Anda di halaman 1dari 3

Faktor-faktor korban KDRT memilih menerima

kembali dan memaafkan pelaku KDRT.

Kekerasan dalam rumah tangga semakin hari semakin marak terjadi dan semakin menjadi
topik yang hangat dibicarakan oleh banyak orang. Kejadian ini bisa menjadi masalah besar
dalam kehidupan berkeluarga yang membawa dampak buruk bagi siapapun yang
mengalaminya.
Namun, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hal ini, kita perlu mengetahui
terlebih dahulu mengenai pengertian dari kekerasan dalam rumah tangga atau yang kerap
disebut sebagai KDRT.

Apa itu KDRT?


Menurut Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, kekerasan
rumah tangga adalah setiap perbuatan seseorang yang berakibatkan pada timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan psikologis. Kekerasan dalam
rumah tangga juga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan yang melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
KDRT dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

 Kekerasan fisik
 Kekerasan psikis
 Kekerasan seksual
 Pemelantaran
Dampak yang ditimbulkan akibat KDRT yang diberikan pelaku kepada korban sangatlah
buruk. Walaupun KDRT memiliki banyak jenis, namun dampak yang ditimbulkan sama, yaitu
sama – sama menyiksa dan menyakitkan. Korban bisa mengalami sakit fisik, tekanan mental,
hilangnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami stress dan depresi, dan bahkan
keinginan untuk bunuh diri.

Lalu mengapa masih banyak korban KDRT yang tidak berbuat apapun dan hanya berdiam
diri saja?

Urusan suami istri memang menjadi urusan pribadi sebuah rumah tangga. Namun, adanya
kekerasan di dalamnya bisa menjadi pelanggaran hukum yang memungkinkan diberinya
hukuman atau sanksi untuk pelaku.
Sayangnya, tidak sedikit korban KDRT yang enggan melapor ke pihak berwajib. Daripada
meminta bantuan, beberapa korban justru memilih bertahan, memaafkan pelaku, bahkan
sampai mau melanjutkan hidup dengan situasi yang sama.
Ada banyak faktor mengapa korban KDRT lebih memilih untuk bertahan dan memaafkan
pelaku, beberapa di antaranya adalah :
1. Takut.
Korban KDRT banyak yang memilih tetap bersama karena ketakutan akan dampak
yang lebih besar di kemudian hari. Banyak korban KDRT yang mendapakan ancaman
yang menyebabkan mereka berpikir dua kali ketika mereka ingin meninggalkan
pasangannya.

2. Memiliki anak.
Ini adalah penyebab paling umun korban KDRT tidak mau meninggalkan
pasangannya. Menjadi orangtua tunggal bukanlah hal yang mudah. Tanggung jawab
yang besar dalam merawat dan membesarkan anak sendirian tanpa adanya bantuan
sangatlah berat. Belum lagi, banyak pelaku KDRT yang mengancam akan mengambil
atau mengalihkan hak asuh anak jika korban berniat untuk berpisah. Tentunya
banyak dari mereka yang tidak ingin hal ini terjadi.

3. Faktor finansial.
Masalah finansial atau keuangan menjadi penyebab mengapa banyak korban KDRT
tidak mau berpisah dengan pasangannya. Kekurangan uang dapat membuat situasi
akan mejadi lebih sulit, terutama jika memiliki seorang anak. Membeli keperluan
untuk hidup, belum lagi membeli keperluan untuk sang anak, hal itu sangatlah berat
bagi seorang ibu rumah tangga terutama yang tidak memiliki pekerjaan.

Selain itu, dikutip dari laman Florida State University, tanpa uang, korban KDRT
mungkin akan sulit untuk melarikan diri, karena akomodasi juga membutuhkan dana
tidak sedikit.

4. Merasa bersalah.
Sering kali, korban KDRT menganggap bahwa pelaku sedang sakit dan membutuhkan
pertolongan. Ide untuk pergi meninggalkan pasangannya mungkin dapat
menimbulkan rasa bersalah. Dan tak jarang, korban merasa bahwa meraka
bertanggung jawab untuk membantu pasangannya sembuh dan berubah.

5. Menurunnya harga diri dan kepercayaan diri.


Banyak pelaku KDRT telah berhasil menghancurkan harga diri dan kepercayaan diri
korban KDRT. Akibatnya, korban semakin lama semakin percaya bahwa ia pantas
menerima pelecehan atau tindak kekerasan tersebut dan membuat korban merasa
minder atau tidak pantas untuk mendapatkan pasangan yang kebih baik. Hal
tersebut mendorong korban KDRT untuk tetap diam dan bertahan dengan
pasangannya meski harus menerima kekerasan dalam rumah tangga setiap hari
dalam hidupnya.

6. Masih cinta.
Ungkapan ‘cinta itu buta’ pasti sering kita dengar dari ucapan orang lain. Ungkapan
itu tak sepenuhnya salah jika dilihat dari kasus ini. Beberapa korban KDRT memilih
untuk diam dan bertahan serta memaafkan pelaku karena mereka masih mencintai
pasangannya dan sulit untuk menghilangkan perasaan tersebut. Sebagian besar
korban KDRT memang menginginkan kekerasan yang mereka rasakan berakhir, tapi
banyak korban tidak mau untuk meninggalkan pasangannya karena faktor
emosional. Selain itu, tak sedikit juga korban KDRT berpikir bahwa pasangannya pasti
akan berubah suatu hari nanti, yang perlu mereka lakukan hanyalah menunggu. Oleh
karena itu mereka tidak ingin berpisah dengan pasangannya.

Jika demikian, apa yang harus kita lakukan?


Hal terbaik yang dapat dilakukan untuk membantu korban KDRT adalah dengan
mendengarkan mereka. Mungkin pelaku mencoba mengisolasi dan membuat korban
merasa sendirian. Menjadi seorang pendengar yang reseptif dapat membuat korban
menganalisis keadaannya dan membuat strategi untuk keluar dari kondisi tersebut.
Selain mendengarkan dan memahami keadaan yang terjadi pada korban, kita bisa
menawarkan bantuan kepada korban. Yakni memberikan dorongan kepada korban untuk
bergaul dengan orang terdekat lainnya. Hal ini dapat membuat korban merasa ia memiliki
dukungan tanpa bergantung kepada pelaku.
Namun, jika korban menolak untuk bercerita kepada keluarga terdekat karena tak jarang
korban merasa takut dan khawatir akan dampak yang lebih luas, kita bisa mengadukannya
ke pihak berwenang seperti Komnas Perempuan atau Lembaga Hukum untuk mendapat
tindakan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai