Anda di halaman 1dari 20

BAB V

Managemen Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam


Oleh : Akhsanul Fuadi

A. Pendahuluan

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi,


benar, tertib dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu
tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Hal ini merupakan prinsip utama ajaran
dalam islam. Rasulullah saw. Bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
Imam Thabrani.1

‫ان هللا حيب اذا عمل احدكم العمل ان يتقنه‬

“sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan


sesuatu pekerjaan, dilakukan secara tepat”.

Arah pekerjaan yang jelas, landasan yang mantap dan cara-cara


mendapatkannya yang transparan merupakan amal pekerjaan yang dicintai
Allah swt. Sebenarnya, kepemimpinan dalam arti mengatur segala sesuatu agar
dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan
dalam ajaran Islam. Manajemen kepemimpinan dalam pendidikan Islam layak
diperhatikan karena di tengah persaingan global ini, diakui atau tidak, lembaga
pendidikan Islam belum mampu menunjukkan prestasi gemilang yang
dianggap mampu mencetak generasi yang siap bersaing dengan globalisasi
dengan segala bumbu modernisme, sekalipun dalam beberapa keadaan, banyak
lembaga pendidikan Islam yang mampu berbicara di kancah nasional maupun
internasional, akan tetapi secara umum (rerata) pendidikan Islam masih belum
mampu berbicara secara banyak dalam kancah dunia.

Manajemen kepemimpinan dalam pendidikan Islam merupakan bagian


yang sangat penting dalam pengelolaan. Maju tidaknya suatu Pendidikan Islam

1
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtaru al Ahaadits wa al-hukmu al Muhammadiyyah,
Surabaya : daar an-Nasyr Mishriyyah, tt. 34

1
sangat tergantung pada sistem dan manajemen tata kelola. Artinya jika
manajemen kepemimpinannya positif maka dapat menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas, dan implikasinya lembaga tersebut akan maju, dan
berkembang. Sebaliknya jika manajemen kepemimpinan kurang positif maka
lembaga tersebut akan terbelakang disegala bidang. Dewasa ini lembaga
Pendidikan tengah menghadapi isu krusial. Isu yang paling sensitif terkait
dengan mutu pendidikan, relevansi pendidikan, akuntabilitas,
professionalisme, efisiensi, debirokrasi dan prilaku pemimpin dalam
mengambil kebijakan pada lembaga pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan
selalu melibatkan beberapa orang yang saling berinteraksi secara intensif. 2
Interaksi tersebut disusun dalam suatu struktur yang dapat membantu dalam
usaha pencapaian tujuan bersama. Agar pelaksanaan kerja dalam organisasi
dapat berjalan sebagaimana mestinya maka dibutuhkan sumber seperti
perlengkapan, metode kerja, bahan baku, dan lain-lain. Usaha untuk mengatur
dan mengarahkan sumber daya ini disebut dengan manajemen. Sedangkan inti
dari manajemen adalah kepemimpinan (leadership) (Siagian, 1980). Upaya
membangun keefektifan manajemen kepemimpin suatu lembaga pendidikan
Islam terletak semata pada pembekalan dimensi keterampilan teknis dan
keterampilan konseptual. Adapun keterampilan personal menjadi
terpinggirkan. Padahal sejatinya efektifitas kegiatan manajerial dan
pengaruhnya pada kinerja organisasi, sangat bergantung pada kepekaan
pimpinan untuk menggunakan keterampilan personalnya.

B. Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam

Kepemimpinan merupakan aspek penting yang sangat menentukan


berhasil tidaknya suatu organisasi, yakni menyangkut perilaku seorang
pemimpin dalam rangka mempengaruhi para pegawai atau karyawannya,
sehingga para pegawai mau bekerjasama dalam rangka mewujudkan tujuan

2
Husaini, dan Happy Fitria, Managemen Kepemimpinan Pada Lembaga Pendidikan Islam,
JMKSP (Jurnal Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan) Volume 4, No.1, Januari-
Juni 2019, hlm. 44

2
organisasi.3 Kepemimpinan menyangkut keberadaan figure atau sosok orang
yang dipercaya menjadi pemimpin, yang dipandang memiliki kemampuan rata-
rata dari pegawai lainnya. Kepemimpinan seseorang dalam sebuah organisasi
maupun lembaga sangat menentukan berhasil tidaknyaorganisasi yang
dipimpinnya.

Vaughan dan Hogg, menyatakan bahwa kepemimpinan didefinisikan


sebagai “leadership is getting other people to achieve the group’s goals”,4
dengan demikian kepemimpinan adalah usaha menggerakkan orang lain untuk
dapat mencapai tujuan bersalam kelompok). Jadi ciri adanya kepemimpinan
adalah apabila dipenuhinya elemen-elemen seperti keberedaan anggota (orang
lain) yang dipimpin, ada orang yang memimpin, adanya kesepakatan bersama
tentang tujuan yang akan dicapai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pada setiap organisasi pasti terdapat proses kepemimpinan, agar organisasi
dapat berjalan dengan baik dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Selain
definisi kepemimpinan di atas, masih ada lagi definisi kepemimpinan, di
antaranya adalah:

1. Kepemimpinan adalah perilaku seorang pemimpin untuk mengarahkan,


mempengaruhi dan menjelaskan kepada bawahan, berinisisiasi dalam
mengambil keputusan dan memelihara kekompakan kelompok, sikap
konsisten agar setiap anggota dapat memberikan sumbangan secara efektif
kepada organisasi demi tercapainya tujuan.
2. Kepemimpinan merupakan proses pengarahan, memberi semangat dan
tenaga kepada bawahan, meyepakati komitmen sebagaimana diharapkan
pemimpin. Namun secara umum atau garis besar bahwa tujuan dari
kepemimpinan adalah untuk mencapai cita-cita bersama secara
berdayaguna dengan sistem manajemen organisasi yang baik dan terarah.

