A. Pendahuluan
1
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtaru al Ahaadits wa al-hukmu al Muhammadiyyah,
Surabaya : daar an-Nasyr Mishriyyah, tt. 34
1
sangat tergantung pada sistem dan manajemen tata kelola. Artinya jika
manajemen kepemimpinannya positif maka dapat menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas, dan implikasinya lembaga tersebut akan maju, dan
berkembang. Sebaliknya jika manajemen kepemimpinan kurang positif maka
lembaga tersebut akan terbelakang disegala bidang. Dewasa ini lembaga
Pendidikan tengah menghadapi isu krusial. Isu yang paling sensitif terkait
dengan mutu pendidikan, relevansi pendidikan, akuntabilitas,
professionalisme, efisiensi, debirokrasi dan prilaku pemimpin dalam
mengambil kebijakan pada lembaga pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan
selalu melibatkan beberapa orang yang saling berinteraksi secara intensif. 2
Interaksi tersebut disusun dalam suatu struktur yang dapat membantu dalam
usaha pencapaian tujuan bersama. Agar pelaksanaan kerja dalam organisasi
dapat berjalan sebagaimana mestinya maka dibutuhkan sumber seperti
perlengkapan, metode kerja, bahan baku, dan lain-lain. Usaha untuk mengatur
dan mengarahkan sumber daya ini disebut dengan manajemen. Sedangkan inti
dari manajemen adalah kepemimpinan (leadership) (Siagian, 1980). Upaya
membangun keefektifan manajemen kepemimpin suatu lembaga pendidikan
Islam terletak semata pada pembekalan dimensi keterampilan teknis dan
keterampilan konseptual. Adapun keterampilan personal menjadi
terpinggirkan. Padahal sejatinya efektifitas kegiatan manajerial dan
pengaruhnya pada kinerja organisasi, sangat bergantung pada kepekaan
pimpinan untuk menggunakan keterampilan personalnya.
2
Husaini, dan Happy Fitria, Managemen Kepemimpinan Pada Lembaga Pendidikan Islam,
JMKSP (Jurnal Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan) Volume 4, No.1, Januari-
Juni 2019, hlm. 44
2
organisasi.3 Kepemimpinan menyangkut keberadaan figure atau sosok orang
yang dipercaya menjadi pemimpin, yang dipandang memiliki kemampuan rata-
rata dari pegawai lainnya. Kepemimpinan seseorang dalam sebuah organisasi
maupun lembaga sangat menentukan berhasil tidaknyaorganisasi yang
dipimpinnya.
3
Bedjo Sujanto, manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta, CV. Sagung Seto,
2007), hlm. 67
4
Graham Vaughan & Michael Hogg, Introduction to Social Psicology (Sydney, Prentice
Hall, 2005), hlm. 168
3
3. Sementara Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah segala hal
yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT, berdasarkan
hadits Rosulullah saw:
"Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di
pimpinnya, Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan
bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin di rumah
suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya
adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya.” (HR
Bukhari)
ِالزَكاة
َّ َالصالةِ َوإِيتَاء ِ اْلْي
َّ ات َوإِقَ َام ِ اه ْم أَئِ َّمةً يَ ْه ُدو َن ِِب َْم ِرََن َوأ َْو َحْي نَا إِلَْي ِه ْم
َ َْْ ف ْع َل ُ ََو َج َع ْلن
ين ِِ
َ َوَكانُوا لَنَا َعابد
5
Sondang P. Siagian, Fungsi-fungsi manajerial, (Jakarta, Bumi Aksara, 1989), hlm. 8
4
Dalam bahasa Arab, kepemimpinan sering diterjemahkan dengan al-
ri’aayah, al-imaarah, al-qiyaadah atau al-za’aamah. Kata-kata tersebut
memiliki satu makna sehingga disebut sinonim atau murodif, sehingga kita bisa
menggunakan salah satu dari keempat kata tersebut untuk menerjemahkan kata
kepemimpinan. Sementara itu, untuk menyebut istilaj kepemimpinan
pendidikan, para ahli memilih istilah Qiyaadah tarbawiyah.6
: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: عن ابن مسعود وأىب هريرة رضي هللا عنهما قاال
)اذا خرج ثالثة ىف سفر فليؤمروا أحدهم (رواه أبو داود
“Dari Abu Said dari Abu Hurairoh bahwa keduanya berkata, Rasulullah
bersabda, “Apabila tiga orang bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah
satu sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud).7
Model keberadaan seorang pemimpin sabagaimana terdapat dalam
hadis tersebut adalah model pengangkatan. Model ini merupakan model paling
sederahana karena populasinya hanya tiga orang. Jika populasinya banyak,
mungkin saja modelnya lebih sempurna karena ada beberapa model
perwujudan pemimpin. Jamal Madhi mengatakan dalam laporannya mengenai
definisi dan hakikat kepemimpinan yang berkualitas:
“Hasil studi menyatakan bahwa yang terbaik dalam pelaksanaan tugas adalah
pemimpin yang dipilih langsung, selanjutnya pemimpin yang memenagkan
suara terbanyak, lalu terakhir pemimpin yang diangkat”.8
6
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Erlangga, 2007), hlm. 269
7
Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajistami al-Azdiy, Sunan Abi Dawud, tt.
