Anda di halaman 1dari 59

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS PENERBITAN DISPENSASI KAWIN DALAM KAITANNYA

TERHADAP UU NO 16 TAHUN 2019 SEBAGAI PERUBAHAN ATAS UU

NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Oleh:

ADHYSA NURAHMAWATI PUTRI

040 2018 0317

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melakukan Penelitian

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021

ABSTRAK

i
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui batas usia kawin yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Dalam Undang-Undang tersebut

diatur batas usia minimal perkawinan yaitu 19 (sembilan belas) tahun baik

untuk lakilaki maupun perempuan. Selain itu, skripsi ini juga meneliti

bagaimana implementasi Undang-Undang Perkawinan yang baru di

Kabupaten Brebes serta faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan di

bawah umur di Kabupaten Brebes.

Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang tidak memenuhi

syarat batas usia minimal perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 pasal 7 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan

apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian lapangan

(field research) yaitu dengan terjun langsung kelapangan guna

mendapatkan data terkait perkawinan di bawah umur di Kabupaten

Brebes. Adapun penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan

pendekatan deskriptif dalam menganalisis data yang didapatkan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa angka perkawinan

di bawah umur di Kab. Brebes masih tergolong tinggi baik sebelum

maupun sesudan diberlakukannya UU No. 16 Tahun 2019 pada bulan

Oktober 2019. Hal ini dibuktikan dengan tingginya presentase angka

perkawinan di bawah umur di Kab. Brebes dari tahun ketahun baik

ii
berdasarkan data dispensasi perkawinan dari Pengadilan Agama Kab.

Brebes maupun data Perkawinan di bawah umur dari KUA yang terdapat

di Kab. Brebes. Presentase perkawinan di bawah umur di KUA Kec.

Banjarharjo diperoleh data sebagai berikut terdapat 9 (0,72%) kasus

perkawinan di bawah umur pada tahun 2017, 232 (21,76%) kasus pada

tahun 2018, 63 (5,48%) kasus pada tahun 2019, dan terdapat 33 (4,44%)

kasus pada tahun 2020. Sedangkan di KUA Kec. Bulakamba diperoleh

data sebagai berikut pada tahun 2017 terdapat 8 (0,43%) kasus

perkawinan di bawah umur, pada tahun 2018 terdapat 13 (0,69%) kasus,

pada tahun 2019 terdapat 27 (1,42%) kasus, dan pada tahun 2020

terdapat 62 (4,00%) kasus.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian bahwa ada beberapa faktor

penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur di Kab. Brebes

diantaranya adalah faktor adat yang ada di masyarakat, accident maried

(hamil diluar nikah), faktor karena hubungan yang sudah terlalu dekat

sehingga menimbulkan vi kekhawatiran bagi orang tua dan akhirnya orang

tua memutuskan untuk menikahkan anaknya, factor rendahnya tingkat

Pendidikan, dan factor lemahnya pengawasan dan penegakan hokum

bagi pelaku nikah siri.

Kata kunci : Batas Usia Kawin, Undang-Undang Perkawinan, Perkawinan

di Bawah Umur.

Di bawah bimbingn : Dr.Fuad Thohari, M.Ag.

iii
DAFTAR ISI
SAMPUL.......................................................................................................i

ABSTRAK....................................................................................................ii

KATA PENGANTAR..................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1


B. Rumusan Masalah....................................................................................7
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................7
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................9

A. Perkawinan.................................................................................................9
B. Batas Umur Perkawinan Menurut Undang-Undang No 16 Tahun
1974 Sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.......................................................................................15
C. Menikah Dibawah Umur (Dispensasi)..................................................18
D. Perceraian................................................................................................24
BAB III METODE PENELITIAN................................................................28

A. Tipe Penelitian.........................................................................................28
B. Lokasi Penelitian......................................................................................28
C. Jenis dan Sumber Data..........................................................................28
D. Teknik Pengumpulan Data.....................................................................29
E. Analisis Data............................................................................................29
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................30

A. Deskripsi Data..........................................................................................30
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Dispensasi Kawin Di
Pengadilan Agama Makassar........................................................................35
C. Tingkat Perkawinan Di bawah Umur di Pengadilan Agama kota
Makassar...........................................................................................................37
D. Faktor penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur di kota
Makassar...........................................................................................................40

iv
BAB V PENUTUP......................................................................................47

A. Kesimpulan...............................................................................................47
B. Saran.........................................................................................................48

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah

Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat hidayah dan nikmat Kesehatan

serta kesempatan yang telah ia berikan kepada penulis. Salawat serta

Salam penulis haturkan atas junjungan kami Rasulullah Shallalahu ‘alaihi

Wassalam yang telah memberikan pedoman hidup berupa Al-qur’an dan

As-Sunnah untuk keselamatan hidup umat manusia, para sahabat, para

tabi’in serta orang-orang yang senantiasa Istiqamah di dalamnya.

Alhamdulillah skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Tentang

Perkawinan Dibawah Umur Dalam Kaitannya Dengan Angka Perceraian

Menurut UU No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas UU No 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan” dapat terselesaikan dengan baik sesuai

dengan harapan penulis. Skripsi ini ditulis dan disusun sebagai tugas akhir

penulis guna memenuhi syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan

memperoleh gelar sebagai Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Muslim Indonesia.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan dan dalam penyusunan skripsi ini penulis mengalami

kesulitan, hambatan, dan rintangan. Akan tetapi berkat bimbingan dan

pengarahan dari berbagai pihak serta kemauan keras maka skripsi ini

dapat tersusun walaupun masih saja terdapat beberapa kekurangan.

Dengan rendah hati penulis sampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya untuk kedua orangtua penulis, Ayahanda tercinta Alm.

vi
H. Mulyadi HM yang sudah terlebih dahulu di panggil oleh yang kuasa

sebelum bisa melihat saya mengenakan toga yang saya impikan, tanpa

beliau saya tidak bisa berdiri disini….. dan Ibunda tercinta Hj. Sitti Aisyah,

S.E atas doa yang tidak pernah putus, pengertian kasih sayang dan

pengorbanan untuk penulis selama ini.

Terimkasih utk baba dan bunda

Pada kesempatan ini pula, Penulis dengan segala kerendahan hati

menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Basri Modding, S.E., M.Si, selaku Rektor

Universitas Muslim Indonesia beserta staf dan jajarannya.

2. Bapak Prof. Dr. H. Said Sampara, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Muslim Indonesia, bapak Dr. Ilham Abbas, S.H.,

M.H selaku Wakil Dekan I, ibu Dr. Satri Hasyim, S.H., M.H selaku

Wakil Dekan II, bapak Dr. Muhammad Rinaldy Bima, S.H.,M.H selaku

Wakil Dekan III, bapak Dr. Zainuddin, S.Ag., S.H., M.H selaku Wakil

Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

3. Bapak Prof. Dr. H. Syahruddin Nawi, SH., M.H selaku Pembimbing I

dan bapak Dr. Muh. Rinaldy Bima, SH., M.H selaku Pembimbing II,

terima kasih atas segala petunjuk, saran, bimbingan dan waktu yang

diluangkan untuk penulis.

4. Bapak Dr. Hasbuddin Khalid. SH., M.H selaku Penguji I dan Ibu Dr. St.

Ulfah. SH., M.H selaku Penguji II, terima kasih atas masukan dan

vii
sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

tugas akhir ini.

5. Segenap dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Muslim

Indonesia atas ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis

selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Muslim

Indonesia.

6. Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia atas

bantuannya dalam melayani segala kebutuhan Penulis selama

perkuliahan hingga penyusunan Skripsi ini.

7. Teman-teman seperjuangan “Fakultas Hukum UMI 2018” terima kasih

penulis ucapkan atas kekompakan dan kerja samanya selama masa

kuliah ini.

8. Adikku Aldi Putra Multazam atas semangat dan bantuannya selama

penyusunan skripsi ini.

9. Sahabatku Muh. Muflih Awaluddin, Habibi Setiawan HK, Novina

Sabila Zahra, Nurul Azizah, Nurfaindah Ramli atas semangat,

bantuan, dan waktu yang diberikan kepada penulis selama ini.

10. Kepada seluruh jajaran Pengadilan Agama Makassar yang telah

menerima, membimbing serta memberikan arahan selama penulis

menyelesaikan skripsi.

11. Dan juga semua pihak yang telah banyak membantu penulis tapi tidak

dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

viii
Semoga segala bantuan amal kebaikan yang telah diberikan mendapat

balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat di masa yang akan datang bagi semua

pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, April 2020

Penulis

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya semua yang ada di dunia ini Allah ciptakan

berpasang-pasangan, begitu juga dengan manusia. Allah

menciptakan manusia sejatinya berpasang-pasangan supaya manusia

dapat mempunyai keturunan melalui jalan perkawinan. Karena nikah

(kawin) menurut arti aslinya ialah hubungan seksual tetapi menurut

majazi (methaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang

menjadikan halal hubungan seksual sebagai sepasang suami istri

atau seorang pria dan seorang wanita1.

Perkawinan itu merupakan salah satu sunnah yang patut kita ikuti

dan di contoh oleh pengikutnya karena selain mencontoh juga

merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan rohani dan

jasmani selain itu perkawinan adalah merupakan cita-cita yang

mempunyai tempat tersendiri dalam kehidupan manusia.

Kemauan untuk hidup berpasangan adalah kodrat alam bagi

setiap individu bila ia telah mencapai usia tertentu. Kemauan ini bukan

saja dimiliki oleh manuasia tetapi juga dimiliki semua makhluk lainnya

di bumi ini. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-

Baqarah ayat 223 berbunyi2:

1
Fauziatu Shufiyah, “Pernikahan Dini Menurut Hadits dan Dampaknya”,
Jurnal Living Hadits, Volume 3, No. 1, 2018, Hal. 49
2
Al-Qur’an, 2:223.

1
ۗ ُ‫وه‬LLُ‫و ۟ا َأ َّن ُكم ُّم ٰلَق‬Lٓ L‫وا ٱهَّلل َ َوٱعْ لَ ُم‬L
۟ Lُ‫ ُك ْم ۚ َوٱ َّتق‬L‫ُوا َأِلنفُ ِس‬ ۟ ‫ث لَّ ُك ْم َفْأ ُت‬
۟ ‫ ِّدم‬L‫وا َحرْ َث ُك ْم َأ َّن ٰى شِ ْئ ُت ْم ۖ َو َق‬ ٌ ْ‫ِن َسٓاُؤ ُك ْم َحر‬

َ ‫َو َب ِّش ِر ْٱلمُْؤ ِمن‬


‫ِين‬

Artinya: Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah

ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan

utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan

ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan

sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman

Meskipun keinginan untuk berpasangan itu adalah kodrat alami

bagi manusia tetapi tidak berarti hidup berpasangan itu seenaknya

dilakukan dan membiarkan hubungan antara keduanya dengan

sebebas-bebasnya tanpa aturan, harus melalui suatu aturan yang

disebut dengan nikah sehingga hubungan antara kedua pasangan

menjadi sah berdasarkan agama dan hukum.

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang perkawinan No 1 Tahun 1974

menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu perkawinan seorang

yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua

orang tua. Dalam kompilasi kemaslahatan keluarga dan rumah

tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah

mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang

Perkawinan No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya

berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16

tahun. Pasal 6 ayat (2) bahwa bagi calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebgaimana diatur

2
dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Perkawinan

No 1 Tahun 1974.

Berdasarkan rumusan Pasal tersebut maka sudah dipastikan

bahwa suatu perkawinan adalah untuk selama-lamanya, artinya tidak

dibenarkan adanya nikah sementara walaupun perkawinan dikatakan

sebagai kekuatan hukum yang begitu penting yang harus di jaga

sebaik-baiknya agar tidak berhenti atau putus tetapi tidaklah dipungkiri

pula bahwa perceraian itu masih saja terjadi meskipun aturan-aturan

yang menikat telah banyak di terapkan untuk kedua suami isteri.

Tingginya tingkat perceraian dalam suatu perkawinan salah satu

diantaranya adalah sebagai akibat perkaiwnan di bawah umur. Hal ini

disebabkan cepatnya mereka menajdi orang tua dan harus memikul

tanggung jawab rumah tangga juga kurang dewasa dalam

pengambilan keputusan dan emsional oleh karena itu dapat

mempermudah timbulnya konflik rumah tangga yang menuju kepada

suatu perceraian.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

berbunyi sebagai berikut : Pasal 7 ayat (1) yang menjelaskan bahwa

perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai

umur 19 (Sembilan belas) tahun.

Dispensasi kawin adalah perkawinan yang dilakukan oleh pria dan

wanita yang usianya belum mencapai batas umur untuk melakukan

3
perkawinan yang dimana batasan umur untuk melakukan perkawinan

sudah diatur di dalam undang-undang. Usia untuk melakukan

perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7

ayat (1), perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah

mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. Batas usia perkawinan

sangatlah penting yang perlu di perhatikan dalam melakukan suatu

perkawinan, karena dengan usia yang terlalu muda ketika seorang

melakukan suatu perkawinan dapat mempengaruhi dalam

menjalankan rumah tangganya.

Realitas perkawinan di Indonesia yang mengalami keretakan

rumah tangga, bahkan sampai pada perceraian relatif sangat

dominan. Hal ini disebabkan berbagai faktor seperti krisis akhlak,

kawin paksa, kecemburuan dan lain sebagainya. Kesiapan mental

dalam menghadapi aspek kesulitan ekonomi, penghayatan

keagamaan, tentang hakikat perkawinan adalah akibat pasangan itu

belum dewasa dalam pengertian fisik dan psikis.

Usia perkawinan merupakan aspek utama dalam membangun

rumah tangga, faktor kematangan psikologis akan dapat

mengeliminasi kecenderungan konflik (broken home). Pembatasan

minimal usia perkawinan diperlukan karena dalam perkawinan

sebagai peristiwa hukum yang akan merubah kedudukan, hak dan

kewajiban pada diri seseorang. Perubahan tersebut diantaranya

adalah perubahan terhadap hak dan kewajiban dari seorang anak

4
menjadi suami atau istri. Hal inilah yang membuat mengapa dalam

suatu perkawinan membutuhkan suatu persiapan yang betul-betul

matang, baik secara biologis maupun psikologis. Termasuk kesiapan

ekonomi untuk dapat menjalani kehidupan rumah tangga.

Selain mencegah perkawinan di bawah umur, Undang-Undang No

1 Tahun 1974 tentang perkawinan sendiri telah memberikan beberapa

ketentuan untuk mencegah terjadinya perceraian. Hal ini dapat dilihat

pada Pasal 38 yang telah menetapkan bahwa perkawinan putus

karena:

a. Kematian

b. Perceraian

c. Atas putusan pengadilan

Untuk mempertegas ketentuan Undang-Undang diatas maka

didalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 9

Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undnag No 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan diketengahkan alasan-alasan perceraian yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2(dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuannya

5
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri

f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dlam

rumah tangga.

Berdasarkan paparan diatas, dapat dipahami bahwa sepasang

suami istri yang mengajukan perceraian di depan sidang Pengadilan

harus memenuhi alasan-alasan yang terdapat dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (bagi

yang beragama islam). Hal ini tentunya menjadi penting agar suami

ataupun istri tidak dengan mudah berfikir untuk tidak bercerai, terlebih

apabila sebenarnya Ketika niat untuk bercerai tersebut muncul belum

ada alasan yang cukup untuk itu. Oleh karena itu, penitng untuk dapat

berfikir dengan matang dan seksama sebelum melakukan perceraian.

Perceraian juga sebaiknya dilakukan di depan sidang pengadilan agar

status perceraian menjadi sah sehingga seluruh akibat hukum dari

perceraian dapat ditetapkan secara jelas dan tegas oleh Pengadilan.

6
Berdasarkan latar belakang diatas, mendorong penulis

menganalisa dan mengkaji lebih dalam penerapan ketentuan batas

usia kawin di wilayah hukum Pengadilan Agama kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus

diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya

perumusan masalah maka akan dapat ditelah secara maksimal ruang

lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal di luar

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perbandingan tingkat perceraian akibat dispensasi

kawin dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 16

Tahun 2019?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian dalam UU

No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 16 Tahun 2019?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian adalah

untuk:

1. Untuk mengetahui perbandingan tingkat perceraian akibat

dispensasi kawin dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 16

Tahun 2019.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

perceraian dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 16 Tahun

2019.

7
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat turut serta dalam

mengembangkan pemikiran yang positif terhadap ilmu

pengetahuan terutama yang berkaitan dengan dispensasi kawin

2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada

masyarakat khususnya para pembaca tentang pentingnya

kematangan usia dalam perkawinan dan bagaimana

pertimbangan hakim Pengadilan Agama khususnya Pengadilan

Agama Makassar dalam mengabulkan perkara dispensasi

perkawinan di bawah umur.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan

1. Pengertian perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”

yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan

jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh 3

Dalam literatur fiqh berbahasa Arab perkawinan atau pernikahan

disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang

terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat

dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi4.

Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin,

seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:

‫ِإنْ ِخ ْف ُت ْم َأاَّل‬L‫اع ۖ َف‬L َ ‫ا ِء َم ْث َن ٰى َو ُثاَل‬L‫اب لَ ُك ْم م َِن ال ِّن َس‬


َ L‫ث َو ُر َب‬ ُ ِ‫َوِإنْ ِخ ْف ُت ْم َأاَّل ُت ْقس‬
َ L‫ا َط‬LL‫ا ْن ِكحُوا َم‬LL‫طوا فِي ْال َي َتا َم ٰى َف‬

‫ت َأ ْي َما ُن ُك ْم ۚ ٰ َذل َِك َأ ْد َن ٰى َأاَّل َتعُولُوا‬


ْ ‫َتعْ دِلُوا َف َوا ِح َد ًة َأ ْو َما َملَ َك‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau

empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

3
Abdul Rahman Ghojali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2003), Hal.7
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2006 ), Hal. 35

9
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
5
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Dalam undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

telah diatur secara nasional ketentuan mengenai perkawinan, tetapi

hal-hal prinsip yang menyangkut sahnya perkawinan dilakukan

menurut masing-masing agama dan kepercayaan.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyatakan

bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Dalam hubungan ini

agama mempunyai pengaruh yang amat menentukan terhadap

perkawinan di Indonesia.

Perkawinan itu sendiri menurut Bahasa berasal dari kata kawin

yang mendapatkan awalan “per” dan akhir “an”. Kawin dalam kamus

Bahasa Indonesia (1990:398) berarti “menikah, bersetunuh,

berkelamin (untuk hewan) mengenai kawin dengan memperisteri”

Dalam istilah ada beberapa macam pengertian mengeanai

perkawinan yangtujuannya sama seperti apa yang di kemukakan oleh

Soemoyati (1982:8) bahwa:

“perkawinan ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk

mengikatkan diri antara seseorang laki-laki dan Wanita untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan

sadar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
5
Al-Qur’an, 3:3

10
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang

dan ketentraman dengan cara-cara yang rihoi oleh Allah SWT.

Menurut A.A Fyzee (ma’mun Rauf,1990:49) dalam setiap

perkawinan islam terdapat tiga aspek penting, yaitu aspek hukum,

sosial, dan keagamaan.

Dilihat dari aspek hukum perkawinan merupakan suatu ikatan

perjanjian antara seorang pria dan seorang Wanita dengan terlebih

dahulu adanya keharusan dipenuhinya beberapa syarat yang

diperlukan seperti adany kata sepakat, dan sebagainya. Perjanjian

dalam perkawinan ini mempunyai tiga aspek.

Aspek sosial yang dimaksudkan bahwa perkawinan itu memberikan

pada seorang Wanita status yang lebih tinggi di masyarakat,

terdapatnya pembatasan terhadap kebebasan berpoligami seperti

yang terjadi semasa sebelum Islam, dan tujuan Rasulullah S.A.W

terhadap perkawinan.

Dilhat dari aspek perkawinan dinilai bukan hanya sekedar suatu

ikatan perjanjian semata akan tetapi juga merupakan sesuatu yang

sakral sifatnya.

Karakter yang khusus yaitu:

1. Perkawinan tidak dapat dilaksanakan tanpa unsur suka rela dari

kedua pihak.

2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat

persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk

11
memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada

hukumnya.

3. Perjanjian perkawinan itu mengatur batas-batas mengenai hak dan

kewajiban masing-masing pihak.

Sebagai kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian diatas ialah

perkawinan adalah suatu aqad (perjanjian) antara seorang laki-laki

dengan seoang perempuan dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan

rohaninya sebagai manusia juga merupakan suatu anjuran dari agama

agar tersalur dengan jalan yang halal lagi suci sehingga membuahkan

ketentuan yang baik-baik disamping mendapat tempat yang

terpandang dalam masyarakat dengan berdasarkan kepada ketentuan

syara.

2. Tujuan Perkawinan

Mengenai tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan, kita masih berpegang pada rumusan

Pasal 1, yaitu pada kalimat kedua yang berbunyi:

“Dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Rumusan di atas tersebut mengandung harapan bahwa dengan

melangsungkan perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan, baik

materil maupun spiritual, kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah

kebahagiaan yang sifatnya sesaat saja, tetapi kebahagiaan yang kekal,

karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang

12
kekal, yang hanya dapat berakhir dengan kematian salah satu

pasangan tersebut. Dengan dasar pandangan ini maka pembuatan

Undang-Undang memberikan pembatasan yang ketat terhadap

pemutusan perkawinan selain dari kematian.

Setelah itu ada pula pendapat mengatakan bahwa tujuan

perkawinan dalam islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup

jasmani dan rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga

dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan hidup

di dunia ini, juga mencegah perzinahan agar terdapat ketenangan dan

ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan.

Masih dalam rumusan tujuan perkawinan itu, kita juga mendapat

pengertian bahwa untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga

yang Bahagia dan kekal itu haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang

Maha Esa. Pandangan ini sejalan dengan sikap religius dai bangsa

Indonesia yang mendapat realisasinya di dalam kehidupan beragama

dan bernegara.

Tujuan perkawinan tersebut, dapat dirinci sebagaimana yang

dikemukakan oleh M. Idris Ramulyo (1985:27) sebagai berikut:

1) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntunan hajat

tabiat kemanusiaan

2) Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta dan kasih sayang

3) Memperoleh keturunan yang sah.

13
Dari uraian di atas maka jika di telusuri secara mendalam dapat

diketahui bahwa tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh

keturunan dan memenuhi kebutuhan yang harus didasari cinta dan

kasih sayang guna mewujudkan kesejahteraan suami istri.

3. Sahnya Perkawinan

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, kalau perkawinan itu

dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan

maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalua tidak menurut aturan

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berarti tidak

sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut tata-tertib hukum

adat tidak sah menurut hukum adat.

a) Sah Menurut Perundangan

Sahnya perkawinan menururt perundangan diatur dalam pasal

2(1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, y ang menyatakan,

“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi

perkawinan yang sah menururt hukum perkawiann nasional

adalah perkawinan yang dilaksanakan menrut tata tertib aturan

hukum yang berlaku dalam agama islm.

Jafi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama,

adalah perkawinan yg dilaksanakan menurut tata tertib aturan

salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri,

14
bukan perkawinan yang dilaksankana oleh setiap agama yang

dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya.

b) Sah Menurut Hukum Agama

Sejak berlkunya Undnag-Undnag No 1 Tahun 1974 sahnya

perkawinan menurut hukum agama di Indonesia bersifat

menetukan. Apabila suatu perkawinan tidk dilakukan menurut

hukum agamanya masing-masing berarti prkawinan itu tidak sah.

Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di

tempat kediaman mempelai, di masjid ataupun di kantor agama,

dengan ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab adalah

ucapan “menikahkan” dari wali calon isteri dan Kabul adalah kata

“penerimaan” dari calon suami. Ucapn Ijab dan Kabul dari kedua

pihak harus terdengar di hadapan majelis dan jrlas didengar oleh

dua orng yang bertugas sebgai saksi akad nikh. Jadi sah ya

perkawinan mnurut hukum islam adalah diucapkannya ijab dari

wali perempuan dankabul dari calon suami pada saat yang sama

di dalam suatu majelis akad nikah yang disaksikan oleh dua orang

saksi yang sah6.

6
Hilman Hadikusuma, “Hukum perkawinan indonesia”, (Bandung: Mandar

Maju, 1990),

15
B. Batas Umur Perkawinan Menurut Undang-Undang No 16 Tahun

1974 Sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan

Seperti yang telah dikemukakan terlebih dahulu bahwa pasal 7 ayat

(1) Undang-Undang perkawinan jelas dinyatakan bahwa perkawinan

hanya diizinkan jika pihak pria berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan

pihak wanita berumur 16 (enam belas) tahun, dengan demikian akan

lebih jelas bahwa umur mempunyai peran dalam perkawinan. 7

Dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perkawinan

dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) diubah sehingga berbunyi

“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai

umur 19 (sembilan belas) tahun.” 8

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas terlihat bahwa Undang-

Undang No 16 Tahun 2019 sebgai perubahan atas Undang-Undang

No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip bahwa calon

suami isteri itu telah masak jiwa dan raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan secara baik dan sehat. Untuk itu harus

dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di

Pasal 7 ayat 1 Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan


7

Pasal 7 ayat 1 Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan


8

16
bawah umur.menurut Ali Akbar (1995:24) menyebutkan perlunya di

pertimbangkan empat hal sebelum perkawinan dilangsungkan yaitu :

1) Pertimbangan dari sudut biologis/seksuil

2) Pertimbangan dari sudut ekonomi

3) Pertimbangan dari sudut Pendidikan

4) Pertimbangan dari sudut masyarakat

Keempat pertimbangan di atas harus matang sebelum

melangsungkan perkawinan. Kemantapan diri dengan melihat

keempat sudut pertimbangan itu seluruhnya tidak terlepas dari faktor

usia.

Seorang yang masih dapat di anggap belum matang baik itu dari

segi biologis, seksuil, ekonomi, Pendidikan, dan masyarkat memnag

tidak terlepas dari faktor usia. Faktor usia yang masih muda biasanya

membuat seseorang belum berad dlam keadaan siap dan matangl

padahal semua ketidak matangan cenderung menjadi bibit kesuraman

masa depan sebelum perkawinan.

Penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan

sangatlah penting sekali, karena suatu perkawinan di samping

menghedaki kematangan biologis juga psikologis. Maka dalam

menjalankan umum Undang-Undang perkawinan dinyatakan bahwa

calon suami dan isteri harus telah masak jiwa dan raganya untuk

dapat melangsungkan perkawinannya agar supaya dapat

17
mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada percraian

dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Selain itu pembatasan umur ini penting pula artinya untuk

mengurangi perkawinan yang terlampau muda seperti banyak terjadi

di lingkungan kita yang mempunyai berbagai akibat yang negatif.

Apabila belum mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7

ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk

melangsungkan perkawinan diperlukan suatu dispensasi dari

pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

maupun pihak wanita.

C. Menikah Dibawah Umur (Dispensasi)

Sebelum dikemukakan pengertian perkawinan di bawah umur

terlebih dahulu penulis meninjau dari penegasan pada pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang

berbunyi:

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur

19(Sembilan belas) tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16

(enam belas) tahun.”

Pada Undang-Undang No 16 Tahun 2019 ketentuan pasal 7 ayat

(1) pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

diubah sehingga berbunyi:

18
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai

umur 19 (sembilan belas) tahun.” 9

Apabia terjadi mengenai penyimpangan Batasan umur dalam

pelaksanaan perkawinan yang telah ditentukan dalam pasal 7 ayat (1)

tersebut maka pasal 7 ayat (2) memberikan suatu kemudahan bagi

yang ingin melangsungkan perkawinan di bawah umur. Adapun bunyi

pasal 7 ayat (2), sebagai berikut:

“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dospensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

kedua orang tua pihak pria maupun pihak Wanita.”

Di dalam pasal 7 ayat (2) diatas, telah memberikan kesempatan

terlebih dahulu kepada masyarakat apabila ingin melangsungkan

perkawinan di bawah umur.

1. Faktor-faktor penyebab timbulnya dispensasi perkawinan yaitu:

a) Faktor perkawinan

Kurangnya Pendidikan bagi anak merupakan salah satu

faktor penyebab seorang anak melakukan perkawinan di usia

muda. Hal ini dapat dilihat apabila seorang anak putus sekolah

pada usia wajib sekolahnya dan memilih bekerja. Dengan

demikian anak tersebut merasa dirinya cukup mandiri yang

nantinya akan menimbulkan Hasrat untuk menikah. Sedangkan

9
Pasal 7 ayat 1 Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

19
anak yang putus sekolah kemudian tidak memiliki pekerjaan

dapat menimbulkan pemikiran hal-hal yang tidak produktif pada

anak tersebut, sehingga jika menjalin houngan dengan lawan

jenisnya di luar kendali maka dapat menyebabkan hamil di luar

nikah.

b) Faktor telah melakukan hubungan biologis

Salah satu faktor yang menyebabkan adanya dispensasi

kawin yaitu anak yang telah melakukan hubungan biologis

layaknya suami isteri tapi tidak menyebabkan kehamilan. Hal ini

jelas merupakan aib bagi keluarga si anak sehingga harus

segera dilangsungkan perkawinan.

c) Faktor kecelakaan/hamil diluar nikah

Hamil sebelum melangsungkan perkawinan merupakan

salah satu faktor penyebab dispensasi kawin. Faktor inilah yang

paling penting sering menjadi alas an untuk mengajukan

dispensasi. Faktor ini hamper sama dengan alasan di atas

hanya di sini anak tersebut terlanjur hamil sebelum

melangsungkan perkawinan sehingga orang tua salah satu

pihak tidak menyetujuinya. Karena keterpaksaan dan untuk

menutupi aibnya maka perkawinan harus dilangsungkan

meskipun anak-anak mereka belum mencapai batas umur

perkawinan menurut Undang-Undang No 16 Tahun 2019

tentang perkawinan.

20
Selain itu seorang anak gadis biasanya terpaksa melakukan

perkaiwnan lantaran sudah hamil bahkan hal itu tidak didasari

degan cinta. Dengan demikian, perceraian mudah saja terjadi

sebab ada unsur keterpaksaan dalam membentuk rumah

tangga. Hal ini tentunya sangatlah dilematis. Baik bagi anak

gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkannya.

d) Faktor pemahaman agama

Menurut ajara agama, seseorang tidak diizinkan untuk

bergaul dengan lawan jenisnya yang bukan mahramnya apabila

sampai menjalin hubungan yang dikenal dengan istilah

“pacaran”. Sehingga jika terjadi pelanggaran atas hal itu

sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan

segera mengawinkan anak-anak tersebut meski umur mereka

belum cukup. Bahkan Sebagian orang tua di masyarakat

memahami jika perbuatan si anak yang berkomunikasi lewat

telepon dengan anak-anak lawan jenisnya adalah termasuk

perbuatan “zina” maka orang tua harus mengawinkannya.

e) Faktor ekonomi

Salah satu penyebab dispensasi kawin yaitu faktor ekonomi.

Orang tua tergolong ekonomi lemah dan terlilit utang sehingga

anak menjadi korbannya. Seorang anak gadis yang belum

cukup umur dapat menjadi alat untuk membayar utang-utang

orang tuanya dengan cara melakukan perkawinan dengan si

21
pemberi utang ataupun kerabatnya. Adapun orang tua yang

merasa tidak sanggup lagi melindungi anaknya kemudian jika

anak tersebut telah ada yang melamar yang dapat

bertanggungjawab atas itu maka dispensasi perkawinan pun

dilakukan sebab si anak gadis belum cukup umur.

f) Faktor adat dan budaya

Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat

beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana si anak

gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya, dan akan

segera dilangsungkan perkawinan sesaat setelah anak tersebut

mengalami masa menstruasi.

