II.6). Evaluasi pirolisis batuan induk merupakan
analisis dekomposisi material organik dengan metode termokimia
melalui proses pemanasan pada kondisi suhu tinggi dan minimnya
kandungan oksigen untuk menginterpretasikan karakteristik material
organik yang terkandung di dalam sampel batuan. S1 merupakan
kandungan total hidrokarbon bebas di dalam sampel yang tercapai
ketika suhu temperatur mencapai 2500C, S2 merupakan kandungan
total hidrokarbon yang dihasilkan ketika pirolisis material organik

51
untuk mengukur potensi pembentukan hidrokarbon dalam kerogen
ketika cracking pada suhu 5500C dan S3 merupakan kandungan total
karbon dioksida CO2 yang terbentuk saat pirolisis material organik di
dalam sampel.
Tabel II. 6 Tabel Klasifikasi Total Karbon Organik (Peters dan Cassa, 1994)

II.2.6.2. Analisis Kualitatif Material Organik

Metode analisis uji kualitatif bertujuan untuk menentukan


jenis material organik yang terkandung sebagai penentu karakteristik
hidrokarbon yang dihasilkan menggunakan nilai indeks hidrogen (HI).
Indeks hidrogen yang terkandung bertujuan untuk mengetahui tipe
kerogen (kerogen screening) batuan induk menggunakan metode
crossplotting antara indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) dan
perbandingan nilai indeks hidrogen (HI) dan suhu maksimum (Tmax).
Indikator kematangan suhu maksimum merupakan suhu pada kondisi
laju maksimum priolisis yang diperoleh untuk menentukan tingkat
kematangan hidrokarbon. Menurut Waples (1985) material organik
merupakan komponen yang terkandung di dalam batuan sedimen dan
tidak larut dalam pelarut organik. Menurut Brooks (1981) metode
kualitatif ini bertujuan untuk menentukan karakteristik batuan induk
pembentuk hidrokarbon dengan syarat kandungan material organik
yang cukup untuk menghasilkan hidrokarbon dengan tiga tipe yaitu:
oil prone, oil prone to gas prone (mix components) dan gas prone.
Kerogen merupakan material organik pembentuk hidrokarbon dengan
sifat tidak larut dalam pelarut organik dengan struktur yang tidak
teratur atau amorf. Kerogen yang menghasilkan hidrokarbon memiliki
tiga sumber utama yaitu: air laut dan air tawar (aquatic), darat
(terrestrial) dan reworked material untuk menghasilkan karakteristik

52
hidrokarbon yang berbeda. Berdasarkan jenis kerogen (Gambar
II.28) dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Kerogen Tipe Liptinit

a. Kandungan indeks oksigen (OI) rendah dan indeks hidrogen


(HI) tinggi karena pengaruh rantai karbon alifatik

b. Sumber material adalah Alga yaitu: botryococcus dan alga


laut (marine algae)

c. Potensi menghasilkan hidrokarbon

2. Kerogen Tipe Exinite

a. Kandungan indeks oksigen lebih tinggi dan indeks hidrogen


lebih rendah dari kerogen tipe liptinit karena pengaruh rantai
karbon alifatik, senyawa siklo alkana jenuh (saturated
napthene) dan senyawa karbon aromatik

b. Sumbaer material adalah tanaman membran yaitu: spora,


pollen, kutikula dan campuran sumber (mixed components)

c. Potensi menghasilkan hidrokarbon dengan tipe gas prone

d. Potensi untuk menghasilkan minyak bumi

e. Menghasilkan kondensat awal dan panas (thermal)

3. Kerogen Tipe Vitrinit

a. Kandungan indeks oksigen tinggi dan indeks hidrogen


rendah karena pengaruh komponen struktur senyawa kimia
berupa aromatik dengan rantai karbon alifatik yang
berhubungan terhadap fungsi oksigen

b. Sumber material adalah kayu (lignified)

c. Potensi untuk menghasilkan hidrokarbon tipe gas prone

d. Tidak berpotensi untuk menghasilkan minyak

4. Kerogen Tipe Inertinit

53
a. Struktur opak berwarna hitam

b. Sumber material adalah kayu (lignified)

c. Tidak berpotensi baik untuk menghasilkan minyak dan gas

Gambar II. 28 Jenis Kerogen Berdasarkan Material Organik (NExT, 2008)

II.2.6.3. Analisis Tingkat Kematangan Material Organik

Reflektansi vitrinit merupakan metode analisis untuk


mengetahui tingkat kematangan berdasarkan kekilapan dari material
organik. Intensitas sinar dipantulkan oleh material organik yang
merupakan hasil degredasi dari makhluk hidup yang diendapkan
dengan kondisi oksidasi (oxic) atau reduktif (anoxic). Reflektansi
vitrinit sangat erat bergantung terhadap proses diagenesis seperti:
diagenesis, katagenesis dan metagenesis. Proses diagenesis ini
merupakan suatu proses mengenai kesetimbangan pada saat proses
burial atau pembebanan oleh sedimen tua pada keadaan dangkal dan
biasanya belum mengalami pembatuan atau konsolidasi secara
sempurna. Proses ini terjadi di kedalaman interval yang dangkal
sekitar ratusan meter dan dengan faktor tekanan dan panas yang kecil
sehingga mengalami suatu proses perubahan temperatur yang sedikit.

54
Disamping faktor tekanan dan termal yang kecil maka agen utama
penentu faktor ini adalah aktivitas mirkoba untuk peruahan diagenesis
secara biokimia dengan enzim pengurai yang dimiliki oleh mikroba
tersebut.

Proses katagenesis merupakan proses perubahan pada sistem


kerogen dengan mendasarkan pada proses pemecahan molekul kecil
dari matriks kerogen. Molekul kecil berupa hidrokarbon sedangkan
molekul besar berupa senyawa heterogen. Molekuk ini umumnya
berupa bitumen dengan sifat mobilitas yang tinggi dan merupakan
prazat untuk membentuk hidrokarbon. Proses katagenesis terjadi di
suhu 500C hingga 1500C. proses katagenesis didasarkan pada
peningkatan suhu dan tekanan yang besar dan terdapat faktor tektonik
juga sebagai pendukung faktor suhu dan tekanan tersebut.
Metagenesis merupakan proses perubahan dengan mendasarkan
peningkatan suhu dan tekanan yang tinggi dengan konidisi kehilangan
air pada lapisan dan menghasilkan senyawa utama gas metana.
Komposisi material organik yang terbentuk adalah metana dan sisa
karbon material karbon. Kemudian, penentuan tingkat kematangan
dapat dianalisis berdasarkan suhu maksimum (T0max) yang
merupakan suhu maksimum pada saat laju maksimum pirolisi untuk
menentukan kematangan. Kedua parameter ini saling berkaitan karena
suhu maksimum akan meningkatkan kilap atau reflektansi dari
material organik (Tabel II.7). Suhu maksimum merupakan parameter
tingkat kematangan berdasarkan suhu maksimum untuk memecahkan
bahan organik selama pemanasan yang dihasilkan dari kerogen di
dalam bantuan induk. Suhu maskimum sebagai faktor pendukung
untuk menentukan tingkat kematangan tetapi bergantung kepada jenis
bahan organik yang terkandung di dalam batuan sehingga saling
berkaitan terhadap parameter reflektansi vitrinit (vitrinite reflectance).

55
Tabel II. 7 Tabel Parameter Tingkat Kematangan Berdasarkan Reflektansi
Vitrinit (VR) dan Suhu Maksmimum (T0Max)

II.2.7. Komponen Senyawa Geokimia Biomarker


II.2.7.1. Triterpana

Triterpana merupakan suatu senyawa turunan organik yang


berasal dari senyawa isoprena dan membentuk suatu komponen
senyawa hidrokarbon. Senyawa triterpana memiliki ikatan struktur
cincin dengan jumlah tiga hingga enam yang saling berikatan dengan
umumnya memiliki lima buah cincin pada ikatan tersebut. Senyawa
terpana terbentuk dari gabungan senyawa isoprena dengan faktor
reaksi hidrogenasi membentuk ikatan rangkap secara sederhana
berupa monoterpana (Gambar II.29).

56
Gambar II. 29 Struktur Senyawa Monoterpena

Senyawa terpana trisiklik (TT) (Gambar II.30) digunakan


sebagai penentu lingkungan laut (marine) dan darat (terrestrial) yang
berasal dari alga, bakteri dan tumbuhan tingkat tinggi (higher plants).
Senyawa ini hadir lebih sedikit oleh bakteri yang menghasilkan
struktur pentasiklik oleh bakteri dan digunakan sebagai penanda
lingkungan pengendapan dengan kondisi pengaruh salinitas.

Gambar II. 30 Struktur Senyawa Terpana Trisiklik

II.2.7.1.1. Hopana

Hopanoid merupakan senyawa terpenoid dasar yang


merupakan turunan dari triterpana dan termasuk ke dalam
golongan triterpenoid yang mana lipid tahan terhadap reaksi
saponifikasi dan keadaan senyawa ini berlimpah pada jaringan
tumbuhan dan hewan. Hopana memiliki rantai pentasiklik dari
sintesis hopanoid (Gambar II.31) yang berasal dari
bakteriohopanepolyols melalui proses degradasi diagenetik

57
dan pematangan termal yang merupakan fosil molekuler lipid
bakteri. Reaksi siklisasi squalane pada hopanoid membentuk
kerangka hopana dengan struktur empat cincin sikloheksana
dan satu cincin siklopentana. Fungsi hopanoid digunakan
untuk penentu tingkat kematangan rasio biomarker yang stabil
dan kurang stabil, korelasi material sedimen organik pada
kondisi kematangan untuk menghasilkan hidrokarbon dan
penentu sumber asal fasies material organik yang berupa
bakteri, alga pada lingkungan terestrial. Di samping itu,
senyawa ini digunakan sebagai indikator aktif untuk
mengidentifikasi sumber rembesan minyak.

Gambar II. 31 Struktur Senyawa Hopana

II.2.7.1.2. Des-A-Lupana

Menurut Langenheim (1994) komponen senyawa


lilin yang disintesis oleh tumbuhan tingkat tinggi (higher
plants) angiospermae menghasilkan senyawa triterpenoid
pentasiklik dengan komponen berupa lupana (Gambar II.32),
oleanana dan ursana. Senyawa des-A-triterpenoid merupakan
senyawa turunan dari proses diagenesis dan degradasi struktur
cincin triterpenoid (Trendel, dkk., 1989) yang dimediasi oleh
aktivitas mikroorganisme pada kondisi anoksik (Lohmann,
dkk., 1990). Senyawa lipid lilin pada tanaman seperti alkana
berguna sebagai indikator komposisi vegetasi lokal untuk
proses fotosintesis karena memiliki atom karbon stabil δ13C
pada proses fotosintesis yang melibatkan senyawa karbon

58
dioksida (CO2) melalui siklus C3 (Siklus Calvin - Benson) atau
siklus C4 (Siklus Hatch - Slack).

Korelasi komponen senyawa antara des-A-oleanana,


des-A-lupana dan des-A-ursana mengindikasikan kesamaan
sumber asal senyawa des-A-triterpenoid. Material tumbuhan
tingkat tinggi (higher plants) sangat dominan berasal dari
proses pencucian puing - puing (debris washed-in) tanaman
darat (terrestrial plants), ketidakhadiran suplai material dari
sungai, keterbatasan jumlah lapisan lilin dari daun yang
diendapkan dari udara dan hampir tidak terdapat makrofita air
yang muncul dan terendam di dalamnya karena pengaruh dari
dinding kawah danau yang curam pada bagian bawah dan atas
permukaan (Sinninghe Damste, dkk., 2011). Senyawa
hidrokarbon des-A-triterpenoid yang hadir terendapkan di
dalam lapisan sedimen dapat diindikasikan hasil dari proses
degradasi aktivitas mikroba triterpenoid pada kondisi anoksik
atau reduksi dan hasil proses pencucian degdradasi mikroba
dari tanah anoksik. Proses degradasi diagenesis senyawa
triterpenoid teroksigenasi melibatkan senyawa aromatik pada
reaksi aromatisasi dan faktor pengaruh fotokomia atau
fotometrik (Corbet, 1980; Baas, 1985).

Gambar II. 32 Struktur Senyawa Lupana

II.2.7.1.3. Moretana

Moretana merupakan senyawa yang digunakan untuk


menginterpretasi fasies anorganik. Menurut Mann, dkk. (1987)

59
menyatakan bahwa senyawa moretana berlimpah dalam
material organik yang berasal dari daratan berupa tumbuhan
atau mikroorganisme dengan lingkungan pengendapan
tertentu dan kelimpahan yang sedikit dalam material karbonat
(Connan, dkk., 1986) (Gambar II.33).

Gambar II. 33 Struktur Senyawa Hopana

II.2.7.1.4. Oleanana

Olenana merupakan senyawa triterpana yang berasal


dari tumbuhan terestrial angiospermae dan mikroorganisme
(Gambar II.34). Menurut Mann, dkk. (1987) senyawa ini di
dasar danau dan ditemukan pada marine shale di Indonesia
(Phoa dan Samuel, 1986). Keberadaan senyawa ini di dalam
batuan sedimen menunjukkan umur kala Tersier atau Kapur
Akhir. Senyawa ini dapat diperkirakan berasal dari turunan
varietas material terestrial (terrestrial precursor) tanaman
angiospermae yang menghasilkan resin (Ekweozor dan Udo,
1988). Ketika, senyawa ini berada di lingkungan laut maka
dapat diindikasikan adanya proses transportasi sumber
sedimen yang berasal dari terestrial. Kehadiran tanaman
angiospermae berkembang di umur kala Kapur Akhir dan
ketidakterdapatan senyawa oleanana pada umur kala Tersier
dikarenakan senyawa ini hanya terdapat pada tumbuhan
terrestrial dengan famili tertentu. Keterdapatan senyawa
oleanana di dasar danau evaporit berasal dari tanaman
terestrial di daerah China (Brassell, dkk., 1988). Kemudian,

60
senyawa oleanana terdapat di Formasi Monterey daerah
California dengan umur Kala Miosen yang diindikasikan
berasal dari zona pelagik (Lillis, 1988).

Gambar II. 34 Struktur Senyawa Oleanana


II.2.7.2. Sterana

Sterana merupakan suatu senyawa turunan organik yang


berasal dari senyawa isoprena dan membentuk suatu komponen
senyawa hidrokarbon. Struktur ini dibentuk oleh empat unit senyawa
isoprena yang berikatan dengan sistem penyusunan rantai ikatan
karbon dengan jumlah ikatan empat cincin yang mengikat senyawa
karbon. Menurut Peakman, dkk. (1986) pada saat proses diagenesis
senyawa ini dapat bereaksi terhadap aktivitas bakteri. Jumlah ikatan
karbon dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti material
organik, biodegradasi, kematangan termal dan proses diagenesis.
II.2.7.2.1. C27-C29 Sterana regular

Menurut Waples (1985) untuk sebagian besar alkana


normal dengan memiliki jumlah karbon 27 hingga 29
(Gambar II.35) untuk mengidentifikasi sumber fasies alga
laut, tumbuhan tingkat tinggi dan beberapa material organik
transisi yang memproduksi alkana normal. Distribusi alkana
normal yang memiliki jumlah karbon ganjil atau genap
merupakan kontribusi dari alkana normal baik dari arah darat

61
maupun laut sehingga bentuk distribusi alkana normal
merefleksikan campuran antara keduanya. Huang dan
Meinschein (1979) memberikan bukti pertama bahwa proporsi
relatif sterol reguler C27 - C29 dalam organisme hidup terkait
dengan lingkungan tertentu dan menyarankan bahwa sterana
dalam sedimen dapat memberikan informasi lingkungan
pengendapan.

Gambar II. 35 Struktur Ikatan Komponen Sterol Reguler C27-C29

Heptakosana merupakan senyawa organik golongan


alkana dengan jenis sterana yang memiliki jumlah rantai
karbon 27. Senyawa ini memiliki cabang asiklik dan
merupakan molekul lipid hidrokarbon dengan jenis hidrofobik
dan digunakan untuk menentukan retensi indeks (RI). Sterana
dengan karbon 27 diinterpretasikan berasal dari sumber fasies
material organik dengan komponen material organisme laut
atau plankton yang terendapkan pada lingkungan laut terbuka
(open marine). Kemudian, senyawa sterana dengan jumlah
karbon 28 merupakan suatu senyawa yang digunakan untuk
mendidentifikasikan sumber fasies material organik berasal
dari zona transisi berupa organisme darat dan beberapa
material organisme laut seperti diatom dan bryophyates yang
terendapkan di lingkungan pengendapan lakustrin, estuarin,
teluk hingga laut terbuka. Setelah itu, sterana dengan jumlah
karbon 29 merupakan senyawa yang digunakan untuk
mengidentifikasikan sumber fasies material organik berasal
dari tumbuhan tingkat tinggi (higher plants) yang diendapkan
di lingkungan darat (terrestrial).

62
II.2.7.2.2. C30 Sterana

Sterana berasal dari sterol yang ditemukan di


sebagian besar tumbuhan dan alga tingkat tinggi tetapi jarang
atau tidak ada dalam organisme prokariotik (Volkman, 1988).
Empat prekursor sterol utama yang mengandung C27, C28, C29,
dan C30 atom karbon telah diidentifikasi dalam berbagai
organisme fotosintetik (Gambar II.36).

Gambar II. 36 Struktur Ikatan Komponen Sterol Reguler C30

II.2.7.2.3. Diasterana

Diasterana berbeda dari sterana reguler yang mana


senyawa ini memiliki gugus metil yang terikat pada C-5 dan
C-14 subtitusi ikatan atom hidrogen dan memiliki hidrogen
yang terikat pada C-10 dan C-13 subtitusi ikatan gugus metil.
Transformasi dari sterana reguler menjadi diasterana diyakini
terjadi selama diagenesis dalam kondisi tertentu dan selama
katagenesis. Diasterana tampaknya paling mudah terbentuk
dalam sedimen klastik di mana katalis tanah liat dapat berperan
dalam pembentukannya dari sterana lain. Oleh karena itu
sering digunakan untuk membedakan fasies karbonat
(diasterana rendah) dari yang klastik (Gambar II.37).

63
Gambar II. 37 Struktur Komponen Senyawa Diasterana

II.2.8. Bagan Sistem Waktu Minyak dan Gas Bumi (Petroleum


System Event Chart)

Bagan sistem waktu minyak dan gas bumi (petroleu system event
chart) merupakan analisis potensi indicator hidrokarbon yang dilakukan
untuk mengetahui beberapa elemen yang mempengaruhi tingkat resiko
yang perlu dievaluasi dalam suatu kegiatan eksplorasi dengan
memishkan beberapa target seperti play fairway dan proses (Pratsch,
1986 dan Hao, dkk., 2007). Analisis ini berintegrasi terhadap pemodelan
cekungan untuk memprediksi kegiatan pengembangan lapangan sumur
baru untuk mengetahui tingkat potensi yang dihasilkan. Sistem analisis
yang dilakukan memiliki target pada play fairway dan proses (Gambar
II.38). Analisis play fairway difokuskan pada sumber batuan induk
(source rock), batuan waduk (reservoir rock), batuan penyekat (seal
rock), batuan pembeban (overburden rock).

Setelah dinyatakan prospek saat identifikasi play fairway


dilakukan analisis proses difokuskan pada waktu jebakan (trap timing),
generasi hidrokarbon (hydrocarbon generated), migrasi dan akumulasi
(migration and accumulation), penyedian (preservation) untuk
mengevaluasi geologi prosspek (geological prospect) secara kritis dalam
kegiatan eksplorasi hidrokarbon. Bagan sistem waktu minyak dan gas
bumi (petroleum system event chart) berguna untuk meminimalisir
tingkat resiko kritis kegagalan dan meningkatkan peluang keberhasilan
dalam kegiatan eksplorasi. Data tambahan berupa analisis kecepatan
sedimentasi (sedimentation rate) digunakan untuk memperkirakan jenis

64
waktu keceptanan saat proses sedimentasi berlangsung secara geologi
dan analisis geokimia ditunjukkan untuk menganalisis karakteristik
batuan induk dan rembesan minyak dan gas sehingga kualitas dari
hidrokarbon di daerah penelitian dapat ditentukan.

Gambar II. 38 Bagan Sistem Waktu Minyak dan Gas Bumi (Petroleum System Event
Chart) yang digunakan untuk mempresentasikan Play Fairway dan Proses pada
Cekungan Hidrokarbon (Evenick, Jonathan C. 2022)

65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada penulis dengan cara pengamatan


kualitatif dan kuantitatif. Penulis melakukan studi analisis daerah penelitian dari
beberapa publikasi ilmiah dan peta geologi daerah. Kemudian, dilakukan analisis
laboratorium berdasarkan sampel data lapangan yang diperoleh meliputi analisis
petrografi, analisis biostratigrafi, analisis struktur geologi, analisis geokimia
minyak dan gas dan analisis stratigrafi. Setelah itu, analisis deskriptif digunakan
untuk pembuatan peta rencana lintasan lokasi pengamatan, peta geologi, peta
orientasi struktur geologi dan pengamatan stratigrafi. Di samping itu, pengambilan
sampel rembesan minyak dan gas yang akan ditentukan sumber fasies material
organik yang terkandung. Tahapan kerja pada penelitian ini dapat diurutkan
berdasarkan proses pengerjaan di bawah ini:

1. Tahapan persiapan dan perencanaan penelitian

2. Tahapan kegiatan penelitian daerah lokasi

3. Pengolahan dan analisis data yang diperoleh

4. Penyusunan laporan dan peta

Secara umum tahapan persiapan meliputi studi literatur daerah penelitian


berupa publikasi dan peta geologi lembar daerah tersebut. Kemudian, tahapan
perencanaan dilakukan dengan pengamatan interpretasi penginderaan jarak jauh
menggunakan software google earth dan ArcGis yang kemudian dilakukan
pembuatan peta dasar topografi untuk penentuan lintasan geologi yang akan dituju
pada saat pengambilan data di lokasi penelitian tersebut. Tahap penelitian
lapangan dilakukan dengan pemetaan geologi selama beberapa hari untuk
merekam data geologi dan pengambila sampel batuan di lintasan geologi yang
telah ditentukan. Di samping itu, penulis melakukan pengambilan sampel berupa
sampel batuan dan sampel rembesan minyak dan gas di beberapa titik lokasi yang
ditentukan. Tahapan pengolahan data didasarkan pada beberapa analisis seperti:
analisis petrografi yang bertujuan untuk mengidentifikasi satuan litologi, analisis
biostratigrafi untuk menentukan umur satuan batuan dan paleobatimetri, analisis

66
struktur geologi yang digunakan untuk menentukan zona struktur di daerah
penelitian yang diduga sebagai faktor adanya rembesan minyak, analisis stratigrafi
untuk menentukan mekanisme pengendapan pada pembentukan sistem minyak
dan gas yang aktif dan analisis geokimia migas untuk menentukan sumber fasies
material organik minyak dan menginterpretasi asal batuan sumber hidrokarbon di
lokasi penelitian tersebut. Setelah itu, penulis melakukan analisis korelasi
terhadap mekanisme pengendapan batuan dan karakteristik rembesan minyak dan
gas dan dilanjutkan pada tahap penyusunan laporan dan pembuatan peta - peta
yang dibutuhkan dalam penelitian ini (Gambar III.1).

67
Gambar III. 1 Diagram Alir Metode Penelitian (Giovany, Yarra Sutadiwiria dan Dewi Syavitri., 2023)

68
III.2. Jadwal Penelitian

Penulis merancangkan tabel kegiatan secara detil untuk menyelesaikan


kegiatan penelitian agar tepat waktu dan teratur. Kegiatan persiapan dilakukan
dengan pembelajaran studi pustaka dan referensi yang terkait di lokasi penelitian.
Kegiatan pengumpulan data dilakukan untuk memastikan seluruh data yang
dibutuhkan tersusun dengan rapi dan detil. Kegiatan analisis dan interpretasi data
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara mekanisme pengendapan dan
keterdapatan rembesan minyak berdasarkan data yang ada secara geologi. Penulis
melakukan penyusunan laporan untuk mengakumulasi data referensi yang
digunakan, sampel yang telah dianalisis serta pembuatan data dan peta yang
dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini (Tabel III.1).
Tabel III. 1 Jadwal Kegiatan Penelitian (Giovany, 2022)

JADWAL KEGIATAN PENELITIAN


KEGIATAN BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5
PERSIAPAN AWAL
PENGUMPULAN DATA
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
PENYUSUNAN LAPORAN

III.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja pada penelitian ini terdiri dari:

1. Studi literatur dilakukan dengan pengumpulan beberapa data peneliti


terdahulu dan referensi publikasi karya ilmiah pada daerah penelitian,
konsep dasar teori yang digunakan dan pembuatan peta lokasi rencana
lintasan untuk pengambilan data lapangan dengan baik.

2. Pengumpulan data dilakukan dengan kegiatan pemetaan pada lokasi


area kavling dengan metode pengambilan data singkapan,
pengambilan sampel batuan, pencatatan data struktur geologi,
pembuatan tabel kolom stratigrafi dan pengambilan sampel rembesan
minyak dan batuan yang mengandung rembesan. Kemudian, analisis
ekstraksi batuan dan rembesan minyak dilakukan di laboratorium
geokimia migas di PT. GEOSERVICES. Hasil analisis ini dapat
diinterpretasikan dan dikorelasikan terhadap data lapangan dan
beberapa referensi yang telah diterbitkan.

69
3. Proses analisis data dilakukan dengan uji laboratorium untuk
penentuan satuan litologi, umur relatif batuan dan paleobatimetri,
analisis geostudio struktur geologi, mekanisme pengendapan geologi
yang terjadi dan beberapa interpretasi data geokimia dan fragmentasi
komponen senyawa kimia yang terkandung pada sampel hidrokarbon
tersebut.

4. Hubungan data menggunakan metode kualitatif untuk menentukan


korelasi antara rekonstruksi geologi terhadap laju mekanisme
pengendapan yang terjadi untuk mengetahui sistem minyak dan gas
yang aktif serta menentukan karakteristik batuan induk dan rembesan
minyak di sub-Cekungan Banyumas.

5. Laporan yang dihasilkan berupa interpretasi terhadap sejarah


mekanisme geologi yang terjadi dan karakteristik batuan induk dan
rembesan minyak untuk menentukan potensi hidrokarbon dan sistem
minyak dan gas yang aktif di sub-Cekungan Banyumas.

III.4. Analisis Laboratorium

Karakteristik batuan induk dan rembesan minyak dapat dikorelasikan


terhadap fasies mekanisme pengendapan yang terbentuk di sub-Cekungan
Banyumas sebagai potensi batuan induk. Kemudian, dilakukan analisis
laboratorium petrografi dan mikropaleontologi untuk mengetahui litostratigrafi
dan umur batuan tersebut. Analisis struktur geologi dilakukan untuk
merekonstruksi peta geologi sehingga dapat diinterpretasikan adanya hubungan
antara keadaan geologi terhadap potensi rembesan minyak dangkal yang ada di
daerah penelitian. Analisis geokimia dilakukan untuk mengetahui karakteristik
batuan induk dan rembesan minyak dan dilakukan korelasi terhadap kondisi
geologi pada daerah penelitian. Sehingga dapat diinterpretasikan zona potensi
rembesan minyak dan gas.
III.4.1. Analisis Sayatan Tipis Petrografi

Pengamatan analisis sayatan tipis petrografi menggunakan


mikroskop polarisasi dengan perbesaran 4x untuk mengetahui komposisi
mineral penyusun secara mikroskopik. Kemudian, dilakukan penamaan

70
batuan secara spesifik dan akurat berdasarkan klasifikasi batuan.
Pengambilan sampel batuan diambil sebanyak dua sampel pada lapisan
atas dan bawah di setiap satuan litologi yang sudah diinterpretasikan
berdasarkan analisis lapangan. Kemudian, sampel dilakukan preparasi
sayatan tipis untuk dianalisis. Identifikasi pemerian batuan
diinterpretasikan berdasarkan kandungan fragmen, massa dasar dan
semen batuan yang terlihat pada sayatan tipis tersebut.

III.4.2. Analisis Mikropaleontologi

Pengamatan analisis mikropaleontologi untuk mengidentifikasi


umur relatif batuan. Umur relatif batuan diperkirakan berdasarkan
identifikasi fosil foraminifera kecil melalui metode pencucian hingga
picking. Penentuan umur relatif didasarkan pada pembuatan batasan
korelasi litologi secara biostratigrafi pada satuan geologi. Kemudian,
analisis ini dilakukan untuk mengetahui pola batimetri pada lingkungan
pengendapan.

Sampel yang digunakan adalah batuan dengan ukuran butir halus


hingga lempung dengan karakteristik batuan relatif lunak untuk
memudahkan dalam proses pemisahan fosil. Analisis ini dilakukan pada
sampel batuan lapisan atas dan lapisan bawah pada setiap satuan litologi.
Jumlah sampel yang dianalisis sebanyak 8 sampel pada batas atas, tengah
dan bawah di satuan litologi yang telah ditentukan. Litologi yang
dianalisis yaitu batuan dengan butiran halus hingga lempung dengan sifat
karbonatan. Dengan cara kerja sebagai berikut:

1. Batuan ditumbuk dengan palu geologi hingga berukuran kerikil


dengan diameter 0.25 mm – 4 mm

2. Dilakukan pencucian sampel batuan dengan air yang mengalir


hingga larutan terlihat bersih pada piala gelas

71
3. Dituangkan larutan H2O2 (hidrogen peroksida) dengan konsentrasi
10% - 15% sesuai yang dibutuhkan sehingga sampel dalam kondisi
terendam.

4. Diamkan sampel selama satu hingga dua hari hingga kondisi butiran
batuan terlepas dan sampel sudah tidak bereaksi lagi dengan larutan
H2O2

5. Dibilas sampel dengan air yang mengalir hingga bersih

6. Dikeringkan sampel dengan suhu 900C – 1000C hingga kondisi


sampel dalam keadaan kering

7. Dilakukan pengayakan sampel hingga didapatkan butiran halus


untuk memudahkan dalam identifikasi fosil.

8. Pengamatan fosil menggunakan mikroskopo cahaya (Gambar III.2)

Gambar III. 2 Tahapan Analisis Mikropaleontologi


III.4.3. Analisis Struktur Geologi

Pengamatan analisis struktur geologi didasarkan pada pengambil


data lapangan berupa nilai bidang sesar dan data bidang kekar di lokasi
pengamatan. Pengambilan data bidang kekar dilakukan di beberapa titik

72
lokasi pengamatan pada peta rencana lintasan yang diperkirakan adanya
orientasi kelurusan pada lokasi daerah penelitian. Kemudian, dilakukan
interpretasi dengan analisis geostudio menggunakan software QGIS dan
ArcMap untuk merekonstruksi orientasi kelurusan dan arah tegasan gaya
utama yang bekerja di lokasi penelitian tersebut. Setelah itu, data bidang
kekar diolah menggunakan software faultkin untuk menentukan
penamaan jenis sesar berdasarkan klasifikasi sesar oleh Rickard, 1972
(Gambar III.3).

Gambar III. 3 Tahapan Analisis Struktur Geologi


III.4.4. Analisis Mekanisme Pengendapan

Pengamatan mekanisme pengendapan dilakukan dengan


pembuatan peta rencana lintasan. Kemudian, dilakukan pengambilan
data singkapan lapangan di titik lokasi tersebut. Setelah itu, diamati
perubahan vertikal ukuran butir setiap singkapan dengan perkiraan
dimensi singkapan. Pembuatan kolom stratigrafi gabungan dilakukan
dengan beberapa data lokasi singkapan yang dijadikan satu pada rencana
lintasan tersebut. Pengamatan perubahan gradual secara suksesi vertikal
dilakukan dengan data tambahan struktur sedimen yang kemudian

73
dianalisis dengan klasifikasi mekanisme pengendapan oleh Walker
(1978) dan Bouma (1962).

III.4.5. Analisis Geokimia


III.4.5.1. Total Organik Karbon (TOC)

Pengamatan analisis total organik karbon dilakukan dengan


pengambilan sampel batuan yang mewakili di setiap satuan geologi
untuk mengetahui potensi material organik yang terkandung di
batuan pada daerah penelitian. Jumlah sampel yang dianalisis
terdapat 8 sampel yang mana 3 sampel yang mewakili Formasi
Halang Tmph, 3 sampel yang mewakili Formasi Halang Tmhs dan
2 sampel yang mewakili Formasi Rambatan Tmr. Dengan cara
kerja sebagai berikut (Gambar. III.4):

1. Sampel batuan ditumbuk dengan palu geologi berukuran 0.25


mm

2. Sampel batuan dikeringkan di oven dengan suhu 1000C untuk


memastikan sampel bebas dari hidrat (H2O)

3. Sampel dihaluskan kembali menggunakan alat mortar grinder


RM Retsh dengan kecepatan 40 rpm - 60 rpm dan waktu 15
menit - 20 menit hingga sampel halus merata

4. Sampel dilakukan pengayakan dengan ayakan 0.0125 mm -


0.0063 mm

5. Sampel ditimbang seberat ± 0.2500 gram di tempat sampel

6. Sampel ditambahkan pereaksi com-cat accelator seberat ±


0.7500 gram

7. Sampel diaduk hingga tercampur merata

8. Sampel dianalisis menggunakan alat TOC (Total Organic


Carbon) LECO

9. Pembacaan nilai disajikan dalam bentuk data

74
Gambar III. 4 Tahapan Analisis TOC (Total Organic Carbon)

III.4.5.2. Reflektansi Vitrinit (VR)

Pengamatan analisis reklektansi vitrinit bertujuan untuk


menentukan tingkat kematangan material organik suatu sampel.
Analisis ini dilakukan pada sampel yang memiliki nilai Total
Organik Karbon (TOC) di atas 0.5 dikarenakan sampel yang
dianalisis harus terbukti memiliki kandungan material organik
karbon. Sampel yang dianalisis dituju pada lokasi pengamatan LP
11 karena memiliki nilai Total Organik Karbon (TOC) sebesar
0.64. Dengan cara kerja sebagai berikut (Foto. III.1) :

1. Mikroskop vitrinit dilakukan kalibrasi

2. Sampel diletakkan di tabung kecil

3. Keringkan sampel di dalam oven dengan suhu 400C - 500C

4. Sampel diletakkan di polished block yang berisi resin dan


katalis

5. Tunggu sampel hingga kering

6. Ratakan dan poles sampel dengan alat penekan grinder


polisher pada permukaan sampel vitrinit

75
7. Proses pemerataan sampel digunakan sand paper grit dari
paling kasar hingga halus dengan nomor 320, 400, 600 dan
1200 selama masing - masing sand paper 72 menit

8. Poleskan alumina miropolish powder dengan ukuran 0.3 mm


dan 50 mm selama 5 menit

9. Sampel dimasukkan ke dalam alat ultrasonic selama 30 menit


untuk mengeluarkan alumina micropolish powder sisa yang
menempel pada sampel

10. Sampel diamati menggunakan mikroskop LEICA DM 4500 P


LED untuk mengamati reflektansi vitrinit

11. Catat nilai reflektansi vitrinit rata – rata


III.4.5.3. Tipe Kerogen (Kerogen Screening)

Pengamatan analisis tipe kerogen dilakukan setelah sampel


dianalisis reflektansi vitrinit. Analisis ini bertujuan untuk
menentukan tipe karakteristik material organik yang terkandung di
dalam sampel. Dengan cara kerja sebagai berikut (Foto. III.1) :

1. Sampel hand specimen dicuci dan ditumbuk kemudian


diletakkan di dalam gelas plastik sebanyak ± 50 gram

2. Sampel ditambahkan pereaksi HCl 10% sebanyak ± 50 ml -


150 ml

3. Sampel diaduk hingga larutan jernih

4. Sampel didiamkan sekitar 1 - 2 jam untuk melarutkan unsur


karbonat

5. Larutan HCl 10% dibuang hingga menyisihkan sampel

6. Tambahkan larutan aquades ke dalam sampel

7. Diamkan sampel selama ± 1 jam untuk menurunkan kadar


asam pada sampel

8. Larutan aquades dibuang hingga menyisikan sampel

76
9. Tambahkan larutan asam HF 55% sebanyak ± 50 ml - 150 ml

10. Sampel didiamkan sekitar ± 15 jam untuk melarutkan unsur


unsur silika

11. Larutan HF 55% dibuang hingga menyisihkan sampel

12. Tambahkan larutan aquades ke dalam sampel dan kemudian


dibuang

13. Tambahkan pereaksi HCl 10% untuk melarutkan unsur


karbonat dan kemudian dibuang

14. Tambahkan larutan aquades untuk menetralkan sampel

15. Sampel dipindahkan ke tabung

16. Sampel dimasukkan ke dalam alat centrifugal beberapa menit

17. Kerogen pada sampel akan terletak di bagian bawah tabung

18. Letakkan kerogen pada slide glass menggunakan pipet dengan


PVA

19. Rekatkan slide glass dengan lem dan ditutupi dengan cover
glass

20. Sampel dipanaskan dengan hot plat beberapa menit untuk


memastikan kondisi slide glass rapat

21. Sampel siap dilakukan analisis menggunakan mikroskop


LEICA DM 4500P LED

77
Foto III. 1 Alat Untuk Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen

III.4.5.4. Rock - Eval Pyrolysis (REP)

Pengamatan analisis rock - eval pyrolisis dilakukan setelah


sampel dianalisis reflektansi vitrinit. Analisis ini bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik material organik, menghitung total
karbon organik, menghitung kuantifikasi potensi batuan induk,
mengevaluasi perubahan suhu selama hidrokarbon terbentuk.
Dengan cara kerja sebagai berikut (Foto. III.2) :

1. Lakukan kalibrasi alat Rock-Eval II dengan standar

2. Analisis alat menggunakan standar dan blank

3. Timbang sampel di dalam alat crucible

4. Kemudian, sampel ditempatkan ke dalam plat

5. Sampel yang dianalisis dengan alat Rock-Eval II


menggunakan carrier gas (H2) dan dibagi dua oleh splitter

6. Sampel yang dihitung S1, S2 dan Tmaks pada sampel


dialirkan ke Flame Ionization Detector (FID) menggunakan
aliran carrier gas (H2) dan compressed air untuk dihitung

78
7. Sampel yang dihitung S3 dialirkan oleh gas H2 ke Thermal
Conductivity Detector (TCD) untuk dihitung

8. Sampel diamati dengan hasil analisis berupa print out


pyrogram

Foto III. 2 Alat Untuk Analisis REP (Rock - Eval Pyrolysis) (Gheamarsa, 2015)

III.4.5.5. Kromatografi Gas (GC) dan Kromatografi Gas dan


Spektrum Massa (GCMS)

Pengamatan analisis kromatografi gas menggunakan GC


(Gas Chromatography) dan GC-MS (Gas Chromatography and
Spectroscopy Mass) dilakukan pada tahapan akhir. Analisis ini
bertujuan untuk mengidentifikasi komponen fraksi hidrokarbon
yang terkandung di dalam sampel untuk menentukan sumber fasies
material organik pembentuk hidrokarbon tersebut. Dengan cara
kerja sebagai berikut (Foto. III.3) :

1. Kalibrasi alat GC (Gas Chromatography) dan GCMS (Gas


Chromatography and Spectroscopy Mass)

2. Sampel rembesan minyak dilakukan ektraksi untuk


mendapatkan komponen minyak murni

3. Sampel dilakukan preparasi dan diletakkan ke dalam tabung


vial

79
4. Sampel diinjeksikan ke dalam alat GC (Gas
Chromatography) dan GCMS (Gas Chromatography and
Spectrum Mass)

5. Sampel dianlisis ± 40 menit

6. Sampel sudah selesai dianalisis dan hasil analisis berupa


grafik dan fragmentasi hidrokarbon

Foto III. 3 Alat Untuk Analisis Fraksi Hidrokarbon (GC dan GC-MS)

80
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Pengamatan Data Lapangan Lokasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan secara pemetaan daerah lokasi kavling dengan


ukuran 2 km x 2.5 km dan skala 1:12.500 pada koordinat 7029'30'' - 7031'0'' LS
dan 108059'30'' - 10900'30'' BT di sub-Cekungan Banyumas di daerah Jawa
Tengah bagian selatan (Lampiran 1). Ukuran lokasi penelitian dibuat
berdasarkan keterdapatan titik rembesan hidrokarbon (spot of oil seepage) yang
ada di permukaan. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan lokasi penelitian
ini mencakup tiga formasi batuan yaitu: Formasi Rambatan (Tmr), Anggota
Batupasir Formasi Halang (Tmhs) dan Formasi Halang (Tmph). Pencatatan data
litologi dilakukan dengan mekanisme pembuatan lintasan (traverse) di sepanjang
sungai dan pengambilan beberapa sampel untuk dianalisis di laboratorium. Lokasi
penelitian memiliki ketinggian kontur sekitar 50m hingga 300m sehingga
pengambilan data tidak cukup sulit untuk dilakukan. Titik rembesan hidrokarbon
(oil seepage) berada di lokasi penelitian LP 1 dan LP 33 dan titik lokasi singkapan
batuan yang diduga sebagai batuan induk (source rock) di LP 11 (Gambar IV.1).

81
Gambar IV. 1 Kondisi Lokasi Penelitian Berdasarkan Titik Pada Peta

Rembesan hidrokarbon di lokasi penelitian muncul melalui rekahan batuan


di batupasir dan mengalir melalui media aliran sungai. Kehadiran rembesan ini
menimbulkan kenampakan fluoresensi sehingga dapat dengan mudah untuk
dilakukan pengambilan sampel (Foto IV.1). Pengamatan rembesan hidrokarbon
dilakukan dengan pencarian titik yang diduga keluarnya rembesan sampel sebagai
titik rembesan minyak (spot of oil seepage) dan mengamati adanya kenampakan
pantulan fluoresensi dari sampel minyak di aliran air atau genangan yang
terkeumpul akibat adanya pantulan sinar matahari dan perbedaan masa jenis di air.
Pengambilan sampel rembesan dilakukan dengan menyerok sampel dengan
centong dan menuangkan ke dalam botol plastik. Alat yang digunakan
menggunakan bahan plastik (non-metalic) untuk menghindari kerusakan sampel
akibat adanya reaksi korosif antara minyak dan material metalik (Foto IV.1).

82
Foto IV. 1 Kondisi Sampel Rembesan Hidrokarbon di Lokasi Pengamatan LP1

Kehadiran rembesan hidrokarbon menggambarkan terdapatnya sistem


minyak dan gas bumi (petroleum system) yang aktif di sub-Cekungan Banyumas.
Berdasarkan klasifikasi (Hunt, dkk., 1979) cekungan ini merupakan daerah
rembesan aktif karena keterdapatan minyak ringan yang ada di lapangan.
Kemudian, berdasarkan klasifikasi rembesan menurut (Link, 1952) kehadiran
rembesan ini terbentuk karena adanya sistem minyak dan gas bumi yang aktif dan
telah rusak akibat faktor erosi dan kontrol struktur geologi sehingga hidrokarbon
yang bermigrasi dan terakumulasi di antiklin merembes ke permukaan (Gambar
IV.2).

83
Gambar IV. 2 Jenis Sampel Rembesan Hidrokarbon Daerah Penelitian
Berdasarkan Klasifikasi Peneliti

IV.2. Stratigrafi Lokasi Penelitian

Studi analisis stratigrafi pada Sub-Cekungan Banyumas ditujukan untuk


mengetahui pola urutan susunan perlapisan satuan geologi. Penyusunan pola
urutan geologi dilakukan berdasarkan beberapa data analisis seperti: pengamatan
data di lapangan, analisis petrografi, analisis fosil foraminifera dan analisis sekuen
stratigrafi dengan mengacu terhadap konsep stratigrafi.
IV.2.1. Korelasi Satuan Litologi

Korelasi satuan litologi digunakan untuk mengetahui perubahan


variasi ukuran butir lateral secara vertikal di lokasi penelitian. Pembuatan
korelasi satuan litologi berdasarkan data lapangan pada lintasan peta
yang dirancang dengan orientasi arah selatan – utara (Lampiran 2).
Lintasan pengamatan ditentukan terhadap orientasi arah kemiringan
lapisan batuan dari satuan litologi yang berumur tua hingga muda untuk
mengetahui hubungan kontak litologi yang terjadi setiap litologi.

84
Susunan stratigrafi dari umur tua ke muda di lokasi penelitian sebagai
berikut:

1. Satuan perselingan batupasir dan batulempung

2. Satuan batupasir

3. Satuan perselingan batupasir dan batulempung tufaan

Korelasi satuan litologi yang dilakukan menggunakan metode


komposit log berdasarkan pengamatan data litologi di setiap titik lokasi
pengamatan yang terdapat di lintasan pengamatan. Kemudian,
penyusunan data komposit log diurutkan berdasarkan konsep
litostratigrafi dengan data tambahan berupa: deskripsi sayatan petrografi
dan analisis fosil foraminifera planktonik dan bentik. Kolom korelasi
litologi lokasi penelitian (Tabel IV.1).

85
Tabel IV. 1 Kolom Korelasi Komposit Log Lokasi Penelitian

86
IV.2.2. Analisis Stratigrafi Lokasi Penelitian

Stratigrafi dibuat berdasarkan konsep litofasies dan dianalisis


menggunakan data kolom korelasi litologi di lokasi penelitian. Pola
urutan lapisan diatur berdasarkan orientasi di peta geologi (Lampiran 2).
Pemerian satuan geologi berdasarkan karakteristik litologi secara
dominan dan analisis sayatan petrografi. Kemudian, determinasi umur
dan batimetri ditentukan dengan konsep hukum stratigrafi dan analisis
fosil foraminifera dan bentik. Lingkungan pengendapan ditentukan
menggunakan konsep model fasies Walker (1978) untuk pengamatan
pola perubahan ukuran butir secara vertikal dan gradual dan konsep
model fasies Bouma (1969) berdasarkan pendekatakan struktur sedimen
dan korelasi terhadap karakteristik litologi untuk menginterpretasikan
zona lingkungan pengendapan (Tabel IV.2).

87
Tabel IV. 2 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian

88
IV.2.3. Satuan Perselingan Batupasir dan Batulempung

Persebaran litologi ditentukan berdasarkan kisaran luas


penyabaran secara keseluruhan di lokasi penelitian. Pemerian satuan
geologi berdasarkan karakteristik litologi secara dominan dan analisis
petrografi. Kemudian, determinasi umur dan batimetri ditentukan dengan
analisis foraminifera planktonik dan bentik. Lingkungan pengendapan
diinterpretasi berdasarkan korelasi kolom litologi dan kehadiran struktur
sedimen. Hubungan stratigrafi terhadap kesebandingan sebagai data
referensi untuk menginterpretasikan satuan geologi dianalisis
menggunakan data kolom stratigrafi rinci yang dibuat menggunakan
metode komposit log litologi (Tabel IV.3).

89
Tabel IV. 3 Komposit Log Satuan Perselingan Batupasir Batulempung

90
IV.2.3.1. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan perselingan batupasir dan batulempung memiliki


kisaran luas penyebaran sebesar 30% dari luas daerah penelitian.
Karakteristik satuan ini memiliki perlapisan selang - seling antara
batupasir dan batulempung dengan jenis semennya karbonatan.
Persebaran satuan geologi ini memiliki orientasi dari barat - timur
dengan ketinggian 0 - 125 mdpl di Desa Besuki di bagian selatan
peta lokasi penelitian (Gambar IV.3). Berdasarkan rekonstruksi
penampang geologi satuan geologi perselingan batupasir dan
batulempung memiliki ketebalan sebesar ± 438.17 m (Lampiran
2).

Gambar IV. 3 Persebaran Litologi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung


IV.2.3.2. Pemerian Litologi

Pemerian satuan geologi didasari dengan pengamatan data


karakteristik litologi secara dominan di lapangan dan analisis
sayatan petrografi. Berdasarkan kenampakkan singkapan di
lapangan dengan dimensi 3 m x 1 m tersusun atas batuan sedimen
dengan kondisi warna lapuk coklat kehijauan dan warna segar abu
- abu (Gambar IV.3). Satuan geologi dibentuk oleh batupasir
sangat halus - halus dan batulempung. Secara spasial terjadi

91
penipisan ke arah barat dan penebalan ke arah timur dan secara
temporal terjadi penebalan batulempung dan batupasir dengan
perubahan pola gradasi yang mengasar ke atas secara vertikal.
Keterdapatan struktur sedimen seperti: wavy bedding dan cross
bedding.

Berdasarkan analisis petrografi secara mikroskopis dengan


perbesaran 4x dengan nikol sejajar dan nikol bersilang litologi
bagian atas berdasarkan analisis sayatan tipis petrografi (Gambar
IV.4) merupakan jenis batuan sedimen vulkanik memiliki warna
colorless pada nikol sejajar dan warna abu pada nikol sejajar dan
warna abu-abu kehitaman pada nikol bersilang, ukuran butir kasar,
angular - low sphericity, poorly sorted, grain supported, point
contact - long contact, semen karbonat, matriks mineral lempung
dan porositas intergranular dan vuggy. Komposisi material
tersusun atas fragmen 74 % yaitu: rock fragment, mineral opak,
mineral gelas dan matriks 10 % yaitu mineral lempung. Komponen
semen tersusun oleh mineral karbonat sebesar 16 % dan nilai
porositas terbentuk sebesar 14 % yaitu: intergranular sebesar 10 %
dan vuggy sebesar 4 %. Berdasarkan komposisi batuan dapat
dinamakan batuan ini adalah calcareous lithic arenite (Pettijohn,
1975) (Lampiran 3).

Litologi bagian bawah berdasarkan analisis sayatan tipis


petrografi (Gambar IV.4) merupakan jenis batuan sedimen
vulkanik dengan warna colorless keruh, coklat pada nikol sejajar
dan warna abu-abu kehitaman, hijau, dan jingga pada nikol
bersilang, ukuran butir halus, angular dan sub-rounded, medium
sphericity, moderately sorted, matrix supported, floating contact,
semen karbonat, matriks mineral lempung serta porositas
intergranular dan vuggy. Komposisi material tersusun atas
fragmen 31 % yaitu: kuarsa, mineral opak, feldspar, muskovit,
mineral gelas dan matriks 60 % yaitu mineral lempung (illite?),
glaukonit dan hematit. Komponen semen tersusun oleh mineral

92
karbonat sebesar 4 % dan nilai porositas terbentuk sebesar 20 %
yaitu: vuggy sebesar 15 % dan intergranular sebesar 5 %.
Berdasarkan komposisi batuan dapat dinamakan batuan ini adalah
calcareous arkosic wacke (Pettijohn, 1975) (Lampiran 4).

Gambar IV. 4 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Perselingan


Batupasir Batulempung
IV.2.3.3. Penentuan Umur dan Batimetri

Analisis fosil foraminifera planktonik dan bentonik


dilakukan pada satuan perselingan batupasir dan batulempung
(Lampiran 5) untuk menentukan rentang umur dan zona batimetri.
Berdasarkan data fosil foraminifera planktonik didapatkan fossil
indeks yaitu: Praeorbulina glomerosa curva (Blow), Praeorbulina
glomerosa glomerosa (Blow), Globigerinoides bulloideus
(d'Orbigny), Globigerinoides bisphericus (Todd) dan Orbulina
universa (d'Orbigny) menginterpretasikan satuan ini memiliki
umur Kala Miosen Awal Bagian Akhir (Late-Early Miocene)
hingga Kala Miosen Tengah Bagian Awal (Early-Middle Miocene)
dengan zonasi N8 – N9 (Blow, 1969). Kemudian, didapatkan data
fosil foraminifera bentonik yaitu: Dentalina? (d’Orbigny),
Bathysiphon sp (Cushman), Cassidulina (Cushman) dan
Gyroidina soldanii (Todd) menentukan batimetri berada di zona
outer shelf – lower bathyal (Gambar IV.5).

93
Gambar IV. 5 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung

94
Konsep pendekatan interpretasi zona batimetri berdasarkan
keterdapatan data fosil dilakukan untuk menggambarkan zona
pengendapan satuan geologi. Konsep ilustrasi ini menjelaskan
keterdapatan fosil foraminifera pada mekanisme aliran turbidit
yang dipengaruhi oleh aliran gravitasi (gravity flows) di zona
lereng (Gambar IV.6).

Gambar IV. 6 Ilustrasi Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Batulempung


IV.2.3.4. Lingkungan Pengendapan

Penulis menggunakan lima konsep untuk menentukan


lingkungan pengendapan litologi. Parameter konsep ini digunakan
beberapa parameter analisis untuk mendapatkan data yang
terkorelasi secara valid. Pertama, pengamatan karakteristik litologi
untuk mengidentifikasi jenis semen pada batuan dengan menetesi
larutan asam klorida sehingga terjadinya reaksi gas karbon dioksida
yang terlepas. Kehadiran gelembung dan gas yang berwarna putih
menginterpretasikan jenis semen batuan tersebut adalah

95
karbonatan dan diinterpretasikan secara sederhana terendapkan di
lingkungan laut (marine).

Kedua, pengamatan data singkapan litologi untuk merekam


data perlapisan batuan di setiap titik lokasi pengamatan pada jalur
lintasan yang telah ditentukan. Perekaman data tersebut digunakan
untuk merancang komposit log litologi untuk mengamati pola
susunan batuan secara vertikal. Berdasarkan data komposit log
(Tabel IV.3) terdapatnya pola susunan perlapisan antara
batulempung dan batupasir yang mengalami perubahan ukuran
butir dari halus menjadi kasar ke atas (coarsening upward) dan
perubahan pola gradual yang mengalami penebalan (thickening
upward) secara suksesi vertikal. Perulangan pola ini menunjukkan
adanya tipe sedimentasi klastik turbidit (clastical turbidite).
Berdasarkan data komposit log, korelasi model lingkungan
pengendapan berada di fasies smooth portion of suprafan lobes on
mid fan (Walker, 1978).

Ketiga, pengamatan data struktur sedimen yang terdapat


yaitu: wavy bedding dan cross bedding. Struktur sedimen cross
bedding diinterpretasikan menunjukkan keterdapatan sudut bidang
perlapisan karena keadaan pengaruh gaya atau gelembur (dunes)
saat transportasi dan proses sedimentasi di dalam air (Tucker,
1991). Struktur wavy bedding diinterpretasikan terbentuk karena
proses akumulasi saat perpindahan gelombang pada kondisi
keseimbangan yang tercapai antara daya transportasi dan suplai
sedimen yang menginterpretasikan terbentuk pada mekanisme
sedimentasi tipe turbidit.

Keempat, korelasi antara data rekaman komposit log


terhadap keterdapatan struktur sedimen. Menurut Bouma (1962)
kehadiran struktur sedimen wavy bedding dan cross bedding pada
perlapisan litologi batupasir dan batulempung diinterpretasikan
sebagai fase tc. Korelasi konsep Middleton dan Hampton (1973)

96
pola susunan perlapisan tersebut terbentuk di lingkungan
pengendapan dengan pengaruh faktor turbidit dan konsep Lowe
(1982) menjelaskan pola pengendapan tersebut terbentuk karena
faktor densitas tinggi arus turbidit (high density current turbidity)
sehingga diinterpretasikan model lingkungan pengendapan di kipas
bawah laut di bagian tengah (submarine fan on mid fan).

Kelima, berdasarkan data petrografi lapisan batupasir dan


batulempung (Lampiran 3 dan Lampiran 4) merupakan jenis
batuan sedimen yang menunjukkan ukuran butiran yang halus
hingga kasar, bentuk butir yang membulat tanggung (sub-rounded)
hingga menyudut (angular), sortasi yang buruk hingga sedang, tipe
kemas grain supported dan matrix supported menunjukkan jarak
transportasi batuan yang dekat dengan sumber, mekanisme
tranportasi yang buruk dan durasi transportasi yang cepat.
Kenampakkan kontak antara butiran yaitu point contact hingga
long contact menunjukkan proses diagenesis yang intensif.
Komposisi fragmen yang tersusun atas dominansi fragmen batuan
(rock fragment) berupa pecahan batuan vulkanik. Kehadiran
mineral glaukonit yang sedikit sebagai matriks di batulempung
diinterpretasikan terjadinya proses diagenesis mineral biotit secara
pergantian (replacement) dan terendapkan di perbatasan
lingkungan continental shelf dan continental slope. Berdasarkan
analisis petrografi satuan perselingan batupasir dan batulempung
merupakan batuan sedimen vulkanik yang terendapkan di
lingkungan bawah laut.

Korelasi data secara keseluruhan menunjukkan bahwa satuan


perselingan batupasir dan batulempung merupakan batuan sedimen
vulkanik yang terbentuk akibat aktivitas vulkanik dan terendapkan
dengan mekanisme turbidit di bawah permukaan laut pada sekuen
lereng kipas gunung api bawah laut (submarine fan volcano)
(Gambar IV.7).

97
Gambar IV. 7 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Batulempung

98
IV.2.3.5. Hubungan Stratigrafi dengan Kesebandingan Formasi

Berdasarkan data analisis yang telah diinterpretasikan


dilakukan metode pendekatan korelasi terhadap satuan geologi
secara regional. Menurut M. Djuri, H. Samodra, T.C. Amin dan
Gafoer pada Lembar Geologi Purwokerto dan Tegal dan Kastowo
dan N. Suwarna pada Lembar Majenang satuan perselingan
batupasir dan batulempung termasuk ke dalam Formasi Rambatan
(Tmr) (Tabel IV.3).

IV.2.4. Satuan Batupasir

Persebaran litologi ditentukan berdasarkan kisaran luas


penyabaran secara keseluruhan di lokasi penelitian. Pemerian satuan
geologi berdasarkan karakteristik litologi secara dominan dan analisis
petrografi. Kemudian, determinasi umur dan batimetri ditentukan dengan
analisis foraminifera planktonik dan bentik. Lingkungan pengendapan
diinterpretasi berdasarkan korelasi kolom litologi dan kehadiran struktur
sedimen. Hubungan stratigrafi terhadap kesebandingan sebagai data
referensi untuk menginterpretasikan satuan geologi dianalisis
menggunakan data kolom stratigrafi rinci yang dibuat menggunakan
metode komposit log litologi (IV.4).

99
Tabel IV. 4 Komposit Log Satuan Batupasir

100
IV.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batupasir memiliki kisaran luas penyebaran sebesar


65% dari luas daerah penelitian. Karakteristik satuan ini memiliki
perlapisan antara batupasir dengan ukuran butir yang berbeda dan
jenis semennya karbonatan. Persebaran satuan geologi ini memiliki
orientasi dari barat - timur dengan ketinggian 50 – 300 mdpl di
Desa Besuki, Parungkamal, Karanggayam dan Canduk di bagian
selatan hingga utara pada peta lokasi penelitian (Gambar IV.8).
Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi satuan geologi
batupasir memiliki ketebalan sebesar ± 1433.21 m (Lampiran 2).

Gambar IV. 8 Persebaran Litologi Satuan Batupasir


IV.2.4.2 Pemerian Litologi

Pemerian satuan geologi didasari dengan pengamatan data


karakteristik litologi secara dominan di lapangan dan analisis
sayatan petrografi. Berdasarkan kenampakkan singkapan di
lapangan dengan dimensi 10 m x 0.3 m tersusun atas batuan
sedimen dengan kondisi warna lapuk coklat kehijauan dan warna
segar abu - abu (Gambar IV.8). Satuan geologi dibentuk oleh
batupasir sangat halus - sedang. Secara spasial terjadi penebalan
dari arah barat ke arah timur dan secara temporal terjadi penebalan

101
batupasir dan perubahan pola gradasi batupasir yang mengasar dan
menghalus ke atas secara vertikal. Keterdapatan struktur sedimen
seperti: convolute, wavy bedding, cross bedding, hummocky -
swaley cross stratification dan graded bedding.

Berdasarkan analisis petrografi secara mikroskopis dengan


perbesaran 4x dengan nikol sejajar dan nikol bersilang litologi
bagian atas berdasarkan analisis sayatan tipis petrografi (Gambar
IV.9) merupakan jenis batuan sedimen vulkanik dengan warna
colorless keruh, coklat dan kehitaman pada nikol sejajar dan warna
abu-abu kehitaman, hijau, dan jingga pada nikol bersilang, ukuran
butir kasar, angular dan sub-rounded, low - medium sphericity,
moderately sorted, grain supported, point contact, semen karbonat,
matriks mineral lempung dan porositas intergranular. Komposisi
material tersusun atas fragmen 84 % yaitu: rock fragment, mineral
opak, mineral gelas, kuarsa, feldspar, plagioklas dan matriks 11%
yaitu mineral lempung. Komponen semen tersusun oleh mineral
karbonat sebesar 5% dan nilai porositas terbentuk sebesar 4%
yaitu: intergranular. Berdasarkan komposisi batuan dapat
dinamakan batuan ini adalah calcareous lithic arenite (Pettijohn,
1975) (Lampiran 6).

Litologi bagian bawah berdasarkan analisis sayatan tipis


petrografi (Gambar IV.9) merupakan jenis batuan sedimen
vulkanik dengan warna colorless keruh, coklat dan kehitaman pada
nikol sejajar dan warna abu-abu kehitaman, hijau, jingga dan ungu
pada nikol bersilang, ukuran butir kasar - sangat kasar, angular dan
sub-rounded, low - medium sphericity, poorly - very poorly sorted,
grain supported, point contact - long contact, semen karbonat,
matriks mineral lempung dan porositas intergranular. Komposisi
material tersusun atas fragmen 88% yaitu: rock fragment, mineral
opak, mineral gelas, kuarsa, feldspar, plagioklas, hornblenda,
piroksen dan matriks 6 % yaitu mineral lempung. Komponen
semen tersusun oleh mineral karbonat sebesar 6 % dan nilai

102
porositas terbentuk sebesar 7 % yaitu: intergranular. Berdasarkan
komposisi batuan dapat dinamakan batuan ini adalah calcareous
lithic arenite (Pettijohn, 1975) (Lampiran 7).

Gambar IV. 9 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Batupasir


IV.2.4.3 Penentuan Umur dan Batimetri

Analisis fosil foraminifera planktonik dan bentonik


dilakukan pada satuan batupasir (Lampiran 8) untuk menentukan
rentang umur dan zona batimetri. Berdasarkan data fosil
foraminifera planktonik didapatkan fossil indeks yaitu:
Globigerinoides bolli (Blow), Globorotalia lenguaensis (Bolli) dan
Globorotalia (Menardella) menardii (Parker, Jones dan Brady)
menginterpretasikan satuan ini memiliki umur Kala Miosen
Tengah (Middle Miocene) hingga Kala Miosen Akhir (Late
Miocene) dengan zonasi N12 – N17 (Blow, 1969). Kemudian,
didapatkan data fosil foraminifera bentonik yaitu: Bolivina
(d'Orbigny), Rhabdaminella cylindrica (Brady) dan Cibicides
(Phleger dan Parker) menentukan batimetri berada di zona inner
shelf – outer shelf (Gambar IV.10).

103
Gambar IV. 10 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Batupasir

104
Konsep pendekatan interpretasi zona batimetri berdasarkan
keterdapatan data fosil dilakukan untuk menggambarkan zona
pengendapan satuan geologi. Konsep ilustrasi ini menjelaskan
keterdapatan fosil foraminifera pada mekanisme aliran turbidit
yang dipengaruhi oleh aliran gravitasi (gravity flows) di zona
lereng (Gambar IV.11).

Gambar IV. 11 Ilustrasi Batimetri Satuan Batupasir


IV.2.4.4 Lingkungan Pengendapan

Penulis menggunakan lima konsep untuk menentukan


lingkungan pengendapan litologi. Parameter konsep ini digunakan
beberapa parameter analisis untuk mendapatkan data yang
terkorelasi secara valid. Pertama, pengamatan karakteristik litologi
untuk mengidentifikasi jenis semen pada batuan dengan menetesi
larutan asam klorida sehingga terjadinya reaksi gas karbon dioksida
yang terlepas. Kehadiran gelembung dan gas yang berwarna putih
menginterpretasikan jenis semen batuan tersebut adalah

105
karbonatan dan diinterpretasikan secara sederhana terendapkan di
lingkungan laut (marine).

Kedua, pengamatan data singkapan litologi untuk merekam


data perlapisan batuan di setiap titik lokasi pengamatan pada jalur
lintasan yang telah ditentukan. Perekaman data tersebut digunakan
untuk merancang komposit log litologi untuk mengamati pola
susunan batuan secara vertikal. Berdasarkan data komposit log
(Tabel IV.4) terdapatnya pola susunan perlapisan antara batupasir
yang mengalami perubahan ukuran butir dari sangat halus menjadi
halus ke atas (coarsening upward) dan kemudian terjadinya
perubahan ukuran butir kembali dari sedang menjadi sangat halus
(fining upward) di batas tengah satuan ini. Perubahan pola gradual
terlihat mengalami penebalan (thickening upward) secara suksesi
vertikal. Perulangan pola ini menunjukkan adanya tipe sedimentasi
klastik turbidit (clastical turbidite). Berdasarkan data komposit log,
korelasi model lingkungan pengendapan berada di fasies
channelled suprafan lobes on mid fan hingga channelled portion of
suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978).

Ketiga, pengamatan data struktur sedimen yang terdapat


yaitu: wavy bedding, cross bedding, hummocky – swaley cross
stratification, graded bedding dan convolute. Struktur sedimen
cross bedding diinterpretasikan menunjukkan keterdapatan sudut
bidang perlapisan karena keadaan pengaruh gaya atau gelembur
(dunes) saat transportasi dan proses sedimentasi di dalam air
(Tucker, 1991). Struktur wavy bedding diinterpretasikan terbentuk
karena proses akumulasi saat perpindahan gelombang pada kondisi
keseimbangan yang tercapai antara daya transportasi dan suplai
sedimen yang menginterpretasikan terbentuk pada mekanisme
sedimentasi tipe turbidit. Struktur graded bedding diinterpretasikan
terbentuk akibat adanya kondisi penurunan kecepatan transportasi
air yang mengangkut detritus sehingga menciptakan kondisi yang
lebih tenang pada proses pengendapan. Detritus kasar akan

106
terendapakan terlebih dahulu di bagian bawah detritus halus karena
faktor gravitasi. Menurut Collinson (2006) struktur convolute
merupakan struktur perlapisan yang berbentuk terlipat dan berkerut
dengan kenampakkan yang berbelit yang terbentuk karena proses
pengendapan sedimen di zona kemiringan lereng dengan adanya
faktor pengaruh tegangan geser pada kecepatan aliran fluida di
atasnya. Kenampakan perlipatan dan kerutan tersebut umumnya
terbentuk di kondisi mekanisme pengendapan turbidit.

Mekanisme transportasi dan sedimentasi yang terjadi pada


endapan pasir berbutir sangat halus hingga halus di batas kondisi
fair weather base and storm wave base menghasilkan struktur
hummocky - swaley cross stratification. Faktor yang mempegaruhi
mekanisme adalah aliran gabungan yang diciptakan oleh arus air
dan gelombang yang terbentuk pada zona kelerengan di bawah laut.
Media transportasi oleh arus kuat yang mengalir di zona kelerangan
menyebabkan butiran pasir terangkut ke daerah yang lebih dalam
dan terendapkan karena pengaruh gerakan osilasi. Struktur
hummocky – swaley cross stratification menggambarkan adanya
mekanisme sedimentasi batuan yang terjadi akibat pengaruh arus
badai dan terjadi di lingkungan pengendapan lepas pantai. Menurut
Walker dan Plint (1992) struktur hummocky - swaley cross
stratification dapat terbentuk di zona proksimal dengan
karakteristik detritus butiran kasar dan zona distal dengan
karakteristik detritus butiran halus. Dedritus ini diperkirakan
terangkut melalui daerah sungai di bawah laut dengan kondisi
aliran badai dan tersuspensi oleh faktor geostropik dan arus yang
diciptakan oleh angin dan badai sehingga detritus tersuspensi di
zona shelf marine. Proses transportasi sedimen yang konstan ke
arah shelf marine dengan kondisi pengendapan dikontrol oleh arus
badai di bawah laut dan terjadi secara berangsur menghasilkan
kondisi penurunan muka air laut dan mencipatkan dinamika pola
sekuen progradasi.

107
Keempat, korelasi antara data rekaman komposit log
terhadap keterdapatan struktur sedimen. Menurut Bouma (1962)
kehadiran struktur sedimen graded bedding pada perlapisan
litologi batupasir diinterpretasikan sebagai fase ta. Kemudian, fase
tb diinterpretasikan terhadap karakteristik perlapisan batupasir
halus. Struktur sedimen wavy bedding, cross bedding, convolute
dan hummocky – swaley cross stratification pada perlapisan litologi
batupasir diinterpretasikan sebagai fase tc. Korelasi konsep
Middleton dan Hampton (1973) pola susunan perlapisan tersebut
terbentuk di lingkungan pengendapan dengan pengaruh faktor
turbidit dan konsep Lowe (1982) menjelaskan pola pengendapan
tersebut terbentuk karena faktor densitas tinggi arus turbidit (high
density current turbidity) sehingga diinterpretasikan model
lingkungan pengendapan di kipas bawah laut di bagian tengah
(submarine fan on mid fan).

Kelima, berdasarkan data petrografi lapisan batupasir bagian


bawah dan atas (Lampiran 6 dan Lampiran 7) merupakan jenis
batuan sedimen yang menunjukkan ukuran butiran yang kasar
hingga sangat kasar, bentuk butir yang membulat tanggung (sub-
rounded) hingga menyudut (angular), sortasi yang sangat buruk
hingga sedang, tipe kemas grain supported menunjukkan jarak
transportasi batuan yang dekat dengan sumber, mekanisme
transportasi yang buruk dan durasi transportasi yang cepat.
Kenampakkan kontak antara butiran yaitu point contact hingga
long contact menunjukkan proses diagenesis yang intensif.
Komposisi fragmen yang tersusun atas dominansi fragmen batuan
(rock fragment) berupa pecahan batuan vulkanik dan kenampakkan
mineral hornblenda dan piroksen yang diinterpretasikan terangkut
dari batuan sumber berupa batuan vulkanik dan terendapkan
kembali membentuk batuan sedimen. Berdasarkan analisis
petrografi satuan batupasir merupakan batuan sedimen vulkanik

108
yang terendapkan di lingkungan lereng bawah laut dan dikontrol
oleh aktivitas vulkanik.

Korelasi data secara keseluruhan menunjukkan bahwa satuan


batupasir merupakan batuan sedimen vulkanik yang terbentuk
akibat aktivitas vulkanik dan terendapkan dengan mekanisme
turbidit dan arus gelombang badai di kelerengan bawah permukaan
laut. Perubahan pola susunan ukuran butir dari tipe pola mengasar
ke atas (coarsening upward) menjadi menghalus ke atas (fining
upward) menunjukkan adanya batas perubahan fasies lingkungan
pengendapan yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik. Pola
gradual lapisan batuan yang menebal ke atas (thickening upward)
mempengaruhi perubahan fasies sedimentasi satuan ini dan
mengakibatkan kondisi penurunan muka air laut akibat suplai
sedimentasi yang tinggi sehingga terjadinya fase regresi air laut.
Aktivitas vulkanik diinterpretasikan mengontrol proses
transportasi dan sedimentasi dengan menciptakan gelombang arus
badai di kemiringan zona kelerengan gunung api bawah laut
sehingga penulis menginterpretasikan satuan ini terendapkan pada
sekuen lereng kipas gunung api bawah laut (submarine fan
volcano) (Gambar IV.12).

109
Gambar IV. 12 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Batupasir

110
IV.2.4.5 Hubungan Stratigrafi dengan Kesebandingan Formasi

Berdasarkan data analisis yang telah diinterpretasikan


dilakukan metode pendekatan korelasi terhadap satuan geologi
secara regional. Menurut S. Asikin, A. Handoyo, B. Prastistho dan
S. Gafoer pada Lembar Geologi Banyumas dan T.O Simandjuntak
dan Surono pada Lembar Geologi Pangandaran satuan batupasir
termasuk ke dalam Anggota Batupasir Formasi Halang (Tmhs)
(Tabel IV.4).

IV.2.5. Satuan Perselingan Batupasir dan Batulempung Tufaan

Persebaran litologi ditentukan berdasarkan kisaran luas


penyabaran secara keseluruhan di lokasi penelitian. Pemerian satuan
geologi berdasarkan karakteristik litologi secara dominan dan analisis
petrografi. Kemudian, determinasi umur dan batimetri ditentukan dengan
analisis foraminifera planktonik dan bentik. Lingkungan pengendapan
diinterpretasi berdasarkan korelasi kolom litologi dan kehadiran struktur
sedimen. Hubungan stratigrafi terhadap kesebandingan sebagai data
referensi untuk menginterpretasikan satuan geologi dianalisis
menggunakan data kolom stratigrafi rinci yang dibuat menggunakan
metode komposit log litologi (Tabel IV.5).

111
Tabel IV. 5 Komposit Log Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaan

112
IV.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batupasir memiliki kisaran luas penyebaran sebesar


5% dari luas daerah penelitian. Karakteristik satuan ini memiliki
perlapisan selang – seling antara batupasir dan batulempung
dengan sifat batuanya yaitu tufaan (tuffaceous) dan jenis semennya
karbonatan. Persebaran satuan geologi ini memiliki orientasi dari
barat - timur dengan ketinggian 50 – 100 mdpl di Desa
Karanggayam di bagian barat laut pada peta lokasi penelitian
(Gambar IV.13). Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi
satuan geologi batupasir memiliki ketebalan sebesar ± 66.55 m
(Lampiran 2).

Gambar IV. 13 Persebaran Litologi Satuan Perselingan Batupasir


Batulempung Tufaan
IV.2.4.2 Pemerian Litologi

Pemerian satuan geologi didasari dengan pengamatan data


karakteristik litologi secara dominan di lapangan dan analisis
sayatan petrografi. Berdasarkan kenampakkan singkapan di
lapangan dengan dimensi 7 m x 1.5 m tersusun atas batuan sedimen
dengan kondisi warna lapuk coklat kehijauan dan warna segar abu
- abu (Gambar IV.13). Satuan geologi dibentuk oleh batupasir

113
sangat halus – halus dan batulempung tufaan. Secara spasial terjadi
penebalan dari arah barat ke arah timur dan secara temporal terjadi
penebalan batupasir dan batulempung dengan perubahan pola
gradasi yang mengasar ke atas secara vertikal. Keterdapatan
struktur sedimen seperti: wavy lamination, cross lamination dan
hummocky - swaley cross stratification.

Berdasarkan analisis petrografi secara mikroskopis dengan


perbesaran 4x dengan nikol sejajar dan nikol bersilang litologi
bagian atas berdasarkan analisis sayatan tipis petrografi (Gambar
IV.14) merupakan jenis batuan sedimen vulkanik dengan warna
colorless keruh, coklat dan kehitaman pada nikol sejajar dan warna
abu-abu kehitaman, hijau, dan jingga pada nikol bersilang, ukuran
butir halus - sedang, angular dan sub-rounded, low - medium
sphericity, moderately sorted, grain supported, point contact,
semen karbonat, matriks mineral lempung dan porositas
intergranular dan vuggy. Komposisi material tersusun atas
fragmen 57% yaitu: mineral gelas, kuarsa, mineral opak, rock
fragment, dan matriks 35 % yaitu: mineral lempung. Komponen
semen tersusun oleh mineral karbonat sebesar 7 % dan nilai
porositas terbentuk sebesar 17 % yaitu: intergranular sebesar 10 %
dan vuggy sebesar 7 %. Kenampakkan warna yang keruh pada
nikol sejajar dan nikol bersilang, kehadiran mineral gelas dan relief
mineral yang rendah menunjukkan karakteristik batuan ini adalah
tufaan (tuffaceous) hasil produk vulkanik. Berdasarkan komposisi
batuan dapat dinamakan batuan ini adalah calcareous tuffaceous
lithic wacke (Pettijohn, 1975) (Lampiran 9).

Litologi bagian bawah berdasarkan analisis sayatan tipis


petrografi (Gambar IV.14) merupakan jenis batuan sedimen
vulkanik dengan warna colorless pada nikol sejajar dan warna abu-
abu kehijauan pada nikol bersilang, ukuran butir sangat halus -
halus, angular, low - medium sphericity, well sorted, matrix
supported, floating contact, semen karbonat, matriks mineral

114
lempung dan porositas intergranular. Komposisi material tersusun
atas fragmen 22 % yaitu: mineral opak, mineral gelas dan kuarsa.
Matriks sebanyak 75 % yaitu mineral lempung. Komponen semen
tersusun oleh mineral karbonat sebesar 3 % dan nilai porositas
terbentuk sebesar 3 % yaitu: intergranular. Kenamapkkan warna
yang keruh pada nikol sejajar dan nikol bersilang, kehadiran
mineral gelas dan relief mineral yang rendah menunjukkan
karakteristik batuan ini adalah tufaan (tuffaceous) hasil produk
vulkanik. Berdasarkan komposisi batuan dapat dinamakan batuan
ini adalah calcareous tuffaceous mudstone (Pettijohn, 1975)
(Lampiran 10).

Gambar IV. 14 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Perselingan


Batupasir Batulempung Tufaan
IV.2.4.3 Penentuan Umur dan Batimetri

Analisis fossil foraminifera planktonik dan bentonik


dilakukan pada satuan perselingan batupasir batulempung tufaan
(Lampiran 11) untuk menentukan rentang umur dan zona
batimetri. Berdasarkan data fosil foraminifera planktonik
didapatkan fossil indeks yaitu: Neogloboquadrina acostaensis
(Blow) dan Negloboquadrina humerosa (Takayanagi dan Saito)
menginterpretasikan satuan ini memiliki umur Kala Pliosen Awal
(Early Pliocene) hingga Kala Pliosen Akhir (Late Pliocene) dengan

115
zonasi N18 – N20 (Blow, 1969). Kemudian, didapatkan data fosil
foraminifera bentonik yaitu: Amphistegina lessonii (d'Orbigny)
menentukan batimetri berada di zona inner shelf – middle shelf
(Gambar IV.15).

116
Gambar IV. 15 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaa

117
Konsep pendekatan interpretasi zona batimetri berdasarkan
keterdapatan data fosil dilakukan untuk menggambarkan zona
pengendapan satuan geologi. Konsep ilustrasi ini menjelaskan
keterdapatan fosil foraminifera pada mekanisme aliran turbidit
yang dipengaruhi oleh aliran gravitasi (gravity flows) di zona
lereng (Gambar IV.16).

Gambar IV. 16 Ilustrasi Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Tufaan


IV.2.4.4 Lingkungan Pengendapan

Penulis menggunakan lima konsep untuk menentukan


lingkungan pengendapan litologi. Parameter konsep ini digunakan
beberapa parameter analisis untuk mendapatkan data yang
terkorelasi secara valid. Pertama, pengamatan karakteristik litologi
untuk mengidentifikasi jenis semen pada batuan dengan menetesi
larutan asam klorida sehingga terjadinya reaksi gas karbon dioksida
yang terlepas. Kehadiran gelembung dan gas yang berwarna putih
menginterpretasikan jenis semen batuan tersebut adalah

118
karbonatan dan diinterpretasikan secara sederhana terendapkan di
lingkungan laut (marine).

Kedua, pengamatan data singkapan litologi untuk merekam


data perlapisan batuan di setiap titik lokasi pengamatan pada jalur
lintasan yang telah ditentukan. Perekaman data tersebut digunakan
untuk merancang komposit log litologi untuk mengamati pola
susunan batuan secara vertikal. Berdasarkan data komposit log
(Tabel IV.5) terdapatnya pola susunan perlapisan antara batupasir
yang mengalami perubahan ukuran butir dari sangat halus menjadi
halus ke atas (coarsening upward) dan perubahan pola gradual yang
mengalami penebalan (thickening upward) secara suksesi vertikal.
Perulangan pola ini menunjukkan adanya tipe sedimentasi klastik
turbidit (clastical turbidite). Berdasarkan data komposit log,
korelasi model lingkungan pengendapan berada di fasies smooth on
suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978).

Ketiga, pengamatan data struktur sedimen yang terdapat


yaitu: wavy lamination, cross lamination dan hummocky – swaley
cross stratification. Struktur sedimen cross lamination
diinterpretasikan menunjukkan keterdapatan sudut bidang
perlapisan karena keadaan pengaruh gaya atau gelembur (dunes)
saat transportasi dan proses sedimentasi di dalam air (Tucker,
1991). Struktur wavy lamination diinterpretasikan terbentuk karena
proses akumulasi saat perpindahan gelombang pada kondisi
keseimbangan yang tercapai antara daya transportasi dan suplai
sedimen yang menginterpretasikan terbentuk pada mekanisme
sedimentasi tipe turbidit. Mekanisme transportasi dan sedimentasi
yang terjadi pada endapan pasir berbutir sangat halus hingga halus
di batas kondisi fair weather base and storm wave base
menghasilkan struktur hummocky - swaley cross stratification.
Faktor yang mempegaruhi mekanisme adalah aliran gabungan
yang diciptakan oleh arus air dan gelombang yang terbentuk pada
zona kelerengan di bawah laut. Media transportasi oleh arus kuat

119
yang mengalir di zona kelerangan menyebabkan butiran pasir
terangkut ke daerah yang lebih dalam dan terendapkan karena
pengaruh gerakan osilasi. Struktur hummocky – swaley cross
stratification menggambarkan adanya mekanisme sedimentasi
batuan yang terjadi akibat pengaruh arus badai dan terjadi di
lingkungan pengendapan lepas pantai. Menurut Walker dan Plint
(1992) struktur hummocky - swaley cross stratification dapat
terbentuk di zona proksimal dengan karakteristik detritus butiran
kasar dan zona distal dengan karakteristik detritus butiran halus.
Dedritus ini diperkirakan terangkut melalui daerah sungai di bawah
laut dengan kondisi aliran badai dan tersuspensi oleh faktor
geostropik dan arus yang diciptakan oleh angin dan badai sehingga
detritus tersuspensi di zona shelf marine.

Keempat, korelasi antara data rekaman komposit log


terhadap keterdapatan struktur sedimen. Menurut Bouma (1962)
kehadiran struktur sedimen cross lamination, wavy lamination dan
hummocky – swaley cross stratification pada perlapisan litologi
batupasir dan batulempung tufaan diinterpretasikan sebagai fase tc.
Korelasi konsep Middleton dan Hampton (1973) pola susunan
perlapisan tersebut terbentuk di lingkungan pengendapan dengan
pengaruh faktor turbidit dan konsep Lowe (1982) menjelaskan pola
pengendapan tersebut terbentuk karena faktor densitas tinggi arus
turbidit (high density current turbidity) sehingga diinterpretasikan
model lingkungan pengendapan di kipas bawah laut di bagian
tengah (submarine fan on mid fan).

Kelima, berdasarkan data petrografi lapisan batupasir dan


batulempung (Lampiran 9 dan Lampiran 10) merupakan jenis
batuan sedimen yang menunjukkan ukuran butiran yang sangat
halus hingga sedang, bentuk butir yang membulat tanggung (sub-
rounded) hingga menyudut (angular), sortasi yang sedang hingga
baik (moderately sorted – well sorted), tipe kemas grain supported
dan matrix supported menunjukkan jarak transportasi batuan yang

120
cukup dekat dengan batuan sumber karena memiliki bentuk butir
membulat tanggung dan menyudut tetapi ukuran butir berbentuk
sangat halus hingga sedang dan tipe kemas grain supported dan
matrix supported menunjukkan batuan ini terendapkan oleh
detritus berukuran sedang hingga sangat halus dengan mekanisme
transportasi berupa aliran dengan durasi transportasi yang cepat.
Kenampakkan kontak antara butiran yaitu floating contact hingga
point contact menunjukkan proses diagenesis yang minim.
Komposisi fragmen yang tersusun atas fragmen batuan (rock
fragment) berupa pecahan batuan vulkanik. Kehadiran mineral
kuarsa dan mineral gelas menunjukkan adanya sistem transportasi
dan sedimentasi dari batuan asal berupa batuan produk vulkanik.
Kehadiran persentase mineral lempung yang tinggi membentuk
kontak butiran yang mengambang (floating contact) sehingga
diinterpretasikan terendapkan dengan sistem aliran suspensi. Jenis
kontak berupa floating contact hingga point contact menunjukkan
sistem transportasi secara suspensi (transported suspension load).
Kehadiran mineral glaukonit yang sedikit sebagai matriks di batuan
diinterpretasikan batuan ini terendapkan di lingkungan continental
shelf. Berdasarkan analisis petrografi satuan perselingan batupasir
dan batulempung tufaan merupakan batuan sedimen vulkanik yang
terendapkan dari sumber batuan produk gunung api dengan sistem
pengendepan aliran suspensi di lingkungan bawah laut.

Korelasi data secara keseluruhan menunjukkan bahwa satuan


perselingan batupasir dan batulempung tufaan merupakan batuan
sedimen vulkanik yang terbentuk akibat aktivitas vulkanik dan
terendapkan dengan mekanisme turbidit dan arus gelombang badai
di kelerengan bawah permukaan laut. Arus gelombang yang
dikontrol oleh aktivitas vulkanik menyebabkan proses
pengendapan pada detritus halus ini mengalami proses transportasi
suspensi (transported suspension load) berupa saltasasi hingga
suspensi. Pola sekuen progradasi yang telah terjadi pada

121
pengendapan satuan batupasir mempengaruhi penurunan muka air
laut sehingga kedalaman laut pada zona continental shelf menjadi
lebih dangkal. Fasies sedimentasi yang diinterpretasikan berada di
smooth on suprafan lobes on mid fan yang diduga dekat dengan
sumber batuan vulkanik dari gunung api yang mengontrol kondisi
lingkungan pengendapan tersebut. Sehingga, satuan perselingan
batupasir batulempung tufaan diinterpretasikan terendapkan
dengan mekanisme turbidit di bawah permukaan laut pada sekuen
lereng kipas gunung api bawah laut (submarine fan volcano)
(Gambar IV.17).

122
Gambar IV. 17 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaan

123
IV.2.4.5 Hubungan Stratigrafi dengan Kesebandingan Formasi

Berdasarkan data analisis yang telah diinterpretasikan


dilakukan metode pendekatan korelasi terhadap satuan geologi
secara regional. Menurut M. Djuri, H. Samodra, T.C. Amin dan
Gafoer pada Lembar Geologi Purwokerto dan Tegal, Kastowo dan
N. Suwarna pada Lembar Geologi Majenang dan T.O
Simandjuntak dan Surono pada Lembar Geologi Pangandaran
satuan perselingan batupasir batulempung tufaan termasuk ke
dalam Formasi Halang (Tmph) (Tabel IV.5).

IV.3. Analisis Struktur Geologi Lokasi Penelitian

Penginterpretasian pola kelurusan dianalisis berdasarkan data kelurusan


melalui citra satelit pada peta topografi untuk menghitung tegasan utama yang
telah bekerja selama waktu geologi di lokasi penelitian (Lampiran 13). Orientasi
tegasan utama yang bekerja dengan arah baratlaut – tenggara (Gambar IV.18).

Gambar IV. 18 Orientasi Tegasan Utama yang Bekerja di Lokasi


Penelitian

Kemudian, dilakukan pencatatan data di lapangan berupa data kekar dan


data orientasi bidang sesar yang terletak di titik lokasi penelitian yang diduga
sebagai pola kelurusan. Keterdapatan data bidang sesar dan orientasi persebaran
jurus dan kemiringan litologi dapat menentukan orientasi pergerakan struktur
geologi yang terjadi sehingga analisis ini dapat digambarkan secara lengkap.
Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, kenampakkan bidang off-set dan
data jurus dan kemiringan litologi di lokasi penelitian diperoleh dua struktur

124
geologi yaitu: Struktur Lipatan Antiklin Besuki dan Struktur Geologi Sesar Geser
Mengiri Parungkamal (Lampiran 2). Penentuan struktur geologi didapatkan
berdasarkan analisis geostudio untuk menginterpretasikan penamaan yang sesuai
berdasarkan data klasifikasi.
IV.3.1. Struktur Geologi Lipatan Antiklin Besuki

Secara administratif struktur geologi antiklin terletak di daerah


Besuki dengan arah persebaran timur - barat dengan perkiraan arah gaya
utama yang membentuk struktur geologi lipatan adalah utara – selatan
dan posisi berada di bagian selatan lokasi penelitian. Penginterpretasian
struktur geologi ini dengan cara merekonstruksi data litologi dan data
penampang geologi (Lampiran 2). Struktur Geologi Lipatan Antiklin
Besuki mengalami penebalan ke arah timur dan penipisan ke arah barat
dengan panjang kurang lebih 2.05 km. Analisis struktur geologi lipatan
antiklin diinterpretasikan berdasarkan bukti sebagai berikut:

1. Orientasi persebaran jurus dan kemiringan lapisan litologi di


lokasi penelitian

2. Rekonstruksi penampang geologi

3. Pengukuran jurus dan kemiringan sayap lipatan di lokasi


penelitian

4. Analisis stereografi menggunakan software dips dan


penamaan klasifikasi lipatan berdasarkan Fleuty (1964)

Nilai jurus dan kemiringan sayap antiklin pertama sebesar N


1140E/720 SW dan sayap antiklin kedua sebesar N 2730E/620 NE.
Kemudian, nilai tegasan σ1 sebesar N 1480E/590 SW, σ2 sebesar N
2850E/220 NE dan σ3 sebesar N 920E/670 S dengan nilai axial plane
sebesar N 2840E/850 NE dan moving plane sebesar N 150E/670 SE.
Kemudian, didapatkan nilai sudut antara lipatan sebesar 460. Berdasarkan
klasifikasi Fleuty (1964) didapatkan jenis dip of hinge line berupa
subvertical, jenis plunging berupa gently incline fold dan jenis lipatan
adalah close folding (Gambar IV.19).

125
Gambar IV. 19 Analisis Struktur Geologi Lipatan Lokasi Penelitian

IV.3.2. Struktur Geologi Sesar Geser Mengiri Parungkamal

Secara administratif struktur geologi sesar geser terletak di daerah


Parungkamal hingga Besuki dengan arah persebaran baratlaut – tenggara
di bagian lokasi penelitian dengan perkiraan arah gaya utama yang
membentuk struktur geologi sesar adalah baratlaut - tenggara.
Penginterpretasian struktur geologi ini dengan cara merekonstruksi data
litologi dan data penampang geologi (Lampiran 2). Struktur sesar geser
memiliki pekiraan panjang sebesar 3.69 km. Analisis struktur geologi
sesar diinterpretasikan berdasarkan bukti sebagai berikut:

1. Pengamatan pola kelurusan peta topografi

2. Pengamatan kelurusan dengan menggunakan foto citra satelit


menggunakan ArcMap

3. Pengukuran nilai bidang sesar di LP 33.1

4. Pengukuran struktur bidang kekar gash fracture dan shear


fracture di LP 8, LP 26, LP 30, LP 34, LP 38 dan LP 64

126
5. Pengamatan terhadap bidang off-set pada peta geologi

6. Analisis stereografi menggunakan software dips dengan data


shear fracture

Keterdapatan off-set pada peta geologi menunjukkan adanya sesar


geser mengiri (left strike-slip fault). Kemudian, berdasarkan data LP 33
didapatkan nilai bidang sesar sebesar N 3380E/730NE dan nilai kekar
pada LP 8, LP 26, LP 30, LP 34, LP 38 dan LP 64 untuk menentukan
kemenerusan orientasi bidang sesar tersebut dengan nilai rata – rata shear
fracture pertama sebesar N 3450E/660 NE, shear fracture kedua sebesar
N 900E/640 S (Tabel IV.6).
Tabel IV. 6 Data Struktur Kekar Rata - Rata Lokasi Penelitian

Rekonstruksi orientasi bidang sesar didasarkan pada pengamatan


bukti data lapangan dan pengukuran nilai kekar yang kemudian
dilanjutkan ke tahapan analisis stereografi untuk menentukan klasifikasi
jenis sesar (Gambar IV.20). Berdasarkan analisis stereografi dari data
kekar LP 8, LP 26, LP 30, LP 34, LP 38 dan LP 64 (Lampiran 13)
didapatkan jenis sesar geser mengiri (left strike-slip fault) (Lampiran
Lampiran 14, Lampiran 15 dan Lampiran 16) dengan penamaan jenis
sesar adalah reverse left slip fault dan left reverse slip fault.

127
Gambar IV. 20 Pengamatan Data Struktur Geologi Kekar di Lokasi Penelitian

IV.4. Analisis Laju Sedimentasi (Sedimentation Rate) Lokasi Penelitian

Ketiga satuan litologi dilakukan analisis perhitungan laju sedimentasi


berdasarkan data rekonstruksi penampang geologi dan fosil indeks di batas setiap
satuan litologi (Tabel IV.7). Rekonstruksi penampang geologi digunakan untuk
mengilustrasikan lapisan litologi secara vertikal yang kemudian ditentukan
lapisan dasar (base line) dan lapisan atas (top line). Fosil indeks setiap litologi
diinterpretasikan untuk menunjukkan kenampakkan awal (first appearance) dan
kenampakkan akhir (last appearance).
Tabel IV. 7 Data Laju Sedimentasi Satuan Litologi di Lokasi Penelitian

Berdasarkan data perhitungan grafik analisis laju sedimentasi (Gambar


IV.22) untuk ketiga satuan litologi didapatkan kecepatan laju sedimentasi yaitu:

1. Satuan litologi pertama adalah satuan perselingan batupasir dan


batulempung tufaan dengan kesebandingan formasi adalah Formasi
Halang (Tmph) memiliki kedalaman dasar (baseline) 88 m dan

128
kedalaman atas (topline) yaitu 0 m. Satuan litologi ini diperkirakan
merupakan lapisan paling muda secara urutan lapisan vertikal. Data
fosil indeks pada kemunculan pertama (first appearance) yaitu:
Neogloboquadrina humerosa (Takayanagi dan Saito) di umur N18
dan kemunculan terakhir (last appearance) yaitu: Dentoglobigerina
altispira altispira (Cushman dan Jarvis) di umur N20. Kecepatan
laju sedimentasinya sebesar 3.2593 cm/kyr.

2. Satuan litologi kedua adalah satuan batupasir dengan kesebandingan


formasi adalah Anggota Batupasir Formasi Halang (Tmhs) memiliki
kedalaman dasar (baseline) 1948 m dan kedalaman atas (topline) yaitu
88 m. Satuan litologi ini diperkirakan merupakan satuan yang lebih
tua dibandingkan satuan satuan perselingan batupasir dan
batulempung tufaan secara urutan lapisan vertikal. Data fosil indeks
pada kemunculan pertama (first appearance) yaitu: Globigerinoides
bolli (Blow), Globorotalia lenguaensis (Bolli) dan Globorotalia
menardii (Parker, Jones dan Brady) di umur N12 dan kemunculan
terakhir (last appearance) yaitu: Neogloboquadrina acostaensis
(Blow), Globoquadrina dehiscens (Chapman, Parr dan Collins) dan
Globigerinoides seigliei (Bermudez dan Bolli) di umur N17.
Kecepatan laju sedimentasinya sebesar 21.8824 cm/kyr.

3. Satuan litologi ketiga adalah satuan perselingan batupasir dan


batulempung dengan kesebandingan formasi adalah Formasi
Rambatan (Tmr) memiliki kedalaman dasar (baseline) 2742 m dan
kedalaman atas (topline) yaitu 1948 m. Satuan litologi ini diperkirakan
merupakan satuan yang paling tua dibandingkan satuan satuan
batupasir secara urutan lapisan vertikal. Data fosil indeks pada
kemunculan pertama (first appearance) yaitu: Praeorbulina cura
(Blow), Globigerinoides bisphericus (Todd), Praerbulina transitoria
(Blow), di umur N8 dan kemunculan terakhir (last appearance) yaitu:
Globigerinoides bolli (Blow), Globorotalia lenguaensis (Bolli),
Globorotalia (Menardella) menardii (Parker, Jones dan Brady) di
umur N12. Perkiraan batas umur menggunakan data fosil indeks dari
kemunculan pertama (first appearance) satuan yang lebih muda yaitu

129
satuan batupasir dikarenakan hubungan kontak litologi
diinterpretasikan selarasa walaupun fossil indeks yang ditemukan
berada di rentang Zona N8 – N9. Hubungan kontak selaras
diinterpretasikan karena berdasarkan data di lapangan arah perlapisan
memiliki oritensai yang sama dan tidak ditemukannya kontak tidak
selaras (unconformity). Penentuan umur zona N8 – N9 dikarenakan
keterbatasan data fosil yang ada yaitu fosil indeks yang memiliki umur
tua dan tidak ditemukan fosil yang berumur lebih muda sebagai
penunjuk batas antara satuan perselingan batupasir batulempung
dengan satuan batupasir. Penentuan batas kemunculan akhir satuan
litologi ini diperkirakan pada data tabulasi fossil (Lampiran 5)
dengan kondisi sedimentasi yang optimal. Kecepatan laju
sedimentasinya sebesar 23.3529 cm/kyr.

130
Gambar IV. 21 Grafik Kecepatan Laju Sedimentasi Litologi di Lokasi Penelitian

IV.5. Analisis Burial Modelling Lokasi Penelitian

Sampel yang diteliti diperoleh dari data pengambilan sampel di lapangan


penelitian berupa tiga sampel permukaan (hand specimen). Sampel tersebut
memiliki deskripsi berupa: satuan perselingan batupasir batulempung yang
disebandingkan dengan Formasi Rambatan (Tmr), satuan batupasir yang
disebandingkan dengan Anggota Batupasir Formasi Halang (Tmhs) dan satuan
perselingan batupasir batulempung yang disebandingkan dengan Formasi Halang
(Tmph). Dengan metode analisis yang diuji berupa kandungan karbon organik
(TOC) dan analisis pirolisis evaluasi batuan (REP) (Tabel IV.8).

131
Tabel IV. 8 Data Analisis TOC dan REP Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Sub-Cekungan Banyumas yang menggunakan data


sampel permukaan dengan titik lokasi pengambilan sampel yang telah ditentukan
berdasarkan target area lokasi pengamatan (Gambar IV.22). Data kedalaman
vertikal (vertical depth) direkonstruksi menggunakan data penampang geologi
dan ketebalan satuan geologi sehingga batas setiap lapisan dapat diperkirakan nilai
kedalamannya. Kemudian, rentang nilai absolut dari setiap satuan geologi
didukung oleh data fosil indeks dari analisis foraminifera planktonik (Lampiran
5, Lampiran 8, Lampiran 11). Pengambilan sampel lapangan (hand specimen)
dilakukan berdasarkan tingkat kesegaran batuan untuk menghasilkan nilai uji
analisis yang presisi. Titik target area lokasi dipilih berdasarkan tingkat kesegaran
batuan dan titik yang mewakili dari setiap satuan geologi agar data yang diambil
bersifat representatif.

132
Gambar IV. 22 Titik Lokasi Pengambilan di Lokasi Penelitian

133
Berdasarkan analisis geokimia pada sampel (Tabel IV.8) batuan dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Satuan perselingan batupasir batulempung menunjukkan nilai total


karbon organik (TOC) sebesar 0.64 %. Mengacu pada Peter dan Cassa
(1994) satuan geologi ini dapat diinterpretasikan sebagai implikasi
kemungkinan sedikit berpotensi (fair). Kemudian, nilai hidrogen
indeks (HI) menunjukkan nilai sebesar 41.5 yang diinterpretasikan
memiliki hasil utama yaitu gas (gas prone) dengan kuantitas relatifnya
kecil (Waples, 1985).

2. Satuan batupasir menunjukkan nilai total karbon organik (TOC)


sebesar 0.24 %. Mengacu pada Peter dan Cassa (1994) satuan geologi
ini dapat diinterpretasikan sebagai implikasi potensi rendah (poor).
Kemudian, nilai hidrogen indeks (HI) tidak dilakukan analisis karena
satuan batupasir ini memiliki nilai total karbon organik (TOC) yang
sangat rendah.

3. Satuan perselingan batupasir batulempung tufaan menunjukkan nilai


total karbon organik (TOC) sebesar 0.40 %. Mengacu pada Peter dan
Cassa (1994) satuan geologi ini dapat diinterpretasikan sebagai
implikasi potensi rendah (poor). Kemudian, nilai hidrogen indeks (HI)
menunjukkan nilai sebesar 8 yang diinterpretasikan memiliki hasil
utama yaitu gas (gas prone) dengan kuantitas relatifnya kecil (Waples,
1985). Satuan ini dilakukan uji analisis hidrogen indeks (HI) karena
memiliki nilai total karbon organik (TOC) yang mendekati batas 0.5
antara poor dan fair.

Berdasarkan data analisis geokimia dilakukan analisis burial modelling


untuk merekonstruksi sistem penguburan dari proses sedimentasi di Sub-
Cekungan Banyumas (Gambar IV.23). Pada sistem burial modelling
menunjukkan bahwa satuan perselingan batupasir batulempung memiliki umur
paling tua yang diperkirakan pada Kala Miosen Awal Bagian Akhir (Late - Early
Miocene) hingga Kala Miosen Tengah Bagian Awal (Early – Middle Miocene).
Satuan ini terendapkan paling tua dan menunjukkan adanya suatu kontak litologi
selaras terhadap satuan yang lebih muda yaitu satuan batupasir. Walaupun,

134
berdasarkan data tabulasi fosil (Lampiran 5 dan Lampiran 8) satuan perselingan
batupasir batulempung memiliki rentang umur Zonasi Blow N8 – N9 dan satuan
batupasir memiliki rentang umur Zonasi Blow N12 – N17 dinyatakan bahwa
ketersediaan data yang kurang detil dan mungkin kelimpahan fosil yang terlihat
hanya fosil dengan umur tua tetapi berdasarkan konsep pengamatan data di
lapangan kenampakkan hubungan litologi selaras dengan orientasi kemiringan
yang sesuai. Satuan ini memiliki karakteristik litologi detritus lempungan dan
pasiran berukuran sagat halus hingga halus berdasarkan analisis petrografi
(Lampiran 3 dan Lampiran 4) dan diinterpretasikan berpotensi menjadi sistem
batuan induk (source rock) karena mengandung material organik yang tinggi.

Setelah itu, dilanjutkan proses sedimentasi oleh satuan geologi yang lebih
muda yaitu satuan batupasir yang berumur Kala Miosen Tengah hingga Kala
Miosen Akhir. Pada sistem burial modelling satuan ini menunjukkan proses
sedimentasi yang cukup lama dengan rentang zonasi N12 hingga N17 (Blow,
1969). Satuan ini diinterpretasikan memiliki jenis porositas yang cukup baik
karena disusun oleh material detritus pasiran berukuran sangat halus hingga
sedang berdasarkan analisis petrografi (Lampiran 6 dan Lampiran 7) sehingga
berpotensi menjadi sistem batuan waduk (reservoir rock) dan memiliki ketebalan
yang besar dengan waktu sedimentasi yang cukup lama sehingga berpotensi
sebagai sistem batuan pembeban (overburden rock). Kemudian, dilanjutkan
proses sedimentasi oleh satuan geologi yang paling muda yaitu satuan perselingan
batupasir batulempung tufaan yang berumur Kala Pliosen Awal hingga Kala
Pliosen Akhir. Pada sistem burial modelling satuan ini menunjukkan proses
sedimentasi yang cukup sebentar dengan rentang zonasi N18 - N20 (Blow, 1969).
Satuan ini diinterpretasikan memiliki karakteristik litologi detritus lempungan dan
pasiran berukuran sangat halus hingga halus dengan sifatnya tufaan (tuffaceous)
berdasarkan analisis petrografi (Lampiran 9 dan Lampiran 10) sehingga
berpotensi menjadi sistem batuan pengikat (seal rock) karena sifat sealing dari
material tufaan. Detritus halus bersifat tufaan berpotensi untuk mengakumulasi
dan tidak dapat melosokan fluida sehingga bersifat mengikat (sealing). Pada
sistem burial modelling satuan ini diperlihatkan memiliki kedalaman yang
dangkal karena data yang digunakan merupakan data rekonstruksi berdasarkan
data penampang geologi sehingga kenampakkan yang dianalisis berdasarkan data

135
di permukaan dan diperkirakan detritus halus tufaan memiliki kemampuan untuk
menampung fluida tetapi sangat mudah untuk tererosi sehingga memiliki
rekonstruksi kedalaman yang dangkal.

Gambar IV. 23 Burial Modelling Sedimentasi di Lokasi Penelitian

IV.6. Analisis Geokimia Hidrokarbon Lokasi Penelitian


IV.6.1 Karakteristik Geokimia Batuan Induk
IV.6.1.1. Analasisis Kuantitatif Batuan Induk

Pengukuran analisis total karbon organik dan evaluasi pirolisis


batuan dilakukan pada sampel batuan di titik lokasi pengamatan LP 11, LP
33 dan LP 14. Sampel yang diteliti diperoleh dari data pengambilan sampel
di lapangan penelitian berupa tiga sampel permukaan (hand specimen).
Sampel tersebut memiliki deskripsi berupa: satuan perselingan batupasir
batulempung yang disebandingkan dengan Formasi Rambatan (Tmr),
satuan batupasir yang disebandingkan dengan Anggota Batupasir Formasi
Halang (Tmhs) dan satuan perselingan batupasir batulempung yang

136
disebandingkan dengan Formasi Halang (Tmph). Dengan metode analisis
yang diuji berupa kandungan karbon organik (TOC) dan analisis pirolisis
evaluasi batuan (REP) (Gambar IV.24).

137
Gambar IV. 24 Titik Lokasi Pengamatan Sampel

138
Berdasarkan analisis geokimia pada sampel (Gambar IV.25) batuan
dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Satuan perselingan batupasir batulempung pada LP 11 A dan LP 11 B


menunjukkan nilai rata – rata total karbon organik (TOC) sebesar 0.64
%. Mengacu pada Peter dan Cassa (1994) satuan geologi ini dapat
diinterpretasikan sebagai implikasi kemungkinan berpotensi yang
sedikit (fair). Nilai rata – rata S1 sebesar 0.01 menunjukkan
hidrokarbon bebas pada sampel ini termasuk ke dalam jenis poor. Nilai
rata – rata S2 sebesar 0.265 menunjukkan potensi hidrokarbon dalam
kerogen termasuk ke dalam jenis poor. Nila rata – rata S3, sebesar 0.37
menunjukkan cukup tingginya jumlah karbon dioksida (CO2) yang
terbentuk saat pirolisis. Kemudian, nilai hidrogen indeks (HI)
menunjukkan nilai rata – rata sebesar 41.5 dan nilai oksigen indeks (OI)
menunjukkan nilai rata – rata sebesar 57.5 yang berpotensi membentuk
hidrokarbon tipe gas ke tidak ada (gas prone to none) yang artinya
batuan ini belum matang untuk menghasilkan hidrokarbon. Nilai rata –
rata oil production index (OPI) sebesar 0.035 yang menunjukkan
ketidakmungkinan untuk menghasilkan hidrokarbon tipe minyak. Nilai
rata – rata suhu maksimum sebesar 391.50C menunjukkan sampel ini
belum pada kondisi matang (immature). Berdasarkan korelasi
keseluruhan data analisis crossplotting (Gambar IV.25) terhadap
klasifikasi Peters dan Cassa (1994) dapat diinterpretasikan satuan
perselingan batupasir batulempung memiliki nilai total karbon organik
yang rendah dengan jenis dan diinterpretasikan batuan ini
menghasilkan hidrokarbon dengan tipe gas ke tidak ada (gas prone to
none) dengan kondisi yang belum matang. Menurut Lowe (1999)
batuan ini termasuk ke dalam jenis tidak ekonomis (spent source rock)
karena kandungan material organik yang tidak berlimpah dan tetap aktif
mengeluarkan hidrokarbon. Satuan perselingan batupasir batulempung
berpotensi rendah hingga baik untuk menjadi batuan induk dengan
karakteristik tidak efektif untuk menghasilkan hidrokarbon dengan
kerogen yang akan teroksidasi.

139
2. Satuan batupasir pada LP 33 menunjukkan nilai total karbon organik
(TOC) sebesar 0.24 %. Mengacu pada Peters dan Cassa (1994) satuan
geologi ini dapat diinterpretasikan sebagai implikasi berpotensi rendah
(poor). Analisis S1, S2, S3, HI, OI, OPI dan suhu maksimum tidak
dilakukan karena sampel ini mengandung material organik yang sedikit.

3. Satuan perselingan batupasir batulempung tufaan pada LP 14


menunjukkan nilai total karbon organik (TOC) sebesar 0.40 %.
Mengacu pada Peter dan Cassa (1994) satuan geologi ini dapat
diinterpretasikan sebagai implikasi potensi yang rendah (poor). Nilai
S1 sebesar 0 menunjukkan hidrokarbon bebas pada sampel ini termasuk
ke dalam jenis poor. Nilai S2 sebesar 0.03 menunjukkan potensi
hidrokarbon dalam kerogen termasuk ke dalam jenis poor. Nila S3
sebesar 0.64 menunjukkan tingginya jumlah karbon dioksida (CO2)
yang terbentuk saat pirolisis. Kemudian, nilai hidrogen indeks (HI)
menunjukkan nilai sebesar 8 dan nilai oksigen indeks (OI)
menunjukkan nilai sebesar 160 yang berpotensi membentuk
hidrokarbon tipe gas ke tidak ada (gas prone to none) yang artinya
batuan ini tidak berpotensi untuk menghasilkan hidrokarbon. Nilai oil
production index (OPI) sebesar 0 yang menunjukkan
ketidakmungkinan untuk menghasilkan hidrokarbon. Nilai suhu
maksimum sebesar tidak didapatkan menunjukkan sampel ini belum
matang (immature). Satuan perselingan batupasir batulempung tufaan
berpotensi rendah untuk menjadi batuan induk dengan kandungan
material organik yang sedikit.

Berdasarkan hasil data dapat dinyatakan satuan perselingan


batupasir batulempung mengandung nilai TOC > 0.5 % diartikan sebagai
batuan induk dengan implikasi potensi yang sedikit dengan kemampuan
yang terbatas (Wicaksana, 2018; Winegardner dan Testa, 2020) dan
menunjukkan sedimen terendapkan di lingkungan oksidator sehingga
kandungan material organiknya teroksidasi. Sedangkan, untuk satuan
batupasir dan satuan perselingan batupasir batulempung tufaan mengandung
nilai TOC < 0.5 % diartikan implikasi potensinya rendah dan dapat

140
diabaikan (Dembicki, Jr., 2017) dan menunjukkan sedimen terendapkan di
lingkungan sangat oksidator sehingga kandungan material organiknya
teroksidasi tinggi.

Gambar IV. 25 Crossplotting Data Analisis Kuantitas Hidrokarbon


IV.6.1.2. Analisis Kualitatif Batuan Induk

Berdasarkan hasil analisis kerogen pada (Tabel IV.9) menunjukkan


jenis kerogen dari batuan terkandung oleh 67 % material organik vitrinit, 25
% material darat (plant debris) dan 8 % dari material organik liptinit berupa:
1% cuticinite, 2% sporinite, 2% resinite dan 3% liptodetrinite. Oleh karena
itu, dapat diinterpretasikan material organik didominansi oleh vitrinit berupa
material kayu (lignified) dan material tumbuhan tingkat tinggi asal darat
(terrestrial plants).

141
Tabel IV. 9 Analisis Data Kualitatif Batuan Induk

142
Berhubungan terhadap hasil analisis pirolisis evaluasi batuan (rock
eval pyrolysis) (Gambar IV.26) dinyatakan termasuk ke dalam hidrokarbon
tipe gas prone dan minim untuk membentuk hidrokarbon tipe oil prone
karena mengandung nilai indeks oksigen (HI) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan indeks hidrogen (HI). Hidrokarbon ini terbentuk
karena pengaruh ikatan struktur karbon aromatic dengan rantai cabang
berikatan oksigen. Berdasarkan analisis kerogen dinyatakan batuan induk
satuan perselingan batupasir batulempung merupakan material sedimen
transportasi dari darat.

Berdasarkan hasil data warna spora sebesar 3 – 3/4 dengan warna


oren kusam hingga oren dan termasuk ke dalam tipe moderate pada skala
Batten menunjukkan sampel ini memiliki nilai kerogen sedikit lebih matang
dibandingkan reflektansi vitrnit sehingga sampel ini dinyatakan sedikit lebih
matang. Berdasarkan data crossplotting indeks oksigen dan indeks hidrogen
(Gambar IV.26) menunjukkan nila rata - rata indeks hidrogen sebesar 41.5
dan nilai rata - rata indeks oksigen sebesar 57.5 yang membentuk
hidrokarbon tipe gas prone dengan material organik pembentuknya material
asli tumbuhan darat (terrestrial plants) atau kayu (lignified) yang
terendapkan di darat dalam kondisi humic dengan beberapa material
tambahan seperti lapisan kutikula, spora, getah (resin) dan tumbuhan darat
berserat dengan kondisi teroksidasi.

143
Gambar IV. 26 Identifikasi Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen
IV.6.1.3. Analisis Tingkat Kematangan Batuan Induk

Pada analisis suhu maksimum (T0Max) pada sampel LP 11 A


menunjukkan suhu 3750C dan LP 11 B menunjukkan suhu 4080C.
Berdasarkan grafik crossplotting antara suhu maksimum (T0Max) terhadap
indeks hidrogen (HI) kedua sampel dinyatakan belum matang (immature).
Kenampakkan sampel titik LP 11 A berada pada zona out of range di
diagram crossplotting dikarenakan masih ada material organik yang bersifat
pyrolysable sehingga suhu maksimum belum tercapai (Gambar….).
Kemudian, berdasarkan klasifikasi Peters dan Cassa (1994) kedua sampel

144
satuan perselingan batupasir batulempung dinyatakan belum matang karena
kedua suhu dari sampel tersebut di bawah 4350C.

Gambar IV. 27 Diaram Maturitas Batuan Induk Berdasarkan Suhu Maksimum


(T0Max)
IV.6.1.4. Komponen Senyawa Kimia

Diagram triangle of bulk composition digunakan untuk mengetahui


tingkat kematangan berdasarkan komposisi senyawa kimia. Komponen
senyawa kimia pada sampel LP11 satuan perselingan batupasir
batulempung terdiri atas senyawa karbon jenuh (saturated carbon), karbon
aromatic (aromatic carbon) dan komponen campuran dari N-Sulfinyalniline
dan aspal (NSO + Polar). Berdasarkan hasil ekstraksi sampel didapatkan
hasil persentase senyawa berupa: 26.67 % saturated carbon, 30.00 %
aromatic carbon dan 43.33 % NSO + Polar. Komponen sampel dinyatakan
didominansi oleh persentase senyawa NSO + Polar dengan persentase
karbon jenuh dan karbon aromatik hampir seimbang. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan karakteristik bersifat belum matang dengan kondisi sampel
dibatas kondisi oksidasi. Perbandingan komponen antara karbon jenuh dan
karbon aromatik menunjukkan hasil 0.89. Berdasarkan nilai perbandingan
karbon jenuh terhadap karbon aromatik < 1 yang menyatakan bahwa sampel

145
ini sedikit didominansi oleh senyawa tidak jenuh tetapi menuju ke kondisi
oksidatif menuju saturated carbon seperti hidrokarbon rantai pendek.
Kemudian, berdasarkan hasil crossplotting diagram triangle of bulk
composition dinyakatakan sampel satuan perselingan batupasir
batulempung pada LP 11 pada kondisi increasing maturation (Gambar
IV.28).

Gambar IV. 28 Crossploting Data Analisis Bulk Batuan Induk


IV.6.1.5. Karakteristik Sumber Fasies

Ekstaksi sampel LP 11 dengan litologi batuan perselingan batupasir


batulempung menunjukkan data kromatografi gas. Komponen senyawa
yang terubah menjadi fraksinasi memperlihatkan kelimpahan senyawa
dalam sampel. Senyawa pristana dan fitana merupakan senyawa turunan
isoprenoid hasil sintesis terpenoid yang berasal dari organisme fototropik
dan tumbuhan tingkat tinggi (higher plants) yang digunakan untuk
menentukan lingkungan pengendapan redoks dan tingkat kematangan
(Didyk dkk., 1978). Senyawa pristana dihasilkan pada kondisi lingkungan
pengendapan oksidatif (oxic) sedangkan fitana dihasilkan pada kondisi
lingkungan reduktif (anoxic). Indeks preferensi karbon (CPI) merupakan
komponen untuk menentukan tingkat kematangan senyawa karbon. Rasio

146
Pr/Ph > 3.5 menunjukkan lingkungan pengendapan oxic sedangkan rasio
Pr/Ph < 1.5 menunjukkan lingkungan pengendapan anoxic.

Berdasarkan hasil data ekstraksi (Tabel IV.10) menunjukkan bahwa


komponen senyawa pada LP 11 tersusun oleh karbon alkana rantai panjang
dengan dominansi nilai pristana dibandingkan nilai fitana. Kelimpahan
senyawa pristana sebesar 1.60 dibandingkan keterdapatan senyawa fitana
sebesar 0.69 menunjukkan bahwa sampel terendapkan di lingkungan sedikit
oksik karena masih factor pengaruh dari senyawa fitana. Kondisi lingkungan
pengendapan ini diperkirakan berada di zona suboksik (suboxic) yaitu batas
antara zona oksik dan anoksik. Berdasarkan rasio pristana/fitana sebesar
2.39 yang menunjukkan sumber material berasal dari senyawa isoprenoid
yang merupakan hasil biosintesis membran lipid. Rasio pristana/fitana > 1.0
menunjukkan sampel memiliki karakteristik low waxy - waxy. Kemudian,
nilai CPI menunjukkan hasil sebesar 1.11 dinyatakan bahwa kematangan
sampel berada pada tingkat belum matang – matang (immature to mature)
dengan komponen senyawa didominansi oleh alkana karbon ganji (Murray
dkk., 1994; Schouten dkk., 2001). Berdasarkan hasil ekstrasi dikatakan
sampel ini merupakan sampel yang terendapkan dari material darat
(terrestrial) berupa tumbuhan tingkat tinggi atau kayu (lignified) dengan
indikasi komponen pembentuk berupa kutikula dengan karakteristik low
waxy - waxy yang terendapkan di lingkungan suboksik dengan tingkat
kematangan belum matang dan sumber material masih merupakan material
asli dari sumbernya.

147
Tabel IV. 10 Data Komponen Senyawa Ekstraksi Batuan Induk

Berdasarkan hasil pembacaan kromatografi gas dan spektrometri


(GC-MS) dihasilkan beberapa senyawa komponen fraksinasi hidrokarbon
(Gambar IV.29). Pada data diinterpretasikan kandungan sampel
didominansi oleh senyawa karbon sterana rantai C29 pada %aaa R sebesar
72.75% yang menunjukkan sampel ini terbentuk oleh sumber material
organik asal darat (terrestrial plants). Kemudian, senyawa diasterana
merupakan senyawa turunan dari sterana yang hadir berasosiasi dengan
mineral lempung dengan sifat resisten terhadap degradasi biologis dan
termal. Senyawa diasterana umumnya digunakan untuk menunjukkan
sumber material yang berasoasi terhadap material klastik dan karbonat yang
mana apabila diasterana tinggi material organik diinterpretasikan
berasosiasi dengan material klastik atau mineral lempung (Hughes, 1984;
Zumberge, 1984; Mello et al, 1988b; Czochanska et al., 1988; Mattavelli
dan Novelli, 1990; Riediger et al., 1990; Alajbeg et al., 1990). Berdasarkan
diagram crossplotting diasterana menunjukkan nilai diasterana sebesar 0.2
yang artinya sumber material pembentuk satuan perselingan batupasir
batulempung minim akan kandungan klastik berupa material lempung yang
mana batuan ini merupakan produk vulkanik. Sehingga dinyatakan sampel
ini minim akan kandungan mineral lempung sehingga kandungan karbon
organik dalam sampel tidak berlimpah dan dinyatakan bahwa batuan ini
minim akan kandungan mineral lempung yang diendapkan di kondisi oksik
dengan tingkat kematangannya belum matang.

148
Rasio Tm/Ts merupakan senyawa trisnorhopana yang diturunkan
dari senyawa hopanoid. Trisnorhopana dikategorikan sebagai kelompok
triterpenoid dengan struktur empat cicin siklik yang berikatan dan kehadiran
senyawa dikontrol oleh tingkat oksisitas. Sedangkan, senyawa moretana
merupakan senyawa isoprenoid turunan triterpenoid yang berlimpah di
dalam material darat. Rasio Tm/Ts digunakan untuk menentukan suatu
lingkungan pengendapan sumber material. Berdasarkan hasil data (Gambar
IV.29) didapatkan nilai rasio Tm/Ts > 1 dan nilai C30 moretana sebesar 0.33
maka dilakukan crossplotting antara rasio tm/ts terhadap C30 moretana
dinyatakan sampel dibentuk oleh material darat (terrestrial plants) dengan
lingkungan pengendapan suboksik. Hopana merupakan suatu senyawa
isoprena kelompok triterpenoid digunakan untuk mengetahui korelasi
komponen pengaruh dalam pembentukan sumber asal material. Semakin
tinggi kehadiran senyawa hopanoid dapat menentukan sumber material
berasal dari alga, bakteri dan biomassa lainnya. Sedangkan, rasio Pr/Ph
digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan yang bersifat oksik
atau anoksik. Berdasarkan hasil diagram crossplotting antara senyawa
hopana/sterana dengan pristana/fitana dinyatakan bahwa sampel litologi
terendapkan di lingkungan anoksik ke suboksik dengan adanya pengaruh
sumber material alga laut (marine algae). Berdasarkan komponen senyawa
triterpana seperti C28/C30 hopana, C29/C30 hopana, Des-A-Lup/Des-A-Ol
dan Oleanana/C30 Hopana merupakan komponen turunan senyawa
triterpana dan diinterpretasikan terhadap diagram distribusi terpana trisiklik
dinyatakan komponen pembentuk material organik dari batuan ini adalah
komponen campuran (mixed).

149
Gambar IV. 29 Crossplotting Data Analisis Senyawa Fraksinasi Batuan Induk

Berdasarkan hasil kromatogram dari GCMS (Gambar IV.30)


terlihat kenampakkan adanya suat base line peak yang tinggi yang
menunjukkan adanya UCM (unresolved complex mixture) dan terlihatnya
kenampakkan tailing pada kromatogram m/z 191 yang menunjukkan sampel
terbiodegradasi tinggi (heavy biodegradation) karena pengaruh oksidasi
dari material organik maupun anorganik. Kemudian, pada data spektrum
massa m/z 217 komponen senyawa C27 sterana sebesar 22.33%, C28 sterana
sebesar 4.92% dan C29 sebesar 72.75%. Rasio sterana karbon ganjil sebagai
komponen senyawa yang dominan pembentuk material batuan. Berdasarkan
crossplotting diagram segitiga sterana (Huang dan Meinschein, 1979)
didapatkan sumber fasies material berasal dari darat (terrestrial plants) atau

150
endapan darat (terrigenous) dengan material berupa tumbuhan tingkat tinggi
(higher plants) atau kayu (lignified).

Gambar IV. 30 Data Analisis Biomarker Batuan Induk

IV.6.2 Karakteristik Geokimia Rembesan Hidrokarbon


IV.6.2.1. Karakteristik Komponen Senyawa Kimia

Diagram triangle of bulk composition digunakan untuk mengetahui


tingkat kematangan berdasarkan komposisi senyawa kimia. Komponen
senyawa kimia pada sampel rembesan hidrokarbon (oil seepage) pada LP 1
di satuan perselingan batupasir batulempung yang terdiri atas senyawa
karbon jenuh (saturated carbon), karbon aromatic (aromatic carbon) dan
komponen campuran dari N-Sulfinyalniline dan aspal (NSO + Polar).
Berdasarkan hasil ekstraksi sampel didapatkan hasil persentase senyawa
berupa: 26.53% saturated carbon, 46.94% aromatic carbon dan 26.53%
NSO + Polar. Komponen sampel dinyatakan didominansi oleh persentase
senyawa karbon aromatik dengan persentase karbon aromatik lebih tinggi
dibandingkan karbon jenuh. Oleh karena itu, dapat dinyatakan karakteristik
hidrokarbon pada LP 1 merupakan suatu hidrokarbon jenis berat (heavy

151
hydrocarbon) karena disusun oleh komponen senyawa aromatik.
Berdasarkan hasil crossplotting diagram dinyatakan sampel LP 1 memiliki
karakteristik hidrokarbon berupa paraffin atau naftalena dengan tipikal
hidrokarbon tidak jenuh (unsaturated) pada kondisi slightly biodegradation
(Gambar IV.31).

Gambar IV. 31 Crossplotting Data Analisis Bulk Rembesan Hidrokarbon


IV.6.2.2. Karakteristik Sumber Fasies

Berdasarkan hasil kromatogram dari GCMS (Gambar IV.32)


terlihat kenampakkan adanya suat base line peak yang tinggi yang
menunjukkan adanya UCM (unresolved complex mixture) dan terlihatnya
kenampakkan tailing pada kromatogram m/z 191 yang menunjukkan sampel
terbiodegradasi sedikit tinggi ke tinggi (slightly heavy biodegradation to
heavy biodegradation) karena pengaruh oksidasi dari material organik
maupun anorganik. Kemudian, pada data spektrum massa m/z 217
komponen senyawa C27 sterana sebesar 38.24 %, C28 sterana sebesar 35.91
% dan C29 sebesar 25.85 %. Rasio sterana karbon ganjil dan karbon genap
memiliki persentase sebanding sebagai komponen senyawa pembentuk
sumber fasies material batuan. Berdasarkan hasil crossplotting diagram
sterana (Huang dan Meinschein, 1979) didapatkan sumber fasies material
berasal dari open marine to estuarine or bay. Hal ini disebabkan karena

152
faktor kehadiran persentase karbon sterana C27 diindikasikan berasal dari
material laut seperti alga laut, alga hijau, alga hijau kuning, fitoplankton dan
kemungkinan kehadiran mikro alga botryoccocus braunii. Kemudian, faktor
kehadiran persentase karbon sterana C28 diindikasikan berasal dari material
transisisi berupa alga danau, diatoms dan bryophyates. Kehadiran karbon
sterana C29 menunjukkan terdapatnya sumber fasies material darat
(terrestrial plants) atau endapan darat (terrigenous) dengan material berupa
tumbuhan tingkat tinggi (higher plants) atau kayu (lignified). Kehadiran
senyawa hopana yang cukup tinggi menunjukkan adanya sumber material
hidrokarbon ini berasal dari domanansi alga, bakteri dan biomassa lainnya
sebagai komponen utama pembentuk hidrokarbon. Kehadiran senyawa Des-
A-Lupana/Des-A-Oleanana yang tinggi menunjukkan keterdapatan material
hidrokarbon berasal dari degradasi mikroba di bawah kondisi anoksik.

153
Gambar IV. 32 Data Analisis Biomarker Rembesan Hidrokarbon

IV.6.3 Korelasi Karakteristik Geokimia Batuan Induk dan Rembesan


Hidrokarbon

Berdasarkan data korelasi antara batuan LP 11 dan rembesan


hidrokarbon LP 1 (Gambar IV.33) maka dapat dinyatakan korelasi sumber
fasies materialnya. Sumber fasies material LP 11 satuan perselingan batupasir
batulempung sebagai batuan induk dinyatakan memiliki tingkat kematangan
fair dengan tipe kerogennya yaitu vitrinit dan berdasarkan nilai vitrinit

154
dinyatakan tingkat kematangannya belum matang (immature). Berdasarkan
data komponen senyawa kimia biomarker dinyatakan batuan ini memiliki
sumber fasies material berasal dari endapan darat (terrigenous) atau
tumbuhan tingkat tinggi (higher plants) dengan tingkat kematangan belum
matang menuju matang (immature to mature) yang terendapkan di
lingkungan darat (terrestrial). Sedangkan, berdasarkan data diagram segitiga
sterana LP 1 memiliki sumber fasies material berasal dari material campuran
berupa alga laut, alga hijau, alga biru hijau, fitoplanktonik, mikro alga
botryoccocus braunii, alga danau, diatoms, bryophyates, tumbuhan tingkat
tinggi (higher plants), endapan darat (terrigenous) dan tumbuhan kayu
(lignified) yang terendapkan di lingkungan lingkungan transisi di open marine
to estuarine or bay. Berdasarkan data korelasi antara batuan perselingan
batupasir batulempung LP 11 terhadap rembesan hidrokarbon LP 1 memiliki
korelasi negatif.

155
Gambar IV. 33 Korelasi Data Biomarker Batuan Induk (LP 11) terhadap Rembesan
Hidrokarbon (LP 1)

Pada titik lokasi pengambilan sampel analisis di lokasi pengamatan


(Gambar IV.34) menunjukkan praduga bahwasannya rembesan hidrokarbon
yang muncul bukan berasal dari batuan induk satuan perselingan batupasir
batulempung melainkan rembesan hidrokarbon telah bermigrasi pertama
(primary migration) dari batuan induk yang lain. Satuan perselingan batupasir
batulempung diduga merupakan reservoir utama (primary reservoir) dan
potensi untuk menjadi batuan induk kedua (secondary reservoir). Pengaruh
tingkat kematangan hidrokarbon diinterpretasikan karena pembebanan
overburden rock oleh satuan batupasir. Sistem jebakan hidrokarbon yang
terbentuk merupakan jebakan stratigrafi (stratigraphic trap) dan jebakan

156
struktural (structural trap). Keterdapatan rembesan hidrokarbon diduga telah
bermigrasi kedua (secondary migration) karena adanya sistem jebakan yang
rusak pada petroleum system yang disebabkan oleh struktur geologi dan
faktor erosi pada reservoir. Indikasi kemunculan rembesan hidrokarbon ke
permukaan mengambarkan daerah penelitian potensi akan hidrokarbon aktif
yang dangkal. Data geologi dan karakteristik komponen geokimia
menginterpretasikan bahwa satuan perselingan batupasir dan batulempung
memiliki korelasi negatif terhadap rembesan hidrokarbon.

157
Gambar IV. 34 3D Modelling Korelasi Data Pada Lokasi Penelitian

158
IV.7. Sejarah Geologi Lokasi Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data geologi yang meliputi: data deskripsi


litologi, data struktur geologi, data petrografi, data fosil foraminifera planktonik
dan bentik, data rekonstruksi peta geologi, data rekonstruksi peta orienasi struktur
geologi dan data fasies sedimentasi dapat digunakan untuk menggambarkan
ilustrasi sejarah geologi yang terjadi di lokasi penelitian. Sejarah geologi yang
terjadi di lokasi penelitian dibagi menjadi 9 fase pembentukan dengan penjelasan
menggunakan ilustrasi block modelling yang menjelaskan proses lingkungan
pengendapan, kontrol struktur geologi dan proses eksogen yang mempengaruhi
kenampakkan morfologi di lokasi penelitian. Rentang waktu sejarah geologi yang
terjadi diperkirakan berkisar antara Late Early Miocene - Quarternary (Gambar
IV.35).

Ilustrafi fase pertama dimulai dengan proses pengendapan batuan dengan


satuan litologi perselingan batupasir dan batulempung yang terendapkan sebagai
satuan yang berumur paling tua. Satuan ini terendapkan secara selaras pada umur
Kala Akhir-Miosen Awal hingga Awal-Miosen Tengah dengan data fosil indeks
foraminifera planktonik yaitu: Praeorbulina glomerosa curva (Blow),
Globigerinoides bisphericus (Todd), Praeorbulina transitoria (Blow) dan
Orbulina universa (d'Orbigny) menunjukkan zonasi blow di umur N8 - N9.
Kemudian, data fosil foraminifera bentik yaitu: Dentalina, Bathysiphon sp dan
Cassidulina menentukan paleobatimetri di outer shelf - lower bathyal (Lampiran
5). Berdasarkan data komposit log satuan perselingan batupasir batulempung
terendapkan dengan mekanisme pengendapan di fasies smooth portion of suprafan
lobes on mid fan (Walker, 1978).

Ilustrafi fase kedua menunjukkan adanya proses pengendapan batuan


dengan satuan litologi batupasir yang terendapkan sebagai satuan yang berumur
lebih muda. Satuan ini terendapkan secara tidak selaras pada umur Kala Miosen
Tengah – Miosen Akhir dengan data fosil indeks foraminifera planktonik yaitu:
Globigerinoides bolli (Blow), Globoquadrina dehiscens (Chapman, Parr dan
Collins), Neogloboquadrina acostaensis (Blow) dan Globigerinoides seiglei
(Bermudez dan Bolli) menunjukkan zonasi blow di umur N12 – N17. Kemudian,
data fosil foraminifera bentik yaitu: Bolivina, Rhabdaminella cylindrica dan
Cibicides menentukan paleobatimetri di inner shelf – outer shelf (Lampiran 8).

159
Berdasarkan data komposit log satuan batupasir terendapkan dengan mekanisme
pengendapan di fasies channelled suprafan lobes on mid fan hingga channelled
portion of suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978).

Ilustrafi fase ketiga menunjukkan adanya proses pengendapan batuan


dengan satuan litologi perselingan batupasir dan batulempung tufaan yang
terendapkan sebagai satuan yang berumur paling muda. Satuan ini terendapkan
secara selaras pada umur Kala Pliosen Awal –Pliosen Akhir dengan data fosil
indeks foraminifera planktonik yaitu: Globoquadrina dehiscens (Chapman, Parr
dan Collins), Cataphsydrax dissmilis (Cushman dan Bermudez) dan
Dentoglobigerina altispira altispira (Cushman dan Jarvis) menunjukkan zonasi
blow di umur N18 – N20. Kemudian, data fosil foraminifera bentik yaitu:
Amphistegina lessonii yang menentukan paleobatimetri di inner shelf – middle
shelf. Berdasarkan data komposit log satuan perselingan batupasir batulempung
tufaan terendapkan dengan mekanisme pengendapan di smooth on suprafan lobes
on mid fan (Walker, 1978).

Ilustrafi fase ketiga menunjukkan terdapatnya tiga satuan litologi yang


terendapkan secara selaras dan tidak selaras dengan proses transportasi sedimen
berasal dari aktivitas vulkanik pada lingkungan pengendapan slope pegunungan
bawah laut. Sehingga, diinterpretasikan mekanisme pengendapan yang bekerja
pada litologi tersebut secara mekanisme turbidit pegunungan api bawah laut
(submarine volcano). Ilustrasi fase keempat menunjukkan adanya kompresi gaya
tektonik Pulau Jawa yang teradi pada Kala Pleistosen Akhir dengan orientasi gaya
utara - selatan di lokasi penelitian. Ilustrasi fase kelima menunjukkan pengaruh
dari gaya kompresi tektonik membentuk struktur geologi lipatan antiklin dengan
jenis lipatan plunging anticline pada Kala Pleistosen Akhir. Orientasi persebaran
antiklin menunjukkan adanya penebalan ke arah timur dan penipisan ke arah barat.
Penipisan antiklin ini ditunjukkan dengan adanya penutupan data kedudukan
litologi di bagian barat dan analisis geostudio untuk struktur geologi lipatan
sehingga diinterpretasikan antiklin ini menutup ke arah barat.

Ilustrasi fase keenam menunjukkan terjadinya gaya kompresi tektonik


dengan orientasi gaya tenggara - baratlaut yang membentuk bidang off-set pada
litologi. Ilustrasi fase ketujuh menginterpretasikan gaya kompresi tektonik ini
mengakibatkan pembentukan pola sesar geser mengiri (left strike-slip fault)

160
dengan didukung analisis stereografi diperkirakan fase keenam dan ketujuh terjadi
pada Zaman Kuarter. Ilustrasi fase kedelapan menunjukkan adanya faktor
pengaruh agen erosi geomorfologi oleh air dan angin serta beberapa proses
pelapukan yang mendukung untuk membentuk kenampakkan morfologi. Faktor
pelarutan dan pelapukan yang intensif diperkirakan terjadi di zona daerah dengan
kemiringan morfometri yang cukup tinggi dan bidang lemah karena proses
kompresi tektonik sehingga mempercepat adanya proses erosi tersebut. Proses
erosi ini diperkirakan terjadi pada Zaman Kuarter.

Ilustrasi fase kesembilan menunjukkan suatu kenampakkan morfologi


daerah pada kondisi saat ini. Fase ini menginterpretasikan daerah lokasi dibentuk
oleh fase tektonik yang berangsur dengan waktu geologi yang cukup lama dan
adanya faktor agen erosi yang cukup intensif untuk membentuk kenampakkan
morfologinya. Kedua faktor tersebut menyebabkan adanya pengaruh migrasi
hidrokarbon ke permukaan. Hidrokarbon yang bermigrasi dan terakumulasi
terbentuk saat fase pembentukan lipatan. Hidrokarbon ini diperkirakan terletak di
kedalaman yang dangkal. Kemudian, terjadinya kompresi tektonik yang
membentuk pola sesar pada bidang lemah dan aktivitas agen erosi yang cukup
intensif menyebabkan hidrokarbon yang dangkal tersebut bermigrasi kembali ke
permukaan melalui bidang rekah pada zona lemah di lokasi penelitian. Proses ini
diperkirkan terjadi pada Zaman Recent.

161
Gambar IV. 35 Ilustrasi Block Modelling Sejarah Geologi Lokasi Penelitian

IV.8. Penentuan Petroleum System Event Chart Sub-Cekungan Banyumas

Determinasi petroleum system merupakan konsep untuk mengevaluasi


cekungan sedimen untuk mengeksplorasi hidrokarbon. Beberapa komponen
dianalisis untuk merekonstruksi evolusi geologi yang berpengaruh dalam proses
pembentukan hidrokarbon. Komponen elemen yang dianalisis berupa: batuan
induk (source rock), batuan waduk (reservoir rock), batuan penutup (seal rock),
jebakan (trap), migrasi (migration), batuan pembeban (overburden), kematangan

162
hidrokarbon (oil generation), akumulasi penyimpanan (preservation) dan waktu
kritis (critical moments) (Gambar IV.36).

Berdasarkan hasil keseluruhan data dinyatakan bahwa elemen batuan


induk (source rock) memiliki karakteristik berupa litologi satuan perselingan
batupasir batulempung dengan ketebalan ± 438.18 m dan berumur Kala Miosen
Awal Bagian Akhir (Late – Early Miocene) hingga Kala Miosen Tengah Bagian
Awal (Early – Middle Miocene) dengan Zonasi Blow N8 – N9 (Blow, 1969) pada
kurun waktu 17.40 – 13.8 juta tahun lalu? Satuan ini diinterpretasikan memiliki
kontak litologi selasar dengan satuan yang lebih muda yaitu satuan batupasir.
Walaupun, berdasarkan kenampakkan data fosil indeks satuan ini menunjukkan
zonasi N8 – N9 (Blow, 1969) tetapi pada data lapangan tidak ditemukan kontak
ketidakselaran di lapangan. Kemungkinan kenampakkan fosil yang ada hanya
fosil indeks yang berumur tua. Satuan ini memiliki zona batimetri outer shelf –
lower bathyal dengan laju sedimentasi sekitar ± 23.3529 cm/kyr. Satuan ini
terendapkan dengan mekanisme pengendapan pada fasies smooth portion of
suprafan lobes on midfan (Walker, 1978). Berdasarkan kesebandingan dengan
formasi satuan ini termasuk ke dalam Formasi Rambatan (Tmr). Satuan ini
memiliki nilai total karbon organik sebesar 0.64, reflektansi vitrinit 0.32 dengan
material organik didominansi oleh maseral vitrinit yang berasal dari tumbuhan
darat (terrestrial plants) atau kayu (lignified) yang memiliki sumber fasies
material di darat (terrestrial). Kondisi sampel mengalami biodegradasi tinggi
berdasarkan data GCMS yang menunjukkan kondisi UCM (Unresolved Complex
Mixture). Berdasarkan hasil korelasi data segitiga sterana antara batuan dengan
rembesan hidrokarbon dinyatakan batuan ini bukan merupakan batuan induk
utama (primary source rock) tetapi batuan waduk utama (primary reservoir rock)
dan hidrokarbon telah mengalami migrasi. Berdasarkan data nilai persentase TOC
dinyatakan batuan ini mungkin untuk menjadi batuan induk sekunder (secondary
reservoir rock).

Elemen reservoir rock memiliki karakteristik litologi berupa satuan


batupasir dengan ketebalan sekitar ± 1433.21 m dan berumur Kala Miosen Tengah
(Middle Miocene) hingga Kala Miosen Akhir (Late Miocene) dengan Zonasi Blow
N12 – N17 pada kurun waktu 13.8 – 5.3 juta tahun lalu. Satuan ini memiliki zona
batimetri inner shelf – outer shelf dengan laju sedimentasi sekitar ± 21.8824

163
cm/kyr. Satuan ini terendapkan dengan mekanisme pengendapan pada fasies
channeled suprafan lobes on midfan hingga channeled portion of suprafan lobes
on midfan (Walker, 1978). Berdasarkan kesebandingan formasi satuan ini
termasuk ke dalam Anggota Batupasir Formasi Halang (Tmhs). Satuan ini
memiliki nilai total karbon organik sebesar 0.24. Berdasarkan karakteristik
litologi, rentang laju sedimentasi, ketebalan litologi dan waktu pengendapan
satuan ini diinterpretasikan menjadi batuan waduk sekunder (secondary reservoir
rock) dan berpotensi menjadi batuan pembeban (overburden rock). Elemen batuan
penutup (seal rock) memiliki karakteristik litologi berupa satuan perselingan
batupasir batulempung tufaan dengan ketebalan ± 66.55 m dan berumur Kala
Pliosen Awal (Early Pliocene) hingga Kala Pliosen Akhir (Late Pliocene) dengan
Zonasi Blow N18 – N20 pada kurun waktu 5.3 – 2.6 juta tahun lalu. Satuan ini
memiliki zona batimetri inner shelf – middle shelf dengan laju sedimentasi sekitar
± 3.2593 cm/kyr. Satuan ini terendapkan dengan mekanisme pengendapan pada
fasies smooth on suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978). Berdasarkan
kesebandingan formasi satuan ini termasuk ke dalam Formasi Halang (Tmph).
Satuan ini memiliki nilai total karbon organik sebesar 0.40. Berdasarkan
karaketristik litologi, rentang laju sedimentasi, ketebalan litologi dan waktu
pengendapan satuan ini diinterpretasikan menjadi batuan pengikat (seal rock)
karena sifat mengikat dari karakteristik litologi. Elemen jebakan diinterpretasikan
dipengaruhi oleh sistem jebakan gabungan berupa jebakan stratigrafi
(stratigraphic trap) dan jebakan structural (structural trap) yang terjadi pada
kurun waktu ± 2.6 – 0.01 juta tahun lalu. Jebakan stratigrafi diinterpretasikan
terjadi karena adanya pengaruh dari karakteristik litologi seal rock berupa
perselingan batupasir dan batulempung tufaan. Perbedaan karakteristik tersebut
mempengaruhi sistem jebakan stratigrafi karena perbedaan karakteristik litologi.
Kemudian, jebakan struktural diinterpretasikan terjadi akibat terbentuknya
struktur antiklin berupa plunging anticline sehingga menyebabkan migrasi
hidrokarbon untuk terakumulasi di antiklin.

Elemen batuan pembeban memiliki karakteristik litologi berupa satuan


batupasir dengan ketebalan ± 1433.21 m dengan range waktu pengendapan sekitar
13.8 Ma hingga 5.3 Ma dengan laju sedimentasi ±.21.8824 cm/ky dan proses
sedimentasi terjadi selama 8.5 Ma. Berdasarkan data burial modelling dan laju

164
sedimentasi satuan ini berpotensi menjadi batuan pembeban (overburden rock).
Kemudian, waktu kematangan hidrokarbon diinterpretasikan terjadi akibat faktor
pembebanan oleh overburden rock yang terjadi pada kurun waktu akhir 2.6 Juta
tahun. Penentuan tingkat kematangan didukung dengan analisis burial modelling
dan laju sedimentasi. Migrasi dan preservasi diinterpretasikan terjadi pada kurun
waktu akhir ± 0.01 juta tahun lalu setelah pembentukan jebakan struktur berupa
plunging anticline dan kematangan hidrokarbon. Waktu kritis merupakan waktu
terbaik untuk menentukan kematangan, migrasi dan akumulasi yang terjadi pada
petroleum system. Waktu kritis diinterpretasikan terjadi pada kurun waktu ± 0.01
juta tahun lalu dengan faktor utama tingkat kematangan, waktu migrasi dan
akumulasi dan faktor adanya struktur geologi yang memicu adanya rembesan
hidrokarbon. Rembesan hidrokarbon menggambarkan keterdapat potensi minyak
dan gas dangkal di Sub – Cekungan Banyumas.

Gambar IV. 36 Petroleum System Chart Analysis Sub-Cekungan Banyumas

165
BAB V KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian determinasi petroleum system terhadap karakteristik


batuan induk dan rembesan hidrokarbon di Sub - Cekungan Banyumas dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Satuan perselingan batupasir batulempung dengan ketebalan ± 438.18 m dan


berumur Kala Miosen Awal Bagian Akhir (Late – Early Miocene) hingga Kala
Miosen Tengah Bagian Awal (Early – Middle Miocene) dengan Zonasi Blow
N8 – N9. Satuan ini memiliki zona batimetri outer shelf – lower bathyal dengan
laju sedimentasi sekitar ± 23.3529 cm/kyr. Satuan ini terendapkan dengan
mekanisme pengendapan pada fasies smooth portion of suprafan lobes on
midfan (Walker, 1978). Satuan kedua berupa satuan batupasir dengan
ketebalan sekitar ± 1433.21 m dan berumur Kala Miosen Tengah (Middle
Miocene) hingga Kala Miosen Akhir (Late Miocene) dengan Zonasi Blow N12
– N17. Satuan ini memiliki zona batimetri inner shelf – outer shelf dengan laju
sedimentasi sekitar ± 21.8824 cm/kyr. Satuan ini terendapkan dengan
mekanisme pengendapan pada fasies channeled suprafan lobes on midfan
hingga channeled portion of suprafan lobes on midfan (Walker, 1978). Satuan
ketiga adalah satuan perselingan batupasir batulempung tufaan dengan
ketebalan ± 66.55 m dan berumur Kala Pliosen Awal (Early Pliocene) hingga
Kala Pliosen Akhir (Late Pliocene) dengan Zonasi Blow N18 – N20. Satuan
ini memiliki zona batimetri inner shelf – middle shelf dengan laju sedimentasi
sekitar ± 3.2593 cm/kyr. Satuan ini terendapkan dengan mekanisme
pengendapan pada fasies smooth on suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978).
2. Terdapat dua struktur geologi yaitu Struktur Geologi Lipatan Antiklin Besuki
persebaran orientasi barat - timur merupakan lipatan plunging jenis gently
incline fold (Fleuty, 1964) dan Struktur Geologi Sesar Geser Mengiri
Parungkamal dengan orientasi barat laut - tenggara dengan penamaan jenis
sesar berupa reverse left slip fault dan left reverse slip fault (Rickard, 1972).
3. Berdasarkan analisis burial modelling diinterpretasikan satuan perselingan
batupasir batulempung memiliki nilai Total Karbon Organik (TOC) sebesar

166
0.64 dikarenakan faktor pembanan overburden rock yaitu satuan batupasir.
4. Berdasarkan data analisis batuan induk satuan perselingan batupasir
batulempung memiliki tipek kerogen vitrinit dengan potensi menghasilkan
hidrokarbon tipe gas prone dengan tingkat kematangannya immature. Batuan
ini memiliki sumber fasies material asal darat berupa tumbuhan tingkat tinggi
(higher plants), kayu (lignified) dan endapan darat (terrigenous). Sedangkan,
rembesan hidrokarbon merupakan hidrokarbon tipe unsaturated dengan
kondisi slightly heavy - heavy biodegradation.
5. Berdasarkan data biomarker batuan induk diinterpretasikan terendapkan di
lingkungan pengendapan darat (terrestrial) sedangkan rembesan hidrokarbon
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan open marine to estuarine or bay.
Sehingga, korelasi data diagram spider bersifat negatif dan diduga rembesan
hidrokarbon hadir hasil migrasi dari batuan induk lain.
6. Terdapatnya sembilan peristiwa kejadian sejarah geologi dimulai dari waktu
Kala Miosen Awal Bagian Akhir - Recent.
7. Terdapatnya sembilan element pada petroleum system di Sub - Cekungan
Banyumas yaitu: source rock berupa satuan perselingan batupasir
batulempung, reservoir rock berupa satuan batupasir, seal rock satuan
perselingan batupasir batulempung tufaan, trap berupa stratigraphic trap dan
structural trap, overburden rock berupa satuan batupasir, oil generation terjadi
pada Late 2.6 Ma, migrasi terjadi pada Early 0.01 Ma, preservation terjadi pada
early 0.01 Ma dan critical moments terjadi pada 0.01 Ma.

167
DAFTAR PUSTAKA

Aenil, Deventi N, dkk. 2020. Middle Miocene Carbonate Microfasies of Banyumas


Basin: Paleogeographic and Geodynamic Implications. Lombok : THE
49TH IAGI ANNUAL CONVENTION & EXHIBITION Lombok,
December 15-18th 2020
Agus Haris Widayat. 2011. Paleoenvironmental and Paleoecological Changes
during Deposition of the Late Eocene Kiliran Oil Shale, Central Sumatra
Basin, Indonesia. Kulonprogo : The Faculty of Geosciences/Geography of the
Johann Wolfgang Goethe University
Anil. 2021. Analisis Biomarker dari Sampel Rembesan Minyak dan Sampel Batuan
pada Sub-Cekungan Banyumas. Jakarta: Universitas Trisakti (unpublished)
Armandita, C., Mukti, M.M., Satyana, A.H., 2009, Intra-arc Trans- Tension Duplex
of Majalengka to Banyumas Area: Prolific Petroleum Seeps and
Opportunities in West-Central Java Border : Proceedings Indonesian
Petroleum Association 33rd Annual Convention & Exhibition
Asikin, S. (1974). Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi
Teori Tektonik Dunia Baru, Desertasi Doktor. Bandung: ITB, (unpublished)
Asikin, S., A. Handoyo, B. Prastistho dan S. Gafoer. 1992. Peta Geologi Lembar
Banyumas, Jawa Skala 1:100.000. Indonesia : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi
Baas, W.J., 1985. Naturally occurring seco-ring-A-triterpenoids and their possible
biological significance. Phytochemistry 24, 1875–1889.
Bachri, Syaiful. 2014. Pengaruh Tektonik Regional Terhadap Pola Struktru dan
Tektonik Pulau Jawa. Bandung : J.G.S.M. Vol. 15 No. 4 November 2014 hal.
215 – 221
Blow, W. H. 1969. Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminiferal
Biostratigraphy. In, Bronnimann, P. dan Renz, H. H. eds., Proceedings of the
First International Conference on Planktonic Microfossil, Volume. 1, p. 1 –
422
Boggs, S. (1987). Principles of sedimentology and stratigraphy Vol. II. Cambridge

168
Bouma, A. H. (1962). Sedimentology of some Flysch deposits: a graphic approach
to facies interpretation. Amsterdam; New York : Elsevier Pub. Co.
Brassell, S. C.; Eglinton, G.; Sheng, G.; Fu, J. (1988). Biological markers in
lacustrine Chinese oil shales. Geological Society, London, Special
Publications, 40(1), 299–308. doi:10.1144/GSL.SP.1988.040.01.24
Corbet, B., 1980. Origine et transformation des triterpènes dans les sédiments
récents. Ph.D. thesis, Université Louis Pasteur, Strasbourg, France, 106 p.
Deny. 2021. Analisis Biosekuen Stratigrafi dan Sejarah Pengendapan dari
Penampang Sumur "DN" di Cekungan Kutai Kalimantan Timur. Jakarta :
Universitas Trisakti
Didyk, B. M., Simoneit, B. R. T., Brassell, S. C., & Eglinton, G. (1978). Organic
geochemical indicators of palaeoenvironmental conditions of sedimentation.
Nature, 272(5650), 216–222.
Djuhaeni dan Martodjojo S., 1989, Stratigrafi Daerah Majalengka dan
Hubungannya dengan Tatanama Satuan Litostratigrafi di Cekungan Bogor,
Geologi Indonesia, PPPG-Bandung, vol. 12, no.1, hal. 227-252.
Djuri, 1975. Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, skala 1:100.000.
Direktorat Geologi, Bandung.
Djuri, M., H. Samodra, T. C. Amin dan S. Gafoer. 1996. Peta Geologi Lembar
Purwokerto dan Tegal, Jawa Skala 1:100.000. Indonesia : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi
Ekweozor, C. M., and Udo, O. T. (1988). The oleananes: Origin, maturation and
limits of occurrence in Southern Nigeria sedimentary basins. Organic
Geochemistry In Petroleum Exploration, 131–140. doi:10.1016/b978-0-08-
037236-5.50019-1
Evenick, J. C. 2022. Assessing hydrocarbon charge access via map-based fetch
analysis: Going beyond petroleum systems event charts. Geosystems and
Geoenvironment, 1(2), 100024.
Fleuty, M. J. (1964). The description of folds. Proceedings of the Geologists
Association, 75(4), 461-492.
Friedman, G. M., & Sanders, J. E. (1978). Principles of sedimentology. Wiley
Fu Jiamo, S. C. Brassell, G. Eglinton, Guoying Sheng. 1988. Biological markers in

169
lacustrine Chinese oil shales. Geological Society, London, Special
Publications, 40, 299-308, 1 January 1988,
https://doi.org/10.1144/GSL.SP.1988.040.01.24
Hadimuljono dan Desi Yensusnimar. 2022. Heavy Oil Seepageage Characteristic
in Cipari Area, Banyumas Central Java. Jakarta : Scientific Contributions Oil
and Gas, Vol. 44. No. 3, December 2021: 161 - 171
Hamilton, W., 1979. Tectonics of The Indonesian Region, Geological Survey
Professional Paper 1078, Washington.
Hamilton, W., 1989. Convergent-Plate Tectonics Viewed from the Indonesian
Region. Geol. Indon. v.12, n.1: 35-88.
Hao, F. , Zou, H. , Gong, Z. , Deng, Y. 2007. Petroleum migration and
accumulation in the Bozhong sub-basin, Bohai Bay basin, China:
significance of preferential petroleum migration pathways (PPMP) for the
formation of large oilfields in lacustrine fault basins. Mar. Petrol. Geol. 24,
1–13
Hayes, M.O., 2005.Wave-Dominated Coasts. In: Schwartz M.L. (eds)
Encyclopedia of Coastal Science. Encyclopedia of Earth Science Series.
Springer, Dordrecht.
Hidayat, dkk. 2020. Interpretasi Struktur Geologi Bawah Permukaan Berdasarkan
Updating Data Gaya Berat Cekungan Banyumas, Jawa Tengah. Bandung :
Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Vol.21. No.3 Agustus 2020 hal 111-
118
Huang, W.Y. dan Meinschein, W.G., 1979. Sterols as Ecological Indicators.
Geochimica and Cosmochimica Acta, 43, 739-745.
Hunt, J. M., 1979. Petroleum Geochemistry and Geology. W.H. Freeman and
Company, New York.
J. Connan; J. Bouroullec; D. Dessort; P. Albrecht (1986). The microbial input in
carbonate-anhydrite facies of a sabkha palaeoenvironment from Guatemala:
A molecular approach. 10(1-3), 0–50. doi:10.1016/0146-6380(86)90007-0
Kadar, Adi, P., Hudianto and Armein. (1996). “Selected Foraminifera.
Paleoenviromental Indikators for the Miocene of The Kutai. Basin”Jurnal
IPA, Jakarta. ITB.

170
Kastowo dan N. Suwarna. 1996. Peta Geologi Lembar Majenang, Jawa Skala
1:100.000. Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Katili, J., 1989. Evolution of the Southeas t Asian Arc Complex. Geo.Indon. v.12,
n.1: 113-143
Kennet, J. P dan Srinivasan. 1983. Neogene Planktonic Foraminifera, A
Phylogenetic Atlas. Hutchison Ross Publishing Company, 265pp
Kenneth E. Peters, Clifford C. Walters, and J. Michael Moldowan. 2005. The
Biomarker Guide Volume 1 Biomarkers and Isotopes in the Environment and
Human History. Standford University : California.
Koesumadinata. 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi. Bandung : Jilid 1 Edisi
kedua, ITB, Bandung, Indonesia
Kusuma, S.M dan B.K Susilo. 2020. Karakteristik Fasies Endapan Turbidit Formasi
Halang Daerah Pamriyan dan Sekitarnya, Jawa Tengah. Palembang : Seminar
Nasional AVoER XII 2020 Palembang, 18 - 19 November 2020 Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya
Langenheim, J.H., 1994. Higher plant terpenoids: A phytocentric overview of their
ecological roles. Journal of Chemical Ecology 20, 1223–1280.
Lemigas, 2005, Summary On Petroleum Geology of Indonesia’s Sedimentary
Basins, Prepared for Patra Nusa Data, Jakarta
Lemigas, 2005, Summary On Petroleum Geology of Indonesia’s Sedimentary
Basins, Prepared for Patra Nusa Data, Jakarta.
Lillis, P. G. (1988). Correlation and characterization of oils using biological
markers, Cuyama basin, California.
Link, W. K., 1952. Significance of Oil and Gas Seeps in World Oil Exploration.
AAPG Bulletin, 36
Lohmann, F., Trendel, J.M., Hetru, C., Albrecht, P., 1990. C-29 tritiated β-amyrin:
chemical synthesis aiming at the study of aromatization processes in
sediments. Journal of Labelled Compounds and Radiopharmaceuticals 28,
377–386.
Lohonauman, Rudolf Rivaldo, dkk. Tanpa Tahun. Geologi dan Studi Endapan
Turbidit Formasi Halang Daerah Watuagung dan Sekitarnya Kecamatan
Tambak Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Program Studi Teknik Geologi,

171
Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
Lunt, P., G. Burgon, A.A. Baky. 2008. “The pemali formation of central java and
equivalents: indicators of sedimentation on an active plate margin”, Journal
Of Asian Earth Sciences, 2008
Mann, A. L., Goodwin, N. S., & Lowe, S. (1987). Geochemical characteristics of
lacustrine source rocks: a combined palynological/molecular study of a
Tertiary sequence from offshore China.
Mann. 1987. Geochemical Characteristics of Lacustrine Source Rocks: A
Combined Palynological/Molecular Study of a Tertiary Sequence from
Offshore China. 16th Annual Convention Proceedings (Volume 1), 1987 Pages
241-258
Martodjojo, S., 1984, Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat, Desertasi Doktor, ITB,
Bandung
McKirdy, D. M., Cox, R. E., Volkman, J. K., & Howell, V. J. (1986).
Botryococcane in a new class of Australian non-marine crude oils. Nature,
320(6057), 57–59. doi:10.1038/320057a0
Mewengkang, Grace Khatrine. 2020. Analisis Fasies Turbidit dan Potensi
Reservoir Sedimen Laut dalam Formasi Halang Cekungan Banyumas,
Kabupten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Jakarta : Universitas Trisakti
(unpublished)
Middleton, G. V., & Hampton, M. A. (1973). Part I. Sediment gravity flows:
mechanics of flow and deposition.
Minster, J.B. and Jordan, T.H., 1978. Present day plate motion. Geophysicsal
Research, 83: 5331-5334.
Nicholls, I. W. (1980). Jalur Gunungapi Modern Jawa Tengah.
Noeradi, D. E.A. Subroto, H.E. Wahono, E. Hermanto, Y. Zaim. 2006. “Basin
evolution and hydrocarbon potential of majalengka – bumiayu transpression
basin, java island, indonesia”, AAPG 2006 International Conference and
Exhibition, Perth, Australia
Peakman, T. M., Farrimond, P., Brassell, S. C., & Maxwell, J. R. (1986). De-A-
steroids in immature marine shales. Organic geochemistry, 10(4-6), 779-789.
Peters E., dan Cassa R. (1994). Applied Source Rock Geochemistry. The petroleum

172
system — from source to trap: AAPG Memoir 60. Chapter 5 page 97-102.
Peters, dkk., (2017): Biomarkers: Assessment of Petroleum Source Rock Age and
Depositional Environment
Peters, K.E., Walters, C.C., Moldowan, J.M. (1993) : The Biomarker Guide Volume
1 Biomarkers and Isotopes in The Environment and Human History,
Cambridge
Peters, K.E., Walters, C.C., Moldowan, J.M. (2005) : The Biomarker Guide Volume
2 Biomarkers and Isotopes in The Environment and Human History,
Cambridge
Phoa, R. S., & Samuel, L. (1986). Problems of source rock identification in the
Salawati Basin, Irian Jaya.
Poole and Claypool. 1984. Petroleum Source Rock Potential and Crude Oil
Correlation in the Great Basin. Hydrocabon Source Rocks of the Greater
Rocky Mountain Region, 1984
Pratsch, J. 1986. The distribution of major oil and gas reserves in regional basin
structures - an example from the Powder River basin, Wyoming, USA. J. of
Pet. Geo. 9, 393–411
Pringgoprawiro, Harsono dan Rubiyanto Kapid. 2000. Foraminifera Pengenalan
Mikrofosil dan Aplikasi Biostratigrafi. Bandung : Penerbit ITB
Pulunggono, A. dan Martodjojo, S., 1994. Perubahan tektonik Paleogen – Neogen
merupakan peristiwa terpenting di Jawa. Proccedings Geologi dan
Geotektonik Pulau Jawa: 37-50.
Purwasatriya dan Gentur Waluyo. 2011. Pembuatan Model Geologi Bawah
Permukaan dengan Metode Geolistrik Dan Studi Stratigrafi pada Rembesan
Gas Di Jatilawang, Banyumas. Purbalingga : Dinamika Rekayasa Vol. 7 No.
2 Agustus 2011 ISSN 1858-3075
Purwasatriya, dkk. 2017. Oligocene-Pleistocene Paleogeography within Banyumas
Basin and implication to petroleum potential. Yogyakarta : 3rd International
Conference of Science and Technology (ICST) UGM, Yogyakarta, 2017
Purwasatriya, E.B., Surjono, S.S., dan Amijaya, H., 2019. Sejarah Geologi
Pembentukan Cekungan Banyumas Serta Implikasinya Terhadap Sistem
Minyak dan Gas Bumi. Jurnal Dinamika Rekayasa, 15(1): 23-31.

173
Purwasatriya, Eko Bayu, dkk. 2012. Studi Potensi Minyak Dangkal dengan
Pendekatan Metode Statistik Berdasar Data Geologi Permukaan Di Cekungan
Banyumas. Dinamika Rekayasa Vol. 8 No. 2 Agustus 2012 ISSN 1858-3075
Purwasatriya, Eko Bayu, dkk. 2018. Tectonostratigraphy of Banyumas Basin and
Its Correlation to Petroleum Potential. Purwokerto : Geological Engineering
Jenderal Soedirman University, Purwokerto and Doctoral program
Department of Geological Engineering University of Gadjah Mada,
Yogyakarta
Purwasatriya, Eko Bayu, dkk. 2021. Sedimentologi dan Tektonostratigrafi Formasi
Halang di Cekungan Banyumas serta Potensinya untuk Reservoir
Hidrokarbon. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Vol. 22 No. 3 Agustus
2021 hal. 153-163
Purwasatriya, Eko Bayu. 2014. Tinjauan Kembali Potensi Hidrokarbon Cekungan
Banyumas Berdasarkan Data Geologi dan Data Geofisika. Purwokerto :
1Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Sains Dan Teknik, Universitas
Jenderal Soedirman
Purwasatriya. 2012. Studi Potensi Minyak Dangkal dengan Pendekatan Metode
Statistik Berdasar Data Geologi Permukaan Di Cekungan Banyumas.
Purwokerto : Dinamika Rekayasa Vol. 8 No. 2 Agustus 2012 ISSN 1858-
3075
Putra, Rizki Arya, dkk. 2020. Analysis Of Sandstone Units Characteristic In Tapak
Formation, Paningkaban Area And Surroundings, Banyumas District,
Central Java Province : As Approach For Deepwater Reservoir Prospect
Study In Banyumas Sub-Basin. Lombok : THE 49TH IAGI ANNUAL
CONVENTION & EXHIBITION
Rachmah, Annisa, dkk. Tanpa tahun. Geologi Daerah Selanegara dan Sekitarnya
Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dan Analisis
Lingkungan Pengendapan Silicified Coal di Pit Parigin - Daerah Konsesi PT
ADARO INDONESIA Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Bogor :
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik - Universitas Pakuan
Reliubun, dkk. 2019. Penyelidikan Potensi Rembesan Minyak Bumi Daerah Munuk
Distrik Sarmi Selatan Kabupaten Sarmi. Jayapura : Jurnal DINAMIS Vol 16.

174
No. 2 2019 (Lukman N. Reliubun, Moh. R. Irjii Matdoan, Deyong P. Hindom
77-81
Riolo, J., Hussler, G., Albrecht, P., & Connan, J. (1986). Distribution of aromatic
steroids in geological samples: their evaluation as geochemical parameters.
Organic Geochemistry, 10(4-6), 981–990. doi:10.1016/s0146-
6380(86)80036-5
Rizal, Yan, dkk. 2019. Studi Diagenesis Batupasir Pada Asosiasi Fasies Channel-
Fill Formasi Halang. Bulletin of Geology Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB)
Rudy S. K. Phoa, Luki Samuel. 1986. Problems of Source Rock Identification in
the Salawati Basin, Irian Jaya. 15th Annual Convention Proceedings (Volume
1), 1986 Pages 405-421
Salvador, Amos (2013). International Stratigraphic Guide. Geological Society of
America. ISBN 9780813759388.
Salvador, dkk. 1999. International Stratigraphic Guide. USA : International
Subcommission on Stratigraphic Classification of IUGS dan International
Commission on Stratigraphy
Sam Boggs, J. (2006). PETROLOGY OFSEDIMENTARY ROCKS. United States of
America: Cambridge University Press, New York.
Satyana, A. H., & Purwaningsih, M. E. (2002). Lekukan Struktur Jawa Tengah:
Suatu Segmentasi Sesar Mendatar. Prosiding Akatan Ahli Geologi Indonesia
(IAGI), Yogyakarta, 1-14.
Satyana, A. H., dan Armandita, C. (2004). Deepwater Plays of Java, Indonesia:
Regional Evaluation on Opportunities and Risks.
Selley, R. C. (2000). Applied Sedimentology, (p. 2nd ed.: x + 523 pp.). San Diego,
San Francisco, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo: Academic Press.
Simandjuntak, T. O. dan Surono. 1992. Peta Geologi Lembar Pangandaran, Jawa
Skala 1 : 100.000. Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Simandjuntak, T.O. &Ba rber, A.J., 1996. Contrasing tectonic style in the Neogene
orogenic belts of Indonesia, in: Tectonic Evolution of Southeast Asia, eds.
Hall &Blundell, Geological Society Spec. Publ. No. 106: 185-201.
Sinninghe Damsté, J.S., Verschuren, D., Ossebaar, J., Blokker, J., van Houten, R.,

175
van der Meer, M.T.J., Plessen, B., Schouten, S., 2011. A 25,000-year record
of climateinduced changes in lowland vegetation of eastern equatorial Africa
revealed by the stable carbon-isotopic composition of fossil plant leaf waxes.
Earth and Planetary Science Letters 302, 236–246.
Soeria atmadja, R., Bellon, R.C., Pringgoprawiro, H., Polve, M. Dan Priadi, B.,
1994. Tertiary magmatic belt in Java, J. SE Sci., v.9, n.1-2: 13-27.
Soeria, R. A. (1994). Tertiary Magmatic Belts in Java. Southeast Asian Earth
Sciences, vol. 9, no. 1/2, Pergamon Press, Great Britain.
Subroto, E.A. D. Noeradi, A. Priyono, H.E. Wahono, E. Hermanto, Praptisih, K.
Santoso, “The paleogene basin within kendeng zone, central java island and
implication to hydrocarbon prospectivity”, Proceedings Indonesian
Petroleum Association, 31st annual convention and exhibition, Vol. IPA07-
G-091, 2007.
Sudradjat, A., 2007. Analisis Geologi Regional. Bahan Kuliah Program Pasca
Sarjana, MIPA UNPAD, (unpublished)
Sujanto F.X., Sumantri Y.R. Preliminary study on the tertiary depositional patterns
of Java. Proceedings Indonesian Petroleum Association 6th.1977; 183-213.
Summons, R. E., Metzger, P., Largeau, C., Murray, A. P., & Hope, J. M. (2002).
Polymethylsqualanes from Botryococcus braunii in lacustrine sediments and
crude oils. Organic Geochemistry, 33(2), 99–109. doi:10.1016/s0146-
6380(01)00147-4
Sutadiwiria, Y., Syavitri, D., dan Yeftamikha, 2021. Contribution of terrestrial
material in West Sulawesi based on geochemical and biostratigraphy
analysis. IOP Conf. Ser: Materials Sci. Eng.1098 062014.
Tissot, B.P. dan Welte, D.H. 1978. Petroleum Formation and Occurrence, A New
Approach to Oil and Gas Exploration. Springer-Verlag, New York
Trendel, J.M., Lohmann, F., Kintzinger, J.P., Albrecht, P., Chiarone, A., Riche, C.,
Cesario, M., Guilhem, J., Pascard, C., 1989. Identification of des-A-
triterpenoid hydrocarbons occurring in surface sediments. Tetrahedron 6,
4457–4470.
Van Bemmelen, R. W. 1949. The Geology of Indonesia Vol. IA and Adjacent
Archipelagoes. Netherlands : Government Printinig Office, The Hague 1949

176
Van Bree, L.G.J., W.I.C. Rijpstra, N.A. Al-Dhabi, D. Verschuren, J.S. Sinninghe
Damsté, J.W. de Leeuw. 2016. Des-A-lupane in an East African lake
sedimentary record as a new proxy for the stable carbon isotopic composition
of C3 plants. Tanpa Tempat : The Official Journal of the European
Association of Organic Geochemists
Volkman, J. K. (1988). Biological marker compounds as indicators of the
depositional environments of petroleum source rocks. Geological Society,
London, Special Publications, 40(1), 103-122.
Walker, R. (1976). Facies Models 2. Turbidites and associated coarse clastic
deposits. Geoscience Canada, 3(1), 25-36.
Walker, R. (1978). Deep-water sandstone facies and ancient submarine fans: model
for exploration for stratigraphic traps. American Association of Petroleum
Geologists Bulletin, 62 (6), p. 932–966
Walker, R.G. and Mutti, E., 1973. Turbidite facies and facies associations. In:
Turbidites and Deep-Water sedimentation. Pacific Sect. Soc. Econ. Paleontol.
Mineral. pp. 119-- 157.
Waples .W., 1985. Geochemistry in Petroleum Exploration, Interntional Human
Resources Development Co. Boston, 232 h.
Waples, D.W., Machihara ,T. (1991): Biomarkers for Geologists-A Practical Guide
to the Application of Steranes and Triterpanes in Petroleum Geology, AAPG
Methods in Exploration, No. 9, The American Association of Petroleum
Geologists ,Tulsa, Oklahoma, USA. 74101.
Widagdo, Asmoro, dkk. 2021. Extentional Fault Pada Daerah Compressive
Tectonic Zone Sebagai Batas Cekungan di Jawa Tengah Selatan. Jambura
Geoscience Review (2021) Vol. 3 (1): 40-45 DOI:
10.34312/jgeosrev.v3i1.8121

177
LAMPIRAN

178
Lampiran 1. Peta Rencana Lintasan Lokasi Penelitian

179
Lampiran 2. Peta Geologi Lokasi Penelitian

180
Lampiran 3. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Bagian
Top

181
Lampiran 4. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
Bagian Bot

182
Lampiran 5. Data Tabulasi Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung

183
Lampiran 6. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Batupasir Bagian Top

184
Lampiran 7. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Batupasir Bagian Bot

185
Lampiran 8. Data Tabulasi Fosil Satuan Batupasir

186
Lampiran 9. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Bagian
Top

187
Lampiran 10. . Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
Bagian Bot

188
Lampiran 11. Data Tabulasi Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaan

189
Lampiran 12. Peta Orientasi Kelurusan Struktur Geologi

190
Lampiran 13. Data Pengukuran Struktur Geologi Kekar Lokasi Penelitian

191
Lampiran 14. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 26 dan LP 30

192
Lampiran 15. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 34 dan LP 38

193
Lampiran 16. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 8 dan LP

194

Anda mungkin juga menyukai