Anda di halaman 1dari 2

WINONA, SAHABAT TERBAIKKU.

Hidupku hampir sempurna. Mempunyai keluarga yang harmonis, hidup sederhana dan
memiliki seorang teman yang selalu ada di sisiku. Winona, teman terbaik yang ku punya.
Bertubuh cukup tinggi, rambut ikal dan lesung pipi membuat dirinya terlihat berbeda di antara
kerumunan orang-orang. Bukan karena ia terlihat aneh, ciri khasnya membuat ia menarik dan
aku tentu saja menyukainya. Winona sangatlah baik dan sopan. Ia selalu mengajakku pergi ke
sekolah bersama dengan sepedanya bahkan kita saling bertukar cerita sembari menunggu
angkutan umum jika sepeda yang kami punya sedang rusak. Ia juga sangat suka berbincang
dengan mamaku. Ia selalu bersikap sopan baik di rumah maupun di sekolah.
Namaku Mawar, siswi sekolah menengah atas bersama Winona. Hidup di pedesaan yang
asri membuat daerah kami terlihat sangat subur. Berlomba untuk menaiki angkutan umum pagi
buta menghindari terlambat pergi ke sekolah. Hidup di desa dengan akses jalanan yang tidak
layak membuat kami kesulitan menuju sekolah. Tetapi perkataan Winona selalu membuatku
semangat pergi ke sekolah, ia pernah berkata “Jalan untuk kita menimba ilmu hanya satu, niat.
Percaya padaku, berkat niat dan tekad mu di masa depan semua akan terbayar setiap tetes
keringat yang pernah kamu perjuangkan.”
Tempat favorit kami adalah saung milik pak Damar di pinggir sawah. Kami biasanya
bercerita tentang sekolah, bermain bersama, menyelesaikan pekerjaan rumah dan juga
memikirkan langkah apa yang selanjutnya kami pijak. Mengingat kelulusan satu tahun lagi, kami
di buat cemas oleh masa depan. Aku bahkan masih berperang dengan pikiranku tentang realita
dan ekspektasi di masa yang akan datang.
“Aku sepertinya akan pergi ke kota.” Ucap Winona. Aku dibuat terkejut oleh ucapannya.
Jika saja Winona benar pergi ke kota, bagaimana dengan diriku? Aku belum siap berpisah
dengannya. “Kamu ke kota mau ngapain?” Tanya ku penasaran.
“Aku harus ikut ayah ke kota lalu mencari universitas disana.” Aku paham, aku tak percaya
saat seperti ini akan datang. Ia tersenyum tipis sambil memandangku, aku pun membalasnya.
“Kamu akan tetap di desa?” dan aku pun menggelengkan kepala. Sebenarnya aku ingin
melakukan tes ujian masuk universitas tetapi mengingat biaya jika saja aku merantau ke kota,
sedikit merasa membuatku tercekik. “Bagaimana kalau kamu ikut aku ke kota?” Tawar Winona
dengan antusias. Aku sangat berat hati menolak ajakkan itu, aku tidak ingin merepotkan orang
lain kali ini.
“Tidak, Terimakasih Win. Aku tidak apa ada disini, jika nanti kita bertemu di kota, jangan
lupakan aku ya? Jika saja kamu lupa harus belikan aku es dawet satu gerobak.” Ia pun tertawa
dan mengangguk. Kami lanjut bercerita tentang banyak hal. Aku bahkan tidak sadar jika hari
mulai petang. Aku pun tidak menyadari bahwa kali itu adalah hari terakhir aku bermain dengan
Winona.
Keesokkan harinya, Aku mencoba untuk datang ke rumahnya. Kosong, tidak ada satu pun
orang. Banyak orang berkata kepadaku bahwa Winona baru saja pindah tadi malam. Aku
kecewa? Tentu saja. Jika ia mengabari atau pamit aku bisa merelakan ia pergi. Aku hanya terus
berdoa untuk Winona agar kelak kami bertemu kembali. Walaupun aku memiliki rasa kecewa
WINONA, SAHABAT TERBAIKKU.

dengannya, rasa sayang dan bangga dengannya jauh lebih besar dari rasa kecewa. Aku senang
bisa mengenalmu, Winona.

Anda mungkin juga menyukai