2. Dampak negatif dan positif perkawinan di bawah umur

Dampak perkawinan usia muda masih terdapat pro dan kontra

dalam masyarakat. Sebagian masyarakat memandang perkawinan

di bawah umur lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.

Mereka berpendapat bahwa perkaiwnan di bawah umur akan

berakibat dan berdampak negatif antara lain:

a. Mengakibatkan tingginya pertumbuhan penduduk

disebabkan karena panjangnya masa kelahiran (reproduksi

bagi Wanita)

b. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan

mempersulit usaha peningkatan pemerataan kesejhteraan

22
rakyat, lapangan kerja, Pendidikan dan pelayanan

Kesehatan dari perumahan

c. Perkawinan di bawah umur mengakibatkan keburukan bagi

Kesehatan ibu dan anak, karena faktor gizi ibu kurang

terpenuhi.

d. Resiko kesakitan dan kematian ibu dan anak, pada ibu yang

melahirkan masih muda, dalam halmini WHO

memperkirakan, resiko kematian akibat kehamilan pada

remaja putri berusia 15-19 tahun dua kali lebih tinggi

dibandingkan perempuan berumur masa 20-24 tahun.

Bahkan pada remaja putri usia 10-14 tahun, lima kali lebih

tinggi di bandingkan pada usia 20 tahun. Komplikasi

kehamilan dan persalinan yang kemungkinan besar akan

dihadapi remaja antara lain pre eksplamsia, yaitu naiknya

tekanan darah yang melampaui batas normal dan diikuti

kejang-kejang. Resiko persalinan besar pada anak tidak

dapat diakomodasi oleh rongga panggul yang belum

berkembang sempurna. Persalinan dengan robeknya vagina

menembus hingga ke kandung kemih atau ke dubur,

komplikasi kerusakan otak janin, dan terberat adalah

kematian ibu dan anak.

e. Anak-anak yang dilahirkan dari remaja putri lebih rentang

untuk lahir premature memiliki berat badan lebih rendah,

23
mengalami gangguan pertumbuhan ataupun kecatatan.

Kematian bayi dan ibu juga sangat tinggi pada usia di bawah

umur 20 tahun.

f. Perkawinan di bawah umur sering berbuntut pada

perceraian.

Dampak positif dari perkawinan di bawah umur yaitu:

a. Mempercepat memiliki keturunan

Salah satu tujuan perkawinan adalah memiliki keturunan.

Dengan melakukan perkawinan di bawah umur

dimungkinkan untuk mempercepat mendapatkan keturunan.

Bagi seorang isteri, dalam rentang waktu 20-35 tahun akan

memiliki waktu subur yang lebih Panjang dibandingkan

dengan Wanita yang melakuakn perkawinan di atas usia 30

tahun.

b. Lebih banyak nilai ibadah

Dengan perkawinan dibawah umur akan lebih cepat

mendapatkan nilai-nilai ibadah dibandingkan dengan

menuanya. Karena dalam islam sebuah rumah tangga

memiliki lahan amal yang banyak. Bagi suami menghidupi

anak isteri, memberikan nafkah lahir batin misalnya adalah

perbuatan yang sangat mulia.

24
Begitu juga dengan isteri dalam menyediakan makanna bagi

suami, menyambut kedatangannya, mendidik anak-anak

mendapatkan pahala yang berlimpah.

c. Lebih cepat dewasa

Perkawinan di bawah umur akan mempervepat seseorang

mencapai kedewasaan. Hal ini didasarkan realitas sosial

yang menggambarkan bahwa dalam kehidupan sebuah

rumah tanga terdapat banyak halangan dan rintangan.

Halangan dan rintangan tersebut akan dihadapi Bersama

dan akan lebih cepat mendewasakan seseorang.

D. Perceraian

Pengertian perceraian atau putusan perkawinan menurut Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah : berakhirnya

perkawinan yang telah di bina oleh pasangan suami isteri, disebabkan

oleh beberapa hal yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama.

Pengertian ini tercantum dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974

tentang perkawinan Pasal 39 ayat 1 yang berbunyi:

“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” 10

10
Kamal Muctar, Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang Pekawinan

dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Hal. 97.

25
Perceraian merupakan kulminasi dari penyelesaian perkawinan

yang buruk dan terjadi apabila antara suami istri sudah tidak mampu

lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan

kedua belah pihak. Banyak perkawinan yang tidak membuahkan

kebahagiaan tetapi tidak di akhiri oleh perceraian karena perkawinan

tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi

dan alas an lainnya. Tetapi banyak juga perkawinan yang diakhiri

dengan perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun

dengan diam-diam dan ada juga yang salah satu (isteri/suami)

meninggalkan keluarga.

Perceraian dalam istilah hukum islam disebut dengan “Thalaq atau

Furqah”. Thalaq berarti membuka ikatan, membatalkan perjanjian,

sedangkan Furqah berarti bercerai, kemudian itu oleh ahli hukum

islam dijadikan istilah yang berarti perceraian antara suami isteri.

Menurut Subekti (1982 : 247) mengatakan bahwa :

“Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan

putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan

itu.”

Lain halnya yang dikemukakan oleh Lili Rasjidi bahwa :

“Perceraian yaitu putusan perkawinan yang disebabkan oleh

satu hal tertentu dan sebagai akibat putusnya perkawinan tersebut,

maka suami istri yang bersangkutan telah berpisah tempat tidur.” 11


11
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rajidi, Pengantar Filsafat Hukum, :Bandung :

Mandar Maju, 2002), Hal. 57

26
Bertolak dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa perceraian pada hakikatnya merupakan suatu

proses dimana hubungan suami istri tatkala tidak ditemui lagi

keharmonisan dalam perkawinan. Mengenai definisi pereraian,

Undang-Undang perkawinan tidak mengatur secara tegas melainkan

hanya menentukan bahwa perceraian hanyalah satu sebab dari

putusnya perkawinan, disamping sebab lain yakni kematian dan

putusan pengadilan.

Adapun alasan dan merupakan penyebab terjadinya perceraian

menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 sebagai

penjelasan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

disebutkan:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2(dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah

atau karena hal lain diluar kemampuannya

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri

27
6) Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga. Ditambah dengan pasal 116 huruf g dan h

Kompilasi hukum islam yaitu:

7) Suami melanggar Taklik-talak

8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

rumah tangganya ketidak rukunan dalam rumah tangga

Adapun sebab dan alasan tersebut diatas sebagai pedoman dalam

perceraian, tetapi tidaklah berarti bahwa setiap terjadinya salah satu

hal itu berarti talak atau perceraian sudah harus dilangsungkan. 12

12
Syaifuddin, Hukum perceraian, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013), Hal.

28
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian hukum empiris (penelitian hukum non doctrinal), yaitu suatu

metode peneitian hukum yang memfokuskan perhatian pada realitas

hukum dalam masyarakat, atau berfungsi untuk melihat hukum dalam

artian nyata dan meneliti bagaimana hukum di lingkungan masyarakat

(law in action). Dalam penelitian hukum ini, data yang diambil berasal

dari fakta-fakta yang ada dalam suatu masyarakat dan badan hukum.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana melakukan pengamatan

untuk menemukan suatu pengetahuan. Penelitian ini dilakukan di kota

Makassar, yaitu Pengadilan Agama kota Makassar. Hal itu dikarenakan

kasus yang berkaitan dengan judul proposal telah ditangani di instansi

tersebut, sehingga memudahkan pengumpulan data.

C. Jenis dan Sumber Data

1) Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari sumber utama

yaitu data yang diperoleh secara langsung dilapangan yakni dari

hakim dan panitera pada Pengadilan Agama Makassar.

2) Data Sekunder

29
Data Sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui dokumen-

dokumen atau data tertulis pada Pengadilan Agama Makassar seperti

data permohonan dispensasi kawin dari tahun 2017-2018 dan 2020-

2021. Di samping itu penelitian ini memfokuskan perhatian pada

sumber utama yaitu Undang-Undang No. 16 tahun 2019 sebagai

perubahan atas Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

D. Teknik Pengumpulan Data

1) Wawancara

Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dengan cara

mengajukan beberapa pertanyaan kepada hakim yang terkait

langsung dengan masalah yang dibahas.

2) Dokumentasi

Data yang diperoleh dari hasil dokumentasi yaitu dengan membuat

salinan atau mengadakan arsip-arsip dan catatan-catatan yang ada

mengenai dispensasi kawin dan pertimbangan hukum hakim dalam

dispensasi kawin.

E. Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuantitatif deskriptif, adapun yang dimaksud dengan analisa kuantitatif

deskriptif ialah suatu riset kuantitatif yang bentuk deskripsinya dengan

angka atau numerik (statistik). Maksudnya ialah penelitian tersebut

berkaitan dengan penjabaran angka-angka statistik.

30
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Sejarah Pengadilan Agama Makassar

A. Sebelum PP. No. 45 Tahun 1957

Sejarah keberadaan Pengadilan Agama Makassar tidak

diawali dengan Peraturan Pemerintah (PP. No. 45 Tahun

1957), akan tetapi sejak zaman dahulu, sejak zaman kerajaan

atau sejak zaman Penjajahan Belanda, namun pada waktu itu

bukanlah seperti sekarang ini adanya. Dahulu kewenangan

seorang raja untuk mengangkat seorang pengadil disebut

sebagai Hakim, akan tetapi setelah masuknya Syariat Islam,

maka raja kembali mengangkat seorang Qadhi.

Kewenangan hakim diminimalisir dan diserahkan kepada

Qadhi atau hal-hal yang menyangkut perkara syariah agama

Islam. Wewenang Qadhi Ketika itu termasuk Cakkara atau

pembagian harta gono-gini karena cakkara berkaitan dengan

perkara nikah.

Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Makassar terbentuk

pada tahun 1960, yang meliputi wilayah Maros, Takalar dan

Gowa, karena pada waktu itu belum ada dan belum dibentuk di

ketiga daerah tersebut, jadi masih disatukan dengan wilayah

Makassar.

31
Sebelum terbentuknya Mahkamah Syariah yang kemudian

berkembang menjadi Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah,

maka dahulu yang mengerjakan kewenangan Pengadilan

Agama adalah Qadhi yang pada saat itu berkantor dirumah

tinggalnya sendiri. Pada nasa itu ada dua kerajaan yang

berkuasa di Makassar adalah kerajaan Gowa dan kerajaan

Tallo dan dahulu Qadhi diberi gelar Daengta Syeh kemudian

gelar itu berganti menjadi Daengta Kalia.

B. Sesudah PP. No. 45 Tahun 1957

Setelah keluarnya PP. No. 45 Tahun 1957, maka pada tahun

1960 terbentuklah Pengadilan Agama Makassar yang waktu itu

disebut “Pengadilan Mahkamah Syariah” adapun wilayah

yurisdiksinya dan keadaan gedungnya seperti diuraikan pada

penjelasan tersebut:

Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah

kota Makassar mempunyai batas-batas seperti berikut:

- Sebelah Barat berbatasan dengan selat Makassar

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Maros

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa

Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah

Makassar dahulu hanya terdiri dari 9 (Sembilan) kecamatan

selanjutnya berkembang menjadi 14 (empat belas) kecamatan

32
dan selanjutnya berkembang lagi menjadi 15 (lima belas)

kecamatan.

2. Letak Geografis

Pengadilan Agama Makassar terletak di jalan Perintis

Kemerdekaan No.Km, Daya, kecamatan Biringkanaya, kota

Makassar, provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis kota

Makassar terletak di pesisir pantai barat bagian selatan Sulawesi

selatan, pada koordinat antara 119° 18' 27,97” sampai 119° 32

´31,03” bujur timur dan 5° 30´18” - 5° 14' 49” lintang selatan.

3. Kewenangan Pengadilan Agama Makassar

Pengadilan Agama Makassar memiliki kewenangan relatif yaitu

memeriksa perkara diseluruh wilayah kota Makassar serta

kewenangan absolut adalah kewenangan mutlak untuk memeriksa

perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh

badan pengadilan yang lain yaitu menyelesaikan perkara-perkara

di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama Islam di

bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah, dan ekonomi syariah. Dari beberapa tugas dan

wewenang pengadilan agama tersebut, yang menjadi objek kajian

adalah di bidang perkawinan, khususnya pemberian dispensasi

perkawinan di Pengadilan Agama Makassar.

4. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Makassar

33
Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Pengadilan Agama

Makassar memiliki Visi dan Misi sebagai berikut:

a. Visi

“Terwujudnya Pengadilan Agama Makassar yang bersih,

berwibawa, dan profesional dalam penegakan hukum dan

keadilan menuju supremasi hukum.”

b. Misi

1) Mewujudkan Pengadilan Agama yang transparan dalam

proses peradilan.

2) Meningkatkan efektivitas pembinaan dan pengawasan.

3) Mewujudkan tertib administrasi dan manajemen

peradilan.

4) Meningkatkan sarana dan prasarana hukum.

5. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Makassar

Pengadilan Agama Makassar melaksanakan tugasnya

sesuai dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara

orang-orang yang beragama islam di bidang:

1) Perkawinan

2) Waris

3) Wasiat

34
4) Hibah

5) Wakaf

6) Zakat

7) Infaq

8) Shadaqah

9) Ekonomi Syari’ah

Dalam pelaksanaan tugas-tugas pokok, Pengadilan Agama

Makassar mempunyai fungsi sebagai berikut:

a) Fungsi mengadili (judicial power)

Menerima, memeriksa, mengadili dan meyelesaikan perkara-

perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam

tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006).

b) Fungsi pembinaan

Memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada

pejabat struktural dan fungsional dibawah jajarannya, baik

menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun

administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian,

dan pembangunan. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undnag-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VII/2006).

c) Fungsi pengawasan

Mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas

dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera

35
Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah

jajarannya agar peradilan diselenggarakn dengan seksama

dan sewajarnya (vide : Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan

administrasi umum kesektariatan serta pembangunan. (vide :

KMA Nomor : KMA/080/VIII/2006).

d) Fungsi nasehat

Memberikan pertimbangan dan nasehat hukum islam kepada

instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.

(vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006).

e) Fungsi administratif

Menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan

persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,

keuangan, dan umum/perlengkapan). (vide : KMA Nomor :

KMA/080/VIII/2006)13.

B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Dispensasi Kawin Di

Pengadilan Agama Makassar

Dispensasi kawin sama dengan permohonan kepada hakim di

kantor Pengadilan Agama untuk melakukan perkawinan terhadap

pasangan yang berada di bawah umur. Dispensasi kawin adalah

keringanan akan sesuatu (batas umur) di dalam melakukan ikatan


13
Pasal 49 Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

36
antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagaimana pembahasan diatas, bahwa jika hendak menikahkan

anak di bawah umur, maka harus diajukan permohonan ke

Pengadilan Agama. Disinilah peran hakim sebagai penentu. Jika

mengijinkan, maka akan terjadi pernikahan. Sebaliknya, jika hakim

menilai pernikahkan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Hal ini

disebabkan beberapa hal, diantaranya.

1. Adanya pertimbangan yuridis (kepastian hukum)

Pertimbangan yuridis artinya pertimbangan hakim yang didsarkan

pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh

undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di

dalam putusan.

2. Adanya pertimbangan sosiologis (kemanfaatan)

Pertimbangan sosiologis ialah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada lingkungan si pemohon apabila dalam

lingkungannya dilihat sudah aqil baligh dan dilihat mampu

menjalankan rumah tangga makai a diberikan dispensasi kawin

oleh hakim dari keterangan saksi.

3. Adanya pertimbangan filosofis (keadilan)

37
Pertimbangan filosofis artinya memberikan rasa keadilan yang

seadil-adilnya dalam memutus atau menagmbil putusan agar

terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.

(buku dari pak syahruddin nawi)

C. Tingkat Perkawinan Di bawah Umur di Pengadilan Agama kota

Makassar

Berikut ini hasil penelitian mengenai tingkat perkawinan pada kasus

perkawinan di bawah umur berdasarkan data dari dispensasi

perkawinan di Pengadilan Agama kota Makassar dapat dilihat pada

tabel sebagai berikut:

Tabel 1
Rekapan perkara putus dispensasi kawin pada pengadilan
agama kota Makassar pada tahun 2017 sampai dengan tahun
2018 pada saat UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan
diberlakukan.
Bulan 2017 2018
Januari 3 7
Februari 2 11
Maret 3 6
April 6 10
Mei 8 7
Juni 2 3
Juli 7 2
Agustus 3 11
September 8 8
Oktober 9 8
November 10 4
Desember 9 5
Jumlah Putusan 70 82
Sumber data: Pengadilan Agama Makassar, 2022

Dari hasil data dispensasi perkawinan yang penulis dapatkan di

Pengadilan Agama kota Makassar, data tersebut menunjukan bahwa

38
angka perkawinan di bawah umur di kota Makassar mengalami

peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan tersebut dapat

dilihat berdasarkan data dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama

kota Makassar yang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya.

Dapat dilihat dispensasi perkawinan dalam satu tahun terakhir yaitu

pada tahun 2017 terdapat 70 Pasangan yang mengajukan dispensasi

perkawinan, sampai dengan tahun 2018 sampai dengan bulan

Desember terdapat 82 pasangan yang mengajukan dispensasi

perkawinan.

Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat

perkawinan di bawah umur di kota Makassar mengalami peningkatan

pada tahun 2017 hingga tahun 2018. Namun hal sebaliknya terjadi

setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang perkawinan yang mengatur batas usia minimal perkawinan

yaitu 19 (sembilan belas) tahun baik untuk laki-laki maupun

perempuan. Hal ini juga menunjukan bahwa ketentuan batas usia

minimal perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang No 16

Tahun 2019 tentang perkawinan tersebut masih belum berjalan

dengan baik dan belum memberikan dampak yang signifikan guna

menekan angka perkawinan di bawah umur di kota Makassar.

39
Tabel 2.
Rekapan perkara putus dispensasi kawin pada pengadilan
agama kota Makassar pada tahun 2020 sampai dengan tahun
2021 pada saat UU No 16 tahun 2019 tentang perkawinan
diberlakukan.
Bulan 2020 2021
Januari 5 3
Februari 6 4
Maret 10 6
April 5 5
Mei - 3
Juni 5 3
Juli 6 6
Agustus 8 4
September 1 5
Oktober 3 3
November 4 1
Desember 4 1
Jumlah putusan 57 44
Sumber data: Pengadilan Agama Makassar, 2022

Berdasarkan sumber yang penulis dapatkan dari Pengadilan

Agama kota Makassar tingkat perkawinan di bawah umur di kota

Makassar masih terbilang cukup tinggi. Meskipun persentasenya turun

sebanyak 50% dibandingkan dengan tahun 2018 saat Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan masih berlaku. Bahkan

penurunan tersebut tidak begitu signifikan setelah diberlakukannya

ketentuan batas usia perkawinan yang baru yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa ketentuan batas usia

minimal perkawinan dalam Undang-Undang yang baru masih belum

40
sesuai harapan dan tidak memberikan dampak yang signifikan guna

menekan angka perkawinan di bawah umur di Indonesia khususnya di

kota Makassar yang kasus perkawinan di bawah umurnya masih

terbilang cukup tingi. Artinya bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2019 tentang perkawinan yang mengatur batas minimal usia

Perkawinan masih belum efektif dan masih belum bisa berjalan

dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah guna

menekan angka perkawinan di bawah umur. Sehingga diperlukan

evaluasi lebih lanjut terkait sosialisasi Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 tentang perkawinan di masyarakat.

D. Faktor penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur di kota

Makassar

Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan

di bawah umur. Setiap daerah memiliki faktor yang berbeda dengan

daerah lainnya sesuai dengan kondisi sosial budaya atau kebiasaan

yang ada didaerah tersebut. Menurut Komisioner Komisi Perlindungan

Perempuan dan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, wilayah

perdesaan memiliki potensi lebih besar atas pernikahan di bawah

umur daripada wilayah perkotaan. Dia menyebutkan, hal itu

dikarenakan ada beberapa faktor penyebab terjadinya pernikahan di

bawah umur. Pertama adalah faktor ekonomi, yaitu yang

bersangkutan tidak memungkinkan melanjutkan sekolah dan daripada

lontang-lantung, menikah menjadi salah satu pilihan yang diambil.

41
Kedua adalah karena salah satu pihak sudah memiliki pekerjaan.

Meski belum cukup umur, dia dianggap sudah mampu menghidupi

keluarga. Faktor ketiga adalah tidak adanya visi untuk melanjutkan ke

jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan keempat yang merupakan

salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor lingkungan

dan budaya setempat.Banyak daerah yang memiliki budaya menikah

di bawah umur. Maka tak jarang masih banyak ditemukan pengajuan

pernikahan di bawah umur14

Dari sumber data yang penulis dapatkan yaitu dari Pengadilan

Agama kota Makassar dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab

terjadinya perkawinan di bawah umur, melalui wawancara kepada

bapak Drs. Muhammad Yunus (Hakim di Pengadilan Agama kota

Makassar) yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Apa saja alasan yang digunakan pemohon untuk mengajukan

permohonan dispensasi kawin?

Jawab: Salah satu alasannya adalah mereka sudah saling kenal

mengenal, sudah susah untuk dipisahkan, apalagi dia sudah

berhubungan badan (intim) terlebih kalau dia sudah hamil, tidak

harus memperoleh surat keterangan hasil pemeriksaan

kesehatannya bahwa memang sudah hamil dan memang sudah

dalam keadaan terpaksa tidak bisa tidak, itu dalam keadaan seperti
14
KPAI, “Pernikahan di bawah umur didominasi wilayah pedesaan
(https://www.kpai.go.id/berita/kpai-pernikahan-di-bawah-umur-
didominasiwilayah perdesaan, diakses pada tanggal 17 juni 2020 pukul
11.37)

42
itu dan hal-hal lain yang bisa membuktikan bahwa memang dalam

keadaan terpaksa harus kawin dibawah peraturan perUndang-

Undangan yang berlaku yaitu di bawah 19 tahun, itu diperiksa

disampaikan, mengenai dampak sosialnya dampak Pendidikan,

dampak ekonomi, dampak Kesehatan anak itu perlu

dipertimbangkan.

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi dispensasi kawin?

Jawab: faktor pergaulan yang sangat terbuka sekali, kemudian

sosial media, masih kurang pembinaan orang tua kepada anak

tentang Pendidikan, agama, tentang Kesehatan anak yang

menikah atau yg berhubungan badan dibawah umur, terlebih yang

belum menikah ini yang perlu orang tua, pemuka agama,

pemerintah, harus turun tangan lebih awal dan lebih cepat untuk

memberikan pembinaan kepada anak-anak yg di bawah umur 19

tahun.

3. Pertimbangan hukum apakah yang digunakan majelis hakim di

Pengadilan Agama dalam menetapkan dispensasi kawin?

Jawab: Pertimbangannya yaitu mengacu kepada peraturan

perUndang-Undangan, kriteria yg bagaimana, terutama dalam

keadaan bahwa itu sudah dalam kategori darurat terpaksa

kemudian tentu mempertimbangkan juga bagaimana kondisi

Kesehatan calon suami, calon istri, kesehatannya, kesiapan

mentalnya, semuanya harus dipertimbangkan dan orang tua harus

43
menasehati anaknya karena mereka bertanggung jawab belum

bisa lepas tanggung jawabnya terhadap anaknya yang belum

menikah. Karena anaknya belum cukup umur untuk menikah.

Dari sumber data yang penulis dapatkan yaitu dari Pengadilan

kota Makassar dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab

terjadinya perkawinan di bawah umur, melalui wawancara yang

penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Faktor Pendidikan

Disamping perekonomian yang kurang, Pendidikan orang tua

yang rendah akan membuat pola pikir yang sempit, sehingga

akan mempengaruhi orang tua untuk segera menikahkan anak

perempuannya. Salah satu faktor inilah yang ikut

melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan di bawah umur.

Pendidikan sangat penting dari segi apapun karena dengan

Pendidikan dapat merubah pola pikir dan pandangan dari yang

tidak baik menjadi lebih baik, dari yang tidak rasional menjadi

rasional dan realistis, tetapi ini merupakan sebuah harapan

ideal tanpa oleh dibawah umur, Pendidikan hanyalah sebatas

menggugurkan kewajiban atau sebagai penghambat dalam

melakukan berbagai kewajiban. Misalnya seorang anak yang

dianggap telah dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan

materinya lebih baik menikah atau bekerja daripada belajar.

Padahal seharusnya Pendidikan itu adalah suatu yang dapat

44
membantu masyarakat dalam mempersiapkan masa depannya

masing-masing.

2. Faktor Kemauan Sendiri

Selain faktor pergaulan bebas, perkawinan dibawah umur di

kota Makassar disebabkan adanya kemauan sendiri dari

pasangan. Hal ini disebabkan karena keduanya sudah merasa

saling mencintai maka ada keinginan untuk segera menikah

tanpa memandang umur dan adanya pengetahuan anak yang

diperoleh dari film atau media-media yang lain, sehingga bagi

mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih

terpengaruh untuk melakukan perkawinan di bawah umur.

Mereka melangsungkan perkawinan dibawah umur bukan

kehendak orang tua ataupun faktor ekonomi yang kurang

mencukupi, melainkan karena kemauannya sendiri. Dalam

kondisi yang sudah memiliki pasangan dan pasangannya

berkeinginan yang sama, yaitu menikah dibawah umur tanpa

memikirkan apa masalah yang dihadapi kedepan jikalau

menikah di usia yang masih muda hanya karena berlandaskan

sudah saling mencintai, maka mereka pun melangsungkan

pernikahannya pada usianya yang masih muda.

Dalam hal ini perlunya diberikan pemahaman terhadap

mereka anak-anak muda mengenai perkawinan, karena untuk

45
membangun satu rumah tangga tidak semudah yang mereka

pikirkan, oleh sebab itu peran orang tua sangat berpengaruh

atas perkembangan anak dan memberikan pemahaman-

pemahaman yang baik terutama tentang perkawinan.

3. Faktor Hamil di luar nikah

Faktor hamil diluar nikah atau yang dikenal dengan sebutan

accident married adalah salah satu faktor yang umum terjadi di

daerah lainnya, bukan hanya terjadi di kota Makassar saja.

Dalam hal ini pasangan sudah melakukan hubungan suami

isteri sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah baik secara

agama maupun hukum negara. Hal tersebut disebabkan karena

berbagai hal seperti pergaulan bebas, rendahnya pendidikan

agama, kurangnya pengawasan dari orang tua, serta krisis

moral yang terjadi dikalangan remaja. Sehingga karena hal

tersebut orang tua terpaksa menikahkan anaknya meski belum

memiliki cukup umur hal itu dilakukan supaya orang yang telah

menghamili anaknya bertanggung jawab dan untuk menghindari

madharat yang lebih besar.

4. Faktor Ekonomi

Di kota Makassar, kondisi ekonomi setiap keluarganya antara

satu keluarga dengan keluarga yang lainnya berbeda. Tidak

semua keluarga bisa memenuhi semua keperluan sehari-hrinya

karena penghasilan yang mereka peroleh belum bisa memadai

46
untuk digunakan keperluan sehari-hari. Masyarakat di kota

Makassar mempunyai mata pencaharian yang beranekaragam.

Diantara mereka ada yang memiliki pekerjaan tetap juga

pekerjaan tidak tetap. Oleh karena itu untuk penghasilan yang

mereka peroleh setiap harinya tidak menentu. Bagi orang-orang

yang pekerjaannya tidak tetap mereka dalam menghidupi

keluarganya tidaklah mudah. Lain halnya dengan orang yang

telah memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang tetap,

maka segala kebutuhan sehari-hari nya akan terpenuhi.

47
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian/pembahasan diatas, maka penulis dapat

menarik kesimpulan mengenai Analisis Hukum Tentang Perkawinan

Dibawah Umur Dalam Kaitannya Dengan Angka Perceraian Menurut

UU No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas UU No 1 Tahun

1974 tentang perkawinan di pengadilan agama kota makassar

sebagai berikut:

1. Perubahan Batasan minimal usia menurut Undang-Undang No.

16 Tahun 2019 berpengaruh mengenai Batasan usia minimal

adalah berpengaruh disebabkan pada Pengadilan Agama Kelas

I A Makassar mengalami penurunan atas permohonan

dispensasi perkawinan di bawah umur, hal ini dilatarbelakangi

karena adanya kesadaran hukum dari masyarakat.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya permohonan

dispensasi kawin dari masyarakat adalah faktor lingkungan

sosial, faktor budaya, faktor pendidikan dan faktor ekonomi

mempengaruhi hal ini disebabkan dengan kondisi ekonomi saat

ini semakin hari kebutuhan akan kehidupan semakin meningkat

sehingga banyak orang tua mengajukan permohonan

dispensasi perkawinan.

48
B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas sesuai dengan adanya dispensasi

yang berkaitan dengan perkawinan dibawah umur, maka penulis

dapat memberikan saran sebagaimana berikut:

1. Untuk masyarakat karena banyak nya permohonan dispensasi

perkawinan yang dilatar belakangi karena lingkunagn sosial

salah satunya karena pergaulan maka dari itu perlu diberikan

pemahaman agama sejak dini untuk meminimalisir terjadinya

hal-hal yang kurang baik.

2. Melihat dari beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam

memberikan dispensasi kawin hal ini sekaligus menjadi dasar

pemohon untuk mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan

Agama, olehnya itu hendaknya orang tua lebih memperhatikan

anaknya dalam hal pergaulan agar tidak terjadi hal-hal yang

menyimpang. Orang tua juga wajib memberi pendidikan Agama

kepada anaknya tentang bagaimana sebenarnya dampak dari

perkawinan di bawah umur.

3. Dalam hal dispensasi kawin sebaiknya Hakim memperketat

persyaratan dalam mengajukan permohonan izin dispensasi

kawin dibawah umur. Hal ini bertujuan untuk menekan jumlah

kasus perkawinan di bawah umur yang sedang marak terjadi.

49
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghojali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana


Prenadamedia Group, 2003), Hal.7
Al-Qur'an dan terjemahannya. 2008. Departemen Agama RI. Bandung:
Diponegoro

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:


Prenada Media, 2006 ), Hal. 35
Fauziatu Shufiyah, “Pernikahan Dini Menurut Hadits dan Dampaknya”,
Jurnal Living Hadits, Volume 3, No. 1, 2018, Hal. 49
Hilman Hadikusuma, “Hukum perkawinan indonesia”, (Bandung: Mandar
Maju, 1990),
Kamal Muctar, Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang Pekawinan
dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Hal. 97.
KPAI, “Pernikahan di bawah umur didominasi wilayah pedesaan
(https://www.kpai.go.id/berita/kpai-pernikahan-di-bawah-umur-
didominasiwilayah perdesaan, diakses pada tanggal 17 juni 2020
pukul 11.37)
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rajidi, Pengantar Filsafat Hukum, :Bandung :
Mandar Maju, 2002), Hal. 57
Undang-Undang Republik Indonesia. Pasal 7 ayat 1 Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia. Pasal 7 ayat 1 Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia. Pasal 49 Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
Tentang Peradilan Agama
Syaifuddin, Hukum perceraian, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013).

50

Anda mungkin juga menyukai