3
Bedjo Sujanto, manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta, CV. Sagung Seto,
2007), hlm. 67
4
Graham Vaughan & Michael Hogg, Introduction to Social Psicology (Sydney, Prentice
Hall, 2005), hlm. 168

3
3. Sementara Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah segala hal
yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT, berdasarkan
hadits Rosulullah saw:

"Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di
pimpinnya, Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan
bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin di rumah
suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya
adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya.” (HR
Bukhari)

Dan juga pemimpin adalah seseorang yang dapat memberi petunjuk


kepada orang-orang yang dipimpinnya untuk dapat bekerja secara benar dan
profesional sesuai perintah Allah, lihatlah Q. S. Al-Anbiyaa’ ayat 73 :

ِ‫الزَكاة‬
َّ َ‫الصالةِ َوإِيتَاء‬ ِ ‫اْلْي‬
َّ ‫ات َوإِقَ َام‬ ِ ‫اه ْم أَئِ َّمةً يَ ْه ُدو َن ِِب َْم ِرََن َوأ َْو َحْي نَا إِلَْي ِه ْم‬
َ َْْ ‫ف ْع َل‬ ُ َ‫َو َج َع ْلن‬
‫ين‬ ِِ
َ ‫َوَكانُوا لَنَا َعابد‬

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang


memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan
kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah” (al-
Anbiyaa’:73).

Sondang P. Siagian menyebutkan bahwa ada hubungan antara


manajemen dengan kepemimpinan. Ia menegaskan bahwa inti manajemen
adalah kepemimpinan. Manifestasi yang paling nyata dari manajemen adalah
kepemimpinan. 5 Dengan pengertian lain, manajemen lebih luas daripada
kepemimpinan, atau kepemimpinan berada dalam lingkup manajemen.

5
Sondang P. Siagian, Fungsi-fungsi manajerial, (Jakarta, Bumi Aksara, 1989), hlm. 8

4
Dalam bahasa Arab, kepemimpinan sering diterjemahkan dengan al-
ri’aayah, al-imaarah, al-qiyaadah atau al-za’aamah. Kata-kata tersebut
memiliki satu makna sehingga disebut sinonim atau murodif, sehingga kita bisa
menggunakan salah satu dari keempat kata tersebut untuk menerjemahkan kata
kepemimpinan. Sementara itu, untuk menyebut istilaj kepemimpinan
pendidikan, para ahli memilih istilah Qiyaadah tarbawiyah.6

Dalam Islam, kepemimpinan begitu penting sehingga mendapatkan


perhatian yang sangat besar. Begitu pentingnya kepemimpinan ini,
mengharuskan setiap perkumpulan untuk memiliki pemimpin, bahkan
perkumpulan dalam jumlah kecil sekalipun. Rosulullah saw bersabda :

:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن ابن مسعود وأىب هريرة رضي هللا عنهما قاال‬
)‫اذا خرج ثالثة ىف سفر فليؤمروا أحدهم (رواه أبو داود‬
“Dari Abu Said dari Abu Hurairoh bahwa keduanya berkata, Rasulullah
bersabda, “Apabila tiga orang bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah
satu sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud).7
Model keberadaan seorang pemimpin sabagaimana terdapat dalam
hadis tersebut adalah model pengangkatan. Model ini merupakan model paling
sederahana karena populasinya hanya tiga orang. Jika populasinya banyak,
mungkin saja modelnya lebih sempurna karena ada beberapa model
perwujudan pemimpin. Jamal Madhi mengatakan dalam laporannya mengenai
definisi dan hakikat kepemimpinan yang berkualitas:

“Hasil studi menyatakan bahwa yang terbaik dalam pelaksanaan tugas adalah
pemimpin yang dipilih langsung, selanjutnya pemimpin yang memenagkan
suara terbanyak, lalu terakhir pemimpin yang diangkat”.8

6
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Erlangga, 2007), hlm. 269
7
Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajistami al-Azdiy, Sunan Abi Dawud, tt.
(Indonesia : Maktabah Dahlan)
8
Jamal Madhi, Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh : Tinjauan Manajemen
Kepemimpinan Islam, terj. Anang Syafrudin dan Ahmad Fauzan, (Bandung, PT. Syaamil Cipta
Media, 2002), hlm. 14

5
Kepemimpinan dalam definisi di atas memiliki konotasi general/umum,
bisa kepemimpinan negara, organisasi politik, organisasi sosial, perusahaan,
perkantoran, maupun pendidikan. Madhi selanjutnya bahwa di antara jejak
kepemimpinan yang paling spesifik adalah kepemimpinan pendidikan
(qiyaadah tarbawiyyah atau educative leadership), karena kesuksesan
mendidik generasi, membina umat, dan berusaha membangkitkannya terkait
erat dengan pemenuhan kepemimpinan yang benar.

Hal ini terkait dengan pemetaan variabel penyebab (Independent


variabel) dan variabel akibat (dependent variabel). Dalam bahasa penelitian,
variabel penyebab adalah variabel yang menentukan variabel akibat sehingga
variabel penyebab menempati posisi subjek. Sedangkan variabel akibat
menjadi objek yang ditentukan atau menjadi target tertentu sehingga
menempati posisi objek. Kedua variabel itu harus mendapat perhatian atau
pengondisian sejak awal.

Dengan mengikuti alur pemetaan tersebut, maka kepemimpinan


pendidikan merupakan penyebab yang diharapkan dapat membawa perubahan
yang baik pada aspek-aspek lainnya baik ekonomi, hukum, politik, sosial,
budaya, kesehatan dan lain sebagainya. Aspek-aspek ini dapat mengalami
perubahan positif konstruktif manakala pendidikan memiliki kepemimpinan
yang berkualitas, suatu kepemimpinan yang benar-benar profesional yang
didasari pengalaman, pendidikan dan keterampilan. Ini berarti kepemimpinan
pendidikan diyakini sebagai pilar utama dalam merealisasikan kemajuan
peradaban bangsa dan negara.

Menurut Soebagio Atmodiworo, kepemimpinan pendidikan


memerlukan perhatian utama karena melalui kepemimpinan yang baik kita
harapkan lahirnya tenaga-tenaga yang berkualitas dalam berbagai bidang, baik
sebagai pemikir maupun pekerja. Intinya, melalui pendidikan, kita menyiapkan
tenaga-tenaga yang berkualitas, tenagan yang siap latih dan siap pakai untuk

6
memenuhi kebutuhan masyarakat. 9 Tenaga-tenaga profesional inilah yang
menjadi penggerak di lapangan dalam menjawab atau merespons tantangan-
tantangan modernitas yang semakin berat.

Secara operasional, untuk mewujudkan produk pendidikan menjadi


tenaga-tenaga profesional, dibutuhkan figur pemimpin yang handal.
Atmodiworo menambahkan, figur pemimpin yang handal adalah pemimpin-
pemimpin pendidikan yang mampu melahirkan berbagai konsep pendidikan
yang bisa mewadahi dan mengadaptasi perubahan sosial, ekonomi dan
teknologi, sehingga mereka siap menghadapi akibat terjadinya perubahan-
10
perubahan dalam era globalisasi. Pemimpin yang handal dapat
diwujudkan/muncul, manakala syarat-syarat menjadi pemimpin terpenuhi,
seperti yang telah di sebutkan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani
berjudul: Filsafat Politik Islam, yang menyebutkan bahwa secara terperinci
seorang faqih (pemimpin) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1)
Faqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath
hukum dari sumber-sumbernya. (2) ’adalah: memperlihatkan ketinggian
kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat
istiqamah, al shalah, dan tadayyun. (3) Kafa’ah: memiliki kemampuan untuk
memimpin ummat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan
masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.

Era globalisasi senantiasa menghadirkan perubahan-perubahan yang


menyebabkan pola pikir dan pola hidup masyarakat sekarang turut berubah
untuk melakukan melakukan penyesuaian. Dalam dunia pendidikan,
perubahan-perubahan itu harus dihadapi oleh para pimpinan pendidikan
melelui strategi tertentu.

Kepemimpinan diperlukan untuk membawa perubahan-perubahan


konstruktif dalam program-program pengajaran sesuai dengan berbagai nilai

9
Soebagio Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta, PT. Ardadizya Jaya,
2000), hlm. 161
10
Ibid

7
dan tujuan para pembuat keputusan. 11 Ujung tombak pendidikan adalah
pembelajaran. Gedung madrasah boleh sederhana, demikian juga fasilitas
perkantoran, alat transportasi, bangku, meja, dan lain sebagainya. Akan tetapi,
pembelajaran harus mendapat perhatian yang lebih besar daripada aspek
lainnya. Kualitas pendidikan akan dipertaruhkan melalui proses pembelajaran
itu. Sementara itu, kualitas proses pembelajaran melibatkan pengondisian baik
profesionalisme guru, kesadaran siswa untuk belajar dengan rajin, media
pendidikan/pembelajaran dan lingkungan pembelajaran. Kegiatan belajar
hingga sekarang ini sebenarnya menyisakan teka-teki yang masih sulit dijawab.
Banyak teori atau aliran yang membicarakan belajar, tetapi belum satupun yang
telah berhasil memberikan pemecahan problem belajar secara tuntas. Meskipun
belajar itu kelihatannya hanya kegiatan sederhana, tetapi masih banyak
masalah yang muncul akibat penerapan belajar yang membutuhkan penerapan
dengan segera. Maka, belajar sesungguhnya merupakan kegiatan yang sangat
kompleks. Kegiatan ini dipengaruhi oleh motivasi internal maupun eksternal
dari peserta didik, cara-cara belajar, gaya belajar, rintangan belajar, tujuan
belajar, kesulitan belajar dan lain sebagainya. Oleh karena itu harus ada
“bimbingan belajar” disebuah lembaga pendidikan (madrasah) sebagai bahan
integral dari tugas pimpinan pendidikan. Berdasarkan pengalaman pribadi
penulis sebagai seorang pendidik, ternyata cara-cara belajar, gaya belajar,
rintangan belajar, tujuan belajar, kesulitan belajar dan lain sebagainya yang
dimiliki peserta didik sangat beragam, ada yang sesuai dengan cara dan gaya
tertentu tetapi ditolak oleh peserta didik yang lain, kejadian ini menjadikan
pimpinan pendidikan harus memperhatikan pola pembelajaran yang mewakili
perbedaan yang ada.

Di sini tentu terjadi hubungan antara kepemimpinan dan belajar. Harris


dan Lambert membantah terjadinya ketergantungan antara keduanya. Ia
memandang kesempatan-kesempatan untuk belajar secara kolaboratif sebagai

11
Wasti Soemanto dan Hidayat Soetopo, Kepemimpinan dalam Pendidikan, (Surabaya,
Usaha Nasional, 1992), hlm. 47. Buku ini merupakan saduran dari buku Leadership for Improving
Instruction.

8
inti aktivitas perluasan dari kapasitas kepemimpinan, dan sebagai kunci untuk
12
mengembangkan komunitas-komunitas secara professional. Realisasi
komunitas belajar atau masyarakat belajar itu seharusnya dikondisikan terlebih
dahulu. Melalui komunitas atau masyarakat belajar itu seharusnya
dikondisikan terlebih dahulu. Melalui komunitas atau masyarakat belajar itu
terkadang peserta didik telah melakukan kegiatan belajar yang sesungguhnya
meskipun kurang disadari. Bahkan, dalam Contextual Teaching and Learning
(CTL), keberadaan komunitas belajar merupakan suatu kondisi yang sangat
penting, terutama dalam mewujudkan keberhasilan belajar.

Pada bagian lain, pemimpin perlu didampingi sarana. Menurut Madhi,


sarana yang berpengaruh paling efektif bagi seorang pemimpin adalah
pendidikan. Pemimpin yang murabbi (pendidik) adalah yang memahami
tujuan, sasaran, dan tahapan pendidikan yang secara global terdapat dalam tiga
hal berikut: pembentukan dan pembinaan, meritokrasi dan independensi, serta
konsistensi dan kontinuitas. 13 Di dalam lembaga pendidikan Islam (baca :
madrasah), pemimpin benar-benar harus dipersiapkan dan dipilih secara
selektif, mengingat peran yang dimainkan pemimpin dapat mempengaruhi
kondisi keseluruhan organisasi. Maju mundurnya lembaga pendidikan lebih
ditentukan faktor pemimpin daripada faktor-faktor lainnya. Memang ada
keterlibatan faktor-faktor lain dalam memberikan kontribusi kemajuan
lembaga atau kemunduran suatu lembaga, tetapi posisi pemimpin masih
merupakan faktor yang paling kuat dan paling menentukan nasib ke depan dari
suatu lembaga pendidikan terlebih suatu madrasah.

Dengan demikian, jika kita memperhatikan keadaan pendidikan Islam


sebaiknya memperhatikan tipologi pemimpinnya. Dari tipologi pemimpin ini
segera didapatkan gambaran tentang kualitas pendidikan Islam tersebut. Al-
Faruqi menegaskan, “pemimpin-pemimpin pendidikan di dunia Islam adalah

12
Alma Harris and Linda Lambert, Building Leadership Capacity for School Improvement,
(Philadelphia, Open University Press, 2003), hlm. 20
13
Lihat Mahdi, Menjadi ……………, hlm. 14

9
orang-orang yang tidak mempunyai ide, kultur, atau tujuan.” 14 Gambaran
tipologi pemimpin seperti ini melambangkan pemimpin yang pasif, jauh dari
kreativitas, solusi, inovasi, produktivitas, dan lain sebagainya. Dengan
pengertian lain, pemimpin-pemimpin yang hanya secara formalitas menduduki
jabatannya sebagai pemimpin dan bekerja secara rutin meneruskan tradisi yang
telah berjalan, merupakan pemimpin yang kontraproduktif bagi kelangsungan
apalagi kemajuan lembaga pendidikan terlebih bagi kemajuan madrasah.

Pernyataan al-Faruqi ini dilontarkan pada era 1980-an dan ternyata


pernyataan tersebut terbukti benar dalam realita di lapangan. Hal ini tentunya
harus menjadi keprihatinan para pemikir pendidikan Islam, bahwa ternyata
pendidikan Islam terbelenggu justru oleh pemimpinnya sendiri yang
seharusnya secara idealis menjadi tumpuan harapan umat untuk membawa
perubahan-perubahan yang benar-benar menjanjikan masa depan pendidikan
Islam. Hal ini merupakan tragedi bagi dunia Islam. Apakah sekarang ini
pemimpin pendidikan Islam, termasuk pemimpin madrasah masih seperti
gambaran al-Faruqi itu?. Bila kondisi mereka masih seperti itu berarti tragedi
tersebut telah dan terus menerus menghancurkan sendi-sendi kekuatan
pendidikan Islam. Fenomena ini yang harus ditanggulangi sesegera dan
semaksimal mungkin. Maka wajarlah kiranya jika Islam sangat memperhatikan
kepemimpinan, hakikat kepemimpinan yang berarti keberadaan seorang
pemimpin sudah menjadi satu hal yang utama dalam pandangan Islam.
Bukankah salah satu tujuan diciptakannya manusia juga agar menjadi
pemimpin untuk mengelola dunia ini dengan sebaik-baiknya? Lihatlah Q.S al-
Baqoroh ayat 30 :

