SKRIPSI
Oleh
Asy’ari Alfin Giovany
072001800054
FINAL ASSESMENT
By
Asy’ari Alfin Giovany
072001800054
GEOLOGY DEPARTMENT
FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY
TRISAKTI UNIVERSITY
2023
LEMBAR PENGESAHAN
DETERMINASI PETROLEUM SYSTEM TERHADAP
KARAKTERISTIK BATUAN INDUK DAN REMBESAN
MINYAK BERDASARKAN DATA BIOMARKER DI SUB-
CEKUNGAN BANYUMAS
SKRIPSI
Oleh
Asy’ari Alfin Giovany
072001800054
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
(Dr. Ir. Dewi Syavitri, M.Sc.) (Dr. Ir. Yarra Sutadiwiria, M.Si.)
NIK: 1977/USAKTI NIK: 3621/USAKTI
Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Teknik Geologi
i
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur serta terima kasih dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
dengan baik. Tugas akhir yang berjudul “Determinasi Petroleum System
terhadap Karakteristik Batuan Induk dan Rembesan Minyak Berdasarkan
Data Biomarker di Sub – Cekungan Banyumas” ini dapat selesai dengan baik
dan tepat waktu.
Pada kesempatan ini, penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kelancaran.
2. Kedua orangtua penyusun yang selalu mendukung dan memberikan
semangat kepada penyusun dalam kegiatan penelitian.
3. Ibu Dr. Ir. Dewi Syavitri, M.Sc. dan Dr. Ir. Yarra Sutadiwiria, M.Si.
selaku pembimbing skripsi yang telah mengajarkan, memotivasi,
mendukung dalam kegiatan penelitian ini
4. Bapak Dr. Suherman Dwi Nuryana, S.T., M.T. sebagai dosen wali
akademik dan Ketua Jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti
5. Bapak Andy Livsey yang telah mengajarkan materi dan ilmu baru untuk
berdiskusi mengenai kegiatan penelitian.
6. Bapak Dr. Eko Bayu P. ST., M.Si selaku Dosen Universitas Jendral
Soedirman yang telah memberikan banyak referensi dan membimbing
penyusun dalam kegiatan penelitian.
7. Bapak Dr. Ir. Moeh. Ali Jambak, M.T., Bapak Dr. Ir. Imam Setiaji
Ronoatmojo, Bapak M.T., Rendy S.T., M.Eng dan Ibu Mira Meirawaty,
S.T., M.T. yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan
memperbolehkan penyusun untuk hadir kembali dalam kuliah beliau
untuk menanyakan beberapa materi terkait kegiatan penelitian.
8. Dosen Program Studi Teknik Geologi Universitas Trisakti atas
bimbingan dan ilmu ketika waktu kuliah.
9. Bapak Sani Gunawan selaku perwakilan dari PT. Geoservices yang telah
bersedia untuk berdiskusi dengan penyusun mengenai kegiatan
iv
penelitian.
10. Farhan Ryandi Nugraha, Yudhistira Irvanda Putra, Kenny Megaputra, M.
Nabil Ihsani, Wira Kresna Rinanda, Ramzul, Nibras Khairunnisa selaku
kerabat dekat penyusun untuk mendukung dan memotivasi dalam
kegiatan penelitian.
11. Geraldi Atma Rae Tarigan, Putu Deva Ananta Adistanaya, Herlienda
Elizabeth Gagola, Zefanya Gian Aginta Kembaren, Aditya Henri, Maria
Renata Melania Letto, Zuhadaffa Irvanishera, Fransiskus Deni, Nabil
Suharsana, Nicolas Saputra Samosir, Hapsari Nurhaniya, Deyana
Akmalia Putri, Zarah Rachmayanti, Alya Shafira dan Dylan Mahesa
selaku kerabat dekat penyusun yang telah meluangkan waktu untuk
berdiskusi dan bekerja sama dalam kegiatan penelitian.
12. Antonio Jobeam Gereeth Mangimbulude, Muhammad Yusril Izha
Mahendra, Bagas Saputra, Kevin Gerald Senduk, Rizki Arya Putra,
Mochammad Salsabila, Deni, Sutrisman Simandjuntak, Anil yang telah
memberikan ilmu dan materi ketika waktu diskusi.
13. Keluarga Geologi Universitas Trisakti yang telah membantu penyusun
untuk berdiskusi mengenai kegiatan penelitian.
v
ABSTRAK
DETERMINASI PETROLEUM SYSTEM TERHADAP KARAKTERISTIK
BATUAN INDUK DAN REMBESAN MINYAK BERDASARKAN DATA
BIOMARKER DI SUB-CEKUNGAN BANYUMAS
vi
ABSTRACT
DETERMINATION THE PETROLEUM SYSTEM TO THE
CHARACTERISTIC OF SOURCE ROCK AND OIL SEEPAGE BASED ON
BIOMARKER DATA IN BANYUMAS SUB-BASIN
vii
DAFTAR ISI
viii
II.2.2. Biostratigrafi ............................................................... 33
II.2.3. Mekanisme Lingkungan Pengendapan Turbidit ..... 39
II.2.4. Pemodelan Penguburan (Burial Modelling) ............. 49
II.2.5. Karakteristik Sampel Rembesan Hidrokarbon ....... 50
II.2.6. Karakteristik Batuan Induk ...................................... 51
II.2.7. Komponen Senyawa Geokimia Biomarker ............... 56
II.2.8. Bagan Sistem Waktu Minyak dan Gas Bumi
(Petroleum System Event Chart) ................................. 64
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 66
III.1. Metodologi Penelitian ............................................................... 66
III.2. Jadwal Penelitian ...................................................................... 69
III.3. Prosedur Kerja .......................................................................... 69
III.4. Analisis Laboratorium .............................................................. 70
III.4.1. Analisis Sayatan Tipis Petrografi .............................. 70
III.4.2. Analisis Mikropaleontologi ........................................ 71
III.4.3. Analisis Struktur Geologi ........................................... 72
III.4.4. Analisis Mekanisme Pengendapan ............................ 73
III.4.5. Analisis Geokimia ....................................................... 74
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 81
IV.1. Pengamatan Data Lapangan Lokasi Penelitian ..................... 81
IV.2. Stratigrafi Lokasi Penelitian .................................................... 84
IV.2.1. Korelasi Satuan Litologi ............................................. 84
IV.2.2. Analisis Stratigrafi Lokasi Penelitian ....................... 87
IV.2.3. Satuan Perselingan Batupasir dan Batulempung .... 89
IV.2.4. Satuan Batupasir......................................................... 99
IV.2.5. Satuan Perselingan Batupasir dan Batulempung
Tufaan ........................................................................ 111
IV.3. Analisis Struktur Geologi Lokasi Penelitian ........................ 124
IV.3.1. Struktur Geologi Lipatan Antiklin Besuki ............. 125
IV.3.2. Struktur Geologi Sesar Geser Mengiri Parungkamal
..................................................................................... 126
IV.4. Analisis Laju Sedimentasi (Sedimentation Rate) Lokasi
ix
Penelitian.................................................................................. 128
IV.5. Analisis Burial Modelling Lokasi Penelitian ......................... 131
IV.6. Analisis Geokimia Hidrokarbon Lokasi Penelitian ............. 136
IV.6.1 Karakteristik Geokimia Batuan Induk................... 136
IV.6.2 Karakteristik Geokimia Rembesan Hidrokarbon . 151
IV.6.3 Korelasi Karakteristik Geokimia Batuan Induk dan
Rembesan Hidrokarbon ........................................... 154
IV.7. Sejarah Geologi Lokasi Penelitian......................................... 159
IV.8. Penentuan Petroleum System Event Chart Sub-Cekungan
Banyumas ................................................................................. 162
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 166
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 168
LAMPIRAN ....................................................................................................... 178
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II. 1 Peta Topografi beserta Data Peta Geologi Regional Daerah Lembar
Lembar Majenang (Kastowo dan N. Suwarna, 1996), Lembar Purwokerto
dan Tegal (Djuri M.H., dkk. 1996), Lembar Banyumas (Asikin S., dkk.
1992) dan Lembar Pangandaran (Simandjuntak T.Q., dkk. 1992). .......... 6
Gambar II. 2 Daerah Lokasi Penelitian berdasarkan Peta Fisiografi Regional Jawa
Tengah (Van Bemmelen, 1949 yang didigitasi oleh Giovany, 2022)....... 8
Gambar II. 3 Stratigrafi Regional Sub-Cekungan Banyumas (Lemigas, 2005) yang
didigitasi oleh Giovany (2022) ............................................................... 11
Gambar II. 4 Pola Tektonik Kawasan Asia Tenggara (Simandjuntak dan Barber,
1996) ....................................................................................................... 13
Gambar II. 5 Kontrol Struktur Geologi pada Pulau Jawa yaitu Sesar Geser Mengiri
Muria - Kebumen dan Sesar Geser Menganan Pamanukan - Cilacap
(Satyana dan Purwaningsih, 2002) ......................................................... 14
Gambar II. 6 Peta Gravitasi Regional Pulau Jawa dengan Kontrol utama Struktur
Geologi dan Menunjukkan Cekungan Banyumas serta Cekungan
Bobotsari (Armandita, dkk., 2009) yang didigitasi oleh Giovany (2022)
................................................................................................................. 15
Gambar II. 7 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Kapur Akhir -
Eosen Tengah (Purwasatriya, dkk., 2019) .............................................. 17
Gambar II. 8 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Eosen Tengah -
Oligosen Akhir (Purwasatriya, dkk., 2019) ............................................. 18
Gambar II. 9 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Oligosen Akhir
- Miosen Awal (Atas) dan Ilustrasi Jenis Cekungan Banyumas yang
merupakan Flexure Basin (Bawah) (Purwasatriya, dkk., 2019) ............. 19
Gambar II. 10 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Miosen Awal -
Miosen Tengah (Purwasatriya, dkk., 2019) ............................................ 20
Gambar II. 11 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Miosen Tengah
- Pliosen (Purwasatriya, dkk., 2019)....................................................... 21
Gambar II. 12 Sketsa paleogeografi Cekungan Banyumas pada kala Pliosen -
Plistosen (Purwasatriya, dkk., 2019) ...................................................... 22
xii
Gambar II. 13 Peta Dasar Geologi Banyumas dan Sekitarnya (Purwasatriya, 2019)
yang didigitasi oleh Giovany (2022)....................................................... 24
Gambar II. 14 Peta Anomali Gravitasi Regional Cekungan Banyumas yang
membagi Dua Sub-Cekungan: Sub-Cekungan Banyumas dan Sub-
Cekungan Purbalingga (Purwasatriya, dkk., 2019) yang didigitasi oleh
Giovany (2022) ....................................................................................... 25
Gambar II. 15 Klasifikasi Material Organik (Organic Materials) (Peters dan Cassa,
1994) ....................................................................................................... 27
Gambar II. 16 Klasifikasi Porositas (Koesoemadinata, 1980) .............................. 29
Gambar II. 17 Progadari Sesar Anjak (Thrust Fault) di Jawa Barat yang
Berkembang di Cekungan Banyumas (Armandita, dkk., 2009) ............. 31
Gambar II. 18 Data Penampang Seismik (Seismic Line) yang Menunjukkan Jebakan
Struktur Drag Fold (Noeradi, dkk., 2006)............................................... 32
Gambar II. 19 Penampang Seismik (Seismic Line) 91-BMS-05 Terdapatnya
Patahan sebagai Jalur Migrasi Hidrokarbon Menuju Sayap Antiklin (Lunt,
dkk., 2008) .............................................................................................. 33
Gambar II. 20 Indikator Paleoenvironment Berdasarkan Mikrofosil Foraminifera
Bentik (Kadar Adi, P., 1996) .................................................................. 38
Gambar II. 21 Rumus Kecepatan Laju Sedimentasi (Sedimentation Rate) .......... 38
Gambar II. 22 Model Fasies Batupasir Formasi Halang di Cekungan Banyumas
(Hayes, 2005) .......................................................................................... 41
Gambar II. 23 Model Fasies Sekuan Kipas Bawah Laut (Sub-Marine Fan) (Walker,
1976) ....................................................................................................... 44
Gambar II. 24 Model Kipas Bawah Laut (Walker dan Mutti, 1973) .................... 46
Gambar II. 25 Pola Struktur Sedimen Pada Endapan Turbidit (Boggs, 2006) ..... 47
Gambar II. 26 Model Fasies Endapan Turbidit (Bouma, A. H., 1962)................. 48
Gambar II. 27 Ilustrasi Pemodelan Sejarah Pembebanan (Burial History Modelling)
suatu Cekungan Sedimen (Pertamina, 2013) .......................................... 50
Gambar II. 28 Jenis Kerogen Berdasarkan Material Organik (NExT, 2008) ....... 54
Gambar II. 29 Struktur Senyawa Monoterpena .................................................... 57
Gambar II. 30 Struktur Senyawa Terpana Trisiklik ............................................. 57
Gambar II. 31 Struktur Senyawa Hopana ............................................................. 58
xiii
Gambar II. 32 Struktur Senyawa Lupana ............................................................. 59
Gambar II. 33 Struktur Senyawa Hopana ............................................................. 60
Gambar II. 34 Struktur Senyawa Oleanana .......................................................... 61
Gambar II. 35 Struktur Ikatan Komponen Sterol Reguler C27-C29 ....................... 62
Gambar II. 36 Struktur Ikatan Komponen Sterol Reguler C30 .............................. 63
Gambar II. 37 Struktur Komponen Senyawa Diasterana ..................................... 64
Gambar II. 38 Bagan Sistem Waktu Minyak dan Gas Bumi (Petroleum System
Event Chart) yang digunakan untuk mempresentasikan Play Fairway dan
Proses pada Cekungan Hidrokarbon (Evenick, Jonathan C. 2022) ........ 65
Gambar III. 1 Diagram Alir Metode Penelitian (Giovany, Yarra Sutadiwiria dan
Dewi Syavitri., 2023) .............................................................................. 68
Gambar III. 2 Tahapan Analisis Mikropaleontologi ............................................. 72
Gambar III. 3 Tahapan Analisis Struktur Geologi ................................................ 73
Gambar III. 4 Tahapan Analisis TOC (Total Organic Carbon) ........................... 75
Gambar IV. 1 Kondisi Lokasi Penelitian Berdasarkan Titik Pada Peta…… ……82
Gambar IV. 2 Jenis Sampel Rembesan Hidrokarbon Daerah Penelitian Berdasarkan
Klasifikasi Peneliti .................................................................................. 84
Gambar IV. 3 Persebaran Litologi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung .. 91
Gambar IV. 4 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung ........................................................................................... 93
Gambar IV. 5 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung ........................................................................................... 94
Gambar IV. 6 Ilustrasi Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Batulempung .... 95
Gambar IV. 7 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung ........................................................................................... 98
Gambar IV. 8 Persebaran Litologi Satuan Batupasir .......................................... 101
Gambar IV. 9 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Batupasir ........... 103
Gambar IV. 10 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Batupasir ......................... 104
Gambar IV. 11 Ilustrasi Batimetri Satuan Batupasir .......................................... 105
Gambar IV. 12 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Batupasir............. 110
Gambar IV. 13 Persebaran Litologi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
Tufaan ................................................................................................... 113
xiv
Gambar IV. 14 Kenampakkan Foto Analisis Petrografi Satuan Perselingan
Batupasir Batulempung Tufaan ............................................................ 115
Gambar IV. 15 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Tufaa ............................................................................... 117
Gambar IV. 16 Ilustrasi Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Tufaan .......... 118
Gambar IV. 17 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir
Batulempung Tufaan ............................................................................. 123
Gambar IV. 18 Orientasi Tegasan Utama yang Bekerja di Lokasi Penelitian .... 124
Gambar IV. 19 Analisis Struktur Geologi Lipatan Lokasi Penelitian ................ 126
Gambar IV. 20 Pengamatan Data Struktur Geologi Kekar di Lokasi Penelitian 128
Gambar IV. 21 Grafik Kecepatan Laju Sedimentasi Litologi di Lokasi Penelitian
............................................................................................................... 131
Gambar IV. 22 Titik Lokasi Pengambilan di Lokasi Penelitian ......................... 133
Gambar IV. 23 Burial Modelling Sedimentasi di Lokasi Penelitian .................. 136
Gambar IV. 24 Titik Lokasi Pengamatan Sampel .............................................. 138
Gambar IV. 25 Crossplotting Data Analisis Kuantitas Hidrokarbon ................. 141
Gambar IV. 26 Identifikasi Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen ..... 144
Gambar IV. 27 Diaram Maturitas Batuan Induk Berdasarkan Suhu Maksimum
(T0Max) ................................................................................................. 145
Gambar IV. 28 Crossploting Data Analisis Bulk Batuan Induk ......................... 146
Gambar IV. 29 Crossplotting Data Analisis Senyawa Fraksinasi Batuan Induk 150
Gambar IV. 30 Data Analisis Biomarker Batuan Induk ..................................... 151
Gambar IV. 31 Crossplotting Data Analisis Bulk Rembesan Hidrokarbon ....... 152
Gambar IV. 32 Data Analisis Biomarker Rembesan Hidrokarbon ..................... 154
Gambar IV. 33 Korelasi Data Biomarker Batuan Induk (LP 11) terhadap Rembesan
Hidrokarbon (LP 1) ............................................................................... 156
Gambar IV. 34 3D Modelling Korelasi Data Pada Lokasi Penelitian ................ 158
Gambar IV. 35 Ilustrasi Block Modelling Sejarah Geologi Lokasi Penelitian ... 162
Gambar IV. 36 Petroleum System Chart Analysis Sub-Cekungan Banyumas ... 165
xv
DAFTAR FOTO
Foto III. 1 Alat Untuk Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen ............... 78
Foto III. 2 Alat Untuk Analisis REP (Rock - Eval Pyrolysis) (Gheamarsa, 2015) 79
Foto III. 3 Alat Untuk Analisis Fraksi Hidrokarbon (GC dan GC-MS) ............... 80
Foto IV. 1 Kondisi Sampel Rembesan Hidrokarbon di Lokasi Pengamatan LP1
83
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1
di Sub - Cekungan Banyumas?
Ruang lingkup atau batasan masalah yang akan dibahas dari penelitian
ini akan dibatasi dengan batasan masalah:
2
2. Analisis fosil foraminifera digunakan untuk menentukan variasi
umur dan zona batimetri selama proses pengendapan litologi.
3
beberapa parameter analisis geokimia secara valid. Sehingga, hasil
penelitian ini dapat dipergunakan oleh praktisi sebagai bahan acuan untuk
pengembangan lapangan eksplorasi hidrokarbon dalam industri minyak dan
gas dan akademisi sebagai bahan acuan data pustaka untuk penelitian lebih
lanjut pada Sub – Cekungan Banyumas.
4
I.6. Peneliti Terdahulu
Tabel I. 1 Peneliti Terdahulu
Peneliti dan Tahun
No Judul dan Lokasi Penelitian Metodologi Hasil
Penelitian
Studi literatur,
Pembuatan Model Geologi Bawah Interpretasi Pemodelan
Pengambilan data
Purwasatriya dan Permukaan dengan Metode Geolistrik Dan Geologi Bawah
1 Lapangan, Analisis
Gentur Waluyo, 2011 Studi Stratigrafi pada Rembesan Gas Di Permukaan Cekungan
Geolistrik, Interpretasi
Jatilawang, Banyumas Banyumas
Stratigrafi
Proses Mekanisme
Analisis Fasies Turbidit dan Potensi
Endapan Fasies Turbidit
Grace Khatrine Reservoir Sedimen Laut dalam Formasi
7 Pemetaan Geologi dan Stratigrafi
Mewengkang, 2020 Halang Cekungan Banyumas, Kabupten
menggunakan Metode
Banyumas, Provinsi Jawa Tengah
Stratigrafi Terukur
5
BAB II TINJAUAN UMUM
Bab ini mencakup beberapa studi literatur dari peneliti terdahulu yang
membahas mengenai fisiografi, stratigrafi regional, tektonik regional, struktur
daerah, sejarah geologi dan sistem minyak dan gas bumi pada sub-Cekungan
Banyumas, Jawa Tengah dan teori dasar yang digunakan dalam penelitian tugas
akhir ini.
II.1. Geologi Regional
Gambar II. 1 Peta Topografi beserta Data Peta Geologi Regional Daerah Lembar Lembar
6
Majenang (Kastowo dan N. Suwarna, 1996), Lembar Purwokerto dan Tegal (Djuri M.H.,
dkk. 1996), Lembar Banyumas (Asikin S., dkk. 1992) dan Lembar Pangandaran
(Simandjuntak T.Q., dkk. 1992).
7
Gambar II. 2 Daerah Lokasi Penelitian berdasarkan Peta Fisiografi Regional Jawa Tengah
(Van Bemmelen, 1949 yang didigitasi oleh Giovany, 2022)
8
timur dan dinyatakan Pulau Jawa telah terdapat aktivitas
vulkanisme pada 10 juta tahun lalu.
II.1.1.1. Zona Dataran Aluvial Pantai Jawa Bagian Utara
9
II.1.1.4. Zona Pegunungan Jawa Bagian Selatan
10
Gambar II. 3 Stratigrafi Regional Sub-Cekungan Banyumas (Lemigas, 2005)
yang didigitasi oleh Giovany (2022)
11
perkembangan mendekat dan menjauh dari daratan tetapi posisi dari
busur relatif tetap dan menghasilkan suatu aktivitas vulkanisme dengan
posisi tumpang - tindih (superimposed volcanism). Menurut Minster dan
Jordan (1978) fisiografi dan konfigurasi tektonik Indonesia terbentuk
akibat interaksi dari tiga lempeng utama, yaitu Lempeng Indo-Australia
yang bergerak ke arah utara - timurlaut, Lempeng Laut Filipina yang
bergerak ke arah utara - baratlaut dan Lempeng Eurasia yang bergerak
relatif lambat ke arah tenggara.
12
Sulawesi, Busur Banda hingga Papua bagian utara, dan
Maluku hingga Filipina bagian Mindano.
13
utama yang mengapit lekukan Jawa Tengah bagian utara. Kedua struktur
geologi ini diinterpretasikan sebagai sesar geser menganan Pamanukan -
Cilacap dengan orientasi baratlaut - tenggara dan sesar geser mengiri
Muria – Kebumen dengan orientasi timurlaut – baratdaya (Gambar II.5).
Hal ini disebabkan oleh pengangkatan Geantiklin di Pulau Jawa bagian
selatan yang menghasilkan sumber material sedimen dan berasosiasi
dengan batuan karbonat (Satyana dan Armandita, 2004).
Gambar II. 5 Kontrol Struktur Geologi pada Pulau Jawa yaitu Sesar Geser
Mengiri Muria - Kebumen dan Sesar Geser Menganan Pamanukan - Cilacap
(Satyana dan Purwaningsih, 2002)
14
batuan yang berumur Tersier - Kuarter di Pulau Jawa sangat luas dan
diinterpretasikan periode dan pola tektonik terjadi signifikan.
Gambar II. 6 Peta Gravitasi Regional Pulau Jawa dengan Kontrol utama Struktur
Geologi dan Menunjukkan Cekungan Banyumas serta Cekungan Bobotsari
(Armandita, dkk., 2009) yang didigitasi oleh Giovany (2022)
15
dari deformasi ini disebabkan oleh pemekaran gravitasional dapur
magma pada Eosen Awal - Miosen Awal. Pemekaran ini terjadi pada
Selat Makassar yang dipengaruhi akibat pergerakan kerak Benua
Australia yang mendekat. Kemudian, hal ini menyebabkan terjadinya
pengurangan laju Lempeng Indo-Australia dan merubah orientasi pola
tektonik atau struktur geologi dari baratdaya - timurlaut menjadi barat
- timur pada Paleogen (Sudrajat, 2007).
16
jenis endapannya berupa kompleks melange yang terbentuk akibat
adanya suatu aktivitas tektonik yang sangat aktif. Cekungan
Banyumas diinterpretasikan sebagai ruang akomodasi
(accommodation space) suplai sedimen karena berada di lingkungan
laut dalam tetapi belum terlihat secara jelas batas cekungannya.
17
dengan indikasi kenampakkan Gunung Dakah sehingga
diinterpretasikan bahwa di Pulau Jawa bagian selatan terjadi proses
subduksi ganda (double subduction). Proses terjadinya subduksi
ganda ini akibat pengaruh lempeng samudera yang patah dan
Cekungan Banyumas terendapkan suatu batuan sedimen lempung
hitam laut dalam yang diindikasikan sebagai pembentuk olistostrom
pada Formasi Karangsambung. Batulempung hitam laut dalam
tersebut diinterpretasikan sebagai lapisan dasar dari Cekungan
Banyumas sebelum terdapatnya busur gunung api di cekungan ini
(Gambar II.8).
18
Proses suplai sedimen vulkanik terjadi berupa material
piroklastik dan vulkaniklastik yang terendapkan di Cekungan
Banyumas. Terjadinya dua mekanisme pengendapan antara material
vulkanik dan material sedimen laut dalam sehingga terjadinya kontak
litologi menjemari (fingering) (Gambar II.9). Material vulkanik
tersebut berupa tuff, breksi dan lava yang termasuk ke dalam Formasi
Gabon, Formasi Jampang dan Formasi Nusakambangan. Ketiga
formasi tersebut merupakan suatu produk material vulkanik
pegunungan selatan (southern mountain) yang memiliki perbedaan
fasies.
19
Akhir - Miosen Awal (Atas) dan Ilustrasi Jenis Cekungan Banyumas yang
merupakan Flexure Basin (Bawah) (Purwasatriya, dkk., 2019)
20
batulempung tufaan secaran dominan. Pada zona distal terendapkan
material perselingan batulanau tufaan dan batulempung tufaan dengan
sisipan tuff dan napal secara dominan. Terjadinya proses erosi pada
tinggian yang tersingkap mempengaruhi suatu proses suplai material
pada daerah selatan berupa batupasir, konglomerat dan batuan
karbonat klastik yang merupakan hasil rombakan material reef pada
Formasi Kalipucang pada kala Oligosen - Miosen akibat pengaruh
busur magmatik di bagian selatan yang sudah tidak aktif. Kemudian,
terdapat proses sedimentasi endapan sedimen laut dari arah utara ke
Cekungan Banyumas dan terjadi kontak litologi menjari (fingering)
dengan sedimen vulkaniklastik tersebut (Gambar II.11).
21
lebih tua. Kemudian, dapat diinterpretasikan suatu busur magmatik
yang baru terbentuk dari cabang dapur magma busur magmatik
(magmatic arc) yang berumur Miosen - Pliosen.
22
terdapat pengaruh kontrol struktur geologi dari sesar geser menganan
Pamanukan - Cilacap dengan orientasi baratlaut - tenggara dan sesar
geser mengiri Muria – Kebumen dengan orientasi timurlaut – baratdaya
yang mempengaruhi bentuk morfologi tinggian Majalengka - Banyumas
dengan orientasi baratlaut - tenggara dan memisahkan Cekungan
Banyumas di bagian baratdaya tinggian dan Cekungan Bobotsari di
bagian timurlaut tinggian. Cekungan Banyumas ini mencakup suatu
batasan daerah secara administratif meliputi: Kabupaten Banyumas dan
Cilacap, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Kebumen. Berdasarkan morfologinya Cekungan Banyumas ini memiliki
beberapa batasan seperti (Gambar II.13):
23
Gambar II. 13 Peta Dasar Geologi Banyumas dan Sekitarnya (Purwasatriya, 2019)
yang didigitasi oleh Giovany (2022)
24
didapatkan suatu delineasi batas dari Cekungan Banyumas
menggunakan data gravitasi satelit topex. Delineasi ini menentukan
batas cekungan dan menginterpretasikan terdapatnya dua sub-
Cekungan Banyumas yang terdiri dari sub-Cekungan Banyumas di
bagian barat dan sub-Cekungan Purbalingga di bagian timur (Gambar
II.14).
25
berlangsung dilakukan untuk mengamati cadangan minyak yang
ekonomis untuk dilakukan kegiatan eksplorasi dan dianalisis mengenai
identifikasi karakteristik dari suatu rembesan tersebut terhadap litologi
penyusun di Cekungan Banyumas. Keterdapatan rembesan
menginterpretasikan bahwa terdapatnya suatu petroleum system dari
suatu cekungan yang masih aktif. Rembesan tersebut dipergunakan
sebagai penanda bahwa adanya suatu batuan induk (source rock) yang
telah matang dan bermigrasi ke atas permukaan. Petroleum system
memiliki lima komponen penyusun utama yang terdiri dari:
II.2.1.1. Batuan Induk (Source Rocks)
26
Gambar II. 15 Klasifikasi Material Organik (Organic Materials) (Peters dan
Cassa, 1994)
27
fair). Berdasarkan hasil persentase TOC (Total Organic Carbon)
diinterpretasikan bahwa Formasi Pemali dengan umur Kala Miosen
Tengah - Miosen Akhir sangat berpotensi sebagai batuan induk
(source rocks). Kontrol dua struktur geologi sesar geser di Pulau Jawa
Tengah bagian selatan mempengaruhi posisi Cekungan Banyumas
yang berada di busur vulkanik (volcanic arc) bergeser ke arah utara
dan berlokasi di cekungan intra-busur (intra arc basin). Sehingga
faktor derajat gradien geotermal berperan meningkatkan kematangan
Formasi Pemali tersebut untuk menghasilkan hidrokarbon. Kemudian,
data kromatogram biomarker rembesan minyak (oil seepage)
diinterpretasikan memiliki karakteristik yang sebanding dengan
Formasi Halang tetapi dengan umur yang lebih tua atau Formasi
Wungkal dengan umur Kala Eosen. Dengan analisis digram segitiga
sterana (triangle of sterane) (Huang, W.Y. dan Meinschein, W.G.,
1979) diinterpretasikan lingkungan pengendapan sampel rembesan di
estuarin (estuarine) atau danau dangkal (shallow lacustrine) yang
merupakan zona lingkungan transisi. Berdasarkan Sujanto dan
Sumantri (1977) menyatakan Cekungan Banyumas berlokasi di zona
turbidit vulkanik (volcanic turbidite) akibat kaki gunung api yang
terendam oleh air laut dengan pengaruh kemiringan lereng gunung
tersebut sehingga mekanisme endapan turbidit terjadi di lingkungan
laut dangkal dan zona transisi.
II.2.1.2. Batuan Reservoir (Reservoir Rocks)
28
persentase porositas sebesar 19 - 21% dan mengacu kepada klasifikasi
Koesoemadinata (1980) (Gambar II.16) nilai porositas tersebut
dikatakan baik - sangat baik. Dengan hasil nilai tersebut Formasi
Halang berpotensi sebagai batuan reservoir hidrokarbon.
29
mengalami suatu proses interkalasi. Proses ini pada sisipan
batulempung dan napal dengan butiran sangat halus berfungsi sebagai
penyekat batuan reservoir. Formasi Tapak dengan litologi batupasir
berselingan dengan napal yang berumur kala Pliosen - Plistosen
diindikasikan sebagai batuan penyekat tetapi penyebarannya tidak
terlalu luas.
II.2.1.4. Perangkap (Trap)
30
Gambar II. 17 Progadari Sesar Anjak (Thrust Fault) di Jawa Barat yang
Berkembang di Cekungan Banyumas (Armandita, dkk., 2009)
31
Gambar II. 18 Data Penampang Seismik (Seismic Line) yang Menunjukkan
Jebakan Struktur Drag Fold (Noeradi, dkk., 2006)
32
Gambar II. 19 Penampang Seismik (Seismic Line) 91-BMS-05 Terdapatnya
Patahan sebagai Jalur Migrasi Hidrokarbon Menuju Sayap Antiklin (Lunt,
dkk., 2008)
II.2.2. Biostratigrafi
33
biostratigrafi lebih difokuskan kepada skala waktu geologi dan
paleobatimetri dalam penyusunan lapisan batuan (Tabel II.1).
Tabel II. 1 Fungsi, Kelebihan dan Kekurangan Analisis Biostratigrafi Pada Fosil
Foraminifera (Deny, 2021)
34
kedalaman pada zona lingkungannya. Sinar matahari
berperan untuk kelangsungan hidup mikroorganisme dan
mempengaruhi ukuran dan bentuk fitur mikroorganisme.
35
perpindahan dan pergerakan massa air laut yang disebut arus
air laut akan menghasilkan tingkat kekeruhan pada fluida.
Hal ini akan menyebabkan faktor perubahan suhu air laut,
jumlah oksigen terlarut dan jumlah makanan mikrofauna
tersebut.
II.2.2.1. Foraminifera Planktonik
36
Tabel II. 2 Biostratigrafi Mikrofosil Kala Neogen di Daerah Tropis (Kennet
dan Srinivasan, 1983)
37
Gambar II. 20 Indikator Paleoenvironment Berdasarkan Mikrofosil
Foraminifera Bentik (Kadar Adi, P., 1996)
38
II.2.3. Mekanisme Lingkungan Pengendapan Turbidit
39
terendam oleh air laut. Penentuan lingkungan pengendapan
diinterpretasikan berdasarkan korelasi litostratigrafi pada lintasan yang
dibuat untuk mengamati perubahan litostratigrafi.
40
Gambar II. 22 Model Fasies Batupasir Formasi Halang di Cekungan
Banyumas (Hayes, 2005)
41
convolute dengan ukuran butiran berupa pasir hingga lempung.
Pada bagian bawah terdapat struktur erosi dengan ukuran butir
lapisan batupasir berupa pasir hingga kerikilan dan terjadinya
proses penghalusan ke atas pada ukuran butir (coarsening upward).
Fasies turbidit klasik (classical turbidite) (CT) berasosiasi di
lingkungan kipas bagian bawah (lower fan) hingga dasar cekungan
(basin floor) di bagian distal turbidit.
II.2.3.1.2. Massive Sandstone (MS)
42
bedding dengan ukuran butir kerikilan di bagian dasar hingga
bagian sedang dengan membentuk litologi batupasir
konglomeratan dan struktur sedimen dish structure. Fasies
batupasir (pebbly sandstone) (PS) berasosiasi pada zona middle fan
hingga upper fan.
II.2.3.1.4. Conglomerate (CGL)
43
Gambar II. 23 Model Fasies Sekuan Kipas Bawah Laut (Sub-Marine Fan)
(Walker, 1976)
44
pembentukan ruang akomodasi pada suatu cekungan. Sehingga
terbentuknya suatu stacking pattern interbeded dan pola perselingan
(interbeded) ini dapat berupa normal graded atau reverse graded.
Model asosiasi fasies kipas bawah laut (sub-marine fan) Walker dan
Mutti (1973) dikategorikan menjadi empat zona yaitu (Gambar
II.24):
1. Lower fan merupakan zona kipas bawah laut bagian luar dengan
suksesi vertikal berupa penebalan ke atas (thickening upward)
dengan stacking pattern berupa coarsening upward yang terdiri
atas klasik turbidit (classical turbidite).
4. Upper fan merupakan zona kipas bawah laut bagian atas dengan
suksesi vertikal berupa penebalan ke atas (thining upward) pada
bagian batupasir dengan bentuk butiran konglomerat dan
terdapatnya fasies konglomerat, debris flow dan slump. Stacking
pattern pada fasies ini berupa fining upward dan tidak terdapatnya
struktur sedimen pada fasies ini.
45
Gambar II. 24 Model Kipas Bawah Laut (Walker dan Mutti, 1973)
46
2. Aliran arus keruh (turbidity current) adalah aliran yang terbentuk
ketika butiran pada kondisi lepas dan dikontrol oleh media atau
fluida yang mengangkutnya.
Gambar II. 25 Pola Struktur Sedimen Pada Endapan Turbidit (Boggs, 2006)
47
Terdapat lima interval pada Sekuen Bouma yang
menjelaskan skema mekanisme endapan turbidit (Bouma, 1962)
(Gambar II.26):
48
4. Interval Td lapisan laminasi sejajar di bagian Atas (upper parallel
laminae) merupakan lapisan laminasi sejajar di bagian atas di
model fasies ini yang terbentuk karena adanya pengaruh arus
turbidit dan membentuk struktur laminasi pada perselingan antara
batupasir dengan batulempung atau serpih dan kenampakkan
bidang kontak sentuh dengan interval di bagian bawah terlihat
sangat jelas.
49
menginterpretasikan karakteristik litologi sehingga dapat mengamati
potensi batuan induk di suatu cekungan daerah lokasi penelitian.
50
skala waktu geologi berlangsung. Menurut Link (1952) rembesan
hidrokarbon dapat dibagi berdasarkan jenis kondisi geologi yang bekerja
(Tabel II.5).
