Anda di halaman 1dari 6

Jawaban UTS Mata Kuliah Corporate Strategy and Execution

Jihan Mutia F. Bouta


20212112065

1. Faktor Kegagalan Nokia


Salah satu faktor kegagalan Nokia menurut penulis pribadi adalah faktor kepemimpinan
yang kurang cocok dijalankan di dalam perusahaan. Di masa puncak Nokia terdapat sebuah
nama yang dinilai sebagai orang yang sukses menggiring keuangan Nokia pada kondisi yang
lebih baik. Dia lah Olli-Pekka Kallasvuo yang menjabat sebagai CFO Nokia pada tahun
2006. Pada masa aktifnya Kallasvuo sangat berfokus pada perubahan budaya perusahaan
dan begitu menaruh perhatian pada kontrol logistik Nokia agar dapat menjalankan produksi
yang lebih efisien. Kallasvuo juga menjadi orang yang menginisiasi IPO Nokia di bursa
Amerika. Hal ini dikarenakan menurutnya meskipun seluruh rakyat Finlandia memegang
saham Nokia, jumlah dana yang akan terkumpul tidak akan menutupi kebutuhan dana Nokia
saat itu yang sedang mengembangkan bisnisnya di seluruh dunia, sehingga Nokia
membutuhkan pasar modal yang lebih besar yaitu bursa Amerika. Pemikiran itu dinilai
cukup baik dan mengantarkannya sampai pada posisi CEO Nokia. Meskipun Kallasvuo ahli
dalam manajemen optimalisasi produksi dan pasar keuangan tidak serta merta membuatnya
menjadi CEO yang tepat untuk Nokia. Di bawah kepemimpinan Kallasvuo diketahui Nokia
gagal merespon perubahan pasar yang begitu cepat dan agresif dari handphone biasa ke
smartphone. Saat ia memimpin, Nokia mengalami perlambatan pada bidang riset dan
pengembangan produk yang mengakibatkan pangsa pasar perusahaan mengalami
penurunan drastis sebesar 48%. Hal ini menjadi contoh dimana keahlian dan kepemimpinan
spesifik pada bidang tertentu tidak serta merta membuat seseorang mampu mengelola
bidang yang lain. Kallasvuo digantikan oleh Stephen Elop. Di bawah kepemimpinan Elop
penurunan pangsa pasar Nokia tidak seburuk saat Kallasvuo memimpin yaitu sebesar 31%.
Namun demikian, Nokia sudah pada titik nadirnya meskipun Stephen Elop telah mengambil
alih kepemimpinan. Posisi Nokia terlalu jauh untuk menyamakan langkah dengan
kompetitornya yaitu Apple dan Samsung yang menjadi team player di industri. Keputusan
berat akhirnya harus diambil Elop yang mengumumkan akuisisi Nokia oleh Microsoft pada
tahun 2014.
Pengorganisasian yang tidak tepat juga dinilai menjadi faktor kekalahan Nokia. Pada
tahun 2004 manajemen memutuskan untuk melakukan restrukturisasi organisasi perusahaan
dari yang bersifat hirarki menjadi organisasi dengan struktur matriks. Keputusan ini diambil
dengan harapan perusahaan dapat bekerja dengan lebih efisien, kolaboratif, serta semakin
mudah berinovasi. Pada kenyataannya struktur yang baru justru menimbulkan konflik
berbahaya bagi perusahaan. Tidak adanya hirarki dan tugas beserta tanggung jawab yang
beririsan antar departemen membuat pengambilan keputusan menjadi tidak jelas dan terjadi
perebutan kekuasaan. Hal tersebut berujung pada keluarnya beberapa eksekutif yang
berpengaruh dalam Nokia sehingga Nokia menjadi seperti kehilangan nyawa.
Kepemimpinan, pengorganisasian, dan strategi memanglah turut andil menjadi
penyebab Nokia gagal di pasar seperti pada penjelasan sebelumnya. Namun penulis
berpendapat satu hal yang paling krusial dalam kegagalan Nokia adalah ketidakmampuan
Nokia untuk berinovasi pada produknya. Hal ini dibahas dalam sebuah artikel ilmiah yang
berjudul “Nokia Phones: From a Total Success to a Total Fiasco”.
Inovasi yang dimaksud bukanlah pada desain produk telepon seluler Nokia, karena kita
semua paham betul di masa jayanya, Nokia adalah perusahaan nomor wahid dalam desain
telepon seluler. Di awal 2000-an Nokia telah merilis telepon genggam dengan berbagai
macam desain yang dipatenkan. Nokia menjadi pelopor telepon genggam berdesain “keren”
pada zamannya. Namun, Nokia lupa bahwa kebutuhan konsumen terhadap gawai bukan lagi
sekadar tampilan handphone yang stylist. Lebih dari itu konsumen menginginkan tambahan
fitur canggih yang mampu memudahkan pekerjaan, mengkoneksikan diri mereka dengan
luasnya maya, dan bisa memberikan pengalaman akses virtual lebih mudah, menyenangkan,
juga adiktif. Nokia kurang cermat memperhatikan kebutuhan konsumennya, desain
handphone “keren” yang menjadi kekuatan Nokia seketika menjadi kelemahan mereka
untuk mempertahankan pasarnya. Kelengahan Nokia dimanfaatkan oleh Apple dan
Samsung yang berinvestasi pada penelitian dan pengembangan perangkat lunak yang
memunculkan IOS dan Android, perangkat lunak yang menjawab kebutuhan dan hasrat para
konsumen.
Ketertinggalan Nokia menjadi semakin jelas saat memo sang CEO Stephen Elop di
tahun 2011 bocor di ruang publik. Faktor ini dibahas dengan menarik oleh Antti Kotaniemi
dalam esainya yang diberi judul “Downfall of nokia”. Pada memonya, sang CEO
mengungkapkan iPhone pertama kali dirilis pada tahun 2007, namun sampai dengan saat itu
di tahun 2011 Nokia bahkan belum bisa menciptakan sebuah produk yang mendekati dengan
iPhone 1, dua tahun kemudian Android muncul dan saat itu mengambil alih tahta Nokia
merajai pasar dunia. Memo ini ditulis Stephen Elop saat Nokia sedang tertatih
mengembalikan kejayaannya dengan cara mengembangkan sistem operasi yang dinamakan
Syimbian, sistem operasi yang dicanangkan akan menjadi kompetitor Android dan IOS.
Namun, melalui pernyataan sang CEO jelaslah bahwa Nokia saat itu masih sangat jauh
untuk bisa menyesuaikan keadaan dengan dua kompetitor besarnya. Memo Stephen Elop
menjadi pengumuman tidak resmi pada publik bahwa pengembangan produk sistem operasi
mereka akan dibatalkan. Keputusan ini menurut penulis pribadi adalah hal yang rasional,
karena saat itu dua kompetitor utama Nokia sudah melejit dengan sistem operasi IOS dan
Android yang sudah pada tahap matang dan digemari konsumen. Secara ekonomis Nokia
perlu menghabiskan dana yang sangat besar untuk dapat menyaingi kompetitornya,
sedangkan saat itu Nokia sudah bukan lagi pemain utama dalam pasar yang berarti
perusahaan memiliki keterbatasan dana. Pada akhirnya Nokia harus mengakui kekalahannya
dan mengambil jalan terakhir untuk diakuisi Microsoft pada tahun 2014.
Pada kesimpulannya penulis berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang membuat
Nokia kalah di pasar. Tiga faktor tersebut adalah Kepemimpinan dan pengorganisasian yang
tidak dijalankan dengan baik, manajemen strategi yang kurang tepat, dan ketidakmampuan
Nokia melakukan inovasi pada produknya.

2. Strategi Penetrasi Pasar pada Produk Keuangan Deposito Bank Neo Commerce
Perekonomian dunia secara umum mengalami resesi dan inflasi yang luar biasa
sehingga banyak studi yang memperkirakan ekonomi dunia secara umum akan mengalami
masa suram di tahun 2023 hingga 5 tahun mendatang.
Indonesia bisa sedikit bernafas lega. di tengah prediksi ekonomi global yang mengalami
stagflasi imbas dari pandemic Covid 19, Indonesia diprediksikan mengalami pertumbuhan
sebesar 5.2%-54% di tahun 2023. Namun demikian Indonesia perlu waspada terhadap
ancaman inflasi yang diperkirakan akan mencapai 7%. Hal ini yang mendorong Bank
Indonesia mengambil kebijakan untuk menaikkan suku bunga menjadi 4.75% sebagai
Langkah strategis untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang dapat membahayakan
perekonomian.
Peningkatan suku bunga BI merupakan hal yang harus diperhatikan oleh BNC. Hingga
akhir kuartal 3 Fee Based Income dari BNC naik sebesar 342.03% dari Rp57.49 miliar
menjadi Rp254.14 miliar. Fee Based Income BNC sendiri meningkat dengan dirilisnya fitur
keuangan terbaru pada aplikasi BNC yaitu Neo Emas, QRIS, dan Virtual Account. Fitur-
fitur ini mampu menjadi daya Tarik bagi para nasabah untuk rajin bertransaksi di aplikasi
BNC. Hal ini menunjukan bahwa BNC berpotensi untuk tumbuh dengan fitur-fitur inovatif
dalam aplikasinya.
Kenaikan suku bunga akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya lebih
banyak dikarenakan bunga pinjaman menjadi lebih mahal. Momentum ini dapat menjadi
kesempatan bagi Bank Neo Commerce untuk melakukan strategi penetrasi pasar dengan
menawarkan produk deposito dengan suku bunga tinggi bagi para nasabah agar mau
menempatkan dananya pada Bank Neo Commerce. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk
membuat BNC menjadi bank digital terkemuka di Indonesia. Ada beberapa faktor yang
menjadi pendukung strategi penetrasi pasar dijalankan. Faktor tersebut antara lain pengguna
aplikasi Bank Neo yang dirilis BNC telah mencapai 19 juta pengguna hingga September
2022, existing client ini dapat didorong untuk menanamkan deposito di BNC. Faktor
selanjutnya adalah aplikasi Bank Neo yang sederhana dan user friendly sehingga
memudahkan nasabah untuk dapat bertransaksi dengan lebih baik. Faktor selanjutnya adalah
fiitur-fitur yang ditawarkan BNC di aplikasi Bank Neo cukup diminati oleh para nasabah
yang dibuktikan dengan peningkatan Fee Based Income yang berasal dari fitur-fitur
tersebut. Fee Based Income BNC meningkat sebesar 342,03% dari nominal Rp 57,49 miliar
di kuartal III pada tahun 2021 menjadi Rp254,14 miliar di kurtal yang sama tahun 2022.
Fitur-fitur ini dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu promosi oleh BNC untuk menjadi daya
tarik pada nasabah untuk menempatkan dananya pada produk deposito yang ditawarkan.

3. Peleburan Budaya Inovatif dan Budaya Birokrasi melalui Budaya Kolaborasi dalam
Industri Jasa Keuangan

Pesatnya perkembangan Fintech menjadi angin segar bagi industri keuangan tak
terkecuali di Indonesia. Kemudahan dan keterjangkauan yang ditawarkan oleh fintech
menjadi faktor pendorong pesatnya pertumbuhan Fintech di tengah masyarakat. Perusahaan
perbankan di Indonesia agaknya lebih berhati-hati dalam memanfaatkan perkembangan
teknologi keuangan yang masif ini dikarenakan bisnis yang dijalankan tidak bisa lari dari
aturan OJK dan Bank Indonesia. Lembaga non perbankan yang berkutat dalam industri
keuangan memanfaatkan celah ini. Lembaga Fintech non perbankan melangkah lebih lincah
untuk menembus pasar yang belum terjamah oleh perusahaan perbankan yang sudah
mumpuni.
Salah satu contoh yang dapat kita perhatikan adalah bagaimana Gopay menjadi salah
satu pelopor dompet digital pertama di Indonesia. Pada awalnya Gopay menjadi dompet
digital yang ditawarkan oleh Gojek sebagai fasilitas pendukung untuk menampung dana
konsumen mereka agar lebih mudah melakukan pembayaran saat menggunakan jasa pada
aplikasi Gojek. Siapa sangka Gojek mengembangkan dirinya jauh lebih pesat dari yang
dibayangkan sebelumnya. Aplikasi Gojek menjadi kebutuhan dasar di masyarakat dan
membuat Gopay menjadi dompet digital yang selalu dimanfaatkan berdampingan dengan
pemanfaatan aplikasi Gojek yang masif di masyarakat. Katadata merilis bahwa transaksi
GoPay meningkat 2,7 kali lipat pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Tidak hanya
itu, selama pandemi transaksi donasi di GoPay mencapai Rp102 miliar dan transaksi
layanan kebutuhan pokok di Gojek mencatatkan peningkatan hingga 500%. Tidak berhenti
sampai di situ, Gopay menjalankan kerjasama dengan berbagai merchant untuk memperluas
jangkauannya agar dapat menjadi alat pembayaran digital di masyarakat hingga saat ini.
Strategi yang dijalankan oleh perusahaan startup Gojek merupakan hasil dari budaya
inovatif yang diterapkan di dalam perusahaan
Di sisi lain pemanfaatan Fintech agaknya direspon sedikit lebih terlambat oleh
perbankan. Perusahaan startup semacam Gojek justru menjadi pelopor perkembangan pesat
Fintech. Saat produk dompet digital mulai marak di masyarakat, barulah industri perbankan
bergerak merespon dengan cara menjalin kerjasama dengan startup untuk memanfaatkan
layanan perbankan mereka. Dapat dilihat di aplikasi semacam Gojek, Grab, Tokopedia,
Traveloka, dan lain sebagainya bahwa Gopay, OVO, atau transfer bank tidak lagi menjadi
satu-satunya pilihan metode pembayaran. Sudah banyak metode pembayaran dengan virtual
account dan kartu kredit sebagai alternatif pembayaran, hal ini menjadi win-win solution
bagi startup dan perbankan karena di sisi startup konsumennya dapat memilih metode
pembayaran yang paling menguntungkan baginya, sedangkan bagi perbankan mereka dapat
membuat konsumennya tetap bertahan dengan penggunaan jasa keuangannya . Dengan
menjalin kerjasama dengan para startup pada akhirnya perbankan dapat mengoptimalisasi
penggunaan produknya pada para konsumen.
Penguraian kasus di atas merupakan contoh bagaimana Fintech yang dengan jeli
dimanfaatkan oleh perusahaan Startup mendorong juga perusahaan perbankan untuk
berbondong-bondong memperbaiki dan mengembangkan produk keuangan mereka agar
tidak ditinggalkan oleh para konsumen. Bagi penulis, hal ini berdampak postif di pihak
konsumen karena persaingan yang ketat antara lembaga non perbankan dengan lembaga
perbankan membuat keduanya berjalan beriringan untuk memberikan pelayanan dan produk
terbaik demi konsumennya sehingga konsumen dapat menggunakan produk keuangan
dengan kualitas yang baik serta pelayanan yang memuaskan.
Di sisi lain penulis berpendapat bahwa berkompetisi bukan menjadi satu-satunya jalan
bagi lembaga perbankan dan non perbankan memenangkan pasar. Menjalin kolaborasi yang
produktif dan efisien seperti contoh sebelumnya juga dapat dipertimbangkan untuk
menemukan win-win solution. Penulis berpendapat bahwa budaya inovatif dan
birokrasi dapat dipertemukan dengan budaya kolaborasi, dengan begitu kedua sisi
akan bertemu di tengah dan berkembang lebih cepat.

Anda mungkin juga menyukai