‫ََت َع ُل فِ َيها َم ْن يُ ْف ِس ُد فِ َيها‬ ِ ِ ‫اعل ِِف األر‬


َْ ‫ض َخلي َفةً قَالُوا أ‬ ْ
ِ ِِ ِ ِ ِ َ ُّ‫ال رب‬
ٌ ‫ك ل ْل َمالئ َكة إ يِن َج‬
ِ
َ َ َ‫َوإ ْذ ق‬
‫ال إِِيِن أ َْعلَ ُم َما ال تَ ْعلَ ُمو َن‬
َ َ‫ك ق‬ ِ‫الدماء وََنن نُسبِح ِِبم ِد َك ونُ َق ي‬ِ‫ويس ِفك ي‬
َ َ‫س ل‬
ُ ‫د‬ َ ْ َ ُ ‫ي‬ َ ُ ْ َ َ َ ُ ْ ََ

14
Ismail Raji’ al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung,
Pustaka, 1984), hlm. 15

10
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
C. Fungsi Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam

Jika diterima pendapat yang mengatakan bahwa peranan pimpinan dalam


sebuah lembaga atau organisasi sangat sentral dalam usaha pencapaian tujuan
dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, berarti diterima pula
asumsi dasar yang mengatakan bahwa efektifitas kepemimpinan dari para
pimpinan yang bersangkutan merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh
semua pihak yang berkepentingan dalam keberhasilan lembaga - baik lembaga
pendidikan maupun non pendidikan- dan organisasi.

Harus diakui bahwa belum terdapat kesepahaman bulat tentang kriteria


efektifitas kepemimpinan. Akan tetapi nampaknya telah diakui secara luas
bahwa kemampuan mengambil keputusan dewasa ini pada umumnya diterima
sebagai inti kepemimpinan. Memang penelitian dari banyak ilmuwan dan
pengalaman dari banyak praktisi menunjukkan bahwa efektifitas kepemimpinan
seseorang pada akhirrnya dinilai dengan menggunakan kemampuan mengambil
keputusan sebagai kriteria utamanya. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa yang
dimaksud dengan kemampuan mengambil keputusan tidak terutama diukur
dengan ukuran kuantitas, dalam arti jumlah keputusan yang diambil. Yang
digunakan adalah jumlah keputusan yang diambil yang bersifat praktis, realistik
dan dapat dilaksanakan serta memperlancar usaha pencapaian tujuan organisasi.

Karena kemampuan mengambil keputusan merupakan kriteria utama


dalam menilai efektifitas kepemimpinan seseorang, berarti ada kriteria lain yang
dapat dan biasanya digunakan. Berbagai kriteria itu berkisar pada kemampuan
seorang pimpinan menjalankan berbagai fungsi-fungsi kepemimpinan. Yang
secara khusus dijelaskan dalam buku ini adalah fungsi-fungsi yang menurut
penulis bersifat hakiki. Fungsi-fungsi kepemimpinan tersebut terangkum dalam

11
lima fungsi-fungsi kepemimpinan yang secara singkat akan dipaparkan sebagai
berikut : 15 1. Pimpinan selaku penentu arah (kebijakan) yang akan ditempuh
dalam usaha pencapaian tujuan, 2. Pemimpin selaku wakil dan juru bicara
lembaga dan organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak luar, 3. Pemimpin
selaku komunikator yang efektif, 4. Pemimpin selaku mediator yang handal,
khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama menangani situasi konflik, 5.
Pemimpin selaku integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.

Selanjutnya Fungsi-fungsi kepemimpinan tersebut akan dijabarkan


sebagai berikut :
1. Pemimpin Sebagai Penentu Arah

Telah umum diketahui bahwa setiap lembaga dan organisasi baik di


bidang pendidikan dan non pendidikan diciptakan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu, baik yang sifatnya jangka panjang, jangka menengah atau sedang
maupun jangka pendek yang tidak mungkin dicapai oleh para anggota atau
bawahan yang bekerja sendiri-sendiri.

Kenyataan yang selalu dihadapi oleh setiap lembaga atau organisasi ialah
bahwa sarana dan prasarana yang tersedia atau mungkin tersedia bagi lembaga
atau organisasi selalu terbatas sifatnya, sedangkan tujuan yang ingin dicapai,
terutama yang bersifat jangka panjang adalah sesuatu yang sifatnya tidak
terbatas. Pada gilirannya situasi kelangkaan yang selalu dihadapi oleh lembaga
atau organisasi menuntut agar seluruh komponen dan jajaran suatu lembaga atau
organisasi bekerja sedemikian rupa sehingga dalam penyelenggaraan berbagai
kegiatan tidak terjadi pemborosan karena bila terjadi apalagi pada skala besar
dan terus menerus, jalannya roda lembaga atau organisasi tidak mulus.

Dengan perkataan lain, arah yang hendak ditempuh oleh lembaga atau
organisasi menuju tujuannya harus sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan
pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang tersedia itu. Arah yang

15
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta, PT. Rineka Cipta,
2003), hlm. 47-48

12
dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh
organisasi yang bersangkutan. Perumus dan penentu strategi dan taktik tersebut
adalah pemimpin lembaga atau organisasi tersebut.

Tergantung pada jenjang hirarkhi jabatan pimpinan yang diduduki oleh


seseorang dalam suatu lembaga atau organisasi, keputusan yang diambil dalam
lembaga atau organisasi dapat digolongkan sebagai :

a. Keputusan strategik,
b. Keputusan yang bersifat taktik,
c. Keputusan yang bersifat teknis,
d. Keputusan operasional.