Tabel II. 5 Klasifikasi Rembesan Minyak Berdasarkan Kondisi Geologi (Link,
1952)
51
untuk mengukur potensi pembentukan hidrokarbon dalam kerogen
ketika cracking pada suhu 5500C dan S3 merupakan kandungan total
karbon dioksida CO2 yang terbentuk saat pirolisis material organik di
dalam sampel.
Tabel II. 6 Tabel Klasifikasi Total Karbon Organik (Peters dan Cassa, 1994)
52
hidrokarbon yang berbeda. Berdasarkan jenis kerogen (Gambar
II.28) dapat dikategorikan sebagai berikut:
53
a. Struktur opak berwarna hitam
54
Disamping faktor tekanan dan termal yang kecil maka agen utama
penentu faktor ini adalah aktivitas mirkoba untuk peruahan diagenesis
secara biokimia dengan enzim pengurai yang dimiliki oleh mikroba
tersebut.
55
Tabel II. 7 Tabel Parameter Tingkat Kematangan Berdasarkan Reflektansi
Vitrinit (VR) dan Suhu Maksmimum (T0Max)
56
Gambar II. 29 Struktur Senyawa Monoterpena
II.2.7.1.1. Hopana
57
dan pematangan termal yang merupakan fosil molekuler lipid
bakteri. Reaksi siklisasi squalane pada hopanoid membentuk
kerangka hopana dengan struktur empat cincin sikloheksana
dan satu cincin siklopentana. Fungsi hopanoid digunakan
untuk penentu tingkat kematangan rasio biomarker yang stabil
dan kurang stabil, korelasi material sedimen organik pada
kondisi kematangan untuk menghasilkan hidrokarbon dan
penentu sumber asal fasies material organik yang berupa
bakteri, alga pada lingkungan terestrial. Di samping itu,
senyawa ini digunakan sebagai indikator aktif untuk
mengidentifikasi sumber rembesan minyak.
II.2.7.1.2. Des-A-Lupana
58
dioksida (CO2) melalui siklus C3 (Siklus Calvin - Benson) atau
siklus C4 (Siklus Hatch - Slack).
II.2.7.1.3. Moretana
59
menyatakan bahwa senyawa moretana berlimpah dalam
material organik yang berasal dari daratan berupa tumbuhan
atau mikroorganisme dengan lingkungan pengendapan
tertentu dan kelimpahan yang sedikit dalam material karbonat
(Connan, dkk., 1986) (Gambar II.33).
II.2.7.1.4. Oleanana
60
senyawa oleanana terdapat di Formasi Monterey daerah
California dengan umur Kala Miosen yang diindikasikan
berasal dari zona pelagik (Lillis, 1988).
61
maupun laut sehingga bentuk distribusi alkana normal
merefleksikan campuran antara keduanya. Huang dan
Meinschein (1979) memberikan bukti pertama bahwa proporsi
relatif sterol reguler C27 - C29 dalam organisme hidup terkait
dengan lingkungan tertentu dan menyarankan bahwa sterana
dalam sedimen dapat memberikan informasi lingkungan
pengendapan.
62
II.2.7.2.2. C30 Sterana
II.2.7.2.3. Diasterana
63
Gambar II. 37 Struktur Komponen Senyawa Diasterana
Bagan sistem waktu minyak dan gas bumi (petroleu system event
chart) merupakan analisis potensi indicator hidrokarbon yang dilakukan
untuk mengetahui beberapa elemen yang mempengaruhi tingkat resiko
yang perlu dievaluasi dalam suatu kegiatan eksplorasi dengan
memishkan beberapa target seperti play fairway dan proses (Pratsch,
1986 dan Hao, dkk., 2007). Analisis ini berintegrasi terhadap pemodelan
cekungan untuk memprediksi kegiatan pengembangan lapangan sumur
baru untuk mengetahui tingkat potensi yang dihasilkan. Sistem analisis
yang dilakukan memiliki target pada play fairway dan proses (Gambar
II.38). Analisis play fairway difokuskan pada sumber batuan induk
(source rock), batuan waduk (reservoir rock), batuan penyekat (seal
rock), batuan pembeban (overburden rock).
64
waktu keceptanan saat proses sedimentasi berlangsung secara geologi
dan analisis geokimia ditunjukkan untuk menganalisis karakteristik
batuan induk dan rembesan minyak dan gas sehingga kualitas dari
hidrokarbon di daerah penelitian dapat ditentukan.
Gambar II. 38 Bagan Sistem Waktu Minyak dan Gas Bumi (Petroleum System Event
Chart) yang digunakan untuk mempresentasikan Play Fairway dan Proses pada
Cekungan Hidrokarbon (Evenick, Jonathan C. 2022)
65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
66
struktur geologi yang digunakan untuk menentukan zona struktur di daerah
penelitian yang diduga sebagai faktor adanya rembesan minyak, analisis stratigrafi
untuk menentukan mekanisme pengendapan pada pembentukan sistem minyak
dan gas yang aktif dan analisis geokimia migas untuk menentukan sumber fasies
material organik minyak dan menginterpretasi asal batuan sumber hidrokarbon di
lokasi penelitian tersebut. Setelah itu, penulis melakukan analisis korelasi
terhadap mekanisme pengendapan batuan dan karakteristik rembesan minyak dan
gas dan dilanjutkan pada tahap penyusunan laporan dan pembuatan peta - peta
yang dibutuhkan dalam penelitian ini (Gambar III.1).
67
Gambar III. 1 Diagram Alir Metode Penelitian (Giovany, Yarra Sutadiwiria dan Dewi Syavitri., 2023)
68
III.2. Jadwal Penelitian
69
3. Proses analisis data dilakukan dengan uji laboratorium untuk
penentuan satuan litologi, umur relatif batuan dan paleobatimetri,
analisis geostudio struktur geologi, mekanisme pengendapan geologi
yang terjadi dan beberapa interpretasi data geokimia dan fragmentasi
komponen senyawa kimia yang terkandung pada sampel hidrokarbon
tersebut.
70
batuan secara spesifik dan akurat berdasarkan klasifikasi batuan.
Pengambilan sampel batuan diambil sebanyak dua sampel pada lapisan
atas dan bawah di setiap satuan litologi yang sudah diinterpretasikan
berdasarkan analisis lapangan. Kemudian, sampel dilakukan preparasi
sayatan tipis untuk dianalisis. Identifikasi pemerian batuan
diinterpretasikan berdasarkan kandungan fragmen, massa dasar dan
semen batuan yang terlihat pada sayatan tipis tersebut.
71
3. Dituangkan larutan H2O2 (hidrogen peroksida) dengan konsentrasi
10% - 15% sesuai yang dibutuhkan sehingga sampel dalam kondisi
terendam.
4. Diamkan sampel selama satu hingga dua hari hingga kondisi butiran
batuan terlepas dan sampel sudah tidak bereaksi lagi dengan larutan
H2O2
72
lokasi pengamatan pada peta rencana lintasan yang diperkirakan adanya
orientasi kelurusan pada lokasi daerah penelitian. Kemudian, dilakukan
interpretasi dengan analisis geostudio menggunakan software QGIS dan
ArcMap untuk merekonstruksi orientasi kelurusan dan arah tegasan gaya
utama yang bekerja di lokasi penelitian tersebut. Setelah itu, data bidang
kekar diolah menggunakan software faultkin untuk menentukan
penamaan jenis sesar berdasarkan klasifikasi sesar oleh Rickard, 1972
(Gambar III.3).
73
dianalisis dengan klasifikasi mekanisme pengendapan oleh Walker
(1978) dan Bouma (1962).
74
Gambar III. 4 Tahapan Analisis TOC (Total Organic Carbon)
75
7. Proses pemerataan sampel digunakan sand paper grit dari
paling kasar hingga halus dengan nomor 320, 400, 600 dan
1200 selama masing - masing sand paper 72 menit
76
9. Tambahkan larutan asam HF 55% sebanyak ± 50 ml - 150 ml
19. Rekatkan slide glass dengan lem dan ditutupi dengan cover
glass
77
Foto III. 1 Alat Untuk Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen
78
7. Sampel yang dihitung S3 dialirkan oleh gas H2 ke Thermal
Conductivity Detector (TCD) untuk dihitung
Foto III. 2 Alat Untuk Analisis REP (Rock - Eval Pyrolysis) (Gheamarsa, 2015)
79
4. Sampel diinjeksikan ke dalam alat GC (Gas
Chromatography) dan GCMS (Gas Chromatography and
Spectrum Mass)
Foto III. 3 Alat Untuk Analisis Fraksi Hidrokarbon (GC dan GC-MS)
80
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
81
Gambar IV. 1 Kondisi Lokasi Penelitian Berdasarkan Titik Pada Peta
82
Foto IV. 1 Kondisi Sampel Rembesan Hidrokarbon di Lokasi Pengamatan LP1
83
Gambar IV. 2 Jenis Sampel Rembesan Hidrokarbon Daerah Penelitian
Berdasarkan Klasifikasi Peneliti
84
Susunan stratigrafi dari umur tua ke muda di lokasi penelitian sebagai
berikut:
2. Satuan batupasir
85
Tabel IV. 1 Kolom Korelasi Komposit Log Lokasi Penelitian
86
IV.2.2. Analisis Stratigrafi Lokasi Penelitian
87
Tabel IV. 2 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian
88
IV.2.3. Satuan Perselingan Batupasir dan Batulempung
89
Tabel IV. 3 Komposit Log Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
90
IV.2.3.1. Penyebaran dan Ketebalan
91
penipisan ke arah barat dan penebalan ke arah timur dan secara
temporal terjadi penebalan batulempung dan batupasir dengan
perubahan pola gradasi yang mengasar ke atas secara vertikal.
Keterdapatan struktur sedimen seperti: wavy bedding dan cross
bedding.
92
karbonat sebesar 4 % dan nilai porositas terbentuk sebesar 20 %
yaitu: vuggy sebesar 15 % dan intergranular sebesar 5 %.
Berdasarkan komposisi batuan dapat dinamakan batuan ini adalah
calcareous arkosic wacke (Pettijohn, 1975) (Lampiran 4).
93
Gambar IV. 5 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
94
Konsep pendekatan interpretasi zona batimetri berdasarkan
keterdapatan data fosil dilakukan untuk menggambarkan zona
pengendapan satuan geologi. Konsep ilustrasi ini menjelaskan
keterdapatan fosil foraminifera pada mekanisme aliran turbidit
yang dipengaruhi oleh aliran gravitasi (gravity flows) di zona
lereng (Gambar IV.6).
95
karbonatan dan diinterpretasikan secara sederhana terendapkan di
lingkungan laut (marine).
96
pola susunan perlapisan tersebut terbentuk di lingkungan
pengendapan dengan pengaruh faktor turbidit dan konsep Lowe
(1982) menjelaskan pola pengendapan tersebut terbentuk karena
faktor densitas tinggi arus turbidit (high density current turbidity)
sehingga diinterpretasikan model lingkungan pengendapan di kipas
bawah laut di bagian tengah (submarine fan on mid fan).
97
Gambar IV. 7 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
98
IV.2.3.5. Hubungan Stratigrafi dengan Kesebandingan Formasi
99
Tabel IV. 4 Komposit Log Satuan Batupasir
100
IV.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan
101
batupasir dan perubahan pola gradasi batupasir yang mengasar dan
menghalus ke atas secara vertikal. Keterdapatan struktur sedimen
seperti: convolute, wavy bedding, cross bedding, hummocky -
swaley cross stratification dan graded bedding.
102
porositas terbentuk sebesar 7 % yaitu: intergranular. Berdasarkan
komposisi batuan dapat dinamakan batuan ini adalah calcareous
lithic arenite (Pettijohn, 1975) (Lampiran 7).
103
Gambar IV. 10 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Batupasir
104
Konsep pendekatan interpretasi zona batimetri berdasarkan
keterdapatan data fosil dilakukan untuk menggambarkan zona
pengendapan satuan geologi. Konsep ilustrasi ini menjelaskan
keterdapatan fosil foraminifera pada mekanisme aliran turbidit
yang dipengaruhi oleh aliran gravitasi (gravity flows) di zona
lereng (Gambar IV.11).
105
karbonatan dan diinterpretasikan secara sederhana terendapkan di
lingkungan laut (marine).
