Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN SEMIOTIKA TERHADAP BUDAYA MEXICO DIA DE LOS MUERTOS

DALAM FILM ANIMASI COCO

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Proposal Penelitian

Yang diampu oleh Bapak Drs. Pujiyanto, M.Sn

Rencana Dosen Pembimbing

Dr. Pujiyanto, M.Sn

Dhara Alim Cendekia, S.Sn, M.Ds

Disusun Oleh:

Muhammad Haikal

NIM. 200253611240

PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

DEPARTEMEN SENI DAN DESAIN

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

DESEMBER 2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Film adalah serangkaian teks/cerita yang melibatkan citra fotografi dan


mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata (Danesi, 2010: 134).
Film merupakan media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan pesan
berupa kata, bunyi, citra, dan kombinasinya, kepada sekelompok orang yang berkumpul di
suatu tempat tertentu (Oktavianus 2015).

Film animasi “Coco” diceritakan dari sudut pandang Miguel Rivera sebagai seorang
bocah lelaki yang sangat menyukai musik, baik mendengarkan maupun memainkannya.
Miguel dibesarkan mengikuti adat keluarganya yang sebagai pengrajin sepatu yang
membenci musik. Terlepas dari larangan dari generasi lama keluarganya terhadap musik,
Miguel bermimpi menjadi musisi yang hebat seperti idolanya Ernesto de la Cruz. Berusaha
keras untuk menunjukkan bakatnya, Miguel menemukan dirinya di The Land of the Dead
yang menakjubkan dan penuh warna.

Dalam Kajian ini akan dianalisis mengenai budaya dan adat Meksiko khususnya
tentang perayaan Hari Kematian “Dia De Los Muertos”. Ritual Kematian merupakan bagian
dari sebuah kebudayaan. Dengan beragam budaya yang tercipta di dunia ini dari
memperingati hari raya hingga memperingati hari raya hingga memperingati kematian
memiliki cara yang berbeda dari satu budaya dengan budaya yang lainnya. Menurut Yuris
“Upacara adat merupakan sesuatu yang sudah ada sejak lama dan terus diwarikan seiring
berjalannya waktu oleh masyarakatnya. Berbagai macam upacara adat ada di berbagai
negara, seperti Yee Peng di Thailand, La Tomatina di Spanyol, dan Tulip Time di Belanda,
pada umumnya dirayakan dalam setiap waktu tertentu yang telah ditentukan”.

Pixar Animation Studios, seolah, tak pernah lelah dalam menelurkan film-film berkualitas.
Setelah Finding Dory (2016) dan Cars 3 (2017), pada tahun 2017 ini, anak perusahaan Disney
tersebut kembali merilis film animasi yang berjudul Coco. Namun, berbeda dari Finding
Dory dan Cars 3, yang mana keduanya merupakan sekuel itu, Coco merupakan film animasi
orisinal. Film animasi besutan Pixar ini sangat menarik perhatian dikarenakan meriah nya
film tersebut seperti warna yang disajikan serta tokoh yang ditampilkan sangat berwarna
padahal karakter/tokoh dalam film tersebut adalah sebuah tengkorak.

Berdasarkan uraian yang telah peneliti kemukakan di atas, maka dalam penelitian ini penulis
mengambil judul “Kajian Semiotika Terhadap Budaya Mexico Pada Film Coco” diharapkan
urgensi yang dapat terselesaikan adalah dapat membedah bagaimana pembentukan sebuah
identitas karakter memiliki peran penting dalam film animasi. Penulis merasa bahwa budaya
meksiko yang diangkat pada film ini menarik untuk dibahas karena banyak pengetahuan
didalamnya.
1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa saja makna budaya yang terdapat pada film animasi Coco?