Jelas bahwa semakin tinggi kedudukan kepemimpinan diduduki atau


dijabat oleh seseorang dalam lembaga atau organisasi, nilai dan bobot strategik
dari keputusan yang diambilnya semakin besar. Satu keputusan strategik
mempunyai beberapa ciri pokok, seperti : a. Jangka waktunya jauh ke depan, b.
Dampaknya terhadap kehidupan lembaga atau organisasi kuat, c. Cakupannya
bersifat menyeluruh karena menyentuh seluruh segi dan tingkat lembaga atau
organisasi.

Sebaliknya, semakin rendah kedudukan seseorang dalam lembaga atau


organisasi, keputusan yang diambilnya pun lebih mengarah pada hal-hal teknis
operasional dengan beberapa ciri pokok seperti : a. Jangka waktunya pendek,
b. Dampaknya hanya dirasakan kuat secara inkretmental, c. Cakupannya
terbatas dan hanya menyangkut segi-segi atau bagian-bagian tertentu dari suatu
lembaga atau organisasi.

Terlepas dari kategorisasi keputusan yang diambil, apakah pada


kategori strategik, taktis, teknis atau operasional, kesemuanya tergolong pada
”penentuan arah” dari perjalanan yang hendak ditempuh oleh lembaga atau
organisasi. Dan kiranya menjadi jelas bahwa kemampuan para pejabat
pimpinan sebagai penentu arah yang hendak ditempuh di masa depan

13
merupakan saham yang sangat penting dalam kehidupan sebuah lembaga atau
organisasi.
Islam sendiri memandang bahwa kemampuan mengarahkan suatu
kaum yang dipimpin mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin, karena ia adalah
makhluk pilihan yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan yang lain,
di mana salah satu kemampuan atau keunggulan dasar yang melekat padanya
adalah kemampuan mengarahkan. Lihatlah Q. S. Al-Anbiyaa’ ayat 73 :
ِ‫الصالةِ وإِيتَاء ا َّلزَكاة‬ ِ ِ ْ ‫اهم أَئِ َّمةً يَ ْه ُدو َن ِِب َْم ِرََن وأ َْو َحْي نَا إِلَْي ِهم فِ ْعل‬
َ َ َّ ‫اْلَْ َْيات َوإقَ َام‬ َ ْ َ ْ ُ َ‫َو َج َع ْلن‬
‫ين‬ ِِ
َ ‫َوَكانُوا لَنَا َعابد‬
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah” (al-Anbiyaa’:73).

2. Pemimpin sebagai Wakil dan Juru Bicara Lembaga


Tidak akan ada yang mempersoalkan kebenaran pendapat yang
mengatakan bahwa dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya,
tidak ada lembaga atau organisasi yang bergerak dalam suasana terisolasi.
Artinya, tidak ada lembaga atau organisasi yang akan mapu mencapai tujuannya
tanpa memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak di luar lembaga atau
organisasi yang bersangkutan itu sendiri.
Karena pentingnya pemeliharaan hubungan yang baik itulah timbul
teori “hubungan masyarakat” yang mengatakan bahwa pada hakikatnya setiap
anggota lembaga atau organisasi sesungguhnya turut bertanggung jawab atas
terpeliharanya hubungan yang baik antara lembaga atau organisasi dengan
“masyarakatnya” dan tidak semata-mata merupakan tanggung jawab para
pejabat dan petugas di lingkungan satuan kerja yang disebut “Hubungan
Masyarakat”. Akan tetapi pada bentuk dan tingkat yang formal, tidak semua
anggota lembaga atau organisasi mempunyai wewenang untuk mengadakan

14
hubungan keluar dengan berbagai pihak, bahkan tidak pada semua tingkat
jabatan pimpinan.
Berarti bahwa pada analisa terakhir, pimpinan puncak lembaga atau
organisasilah yang menjadi wakil dan juru bicara resmi lembaga atau organisasi
dalam hubungan keluar dengan berbagai pihak luar. Salah satu konsekuensi logis
dari fungsi demikian ialah bahwa seorang pimpinan mutlak perlu mengetahui
bukan saja bagaimana merumuskan kebijakan strategik, akan tetapi juga
berbagai keputusan lain yang telah diambil oleh para pejabat pimpinan yang
lebih rendah. Bahkan lebih dari itu, dituntut pula pengetahuan yang memadahi
tentang berbagai kegiatan yang berlangsung dalam lembaga atau organisasi
sebagai pelaksanaan dari berbagai keputusan yang telah diambil. Pengetahuan
demikian akan memungkinkannya memberikan penjelasan yang diperlukan
sedemikian rupa sehingga berbagai tujuan dan sasaran tercapai dengan baik,
sebagaimana fungsi kepemimpinannya sebagai wakil dan juru bicara bagi
lembaga atau organisasinya.
Sebagai wakil atau juru bicara untuk mencapai tujuan atau sasaran yang
akan dicapai telah diceritakan dalam Q.S al-Baqarah yang ketika itu Allah
berkehendak menjadikan Adam sebagai wakil-Nya untuk memimpin dan
mengelola dunia ini, seperti tersurat dalam firman-Nya “Dan (ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat :
‫واذ قال ربك للمالئكة انى جاعل فى االرض خليفة‬
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi…” (Q.S Al-Baqarah/2: 30).
Ayat ini menjelaskan kriteria utama pemimpin adalah kesadarannya
akan peran dan fungsinya sebagai khalifah atau wakil Allah. Ini berarti, ketika
sang pemimpin bekerja menjalankan amanahnya melayani dan membenahi
masyarakat di disertai visi dan misi ke-Ilahiyahan (Ketuhanan) dalam bentuk
berbagai macam kegiatan dalam rangka membentuk masyarakat muslim yang
cerdas dan intelektual. Dengan demikian, ia akan memiliki legitimasi
kepemimpinan yang sangat kuat serta di tambah dengan visi misi yang tajam
dan kemampuannya dalam menjelaskan konsep-konsep Islam dan solusi untuk

