Anda di halaman 1dari 3

Hasil sementara penelitian Puslitbang Gizi dan Direktorat Gizi pada tahun 2006 di tujuh provinsi di

Indonesia menunjukkan prevalensi defisiensi zinc berkisar antara 7,96 sampai 44,74 %.

Defisiensi zinc akan terjadi bila: asupan zinc tidak cukup, penyerapan zinc oleh usus terganggu,
tingginya kehilangan zinc dari tubuh, dan kebutuhan tubuh akan zinc meningkat (misalnya pada anak-
anak, ibu hamil dan ibu menyusui)

Zinc dari pangan hewani lebih mudah diserap dibandingkan dengan yang berasal dari pangan nabati,
karena serat pangan dan asam fitat dapat mengganggu proses penyerapan zinc.  Penyerapan zinc
oleh usus dapat juga terjadi akibat penyakit yang dapat mempengaruhi proses penyerapan, seperti
penyakit pada lambung (irritable bowel disease), penyakit pada usus (celiac disease) dan diare kronik

Tanda-tanda defisiensi zinc antara lain: pertumbuhan terhambat, rambut rontok, diare, terhambatnya
kematangan seksual dan impotensi, luka pada mata dan kulit, serta hilangnya nafsu makan.  Individu
yang mudah mengalami defisiensi zinc termasuk: bayi dan anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui,
terutama ibu muda, pasien yang memperoleh ‘total parenteral nutrition’  (intravenous  feeding),
individu kurang gizi (termasuk penderita PEM), individu yang mengalami diare berat atau diare
persisten, individu yang mempunyai sindrom mal-absorpsi, individu penderita penyakit radang
lambung, individu penderita penyakit hati akibat keracunan minuman beralkohol (akan mensekresikan
lebih banyak zinc dalam urine, dan kadar zinc dalam hatinya rendah), individu penderita anemia,
manula atau lansia (berumur lebih dari 65 tahun), serta mereka yang tergolong  ‘strict vegetarians’.

Penanggulangan masalah defisiensi zinc di Indonesia dapat dilakukan dengan tiga macam cara, yaitu
:  (1) meningkatkan konsumsi bahan pangan kaya akan zinc, (2) pemberian suplemen zinc, dan (3)
fortifikasi bahan pangan dengan zinc.  Pendekatan pertama jelas sulit untuk  dilakukan, mengingat
daya beli masyarakat yang rendah, sedangkan bahan pangan sumber zinc adalah bahan pangan
hewani yang harganya cukup mahal.  Pendekatan kedua juga sulit untuk dilaksanakan.  Pengalaman
pemberian suplemen zat besi (tablet zat besi) untuk menanggulangi masalah anemia gizi besi yang
membutuhkan biaya sangat besar dengan hasil yang tidak signifikan, memberikan cukup alasan
untuk tidak menggunakan pendekatan ini.  Mengingat kedua hal tersebut, maka pilihan jatuh pada
fortifikasi bahan pangan dengan zink

 Secara garis besar, terdapat empat faktor penting  yang harus diperhatikan oleh industri dalam
melaksanakan fortifikasi zinc pada bahan pangan.  Faktor pertama adalah penetapan fortifikan
(senyawa zinc yang akan difortifikasikan).  Dalam pemilihan ini harus diperhitungkan hal-hal sebagai
berikut: bioavailabilitas zinc, harga (biaya), perubahan warna yang mungkin terjadi, kelarutan, ukuran
partikel, dan ketersediaan suplai senyawa zinc tersebut.  Faktor kedua adalah proses pengolahan
yang mungkin akan mempengaruhi bentuk dan bioavailabilitas senyawa zinc, serta bentuk produk
yang akan dihasilkan, dalam hal ini termasuk pengolahan menggunakan panas (sterilisasi,
pasteurisasi, spray-drying, evaporasi-kondensasi), freeze-drying, instanisasi, dan cara pencampuran
senyawa zinc (dispersibilitas).  Faktor ketiga adalah stabilitas produk, dalam hal ini termasuk jenis
bahan pengemas yang akan digunakan, kondisi lingkungan tempat penyimpanan produk, umur
simpan yang diharapkan, serta interaksi dengan flavor lain.  Faktor keempat adalah grup konsumen
yang merupakan sasaran, dalam hal ini harus diperhitungkan: ukuran (serving size), frekuensi
konsumsi, level fortifikasi, serta pelabelan (memenuhi peraturan yang berlaku).
                Langkah pertama dalam melakukan fortifikasi zinc adalah menentukan “pangan
pembawa”.  Persyaratan yang harus dipenuhi adalah bahwa pangan tersebut harus diproduksi secara
terpusat (untuk memudahkan kontrol), serta dikonsumsi secara merata oleh semua golongan
masyarakat (terutama masyarakat sasaran) dalam jumlah yang cukup.  Di negara-negara lain
“pangan pembawa” yang sudah digunakan antara lain tepung terigu, demikian pula nampaknya
untuk  Indonesia meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bahan pangan lain.  Di
Meksiko misalnya digunakan tepung serealia (tepung jagung) sebagai pangan pembawa untuk
program fortifikasi zinc.
                Langkah kedua adalah menetapkan senyawa zinc yang akan difortifikasikan pada pangan
pembawa.  Terdapat lima senyawa zinc dengan kategori generally recognized as safe (GRAS)
menurut US-FDA yang dapat difortifikasikan pada bahan pangan, yaitu zinc klorida, zinc glukonat,
zinc oksida, zinc stearat dan zinc sulfat.  Senyawa zinc lain untuk tujuan fortifikasi yang lebih mudah
diserap dibandingkan dengan zinc sulfat,  adalah zinc pikolinat, zinc sitrat, zinc asetat, zinc gliserat
dan zinc monometionin.
                Zinc sulfat merupakan senyawa  yang  banyak digunakan karena harganya murah, tetapi
bentuk ini tidak mudah diserap dan dapat menimbulkan gangguan perut.   Selain itu, zinc sulfat
cenderung untuk menyebabkan teroksidasinya lipida yang terkandung dalam bahan pangan dan
menimbulkan ketengikan. Zinc oksida, meskipun tidak mudah diserap,  tetapi banyak digunakan
karena ukuran partikelnya kecil dan tidak mempengaruhi baik tekstur maupun citarasa serta umur
simpan bahan pangan.  Zinc glukonat dan zinc metionin dilaporkan lebih mudah diserap oleh usus
dibandingkan dengan zinc sulfat dan zinc oksida.  Demikian juga zinc sitrat lebih mudah diserap
dibandingkan dengan zinc sulfat dan zinc oksida.  Tetapi zinc pikolinat dilaporkan lebih mudah
diserap usus dibandingkan dengan zinc glukonat dan zinc sitrat.
                Langkah berikutnya adalah menetapkan “dosis” fortifikasi atau jumlah senyawa zinc yang
akan ditambahkan pada pangan pembawa.  Untuk itu diperlukan  antara lain data mengenai angka
kecukupan gizi (AKG) untuk zinc, karena pada umumnya dosis fortifikasi harus dapat memenuhi
sekitar sepertiga sampai setengah AKG.  Pada Tabel 1 diperlihatkan angka kecukupan gizi  zinc
untuk berbagai kelompok umur dan jenis kelamin yang berlaku di Indonesia.  Dosis ini penting untuk
diperhatikan mengingat konsumsi zinc yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan terhadap
kesehatan.   Konsumsi zinc dosis tinggi dapat menghambat pembentukan sel darah dan menekan
sistem imun. Selain itu, zinc dosis tinggi juga dapat menurunkan kadar HDL dan meningkatkan kadar
LDL dalam darah.  Hal ini disebabkan terjadinya defisiensi Cu  sebagai akibat penggunaan zinc
dalam jangka panjang.  Telah dibuktikan bahwa konsumsi zinc dalam jumlah tinggi (> 50 mg per hari)
dalam waktu mingguan dapat mempengaruhi bioavaibilitas Cu. Untuk menghindarkan defisiensi Cu
dan mencegah menurunnya kadar HDL, sebaiknya fortifikasi dilakukan menggunakan kedua macam
mineral tersebut  dengan rasio Zn : Cu = 2 : 1.
                Pria yang mengkonsumsi lebih dari 100 mg zinc per hari, mempunyai dua kali risiko
terserang kanker prostat.  Hal ini disebabkan karena zinc dapat meningkatkan kadar testoteron dalam
darah yang kemudian dapat memicu terjadinya kanker prostat.  Konsumsi zinc lebih dari 150 mg per
hari dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menggunakan mineral lain.  Efek samping yang
umum terjadi adalah sakit perut, mual-mual dan muntah, serta rasa metalik dalam mulut. 
                Fortifikasi zinc pada bahan pangan juga harus memperhatikan kemungkinan terjadinya
interaksi zinc dengan mineral lain.  Kalsium dapat mempengaruhi penyerapan zinc.  Suatu penelitian
memperlihatkan bahwa konsumsi kalsium oleh wanita post-menopause sampai 890 mg/hari dalam
bentuk susu, atau suplemen kalsium fosfat (1360 mg/hari) menurunkan penyerapan dan
keseimbangan zinc.  Fortifikasi pangan dengan zat besi tidak nyata menurunkan penyerapan zinc,
tetapi konsumsi zat besi  dalam jumlah tinggi  (> 25 mg/hari) dapat menurunkan penyerapan
zinc.  Prof. Dr. Deddy Muchtadi, Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian IPB
Tabel 1.  AKG zinc untuk berbagai kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok Umur Zinc (mg/hari) Kelompok Umur Zinc (mg/hari)

Anak : Wanita :

0 – 6 bln 1,3 10 – 12 thn 12,6

7 – 11 bln 7,5 13 – 15 thn 15,4

1 – 3 thn 8,2 16 – 18 thn 14,0

4 – 6 thn 9,7 19 – 29 thn 9,3

7 – 9 thn 11,2 30 – 49 thn 9,8

Pria : 50 – 64 thn 9,8


10 – 12 thn 14,0 9,8
> 65 thn

13 – 15 thn 17,4 Hamil : (+ an)

16 – 18 thn 17,0 Trimest 1 1,7

19 – 29 thn 12,1 Trimest 2 4,2

30 – 49 thn 13,4 Trimest 3 9,0

50 – 64 thn 13,4 Menyusui : (+ an)

> 65 thn 13,4 6 bln pertama 4,6

    6 bln kedua 4,6

Widyakarya Nasional Pangan & Gizi VIII (2004)

(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Oktober 2007)

Anda mungkin juga menyukai