1.2.2 Apa makna denotasi film animasi Coco?

1.2.3 Apa makna konotasi film animasi Coco?

1.2.4 Bagaimana konsep dan pemilihan warna dalam visual film animasi Coco?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengetahui makna budaya yang terdapat pada film animasi Coco

1.3.2 Mengetahui makna denotasi film animasi coco

1.3.3 Mengetahui makna konotasi film animasi coco

1.3.4 Mengetahui bagaimana konsep dan cara pemilihan warna dalam visual film animasi

Coco

1.4. Batasan Penelitian

Pemilihan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan


maupun pelebaran pokok masalah agar penelitian berjalan lebih terarah dan memudahkan
dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian tercapai. Adapun beberapa batasan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Penelitian ini berfokus pada “Budaya Meksiko El dias los muertos” pada film
animasi coco yang rilis pada tahun 2017

1.4.2 Penelitian ini berfokus mengkaji melalui pendekatan semiotika Roland


Barthes.

1.5. Kegunaan Penelitian

1.5.6. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini mampu berkontribusi dalam bidang ilustrasi atau pengembangan film
animasi, dengan menganalisa makna budaya dari visualisasi film animasi coco. Selain itu,
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam proses untuk mengembangkan
sebuah animasi dengan menyangkut pautkan budaya.

1.5.7. Kegunaan Praktis


Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat atau audiens
mengenai budaya meksiko el dias de los muertos. Film animasi ini digunakan sebagai media
bag orang untuk belajar tentang nilai-nilai budaya melalui film animasi. Selain itu penelitian
ini juga dapat membantu orang lain yang tertarik untuk meneliti tentang nilai-nilai keluarga
khususnya dalam film animasi.

1.6. Hipotesis

Hipotesis atau anggapan dasar adalah jawaban sementara terhadap masalah yang
masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Dugaan jawaban
tersebut merupakan kebenaran yang sifatnya sementara, yang akan diuji kebenarannya
dengan data yang dikumpulkan melalui penelitian. Adapun hipotesis pada penelitian ini,
antara lain:
H = Masyarakat Meksiko sangat menghargai dan menjunjung tinggi budaya.
H2 = Budaya kematian dianggap sakral dan disetiap keluarga budaya tersebut diturun
temurunkan hingga ke generasi terbaru.

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang akan peneliti buat, yaitu:

BAB 1 Pendahuluan. Pada Bab ini penulis menguraikan pokok-pokok pikiran tentang:
latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, batasan penelitian, kegunaan
penelitian, hipotesis dan sistematika penulisan.

BAB 2 Metode Penelitian. Merupakan rancangan yang digunakan dalam perencanaan dan
pelaksanaan penelitian agar mendapatkan data yang valid sesuai variable (objek) dan tujuan
penelitian. Dalam bab ini berisi rancangan penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis
data.
BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Karya Ilmiah Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, dan terkait dengan penelitian ini:

1. FAWZIA AKBARI (2018). Universitas Telkom Bandung “Presentasi Nilai Keluarga


Dalam Film (Analisis Naratif Vladimir Propp Film Coco”.
2. Sherly Pujiarti (2019). Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya “Representasi Budaya
Meksiko “DIA DE LOS MUERTOS” DALAM FILM COCO”.
3. Fitria Nur Aini (2017). Institut Seni Indonesia Yogyakarta “TENGKORAK DALAM
FESTIVAL DIA DE LOS MUERTOS PADA PENCIPTAAN KARYA SENI BATIK
LUKIS”.
4. Ghalif P Sadewa (2018). Universitas Kristen Petra “Coco : Relasi Keluarga hingga
Tradisi Budaya”.
5. Felita Malva Amelinda, Elda Franzia (2020). Universitas Trisakti “Analisis Elemen
Visualisasi Budaya Kematian dalam Film Animasi “Coco”.
6. Thiago Henrique de Silva de Sales (2018). Universitas Estadual de Maringa “MEDIA
TRANSPOSITION AND REPRESENTATION”.
7. Google Arts & Culture. The Day of the Dead in Mexico City.
8. Amarens Kingma (2019). Universitas Radboud “Day of the Dead”.
9. LSC-University Park Student Learning Resource Center (2022). “Dia de los Muertos |
Day of the Dead”..
10. Tatiana Hernandez. Eastern Washington University “Day of the Dead in the United
States”.

2.2 Kajian Teori

Studi pustaka dilakukan melalui pencarian berbagai teori, ilmu dan informasi yang
dapat digunakan sebagai landasan untuk membantu dalam pembuatan perancangan ini.
Teori-teori yang mendukung adalah sebagai berikut:

2.2.1 Pengertian Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yang berarti tanda (Pradopo, 1998). Semiotika
merupakan ilmu tentang tanda (Tinarbuko, 2003). Bermula dari bidang bahasa, cabang ilmu
semiotika berkembang ke bidang seni dan juga desain. Ide dasar semiotika adalah pesan dan
kode (Mudjiyanto & Nur, 2013).

Semiotika merupakan ilmu yang membahas tentang tanda juga masih terlalu luas sebab ada
beberapa tokoh pemikir semiotika seperti: Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce,
Hjelmslev, Umberto Eco dan Roland Barthes (Pradoko, 2015). Setiap teori semiotika dari
beberapa tokoh memiliki konsep yang berbeda (Zikrillah, & Sa'dudin, 2009).
menggunakan kata semiotika sebagai sebutan untuk tanda. Untuk beberapa masa,
perbincangan mengenai semiotika sempat tenggelam dan tidak menarik perhatian para filsuf
atau pemerhati ilmu bahasa dan kesastraan lainnya. Baru setelah seorang filsuf Logika
Amerika pertama, C.S. Peirce (1834-1914) menuliskan pikirannya guna mendapatkan
perhatian pada tahun 30-an, semiotika kembali dikenal di abad barunya. Hal ini
diperkenalkan oleh Charles Morris (Amerika) dan Max bense (Eropa). Perkembangan
semiotika sebagai salah satu cabang ilmu memang tergolong sebagai ilmu tua yang baru.
Perkembangan teori semiotika tidak dapat dikatakan pesat. Ilmu tanda, sistem tanda, serta
proses dalam penggunaan tanda hingga pada taraf pemahaman melalui makna memerlukan
kepekaan yang besar. Makna yang berada dibalik setiap karya sastra atau bahasa, dengan
kepekaan tersebut akan dapat diungkap dan dipahami dengan baik.

Pengertian semiotik yang pernah dikatakan pada catatan sejarah semiotik, bahwasanya
semiotik merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap fenomena komunikasi sosial
atau masyarakat dan kebudayaan. Hal tersebut dianggap sebagai tanda-tanda semiotik dalam
mempelajari sistem-sistem, aturan- aturan dan konvensi dengan tokoh pendiri, yaitu
Ferdinand de Saussure (1857- 1913) dan Harles Sander Peirce (1939-1914). Secara sederhana
Ferdinand de Saussure (1857-1913) sebagai orang Swiss peletak dasar ilmu bahasa menjadi
gejala yang menurutnya dapat dijadikan objek studi. Salah satu titik tolak Saussure adalah
bahasa harus dipelajari sebagai sistem tanda, tetapi bukan satu- satunya tanda. Kedua filsuf
tersebut dibedakan oleh sebutan terhadap ilmu tanda semiotika oleh Pierce dan Semiologi
oleh Saussure yang terinspirasi tentang pemahamannya ke arah ilmu tanda Pierce karena
segala yang muncul mengenai semiologi dan semiotika beranjak dari ahli linguistik, hingga
semiotika terdiri dari 2 aliran utama, yaitu bahasa (Pierce) dan bahasa sebagai pemandu
(Saussure)

2.2.2. Semiotika Roland Barthes

Salah satu tokoh pemikir semiotika yaitu Roland Barthes. Roland Barthes adalah penerus
pemikiran Saussure. Hal tersebut dapat dibuktikan dari teori semiotika Barthes hampir secara
harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure (Haryono & Dedi, 2017). Teori
Saussure yang mengatakan semiotika dibagi menjadi dua bagian penanda (signifier) dan
petanda (signified). Roland Barthes lalu melanjutkan dengan mengembangkan teori tersebut
yang dikenal denotasi, konotasi dan mitos.
Gambar 1. Teori Semiotika Roland Barthes