15
perbaikan di masyarakat yang lebih baik sehingga membuat keunggulan itu
semakin mendapatkan pengakuan dari khalayak umum sebagaimana para
malaikat memberikan pengakuan kepada Nabi Adam a.s karena Adam ketika
itu mampu menjawab berbagai pertanyaan yang ditanyakan kepadanya (QS.
Al-Baqarah/2:30-34)

3. Pemimpin sebagai Komunikator yang Efektif


Pemeliharaan hubungan baik ke luar maupun ke dalam dilakukan
melalui proses komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai kategori
keputusan yang telah diambil disampaikan kepada para pelaksana melalui jalur
komunikasi yang terdapat dalam sebuah lembaga atau organisasi.
bahkan sesungguhnya interaksi yang terjadi antara atasan dengan bawahan,
antara sesama pejabat pimpinan dan antara sesama petugas pelaksana kegiatan
operasional dimungkinkan terjadi dengan serasi berkat terjadinya komunikasi
yang efektif. Demikian pula halnya dengan hubungan ke luar.
Tidak dapat disangkal bahwa salah satu fungsi pimpinan yang bersifat
hakiki adalah berkomunikasi secara efektif. Demikian pentingnya komunikasi
yang efektif itu dalam usaha peningkatan kemampuan memimpin seseorang
sehingga dapat dikatakan bahwa penguasaan teknik-teknik komunikasi dengan
baik merupakan suatu kompetensi yang mutlak dimiliki setiap pejabat
pimpinan.

4. Pemimpin sebagai Mediator


Dalam kehidupan kelembagaan atau organisasional, selalu saja ada
situasi konflik yang harus diatasi, baik dalam hubungan ke luar maupun ke
dalam lembaga atau organisasi. Pembahasan tentang fungsi pimpinan sebagai
mediator difokuskan pada penyelesaian situasi konflik yang mungkin timbul
dalam suatu lembaga atau organisasi, tanpa mengurangi situasi konflik yang
mungkin timbul dalam hubungan ke luar dihadapi dan diatasi.

16
Dalam suatu lembaga atau organisasi dapat timbul situasi konflik dan
faktor-faktor penyebabnya pun dapat beraneka ragam. Situasi konflik
biasanya timbul karena tiga faktor utama, yaitu :
a. Persepsi subjektif tentang kemungkinan timbulnya tantangan dari pihak
lain dalam suatu lembaga atau organisasi.
b. Kelangkaan sumber daya dan dana
c. adanya asumsi bahwa dalam lembaga atau organisasi terdapat berbagai
kepentingan yang diperkirakan tidak dapat atau sulit diserasikan.
Mengenai persepsi subjektif sebagai salah satu sumber situasi
konflik dapat dikatakan bahwa para anggota lembaga atau organisasi yang
bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan tertentu akan
cenderung memiliki persepsi bahwa kegiatan kelembagaan atau
organisasional yang menjadi tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan
merupakan kegiatan terpenting dalam rangka pencapaian tujuan lembaga atau
organisasi secara keseluruhan.
Kemudian, tentangan dan penolakan demikian lebih mudah timbul
apabila lembaga atau organisasi menghadapi situasi kelangkaan sumber dana
dan daya yang serius dan akut. Bahkan situasi konflik biasanya timbul bukan
hanya karena keterbatasan dana dan daya itu, melainkan juga karena
terbatasnya jumlah jabatan pimpinan, perbedaan prestise yang melekat pada
sesuatu jabatan tertentu, pemberian wewenang yang tidak didasarkan pada
pola yang konsisten, dan hal-hal lain yang sejenis dapat pula menimbulkan
situasi konflik dalam suatu lembaga atau organisasi. Kesemuanya itu
merupakan tantangan yang harus diatasi oleh pimpinan. Untuk mengatasinya
secara rasional, objektif, efektif dan tuntas, dituntut kemampuannya berperan
sebagai mediator yang andal. Atas dasar itulah dikatakan bahwa mediasi
merupakan salah satu fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki.
Kemampuan dalam memecahkan konflik inilah yang menjadikan
seorang pemimpin diwajibkan memiliki kemampuan mengendalikan segala
hal dalam menjalankan fungsinya sebagai mediator. Kemampuan mengajak
semua yang terlibat untuk berbuat kebaikan demi mencapai tujuan lembaga

17
atau organisasi menjadi sebuah keniscayaan, dan ini memang harus terwujud,
karena sesuai dengan perintah Allah tentang pentingnya ada seorang
pemimpin yang dapat menciptakan kebaikan dan dapat memecahkan konflik
yang muncul sewaktu-waktu. Lihatlah al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 :
‫ولتكن منمك امة يدعون اىل اخلري ويأمرون ابملعروف ويهنون عن املنكر وأولئك مه املفلحون‬
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat (da’i/pemimpin) yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

5. Pemimpin Sebagai Integrator


Merupakan kenyataan dalam kehidupan kelembagaan atau
organisasional bahwa timbulnya kecenderungan berpikir dan bertindak
berkotak-kotak di kalangan anggota lembaga atau organisasi dapat
diakibatkan oleh sikap positif, tetapi mungkin pula karena sikap yang
negatif. Dikatakan dapat bersifat positif kerana adanya tekad dan
kemauankeras dikalangan para anggota organisasi atau lembaga yang
tergabung dalam satu kelompok tertentu untuk berbuat seoptimal mungkin
bagi organisasi atau lembaga. Akan tetapi sikap demikian dapat mempunyai
dampak negative bagi kehidupan organisasional atau kelembagaan apabila
dalam usaha berbuat sebaik mungkin bagi organisasi atau lembaga, para
anggota organisasi atau lembaga lupa nahwa keberhasilan satu kelompok
yang bekerja sendirian belum menjamin keberhasilan organisasi atau
lembaga secara keseluruhan.
Sikap mementingkan kelompok atau satuan kerja sendiri mudah
timbul apalagi kalau dalam organisasi atau lembaga pembagian tugas
menuntut spesialisasi yang berlebihan, sistem alokasi dana dan daya yang
tidak atau kurang rasional, dan kurangnya penekanan pada pendekatan
kesisteman.
Hal-hal demikian biasanya berkaitan dengan suasana persaingan di
kalangan berbagai kelompok kerja yang ada yang diupayakan agar satuan
kerja sendiri diperlukan sebagai “satuan kerja strategik”. Jika pimpinan

18
organisasi atau lembaga membiarkan persepsi demikian berkembang, tidak
mustahil bahwa para anggota satuan kerja yang bersangkutan akan berjuang
supaya satuan kerja sendiri memperoleh alokasi dana, sarana, prasarana dan
tenaga yang lebih besar dibandingkan satuan-satuan kerja yang lain. Mudah
menduga bahwa upaya demikian akan membuahkan cara berpikir dan cara
bertindak yang terkotak-kotak.
Seorang pemimpin yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi
kepemimpinannya sudah barang tentu tidak akan membiarkan cara berpikir
dan bertindak demikian karena organisasi atau lembaga yang diharapkan
mampu mencapai tujuannya dengan tingkat efisiensi, efektifitas dan
produktifitas yang tinggi hanyalah organisasi atau lembaga yang bergerak
sebagai totalitas. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa suatu organisasi
atau lembaga modern akan disusun dalam suatu struktur yang
menggambarkan fungsi, tugas, kegiatan yang beraneka ragam.
Keanekaragaman itu tidak menghilangkan perlunya interaksi, interellasi dan
interpendensi yang didasarkan pada prinsip symbiosis mutualis. Artinya,
dalam suatu organisasi atau lembaga tidak ada tujuan atau sasaran kelompok
yang bersifat mutually exclusive.
Memang merupakan kenyataan pula bahwa tergantung pada desakan
tertentu, seperti desakan waktu, desakan skala prioritas, desakan kebijakan
baru, desakan pengembangan dan pemanfaatan teknologi dan lain
sebagainya, mungkin saja timbul keharusan menunjuk dan memperlakukan
satuan kerja tertentu sebagai “satuan kerja strategik”. Situasi demikian
sering dihadapi oleh semua jenis organisasi atau lembaga.
Untuk menjaga keutuhan satuan kerja yang ada diperlukan adanya
integrator. Dengan perkataan lain diperlukan integrator terutama pada
hirarkhi puncak organisasi. Integrator itu adalah pimpinan. Setiap pejabat
pimpinan, terlepas hirarkhi jabatannya dalam organisasi atau lembaga,
sesungguhnya adalah integrator. Hanya saja cakupan dan integrasinya
berbeda-beda. Artinya semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarkhi
kepemimpinan dalam organisasi atau lembaga, semakin penting pula

19
peranan tersebut. Hanya pimpinanlah yang berada “di atas semua orang dan
semua satuan kerja” yang memungkinkannya menjalankan peranan
integrative yang didasarkan pada pendekatan holistik.

Daftar Pustaka

Al-Faruqi, Ismail Raji’, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung,


Pustaka, 1984

Al-Hasyimi, Sayyid Ahmad, Mukhtaru al Ahaadits wa al-hukmu al


Muhammadiyyah, Surabaya : daar an-Nasyr Mishriyyah, tt.

Atmodiwirio, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta, PT. Ardadizya


Jaya, 2000

Harris, Alma and Linda Lambert, Building Leadership Capacity for School
Improvement, Philadelphia, Open University Press, 2003

Husaini, Happy Fitria, Managemen Kepemimpinan Pada Lembaga Pendidikan


Islam, JMKSP (Jurnal Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi
Pendidikan), Volume 4, No.1, Januari-Juni 2019

Madhi, Jamal, Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh : Tinjauan


Manajemen Kepemimpinan Islam, terj. Anang Syafrudin dan Ahmad
Fauzan, Bandung, PT. Syaamil Cipta Media, 2002.

Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Yogyakarta: Erlangga, 2007.

Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajistami al-Azdiy, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, tt.
Indonesia : Maktabah Dahlan, tt.

Siagian, Sondang P. Fungsi-fungsi manajerial, Jakarta, Bumi Aksara, 1989.

......................, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003

Soemanto, Wasti dan Hidayat Soetopo, Kepemimpinan dalam Pendidikan,


Surabaya, Usaha Nasional, 1992.

Sujanto, Bedjo, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta, CV. Sagung


Seto, 2007.

Vaughan, Graham & Michael Hogg, Introduction to Social Psicology, Sydney,


Prentice Hall, 2005

20

Anda mungkin juga menyukai