2. Strategi Penetrasi Pasar pada Produk Keuangan Deposito Bank Neo Commerce
Perekonomian dunia secara umum mengalami resesi dan inflasi yang luar biasa
sehingga banyak studi yang memperkirakan ekonomi dunia secara umum akan mengalami
masa suram di tahun 2023 hingga 5 tahun mendatang.
Indonesia bisa sedikit bernafas lega. di tengah prediksi ekonomi global yang mengalami
stagflasi imbas dari pandemic Covid 19, Indonesia diprediksikan mengalami pertumbuhan
sebesar 5.2%-54% di tahun 2023. Namun demikian Indonesia perlu waspada terhadap
ancaman inflasi yang diperkirakan akan mencapai 7%. Hal ini yang mendorong Bank
Indonesia mengambil kebijakan untuk menaikkan suku bunga menjadi 4.75% sebagai
Langkah strategis untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang dapat membahayakan
perekonomian.
Peningkatan suku bunga BI merupakan hal yang harus diperhatikan oleh BNC. Hingga
akhir kuartal 3 Fee Based Income dari BNC naik sebesar 342.03% dari Rp57.49 miliar
menjadi Rp254.14 miliar. Fee Based Income BNC sendiri meningkat dengan dirilisnya fitur
keuangan terbaru pada aplikasi BNC yaitu Neo Emas, QRIS, dan Virtual Account. Fitur-
fitur ini mampu menjadi daya Tarik bagi para nasabah untuk rajin bertransaksi di aplikasi
BNC. Hal ini menunjukan bahwa BNC berpotensi untuk tumbuh dengan fitur-fitur inovatif
dalam aplikasinya.
Kenaikan suku bunga akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya lebih
banyak dikarenakan bunga pinjaman menjadi lebih mahal. Momentum ini dapat menjadi
kesempatan bagi Bank Neo Commerce untuk melakukan strategi penetrasi pasar dengan
menawarkan produk deposito dengan suku bunga tinggi bagi para nasabah agar mau
menempatkan dananya pada Bank Neo Commerce. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk
membuat BNC menjadi bank digital terkemuka di Indonesia. Ada beberapa faktor yang
menjadi pendukung strategi penetrasi pasar dijalankan. Faktor tersebut antara lain pengguna
aplikasi Bank Neo yang dirilis BNC telah mencapai 19 juta pengguna hingga September
2022, existing client ini dapat didorong untuk menanamkan deposito di BNC. Faktor
selanjutnya adalah aplikasi Bank Neo yang sederhana dan user friendly sehingga
memudahkan nasabah untuk dapat bertransaksi dengan lebih baik. Faktor selanjutnya adalah
fiitur-fitur yang ditawarkan BNC di aplikasi Bank Neo cukup diminati oleh para nasabah
yang dibuktikan dengan peningkatan Fee Based Income yang berasal dari fitur-fitur
tersebut. Fee Based Income BNC meningkat sebesar 342,03% dari nominal Rp 57,49 miliar
di kuartal III pada tahun 2021 menjadi Rp254,14 miliar di kurtal yang sama tahun 2022.
Fitur-fitur ini dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu promosi oleh BNC untuk menjadi daya
tarik pada nasabah untuk menempatkan dananya pada produk deposito yang ditawarkan.
3. Peleburan Budaya Inovatif dan Budaya Birokrasi melalui Budaya Kolaborasi dalam
Industri Jasa Keuangan
Pesatnya perkembangan Fintech menjadi angin segar bagi industri keuangan tak
terkecuali di Indonesia. Kemudahan dan keterjangkauan yang ditawarkan oleh fintech
menjadi faktor pendorong pesatnya pertumbuhan Fintech di tengah masyarakat. Perusahaan
perbankan di Indonesia agaknya lebih berhati-hati dalam memanfaatkan perkembangan
teknologi keuangan yang masif ini dikarenakan bisnis yang dijalankan tidak bisa lari dari
aturan OJK dan Bank Indonesia. Lembaga non perbankan yang berkutat dalam industri
keuangan memanfaatkan celah ini. Lembaga Fintech non perbankan melangkah lebih lincah
untuk menembus pasar yang belum terjamah oleh perusahaan perbankan yang sudah
mumpuni.
Salah satu contoh yang dapat kita perhatikan adalah bagaimana Gopay menjadi salah
satu pelopor dompet digital pertama di Indonesia. Pada awalnya Gopay menjadi dompet
digital yang ditawarkan oleh Gojek sebagai fasilitas pendukung untuk menampung dana
konsumen mereka agar lebih mudah melakukan pembayaran saat menggunakan jasa pada
aplikasi Gojek. Siapa sangka Gojek mengembangkan dirinya jauh lebih pesat dari yang
dibayangkan sebelumnya. Aplikasi Gojek menjadi kebutuhan dasar di masyarakat dan
membuat Gopay menjadi dompet digital yang selalu dimanfaatkan berdampingan dengan
pemanfaatan aplikasi Gojek yang masif di masyarakat. Katadata merilis bahwa transaksi
GoPay meningkat 2,7 kali lipat pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Tidak hanya
itu, selama pandemi transaksi donasi di GoPay mencapai Rp102 miliar dan transaksi
layanan kebutuhan pokok di Gojek mencatatkan peningkatan hingga 500%. Tidak berhenti
sampai di situ, Gopay menjalankan kerjasama dengan berbagai merchant untuk memperluas
jangkauannya agar dapat menjadi alat pembayaran digital di masyarakat hingga saat ini.
Strategi yang dijalankan oleh perusahaan startup Gojek merupakan hasil dari budaya
inovatif yang diterapkan di dalam perusahaan
Di sisi lain pemanfaatan Fintech agaknya direspon sedikit lebih terlambat oleh
perbankan. Perusahaan startup semacam Gojek justru menjadi pelopor perkembangan pesat
Fintech. Saat produk dompet digital mulai marak di masyarakat, barulah industri perbankan
bergerak merespon dengan cara menjalin kerjasama dengan startup untuk memanfaatkan
layanan perbankan mereka. Dapat dilihat di aplikasi semacam Gojek, Grab, Tokopedia,
Traveloka, dan lain sebagainya bahwa Gopay, OVO, atau transfer bank tidak lagi menjadi
satu-satunya pilihan metode pembayaran. Sudah banyak metode pembayaran dengan virtual
account dan kartu kredit sebagai alternatif pembayaran, hal ini menjadi win-win solution
bagi startup dan perbankan karena di sisi startup konsumennya dapat memilih metode
pembayaran yang paling menguntungkan baginya, sedangkan bagi perbankan mereka dapat
membuat konsumennya tetap bertahan dengan penggunaan jasa keuangannya . Dengan
menjalin kerjasama dengan para startup pada akhirnya perbankan dapat mengoptimalisasi
penggunaan produknya pada para konsumen.
Penguraian kasus di atas merupakan contoh bagaimana Fintech yang dengan jeli
dimanfaatkan oleh perusahaan Startup mendorong juga perusahaan perbankan untuk
berbondong-bondong memperbaiki dan mengembangkan produk keuangan mereka agar
tidak ditinggalkan oleh para konsumen. Bagi penulis, hal ini berdampak postif di pihak
konsumen karena persaingan yang ketat antara lembaga non perbankan dengan lembaga
perbankan membuat keduanya berjalan beriringan untuk memberikan pelayanan dan produk
terbaik demi konsumennya sehingga konsumen dapat menggunakan produk keuangan
dengan kualitas yang baik serta pelayanan yang memuaskan.
Di sisi lain penulis berpendapat bahwa berkompetisi bukan menjadi satu-satunya jalan
bagi lembaga perbankan dan non perbankan memenangkan pasar. Menjalin kolaborasi yang
produktif dan efisien seperti contoh sebelumnya juga dapat dipertimbangkan untuk
menemukan win-win solution. Penulis berpendapat bahwa budaya inovatif dan
birokrasi dapat dipertemukan dengan budaya kolaborasi, dengan begitu kedua sisi
akan bertemu di tengah dan berkembang lebih cepat.