Denotasi adalah makna harfiah atau makna sebenarnya merupakan makna yang ditangkap
oleh panca indra manusia. Konotasi merupakan tingkatan kedua yang memunculkan makna
implisit atau makna tidak pasti yang banyak dikaitkan dengan psikologis, perasaan,
keyakinan. Mitos merupakan bahasa atau makna yang muncul berbeda-beda akibat pengaruh
kehidupan sosial budaya dan pandangan yang ada di sekitarnya. (Dewi, & Riris,2020)

2.2.3. Film

Film adalah serangkaian teks/cerita yang melibatkan citra fotografi dan


mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata (Danesi, 2010: 134).
Film merupakan media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan pesan
berupa kata, bunyi, citra, dan kombinasinya, kepada sekelompok orang yang berkumpul di
suatu tempat tertentu (Oktavianus 2015).

2.2.4. Definisi dan Hubungan Budaya Dengan Film

Koentjaraningrat (dalam Suranto, 2010:28) menerangkan bahwa pada dasarnya


banyak yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan
perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Budaya merupakan
singkatan dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan atau
budaya, menurut Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem ide, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Mulyana (dalam Jeric, 2014:19) menyatakan hubungan film dan budaya bersifat
timbal balik. Sama halnya dengan komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal
balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan
komunikasi pun turut menentukan, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang
dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi.
Pada satu sisi komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma –
norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat
lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

2.2.5. Definisi dan Hubungan Semiotika Dengan Film

Semiotika pada umumnya merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda – tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan bersama – sama manusia (Sobur,
2017:15). Tanda semiotika dalam film adalah tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang
menggambarkan sesuatu. Dalam salah satu penelitian permulaan mengenai gejala film yang
berorientasikan semiotika, yaitu, dalam disertasi J.M Peters De taal van de film, seperti
dikutip Zoest (dalam Sobur, 2017:128), sudah disinggung sebagai berikut: “Kita hampir dapat
mengatakan bahwa semua penelitian kita telah menjadi suatu teori mengenai tanda ikonis.”

