Anda di halaman 1dari 21

MINI PROPOSAL TESIS

BIDANG KLINIS

EFEKTIVITAS PELATIHAN DUKUNGAN KELOMPOK SOSIAL DALAM


MENINGKATKAN RESILIENSI PADA (PASIEN/CAREGIVER) KANKER

DISUSUN OLEH:
MEGA PRIMASWARI
T. 100185007

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN
Das Sain (Penderita/Caregiver) Kanker

Fenomena: Penderita kanker tahun 2012 yang berjumlah 8,2 Grottberg (dalam Hendriani,
juta orang pertahun (Kemenkes RI, 2015) ; Menurut WHO
kanker merupakan penyakit dengan jumlah kematian tertinggi 2018) mengatakan resiliensi
di dunia, yaitu 9, 6 juta kematian (cnnindonesia, 2018) ; Di adalah kemampuan untuk
Indonesia sendiri kematian akibat kanker diperkirakan bertahan dan beradapatasi,
berjumlah 347.792 orang (Kemenkes RI, 2015). serta kapasitas manusia untuk
Data wawancara: Pada awalnya subjek merasa takut saat menghadapi dan
didiagnosa sakit kanker, akan tetapi subjek mempunyai pikiran memecahkan masalah setelah
jika sudah dioperasi akan langsung sembuh subjek menjadi
tidak takut dan khawatir (SW/44-48) mengalami kesengsaraan.

Data Observasi: Penderita kanker baik yang berobat jalan


maupun rawat inap menunjukkan 51% gangguan kejiwaan.
68% dari kejadian diatas mengalami gangguan penyesuaian,
13% depresi berat, 11% mengalami kecemasan dan kehilangan
kesadaran. (Hawari, 2004)

Gap/Kesenjangan Rumusan Masalah


Penderita kanker baik yang berobat jalan
Penderita kanker baik yang berobat jalan maupun rawat inap menunjukkan 51%
maupun rawat inap menunjukkan 51% gangguan kejiwaan. 68% dari kejadian diatas
gangguan kejiwaan. 68% dari kejadian diatas
mengalami gangguan penyesuaian, 13%
mengalami gangguan penyesuaian, 13%
depresi berat, 11% mengalami kecemasan dan depresi berat, 11% mengalami kecemasan dan
kehilangan kesadaran. (Hawari, 2004). kehilangan kesadaran. (Hawari, 2004). Oleh
karena itu dibutuhkan resiliensi, karena
Resiliensi memungkinkan individu mampu
mempertahankan kesehatannya serta kembali
ke kondisi stabil, baik secara fisik, psikologis,
maupun social. (Hendriani, 2018)
Das Sollen

Resiliensi memungkinkan individu mampu Pertanyaan Penelitian


mempertahankan kesehatannya serta kembali
ke kondisi stabil, baik secara fisik, psikologis, Bagaimana efektivitas terapi dukungan
maupun social. (Hendriani, 2018) kelompok terhadap resiliensi?

Pada kanker payudara ternyata tidak ada


hubungan antara stress hidup dengan Tujuan Penelitian
permulaan timbulnya kanker tersebut. (Hawari,
2004) Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
efektivitas terapi dukungan kelomok untuk
meningkatkan resiliensi pada pasien kanker.

Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui


efektivitas terapi dukungan kelomok untuk
meningkatkan resiliensi pada pasien kanker.
Intervensi berupa terapi kelompok pendukung (Yalom dalam Kurniawan & Noviza, 2017)

Modul terapi kelompok pendukung ini Interaksi dalam kelompok dapat dilakukan
disusun berdasarkan tahapan intervensi dalam bentuk terapi kelompok
dengan pendekatan kelompok dan suportif pendukung.Terapi Kelompok Pendukung
(Brabender, Smolar, & Fallon, 2004). Modul merupakan bagian dari terapi kelompok
terapi kelompok pendukung lazim (Yalom, 2010). Terapi kelompok terdiri dari
lima hingga sepuluh individu yang bertemu
digunakan pada kasus-kasus klinis seperti
untuk menyelesaikan masalah tertentu. Anggota
pasien penyakit kronis dan kelompok kelompok didorong untuk memberikan umpan
marjinal seperti penderita kanker (Brabender balik terhadap anggota kelompok lainnya.
et al., 2004). Basis terapi kelompok Umpan balik dapat berbentuk ekspresi perasaan
pendukung adalah universalitas pengalaman ataupun respons perilaku terhadap anggota
yang dialami oleh subjek digunakan untuk kelompok lain. Interaksi antar anggota
mengurangi stigma negatif sebagai korban kelompok terjadi dalam bentuk saling
memberikan dorongan dan kesempatan kepada
kekerasan dan saling berbagi perasaan. masing-masing anggota untuk mencoba cara
baru dalam berinteraksi dengan orang lain.