(Indonesia : Maktabah Dahlan)
8
Jamal Madhi, Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh : Tinjauan Manajemen
Kepemimpinan Islam, terj. Anang Syafrudin dan Ahmad Fauzan, (Bandung, PT. Syaamil Cipta
Media, 2002), hlm. 14
5
Kepemimpinan dalam definisi di atas memiliki konotasi general/umum,
bisa kepemimpinan negara, organisasi politik, organisasi sosial, perusahaan,
perkantoran, maupun pendidikan. Madhi selanjutnya bahwa di antara jejak
kepemimpinan yang paling spesifik adalah kepemimpinan pendidikan
(qiyaadah tarbawiyyah atau educative leadership), karena kesuksesan
mendidik generasi, membina umat, dan berusaha membangkitkannya terkait
erat dengan pemenuhan kepemimpinan yang benar.
6
memenuhi kebutuhan masyarakat. 9 Tenaga-tenaga profesional inilah yang
menjadi penggerak di lapangan dalam menjawab atau merespons tantangan-
tantangan modernitas yang semakin berat.
9
Soebagio Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta, PT. Ardadizya Jaya,
2000), hlm. 161
10
Ibid
7
dan tujuan para pembuat keputusan. 11 Ujung tombak pendidikan adalah
pembelajaran. Gedung madrasah boleh sederhana, demikian juga fasilitas
perkantoran, alat transportasi, bangku, meja, dan lain sebagainya. Akan tetapi,
pembelajaran harus mendapat perhatian yang lebih besar daripada aspek
lainnya. Kualitas pendidikan akan dipertaruhkan melalui proses pembelajaran
itu. Sementara itu, kualitas proses pembelajaran melibatkan pengondisian baik
profesionalisme guru, kesadaran siswa untuk belajar dengan rajin, media
pendidikan/pembelajaran dan lingkungan pembelajaran. Kegiatan belajar
hingga sekarang ini sebenarnya menyisakan teka-teki yang masih sulit dijawab.
Banyak teori atau aliran yang membicarakan belajar, tetapi belum satupun yang
telah berhasil memberikan pemecahan problem belajar secara tuntas. Meskipun
belajar itu kelihatannya hanya kegiatan sederhana, tetapi masih banyak
masalah yang muncul akibat penerapan belajar yang membutuhkan penerapan
dengan segera. Maka, belajar sesungguhnya merupakan kegiatan yang sangat
kompleks. Kegiatan ini dipengaruhi oleh motivasi internal maupun eksternal
dari peserta didik, cara-cara belajar, gaya belajar, rintangan belajar, tujuan
belajar, kesulitan belajar dan lain sebagainya. Oleh karena itu harus ada
“bimbingan belajar” disebuah lembaga pendidikan (madrasah) sebagai bahan
integral dari tugas pimpinan pendidikan. Berdasarkan pengalaman pribadi
penulis sebagai seorang pendidik, ternyata cara-cara belajar, gaya belajar,
rintangan belajar, tujuan belajar, kesulitan belajar dan lain sebagainya yang
dimiliki peserta didik sangat beragam, ada yang sesuai dengan cara dan gaya
tertentu tetapi ditolak oleh peserta didik yang lain, kejadian ini menjadikan
pimpinan pendidikan harus memperhatikan pola pembelajaran yang mewakili
perbedaan yang ada.
11
Wasti Soemanto dan Hidayat Soetopo, Kepemimpinan dalam Pendidikan, (Surabaya,
Usaha Nasional, 1992), hlm. 47. Buku ini merupakan saduran dari buku Leadership for Improving
Instruction.
8
inti aktivitas perluasan dari kapasitas kepemimpinan, dan sebagai kunci untuk
12
mengembangkan komunitas-komunitas secara professional. Realisasi
komunitas belajar atau masyarakat belajar itu seharusnya dikondisikan terlebih
dahulu. Melalui komunitas atau masyarakat belajar itu seharusnya
dikondisikan terlebih dahulu. Melalui komunitas atau masyarakat belajar itu
terkadang peserta didik telah melakukan kegiatan belajar yang sesungguhnya
meskipun kurang disadari. Bahkan, dalam Contextual Teaching and Learning
(CTL), keberadaan komunitas belajar merupakan suatu kondisi yang sangat
penting, terutama dalam mewujudkan keberhasilan belajar.
12
Alma Harris and Linda Lambert, Building Leadership Capacity for School Improvement,
(Philadelphia, Open University Press, 2003), hlm. 20
13
Lihat Mahdi, Menjadi ……………, hlm. 14
9
orang-orang yang tidak mempunyai ide, kultur, atau tujuan.” 14 Gambaran
tipologi pemimpin seperti ini melambangkan pemimpin yang pasif, jauh dari
kreativitas, solusi, inovasi, produktivitas, dan lain sebagainya. Dengan
pengertian lain, pemimpin-pemimpin yang hanya secara formalitas menduduki
jabatannya sebagai pemimpin dan bekerja secara rutin meneruskan tradisi yang
telah berjalan, merupakan pemimpin yang kontraproduktif bagi kelangsungan
apalagi kemajuan lembaga pendidikan terlebih bagi kemajuan madrasah.
14
Ismail Raji’ al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung,
Pustaka, 1984), hlm. 15
10
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
C. Fungsi Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam
11
lima fungsi-fungsi kepemimpinan yang secara singkat akan dipaparkan sebagai
berikut : 15 1. Pimpinan selaku penentu arah (kebijakan) yang akan ditempuh
dalam usaha pencapaian tujuan, 2. Pemimpin selaku wakil dan juru bicara
lembaga dan organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak luar, 3. Pemimpin
selaku komunikator yang efektif, 4. Pemimpin selaku mediator yang handal,
khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama menangani situasi konflik, 5.
Pemimpin selaku integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.
Kenyataan yang selalu dihadapi oleh setiap lembaga atau organisasi ialah
bahwa sarana dan prasarana yang tersedia atau mungkin tersedia bagi lembaga
atau organisasi selalu terbatas sifatnya, sedangkan tujuan yang ingin dicapai,
terutama yang bersifat jangka panjang adalah sesuatu yang sifatnya tidak
terbatas. Pada gilirannya situasi kelangkaan yang selalu dihadapi oleh lembaga
atau organisasi menuntut agar seluruh komponen dan jajaran suatu lembaga atau
organisasi bekerja sedemikian rupa sehingga dalam penyelenggaraan berbagai
kegiatan tidak terjadi pemborosan karena bila terjadi apalagi pada skala besar
dan terus menerus, jalannya roda lembaga atau organisasi tidak mulus.
Dengan perkataan lain, arah yang hendak ditempuh oleh lembaga atau
organisasi menuju tujuannya harus sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan
pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang tersedia itu. Arah yang
15
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta, PT. Rineka Cipta,
2003), hlm. 47-48
12
dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh
organisasi yang bersangkutan. Perumus dan penentu strategi dan taktik tersebut
adalah pemimpin lembaga atau organisasi tersebut.
a. Keputusan strategik,
b. Keputusan yang bersifat taktik,
c. Keputusan yang bersifat teknis,
d. Keputusan operasional.
13
merupakan saham yang sangat penting dalam kehidupan sebuah lembaga atau
organisasi.
Islam sendiri memandang bahwa kemampuan mengarahkan suatu
kaum yang dipimpin mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin, karena ia adalah
makhluk pilihan yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan yang lain,
di mana salah satu kemampuan atau keunggulan dasar yang melekat padanya
adalah kemampuan mengarahkan. Lihatlah Q. S. Al-Anbiyaa’ ayat 73 :
ِالصالةِ وإِيتَاء ا َّلزَكاة ِ ِ ْ اهم أَئِ َّمةً يَ ْه ُدو َن ِِب َْم ِرََن وأ َْو َحْي نَا إِلَْي ِهم فِ ْعل
َ َ َّ اْلَْ َْيات َوإقَ َام َ ْ َ ْ ُ ََو َج َع ْلن
ين ِِ
َ َوَكانُوا لَنَا َعابد
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah” (al-Anbiyaa’:73).
14
hubungan keluar dengan berbagai pihak, bahkan tidak pada semua tingkat
jabatan pimpinan.
Berarti bahwa pada analisa terakhir, pimpinan puncak lembaga atau
organisasilah yang menjadi wakil dan juru bicara resmi lembaga atau organisasi
dalam hubungan keluar dengan berbagai pihak luar. Salah satu konsekuensi logis
dari fungsi demikian ialah bahwa seorang pimpinan mutlak perlu mengetahui
bukan saja bagaimana merumuskan kebijakan strategik, akan tetapi juga
berbagai keputusan lain yang telah diambil oleh para pejabat pimpinan yang
lebih rendah. Bahkan lebih dari itu, dituntut pula pengetahuan yang memadahi
tentang berbagai kegiatan yang berlangsung dalam lembaga atau organisasi
sebagai pelaksanaan dari berbagai keputusan yang telah diambil. Pengetahuan
demikian akan memungkinkannya memberikan penjelasan yang diperlukan
sedemikian rupa sehingga berbagai tujuan dan sasaran tercapai dengan baik,
sebagaimana fungsi kepemimpinannya sebagai wakil dan juru bicara bagi
lembaga atau organisasinya.
Sebagai wakil atau juru bicara untuk mencapai tujuan atau sasaran yang
akan dicapai telah diceritakan dalam Q.S al-Baqarah yang ketika itu Allah
berkehendak menjadikan Adam sebagai wakil-Nya untuk memimpin dan
mengelola dunia ini, seperti tersurat dalam firman-Nya “Dan (ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat :
واذ قال ربك للمالئكة انى جاعل فى االرض خليفة
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi…” (Q.S Al-Baqarah/2: 30).
Ayat ini menjelaskan kriteria utama pemimpin adalah kesadarannya
akan peran dan fungsinya sebagai khalifah atau wakil Allah. Ini berarti, ketika
sang pemimpin bekerja menjalankan amanahnya melayani dan membenahi
masyarakat di disertai visi dan misi ke-Ilahiyahan (Ketuhanan) dalam bentuk
berbagai macam kegiatan dalam rangka membentuk masyarakat muslim yang
cerdas dan intelektual. Dengan demikian, ia akan memiliki legitimasi
kepemimpinan yang sangat kuat serta di tambah dengan visi misi yang tajam
dan kemampuannya dalam menjelaskan konsep-konsep Islam dan solusi untuk
15
perbaikan di masyarakat yang lebih baik sehingga membuat keunggulan itu
semakin mendapatkan pengakuan dari khalayak umum sebagaimana para
malaikat memberikan pengakuan kepada Nabi Adam a.s karena Adam ketika
itu mampu menjawab berbagai pertanyaan yang ditanyakan kepadanya (QS.
Al-Baqarah/2:30-34)
16
Dalam suatu lembaga atau organisasi dapat timbul situasi konflik dan
faktor-faktor penyebabnya pun dapat beraneka ragam. Situasi konflik
biasanya timbul karena tiga faktor utama, yaitu :
a. Persepsi subjektif tentang kemungkinan timbulnya tantangan dari pihak
lain dalam suatu lembaga atau organisasi.
b. Kelangkaan sumber daya dan dana
c. adanya asumsi bahwa dalam lembaga atau organisasi terdapat berbagai
kepentingan yang diperkirakan tidak dapat atau sulit diserasikan.
Mengenai persepsi subjektif sebagai salah satu sumber situasi
konflik dapat dikatakan bahwa para anggota lembaga atau organisasi yang
bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan tertentu akan
cenderung memiliki persepsi bahwa kegiatan kelembagaan atau
organisasional yang menjadi tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan
merupakan kegiatan terpenting dalam rangka pencapaian tujuan lembaga atau
organisasi secara keseluruhan.
Kemudian, tentangan dan penolakan demikian lebih mudah timbul
apabila lembaga atau organisasi menghadapi situasi kelangkaan sumber dana
dan daya yang serius dan akut. Bahkan situasi konflik biasanya timbul bukan
hanya karena keterbatasan dana dan daya itu, melainkan juga karena
terbatasnya jumlah jabatan pimpinan, perbedaan prestise yang melekat pada
sesuatu jabatan tertentu, pemberian wewenang yang tidak didasarkan pada
pola yang konsisten, dan hal-hal lain yang sejenis dapat pula menimbulkan
situasi konflik dalam suatu lembaga atau organisasi. Kesemuanya itu
merupakan tantangan yang harus diatasi oleh pimpinan. Untuk mengatasinya
secara rasional, objektif, efektif dan tuntas, dituntut kemampuannya berperan
sebagai mediator yang andal. Atas dasar itulah dikatakan bahwa mediasi
merupakan salah satu fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki.
Kemampuan dalam memecahkan konflik inilah yang menjadikan
seorang pemimpin diwajibkan memiliki kemampuan mengendalikan segala
hal dalam menjalankan fungsinya sebagai mediator. Kemampuan mengajak
semua yang terlibat untuk berbuat kebaikan demi mencapai tujuan lembaga
17
atau organisasi menjadi sebuah keniscayaan, dan ini memang harus terwujud,
karena sesuai dengan perintah Allah tentang pentingnya ada seorang
pemimpin yang dapat menciptakan kebaikan dan dapat memecahkan konflik
yang muncul sewaktu-waktu. Lihatlah al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 :
ولتكن منمك امة يدعون اىل اخلري ويأمرون ابملعروف ويهنون عن املنكر وأولئك مه املفلحون
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat (da’i/pemimpin) yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
18
organisasi atau lembaga membiarkan persepsi demikian berkembang, tidak
mustahil bahwa para anggota satuan kerja yang bersangkutan akan berjuang
supaya satuan kerja sendiri memperoleh alokasi dana, sarana, prasarana dan
tenaga yang lebih besar dibandingkan satuan-satuan kerja yang lain. Mudah
menduga bahwa upaya demikian akan membuahkan cara berpikir dan cara
bertindak yang terkotak-kotak.
Seorang pemimpin yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi
kepemimpinannya sudah barang tentu tidak akan membiarkan cara berpikir
dan bertindak demikian karena organisasi atau lembaga yang diharapkan
mampu mencapai tujuannya dengan tingkat efisiensi, efektifitas dan
produktifitas yang tinggi hanyalah organisasi atau lembaga yang bergerak
sebagai totalitas. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa suatu organisasi
atau lembaga modern akan disusun dalam suatu struktur yang
menggambarkan fungsi, tugas, kegiatan yang beraneka ragam.
Keanekaragaman itu tidak menghilangkan perlunya interaksi, interellasi dan
interpendensi yang didasarkan pada prinsip symbiosis mutualis. Artinya,
dalam suatu organisasi atau lembaga tidak ada tujuan atau sasaran kelompok
yang bersifat mutually exclusive.
Memang merupakan kenyataan pula bahwa tergantung pada desakan
tertentu, seperti desakan waktu, desakan skala prioritas, desakan kebijakan
baru, desakan pengembangan dan pemanfaatan teknologi dan lain
sebagainya, mungkin saja timbul keharusan menunjuk dan memperlakukan
satuan kerja tertentu sebagai “satuan kerja strategik”. Situasi demikian
sering dihadapi oleh semua jenis organisasi atau lembaga.
Untuk menjaga keutuhan satuan kerja yang ada diperlukan adanya
integrator. Dengan perkataan lain diperlukan integrator terutama pada
hirarkhi puncak organisasi. Integrator itu adalah pimpinan. Setiap pejabat
pimpinan, terlepas hirarkhi jabatannya dalam organisasi atau lembaga,
sesungguhnya adalah integrator. Hanya saja cakupan dan integrasinya
berbeda-beda. Artinya semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarkhi
kepemimpinan dalam organisasi atau lembaga, semakin penting pula
19
peranan tersebut. Hanya pimpinanlah yang berada “di atas semua orang dan
semua satuan kerja” yang memungkinkannya menjalankan peranan
integrative yang didasarkan pada pendekatan holistik.
Daftar Pustaka
Harris, Alma and Linda Lambert, Building Leadership Capacity for School
Improvement, Philadelphia, Open University Press, 2003
Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajistami al-Azdiy, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, tt.
Indonesia : Maktabah Dahlan, tt.
......................, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003
20