2.2.6. Animasi

Setelah media digital makin berkembang, media televisi dan internet memberikan
wadah yang kuat bagi tumbuh berkembangnya gambar visual, khususnya dalam dunia
animasi. Dengan adanya teknik-teknik software animasi, gambar-gambar diam dapat
digerakkan, seolah-olah menjadi hidup dan bernyawa seperti halnya manusia hidup.
Keinginan manusia untuk membuat gambar atau santiran (image) yang hidup dan bergerak
sebagai perantara dari pengungkapan (expression) mereka, merupakan perwujudan dari
bentuk dasar animasi yang hidup dan berkembang. Animasi memberikan daya tarik visual
dengan menayangkan bukan hanya soal cerita dan karakter, tetapi juga menyajikan
gerakan-gerakan serta suara-suara yang hidup, untuk dapat dinikmati penontonnya. Animasi
adalah suatu teknik untuk mewujudkan keinginan, khayalan dan imajinasi manusia menjadi
sesuatu yang kasat mata, dapat dilihat dan dirasakan. Dalam membuat animasi yang
terpenting adalah pergerakan. Kepekaan untuk mengamati pergerakan benda-benda, lebih
bisa mendekatkan pada realita menjadikan animasi yang semakin hidup, apalagi didukung
kreativitas dan imajinasi (Suciadi, 2001:1).
Banyak definisi animasi dengan membaginya menjadi 2 dimensi, 3 dimensi, atau
anime, sehingga pengenalan animasi ini hanya sebatas pada hal demikian. Padahal animasi
berbicara lebih dari sekedar definisi-definisi seperti itu. Menurut Animator Jepang, Nakami
dikatakan bahwa: walaupun teknik animasi 3 D lebih baru dan dapat menampilkan objek dari
3 sudut pandang secara real, namun bukan berarti animasi 2D mempunyai status lebih rendah
dibandingkan animasi 3D. Animasi 3D memiliki kelebihan pada kemampuannya
memperlihatkan objek secara real, sedangkan animasi 2D mempunyai kelebihan pada seni
gambarnya. Antara teknik animasi 3 D dan 2 D mempunyai kelebihannya masing-masing dan
statusnya sejajar (dalam Soewignya, 2004:11).
Dengan kelebihannya, animasi 3D cocok untuk menjadi salah satu media komunikasi.
Zuhdan (2019) melakukan penelitian yang menjelaskan faktor penting mengapa media
komunikasi menggunakan pendekatan visual animasi:
1. Dramatis. Animasi mampu melebih-lebihkan adegan atau action tertentu dalam
media komunikasi karenanya ciri komunikasi yang hiperbolik terwakili dalam ciri
animasi yang exaggeration.
2. Mendukung visualisasi yang sulit dilakukan dengan live shoot. Animasi mampu
memperkuat bahkan bisa menciptakan adegan yang tidak bisa diterjemahkan atau sulit
dilakukan dalam penyutradaraan ataupun shooting atau rekaman secara langsung,
seperti mengarahkan akting bayi, atau hewan-hewan, atau makhluk angkasa luar, atau
kuman-kuman jahat dsb. Animasi juga mampu memperjelas ilustrasi dari
penggambaran visual yang sulit, atau berbahaya, atau tokoh fiktif, atau berupa
simulasi atau visualisasi imajinasi.
3. Animasi mampu mendekati segmen anak-anak secara lebih dekat dengan menarik
perhatian dengan tokoh-tokoh kartun, apalagi yang sudah akrab. Bagi segmen
tertentu, terutama anak-anak dengan daya khayal dan imajinasi yang masih melekat
kuat dan sangat dominan, kehadiran animasi sangat mengena di hati dan otak mereka.
Animasi mampu menghadirkan visualisasi dunia animasi yang diakrabi dalam dunia
imajinasi anak-anak.
4. Efisiensi biaya. Produksi Animasi tidak banyak melibatkan crew dan talent atau
bintang iklan atau tokoh terkenal yang biasanya menyedot dana yang cukup besar.
Dengan tokoh, tempat, property atau alat yang serba rekaan komputer digital atau
gambar, biaya bisa lebih diminimalisir. Cukup dengan Komputer yang canggih
dengan animator yang handal, animasi iklan sudah bisa diciptakan.
5. Animasi bisa membuat lebih kuat dan cepat dalam memperkuat pesan visual iklan
yang berdurasi singkat.Dengan kelebihan teknik animasi yang berkembang pesat,
imajinasi sekalipun dapat divisualkan dengan jelas dan nyata. Bahkan kedigdayaan
animasi, mampu melebihi mimpi-mimpi.