Keaslian penelitian

Beberapa penelitian terkait dengan resiliensi dan terapi dukungan


kelompok yang telah dilakukan:

No. Peneliti Tema Rancangan Penelitian Hasil


1. Yudi Terapi Kelompok Metode kuantitatif Hasil penelitian
Kurniawan, Pendukung Sosial untuk menggunakan desain menunjukkan bahwa
N. Noviza meningkatkan resiliensi eksperimen yaitu ada perbedaan skor
(2017) pada penyintas KDRT nonrandomized quasi resiliensi penyintas
yang kemudian peneliti experimental kekerasan terhadap
modifikasi modul Metode pengumpulan perempuan kelompok
pelatihannya. Modul dari , data menggunakan eksperimen dan
Smolar, Fallon (Essentials skala modified Connor- kelompok kontrol
of group theraphy) Davidson Resilience dengan p=0,001
Kelemahannya, akan lebih Scale (M-CDR-S) (p<0,05).
efektif jika diikuti dengan Intervensi dalam bentuk Kesimpulannya,
pemberdayaan komunitas Terapi Kelompok terapi kelompok
ekonomi. Pendukung Sosial yang pendukung efektif
dilakukan 4 kali untuk meningkatkan
pertemuan dan follow resiliensi pada
up dilakukan 15 hari penyintas kekerasan
setelah pertemuan terhadap perempuan.
terakhir dilaksanakan.
Subjek berjumlah 10
orang. 5 ekper/5kontrol
2. Rizky Efektivitas terapi dukungan Desain penelitian yang Hasilnya menunjukkan
Harier kelompok dalam digunakan pada bahwa ada perbedaan
Muiz; Rr. meningkatkan Resiliensi pada penelitian ini adalah resiliensi antara
Indahria remaja penghuni lembaga kuasi eksperimen. kelompok eksperimen
pemasyarakatan Penelitian dan kelompok kontrol
Sulistyarini Metode pengumpulan
ini mengadaptasi modul setelah terapi
(2015) data dengan diberikan, dengan nilai
penelitian adalah hasil menggunakan metode
modifikasi dari modul p = 0.019 (p<0.05)
observasi, wawancara, pada saat prates-
yang telah disusun oleh dan skala resiliensi pascates dan p = 0.013
peneliti sebelumnya, yaitu yang di modifikasi dari (p<0.05) pada saat
Hermaleni (2012) dan skala resiliensi yang prates-tindak lanjut.
mengacu pada tahapan- pernah dibuat peneliti Kesimpulan dari
tahapan terapi dukungan pada waktu sebelumnya penelitian ini bahwa
kelompok dari Heuvel dkk dengan menggunakan terapi dukungan
(2002) aspek dari connor- kelompok dapat
Kelemahannya, adanya meningkatkan
davidson (2003).
kehadiran pihak lain, yaitu resiliensi remaja di
Subjek berjumlah 12 dalam Lembaga
petugas lapas, sehingga orang, 6 ekperimen
subjek kurang terbuka dan Pemasyarakatan.
nyaman.
3. R.A Diana Efektivitas Pelatihan Desain Penelitian yang Hasil uji beda
Rahmi Regulasi Emosi untuk digunakan: quasi mempergunakan t-
Andriani, Meningkatkan Resiliensi experiment pre-post test terhadap selisih
Tina Caregiver –Keluarga control group design. skor menunjukkan
Afiatin, Rr. Pasien Skizofrenia. Metode pengambilan perbedaan signifikan
Indahria Kelemahan: subjek terlalu data menggunakan antara kelompok
Sulistyarini banyak sehingga pelatihan metode wawncara, eksperimen
(2017) regulasi emosi menurut observasi, dan skala dan kelompok
Albert Ellis jadi kurang CD-RISC 25 item kontrol. peng-
efektif. Subjek laki-laki (connor-davidson). ukuran G1 diperoleh
dan perempuan usia 39-57 Subjek 10 orang, 5 p = 0.043 (p<0.05).
tahun eksper, 5 kontrol. Hal tersebut
Pengukuran post test 2 menunjukkan bahwa
minggu setelah ada perbedaan
perlakuan. signifikan
peningkatan rata-rata
Resiliensi saat prates
dan pascates.
Peningkatan rata-rata
skor resiliensi pada
kelompok
eksperimen lebih
tinggi (13,60)
dibandingkan dengan
kelompok control
(0,20). Hasil
pengukuran G2
diperoleh p = 0.151
(p > 0.05). Hal
tersebut
menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan
signifikan
peningkatan rata-rata
resiliensi saat
pascates dan tindak
lanjut.

Perbedaan antara pnelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang


akan dilakukan peneliti adalah:

1. Perbedaan metode penelitian yang digunakan. Peneliti belum menemukan


penelitian dengan metode eksperimen dengan jumlah partisipan sedikit. Selain
itu, peneliti juga fokus terhadap follow-up sebagai bentuk penilaian terhadap
efektivitas terapi.
2. Subjek penelitian juga belum pernah peneliti temukan bahwa pengidap
ataupun caregiver kanker belum pernah mendapatkan pelatihan serupa.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Resiliensi B. Terapi Dukungan Kelompok

1. Pengertian: 1. Definisi (Yalom, 2010)


(Grottberg, 2018; Tugade 2. Manfaat (Yalom & Leszcz,
& Fredrickson 2013; 2005)
Richardson, 2002) 3. Tujuan (Brabeder, Smolar, &
2. Faktor (Reivich & Shatte, Fallon, 2004)
2002) 4. Teknik Pelaksanaan
3. Aspek (Grottberg, 2018) (Brabeder, Smolar, & Fallon,
2004)).
5. Kompetensi Terapis (?)

C. Dinamika Peningkatan Resiliensi pada Pengidap/caregiver Kanker melalui


Terapi Dukungan Kelompok Sosial

Pengidap/caregiver
Kanker
1. Merasa Stress, 1. Pasien.caregive
tidak percaya
r kanker
diri, bingung
Terapi Dukungan merasa tidak
2. Menyadari
Kelompok Sosial sendiri dalam
akan ada
dengan tahapan: menghadapi
perubahan
kehidupan 1. Partisipan masalahnya
3. Merasa hanya mengungkapkan ide 2. Kemampuan
sendiri untuk dan perasaan.,serta untuk
menghadapi permasalahan. menerima diri
kanker 2. Memantau dan
meningkat
4. Tidak dapat sharing penerapan
menyesuaikan kendala 3. Kesehatan
diri dengan D. Hipotesa:pelaksanakan
Hipotesis pada tetap stabil
penelitian ini adalah terapi berbasis dukungan
materi.
penyakitnya kelompok dapatupmempengaruhi
3. Follow setelah 15 resiliensi pada pasien kanker. Terapi
hari dari pertemuan
terakhir.
berbasis dukungan kelompok dianggap berhasil apabila resiliensi pada pasien
kanker meningkat setelah terapi.
Resiliensi

Pengertian Resiliensi

Grottberg (dalam Hendriani, 2018) mengatakan resiliensi adalah kemampuan


untuk bertahan dan beradapatasi, serta kapasitas manusia untuk menghadapi
dan memecahkan masalah setelah mengalami kesengsaraan.

Resiliensi menurut Meichebaum (dalam Hendriani, 2018) adalah proses interaktif


kompleks yang melibatkan berbagai karakteristik individu, keluarga, maupun
lingkungan masyarakat yang lebih luas. Kemudian menurut Richardson
(dalam Hendriani, 2018) resiliensi adalah proses koping terhadap stressor,
kesulitan, perubahan, maupun tantangan yang dipengaruhi oleh faktor
protektif . Resiliensi psikologis akan menentukan sejauh mana ketangguhan
dan kekuatan dalam diri seseorang. Semakin resillien seseorang, maka akan
semakin semakin cepat pula seseorang bangkit dari pengalaman emosi negatif
yang dialaminya ( Tugade dan Fredrickson dalam Hendriani, 2018

Faktor-faktor Resiliensi

Menurut Reivich dan Shatte (dalam Hendriani, 2018) terdapat tujuh faktor yang
mempengaruhi resiliensi seeorang, yaitu:

a. Regulasi emosi (Emotion Regulation)

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang
menekan. Kemampuan yang baik dalam meregulasi emosi akan berkontribusi
terhadap kemudahan dalam mengelola respons saat berinteraksi. Ada 2
keterampilan yang dapat menolong untuk meregulasi emosi, yaitu kemampuan
calming dan focusing.

b. Pengendalian Impuls (Impulse control)

Ini adalah kemampuan untuk mengendalikan dorongan, keinginan, kesenangan,


serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu dengan pengendalian
impuls yang rendah akan mudah untuk mengalami perubahan emosi ketika
menghadapi berbagai stimulus dari luar. Apabila seseorang dapat
mengendalikan impulsivitasnya maka akan mudah untuk mencegah dari
kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat untuk
permaasalahan yang ada.

c. Optimisme (Optimism)
Menurut Reivich dan Shatte (2002) individu yang resilien adalah individu yang
optimis yakin dapat menghadapai segala permasalahan yang yang di
hidupnya. Optimisme akan semakin maksimal jika dibaregi dengan efikasi
diri. Optimisme yang dibutuhkan adalah realistic optimism, yaitu rasa optimis
yang diiringi dengan usaha

d. Analisis Kausal (causal analysis)

Analisis Kausal merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasi secara


akurat penyebab dari pemasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini individu yang
resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif.

e. Empati (Empathy)

Seseorang yang memiliki kemampuan berempati atau dapat merasakan emosi


orang lain mempunyai hubungan sosial positif . Individu yang mempnuyai
empati rendah cenderung mengulang pola yang di lakukan oleh individu yang
tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain.

f. Efikasi Diri (Self efficacy)

Dengan keyakinan dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah individu akan


mampu menemukan penyelesaian dari perrmasalahan yang ada dan tidak
mudah menyerah terhadap berbagai kesulitan.

g. Reaching Out

Resiliensi bukan sekedar kemampuan bertahan seseorang dari kemalangan, tapi


juga termasuk bagaimana individu tersebut bangkit dari kemalangan tersebut
dan berusaha mengambil aspek positif dari kemalangan tersebut.

Aspek-aspek Resiliensi

Resiliensi memiliki tiga komponen atau aspek (Grotberg, dalam Hendriani, 2018)
yaitu:

a. I have (external supports)

I have adalah sumber resiliensi yang berhubungan dari besarnya dukungan sosial
yang di peroleh dari sekitar. Sumber I have memiliki beberapa kualitas yang
dapat menjadi penentu bagi pembentukan resiliensi, yaitu:

1. Hubungan yang dilandasi dengan kepercayaan (trust).


2. Struktur dan peraturan yang ada dalam keluarga atau lingkungan
rumah.

3. Model-model peran.

4. Dorongan seseorang untuk mandiri (otonomi).

5. Akses terhadap fasilitas terhadap fasilitas seperti layanan


kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan.

b. I am (inner strengths)

I am adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi dalam diri
individu. Hal ini mencangkup perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi.
Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am dalam membentuk
resiliensi adalah:

1. Penilaian personal bahwa diri memperoleh kasih sayang dan di


sukai banyak orang.

2. Memiliki empati, kepedulian dan cinta terhadap orang lain.

3. Mampu merasa bangga dengan diri sendiri.

4. Memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan dapat


menerima konsekuensi atas segala tindakannya.

5. Optimis, percaya diri dan memiliki harapan akan masa depan.

c. I can (interpersonal and problem solving skills)

Merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan usaha yang di lakukan oleh
seseorang dalam memecahkan masalah menuju keberhasilan dengan kekuatan
diri sendiri. I can mencangkup kemampuan menyelesaikan persoalan,
keterampilan sosial, dan interpersonal. Sumber resiliensi ini terdiri dari:

1. Kemampuan dalam berkomunikasi.

2. Problem solving atau pemecahan masalah.

3. Kemampuan mengelola perasaan, emosi, dan impuls-impuls.

4. Kemampuan mengukur temperamen sendiri dan orang lain.

5. Kemampuan menjalin hubungan yang penuh kepercayaan.


Terapi Kelompok Pendukung

Pengertian terapi kelompok pendukung

Interaksi dalam kelompok dapat dilakukan dalam bentuk terapi kelompok


pendukung.Terapi Kelompok Pendukung merupakan bagian dari terapi kelompok
(Yalom dalam Kurniawan & Noviza, 2017).

Terapi kelompok terdiri dari lima hingga sepuluh individu yang bertemu untuk
menyelesaikan masalah tertentu. Anggota kelompok didorong untuk memberikan
umpan balik terhadap anggota kelompok lainnya. Umpan balik dapat berbentuk
ekspresi perasaan ataupun respons perilaku terhadap anggota kelompok lain.
Interaksi antar anggota kelompok terjadi dalam bentuk saling memberikan
dorongan dan kesempatan kepada masing-masing anggota untuk mencoba cara
baru dalam berinteraksi dengan orang lain.

Ada dua tujuan terapeutik yang muncul dalam proses terapi kelompok pendukung
yang dilakukan oleh tim peneliti. Tujuan pertama merujuk pada outcome goals
(hasil akhir proses terapi). Outcome goals mengacu pada perubahan perilaku dan
emosi anggota kelompok setelah terapi berakhir. Perubahan perilaku dapat berupa
peningkatan kemampuan interpersonal, keterampilan analisis masalah, dan atau
kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang tidak menyenangkan. Tujuan
kedua merujuk pada process goal (proses selama terapi berlangsung). Tujuan ini
melekat pada anggota kelompok selama proses terapi. Peningkatan level
kenyamanan, kemauan untuk terbuka dengan anggota kelompok lain, dan belajar
untuk memberikan argumentasi terhadap pendapat anggota lain adalah beberapa
contoh process goal (Ward, 2010; Kurniawan & Noviza, 2017 ).

Program intervensi kesehatan mental komunitas yang berbasis Terapi Kelompok


Pendukung.Modul terapi kelompok pendukung ini disusun berdasarkan tahapan
intervensi dengan pendekatan kelompok dan suportif (Brabender, Smolar, &
Fallon, 2004). Modul terapi kelompok pendukung lazim digunakan pada kasus-
kasus klinis seperti pasien penyakit kronis dan kelompok marjinal seperti
perempuan korban kekerasan adalah salah satunya (Brabender et al., 2004). Basis
terapi kelompok pendukung adalah universalitas pengalaman yang dialami oleh
subjek digunakan untuk mengurangi stigma negatif sebagai korban kekerasan dan
saling berbagi perasaan.Langkah awal yang dilakukan adalah pelaksanaan Terapi
Kelompok Pendukung pada penyintas KtP dengan tujuan meningkatkan
kemampuan daya lenting psikologis atau resiliensi.
BAB III

METODE PENETITIAN

A. Identifikasi Variabel
1. Variabel Tergantung : Stres Pengasuhan pada Orang Tua dengan
Anak Autis
2. Variabel Bebas : Pelatihan stepping stones triple P

B. Definisi Operasional
1. Stres Pengasuhan pada Orang Tua dengan Anak Autis adalah
Tingkat stres pengasuhan diukur dengan skala Parenting Stress
Index-Short Form (PSI-SF) dari Abidin (1995) yang telah
dilakukan modifikasi dan diterjemahkan oleh ahli bahasa di
lembaga pendidikan bahasa, skala ini terdiri dari 36 aitem
pertanyaan yang mengandung tiga aspek stres pengasuhan parent
distress (PD), parent-child dysfunction interaction (PCDI), dan
difficult child (DC).
2. Pelatihan stepping stones triple P adalah pelatihan untuk orang tua
dengan anak autis yang memiliki stress pengasuhan guna
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kepercayaan diri
orang tua. Pelaksanaan pelatihan ini dilakukan oleh professional
dengan panduan proswdur yang telah dibakukan.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini memiliki kriterian sebagai berikut :

1. Orang tua yang memiliki anak autis dengan ciri-ciri memiliki anak autis
yang mengikuti terapi di PLA Surakarta
2. Belum pernah mengikuti pelatihan pengasuhan untuk orang tua yang
memiliki anak autis
3. Rentang usia dewasa (25 tahun – 45 tahun)
4. Tingkat ekonomi rendah; memiliki skor stres pengasuhan sedang hingga
tinggi; bersedia mengikuti pelatihan
5. Latar belakang pendidikan menengah. Hal ini dikarenakan dengan latar
belakang pendidikan tersebut diharapkan memiliki kemampuan berpikir
konseptual sekaligus praktis sehingga lebih mudah memahami materi yang
diberikan.
D. Alat Ukur

Pada penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur berupa skala Parenting
Stress Index-Short Form (PSI-SF) dari Abidin (1995) yang telah dilakukan
modifikasi dan diterjemahkan oleh ahli bahasa di lembaga pendidikan bahasa,
skala ini terdiri dari 36 aitem pertanyaan yang mengandung tiga aspek stres
pengasuhan parent distress (PD), parent-child dysfunction interaction (PCDI),
dan difficult child (DC).

Table 1. Blueprint Stres Pengasuhan

Variable Sub variabel Indikator Item Jumlah


Item
Stres Feeling of competence: 1, 2 2
pengasuhan Kemampuan dan
pengetahuan dari orang tua
dalam hal perkembangan dan
ketrampilan manajemen
anak.
Social isolation: 3,4,5 3
Adanya perasaan terisolasi
secara sosial dan kurangnya
dukungan sosial dari
Parental lingkungan sekitar.
distres Restriction imposed by parent 6,7,8 3
role:
Adanya perasaan kekecewaan
dan kemarahan karena
dibatasi dan dikendalikan
serta dikuasai oleh
permintaan anak.
Relationship with spouse: 9,10,11 3
Adanya konflik terkait
hubungan orang tua dan
strategi manajemen anak.
Health of parent: 12,13,14 3
Adanya kesehatan orang tua
yang menurun akibat
efektifitas proses pengasuhan
Parent depression: 15,16,17 3
Adanya gejala depresi dan
perasaan kecewa yang
melemahkan kemampuan
orang tua dalam mengasuh
anak.
Child adaptability: 18,19,20 3
Kesulitan orang tua dalam
mengatur dikarenakan
ketidakmampuan anak dalam
menyesuaikan diri dengan
perubahan fisik
dan lingkungan
Difficult Child demands: 21,22,23 3
child kemampuan orang tua dalam
memenuhi permintaan terkait
perhatian dan bantuan yang
lebih banyak
Child mood: 24,25 2
Adanya perasaan orang tua
terkait hilangnya ciri khas
yang bisa dilihat dari
ekspresinya sehari-hari.
Distracbility: 26,27 2
Adanya perasaan orang tua
bahwa anaknya terlalu aktif
dan sulit mengikuti perintah.
Child reinforced parent: 28,29,30 3
Adanya perasaan tidak
nyaman yang muncul dari
orang tua dalam berinteraksi
The parent- dengan anaknya.
child Acceptability of Child to 31,32,33 3
Parent:
Adanya penolakan orang tua
terkait karakteristik anak
yang tidak sesuai dengan
yang diharapkan.
Attachment: 34,35,36 3
adanya perasaan terganggu
akibat kurangnya kedekatan
emosional dengan anak
Total 36
Setiap aitem diberikan tiga pilihan rspon yakni S (setuju), R (ragu-ragu),
TS (Tisak setuju). Skala dibuat dengan pernyataan dan respon jawaban 1 sampai 3
dengan kriteria ekstrim positif ke ekstrem negatif.

Tabel 2. Respon jawaban pernyataan skala stres pengasuhan

Respon Favourable
S 3
R 2
TS 1

E. Rancangan eksperimen
Penelitian ini menggunakan single case experimental designs atau
eksperimen dengan Partisipan berjumlah sedikit. Desain eksperimen satu-kasus
(single case experimental designs) merupakan strategi penelitian di mana variabel
independen dimanipulasi untuk sedikit individu sehingga memungkinkan
diambilnya kesimpulan tentang sebab-akibat, tetapi memiliki daya generalisasi
yang terbatas (Durand, 2006)

Menurut Saughnessy (2007) single case experimental designs atau small-n


experimental designs dikembangkan oleh B.F Skinner pada tahun 1930-an. Dalam
single subject experimental designs atau small-n experimental designs jumlah
sampelnya adalah satu Partisipan tunggal atau ukuran sampel kecil/sedikit.
Dikatakan oleh Saughnessy (2007) bahwa dalam small-n experimental
designs, perilaku baseline dan perilaku setelah intervensi dibandingkan dengan
menggunakan visual terhadap pengukuran tercatat.
Rancangan eksperimen dengan small-n experimental designs pada
penelitian ini terdiri dari dua cara pengukuran yaitu repeated measurement dan A-
Bwithdrawal design.
Penggunaan Repeated measurement atau pengukuran berulang-ulang
(Durand, 2006) pada penelitian ini sebuah perilaku diukur sebanyak beberapa kali
dan bukan hanya diukur sekali. Metode ini membantu mengidentifikasi
bagaimana seseorang sebelum dan setelah intervensi; dan apakah penanganan
tertentu bertanggung jawab atas terjadinya perubahan.
Kemudian selanjutnya pada penelitian ini digunakan pula A-B withdrawal
design atau A-B-A design (Breakwell, 2004), dimana perlakuan yang telah
diberikan pada fase B ditarik kembali pada saat fase A yang kedua. Seperti yang
dikatakan oleh Durand (2006), withdrawal design yakni meniadakan perlakuan
untuk melihat apakah perlakuan tersebut efektif. Dalam desain ekperimen satu-
kasus, sebuah perilaku diukur (garis-basal), sebuah perlakuan diintroduksikan
(intervensi), dan kemudianintervensi tersebut ditarik atau ditiadakan. Karena
perilaku tersebut terus menerus diukur (pengukuran berulang), maka efek apapun
dari intervensi tersebut dapat dicatat. Hal ini juga disebut revearsal design.
Secara skematis rancangan eksperimen pada penelitian ini dapat
digambarkan dalam tabel berikut:

Keterangan Hari ke S1 S2 S3
Fase P1 P1 P1
A/baseline
Fase B Pelatihan 1 X1 X1 X1
O1 O1 O1
P2.1 P2.1 P2.1

berul

(repe

urem
meas
Peng
ukur

ated

ent)
wal
ang
des
thd

ign
Wi
A-
B-

an
ra
A

Pelatihan 2 X2 X2 X2
O2 O2 O2
P2.2 P2.2 P2.2
Pelatihan 3 X3 X3 X3
O3 O3 O3
P2.3 P2.3 P2.3
Fase A/ ~X ~X ~X
Follow-Up P3 P3 P3

Keterangan:
S= partisipan
P1= pengukuran tahap baseline (PSI-SF)
P2= pengukuran tahap pelatihan (PSI-SF)
P3= pengukuran tahap follow-up (PSI-SF)
O= observasi
X= pemberian pelatihan
F. Rancangan Intervensi
Sesi Tema Kegiatan Waktu
Sesi 1 Intake interview Orang tua diwawancarai untuk 1 jam
mengumpulkan informasi mengenai
anak dan keluarga yang komprehensif.
Rincian masalah atau masalah
perilaku ditentukan dan orang tua
diminta untuk melengkapi
serangkaian kuesioner. kuesioner
tersebut dirancang untuk menyaring
faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhi perkembangan atau
perilaku anak. Dalam sesi ini, orang
tua juga diperkenalkan pada berbagai
teknik perekaman yang dapat mereka
gunakan untuk melacak tingkah laku /
ketertarikannya beberapa minggu
mendatang.
Sesi 2 Obsrevasi dan Sesi ini diawali dengan pengamatan 1 jam
diskusi hasil tnteraksi antara keluarga dengan anak-
asesmen anak. Kemudian dilanjutkan diskusi
umpan balik dengan orang tua saja.
Praktisi menggunakan panduan
partisipasi model untuk melibatkan
orang tua dalam tinjauan semua
informasi penilaian, mengembangkan
konseptualisasi bersama mengenai
masalah dan penyebabnya, kemudian
menegosiasikan tujuan dan petunjuk
treatment.
Sesi 3 Mempromosikan Selama sesi ini, orang tua belajar 1 jam
perkembangan prinsip-prinsip positif
anak Mengasuh anak, strategi untuk
mengembangkan hubungan positif
dengan anak, bagaimana mendorong
perilaku yang diinginkan dan strategi
untuk mengajari anak-anak
keterampilan dan perilaku baru.
Sesi 4 Mengelola Sesi ini melibatkan pengenalan orang 1 jam
kenakalan tua terhadap strategi untuk menangani
perilaku buruk, mengembangkan
rutinitas parenting dan menyelesaikan
grafik perilaku mereka.
Sesi 5-7 Latihan sesi 1-3 Latihan sesi 1-3. Sesi ini membantu 1 jam
orang tua dalam menggunakan strategi
perubahan tingkah laku. Praktisi
mengamati interaksi orangtua-anak 10
menit dimana orang tua telah
menetapkan tujuan untuk berlatih
menggunakan yang spesifik strategi
mengasuh anak. Praktisi kemudian
memiliki kesempatan untuk
mendorong evaluasi diri orang tua dan
tujuannya pengaturan untuk
memperbaiki penggunaan strategi
pengasuhan yang spesifik
Sesi 8 Perencanaan ke Selama sesi ini, orang tua 1 jam
depan mengidentifikasi aktivitas rumah dan
masyarakat berisiko tinggi (Misalnya
perjalanan belanja, sesi terapi,
persiapan sekolah). Praktisi kemudian
mengajarkan mereka bagaimana
mengembangkannya, merencanakan
rutinitas di depan untuk mencegah
perilaku buruk, mendorong
pengembangan keterampilan, dan
mengelola perilaku salah dalam diri
seseorang Atau lebih banyak situasi
berisiko tinggi yang diidentifikasi
orang tua. Orangtua kemudian
merencanakan untuk melaksanakan
rutinitas mereka selama seminggu.
Sesi 9 Merencanakan Merencanakan sesi latihan berikutnya. 1 jam
latihan sesi Selama sesi ini, praktik orang tua
berikutnya mendorong anak mereka untuk
melakukannya. Bermain secara
independen saat mereka
mendiskusikan rutinitas perencanaan
mereka di depan dengan praktisi.
Praktisi juga mengamati orang tua
agar anak tersebut siap keluar dan
memberikan umpan balik sebelum
mengakhiri sesi
Sesi 10 Penutup Praktisi melakukan tinjauan kemajuan 1 jam
dan membahas gagasan orang tua
untuk mempertahankan perubahan
baik yang telah dilakukan, bagaimana
menyelesaikan masalah di masa
depan, dan apakah rujukan untuk
dukungan lebih lanjut sudah sesuai.
Orang tua kemudian menyelesaikan
pre-post asesment yang serupa dengan
kuesioner awal yang mereka
selesaikan.

Selain itu, di berikan pula waktu untuk mengisi kuesioner dan mempersiapkan
sesi follow up. Di bawah ini adalah panduan waktu dalam pelaksanaannya:
Konsultasi Scoring Dukungan Sesi Catatan Total
tatap muka kuesioner melalui persiapan kasus dan waktu
atau sesi dan telfon atau dan post- laporan
kelompok pemberian home visit session penulisan
masukan debrief/p
pre-post enawasan
assessment
(client
satisfaction
questioner)
Standa 7 jam (1 1,5 jam 3 jam (3 2,5 jam 1 jam 15 jam
r stepp- jam per kali per
ing sesi) kunjungan, keluar
stones setiap ga
triple P kunjungan
1 jam

G. Analisa Data
Penelitian ini melihat perbedaan tingkat stres pengasuhan pada orang tua
dengan anak autis dengan membandingkan hasil individual. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis kuantitatif dan analisis
kualitatif.
Analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji statistik
Wilcoxon Signed Rank Test. Selain itu data kuantitatif juga disajikan dengan
menggunakan analisis data visual inspection untuk melihat setiap perubahan
partisipan dari waktu ke waktu (Barlow&Hersen, 2009). Hasil pengukuran tingkat
stres antar partisipan dibandingkan dengan cara visual inspection.
Tingkat stres pengasuhan pada orang tua dengan anak autis dibandingkan
antara hasil pengukuran pada saat baseline, saat pelaksanaan terapi atau perlakuan
berlangsung, dan saat pengukuran tindak lanjut/follow up. Perbandingannya
tampak pada kenaikan atau penurunan yang disajikan melalui tabel dan grafik
(Breakwell, 2004). Sedangkan analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang
diperoleh dari hasil observasi selama pelatihan, tahap sebelum pelatihan,
pengisian diary, serta wawancara informal.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, R. R. (1995). The parenting stress index professional manual. Lutz,


Florida: Florida: Psychological Assessment Resources.
Breakwell, G.M., Hammond, S., Schaw, C.F. (2004). Research Methods In
Psychology .California: SAGE Publications.
Durand, V.M., Barlow, D.H. (2006). Intisari Psikologi Abnormal Edisi Keempat.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar.
Lestari, S. (2013). Psikologi Keluarga: penanaman nilai dan penganan konflik
dalam keluarga.
Sanders, M., Cann, W., & Markie-Dadds, C. (2003). The Triple P-Positive
Parenting Programme: A Universal Population-Level Approach to
Prevention of Child Abuse. Child Abuse Review 12 (3), 155–171.
Shaughnessy, J.J., Zeichmeister, E.B., Zeichmeister, J.S. (2007). Metodologi
Penelitian Psikologi . Penerjemah: Drs. Helly Prajitno Soetjipto, M.A., Dra.
Sri MulyantiniSoetjipto .Yogyakarta :PustakaBelajar .

Whittingham K, Sofronoff K, Sheffield J, Sanders MR: Stepping Stones Triple P:


an RCT of a parenting program with parents of a child diagnosed with an
autism spectrum disorder. J Abnorm Child Psychol (2009), 37:469–480.

Anda mungkin juga menyukai