106
terendapakan terlebih dahulu di bagian bawah detritus halus karena
faktor gravitasi. Menurut Collinson (2006) struktur convolute
merupakan struktur perlapisan yang berbentuk terlipat dan berkerut
dengan kenampakkan yang berbelit yang terbentuk karena proses
pengendapan sedimen di zona kemiringan lereng dengan adanya
faktor pengaruh tegangan geser pada kecepatan aliran fluida di
atasnya. Kenampakan perlipatan dan kerutan tersebut umumnya
terbentuk di kondisi mekanisme pengendapan turbidit.
107
Keempat, korelasi antara data rekaman komposit log
terhadap keterdapatan struktur sedimen. Menurut Bouma (1962)
kehadiran struktur sedimen graded bedding pada perlapisan
litologi batupasir diinterpretasikan sebagai fase ta. Kemudian, fase
tb diinterpretasikan terhadap karakteristik perlapisan batupasir
halus. Struktur sedimen wavy bedding, cross bedding, convolute
dan hummocky – swaley cross stratification pada perlapisan litologi
batupasir diinterpretasikan sebagai fase tc. Korelasi konsep
Middleton dan Hampton (1973) pola susunan perlapisan tersebut
terbentuk di lingkungan pengendapan dengan pengaruh faktor
turbidit dan konsep Lowe (1982) menjelaskan pola pengendapan
tersebut terbentuk karena faktor densitas tinggi arus turbidit (high
density current turbidity) sehingga diinterpretasikan model
lingkungan pengendapan di kipas bawah laut di bagian tengah
(submarine fan on mid fan).
108
yang terendapkan di lingkungan lereng bawah laut dan dikontrol
oleh aktivitas vulkanik.
109
Gambar IV. 12 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Batupasir
110
IV.2.4.5 Hubungan Stratigrafi dengan Kesebandingan Formasi
111
Tabel IV. 5 Komposit Log Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaan
112
IV.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan
113
sangat halus – halus dan batulempung tufaan. Secara spasial terjadi
penebalan dari arah barat ke arah timur dan secara temporal terjadi
penebalan batupasir dan batulempung dengan perubahan pola
gradasi yang mengasar ke atas secara vertikal. Keterdapatan
struktur sedimen seperti: wavy lamination, cross lamination dan
hummocky - swaley cross stratification.
114
lempung dan porositas intergranular. Komposisi material tersusun
atas fragmen 22 % yaitu: mineral opak, mineral gelas dan kuarsa.
Matriks sebanyak 75 % yaitu mineral lempung. Komponen semen
tersusun oleh mineral karbonat sebesar 3 % dan nilai porositas
terbentuk sebesar 3 % yaitu: intergranular. Kenamapkkan warna
yang keruh pada nikol sejajar dan nikol bersilang, kehadiran
mineral gelas dan relief mineral yang rendah menunjukkan
karakteristik batuan ini adalah tufaan (tuffaceous) hasil produk
vulkanik. Berdasarkan komposisi batuan dapat dinamakan batuan
ini adalah calcareous tuffaceous mudstone (Pettijohn, 1975)
(Lampiran 10).
115
zonasi N18 – N20 (Blow, 1969). Kemudian, didapatkan data fosil
foraminifera bentonik yaitu: Amphistegina lessonii (d'Orbigny)
menentukan batimetri berada di zona inner shelf – middle shelf
(Gambar IV.15).
116
Gambar IV. 15 Data Tabulasi dan Foto Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaa
117
Konsep pendekatan interpretasi zona batimetri berdasarkan
keterdapatan data fosil dilakukan untuk menggambarkan zona
pengendapan satuan geologi. Konsep ilustrasi ini menjelaskan
keterdapatan fosil foraminifera pada mekanisme aliran turbidit
yang dipengaruhi oleh aliran gravitasi (gravity flows) di zona
lereng (Gambar IV.16).
118
karbonatan dan diinterpretasikan secara sederhana terendapkan di
lingkungan laut (marine).
119
yang mengalir di zona kelerangan menyebabkan butiran pasir
terangkut ke daerah yang lebih dalam dan terendapkan karena
pengaruh gerakan osilasi. Struktur hummocky – swaley cross
stratification menggambarkan adanya mekanisme sedimentasi
batuan yang terjadi akibat pengaruh arus badai dan terjadi di
lingkungan pengendapan lepas pantai. Menurut Walker dan Plint
(1992) struktur hummocky - swaley cross stratification dapat
terbentuk di zona proksimal dengan karakteristik detritus butiran
kasar dan zona distal dengan karakteristik detritus butiran halus.
Dedritus ini diperkirakan terangkut melalui daerah sungai di bawah
laut dengan kondisi aliran badai dan tersuspensi oleh faktor
geostropik dan arus yang diciptakan oleh angin dan badai sehingga
detritus tersuspensi di zona shelf marine.
120
cukup dekat dengan batuan sumber karena memiliki bentuk butir
membulat tanggung dan menyudut tetapi ukuran butir berbentuk
sangat halus hingga sedang dan tipe kemas grain supported dan
matrix supported menunjukkan batuan ini terendapkan oleh
detritus berukuran sedang hingga sangat halus dengan mekanisme
transportasi berupa aliran dengan durasi transportasi yang cepat.
Kenampakkan kontak antara butiran yaitu floating contact hingga
point contact menunjukkan proses diagenesis yang minim.
Komposisi fragmen yang tersusun atas fragmen batuan (rock
fragment) berupa pecahan batuan vulkanik. Kehadiran mineral
kuarsa dan mineral gelas menunjukkan adanya sistem transportasi
dan sedimentasi dari batuan asal berupa batuan produk vulkanik.
Kehadiran persentase mineral lempung yang tinggi membentuk
kontak butiran yang mengambang (floating contact) sehingga
diinterpretasikan terendapkan dengan sistem aliran suspensi. Jenis
kontak berupa floating contact hingga point contact menunjukkan
sistem transportasi secara suspensi (transported suspension load).
Kehadiran mineral glaukonit yang sedikit sebagai matriks di batuan
diinterpretasikan batuan ini terendapkan di lingkungan continental
shelf. Berdasarkan analisis petrografi satuan perselingan batupasir
dan batulempung tufaan merupakan batuan sedimen vulkanik yang
terendapkan dari sumber batuan produk gunung api dengan sistem
pengendepan aliran suspensi di lingkungan bawah laut.
121
pengendapan satuan batupasir mempengaruhi penurunan muka air
laut sehingga kedalaman laut pada zona continental shelf menjadi
lebih dangkal. Fasies sedimentasi yang diinterpretasikan berada di
smooth on suprafan lobes on mid fan yang diduga dekat dengan
sumber batuan vulkanik dari gunung api yang mengontrol kondisi
lingkungan pengendapan tersebut. Sehingga, satuan perselingan
batupasir batulempung tufaan diinterpretasikan terendapkan
dengan mekanisme turbidit di bawah permukaan laut pada sekuen
lereng kipas gunung api bawah laut (submarine fan volcano)
(Gambar IV.17).
122
Gambar IV. 17 Model Korelasi Fasies dan Batimetri Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaan
123
IV.2.4.5 Hubungan Stratigrafi dengan Kesebandingan Formasi
124
geologi yaitu: Struktur Lipatan Antiklin Besuki dan Struktur Geologi Sesar Geser
Mengiri Parungkamal (Lampiran 2). Penentuan struktur geologi didapatkan
berdasarkan analisis geostudio untuk menginterpretasikan penamaan yang sesuai
berdasarkan data klasifikasi.
IV.3.1. Struktur Geologi Lipatan Antiklin Besuki
125
Gambar IV. 19 Analisis Struktur Geologi Lipatan Lokasi Penelitian
126
5. Pengamatan terhadap bidang off-set pada peta geologi
127
Gambar IV. 20 Pengamatan Data Struktur Geologi Kekar di Lokasi Penelitian
128
kedalaman atas (topline) yaitu 0 m. Satuan litologi ini diperkirakan
merupakan lapisan paling muda secara urutan lapisan vertikal. Data
fosil indeks pada kemunculan pertama (first appearance) yaitu:
Neogloboquadrina humerosa (Takayanagi dan Saito) di umur N18
dan kemunculan terakhir (last appearance) yaitu: Dentoglobigerina
altispira altispira (Cushman dan Jarvis) di umur N20. Kecepatan
laju sedimentasinya sebesar 3.2593 cm/kyr.
129
satuan batupasir dikarenakan hubungan kontak litologi
diinterpretasikan selarasa walaupun fossil indeks yang ditemukan
berada di rentang Zona N8 – N9. Hubungan kontak selaras
diinterpretasikan karena berdasarkan data di lapangan arah perlapisan
memiliki oritensai yang sama dan tidak ditemukannya kontak tidak
selaras (unconformity). Penentuan umur zona N8 – N9 dikarenakan
keterbatasan data fosil yang ada yaitu fosil indeks yang memiliki umur
tua dan tidak ditemukan fosil yang berumur lebih muda sebagai
penunjuk batas antara satuan perselingan batupasir batulempung
dengan satuan batupasir. Penentuan batas kemunculan akhir satuan
litologi ini diperkirakan pada data tabulasi fossil (Lampiran 5)
dengan kondisi sedimentasi yang optimal. Kecepatan laju
sedimentasinya sebesar 23.3529 cm/kyr.
130
Gambar IV. 21 Grafik Kecepatan Laju Sedimentasi Litologi di Lokasi Penelitian
131
Tabel IV. 8 Data Analisis TOC dan REP Lokasi Penelitian
132
Gambar IV. 22 Titik Lokasi Pengambilan di Lokasi Penelitian
133
Berdasarkan analisis geokimia pada sampel (Tabel IV.8) batuan dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
134
berdasarkan data tabulasi fosil (Lampiran 5 dan Lampiran 8) satuan perselingan
batupasir batulempung memiliki rentang umur Zonasi Blow N8 – N9 dan satuan
batupasir memiliki rentang umur Zonasi Blow N12 – N17 dinyatakan bahwa
ketersediaan data yang kurang detil dan mungkin kelimpahan fosil yang terlihat
hanya fosil dengan umur tua tetapi berdasarkan konsep pengamatan data di
lapangan kenampakkan hubungan litologi selaras dengan orientasi kemiringan
yang sesuai. Satuan ini memiliki karakteristik litologi detritus lempungan dan
pasiran berukuran sagat halus hingga halus berdasarkan analisis petrografi
(Lampiran 3 dan Lampiran 4) dan diinterpretasikan berpotensi menjadi sistem
batuan induk (source rock) karena mengandung material organik yang tinggi.
Setelah itu, dilanjutkan proses sedimentasi oleh satuan geologi yang lebih
muda yaitu satuan batupasir yang berumur Kala Miosen Tengah hingga Kala
Miosen Akhir. Pada sistem burial modelling satuan ini menunjukkan proses
sedimentasi yang cukup lama dengan rentang zonasi N12 hingga N17 (Blow,
1969). Satuan ini diinterpretasikan memiliki jenis porositas yang cukup baik
karena disusun oleh material detritus pasiran berukuran sangat halus hingga
sedang berdasarkan analisis petrografi (Lampiran 6 dan Lampiran 7) sehingga
berpotensi menjadi sistem batuan waduk (reservoir rock) dan memiliki ketebalan
yang besar dengan waktu sedimentasi yang cukup lama sehingga berpotensi
sebagai sistem batuan pembeban (overburden rock). Kemudian, dilanjutkan
proses sedimentasi oleh satuan geologi yang paling muda yaitu satuan perselingan
batupasir batulempung tufaan yang berumur Kala Pliosen Awal hingga Kala
Pliosen Akhir. Pada sistem burial modelling satuan ini menunjukkan proses
sedimentasi yang cukup sebentar dengan rentang zonasi N18 - N20 (Blow, 1969).
Satuan ini diinterpretasikan memiliki karakteristik litologi detritus lempungan dan
pasiran berukuran sangat halus hingga halus dengan sifatnya tufaan (tuffaceous)
berdasarkan analisis petrografi (Lampiran 9 dan Lampiran 10) sehingga
berpotensi menjadi sistem batuan pengikat (seal rock) karena sifat sealing dari
material tufaan. Detritus halus bersifat tufaan berpotensi untuk mengakumulasi
dan tidak dapat melosokan fluida sehingga bersifat mengikat (sealing). Pada
sistem burial modelling satuan ini diperlihatkan memiliki kedalaman yang
dangkal karena data yang digunakan merupakan data rekonstruksi berdasarkan
data penampang geologi sehingga kenampakkan yang dianalisis berdasarkan data
135
di permukaan dan diperkirakan detritus halus tufaan memiliki kemampuan untuk
menampung fluida tetapi sangat mudah untuk tererosi sehingga memiliki
rekonstruksi kedalaman yang dangkal.
136
disebandingkan dengan Formasi Halang (Tmph). Dengan metode analisis
yang diuji berupa kandungan karbon organik (TOC) dan analisis pirolisis
evaluasi batuan (REP) (Gambar IV.24).
137
Gambar IV. 24 Titik Lokasi Pengamatan Sampel
138
Berdasarkan analisis geokimia pada sampel (Gambar IV.25) batuan
dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
139
2. Satuan batupasir pada LP 33 menunjukkan nilai total karbon organik
(TOC) sebesar 0.24 %. Mengacu pada Peters dan Cassa (1994) satuan
geologi ini dapat diinterpretasikan sebagai implikasi berpotensi rendah
(poor). Analisis S1, S2, S3, HI, OI, OPI dan suhu maksimum tidak
dilakukan karena sampel ini mengandung material organik yang sedikit.
140
diabaikan (Dembicki, Jr., 2017) dan menunjukkan sedimen terendapkan di
lingkungan sangat oksidator sehingga kandungan material organiknya
teroksidasi tinggi.
141
Tabel IV. 9 Analisis Data Kualitatif Batuan Induk
142
Berhubungan terhadap hasil analisis pirolisis evaluasi batuan (rock
eval pyrolysis) (Gambar IV.26) dinyatakan termasuk ke dalam hidrokarbon
tipe gas prone dan minim untuk membentuk hidrokarbon tipe oil prone
karena mengandung nilai indeks oksigen (HI) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan indeks hidrogen (HI). Hidrokarbon ini terbentuk
karena pengaruh ikatan struktur karbon aromatic dengan rantai cabang
berikatan oksigen. Berdasarkan analisis kerogen dinyatakan batuan induk
satuan perselingan batupasir batulempung merupakan material sedimen
transportasi dari darat.
143
Gambar IV. 26 Identifikasi Analisis Reflektansi Vitrinit dan Tipe Kerogen
IV.6.1.3. Analisis Tingkat Kematangan Batuan Induk
144
satuan perselingan batupasir batulempung dinyatakan belum matang karena
kedua suhu dari sampel tersebut di bawah 4350C.
145
ini sedikit didominansi oleh senyawa tidak jenuh tetapi menuju ke kondisi
oksidatif menuju saturated carbon seperti hidrokarbon rantai pendek.
Kemudian, berdasarkan hasil crossplotting diagram triangle of bulk
composition dinyakatakan sampel satuan perselingan batupasir
batulempung pada LP 11 pada kondisi increasing maturation (Gambar
IV.28).
146
Pr/Ph > 3.5 menunjukkan lingkungan pengendapan oxic sedangkan rasio
Pr/Ph < 1.5 menunjukkan lingkungan pengendapan anoxic.
147
Tabel IV. 10 Data Komponen Senyawa Ekstraksi Batuan Induk
148
Rasio Tm/Ts merupakan senyawa trisnorhopana yang diturunkan
dari senyawa hopanoid. Trisnorhopana dikategorikan sebagai kelompok
triterpenoid dengan struktur empat cicin siklik yang berikatan dan kehadiran
senyawa dikontrol oleh tingkat oksisitas. Sedangkan, senyawa moretana
merupakan senyawa isoprenoid turunan triterpenoid yang berlimpah di
dalam material darat. Rasio Tm/Ts digunakan untuk menentukan suatu
lingkungan pengendapan sumber material. Berdasarkan hasil data (Gambar
IV.29) didapatkan nilai rasio Tm/Ts > 1 dan nilai C30 moretana sebesar 0.33
maka dilakukan crossplotting antara rasio tm/ts terhadap C30 moretana
dinyatakan sampel dibentuk oleh material darat (terrestrial plants) dengan
lingkungan pengendapan suboksik. Hopana merupakan suatu senyawa
isoprena kelompok triterpenoid digunakan untuk mengetahui korelasi
komponen pengaruh dalam pembentukan sumber asal material. Semakin
tinggi kehadiran senyawa hopanoid dapat menentukan sumber material
berasal dari alga, bakteri dan biomassa lainnya. Sedangkan, rasio Pr/Ph
digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan yang bersifat oksik
atau anoksik. Berdasarkan hasil diagram crossplotting antara senyawa
hopana/sterana dengan pristana/fitana dinyatakan bahwa sampel litologi
terendapkan di lingkungan anoksik ke suboksik dengan adanya pengaruh
sumber material alga laut (marine algae). Berdasarkan komponen senyawa
triterpana seperti C28/C30 hopana, C29/C30 hopana, Des-A-Lup/Des-A-Ol
dan Oleanana/C30 Hopana merupakan komponen turunan senyawa
triterpana dan diinterpretasikan terhadap diagram distribusi terpana trisiklik
dinyatakan komponen pembentuk material organik dari batuan ini adalah
komponen campuran (mixed).
149
Gambar IV. 29 Crossplotting Data Analisis Senyawa Fraksinasi Batuan Induk
150
endapan darat (terrigenous) dengan material berupa tumbuhan tingkat tinggi
(higher plants) atau kayu (lignified).
151
hydrocarbon) karena disusun oleh komponen senyawa aromatik.
Berdasarkan hasil crossplotting diagram dinyatakan sampel LP 1 memiliki
karakteristik hidrokarbon berupa paraffin atau naftalena dengan tipikal
hidrokarbon tidak jenuh (unsaturated) pada kondisi slightly biodegradation
(Gambar IV.31).
152
faktor kehadiran persentase karbon sterana C27 diindikasikan berasal dari
material laut seperti alga laut, alga hijau, alga hijau kuning, fitoplankton dan
kemungkinan kehadiran mikro alga botryoccocus braunii. Kemudian, faktor
kehadiran persentase karbon sterana C28 diindikasikan berasal dari material
transisisi berupa alga danau, diatoms dan bryophyates. Kehadiran karbon
sterana C29 menunjukkan terdapatnya sumber fasies material darat
(terrestrial plants) atau endapan darat (terrigenous) dengan material berupa
tumbuhan tingkat tinggi (higher plants) atau kayu (lignified). Kehadiran
senyawa hopana yang cukup tinggi menunjukkan adanya sumber material
hidrokarbon ini berasal dari domanansi alga, bakteri dan biomassa lainnya
sebagai komponen utama pembentuk hidrokarbon. Kehadiran senyawa Des-
A-Lupana/Des-A-Oleanana yang tinggi menunjukkan keterdapatan material
hidrokarbon berasal dari degradasi mikroba di bawah kondisi anoksik.
153
Gambar IV. 32 Data Analisis Biomarker Rembesan Hidrokarbon
154
dinyatakan tingkat kematangannya belum matang (immature). Berdasarkan
data komponen senyawa kimia biomarker dinyatakan batuan ini memiliki
sumber fasies material berasal dari endapan darat (terrigenous) atau
tumbuhan tingkat tinggi (higher plants) dengan tingkat kematangan belum
matang menuju matang (immature to mature) yang terendapkan di
lingkungan darat (terrestrial). Sedangkan, berdasarkan data diagram segitiga
sterana LP 1 memiliki sumber fasies material berasal dari material campuran
berupa alga laut, alga hijau, alga biru hijau, fitoplanktonik, mikro alga
botryoccocus braunii, alga danau, diatoms, bryophyates, tumbuhan tingkat
tinggi (higher plants), endapan darat (terrigenous) dan tumbuhan kayu
(lignified) yang terendapkan di lingkungan lingkungan transisi di open marine
to estuarine or bay. Berdasarkan data korelasi antara batuan perselingan
batupasir batulempung LP 11 terhadap rembesan hidrokarbon LP 1 memiliki
korelasi negatif.
155
Gambar IV. 33 Korelasi Data Biomarker Batuan Induk (LP 11) terhadap Rembesan
Hidrokarbon (LP 1)
156
struktural (structural trap). Keterdapatan rembesan hidrokarbon diduga telah
bermigrasi kedua (secondary migration) karena adanya sistem jebakan yang
rusak pada petroleum system yang disebabkan oleh struktur geologi dan
faktor erosi pada reservoir. Indikasi kemunculan rembesan hidrokarbon ke
permukaan mengambarkan daerah penelitian potensi akan hidrokarbon aktif
yang dangkal. Data geologi dan karakteristik komponen geokimia
menginterpretasikan bahwa satuan perselingan batupasir dan batulempung
memiliki korelasi negatif terhadap rembesan hidrokarbon.
157
Gambar IV. 34 3D Modelling Korelasi Data Pada Lokasi Penelitian
158
IV.7. Sejarah Geologi Lokasi Penelitian
159
Berdasarkan data komposit log satuan batupasir terendapkan dengan mekanisme
pengendapan di fasies channelled suprafan lobes on mid fan hingga channelled
portion of suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978).
160
dengan didukung analisis stereografi diperkirakan fase keenam dan ketujuh terjadi
pada Zaman Kuarter. Ilustrasi fase kedelapan menunjukkan adanya faktor
pengaruh agen erosi geomorfologi oleh air dan angin serta beberapa proses
pelapukan yang mendukung untuk membentuk kenampakkan morfologi. Faktor
pelarutan dan pelapukan yang intensif diperkirakan terjadi di zona daerah dengan
kemiringan morfometri yang cukup tinggi dan bidang lemah karena proses
kompresi tektonik sehingga mempercepat adanya proses erosi tersebut. Proses
erosi ini diperkirakan terjadi pada Zaman Kuarter.
161
Gambar IV. 35 Ilustrasi Block Modelling Sejarah Geologi Lokasi Penelitian
162
hidrokarbon (oil generation), akumulasi penyimpanan (preservation) dan waktu
kritis (critical moments) (Gambar IV.36).
163
cm/kyr. Satuan ini terendapkan dengan mekanisme pengendapan pada fasies
channeled suprafan lobes on midfan hingga channeled portion of suprafan lobes
on midfan (Walker, 1978). Berdasarkan kesebandingan formasi satuan ini
termasuk ke dalam Anggota Batupasir Formasi Halang (Tmhs). Satuan ini
memiliki nilai total karbon organik sebesar 0.24. Berdasarkan karakteristik
litologi, rentang laju sedimentasi, ketebalan litologi dan waktu pengendapan
satuan ini diinterpretasikan menjadi batuan waduk sekunder (secondary reservoir
rock) dan berpotensi menjadi batuan pembeban (overburden rock). Elemen batuan
penutup (seal rock) memiliki karakteristik litologi berupa satuan perselingan
batupasir batulempung tufaan dengan ketebalan ± 66.55 m dan berumur Kala
Pliosen Awal (Early Pliocene) hingga Kala Pliosen Akhir (Late Pliocene) dengan
Zonasi Blow N18 – N20 pada kurun waktu 5.3 – 2.6 juta tahun lalu. Satuan ini
memiliki zona batimetri inner shelf – middle shelf dengan laju sedimentasi sekitar
± 3.2593 cm/kyr. Satuan ini terendapkan dengan mekanisme pengendapan pada
fasies smooth on suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978). Berdasarkan
kesebandingan formasi satuan ini termasuk ke dalam Formasi Halang (Tmph).
Satuan ini memiliki nilai total karbon organik sebesar 0.40. Berdasarkan
karaketristik litologi, rentang laju sedimentasi, ketebalan litologi dan waktu
pengendapan satuan ini diinterpretasikan menjadi batuan pengikat (seal rock)
karena sifat mengikat dari karakteristik litologi. Elemen jebakan diinterpretasikan
dipengaruhi oleh sistem jebakan gabungan berupa jebakan stratigrafi
(stratigraphic trap) dan jebakan structural (structural trap) yang terjadi pada
kurun waktu ± 2.6 – 0.01 juta tahun lalu. Jebakan stratigrafi diinterpretasikan
terjadi karena adanya pengaruh dari karakteristik litologi seal rock berupa
perselingan batupasir dan batulempung tufaan. Perbedaan karakteristik tersebut
mempengaruhi sistem jebakan stratigrafi karena perbedaan karakteristik litologi.
Kemudian, jebakan struktural diinterpretasikan terjadi akibat terbentuknya
struktur antiklin berupa plunging anticline sehingga menyebabkan migrasi
hidrokarbon untuk terakumulasi di antiklin.
164
sedimentasi satuan ini berpotensi menjadi batuan pembeban (overburden rock).
Kemudian, waktu kematangan hidrokarbon diinterpretasikan terjadi akibat faktor
pembebanan oleh overburden rock yang terjadi pada kurun waktu akhir 2.6 Juta
tahun. Penentuan tingkat kematangan didukung dengan analisis burial modelling
dan laju sedimentasi. Migrasi dan preservasi diinterpretasikan terjadi pada kurun
waktu akhir ± 0.01 juta tahun lalu setelah pembentukan jebakan struktur berupa
plunging anticline dan kematangan hidrokarbon. Waktu kritis merupakan waktu
terbaik untuk menentukan kematangan, migrasi dan akumulasi yang terjadi pada
petroleum system. Waktu kritis diinterpretasikan terjadi pada kurun waktu ± 0.01
juta tahun lalu dengan faktor utama tingkat kematangan, waktu migrasi dan
akumulasi dan faktor adanya struktur geologi yang memicu adanya rembesan
hidrokarbon. Rembesan hidrokarbon menggambarkan keterdapat potensi minyak
dan gas dangkal di Sub – Cekungan Banyumas.
165
BAB V KESIMPULAN
166
0.64 dikarenakan faktor pembanan overburden rock yaitu satuan batupasir.
4. Berdasarkan data analisis batuan induk satuan perselingan batupasir
batulempung memiliki tipek kerogen vitrinit dengan potensi menghasilkan
hidrokarbon tipe gas prone dengan tingkat kematangannya immature. Batuan
ini memiliki sumber fasies material asal darat berupa tumbuhan tingkat tinggi
(higher plants), kayu (lignified) dan endapan darat (terrigenous). Sedangkan,
rembesan hidrokarbon merupakan hidrokarbon tipe unsaturated dengan
kondisi slightly heavy - heavy biodegradation.
5. Berdasarkan data biomarker batuan induk diinterpretasikan terendapkan di
lingkungan pengendapan darat (terrestrial) sedangkan rembesan hidrokarbon
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan open marine to estuarine or bay.
Sehingga, korelasi data diagram spider bersifat negatif dan diduga rembesan
hidrokarbon hadir hasil migrasi dari batuan induk lain.
6. Terdapatnya sembilan peristiwa kejadian sejarah geologi dimulai dari waktu
Kala Miosen Awal Bagian Akhir - Recent.
7. Terdapatnya sembilan element pada petroleum system di Sub - Cekungan
Banyumas yaitu: source rock berupa satuan perselingan batupasir
batulempung, reservoir rock berupa satuan batupasir, seal rock satuan
perselingan batupasir batulempung tufaan, trap berupa stratigraphic trap dan
structural trap, overburden rock berupa satuan batupasir, oil generation terjadi
pada Late 2.6 Ma, migrasi terjadi pada Early 0.01 Ma, preservation terjadi pada
early 0.01 Ma dan critical moments terjadi pada 0.01 Ma.
167
DAFTAR PUSTAKA
168
Bouma, A. H. (1962). Sedimentology of some Flysch deposits: a graphic approach
to facies interpretation. Amsterdam; New York : Elsevier Pub. Co.
Brassell, S. C.; Eglinton, G.; Sheng, G.; Fu, J. (1988). Biological markers in
lacustrine Chinese oil shales. Geological Society, London, Special
Publications, 40(1), 299–308. doi:10.1144/GSL.SP.1988.040.01.24
Corbet, B., 1980. Origine et transformation des triterpènes dans les sédiments
récents. Ph.D. thesis, Université Louis Pasteur, Strasbourg, France, 106 p.
Deny. 2021. Analisis Biosekuen Stratigrafi dan Sejarah Pengendapan dari
Penampang Sumur "DN" di Cekungan Kutai Kalimantan Timur. Jakarta :
Universitas Trisakti
Didyk, B. M., Simoneit, B. R. T., Brassell, S. C., & Eglinton, G. (1978). Organic
geochemical indicators of palaeoenvironmental conditions of sedimentation.
Nature, 272(5650), 216–222.
Djuhaeni dan Martodjojo S., 1989, Stratigrafi Daerah Majalengka dan
Hubungannya dengan Tatanama Satuan Litostratigrafi di Cekungan Bogor,
Geologi Indonesia, PPPG-Bandung, vol. 12, no.1, hal. 227-252.
Djuri, 1975. Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, skala 1:100.000.
Direktorat Geologi, Bandung.
Djuri, M., H. Samodra, T. C. Amin dan S. Gafoer. 1996. Peta Geologi Lembar
Purwokerto dan Tegal, Jawa Skala 1:100.000. Indonesia : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi
Ekweozor, C. M., and Udo, O. T. (1988). The oleananes: Origin, maturation and
limits of occurrence in Southern Nigeria sedimentary basins. Organic
Geochemistry In Petroleum Exploration, 131–140. doi:10.1016/b978-0-08-
037236-5.50019-1
Evenick, J. C. 2022. Assessing hydrocarbon charge access via map-based fetch
analysis: Going beyond petroleum systems event charts. Geosystems and
Geoenvironment, 1(2), 100024.
Fleuty, M. J. (1964). The description of folds. Proceedings of the Geologists
Association, 75(4), 461-492.
Friedman, G. M., & Sanders, J. E. (1978). Principles of sedimentology. Wiley
Fu Jiamo, S. C. Brassell, G. Eglinton, Guoying Sheng. 1988. Biological markers in
169
lacustrine Chinese oil shales. Geological Society, London, Special
Publications, 40, 299-308, 1 January 1988,
https://doi.org/10.1144/GSL.SP.1988.040.01.24
Hadimuljono dan Desi Yensusnimar. 2022. Heavy Oil Seepageage Characteristic
in Cipari Area, Banyumas Central Java. Jakarta : Scientific Contributions Oil
and Gas, Vol. 44. No. 3, December 2021: 161 - 171
Hamilton, W., 1979. Tectonics of The Indonesian Region, Geological Survey
Professional Paper 1078, Washington.
Hamilton, W., 1989. Convergent-Plate Tectonics Viewed from the Indonesian
Region. Geol. Indon. v.12, n.1: 35-88.
Hao, F. , Zou, H. , Gong, Z. , Deng, Y. 2007. Petroleum migration and
accumulation in the Bozhong sub-basin, Bohai Bay basin, China:
significance of preferential petroleum migration pathways (PPMP) for the
formation of large oilfields in lacustrine fault basins. Mar. Petrol. Geol. 24,
1–13
Hayes, M.O., 2005.Wave-Dominated Coasts. In: Schwartz M.L. (eds)
Encyclopedia of Coastal Science. Encyclopedia of Earth Science Series.
Springer, Dordrecht.
Hidayat, dkk. 2020. Interpretasi Struktur Geologi Bawah Permukaan Berdasarkan
Updating Data Gaya Berat Cekungan Banyumas, Jawa Tengah. Bandung :
Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Vol.21. No.3 Agustus 2020 hal 111-
118
Huang, W.Y. dan Meinschein, W.G., 1979. Sterols as Ecological Indicators.
Geochimica and Cosmochimica Acta, 43, 739-745.
Hunt, J. M., 1979. Petroleum Geochemistry and Geology. W.H. Freeman and
Company, New York.
J. Connan; J. Bouroullec; D. Dessort; P. Albrecht (1986). The microbial input in
carbonate-anhydrite facies of a sabkha palaeoenvironment from Guatemala:
A molecular approach. 10(1-3), 0–50. doi:10.1016/0146-6380(86)90007-0
Kadar, Adi, P., Hudianto and Armein. (1996). “Selected Foraminifera.
Paleoenviromental Indikators for the Miocene of The Kutai. Basin”Jurnal
IPA, Jakarta. ITB.
170
Kastowo dan N. Suwarna. 1996. Peta Geologi Lembar Majenang, Jawa Skala
1:100.000. Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Katili, J., 1989. Evolution of the Southeas t Asian Arc Complex. Geo.Indon. v.12,
n.1: 113-143
Kennet, J. P dan Srinivasan. 1983. Neogene Planktonic Foraminifera, A
Phylogenetic Atlas. Hutchison Ross Publishing Company, 265pp
Kenneth E. Peters, Clifford C. Walters, and J. Michael Moldowan. 2005. The
Biomarker Guide Volume 1 Biomarkers and Isotopes in the Environment and
Human History. Standford University : California.
Koesumadinata. 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi. Bandung : Jilid 1 Edisi
kedua, ITB, Bandung, Indonesia
Kusuma, S.M dan B.K Susilo. 2020. Karakteristik Fasies Endapan Turbidit Formasi
Halang Daerah Pamriyan dan Sekitarnya, Jawa Tengah. Palembang : Seminar
Nasional AVoER XII 2020 Palembang, 18 - 19 November 2020 Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya
Langenheim, J.H., 1994. Higher plant terpenoids: A phytocentric overview of their
ecological roles. Journal of Chemical Ecology 20, 1223–1280.
Lemigas, 2005, Summary On Petroleum Geology of Indonesia’s Sedimentary
Basins, Prepared for Patra Nusa Data, Jakarta
Lemigas, 2005, Summary On Petroleum Geology of Indonesia’s Sedimentary
Basins, Prepared for Patra Nusa Data, Jakarta.
Lillis, P. G. (1988). Correlation and characterization of oils using biological
markers, Cuyama basin, California.
Link, W. K., 1952. Significance of Oil and Gas Seeps in World Oil Exploration.
AAPG Bulletin, 36
Lohmann, F., Trendel, J.M., Hetru, C., Albrecht, P., 1990. C-29 tritiated β-amyrin:
chemical synthesis aiming at the study of aromatization processes in
sediments. Journal of Labelled Compounds and Radiopharmaceuticals 28,
377–386.
Lohonauman, Rudolf Rivaldo, dkk. Tanpa Tahun. Geologi dan Studi Endapan
Turbidit Formasi Halang Daerah Watuagung dan Sekitarnya Kecamatan
Tambak Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Program Studi Teknik Geologi,
171
Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
Lunt, P., G. Burgon, A.A. Baky. 2008. “The pemali formation of central java and
equivalents: indicators of sedimentation on an active plate margin”, Journal
Of Asian Earth Sciences, 2008
Mann, A. L., Goodwin, N. S., & Lowe, S. (1987). Geochemical characteristics of
lacustrine source rocks: a combined palynological/molecular study of a
Tertiary sequence from offshore China.
Mann. 1987. Geochemical Characteristics of Lacustrine Source Rocks: A
Combined Palynological/Molecular Study of a Tertiary Sequence from
Offshore China. 16th Annual Convention Proceedings (Volume 1), 1987 Pages
241-258
Martodjojo, S., 1984, Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat, Desertasi Doktor, ITB,
Bandung
McKirdy, D. M., Cox, R. E., Volkman, J. K., & Howell, V. J. (1986).
Botryococcane in a new class of Australian non-marine crude oils. Nature,
320(6057), 57–59. doi:10.1038/320057a0
Mewengkang, Grace Khatrine. 2020. Analisis Fasies Turbidit dan Potensi
Reservoir Sedimen Laut dalam Formasi Halang Cekungan Banyumas,
Kabupten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Jakarta : Universitas Trisakti
(unpublished)
Middleton, G. V., & Hampton, M. A. (1973). Part I. Sediment gravity flows:
mechanics of flow and deposition.
Minster, J.B. and Jordan, T.H., 1978. Present day plate motion. Geophysicsal
Research, 83: 5331-5334.
Nicholls, I. W. (1980). Jalur Gunungapi Modern Jawa Tengah.
Noeradi, D. E.A. Subroto, H.E. Wahono, E. Hermanto, Y. Zaim. 2006. “Basin
evolution and hydrocarbon potential of majalengka – bumiayu transpression
basin, java island, indonesia”, AAPG 2006 International Conference and
Exhibition, Perth, Australia
Peakman, T. M., Farrimond, P., Brassell, S. C., & Maxwell, J. R. (1986). De-A-
steroids in immature marine shales. Organic geochemistry, 10(4-6), 779-789.
Peters E., dan Cassa R. (1994). Applied Source Rock Geochemistry. The petroleum
172
system — from source to trap: AAPG Memoir 60. Chapter 5 page 97-102.
Peters, dkk., (2017): Biomarkers: Assessment of Petroleum Source Rock Age and
Depositional Environment
Peters, K.E., Walters, C.C., Moldowan, J.M. (1993) : The Biomarker Guide Volume
1 Biomarkers and Isotopes in The Environment and Human History,
Cambridge
Peters, K.E., Walters, C.C., Moldowan, J.M. (2005) : The Biomarker Guide Volume
2 Biomarkers and Isotopes in The Environment and Human History,
Cambridge
Phoa, R. S., & Samuel, L. (1986). Problems of source rock identification in the
Salawati Basin, Irian Jaya.
Poole and Claypool. 1984. Petroleum Source Rock Potential and Crude Oil
Correlation in the Great Basin. Hydrocabon Source Rocks of the Greater
Rocky Mountain Region, 1984
Pratsch, J. 1986. The distribution of major oil and gas reserves in regional basin
structures - an example from the Powder River basin, Wyoming, USA. J. of
Pet. Geo. 9, 393–411
Pringgoprawiro, Harsono dan Rubiyanto Kapid. 2000. Foraminifera Pengenalan
Mikrofosil dan Aplikasi Biostratigrafi. Bandung : Penerbit ITB
Pulunggono, A. dan Martodjojo, S., 1994. Perubahan tektonik Paleogen – Neogen
merupakan peristiwa terpenting di Jawa. Proccedings Geologi dan
Geotektonik Pulau Jawa: 37-50.
Purwasatriya dan Gentur Waluyo. 2011. Pembuatan Model Geologi Bawah
Permukaan dengan Metode Geolistrik Dan Studi Stratigrafi pada Rembesan
Gas Di Jatilawang, Banyumas. Purbalingga : Dinamika Rekayasa Vol. 7 No.
2 Agustus 2011 ISSN 1858-3075
Purwasatriya, dkk. 2017. Oligocene-Pleistocene Paleogeography within Banyumas
Basin and implication to petroleum potential. Yogyakarta : 3rd International
Conference of Science and Technology (ICST) UGM, Yogyakarta, 2017
Purwasatriya, E.B., Surjono, S.S., dan Amijaya, H., 2019. Sejarah Geologi
Pembentukan Cekungan Banyumas Serta Implikasinya Terhadap Sistem
Minyak dan Gas Bumi. Jurnal Dinamika Rekayasa, 15(1): 23-31.
173
Purwasatriya, Eko Bayu, dkk. 2012. Studi Potensi Minyak Dangkal dengan
Pendekatan Metode Statistik Berdasar Data Geologi Permukaan Di Cekungan
Banyumas. Dinamika Rekayasa Vol. 8 No. 2 Agustus 2012 ISSN 1858-3075
Purwasatriya, Eko Bayu, dkk. 2018. Tectonostratigraphy of Banyumas Basin and
Its Correlation to Petroleum Potential. Purwokerto : Geological Engineering
Jenderal Soedirman University, Purwokerto and Doctoral program
Department of Geological Engineering University of Gadjah Mada,
Yogyakarta
Purwasatriya, Eko Bayu, dkk. 2021. Sedimentologi dan Tektonostratigrafi Formasi
Halang di Cekungan Banyumas serta Potensinya untuk Reservoir
Hidrokarbon. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Vol. 22 No. 3 Agustus
2021 hal. 153-163
Purwasatriya, Eko Bayu. 2014. Tinjauan Kembali Potensi Hidrokarbon Cekungan
Banyumas Berdasarkan Data Geologi dan Data Geofisika. Purwokerto :
1Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Sains Dan Teknik, Universitas
Jenderal Soedirman
Purwasatriya. 2012. Studi Potensi Minyak Dangkal dengan Pendekatan Metode
Statistik Berdasar Data Geologi Permukaan Di Cekungan Banyumas.
Purwokerto : Dinamika Rekayasa Vol. 8 No. 2 Agustus 2012 ISSN 1858-
3075
Putra, Rizki Arya, dkk. 2020. Analysis Of Sandstone Units Characteristic In Tapak
Formation, Paningkaban Area And Surroundings, Banyumas District,
Central Java Province : As Approach For Deepwater Reservoir Prospect
Study In Banyumas Sub-Basin. Lombok : THE 49TH IAGI ANNUAL
CONVENTION & EXHIBITION
Rachmah, Annisa, dkk. Tanpa tahun. Geologi Daerah Selanegara dan Sekitarnya
Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dan Analisis
Lingkungan Pengendapan Silicified Coal di Pit Parigin - Daerah Konsesi PT
ADARO INDONESIA Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Bogor :
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik - Universitas Pakuan
Reliubun, dkk. 2019. Penyelidikan Potensi Rembesan Minyak Bumi Daerah Munuk
Distrik Sarmi Selatan Kabupaten Sarmi. Jayapura : Jurnal DINAMIS Vol 16.
174
No. 2 2019 (Lukman N. Reliubun, Moh. R. Irjii Matdoan, Deyong P. Hindom
77-81
Riolo, J., Hussler, G., Albrecht, P., & Connan, J. (1986). Distribution of aromatic
steroids in geological samples: their evaluation as geochemical parameters.
Organic Geochemistry, 10(4-6), 981–990. doi:10.1016/s0146-
6380(86)80036-5
Rizal, Yan, dkk. 2019. Studi Diagenesis Batupasir Pada Asosiasi Fasies Channel-
Fill Formasi Halang. Bulletin of Geology Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB)
Rudy S. K. Phoa, Luki Samuel. 1986. Problems of Source Rock Identification in
the Salawati Basin, Irian Jaya. 15th Annual Convention Proceedings (Volume
1), 1986 Pages 405-421
Salvador, Amos (2013). International Stratigraphic Guide. Geological Society of
America. ISBN 9780813759388.
Salvador, dkk. 1999. International Stratigraphic Guide. USA : International
Subcommission on Stratigraphic Classification of IUGS dan International
Commission on Stratigraphy
Sam Boggs, J. (2006). PETROLOGY OFSEDIMENTARY ROCKS. United States of
America: Cambridge University Press, New York.
Satyana, A. H., & Purwaningsih, M. E. (2002). Lekukan Struktur Jawa Tengah:
Suatu Segmentasi Sesar Mendatar. Prosiding Akatan Ahli Geologi Indonesia
(IAGI), Yogyakarta, 1-14.
Satyana, A. H., dan Armandita, C. (2004). Deepwater Plays of Java, Indonesia:
Regional Evaluation on Opportunities and Risks.
Selley, R. C. (2000). Applied Sedimentology, (p. 2nd ed.: x + 523 pp.). San Diego,
San Francisco, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo: Academic Press.
Simandjuntak, T. O. dan Surono. 1992. Peta Geologi Lembar Pangandaran, Jawa
Skala 1 : 100.000. Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Simandjuntak, T.O. &Ba rber, A.J., 1996. Contrasing tectonic style in the Neogene
orogenic belts of Indonesia, in: Tectonic Evolution of Southeast Asia, eds.
Hall &Blundell, Geological Society Spec. Publ. No. 106: 185-201.
Sinninghe Damsté, J.S., Verschuren, D., Ossebaar, J., Blokker, J., van Houten, R.,
175
van der Meer, M.T.J., Plessen, B., Schouten, S., 2011. A 25,000-year record
of climateinduced changes in lowland vegetation of eastern equatorial Africa
revealed by the stable carbon-isotopic composition of fossil plant leaf waxes.
Earth and Planetary Science Letters 302, 236–246.
Soeria atmadja, R., Bellon, R.C., Pringgoprawiro, H., Polve, M. Dan Priadi, B.,
1994. Tertiary magmatic belt in Java, J. SE Sci., v.9, n.1-2: 13-27.
Soeria, R. A. (1994). Tertiary Magmatic Belts in Java. Southeast Asian Earth
Sciences, vol. 9, no. 1/2, Pergamon Press, Great Britain.
Subroto, E.A. D. Noeradi, A. Priyono, H.E. Wahono, E. Hermanto, Praptisih, K.
Santoso, “The paleogene basin within kendeng zone, central java island and
implication to hydrocarbon prospectivity”, Proceedings Indonesian
Petroleum Association, 31st annual convention and exhibition, Vol. IPA07-
G-091, 2007.
Sudradjat, A., 2007. Analisis Geologi Regional. Bahan Kuliah Program Pasca
Sarjana, MIPA UNPAD, (unpublished)
Sujanto F.X., Sumantri Y.R. Preliminary study on the tertiary depositional patterns
of Java. Proceedings Indonesian Petroleum Association 6th.1977; 183-213.
Summons, R. E., Metzger, P., Largeau, C., Murray, A. P., & Hope, J. M. (2002).
Polymethylsqualanes from Botryococcus braunii in lacustrine sediments and
crude oils. Organic Geochemistry, 33(2), 99–109. doi:10.1016/s0146-
6380(01)00147-4
Sutadiwiria, Y., Syavitri, D., dan Yeftamikha, 2021. Contribution of terrestrial
material in West Sulawesi based on geochemical and biostratigraphy
analysis. IOP Conf. Ser: Materials Sci. Eng.1098 062014.
Tissot, B.P. dan Welte, D.H. 1978. Petroleum Formation and Occurrence, A New
Approach to Oil and Gas Exploration. Springer-Verlag, New York
Trendel, J.M., Lohmann, F., Kintzinger, J.P., Albrecht, P., Chiarone, A., Riche, C.,
Cesario, M., Guilhem, J., Pascard, C., 1989. Identification of des-A-
triterpenoid hydrocarbons occurring in surface sediments. Tetrahedron 6,
4457–4470.
Van Bemmelen, R. W. 1949. The Geology of Indonesia Vol. IA and Adjacent
Archipelagoes. Netherlands : Government Printinig Office, The Hague 1949
176
Van Bree, L.G.J., W.I.C. Rijpstra, N.A. Al-Dhabi, D. Verschuren, J.S. Sinninghe
Damsté, J.W. de Leeuw. 2016. Des-A-lupane in an East African lake
sedimentary record as a new proxy for the stable carbon isotopic composition
of C3 plants. Tanpa Tempat : The Official Journal of the European
Association of Organic Geochemists
Volkman, J. K. (1988). Biological marker compounds as indicators of the
depositional environments of petroleum source rocks. Geological Society,
London, Special Publications, 40(1), 103-122.
Walker, R. (1976). Facies Models 2. Turbidites and associated coarse clastic
deposits. Geoscience Canada, 3(1), 25-36.
Walker, R. (1978). Deep-water sandstone facies and ancient submarine fans: model
for exploration for stratigraphic traps. American Association of Petroleum
Geologists Bulletin, 62 (6), p. 932–966
Walker, R.G. and Mutti, E., 1973. Turbidite facies and facies associations. In:
Turbidites and Deep-Water sedimentation. Pacific Sect. Soc. Econ. Paleontol.
Mineral. pp. 119-- 157.
Waples .W., 1985. Geochemistry in Petroleum Exploration, Interntional Human
Resources Development Co. Boston, 232 h.
Waples, D.W., Machihara ,T. (1991): Biomarkers for Geologists-A Practical Guide
to the Application of Steranes and Triterpanes in Petroleum Geology, AAPG
Methods in Exploration, No. 9, The American Association of Petroleum
Geologists ,Tulsa, Oklahoma, USA. 74101.
Widagdo, Asmoro, dkk. 2021. Extentional Fault Pada Daerah Compressive
Tectonic Zone Sebagai Batas Cekungan di Jawa Tengah Selatan. Jambura
Geoscience Review (2021) Vol. 3 (1): 40-45 DOI:
10.34312/jgeosrev.v3i1.8121
177
LAMPIRAN
178
Lampiran 1. Peta Rencana Lintasan Lokasi Penelitian
179
Lampiran 2. Peta Geologi Lokasi Penelitian
180
Lampiran 3. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Bagian
Top
181
Lampiran 4. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
Bagian Bot
182
Lampiran 5. Data Tabulasi Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
183
Lampiran 6. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Batupasir Bagian Top
184
Lampiran 7. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Batupasir Bagian Bot
185
Lampiran 8. Data Tabulasi Fosil Satuan Batupasir
186
Lampiran 9. Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Bagian
Top
187
Lampiran 10. . Deskripsi Sayatan Petrografi Satuan Perselingan Batupasir Batulempung
Bagian Bot
188
Lampiran 11. Data Tabulasi Fosil Satuan Perselingan Batupasir Batulempung Tufaan
189
Lampiran 12. Peta Orientasi Kelurusan Struktur Geologi
190
Lampiran 13. Data Pengukuran Struktur Geologi Kekar Lokasi Penelitian
191
Lampiran 14. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 26 dan LP 30
192
Lampiran 15. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 34 dan LP 38
193
Lampiran 16. Analisis Stereografi Lokasi Penelitian LP 8 dan LP
194