6. Selain tampilan yang menarik dan dramatis, animasi ini juga bisa menjadi visual
tambahan dalam perfilman yang mungkin tidak dapat dibuat oleh manusia secara
nyata, atau jika bisa dibuat maka mungkin butuh dana yang cukup besar untuk
membuatnya. Peranan komputer grafis menjadi kebutuhan yang cukup penting untuk
membuat ide dan konsep di luar batas kemampuan manusia dan menjadikannya
”seakan-akan” nyata. Disinilah peranan animasi menjadi penting untuk menciptakan
hal tersebut.
7. Aspek pada animasi mempunyai definisi sederhana, tetapi penerapannya yang
cukup luas, karena berbicara pergerakan yang realistis dan unrealis, serta waktu
seperti kecepatan atau perlambatan. Benturan, pantulan, dan semuanya seperti
kejadian nyatanya. Dengan begitu, animasi diharapkan dapat menyuguhkan informasi
dan mengkomunikasikan kepada khalayak agar dapat memahami apa yang ingin
disampaikan. Bisa jadi sang animator ingin memberikan informasi tentang suatu
kejadian, suasana, kemampuan, atau emosi terhadap subjek yang ada, seakan-akan
visual yang ditampilkan sedang berkata-kata selayaknya orang berbicara sehingga
cukup dengan animasi tersebut, informasi yang disampaikan bisa dipahami oleh para
penontonnya.
8. Kelebihan animasi lainnya adalah dapat digunakan untuk mengilustrasikan atau
menggambarkan ide-ide dan konsep yang sulit serta tidak bisa dijangkau atau dibuat
dengan shooting biasa (live action). Dalam hal ini animasi dapat mewujudkan suatu
gambaran atau visualisasi yang sulit dan membuat efek-efek khusus yang tidak bisa
dibuat dengan media konvensional, jika dibuat akan memakan biaya yang banyak dan
waktu yang
lama (lebih efisien). Artinya animasi mampu menjadi media komunikasi audio visual
yang spektakuler dan dahsyat dalam membuat simbol-simbol visual dan auditif dalam
pesan-pesan yang disampaikannya.
9. Dalam animasi sebetulnya yang terjadi adalah suatu gerak, hidup, dunia baru yang
tidak ada, atau tidak pernah terjadi. Karena itu akan terjadi suatu ”kehidupan” yang
tidak seperti yang kita kenal sehari-hari. Suatudunia buatan (artifisial) yang diciptakan
manusia. Jagad (dunia) buatan ini mempunyai tokoh (karakter), alam, atmosfer,
tempo, irama, suasana, dan logika yang berbeda dengan dunia kenyataan (realita).
Dunia baru inilah yang harus diciptakan oleh animator dengan konsep dan
keterampilan yang cukup memadai. Dunia buatan ini, tidak boleh sebagai tiruan dari
dunia nyata, walaupun bisa mengambil sumber dari realita kehidupan. Segala sesuatu
yang terjadi di dalam dunia buatan tersebut, harus dapat dirasakan sebagai suatu
kejadian dari jagad lain yang utuh. Hal itu yang akan membuat film animasi menarik
untuk ditonton dan memiliki kelebihan dari film yang merupakan representasi dunia
nyata.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif ini
pengumpulan data akan dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data
primer dan teknik pengumpulan data menggunakan observasi berperan serta, wawancara
mendalam, dan dokumentasi. Peniliti memilih jenis kualitatif karena peneliti akan lebih
memahami setiap adegan/scene budaya El Dias Los Muertos didalam film Coco, dan
mendapatkan informasi lebih mendalam yang tidak dapat digambarkan dengan angka angka
dalam statistik melalui wawancara mendalam. Dalam penelitian ini, peneliti akan
menganalisis budaya El Dias Los Muertos memakai data kualitatif dari hasil dokumentasi dan
wawancara. Kemudian penelitian ini menggunakan model Roland Barthes, yang berfokus
pada gagasan tentang gagasan signifikasi dua tahap (two order of signification). Yang mana
signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifer (penanda) dan signified
(petanda) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
makna denotasi, dimana makna ini adalah paling nyata dari tanda. Sedangkan makna
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos
(myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek
tentang realitas atau gejala alam.

3.1.1. Objek Penelitian

Objek penelitian yang akan diteliti dalam proposal ini adalah tentang Budaya
Festival Dia de los Muertos dalam film animasi Coco.

3.1.2. Lokasi Penelitian

Lokasi yang nantinya akan digunakan oleh peneliti dalam melakukan


penelitian adalah situs Disney Plus Hotstar, jurnal-jurnal yang dapat diakses melalui
internet, dan juga perpustakaan yang berada di universitas, fakultas dan daerah.
Alasan memilih tempat tersebut dikarenakan untuk menyaksikan film animasi coco
yang merupakan bagian dari penelitian dikarenakan Disney Plus Hotstar merupakan
situs legal yang menyediakan jasa streaming film objek penelitian. Lalu, alasan
memilih tempat lainnya adalah karena masalah yang diambil lebih memerlukan
kajian-kajian literatur dan juga berita-berita up to date yang dapat diakses melalui
jejaring internet.
3.1.3. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Sugiyono (2018:130) mengemukakan bahwa populasi sebagai wilayah


secara umum yang terdiri atas obyek/subyek yang memiliki kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti lalu dibuat
kesimpulannya.

Dalam penelitian populasi dibedakan menjadi dua yaitu populasi


secara umum dan populasi target (target population). Populasi target adalah
populasi yang menjadi sasaran keberlakukan kesimpulan penelitian kita
(Sukmadinata, 2012:80).
Berdasarkan definisi diatas, penelitian ini akan menggunakan populasi
target dengan tokoh utama Meilin Lee atau Mei dalam film Turning Red
sebagai targetnya.

2. Sampel

Menurut Sugiyono, (2017:81) sampel adalah bagian dari populasi yang


menjadi sumber data dalam penelitian, dimana populasi merupakan bagian
dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik sampling
menurut Sugiyono, (2016:81) ialah teknik pengambilan sampel, untuk
menentukan sampel yang akan digunakan. Teknik sampel yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah non-random sampling atau sampel yang berasal
dari unsur-unsur yang hanya ditemui dalam penelitian seperti ciri-ciri, sifat
dan karakter objek penelitian.

3.1.4. Instrumen Penelitian

Menurut Sugiyono (2006:102), instrumen penelitian adalah suatu alat


yang digunakan mengukur kejadian (variabel penelitian) alam maupun sosial
yang diamati. Menurut Sanjaya (2011:84), instrumen penelitian adalah alat
yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi penelitian.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa instrumen dalam
penelitian ini adalah sebuah laptop dan peneliti sendiri.

3.2. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi.
Fatoni (2011) mengungkapkan bahwa observasi adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap
keadaan atau perilaku objek sasaran. Adapun jenis-jenis observasi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah:
3.2.1.Observasi non partisipan
Penulis tidak ambil bagian/ tidak terlihat langsung dalam kegiatan
orang-orang yang di observasi;
3.2.2. Observasi terstruktur
Dalam melakukan observasi penulis mengacu pada pedoman yang telah
disiapkan terlebih dahulu oleh penulis.

3.3. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam mengkaji budaya Dia de los Muertos | The
Day of the Dead dalam film animasi Coco merupakan gabungan dari interpretasi secara
visual maupun secara kebudayaan. Dalam tahap analisis secara budaya, peneliti
mengelompokkan berbagai unsur budaya yang terdapat di berbagai scene dalam film animasi
coco. Tahap kedua yang dilakukan ialah menganalisis bagaimana visual yang ditampilkan
antara makna ritual kematian atau budaya kematian yang dimana digambarkan sakral, gelap,
menakutkan dirubah menjadi berwarna dan memberi makna di sisi lainnya. Kedua kategori
tersebut kemudian dikaji kembali melalui pendekatan semiotika Roland Barthes.
DAFTAR PUSTAKA

Mudjiyanto, B (2013). “Semiotics In Research Method of Communication”. Jurnal Pekomnas.

Dewi, k (2020). “Makna Semiotik Hinakazari dalam Budaya Jepang”. Skripsi Universitas Jendral
Sudirman

Zikrillah, A (2009). “Kajian Semiotika Poster Kegiatan Frankfurt 63rd International Motor Show
2009”. Jurnal Dakwah dan Komunikasi Orasi.

Aziz, Zuhdan. (2019). Fluxus Animasi Dan Komunikasi Di Era Media Baru Digital. Channel
Jurnal Komunikasi. 7(1), 49-58.
Lucarelli, Fosco. (2010). John Whitney, Inventor And Father Of Computer Animation.
Diakses pada 16 Desember 2022 dari
https://socks-studio.com/2010/11/25/john-whitney-inventor-and-father-of-computer-ani
mation

Oktavianus, Handi. 2015. "Penerimaan Penonton Terhadap Praktek Eksorsis di dalam Film
Conjuring." Jurnal e-Komunikasi 3 (2): 1-12.
https://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/4942

Suranto. 2010. Komunikasi Sosial Budaya.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sobur,Alex. 2017. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung.


PT. Remaja Rosdakarya.

Sugiyono.2006.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.Bandung:Alfabeta.

Fathoni, Abdurrahmat. (2011). Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi.


Jakarta: Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai